Alex hanya dapat terdiam, tanpa ada satupun kata yang
keluar dari mulutnya. Ia merasa bahwa pertanyaan temannya itu terlalu sulit
untuk ia jawab, bukan karena ia tidak mempunyai jawaban, tapi lebih karena
ragu.
“Biar kutanya lagi.” Ucap
Nick sedetik kemudian. “Bagaimana kita akan memulai permainan untuk anak baru
itu?”
Alex benar-benar tidak
mengerti dengan apa yang Nick rencanakan bersama dengan Jonas. Kedua remaja itu
berniat untuk melakukan sesuatu yang menyebalkan pada anak baru yang datang
seminggu yang lalu. Alex sebenarnya tidak menyetujui rencana untuk mengusili
anak baru itu. Alex tahu bagaimana rasanya menjadi anak baru. Dan ia memang
pernah diusili oleh murid lama dan murid senior saat ia datang setahun yang
lalu. Tapi hal itu tidak menjadi alasan untuk dapat melakukan hal yang sama
pada orang lain.
“Kita tidak perlu melakukan
ini, kalian tahu itu, ‘kan?” ucap Alex, yang pada akhirnya dapat mengucapkan
apa yang ia pikirkan. Nick dan Jonas menatapnya dengan heran sambil tersenyum
kecil.
“Ayolah, Alex!” ucap Nick.
“Kau juga pernah merasakannya, ‘kan? Kami berdua juga pernah dijahili saat
masuk ke sma ini. Oleh murid-murid senior.”
“Bukan berarti kita juga
harus melakukan hal yang sama pada orang lain.” Bantah Alex. “Apa yang kalian
pikirkan?”
Nick mendengus, kecewa
dengan sikap teman baiknya itu. Ia memandang ke arah Jonas, meminta pendapat.
“Kita tidak akan melakukan
suatu hal yang berbahaya.” Ucap Jonas beberapa detik kemudian. “Jika kau pikir
kami akan melakukan sesuatu yang berbahaya dan membahayakan nyawa, kau salah
besar.”
“Ya.” Timpal Nick. “Hanya
permainan kecil, Alex. Sebagai suatu…, err…, inisiasi.”
“Dia belum punya banyak
teman.” Ucap Alex. “Dan seharusnya kita membantunya, bukan untuk…”
“Itu yang kami maksudkan.”
Potong Nick. “Kita akan menjadi teman baiknya. Itu pasti. Tapi dia harus
membuktikan diirinya pada kita, bahwa ia pantas menjadi salah satu dari kita.”
Alex mendesah pelan tanpa
tahu apa lagi yang harus ia ucapkan untuk membuat kedua temannya itu
membatalkan rencana usil mereka. Alex benar-benar tidak suka dengan rencana
itu.
“Jadi?” ucapnya kemudian.
“Apa yang kalian rencanakan?”
“Kau setuju?” balas Nick.
“Apa aku bisa menghentikan
kalian berdua?”
Nick tertawa sambil menepuk
pelan pundak Alex. Wajahnya terlihat begitu sumringah saat ia mendapatkan,
seolah, mendapatkan ijin dari Alex untuk melakukan rencana kecil itu.
“Aku akan memikirkannya
dengan Jonas. Jangan khawatir! Bukan sesuatu yang berbahaya. Dan…, Oh! Ini akan
menyenangkan.”
Alex tidak memikirkan lagi
mengenai rencana konyol itu saat pelajaran dimulai. Selama beberapa jam, Alex
dapat fokus pada apa yang ia kerjakan. Namun saat jam istirahat tiba, ia
kembali merasakan rasa was-was dengan apa yang Nick rencanakan.
Alex duduk sendirian di meja
kantin, memandang ke sekitar sambil menikmati roti lapisnya. Sedetik kemudian
ia sadari bahwa orang yang sedang ia pikirkan muncul di kantin itu. Siapa? Anak
baru itu.
Anak itu bernama Eric.
Seorang anak lelaki berusia lima belas tahun dengan postur tubuh yang langsing,
kecil, dan terlihat begitu lemah di mata orang lain, terutama di mata anak-anak
yang memang suka membuat ulah. Sejauh dari apa yang dapat Alex ketahui, Eric
adalah murid pindahan dari sebuah kota di utara, yang datang seminggu yang
lalu.
Alex sudah berkali-kali
melihat anak itu. Namun setiap kali, Alex menemukan bahwa Eric belum
mendapatkan teman. Anak itu selalu makan sendirian saat jam istirahat. Dan
tidak pernah mendapatkan teman saat menonton pertandingan di lapangan. Hal ini
sebenarnya membuat Alex ingin menghampiri anak itu dan mengajaknya berteman.
Hanya saja, ia belum mempunyai waktu karena ia masuk terlalu sibuk dengan
tugasnya.
Eric sepertinya anak
baik-baik. Itu yang dapat Alex lihat dari anak itu. Memang ia belum mengetahui
banyak hal mengenai Eric. Tapi ia rasa Eric bisa menjadi seorang teman yang
menyenangkan.
Perhatian Alex terganggu
saat satu tepukan mendarat di pundaknya. Sedetik kemudian, Nick dan Jonas duduk
di dekatnya. Keduanya menunjuk ke arah Eric yang duduk sendirian di ujung
kantin.
“Itu!” ucap Nick sambil
tertawa kecil. “Anak itu. Kita akan melakukan sesuatu. Sesuatu yang
menyenangkan.”
