Thursday, June 23, 2016

34B, EAST HOSPITAL WING



Nadia membuka kedua matanya. Lagi-lagi ia mendengar suara parau itu dari seberang ruangan dimana ia berada. Suara yang terdengar begitu gelap, penuh dengan kesengsaraan, jeritan kesakitan atau rintihan kematian. Nadia tidak pernah dapat mengerti dengan jeritan yang selalu terjadi itu.
Suara itu berasal dari kamar 34B di sayap timur rumah sakit tempatnya bekerja. Suara itu sudah beberapa kali terdengar selama beberapa minggu terakhir. Penghuni kamar itu adalah seorang pria tua berusia 70-an tahun dengan penyakit parah, yang membuatnya tidak dapat bergerak dari tempat tidur. Nadia pernah mencoba menanyakan keadaan pasian kamar 34B itu pada temannya, namun ia tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti mengenai suara teriakan penuh ketakutan itu.
Seminggu telah berlalu sejak kepindahan tugasnya dari sayap barat ke sayap timur. Tidak ada yang berbeda selain menjadi seorang perawat yang setiap hari selalu berurusan dengan pasien yang kadang menjengkelkan. Namun pasien di kamar 34B itu adalah pasien yang selalu menjadi kekhawatiran Nadia. Ketika ia melihat pria tua itu terbaring diatas tempat tidur dengan berbagai alat penopang kehidupan itu, Nadia seperti merasakan aura yang tidak biasa. Keadaan dingin yang membekukan kulitnya, ketika ia melihat tatapan kosong dari pria tua itu.
Nadia sudah meminta untuk dipindah tugaskan lagi. Namun permintaannya itu ditolak mentah-mentah oleh atasan di rumah sakit itu, sebab sayap timur sedang kekurangan staf. Dan Nadia harus rela dengan apa yang harus ia kerjakan jika ia masih mau terus bekerja di rumah sakit itu. Tidak ada yang menyebalkan, kecuali harus mendengar jeritan itu setiap malam.
Nadia melirik kembali jam tangannya, dimana waktu rasanya bergerak begitu lambat. Jarum jam menyentuh pukul satu dinihari, dan tugas malamnya baru saja dimulai.
Nadia duduk sendirian di sebuah ruangan di ujung koridor sayap timur itu, berjaga seandainya ada pasien yang membutuhkannya. Ia sebenarnya berjaga dengan Debra, temannya, namun temannya sedang memriksa sesuatu di gudang dan belum kembali sejak tiga puluh menit terakhir.
Nadia hanya dapat memandang ke arah koriodor kosong yang terlihat sunyi itu. Tidak ada satupun suara lain, kecuali desis kipas angin yang terletak di ujung ruangan tempatnya berada. Nadia masih dengan jelas mengingat suara jeritan itu di kepalanya. Terjadi, hanya beberapa detik yang lalu.
Nadia menunggu lagi seandainya suara itu akan muncul untuk yang kedua kali. Dari tempatnya duduk, ia dapat melihat pintu kamar 34B yang terletak tepat di ujung koridor. Nadia seperti melihat sesuatu yang tidak biasa hari itu mengenai kamar 34B itu. Seperti ada sebuah kekuatan jahat yang menyelebungi kamar itu, meski Nadia sendiri ragu dengan apa yang ia rasakan.
Detak jarum jam terdengar dengan jelas di tengah kekelaman suasana. Nadia bergetar, merasa kedinginan, sekaligus takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan ia tiba-tiba saja berteriak saat ada sebuah benda dingin menyentuh pipinya.
“Jangan berteriak seperti itu!” ucap Debra, yang sudah berdiri di sisinya sambil mengacungkan sekaleng minuman dingin pada Nadia. Nadia menerimanya dengan ragu.
“Kau membuatku kaget.” Ucap Nadia. “Dan kenapa memberiku minuman dingin di tengah dinginnya suasana?”
“Bukankah malah tepat?” balas Debra. Wanita itu hanya melengos, dan tidak memperhatikan raut wajah kesal Nadia. Debra duduk di sebuah kursi yang berseberangan dengan Nadia, dan terlihat melirik jam dinding.
