Thursday, March 30, 2017

MIMPI TERBURUK DELSIN



Delsin adalah seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun yang dalam kenyataannya sedikit berbeda dengan anak-anak seusianya. Ia masih merasa takut untuk tidur sendiri. Sebuah masalah yang sedikit memalukan sebenarnya, mengingat ia sudah mulai beranjak dewasa. Ia selalu merasakan sebuah kekhawatiran yang berlebih setiap kali ia ingin pergi tidur. Dan salah satu hal unik lainnya adalah, ia selalu dibantu oleh ibunya untuk pergi tidur. Seperti malam itu, Delsin naik ke atas tempat tidurnya yang hangat. Ibunya membantu Delsin masuk ke dalam selimut, sambil menepuk pelan sisi tubuh bocah kecil itu.
“Ibu!” ucap Delsin ketika ibunya akan bergerak keluar dari ruangan. Ibunya berputar, dengan wajah yang sedikit jengkel, ibunya itu sudah hafal dengan apa yang Delsin khawatirkan setiap malam.
“Tidak ada apa-apa, sayang.” Ucap ibunya. “apa yang kau khawatirkan? Tidak ada yang terjadi setia malamnya ‘kan? Kau berpikiran terlalu jauh, sayang.”
“Tapi,” sahut Delsin. “Di bawah tempat tidur, dan di kloset. Aku sering mendengar suara-suara aneh. Aku takut, ibu. Aku taku jika ada…”
“Jika apa?” sahut ibunya. “Kau takut dengan monster di bawah tempat tidurmu atau di kloset? Sudah berapa kali ibu katakan padamu, Delsin? Kau sudah besar. kau seharusnya sudah bisa menghilangkan segala ketakutanmu soal bawah tempat tidur dan kloset itu.”
“Ya, tapi…”
“Mungkin karena kau selalu membaca buku itu.” Ucap ibunya cepat. “Berhenti membaca buku itu jika kau tidak ingin merasa takut setiap malamnya!”
Delsin tidak mengucapkan apa-apa lagi. Percuma saja ia meminta ibunya untuk menemaninya tidur. Ibunya tidak akan pernah melakukannya lagi. Ibunya itu kini lebih fokus pada Lydia, adik Delsin yang baru berusia tiga tahun. Delsin merasa bahwa kini hubungannya dengan ibu dan anggota keluarganya yang lain semakin renggang.
Delsin masih tidak mengerti soal rasa takut yang ia rasakan setiap malamnya. Ia selalu takut dengan apa yang akan terjadi saat ia tertidur lelap. Bagaimana jika ada yang mengawasinya ketika ia tidur? Suara-suara aneh di kloset dan bawah tempat tidurnya itu semakin membuat keadaan kacau. Mungkin karena buku itu?
Delsin memang memiliki hobi membaca buku. Anehnya, meski ia adalah anak yang mudah takut, ia lebih sering membaca buku-buku horor. Aneh, namun emamng itu kenyataannya. Mungkin perasaan takut yang ia rasakan selama ini memang hanya ada di pikirannya, seperti kata ibunya.
“Tenang, Delsin!” ucap Delsin pada dirinya sendiri seraya menarik selimut hingga menutupi janggutnya. “Tidak akan ada apa-apa malam ini. Semua itu hanya khayalan saja.”
Itulah yang Delsin pikirkan. Paling tidak, hingga ia bisa tertidur lelap. Namun beberapa jam kemudian, Delsin berjingkat dari tempat tidurnya saat ia mendengar suara aneh, lagi-lagi terdengar dari arah kloset yang berada di seberang ruangan. Sebuah kloset tua yang berisi pakaian dan mantel tua. Saat siang hari, Delsin sudah mencoba membuka kloset itu. Namun tidak ada aapun di dalam sana yang dapat menimbulkan bunyi aneh itu. Seperti bunyi derak kayu patah atau seamcam itu.
Jarum jam menunjukkan pukul dua malam ketika Deslin terbangun dari tidurnya. Ia berkeringat, dan dengan erat menggenggam ujung selimutnya, yang ia pikir dapat melindunginya dari apapun yang akan keluar dari kloset. Tapi…, setelah lima menit menunggu, suara itu tidak kembali. Delsin akhirnya memutuskan untuk tidur lagi.
Namun satu hal yang tak terduga terjadi beberapa saat kemudian. Delsin merasa ada yang menarik turun selimut dari tubuhnya. Dengan gerak spontan tanpa berpikir, Delsin menarik kembali selimutnya. Namun lagi-lagi selimutnya ditarik turun. Dan Delsin mulai merasa ada yang aneh. Ketika ia membuka matanya, ia melihat sesosok wanita tua duduk di kaki tempat tidurnya dengan mata menyala merah, dengan seringai jahat, menunjukkan sederet gigi kuning yang kotor. Deslin seketika menjerit.