“Apa yang kalian
rencanakan?” tanya Alex. Nick dan Jonas hanya terkikik geli tanpa alasan jelas.
“Kasihan. Dia sendirian.
Bagaimana jika kita kesana?”
“Tunggu, kita…”
Alex tidak dapat
menyelesaikan kalimatnya saat ia ditarik begitu saja oleh kedua temannya, dan
bergerak mendekati anak baru itu. Sekilas pandang, Alex dapat melihat adanya
ketakutan di wajah bocah yang berusia satu tahun dibawahnya itu. Eric tidak
terlihat begitu tangguh, dan terlihar lemah. Seketika ia menghentikan usahanya
untuk makan, dan dengan mata bergetar, ia memandang ke arah Nick dan Jonas yang
bergerak mendekatinya.
Siapapun yang melihat Nick
dan Jonas pasti akan sedikit merasa takut. Bukan wajah mereka, tapi tubuh
mereka. Tidak seperti Alex, kedua remaja itu adalah atlit sepak bola sekolah.
Tubuh mereka yang selalu dilatih itu tentu saja terlihat lebih besar dari anak
lain, dan terlihat sedikit mengintimidasi. Namun, Nick dan Jonas samasekali
tidak menunjukkan wajah jahat atau sinis pada Eric. Mereka melepas tawa mereka,
dan mencoba untuk membuat Eric merasa nyaman. Setidaknya, Alex senang hal itu
terjadi.
“Oh, hai!” sapa Jonas begitu
dekat dengan Eric. Ia ikut duduk di meja, dan bersikap seolah sudah kenal lama
dengan anak baru itu.
“Ini Nick, dan Jonas.” Ucap
Alex memperkenalkan diri. “Kuharap kami tidak mengganggumu.”
“Tidak.” Jawab Eric terlihat
ragu. Alex dengan jelas masih dapat melihat adanya rasa takut itu.
“Hei! Santai saja kawan!” ucap
Nick. “Sepertinya kau butuh teman. Dan kami…”
Ya. Begitulah. Dengan penuh
kehati-hatian Nick mencoba untuk membuat remaja baru itu untuk tertawa. Memang
terlihat sulit. Eric sepertinya belum mau terbuka. Mungkin mereka perlu waktu
berhari-hari untuk dapat membuat Eric terbuka. Dan hal itu bukanlah pekerjaan
yang mudah.
Untuk hari itu, paling tidak
Alex dan kedua temannya sudah mencoba untuk membuka diri pada Eric. Entah Eric
akan menerima pertemanan mereka atau tidak, itu belum pasti. Jam sekolah selesai
pukul tiga sore. Dan Eric sudah tidak terlihat lagi.
“Kalian harus mengatakan
padaku, apa yang akan kalian lakukan pada Eric.” Ucap Alex di koridor saat
bertemu lagi dengan Nick dan Jonas.
“Kami sudah memikirkannya.”
Jawab Nick. “Oh! Permainan ini akan sangat menyenangkan. Kau akan menyukainya.”
“Katakan!”
“Kau yakin mau
mendengarnya?”
“Nick!”
“Oke, oke.” Ucap Nick cepat.
“Ini bukan permainan yang berbahaya. Hanya satu tes kecil untuk membuktikan
bahwa dia memang pantas menjadi salah satu dari kita. Dan…, membuktikan bahwa
dia bukan seorang penakut…, mungkin seperti itu.”
“Bukan sesuatu yang
berbahaya, ‘kan?” ucap Alex. “Tahun lalu aku diminta untuk mengambil tropi di
ruang guru diam-diam. Hal seperti itu yang tidak kuinginkan. Kau bisa membuat
anak itu jatuh dalam masalah besar.”
“Bukan seperti itu.” Bantah
Nick. “Kita lebih baik daripada para senior keparat itu. Tidak. Bukan seperti
itu. Dan tidak akan ada masalah untuk hal ini.”
“Jadi?” ucap Alex.
“Katakan!”
Nick melirik ke arah Jonas
sebelum memulai penjelasannya. Dari cara Nick berbisik pada Jonas, Alex tahu
bahwa apa yang mereka rencanakan mungkin tidak akan ia sukai.
“APA?!” sentak Alex kaget
setelah mendengar rencana itu. Kedua matanya membalak ke arah kedua temannya,
sedikit tidak percaya.
“Katakan aku salah
mendengarnya!”
“Tenang, Alex! Ini normal.”
“Normal?!”
Nick baru saja mengatakan
padanya bahwa ia akan meminta Eric untuk menghabiskan malam di sebuah rumah
kosong yang ada di ujung jalan. Alex tahu bahwa rumah itu kosong, dan mungkin
tidak akan ada apapun yang terjadi, atau bahkan mencelakakan Eric. Namun Alex
merasa bahwa hal seperti itu keterlaluan.
“Tidak, Nick. Jangan lakukan
itu!”
“Kenapa?” balas Nick. “Hanya
rumah kosong, Alex. Tidak ada hal berbahaya. Hanya semalam. Dan dia setuju.”
“Apa?!, kau sudah meminta
anak itu untuk…”
“Ya.” Jawab Jonas. “Dia
benar-benar ingin menjadi teman kita. Dan dia akan melakukannya.”
Alex hanya dapat menggeleng
pelan. Rencana itu terdengar sedikit bodoh. Kenapa Nick dan Jonas tidak
memikirkan satu cara yang lebih rasional? Mereka meminta Eric untuk berdiam di
dalam rumah tua itu?