“Aneh, ‘kan?” ucapnya. “Jam malam rasanya bergerak begitu lambat.”
“Karena kesunyian ini?” ucap Nadia memberikan komentarnya. Seketika ia teringat dengan teriakan yang ia dengar beberapa menit yang lalu. Dan ia tidak bisa terus menyimpan hal itu untuk dirinya sendiri. Ia menceritakan suara jeritan dan raungan yang ia dengar itu pada Debra, yang terlihat tidak begitu serius mendengarkannya.
“Ayolah!” ucap Nadia dengan kesal. “Pasti ada penjelasan mengenai jeritan itu, ‘kan? Kudengar pria tua itu sudah begitu sejak masuk ke rumah sakit ini sebulan yang lalu. Ada apa sebenarnya? Kenapa tidak ada yang mau menjelaskannya padaku?”
“Bukannya tidak mau.” Balas Debra. “Tapi kami memang tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Pria itu memang sudah begitu. Setiap malam, ia selalu menjerit ketakutan, atau mengerang kesakitan. Dan tidak ada yang betah tinggal di dalam ruangan ini lebih dari lima menit.”
“Karena jeritan itu?”
“Apa lagi?”
“Lalu kenapa kau tadi meninggalkanku?” tanya Nadia kesal. Temannya itu hanya tersenyum sambil meminta maaf.
“Tidak akan ada yang terjadi.” Ucap Debra. “Mungkin pria tua itu hanya sering mengalami mimpi buruk mengenai apa yang akan terjadi pada dirinya. Kudengar penyakitnya begitu parah. Dan dokter mengatakan bahwa….”
“Tidak perlu mambahasnya lagi!” potong Nadia.
Keadaan itu memang begitu menyebalkan. Seorang pasien yang sakit parah, bertahan di dalam rumah sakit, ditopang dnegan mesin, yang pada akhirnya hanya akan mati. Apakah tidak ada yang peduli dengan keadaan pria itu sebenarnya?
Nadia sudah mencoba mencari informasi mengenai sosok pria tua itu selama beberapa hari terakhir, namun yang ia dapat hanyalah nama dari pria tua itu. Sebastian Johann, itu namanya. Selain itu, Nadia tidak mendapatkan informasi lain mengenai keluarga pasien atau semacamnya. Dan sejauh dari apa yang ia tahu, sejak Sebastian masuk sebagai pasien di rumah sakit itu, belum ada satupun anggota keluarga yang menjenguknya. Bukankah aneh? Nadia merasakan segala keanehan, dimana ia tidak bisa mendapatkan jawaban yang pasti.
Nadia merasakan matanya menjadi begitu berat saat jarum jam menginjak pukul dua dinihari. Keadaan yang sepi membuatnya kadang lupa dengan tugasnya. Selama ia bekerja di sayap timur rumah sakit, ia malah jarang bekerja berat. Karena sebagian besar dari pasien di sayap timur adalah anak-anak, dimana orang tua mereka dapat mengurus mereka jika mereka membutuhkan sesuatu.
Nadia mencoba untuk terus membuka kedua mata dan telinganya. Ia melirik ke arah Debra, dan ia lihat wanita itu tengah sibuk dengan TTS yang ada di halaman sebuah koran. Nadia mendesah, merasa kesal dengan apa yang harus ia hadapi. Keadaan yang membosankan dan senyui ini suatu saat pasti akan memaksanya untuk pindah tugas lagi. Atau mungkin, ia ingin berhenti menjadi seorang perawat?
Tepat ketika Nadia mendapatkan pemikiran itu, sebuah suara jeritan terdengar dari ujung koridor. Sebuah teriakan kematian yang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat, yang membuat Nadia dan Debra bangkit seketika dari tempat duduk mereka. Mereka saling pandang untuk sedetik, kemudian setuju untuk menghampiri ruangan 34B itu.