“IBU!!!!”
Delsin meraskan ada yang menyentuh sisi tubuhnya. Seketika, ia berjingkat, membuka matanya, dan melihat ibunya sudah berdiri di sisi tempat tidurnya dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Delsin, kenapa kau berteriak seperti itu?”
“Disana!” ucap Delsin gugup. “Di kaki tempat tidurku, ada nenek tua, dengan mata merah…”
“Delsin, kau mengada-ada.”
“Tidak, ibu!” bantah Delsin. “Aku yakin…”
“Kau berteriak dalam tidur, sayang.” Ucap ibunya. “Kau hanya bermimpi.”
Benarkah begitu? Delsin merasa apa yang ia lihat terlihat begitu nyata. Ia tidak dapat membedakan antara mimpi dan kenyataan. Saat itu jarum jam sudah menunjukkan pukul lime pagi. Dan Delsin tidak bisa kembali tidur.
Karena gangguan yang ia rasakan setiap malam itu, Delsin jadi sedikit mengantuk di sekolah. Nilainya lama kelamaan menjadi sedikit buruk, dan mulai menarik perhatian dari ayah dan ibunya.
“Delsin, kau harus berhenti membaca buku itu!” ucap ayahnya saat makan malam. “Kau tidak bisa tidur tenang setiap malam. Dan lihat hasilnya! Kau mengantuk di sekolah, dan apa yang kau pelajari? Kau lupa segalanya?”
“Aku sudah tidak membaca buku itu lagi, ayah.” Balas Delsin. “Tapi suara-suara di kloset itu nyata. Dan nenek tua itu, yang mungkin tidur di bawah tempat tidur…”
“Oh, tidak itu lagi!” keluh ibunya. “Delsin, kau sudah sepuluh tahun. Sudah satnya kau menunjukkan bahwa kau seorang lelaki yang tangguh.”
Memang mudah mengatakannya, karena mereka tidak mengalami apa yang ia rasakan setiap malamnya. Malam itu, Delsin memutuskan untuk mengulang kembali pelajaran sekolah di dalam kamar. Ia duduk di lantai, sambil membaca buku biologi ketika sebua suara tiba-tiba terdengar lagi. Kali ini bukan dari kloset, namun dari bawah tempat tidurnya.
Jantung Delsin berdetak cepat. Apa? Apa yang mungkin ada di bawah tempat tidurnya? Insting Delsin adalah berlari keluar dari kamar itu. Tapi ia ingat kata-kata ibunya, bahwa ia harus menjadi lelaki yang jantan. Ya. Delsin mencoba menerapkan hal itu. Perlahan itu bergerak ke sisi tempat tidurnya, lalu dengan cepat menyingkap seprai yang menutupi bagian bawah tempat tidur. Tapi…
Kosong.
Ya. Kosong. Hanya ada setumpuk barang-barang tua berdebu yang ada di bawah tempat tidur itu. Delsin tertawa seketika. Menertawakan dirinya sendiri yang sudah berpikiran terlalu bodoh.
“Tidak ada apa-apa.”
Delsin tertawa, lalu duduk bersandar pada tempat tidurnya. Ya. Mungkin ia hanya ketakutan karena ia terlalu banyak membaca buku horor itu. Khayalannya menjadi kenyataan. Tidak ada yang perlu ditakuti. Tapi, salah satu tangan Delsin tiba-tiba saja menyentuh sesuatu yang dingin di lantai. Ketika ia melirik ke arah tangannya, ia memegang sebuah tangan keriput berwarna kelabu dengan kuku hitam panjang.
“IBU!!! AYAH!!”
Delsin seketika berlari keluar dari kamarnya, bergerak menuruni tangga lalu menghampiri keuda orang tuanya yang sedang asyik menonton tv. Ekspresi yang ditunjukkan oleh kedua orang tuanya sudah dapat ditebak. Mereka kesal dengan Delsin.
“Ada!” ucap Delsin tergesa. “Monster di bawah tempat tidurku. Nenek tua itu…”
“DELSIN!” bentak ibunya. “Hentikan omong kosongmu! Kau…”
“Kenapa kalian tidak percaya padaku?” ucap Delsin kesal. “Ini nyata ibu, ayah. Kenapa kalian…, aku tidak mau tidur di sana lagi!”
Ayah Delsin tiba-tiba saja bangkit dari sofa lalu bergerak ke arah tangga.
“Ayo kita lihat!” ajak ayahnya. Namun Delsin menggelengkan kepalanya.
“Tidak! Aku takut masuk kesana lagi.”
“Kau bersamaku. Tidak apa-apa. Ayo!”