“Aku tidak tahu apakah ini
ide bagus atau bukan.” Ucap Alex. “Kau sudah dengar apa yang orang-orang
ucapkanmengenai rumah itu?”
“Mengenai rumah yang katanya
berhantu, yang katanya dulu menjadi tempat pembunuhan, dan ada orang gila yang
tinggal disana? Pfftt!! Itu hanya omong kosong, Alex. Kau tidak mempercayainya,
‘kan? Hanya rumah kosong. Kudengar pemiliknya sudah meninggal.”
“Kau yakin? Aku tidak terlalu
yakin.”
“Sudahlah!” ucap Jonas sambil
menepuk punggung Alex. “Kau diam saja, dan biarkan kami mengurus Eric. Dalam
dua hari, dia akan makan siang dengan kita.”
Rumah kosong yang akan
menjadi tempat inisiasi itu letaknya tak jauh dari rumah Alex. Dan ia sudah
sering berjalan lewat depan rumah tua itu. Sore itu, untuk sejenak ia hentikan
langkahnya, dan memandang ke arah sebuah rumah besar tua yang berada di balik
pahar tinggi. Rumah yang terbilang cukup mewah, namun kini usdah tertelan oleh
debu dan sarang laba-laba. Alex tidak tahu sudah berapa lama rumah itu
ditinggalkan. Dengan melihatnya saja, Alex sudah dapat merasakan seperti apa
keadaan di dalam sana.
Rencana itu pun akhirnya
diadakan hari Sabtu malam. Alex, Nick, dan Jonas sudah berdiri di seberang
jalan dari rumah tua itu saat jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam.
Keadaan yang dingin, ditambah dengan adanya bayangan rumah besar itu, membuat
Alex menggigil. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi.
“Itu dia.” Ucap Nick saat ia
dan kedua temannya melihat sesosok remaja bergerak ke arah mereka. Eric
terlihat masih sama dengan biasanya. Terlihat lemah, dan mudah untuk dijahili.
Mungkin anak itu sudah benar-benar ingin memiliki teman, dan rela untuk
melakukan hal mengerikan ini.
“Aku tidak yakin.” Ucap
Alex. “Bagaimana jika orang tuanya sampai tahu? Kita akan mendapat masalah.”
“Kami merubah sedikit
rencananya.” Ucap Jonas. “Kami tidak meminta anak itu untuk tinggal sampai
pagi.”
“Lalu?” tanya Alex.
Nick mengeluarkan sebuah
kamera dari dalam tas yang ia bawa. Ia menunjukkan kamera itu pada Alex.
“Kita hanya akan membuatnya
merekam isi dari rumah itu. Kau tahu? Membuatnya menjelajah.”
“Hanya itu?” tanya Alex.
“Tidak lebih.”
“Ya.”
Wajah Eric terlihat pucat
saat ia sudah berada bersama ketiga kakak kelasnya itu. Sesekali, ia melirik ke
arah rumah kosong itu. Terlihat jelas ketakutan di wajah anak itu.
“Eric, kau siap?”
“Ya.” Jawab Eric ragu.
“Ehm…, peraturannya masih sama, ‘kan?”
“Ya.” Jawab Jonas. “Kau
masuk kesana, rekam semua ruangan, dan…, itu saja. Kau yakin kau bisa
melakukannya?”
“Ya. Tentu.” Jawab Eric.
Jawabannya terdengar cepat. Namun Alex tahu bahwa ada keraguan besar di dalam
dada anak itu.
“Eric, ini tidak main-main.”
Ucap Alex. “Kau yakin kau mau melakukannya? Maksudku…, tidak perlu melakukan
hal ini dan kau sudah…”
“Alex!” potong Nick sambil
memberikannya tatapan tajam.
“Ya. Aku yakin.” Jawab Eric
seraya meraih kamera yang diulurkan oleh Nick. “Tidak akan ada apa-apa. ‘Kan?”
“Teriak saja!” ucap Alex.
“Kami akan berlari kesana.”
Ketiga remaja itu hanya
dapat berdiri sambil memandang kepergian Eric. Dan dalam sekejap, tubuh Eric
telah tertelan oleh kelamnya malam. Harus Alex akui, Eric memang mempunyai
nyali. Ia sendiri tidak tahu apakah ia sanggup melakukan hal itu seorang diri.
Detik berlalu menjadi menit.
Dan sudah ada tiga puluh menit sejak Eric pergi. Ketiga remaja itu kini mulai
was-was. Mereka mulai membayangkan hal yang tidak-tidak dalam kepala mereka.
“Ehm…, dia seharusnya sudah
kembali.” Ucap Jonas. “Mungkin kita harus…”
“Sebentar lagi.” Potong
Nick. “Tunggu sebentar lagi.”
Mereka kembali menunggu.
Hingga lima menit kemudian, ada sosok yang muncul dari antara semak-semak di
pagar. Dan mereka melihat anak itu muncul dalam cahaya perak sinar bulan.
Wajahnya masih terlihat pucat seperti tadi. Namun juga terlihat adanya rasa
lega dalam sorot matanya. Perlahan, ia serahkan kamera yang ia bawa pada Nick.
“Lihat, ‘kan?” ucap Nick.
“Tidak ada yang terjadi. Kalian terlalu banyak berimajinasi.”