Raungan dan jeritan masih terdengar ketika Nadia dan Debra melangkah di koridor, melintasi beberapa orang yang sepertinya juga terganggu dengan suara jeritan itu. Nadia dan Debra tiba di kamar 34B tepat ketika jeritan itu berhenti. Mereka bergerak masuk, dan mendapati sosok pria tua itu terduduk diatas tempat tidurnya, dengan raut wajah yang mengatakan bahwa ia seperti baru melihat hantu. Kedua matanya membelalak, dan keringat dingin membasahi keningnya.
Ini adalah kali pertama Nadia melihat keadaan Sebastian setelah ia berteriak. Selama ini, ia selalu datang terlambat dan sebastian sudah tidur kembali. Namun untuk malam itu, ia dapat melihat wajah penderitaan dan ketakutan di wajah pria tua itu secara nyata. Kedua mata yang membelalak itu seolah dapat menjelaskan lebih daripada teriakannya.
Nadia hanya dapat berdiri kaku di posisinya, sementara rekannya, Debra, mencoba untuk menidurkan kembali sosok pria tua itu. Nadia yang sadar dengan apa yang temannya lakukan langsung mencoba untuk membantu. Namun ia dikagetkan lagi, saat sosok pria tua itu meremas lengannya dengan jari-jari kurus itu. Nadia terbelalak, dan menatap soso pria tua itu.
“Mereka datang!” seru pria tua itu secara bertubi-tubi. Hal-hal aneh terlontar begitu saja dari mulut Sebastian, yang sama sekali tidak dapat Nadia jelaskan dengan akal sehat.
“Siapa yang ia maksud dengan mereka?” tanya Nadia begitu ia sudah kembali ke ruang jaga bersama dengan  Debra. Debra menghela nafasnya, seraya melempar pandangannya pada Nadia.
“Tidak usah kau pikirkan!” ucapnya. Tapi bagaimana tidak? Nadia denganjelas melihat sebuah keadan yang aneh atas pria tua itu. Apa ia hanya akan diam saja?
“Mungkin kita bisa membantu.” Ucap Nadia. “Pria itu benar-benar menderita.”
“Mungkin karena mimpi buruk.” Ucap Debra. “Aneh. Kita membrikan obat tidur dan penenang dengan dosis tinggi. Tapi tetap saja pria itu terbangun setiap malam dan meneriakkan kata yang sama.”
“Mereka datang.” Gumam Nadia tanpa tahu siapa yang dimaksudkan dengan ‘mereka’ dalam ucapan Sebastian.
Jarum jam bergerak, menyentuh pukul tiga dinihari. Nadia dan Debra berjaga seperti tadi, namun mereka tidak diganggu lagi dengan teriakan pria tua itu.

**

Nadia dan Debra harus berjaga malam selama seminggu, baru mereka bisa bertukar tugas dengan perawat lain. Dua hari sudah berlalu sejak Nadia dan Debra mendengar teriakan pria tua itu. Malam sebelumnya, Sebastian kembali berteriak, namun masih dapat tertidur dengan pulas. Malam itu, mereka tidak tahu lagi apa yang akan terjadi.
Jam rasanya bergerak begitu lambat. Pekerjaan yang tidak bisa terbilang sibuk memaksa kedua wanita itu untuk terus berada di ruang jaga mereka, bersiap seandainya dibutuhkan. Namun tidak ada hal yang benar-benar harus mereka lakukan. Keadaannya super tenang, dan tidak ada gangguan sama sekali.
“Kepalaku pusing.” Ucap Nadia karena terlalu lama membaca dalam keadaan lampu remang.
“Kau sudah minum obat?”
“Ya.” Jawab Nadia. Ia melipat koran yang ia baca, lalu menyandarkan punggungnya pada punggung kursi. Ia tarik nafasnya dalam-dalam seraya melempar tatapan matanya pada jam di dinding, yang menunjukkan pukul satu malam.
Nadia berharap tidak mendengar teriakan itu lagi. Ia, entah kenapa, menjadi ngeri ketika mendengar teriak dan erangan Sebastian, yang menurutnya tidak normal. Koridor remang itu terlihat begitu sunyi tanpa ada satupun yang mengganggu. Tidak ada suara lain yang dapat ia dengar selain detak jarum jam di dinding.