Dengan perasaan berat, Delsin bergerak mengikuti langkah ayahnya naik tangga menuju lantai dua. Jantung Delsin berdetak semakin brutal saat ia hampir mencapai kamarnya, dimana tadi ia menemukan tangan dari nenek tua itu.
“Delsin, kemari!” ucap ayahnya dari dalam kamar. Saat itu Delsin belum berani untuk melangkah masuk ke dalam kamarnya sendiri.
Delsin mengintip dari pintu. Ayahnya terlihat berdiri di samping tempat tidurnya sambil mengamati sekitar. Ayahnya itu kemudian juga memeriksa kloset yang bermasalah itu.
“Delsin, masuk!”
Dengan langkah berat, Delsin mencoba memberanikan dirinya untuk masuk kembali ke dalam kamarnya. Ia sapukan pandangannya ke setiap sudut, berharap, tidak ada lagi tangan keriput ataupun sosok nenek tua dengan mata merah itu.
“Lihat, ‘kan?” ucap ayahnya sambil menunjuk pada kloset yang terbuka. “Tidak ada monster di dalamnya, Delsin. Kau hanya berkhayal, berhasulinasi karena ketakutanmu itu.”
“Tapi di bawah tempat tidur…”
Ayah Delsin bergerak lagi ke arah tempat tidur yang ada di tengah ruangan itu. Lalu dengan gerak gesit, tangan ayahnya menyingkap seprai yang menutupi bagian samping tempat tidur. Kini yang terlihat hanyalah ruang kosong yang berdebu. Tidak ada apapun di dalam sana.
“Lihat, ‘kan?” ucap Ayahnya lagi. “Tidak ada apa-apa.”
Delsin merasa bingung dengan keadaan itu. Apakah tadi ia memang hanya berhalusinasi soal tangan keriput itu? Tapi rasanya begitu nyata. Dan Delsin masih belum sepenuhnya yakin bahwa kamarnya itu aman untuk ditempati lagi.
“Aku tidak mau tidur disini malam ini.” Ucap Delsin. “Boleh aku tidak denganmu, ayah?”
“Oh, Delsin.” Desah ayahnya. “Kau sudah besar, nak. Sudah seharusnya kau memperkuat hatimu itu. Jadilah lelaki pemberani!”
“Tapi…”
“Aku yakin kau akan baik-baik saja.” Lanjut ayahnya cepat. “Jika perlu, kau boleh tidur dengan lampu menyala.”
Tidak ada lagi alasan yang dapat Delsin keluarkan untuk bisa tidak tidur di kamarnya malam itu. Terpaksa, memang ia ahrus tidur di kamarnya. Seperti biasa pula, ibunya mengantarkannya tidur sambil membantu Delsin masuk ke dalam selimut.
“Selamat malam, sayang!” ucap ibunya seraya memberikan kecupan hangat di dahi Delsin. Apakah hal itu membuat Delsin merasa lebih tenang? Jawabannya, tidak sama sekali. Delsin masih merasakan jantungnya berdegup dengan kencang.
“Jangan matikan lampunya!” ucap Delsin. Ibunya itu memberikan satu senyuman, sesaat sebelum keluar dari kamar.
Delsin tidak bisa tidur, tentu saja, setelah apa yang ia alami malam itu. Bagaimana jika monster atau nenek itu keluar lagi dari tempat persembunyiannya? Delsin sesekali melirik ke arah kloset yang tertutup. Ya. Tidak ada apa-apa. Dan yang ada di bawah tempat tidurnya hanya kardus-kardus bekas. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, ‘kan?
Delsin tertidur. Namun rasanya belum lama, saat ia sekali lagi dikagetkan oleh sebuah suara berderak yang datang dari salah satu tempat di dalam kamarnya itu. Pandangan matanya seketika mengarah pada kloset yang ada di seberang ruangan.
Delsin tidak berani untuk bergerak dari posisinya. Ia genggam erat-erat ujung selimutnya, dengan pandangan mata masih terarah pada kloset tua itu. Namun tiba-tiba saja…
KRAK!
Pintu kloset tiba-tiba saja terbuka lebar, tanpa ada penjelasan yang masuk akal soal hal itu. Delsin, yang duduk kaku diatas tempat tidurnya tidak dapat bergerak atau pun bersuara. Wajahnya memucat, dengan mata membelalak saat melihat sesosok makhluk bungkuk keluar dari dalam kloset itu, bergerak ke arahnya. Sesosok nenek tua dengan wajah keriput, rambut panjang, dan sepasang mata yang menyala merah. Sosok itu menyeringai lebar, sambil memandang lekat-lekat pada Delsin.
“Oh…, Delsin.” Ucap sosok itu dengan suara serak. “Anak baik. Bagaimana jika kita bermain bersama?”