“Kau tidak apa-apa?” tanya
Alex. “Kau penuh sarang laba-laba.”
“Oke.” Ucap Jonas. “Sekarang
kita pulang.”
**
“Harus kita akui, bahwa dia
memang punya nyali.” Ucap Jonas keesokan harinya di kantin sekolah. “Maksudku…,
siapa yang berani masuk ke dalam rumah itu sendirian, tengah malam?”
“Aku bisa melakukannya.”
Ucap Nick dengan sikap congkaknya. “Tidak ada yang namanya hantu, atau hal-hal
supranaturan seperti itu. Hanya rumah kosong, yang sudha ditinggal penunggunya.
Aku malah lebih takut pada debu yang ada di dalam sana.”
“Aku belum melihat Eric
sejak kemarin malam.” Ucap Alex. “Apa dia tidak masuk? Mungkin apa yang ia
lakukan semalam…”
“Aku yakin dia tidak
apa-apa.” Ucap Nick. “Percaya padaku!”
Nick terlihat sibuk
mengamati kamera yang ada di depannya. Ia memutar kembali rekaman Eric semalam,
dan mengamati isinya dengan jelas. Satu hal yang ia ketahui dari rumah itu,
yaitu keadaan yang berantakan di dalam sana.
“Itu saja.” Ucap Nick
sedetik kemudian seraya menutup kameranya dan bangkit berdiri. “Aku ada urusan
sebentar.”
“Kau kembali?”
“Mungkin tidak.” Jawab Nick.
“Kita ketemu sepulang sekolah, oke?”
Alex dan Jonas tidak tahu
apa yang terjadi dengan Nick. Tidak biasanya anak itu pergi meninggalkan mereka
berdua.
“Kau sudah melihat rekaman
itu tadi?” tanya Alex. “Mengerikan, bukan? Keadaan di dalam rumah itu, dan
keadaan gelapnya…”
“Ya.” Balas Jonas. “Kurasa
kita memang harus memberikan tepuk tangan pada anak itu. Eric. Dia pantas
menjadi salah satu dari kita.”
Tingkah aneh Nick rupanya
tidak hanya terjadi untuk hari itu. Dalam beberapa hari berikutnya, Nick tetap
menunjukkan sikap anehnya itu pada Alex dan Jonas. Ia sudah jarang mampir ke
kantin, dan selalu menyendiri. Entah apa yang terjadi. Alex dan Jonas sudah
mencoba untuk menanyakan masalah itu pada Nick, tapi Nick hanya menggeleng
sambil berkata,
“Tidak ada yang perlu kalian
khawatirkan.”
Alex dan Jonas tidak
habis-habisnya membahas mengenai tingkah aneh anak itu. Mereka ingat, bahwa
Nick mulai bertingkah aneh sejak malam inisiasi itu. Dan beberapa hari sudah
lewat, namun keanehan Nick semakin bertambah.
Eric kini sudah menjadi
salah satu dari kawan Alex. Siang itu, Eric makan bersama dengan Alex dan Jonas
untuk yang pertama kali. Dia masih terlihat begitu canggung. Namun sikap Alex
dan Jonas yang ramah dan terbuka membuat anak itu mulai dapat menunjukkan
dirinya yang asli.
“Aku ingin menanyakan satu
hal padamu.” Ucap Alex. Ia mengarahkan padandangan matanya pada Eric.
“Malam itu…” lanjut Alex.
“Saat kau ada di dalam rumah kosong itu, apa yang kau rasakan? Apa yang hadir
di dalam kepalamu, dan apa yang kau rasakan dalam hatimu? Kau tidak takut masuk
sendirian? Kuakui, kau memang punya nyali.”
“Aku takut.” Jawab Eric.
“Siapa yang tidak takut masuk ke dalam rumah seperti itu seorang diri? Tapi aku
harus melakukannya. Dan aku senang sudah melakukannya. Kini aku menajdi salah
satu dari kalian.”
“Ya. Kau benar.” Ucap Jonas.
“Apa yang kau lihat?”
“Tidak ada.” Jawab Eric
ringan. Jawaban itu membuat Alex dan Jonas mengernyit.
“Rumah itu kosong, berdebu,
dan tidak ada banyak perabot di dalam rumah itu. Mengerikan memang. Dan aku
seperti…”
“Seperti apa?” sahut Alex
cepat.
“Entahlah.” Lanjut Eric.
“Seperti ada seseorang yang mengawasiku di dalam rumah tua itu. Aku tidak tahu
kenapa. Dari lantai dua…”
“Ada apa di lantai dua?”
tanya Jonas cepat. “Tunggu dulu! Di rekamanmu, kau tidak naik ke lantai dua.”
“Ya.” Jawab Eric. “Ada
sesuatu disana, Jonas. Aku bisa merasakannya. Sesuatu yang…, entahlah.”
“Kau yakin dengan apa yang
kau rasakan, Eric?” tanya Alex. “Kau tidak mengada-ada, ‘kan?”
Eric terdiam untuk sesaat
dan terus memakan roti lapisnya. Namun detik berikutnya, ia memandang serius ke
arah Alex dan Jonas.
“Kalian tahu kenapa aku
pindah sekolah?”
Alex dan Jonas menggeleng
secara bersamaan. Keduanya saling melempar pandang, mengernyit, dan benar-benar
bingung.
“Murid-murid lain berkata
bahwa aku aneh.” Ucap Eric. “Mereka mengatakan bahwa aku aneh, dan tidak biasa.