“Oh, tidak!” seru Debra beberapa menit kemudian, membuyarkan lamunan Nadia. Ia melirik ke arah temannya itu, dan mendapatkan gelengan tak percaya.
“Ada apa?”
“Barangku ada yang ketinggalan di lantai 3.” Ucap Debra. “Aku harus mengambilnya.”
“Tunggu!” sergah Nadia menghentikan langkah temannya itu. “Kau akan meninggalkanku disini sendirian?”
“Hanya sebentar.”
“Biar aku ikut!”
“Kau harus berjaga disini, Nadia.” Ucap Debra. “Jika sampai petugas tahu kau meninggalkan pos, maka dendanya akan begitu berat.”
Nadia mengangguk ragu. Rasa ngeri dan takut mulai tersusun di dalam dadanya, yang membuatnya seketika sulit untuk bernafas. Nadia harus dapat merelakan kepergian temannya itu, dan duduk sendirian di tengah kesunyian suasana.
Menit-menit berlalu. Namun rasanya jarm jam bergerak begitu lambat dimata Nadia yang sedang diserang dengan rasa takut yang luar biasa. Apa yang harus ia lakukan?
Koridor panjang yang remang dan sepi itu membuat Nadia bergidik ngeri, dengan kamar 34B berada di ujung, dan nampak di matanya dengan begitu jelas. Jika saja suara itu terdengar lagi, mungkin Nadia memutuskan untuk berlari. Tapi…
Nadia membelalakknya matanya, dengan kedua tangan gemetar saat suara nyaring rintihan itu terdengar begitu jelas. Ya. Terdengar lagi. Kali ini lebih jelas dari apa yang Nadia dengar sebelumnya. Teriakan penuh ketakutan, dan erangan penuh siksaan yang rasanya tidak begitu normal. Apa yang akan Nadia lakukan? Apakah ia hanya akan diam di tempat dan menunggu kembalinya Debra?
Tidak. Sebastian membutuhkannya. Dengan perasaan yang tidak karuan Nadia memutuskan untuk beranjak dari kursi yang ia tempati, dan mulai bergerak menyusuri koridor, mengarah pada kamar bermasalah itu. Anehnya, tidak seperti kemarin, kali ini tidak ada orang yang sepertinya terganggu dengan teriakan itu. Tidak ada satupun orang yang keluar ke arah koridor saat Nadia bergerak melewati kamar demi kamar, dan jeritan itu semakin dekat semakin membuat bulu kuduk Nadia berdiri.
Langkah Nadia terhenti seketika tepat ketika ia berada di depan ruang 34B itu. Kedua matanya lagi-lagi harus membelalak tak percaya dengan apa yang ia lihat. Dari jendela kecil yang berada di pintu kamar 34B, Nadia dapat melihat dengan jelas apa yang ada di dalam ruangan itu.
Sebastian duduk diatas tempat tidurnya, dan menjerit seperti biasa. Namun bukan hal itu yang membuat Nadia kehilangan kekuatan tubuhnya. Tapi apa yang ada di hadapan lelaki tua itu.
Terlihat dua sosok hitam, yang hanya terlihat seperti gumpalan asap di depan Sebastian duduk. Sosok-sosok itu seolah melayang di udara, terlihat seperti orang yang mengenakan jubah hitam berkerudung. Mereka terlihat seperti menjangkau ke arah Sebastian, dan dari apa yang dapat Nadia lihat, tangan di balik jubah hitam itu tidaklah normal. Tangan-tangan kering kurus hitam itu terlihat seperti kerangka, yang seolah ingin mencabik-cabik tubuh Sebastian. Jeirtan terus terdengar, dan Sebastian menggelinjang diatas tempat tidurnya, seolah ada aliran listrik yang mengalir di tubuhnya. Pemandangan yang cukup aneh ini membuat Nadia terpaku di tempat, dan tak dapat melakukan apapun.
“Nadia!”
Teriakan itu terdengar di sela-sela jeritan Sebastian. Dan sedetik kemudian, sosok Debra muncul seraya menarik lengan Nadia, membawa Nadia masuk ke dalam kamar yang dihuni oleh dua sosok hitam itu.