Sososk itu tiba-tiba saja sudah berada di sisi tempat tidur delsin. Tangan keriput itu kemudian terangkat, mengarah ke wajah Delsin. Delsin membeku, tak dapat melakukan apapun. Dan kemudian…
“Kita akan bersenang-senang malam ini, Delsin.”
“TIDAK!!!!”

**

“Delsin! Delsin! DELSIN!!”
Delsin mendengar dengan jelas panggilan itu. Apakah ia sudah mati? Apakah nenek tua itu berhasil merenggut nyawanya? Ketika ia membuka kedua matanya, ia tidak berada di kamarnya. Melainkan, ia duduk di salah satu kursi di perpustakaan sekolahnya.
Apa?
Delsin menoleh ke samping, dan menemukan Tony, sahabatnya, terlihat begitu cemas.
“Apa yang terjadi?” tanya Delsin bingung. “Aku…”
“Kau tertidur.” Ucap Tony.
“Aku…, apa?”
Delsin melirik pada sebuah benda yang ada di tangannya. Sebuah buku misteri, tentang kutukan nenek bungkuk. Lambat laun, Delsin mulai sadar dengan keadaan sebenarnya.
“Berapa lama aku tertidur?” tanya Delsin seketika.
“Sepuluh menit, kurang lebih.”
Delsin menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi sambil menyeka dahinya yang berkeringat. Jadi semua itu hanyalah mimpi? Mimpi yang ditimbulkan setelah ia membaca buku horor itu?
Delsin menertawakan dirinya sendiri. Ya. Mana mungkin akan ada monster yang keluar dari klosetnya? Di jaman yang sudah maju seperti ini, hantu tidak ada, ‘kan?
Pikiran Delsin sudah lebih tenang. Malamnya, ia kembali diantarakan oleh ibunya untuk pergi tidur. Delsin melirik sekali lagi pada kloset di ujung kamarnya. Kloset biasa, dan tidak ada monster.
“Kau sering mengigau, sayang.”
“Mimpi buruk.” Jawab Delsin. “Hanya itu.”
“Selamat malam, sayang. Tidur yang nyenyak!”
Delsin kembali berada di dalam kamarnya. Mimpi yang ia dapatkan tadi sing benar-benar aneh. Ia merasa segalanya seperti benar-benar terjadi. Delsin tetap tidak dapat menjelaskan mimpinya itu.
“Hanya mimpi buruk.” Ucap Delsin sambil tersenyum senang. “Aku akan baik-baik saja.”
Ternyata harapan Delsin tidak seperti apa yang ia pikirkan. Sekitar pukul satu dini hari, ia dikagetkan lagi dengan suara berderak yang muncul dari dalam kloset di ujung ruangan. Delsin membuka matanya.
“Tidak mungkin.” Ucapnya dalam hati. “Semua itu hanya mimpi.”
Tapi, sedetik kemudian, pintu kloset itu secara perlahan terbuka. Dan sebuah lengan kurus keriput terlihat di bawah bayangan sinar lampu. Detik berikutnya, sosok nenek dengan mata merah itu muncul sambil menyeringai ke arah Delsin.
“Aku sudah menunggumu, Delsin.”

****

Thursday, March 16, 2017

FRAGMENT OF THE PAST



Josh tersentak bangun untuk yang kesekian kalianya malam itu. Wajahnya menegang, dengan mata membelalak dan keringat membasahi seluruh bagian wajahnya. Gangguan yang ia dapatkan di malam hari terus berlanjut. Sama seperti sebelum-sebelumnya, Josh selalu dikagetkan dengan sebuah suara keras yang berasal dari bagian lain rumah yang ia tempati.
Rumah itu adalah sebuah rumah baru yang Josh tempati belum lama. Baru sebulan berlalu sejak ia pindah ke rumah yang dijual murah itu. Dan gangguan yang ia dapatkan terjadi setiap malamnya. Ia selalu mendengar suara keras sekitar pukul dua dini hari. Sebuah suara yang mirip dengan sebuah suara hantaman pada permukaan kayu, atau sebuah suara tendangan pada furnitur. Kadang, ada suara benda pecah dari dalam rumah itu. Namun setiap kali ia memeriksa keadaan, tidak ada yang berubah. Tidak ada barang pecah atau semacamnya.
Josh awalnya hanya berpikir bahwa mungkin rumah itu membuat suara-suara aneh mengingat rumah yang ia tempati itu adalah sebuah rumah tua. Banyak yang berkata, bahwa rumah tua memang kadang sering membuat suara aneh. Namun Josh semakin penasaran dengan arah suara hantaman itu setiap malamnya. Seperti saat ini, ia terbaring diatas tempat tidurnya dengan kedua mata terbuka lebar. Jam digital yang ada di meja menunjukkan pukul dua dinihari. Jam yang selalu sama setiap malamnya.