Mereka menjauhiku.”
“Apa maksud dari
perkataan itu?” tanya Alex. “Apanya yang
aneh?”
“Aku. Diriku.” Jawab Eric.
Namun jawaban itu sama sekali tidak memberikan pencerahan pada apa yang tengah
ia bicarakan.
“Aku memiliki indera
keenam.” Ucap Eric sedetik kemudian. Yang membuat Alex dan Jonas nyaris
berjingkat dari kursi yang mereka duduki. Dan Eric menangkap keterkejutan dua
teman barunya itu.
“Ya. Kau tidak salah
dengar.”
“Benarkah?” tanya Jonas
sambil melepas satu tawa kecil. Namun detik berikutnya ia tahu bahwa ia tidak
seharusnya tertawa.
“Aku bisa membaca masa
depan. Aku tahu apa yang akan terjadi. Dan hal itu sudah terbukti di kotaku
yang lama. Di tempatku dulu sekolah. Mereka mulai menjauhiku, karena mengira
aku adalah pembawa sial.”
Alex dan Jonas menggelengkan
kepala mereka. Penjelasan itu terdengar sama sekali tidak masuk akal, dan
mereka masih belum benar-benar mengerti.
“Apa hubungannya dengan
Nick?”
“Aku melihat dalam mimpiku.”
Ucap anak itu. “Malam sebelum malam inisiasi itu, aku melihat Nick akan membuat
satu tindakan yang mungkin akan menjadi akhir dari hidupnya.”
“Apa?!”
“Aku tidak tahu bagaimana.”
Lanjut Eric. “Tapi kurasa ada kaitannya dengan rumah itu. Aku melihat rumah itu
dalam mimpiku, dan juga Nick.”
Apakah Alex dan Jonas dapat
mempercayai semua perkataan Eric? Memang terdengar seperti omong kosong. Lalu
bagaimana mereka menjelaskan mengenai keanehan tingkah Nick? Mereka pulang dari
sekolah hari itu tanpa mendapatkan satupun jawaban.
Alex berbaring diaas tempat
tidurnya, menerawang ke arah langit-langit sambil terus memikirkan apa yang
Eric ucapkan tadi. Entah kenapa, ia merasa sedikit ngeri. Apakah memang ada
hubungannya dengan Nick?
Alex dan Jonas dikagetkan
dengan satu kejadian yang terjadi keesokan harinya. Nick tidak masuk sekolah,
dan orang tuanya mengatakan bahwa Nick sudah dua hari menghilang. Keadaan ini
tentu membuat panik siapapun yang mengenai Nick. Termasuk Alex dan Jonas.
“Eric.” Ucap Jonas sambil
bergerak cepat di koridor. “Aku mulai memikirkan apa yang anak itu ucapkan.”
“Mengenai rumah itu…” balas
Alex. “Kau pikir Nick masuk ke dalam urmah itu? Untuk apa?”
Jawaban atas hal itu mereka
dapatkan beberapa saat kemudian saat keduanya bertemu kembali dengan Eric
sepulang sekolah.
“Dia tidak mengatakannya
pada kalian?” ucap Eric. Alex dan Jonas lagi-lagi dibuat kebingungan.
“Apa yang dia katakan?”
tanya Alex.
“Dia berpendapat bahwa ada
suatu hal besar yang harus ia ungkap dari urmah kosong itu.”
“Apa maksudnya?”
“Aku tidak tahu.” Jawab
Eric. “Beberapa hari yang lalu ia mengatakan hal itu padaku. Ia mengatakan,
bahwa ia ingin membuktikan sesuatu. Sesuatu yang besar…, yang berkaitan dengan
rumah itu. Oh! Dan dia juga terus memandangi kameranya itu.”
Alex dan Jonas memiliki
pendapat yang sama. Mungkin jawabannya ada dalam kamera milik Nick itu.
Keduanya beruntung saat mereka datang ke kediaman Nick, dan menemukan kenyataan
bahwa Nick tidak membawa kameranya. Ketiga remaja itu langsung berkumpul sambil
melihat kembali video rekaman malam inisiasi itu. Namun mereka sama sekali
tidak mendapatkan petunjuk.
“Sial! Aku tidak mengerti.”
“Pasti ada di dalam rekaman
ini.” Ucap Alex. “Ia memutar video itu berkali-kali, dan mencoba untuk
menemukan satu hal yang mungkin dapat dikatakan aneh.
“Apa yang ia pikirkan?”
“Dia menanyakan satu hal
aneh padaku.” Ucap Eric. “Dia bertanya, apakah rumah itu benar-benar kosong?”
“Itu yang ia tanyakan?” ucap
Jonas. Ia memandang ke arah Alex.
“Itu berarti…” ucap Alex.
“Ada satu hal atau bagian di dalam video ini yang membuatnya yakin bahwa rumah
itu dihuni oleh seseorang. Dan dia pergi, ingin membuktikan akan hal…, tunggu
dulu!”
Ketiga remaja itu dengan
cepat memandang ke arah vido yang ada di kamera itu. Alex kemudian menekan
tombol pause tepat pada satu bagian yang menurutnya sedikit aneh.
“Lihat!” ucap Alex. “Kalian
melihat pantulan dalam cermin ini? Tidak begitu jelas, tapi lihat cahaya yang
terpantul itu!”
“Cahaya…, lilin? Tidak
mungkin!”