“Tidak!”
Pintu kamar 34B terbanting terbuka, dan Sebastian langsung terpuruk ke atas tempat tidurnya. Nadia hanya dapat menatap keadaan itu dengan tidak percaya. Sosok hitam itu menghilang seperti asap, secara seketika.
“Nadia, bantu aku!”
Ketidaknormalan terjadi pada semua alat penopang kehidupan Sebastian. Segalanya seperti sudah di reset, dan tidak bekerja dengan baik. Nadia yang sudah terlepas dari rasa takutnya mulai membantu Debra untuk melakukan pertolongan pada pria tua itu, yang terpuruk, terlihat seperti sayuran kering. Kedua mata Sebastian menatap kosong, dengan bibir bergerak pelan, mengatakan,
“Mereka datang menjemputku.”

**

Nadia masih dapat merasakan tangannya yang bergetar setelah melihat apa yang terjadi. Apakah Debra tidak melihat dua sosok hitam itu? Ia sudah mencoba menanyakan soal hal aneh itu pada Debra, namun Debra tidak mengerti dengan apa yang ia ucapkan.
Dokter-dokter yang bertugas untuk membantu perawatan Sebastian berdatangan beberapa menit setelah kejadian aneh itu. Tidak ada yang dapat Nadia lakukan selain menuruti setiap perintah, yang nyatanya hanya berakhir sia-sia. Sebastian tidak tertolong.
Ya. Setelah dua sosok itu datang, seolah Sebastian tidak kuat lagi untuk bertahan di dunia ini. Satu pertanyaan muncul di dalam kepala Nadia seketika. Siapa dua sosok itu?
Ia hanya dapat menerka-nerka. Mungkinkah sosok yang ia lihat itu adalah malaikat maut yang bertugas untuk merebut nyawa Sebastian? Apakah sosok-sosok itu yang Sebastian sebut dengan kata ‘mereka’? Gambaran mengerikan mengenai dua sosok itu masih melekat di dalam ingatan Nadia. Dan sepertinya, tidak akan hilang dalam waktu yang lama. Kepada siapa Nadia dapat menceritakan mengenai hal itu? Mungkin…, ia hanya dapat menyimpannya seorang diri.

****

Thursday, June 16, 2016

ROUTE 86



John dan Lucy sudah menghabiskan berjam-jam di dalam mobil yang mengarah ke bagian barat Sherland. Langit sudah gelap ketika mereka masuk ke jalur 86, sebuah jalur bebas hambatan yang akan mengantarkan keduanya lebih cepat ke Blackwood. Mereka pikir mereka akan cepat sampai jika melalui jalur itu. Namun, ada beberapa orang yang sudah memperingatkan keduanya untuk tidak mengambil jalur 86, karena sebuah alasan yang sebenarnya tidak cukup meyakinkan.
“Hati-hati!” ucap salah satu teman John sebelum mereka berangkat. “Jalur 86 sangat berbahaya. Di tengah-tengah hutan, dan jauh dari pom bensin. Ada satu pon bensin yang jaraknya puluhan kilo dari jalur itu. Namun sebaiknya kau mengambil jalur memutar. Sedikit lama, tapi aman.”
“Kami harus sampai di Blackwood besok pagi.” Ucap John. “Melewati jalur itu adalah jalan tercepat. Kami tidak ingin ketinggalan resepsi pernikahan teman kami.”
“Jika itu maumu, maka seperti kataku tadi, kau harus berhati-hati. Sudah ada banyak kejadian aneh yang terjadi di jalur itu. Kecelakaan, dan sebagainya. Mungkin hanya mitos. Tapi bisa saja hal itu benar.”
Josh hanya mendengar sambil lalu ucapan temanya itu. Ia dan Lucy sudah siap untuk menghadapi apapun ketika mereka memutuskan untuk melaju di jalanan sepi jalur 86.