“Sialan!”
Josh hanya dapat mengumpat pelan. Ia kemudian memutuskan untuk bangkit dari tempat tidurnya dan bergerak keluar dari kamar, mencoba untuk memeriksa suara yang baru saja ia dengar. Ia memeriksa dapur, ruang tamu, dan bahkan ruang bawah tanah. Namun tidak ada kejanggalan sama sekali. Hal yang terus berulang setiap malam itu membuat Josh sedikit khawatir. Bagaimana jika suara-suara yang muncul itu adalah suara dari pencuri yang beruaha masuk ke dalam rumahnya?
Josh terbilang cukup kebal dengan cerita-cerita aneh yang selalu ia dengarkan. Ia penyuka horor dan kisah misterius, namun ia sama sekali bukanlah tipe orang yang akan dengan mudahnya percaya dengan hal-hal berbau supranatural. Jika memungkinkan, ia akan mencari teori sebanyak mungkin jika ia dihadapkan dengan keadaan janggal. Seperti suara berisik di rumah barunya itu. Ia sudah mencoba berselancar di internet dan bertanya apda teman-temannya. Namun jawaban yang ia dapatkan selalu tidak memuaskan. Setiap orang selalu mengatakan bahwa rumah yang ia tempat itu berhantu.
“Yang benar saja!” ucap Josh ketika ia menceritakan apa yang ia dengar semalam pada salah satu temannya di tempat kerja.
“Rmah itu rumah tua. Dan seperti yang kau tahu, rumah tua sering membuat suara aneh setiap malamnya. Seperti saat jendela yang tidak bisa tertutup rapat, dan terhempas oleh angin, membuat suara ribut.”
“Tapi kau sudah memeriksa rumahmu itu dengan teliti, ‘kan?” balas temannya. “Apa kau melihat ada kejanggalan? Apa kau melihat ada jendela yang tidak bisa tertutup?”
Jujur, Josh akui, bahwa rumah yang ia tempati itu masih dalam keadaan cukup layak meskipun tergolong tua. Ia tidak menemukan satupun bagian rumah yang rusak atau semacamnya. Jendela-jendela dan pintunya masih dapat tertutup dengan baik. Lalu, apa yang membuat suara gaduh di setiap malam itu?
Josh sama sekali tidak menemukan jawaban atas misteri yang ia hadapi. Setiap kali ia berada di rumah, ia selalu mencari penyebab dari suara misterius yang ia dengarkan itu. Jika ia ingat-ingat, suaranya memang berasal dari lantai satu. Namun ia tidak menemukan adanya kejanggalan.
Tempat kedua yang ia periksa adalah ruang bawah tanah. Ia memang jarang pergi ke ruangan bawah tanah rumah itu, mengingat tidak ada apapun di dalam ruang bawah tanah itu selain sebuah mesin cuci bobrok yang tergeletak di sudut ruangan. Dinding dari ruang bawah tanah itu juga terlihat masih begitu kokoh, dan tidak ada kecacatan sama sekali. Lalu? Suara apa sebenarnya yang selalu ia dengarkan itu?
Malam itu pun Josh tersentak bangun lagi saat suara gaduh itu kembali terdengar. Josh mendecak kesal, merasa frustasi dengan segala kegaduhan yang terjadi di dalam rumahnya setiap malam. Dan setiap kali ia mendengar suara itu, ia selalu dengan cepat keluar dari kamar dan menuju ke sumber suara.
BRAK!
Josh mendengar dengan jelas suara itu saat ia keluar dari kamar. Satu tempat yang dapat ia pikirkan saat itu adalah ruang bawah tanah. Memang suaranya berasal dari sana. Tapi apa yang akan ia temukan?
Keadaan ruang bawah rumah itu di malam hari memang terlihat sedikit mencekam. Hanya ada satu bola lampu kuning yang berada di tengah-tengah ruangan, yang menjadi satu-satunya sumber cahaya. Josh mencoba menyapukan pandangan matanya pada sekeliling ruang bawah tanah itu, tapi lagi-lagi tidak menemukan apapun. Namun ketika ia akan kembali menaiki tangga, kedua matanya terpaku pada sebuah benda yang tergeletak di tengah ruangan. Sebuah benda kecil, yang awalnya tidak pernah ada di tempat itu.
Sebuah boneka tua yang terlihat sudah begitu usang.
Josh tidak tahu bagaimana mungkin benda itu bisa ada di dalam ruang bawah tanah yang awalnya bersih. Apakah benda itu memang sudah ada disana, dan Josh tidak pernah menyadarinya?