“Ini yang membuat Nick yakin
bahwa…”
“Oh, sialan!” umpat Jonas
panik. “Rumah itu memang benar-benar dihuni oleh seseorang. Dan Nick…”
“Dia pergi ke rumah itu
seorang diri.”
Kepanikan mulai melanda
ketiga remaja itu. Ketiganya lalu menjelaskan segalanya pada kedua orang tua
Nick, dan meminta mereka untuk segera menghubungi polisi. Lalu, apa yang akan
ketiga remaja itu lakukan?
Memang terdengar sedikit
gila dan nekat, saat ketiga remaja itu berusaha untuk mendatangi urmah kosong
sore itu. Apa yang mereka pikirkan? Tidak. Mereka bahkan tidak dapat berpikir
hal lain selain keselamatan Nick.
Ketiganya berhenti saat tiba
di depan rumah besar itu. Cahaya sore mulai menghilang, dan kengerian dari
tempat itu mulai terasa dengan begitu jelas. Pohon besar yang ada di depan
rumah itu menciptakan satu bayang-bayang yang cukup menantang.
“Kau yakin dengan ini?”
tanya Jonas. “Kita bisa menunggu polisi, atau…”
“Tidak ada waktu.” Potong
Alex. “Nick butuh bantuan kita.”
Ketiganya tidak dapat
berunding lebih lama, karena mereka tahu bahwa nyawa Nick mungkin ada dalam
bahaya. Dengan langkah perlahan, ketiganya mulai masuk ke dalam halaman rumah
besar itu melalui celah di pagar.
Sampah dan dedaunan kering
sudah memenuhi halaman rumah tua itu. Alex baru merasakan kengerian yang
sesungguhnya saat ia sudah berada cukup dekat dengan dinding rumah tua itu.
Beberapa jendelanya terlihat dipalang dari dalam, dan penuh dengan debu.
“Darimana kau masuk saat itu
Eric?” tanya Alex.
“Pintu belakang.” Jawab
Eric. “Saat itu tidak dikunci.”
Ketiganya mengendap hingga
sampai di halaman belakang. Keadaan di bagian belakang rumah itu terlihat sama
saja dengan bagian lain halaman. Terlihat kotor, penuh dengan sampah dan rumput
setinggi lutut. Ketiganya segera mengarah pada sebuah pintu bercat putih yang
terlihat sedikit terbuka. Alex memegang handel pintu itu, dan menahan nafasnya.
Apa yang akan ia temukan di dalam rumah besar itu?
Debu dan udara yang lembab
segera memenuhi paru-paru ketiga remaja itu saat mereka bergerak masuk. Mereka
berada di dapur yang kotor dan tak terawat. Seperti dugaan mereka, debu telah
memenuhi segala tempat. Wallpaper di dinding terlihat sudah kacau, terkelupas
dan tidak layak. Barang-barang lain terlihat dibiarkan begitu saja. Alex masih
dapat melihat adanya cangkir-cangkir kosong di meja makan, yang mungkin sudah
ditinggalkan selama bertahun-tahun.
Alex menyadari bahwa memang
ada seseorang di dalam rumah itu, saat ia melihat adanya bekas kaki di lantai
yang berdebu. Bekas kaki tanpa sepatu, yang mengisyaratkan kembali bahwa
keadaan saat itu cukup berbahaya. Mungkin mereka akan menemukan orang yng cukup
berbahaya.
Apa yang Nick pikirkan? Hal
itu yang masih menjadi pertanyaan di dalam kepala Alex. Jika Nick menyadari
bahwa ada orang yang tinggal di dalam rumah itu, kenapa ia tidak
membicarakannya? Kenapa dia menyimpan sendiri hal itu, dan memutuskan untuk
mengunjungi rumah ini seorang diri?
“Rumah ini mengerikan.” Ucap
Jonas saat ketiganya tiba di ruang tengah. Mereka menghadapi satu tangga besar
yang mengarah ke lantai dua. Dan lagi-lagi, mereka dapat melihat jejak kaki di
lantai.
“Ini mungkin berbahaya.”
Ucap Jonas. “Alex…”
“Ssstt!!”
Ketiganya terdiam saat
terdengar pintu belakang tertutup. Dan mereka mendengar langkah kaki. Ada orang
yang masuk. Alex dan kedua temannya segera bergerak pergi, dan bersembunyi di
salah satu ruangan. Dari sana, mereka mengawasi bagian depan tangga. Dan
beberapa detik kemudian, munculah sosok tinggi besar yang tidak begitu jelas
terlihat karena keadaan yang gelap. Namun dugaan mereka benar, bahwa memang ada
orang yang tinggal di rumah kosong itu. Siapa orang itu?
“Alex, apa yang akan kita
lakukan?” tanya Jonas. “Orang itu…”
“Kita cari Nick.” Ucap Alex.
“Dan segera pergi dari tempat ini.”
Namun mereka tidak tahu
harus darimana memulai. Dengan adanya orang lain di rumah itu, pergerakan
mereka sedikit terbatas. Mereka harus bergerak perlahan, dan mencoba untuk
tidak membuat suara. Mereka mulai memeriksa setiap ruangan yang ada di lantai
satu. Namun mereka tidak melihat adanya tanda-tanda keberadaan Nick.