Seperti kata teman John, jalur 86 adalah jalur yang sepi, dimana tidak ada mobil lain melintas. John dan Lucy sudah berkendara selama satu jam dari gerbang masuk jalur itu. Dan yang mereka lihat hanyalah kegelapan total yang disebabkan oleh rimbunnya kawasan hutan yang ada di sekeliling tempat itu.
John melirik jam tangannya, yang menunjukan pukul sepuluh malam. Dia merasa mengantuk, namun ia buka kedua matanya lebar-lebar, dan mencoba untuk tidak tertidur. Ia tidak mungkin berisitirahat di tengah hutan seperti itu. Dan sayanganya, Lucy tidak dapat menyetir mobil. Hal ini membuat tubuh dan mata John nyaris hancur berantakan.
Satu hal yang tidak John senangi hadir beberapa menit kemudian. Hujan mulai turun dengan deras, dan sedikit mustahil untuk melihat jalur gelap itu. Namun John tetap memilih berhati-hati dengan jalur yang sedang ia tempuh.
John menoleh ke arah Lucy yang tertidur di sampingnya. Wanita itu baru saja bangung, dan memandang ke sekitar. Yang dapat ia lihat tentu saja hanyalah kegelapan total dari sebuah hutan.
Nyala lampu kuning mobil John menembus kepekatan malam. Dan mobil itu adalah satu-satunya mobil yang berjalan di jalur 86 itu. Untuk sesaat, John mulai memikirkan ucapan temannya siang tadi.
“Jangan pernah berhenti!” ucap temannya. “Kau mungkin akan selamat jika tidak berhenti di manapun di jalur itu.”
Jujur saja, John tidak begitu mengerti dengan ucapan temannya itu. Apa yang sebenarnya begitu dikhawatirkan? Sejauh ini, John tidak mendapat kesulitan dalam menyetir. Dan jalannya pun halus tanpa lubang. Jika ia memacu kendaraannya, mungkin ia akan sampai di Blackwood saat fajar tiba.
“Dingin.” Ucal Lucy sambil merangkul tubuhnya sendiri. Ia melirik ke arah jendela mobil, yang terkena hempasan air hujan.
“Tidurlah lagi!” ucap John. “Perjalanan sepertinya masih panjang.”
“Bagaimana denganmu?” tanya Lucy mengkhawatirkan keadaan John. “Kau sudah menyetir beberapa jam, mungkin kau lelah.”
“Ya. Lelah.” Balas John sambil tersenyum kecil. “Tapi kita tidak bisa berhenti. Mungkin setelah melewati hutan ini akan ada penginapan atau kedai.”
Ya. Jika saja hal itu memungkinkan. John ragu apakah ada penginapan di tengah antah berantah ini. Yang pasti, John memacu laju kendaraannya begitu cepat.
“Hujan ini menyebalkan.” Gumam John. Meski begitu, ia cukup mahir mengendalikan kendaraannya.
Alunan musik dari radio masih terdengar. Lagu-lagu rock klasik menemani malam yang terbilang dingin itu. John kadang mengangguk-angguk menikmati alunan musiknya. Dan ia sesekali menghidupkan lampu jarak jauhnya, untuk melihat jalur yang tertutup oleh hujan deras.
“Menurutmu…” tanya Lucy. “Apa yang diucapkan temannya tadi akan benar-benar terjadi? Akan ada musibah, kecelakaan, tau semacamnya.”
“Mungkin saja.” Balas John. “Tentunya karena fenomena alam yang biasa. Hujan deras di tengah hutan pekat, jika aku tidak pandai mengendalikan mobil ini, mungkin kita sudah terperosok sejak tadi.”
“Tapi aku memiliki firasat buruk. Rasa tidak enak di perutku.”
“Tenang saja!” balas John. “Tidak ada apa-apa.”
Waktu mungkin telah bergerak selama tiga puluh menit sejak John mengucapkan kata-kata itu. Dan tiba-tiba saja ia melihat ada sosok yang berdiri di tepi jalan tak jauh di depan. Cahaya lampu mobilnya sempat menyorot pria yang berdiri di tengah hujan itu. Pria itu melambai, mencoba menghentikan mobil John.