Josh merasakan tubuhnya menggigil seketika saat ia mengambil boneka kain yang penuh dengan noda hitam itu. Ada satu ekspresi yang mengerikan dari boneka kain itu, yang seketika membuat Josh kembali menjatuhkan boneka itu, dan menendangnya ke sudut ruangan. Pikirannya, mungkin hanya boneka tua dari pemilik rumah sebelumnya. Josh segera melupakan hal itu dan bergerak kembali ke kamarnya.
Ia kembali tidur. Namun kali ini tidurnya tidak bisa tenang seperti biasanya. Ia mendapatkan satu mimpi aneh yang benar-benar tidak dapat ia jelaskan.
Di dalam mimpi, ia berada tepat di depan halaman rumah barunya itu. Ia hanya dapat memandangi rumah itu dari luar. Namun ia seolahd apat mengetahui apa yang ada di dalam rumah itu. Ia mendengar jeritan seorang anak kecil dari dalam rumah yang terlihat gelap itu. Josh ingin menggerakkan kakinya, namun ia hanya dapat berdiri di tempat. Sementara jeritan anak kecil itu terus terdengar, semakin jelas setiap detiknya. Dan Josh memiliki keinginan besar untuk bergerak masuk ke dalam rumah itu, namun kakinya tidak mau bergerak. Satu hal yang ia sadari kemudian adalah, ia terbangun dari tidurnya.
Mimpi itu memang terbilang aneh baginya. Namun ia tidak memikirkannya lagi, hingga pada akhirnya mimpi itu terulang setiap kali ia tidur.
Posisinya selalu sama. Ia berdiri tepat di depan rumah itu, memandang ke arah rumah yang terlihat gelap dan mencekam itu dari luar. Dan jeritan anak kecil itu terus terdengar olehnya. Bedanya, kini ia mulai dapat menggerakkan kakinya melintasi halaman, naik ke teras, lalu bergerak memasuki rumah.
Keadaan bagian dalam rumah terlihat sama persis dengan rumah yang ia tempati. Bedanya, kini ada seseorang yang terlihat berdiri di kaki tangga. Seorang pria, dengan punggung membelakangi Josh. Di tangan pria itu terdapat sebuah sabuk kulit yang ia gunakan sebagai cambuk.
“Hentikan, ayah!” teriak anak kecil yang berada tepat di depan pria itu. Anak itu menangis, saat pria itu terus melakukan cambukan dengan sabuknya.
“ANAK KURANG AJAR!” teriak pria itu seraya mengangkat sabuknya, dan mencambukkannya pada anak kecil itu. Anak itu terus menjerit, menangis, dan sepertinya terlalu menderita atas apa yang ia alami.
“Hentikan!” teriak Josh di dalam mimpi itu. Ia berusaha untuk menghentikan aksi kejam dari pria itu, namun usahanya sia-sia. Suaranya tidak terdengar oleh pria itu. Dan lagi-lagi, ia tidak dapat bergerak dari posisinya.
“Hentikan! Jangan pukul anak itu!” teriak Josh. Sia-sia saja ia berteriak.
“KAU TIDAK LAYAK MENJADI PUTRAKU JIKA KAU TERUS MEMAINKAN BONEKA ITU!!”
“Kumohon, ayah! Hentikan! Aku…aku…”
“TIDAK TAHU MALU!”
“TIDAK!!!”
Sebelum Josh tahu apa yang terjadi selanjutnya, ia kembali terbangun dari tidurnya. Josh seperti merasa bahwa apa yang ia lihat itu benar-benar terjadi. Ia  bahkan seolah masih daapt mendengar suara jeritan anak kecil itu.
“Hanya mimpi, Josh! Hanya mimpi!”
Akankah ia berhasil menyakinkan dirinya bahwa apa yang ia lihat di dalam mimpinya itu memang benar-benar hanya sebuah mimpi yang tidak berarti? Sepertinya tidak. Di hari-hari berikutnya, Josh selalu mendapatkan mimpi yang sama. Ia berdiri di depan rumah itu, mendengar jeritan, ia bergerak memasuki rumah, dan melihat tingkah kejam pria itu pada putranya. Josh merasa begitu hidup di dalam mimpi itu, seolah ia beanr-benar berada di tempat itu. Tapi anehnya, apapun yang ia lakukan seolah tidak terlihat oleh pria ataupun anak kecil itu.
“Mimpinya semakin aneh.” Ucap Josh suatu hari pada salah satu teman kerjanya. “Aku merasa seperti terbang ke dimensi lain, dan beanr-benar melihat kejadian itu.”