“Oh sial!” Jonas secara
tidak sengaja menyenggol sebuah vas dan menjatuhkannya. Suara keras saat vas
itu pecah membuat ketiganya kalang kabut. Dan sedetik kemudian, mereka
mendengar suara langkah kaki dari lantai dua. Mereka ketahuan.
“LARI!!” teriak Jonas tanpa
berkompromi dengan temannya. Keadaannya sedikit kalang kabut. Jonas berlari
pergi bersama dengan Eric. Namun Alex sudah terlambat untuk menyusul keduanya.
Saat langkah kaki itu mulai bergerak mendekat, Alex kembali masuk ke dalam satu
ruangan kosong dan bersembunyi di sana dengan jantung berdetak kencang.
Dari celah pintu ia dapat
melihat sosok tinggi besar itu. Sosok itu membelakanginya. Pakaian yang orang
itu kenakan sudah lusuh dan penuh lubang, seperti seorang gelandangan. Yang
membuat Alex bergidik adalah benda yang dipegang oleh orang itu. Terlihat
seperti sebuah pedang kecil. Dan satu cahaya yang menyorot benda itu membuat
Alex yakin bahwa yang ia lihat adalah bekas darah.
Alex mendengar pria itu
menggerutu. Langkahnya pelan, bergerak lagi, mulai memeriksa setiap ruangan
yang ada di lantai satu. Tinggal menunggu waktu hingga pria itu masuk ke dalam
ruangan yang Alex tempati. Dan Alex benar-benar berada dalam kesulitan.
Jantung Alex semakin
berdegup kencang saat pria itu tiba di depan ruangan yang ia tempati. Alex
dapat mendengar dengan jelas desahan nafas berat pria itu. Dan tiba-tiba saja…
“PRANG!! KLONTANG!!”
Terdengar satu suara gaduh
dari arah dapur, yang membatalkan usaha pria itu untuk masuk ke dalam ruangan
yang Alex tempati. Dan sedetik kemudian, pria itu bergerak pergi untuk
memeriksa suara itu.
Ini adalah kesempatan untuk
Alex. Alex segera melesat dari ruangan itu, dan mengarah ke lantai dua. Apa
yang ia pikirkan? Kenapa ia tidak segera pergi dari tempat itu?
Ia ingin melakukannya. Namun
satu-satunya jalan adalah pintu belakang? Dan pria itu masih ada disana. dan
Alex belum mau pergi sebelum ia tahu apa yang terjadi dengan temannya?
Alex melihat ada cahaya
jingga dari sebuah ruangan di ujung koridor lantai dua. Kaki Alex bergerak
dengan sendirinya, mengarah ke dalam ruangan itu. Ketika ia membuka pintunya,
ia menemukan satu keadaan yang benar-benar tidak ia harapkan. Aroma busuk dan
anyir bercampur menjadi satu di ruangan yang terlihat merah dipenuhi dengan
darah itu. Bangkai-bangkai hewan terlihat tergantung dari langit-langit, dengan
isi perut mereka berceceran di lantai. Namun yang benar-benar membuat Alex
nyaris berteriak adalah satu sosok yang ada di atas meja.
Tubuh Nick terlihat terkulai
tak berdaya, dengan kedua kaki dan lengan tergantung di sisi meja. Ada yang
tidak normal dari pemandangan itu. Ya. Kepala Nick sudah terpisah dari
tubuhnya.
Alex tidak dapat menahan
dirinya untuk tidak memekik ketakutan. Pemandangan di dalam ruangan yang remang
oleh cahaya lilin itu benar-benar tidak dapat ia percaya. Darah dan segalanya
menjadikan ruangan itu seperti sebuah ruangan dari neraka.
Alex belum dapat terlepas
dari keterkejutannya saat ia dengar suara langkah kaki cepat bergerak menuju
ruangan itu. Tidak ada waktu bagi Alex untuk bersembunyi lagi. Detik berikutnya,
sosok itu bergerak masuk dengan sorot mata dingin yang tajam menatapnya.
Pria itu memiliki rambut
panjang kumal yang tergerai hingga pundaknya. Penampilannya begitu kotor, penuh
dengan noda darah dan tanah. Wajahnya memiliki karakteristik keras, kejam, dan
beanr-benar dapat membuat siapa saja berteriak ketakutan. Pria itu menatap Alex
dengan tatapan penuh ambisi untuk membunuh. Di tangan pria itu, terdapat
sebilah pedang pendek, yang segera ia ayunkan ke arah Alex disertai dengan satu
teriaka keras.
Alex tidak tahu bagaimana ia
bisa menghindar tepat waktu. Ia merunduk, dan menyadari bahwa ia sudah tidak
aman lagi di dalam ruangan itu. Satu insting yang hadir di dirinya adalah
segera keluar. Dengan langkah kaki cepat, Alex berlari menjauhi ruangan
kematian itu.
“KEMBALI TIKUS KECIL!!”
teriak pria itu.
Alex dipenuhi dengan rasa
ketakutan. Setelah menilaht jenasah Nick, ingin rasanya ia berteriak, mungkin
menangis. Dan ia tidak dapat berpikir dengan jernih lagi. Ia dapat merasakan
aura jahat dari pria itu bergerak di belakangnya. Jika ia sampai tertangkap,
mungkin ia akan berakhir seperti Nick.
Alex melangkah cepat,
memutar tubuhnya dan mengarah ke tangga besar. namun dengan pikiran dan
perasaan yang kacau, otot-otot di kakinya tidak bekerja sesuai dengan apa yang
ia inginkan. Tiba-tiba saja, ia tersandung oleh kakinya sendiri, terjatuh,
berguling menuruni tangga dengan rasa sakit menusuk setiap inci dari tubuhnya.
Ketika ia tebaring di kaki tangga, yang dapat ia lihat hanyalah pemandangan
yang kabur dan tidak jelas. Kedua matanya buram seketika. Namun ia masih dapat
melihat sosok itu bergerak ke arahnya, dengan belati diangkat tinggi. Jantung
Alex melompat, dan ini menjadi akhir dari apa yang ia sadari. Tanpa dapat ia
kontrol, ia berteriak saat belati itu menyun ke arahnya.
**
“Alex!”
Alex mendengar suara itu
dengan samar. Apa ia sudah mati? Tidak. Ia masih dapat meraskan hembusan angin
dingin di wajahnya. Tapi…
Perlahan Alex membuka
matanya, dan menemukan dirinya telah tebaring di halaman rumah besar itu. Jonas
dan Eric menaunginya dengan raut wajah khawatir.
“Oh, syukurlah!” ucap Jonas
seraya membantu Alex duduk. Alex masih belum mengerti dengan apa yang
sebenarnya terjadi. Kepalanya terasa sakit, begitu juga dengan setiap inci
tubuhnya. Ya. Kemudian ia ingat bahwa ia jatuh dari tangga. Dan pria itu…
“Kami datang tepat waktu.” Ucap
Jonas. “Satu menit terlambat, mungkin kau sudah tercabik-cabik.”
“Kalian yang
menyelamatkanku?” tanya Alex. “Bagaimana?”
“Dengan batu bata.” Sahut Eric.
“Aku melepar batu bata ke arah pria itu, dan… BUM!! Pria itu terjatuh. Pingsan.”
Alex menghela nafasnya. Ia merasa
lega dengan keadaannya saat ini, tapi…, ia masih teringat dengan apa yang
terjadi dengan Nick. Mungkin waktunya tidak tepat. Namun ia harus segera
memberitahukan kabar tidak menyenangkan itu pada kedua temannya.
“Nick…, dia…”
“Kami tahu.” Ucap Jonas. “Tidak
ada yang bisa kita lakukan.”
Suara raungan sirne polisi
memenuhi area di sekitar rumah kosong itu. Dan terdapat kerumunan yang
penasaran dengan apa yang terjadi. Alex melihat beberapa anggota polisi
bergerak keluar masuk rumah tua itu. Pertanyaannya, apa yang terjadi dengan
pria itu?
Sore itu menjadi sore yang
panjang bagi ketiga remaja itu. Mereka masih harus pergi ke kantor polisi untuk
menjelaskan semua yang terjadi. Mengenai inisiasi malam itu, dan Nick yang
bergerak kesana seorang diri. Mereka masih belum mengetahui motif Nick
mendatangi rumah itu seorang diri. Seolah Nick ingin membuktikan sesuatu pada
teman-temannya. Sayangnya, ia tidak hidup untuk menceritakan apa yang ia
temukan.
Ketiga remaja itu akhirnya
tahu kisah sebenarnya dari pria yang tinggal di rumah itu. Dia adalah seorang squatter, seseorang yang tinggal di
banguan kosong. Dari cerita yang mereka dengar, pria itu adalah seorang buronan
kepolisian atas kasus yang terjadi setahun yang lalu di kota sebelah. Dan pria
itu, mungkin menggunakan rumah tua itu untuk bersembunyi. Selama masa
persembunyiannya, ia memakan banyak hewan yang dapat ia tangkap. Hal itu
menjelaskan kenapa ada banyak hewan domestik yang hilang dari kawasan itu.
Nick sepertinya datang di
saat yang tidak tepat. Pria itu membunuhnya. Sengaja, atau tidak sengaja? Siapa
yang tahu. Pria itu mungkin akan dicap sebagai seorang psikopat yang gila. Hal itu
terlihat jelas dengan apa yang telah ia lakukan di dalam ruangan merah penuh
darah itu.
Alex, Jonas, dan Eric tidak
akan pernah tahu apa yang akan polisi lakukan pada orang itu. Yang jelas, itu
bukan urusan mereka. Lalu…, apakah ada satu hal yang dapat mereka pelajari dari
kasus ini?
“Jangan pernah bertindak
nekat.” Ucap Jonas. “Eric beruntung malam itu ia tidak bertemu dengan pria gila
itu.”
“Aku benci dengan rumah
kosong.” Ucap Alex. “Aku tidak mau pulang lewat jalan depan rumah itu lagi.”
Mereka kehilangan Nick. Dan hal
itu adalah satu hal yang sangat sulit untuk diterima. Namun, kekosongan Nick
akan terisi, oleh Eric, yang sepertinya sudah cukup membuktikan bahwa ia bisa
menjadi teman yang baik. Mereka akan berteman. Namun bukan berarti mereka
melupakan Nick begitu saja. Nick tetap hidup dalam ingatan ketiganya.
Langit berubah gelap, saat
matahari sepenuhnya tenggelam di ufuk barat. Kota itu kembali diselimuti dengan
kegelapan dan hawa yang tidak menyenangkan. Adakah misteri lain di luar sana? Apakah
Alex dan kedua kawannya akan melakukan investigasi lagi?
“Mungkin tidak dalam waktu
dekat.” Ucap Alex menutup pembicaraan.
****
No comments:
Post a Comment