“Mungkin kau tanpa sengaja masuk ke dalam memori lama dari rumah yang kau tempat itu.” Ucap temannya memberikan satu teori. “Hal seperti ini sering terjadi. Aku mendengar banyak cerita yang hampir mirip dengan apa yang kau alami. Yang kau alami mungkin bukanlah mimpi. Mungkin jiwamu memang menyeberang ke sisi lain, dan kau dapat melihat sejarah dari apa yang sudah pernah terjadi di rumah itu. Tidak ada yang dapat kau lakukan. Kau hanya dapat menyaksikannya.”
“Untuk apa?” tanya Josh. “Mimpi itu terjadi pasti karena suatu alasan, ‘kan? Mungkin aku akan dapat mengetahui penyebab dari suara-suara aneh yang terjadi di rumahku?”
“Mungkin.” Balas temannya. “Pecahan memori yang kau alami itu mungkin bertujuan untuk menunjukkan padamu sesuatu. Sesuatu yang harus kau lakukan di kehidupan nyata.”
“Tapi soal apa?”
Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya. Josh berharap ia akan mendapatkan mimpi aneh itu lagi malam nanti saat ia tidur. Namun tidak seperti apa yang ia inginkan, mimpi itu tidak datang lagi. Namun suara berisik di rumahnya kembali terdengar.
“Bocah dalam mimpimu itu mungkin adalah kunci untuk memecahkan misteri soal suara aneh di rumahmu itu.” Ucap teman Josh. “Kau harus masuk kembali ke dalam memori itu, dan cara tahu apa yang terjadi!”
Lebih mudah mengatakannya daripada melakukannya. Selama kurang lebih tiga hari, Josh berharap untuk mendapatkan mimpi itu lagi. Tapi sialnya, mimpi itu sama sekali tidak datang. Namun suara-suara berisik dari dalam rumahnya itu terus terdengar setiap malamnya.
“Kumohon!” teriak Josh di suatu malam sesaat setelah ia mendengar suara ribut lagi. “Aku ingin membantu. Tunjukkan bagaimana aku harus membantumu!”
Permintaan itu seperti sbeuah doa. Ketika Josh kembali tidur, mimpi itu kembali datang padanya. Sama seperti sebelumnya, ia berdiri di luar rumah. Ia bergerak masuk, dan mendapati pria itu masih memukuli putranya dengan sabuk kulit. Namun kini Josh dapat bergerak bebas di dalam ruangan itu. Ia kini dapat melihat dengan jelas apa yang ada di tangan bocah kecil itu. Bioenka kain itu. Boneka kain yang ia temukan di ruang bawah tanahnya.
“LEPASKAN BENDA MENJIJIKKAN ITU!” teriak sang pria seraya mengangkat cambuknya. Kemudian…
Josh merasa seperti menonton sebuah video vhs lama. Pemandangan di sekitarnya menjadi buram, seperti saat video dipercepat. Pemandangan di sekitarnya menjadi kabur, dan ketika kembali fokus, pria dan anak kecil itu sudah tidak terlihat lagi. Namun Josh mendengar suara aneh dari lantai dua.
Kini dengan kemampuan untuk bergerak bebas di dalam mimpi itu, Josh dapat segera mengarah pada suara yang ia dengar. Ia naik ke lantai dua, lalu mengarah pada salah satu ruangan.
Ia berada di dalam sebuah ruangan yang penuh dengan mainan. Ruangan milik anak kecil itu. Tapi anak kecil itu tidak ada di dalamnya. Yang Josh lihat adalah, pria itu berdiri di sisi tempat tidur, memandang ke arah sebuah genangan berwarna hitam yang ada di lantai. Genangan itu terlihat sedikit aneh dan berbau sedikit anyir. Darah?
Josh tidak memiliki kesempatan untuk memeriksa genangan hitam itu. Pemandangan di skeitarnya bergerak lagi dengan begitu cepat, kabur, seolah Josh tengah berdiri di dalam sebuah pusaran tornado. Dan ketika putaran itu berhenti, pria itu sudah tidak ada di dalam kamar itu lagi. Genangan hitam yang ada di lantaiitu pun terlihat sudah mengering. Waktu sudah bergerak di dalam memori itu.
Sebuah suara dentuman Josh dengan sedetik kemudian. Tanpa harus berpikir, ia tahu darimana suara itu berasal. Ia dengan cepat bergerak meninggalkan kamar tidur itu, menuruni tangga, lalu menuju ke arah sebuah pintu kecil yang terletak diantara dapur dan ruang tengah. Ia memasuki pintu kecil itu, yang segera membawa ke ruang bawah tanah dimana pria itu kini berada.
Pria itu terlihat tengah membungkuk di salah satu sisi ruangan. Di sebelah kiri dan kanannya terdapat beberapa perkakas berat seperti linggis dan palu. Selain itu, ada sebuah ember yang berisi cairan kental berwarna abu-abu. Semen.
Kini Josh tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pria itu telah membunuh bocah itu. Entah secara sengaja atau tidak. Yang pasti, pria itu mencoba untuk membuang bukti. Dan Josh seketika sadar kenapa selama ini ia selalu mendengar suara dentuman itu, yang sepertinya memang berasal dari ruang bawah tanah. Arwah bicah itu meminta bantuannya. Boneka tua yang ia temukan pun kini menjadi jelas maksudnya.
Pemandangan di sekitar Josh sekali lagi berputar dengan cepat. Lagi-lagi ia seperti berdiri di tengah pusaran tornadi yang dahsyat. Suara deru angin terdengar dengan jelas di telinga. Dan sesaat sebelum ia bangun dari tidurnya, ia mendengar sebuah bisikan,
“Tolong aku!”
Josh tersentak dari tidurnya, dengan seketika membuka keuda matanya lebar-lebar. Ia terbaring diatas tempat tidurnya dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Keadaan di luar masih gelap, mengingat jam baru menunjukkan pukul dua dini hari. Tapi Josh tidak bisa kembali tidur lagi. Ada satu hal yang harus ia lakukan sesegera mungkin, jika ia ingin bisa hidup tenang di dalam rumah itu.
Josh bergerak cepat meninggalkan kamar tidurnya, lalu bergerak ke arah pintu kecil yang terletak diantara dapur dan ruang tengah itu. Ia bergerak menuruni tangga menuju ruang bawah tanah itu, setelah sebelumnya sempat mengambil linggis dari garasi.
Apa yang ia lihat di dalam mimpinya masih tergambar jelas di ingatannya. Di sisi ruangan seberang, yang terlihat hanyalah sebuah dinding kosong. Namun disanalah pria bejat itu telah menyembunyikan jenasah putranya.
Josh bergerak mendekati dinding itu, dan ia sempat melonjak saat terdengar sebuah dentuman dari dalam dinding. Ya. Kini ia yakin bahwa ada suatu rahasia besar yang tersembunyi di dalam dinding itu.
“Tolong aku!” bisikan itu kembali terdengar. Josh mengangkat linggisnya tinggi-tinggi, lalu…
BAM!
Linggis itu menghujam dinding dengan begitu mudah. Merontokkan semen-semen kering yang membentuk dinding itu. Dua dan tiga pukulan kemudian, rahasia besar itu akhirnya terkuak. Di dalam sebuah rongga di dalam dinding, tergeletaklah rangka dari anak kecil itu. Anak kecil yang memperoleh perlakuan bejat dari seorang pria yang tidak pantas untuk disebut sebagai seorang ayah. Seorang bocah, yang secara sengaja telah membawa Josh pergi ke dimensi lain, ke dalam sebuah memori, untuk membantunya keluar dari perangkap dunia dimana jasadnya berada.
Josh seketika merasakan hembusan dingin melewati lehernya. Sedetik kemudian, ia mendengar suara langkah kaki menaiki tangga. Josh tidak tahu siapa yang baru saja lewat. Mungkin arwah dari bocah kecil itu?
Polisi segera mendatangi kediaman Josh setelah Josh melakukan laporan mengenai penemuan kerangka di dalam dinding ruang bawah tanah rumahnya. Polisi kemudian menjelaskan padanya, bahwa anak itu bernama Timothy. Seorang anak dari keluarga Jameson yang dikabarkan menghilang di suatu sore 21 April 1983. Selama puluhan tahun, misteri mengenai menghilangnya Tim tidak dapat dibongkar. Hingga pada akhirnya Josh menempati rumah itu.
Josh hanya berharap agar arwah Tim dapat beristirahat dengan tenang setelah jenasahnya ditemukan, dan mungkin akan dikuburkan dengan layak. Josh sekali lagi mengingat apa yang sudah ia alami selama sebulan terakhir. Memang aneh. Setelah apa yang terjadi, apakah ia masih akan ragu dengan keberadaan hal-hal supranatural?
“Kau gila jika kau masih mau tinggal di rumah itu.” Ucap teman Josh setelah Josh menjelaskan apa yang terjadi.
“Mungkin.” Balas Josh. “Tapi aku kini sudah merasa begitu lega. Suara-suara aneh itu sudah menghilang setelah kerangka itu ditemukan.”
“Bocah itu meminta bantuanmu.”
“Siapa sangka, ‘kan?” ucap Josh. “Pengalaman itu tidak akan aku lupakan begitu saja. Sebuah pengalaman yang unik, dan sempat membuatku ketakutan. Tapi…, pada akhirnya kebenaran terungkap.”
“Entah apa yang akan terjadi padamu selanjutnya.”
“Apapun itu,” ucap Josh sambil tersenyum. “Aku kini merasa siap untuk menghadapinya. Bahkan dengan hal yang berkaitan dengan supranatural sekalipun.”

***