“Ada seseorang dalam kesulitan.” Ucap John. “Haruskah kita berhenti?”
“Ingat kata-kata temanmu tadi! Jangan pernah berhenti.”
“Tapi dia butuh bantuan.”
Ketika John mulai semakin dekat dengan sosok lelaki itu, ia melihat sebuah sedan tua terparki tak jauh darinya. Pria itu masih berdiri di bawah siraman air hujan, dan sepertinya merasa lega ketika John menghentikan mobilnya tepat di hadapan pria itu.
“Oh! Aku beruntung.” Ucap sosok itu. Ia melongok ke dalam kabin mobil, dan melihat adanya John dan Lucy.
“Maaf!” ucapnya. “Mobilku tiba-tiba saja mogok, dan aku terjebak disini. Boleh aku menumpang hingga kota kecil di ujung? Mereka akan menderek mobiku.”
John sempat ragu untuk mempersilahkan pria itu untuk masuk, karena ia mendapatkan tatapan peringatan dari Lucy.
“Tidak apa-apa. Kurasa dia orang yang baik.” Bisik Lucy.
John pun akhirnya mempersilahkan pria itu untuk masuk ke dalam kabin. Pria itu terlihat senang dengan bantuan kecil itu.
“Maaf, bajuku basah.”
“Kau sedang sial rupanya, kawan?” ucap John.
“Ya.” Balas pria itu. “Mobil tua itu tiba-tiba saja mogok, dan tidak mau menyala. Kukira aku akan terjebak semalaman di hutan ini. Untuk kalian datang.”
“Tidak banyak mobil yang lewat jalur 86 ini.”
“Itu benar.” Balas sang pria yang duduk di bagian belakang. “Jalur ini terkutuk, itu yang sering disebutkan orang. Entah kenapa.”
“Siapa namamu?”
“Oh! Maaf! Aku Matt.” Ucap pria itu memperkenalkan diri. John mengucapkan namanya dan juga Lucy.
“Aku benar-benar berterima kasih atas hal ini.” Ucap pria itu. “Kalian datang di saat yang tepat.”
“Mungkin begitu.” Balas John.
Mobil itu melesat kembali di jalanan sepi jalur 86. Hutan semakin pekat, dan hujan masih belum juga berhenti. John yang awalnya mengantuk kini terlihat bersemangat lagi karena ia punya teman bicara.
Pria itu, Matt, menderitakan segala hal yang ganjil berkaitan dengan jalur yang mereka tempuh itu. Ia mengatakan bahwa sering terjadi kecelakaan, orang-orang yang menghilang, dan tidak pernah ditemukan lagi.
“Jalur ini bukan segitiga bermuda.” Ucap John. “Aku perlu banyak bukti untuk meyakinkan cerita itu.”
“Ini bukan main-main.” Ucap Matt. “Semoga saja kita tidak jatuh ke dalam masalah.”
Pria bernama Matt itu menceritakan berbagai macam keanehan yang terjadi di sekitar jalur 86 itu. John hanya terdiam, entah percaya atau tidak. Yang pasti,karena ada Matt rasa kantuknya menghilang. Dan yang lebih menyenangkan lagi, hujan sudah mulai reda. John kini dapat melihat jalan di depannya dengan jelas.
“Seberapa jauh hingga kota berikutnya?” tanya John. “Kau mengatakan ada kota di sekitar sini.”
“Mungkin bukan sebuah kota. Hanya sekumpulan trailer, dan ada satu bengkel. Aku pernah lewat sini sebelumnya.”
“Kau yakin mereka mau membantu?”
“Kenapa tidak?” balas Matt. “Oh! Dari mereka juga punya kedai kecil disana, jika kalian lapar dan butuh beristirahat.”
John hanya mengangguk-angguk. Jika ucapan Matt benar, maka ia akan merasa sedikit lega. Dia memang sudah lelah menyetir sejak beberapa jam yang lalu. Tak dipungkiri pula bahwa perutnya sudha keroncongan meminta jatah makan. Mungkin Lucy juga merasakan hal yang sama.
Setelah beberapa menit berkendara, John akhirnya dapat melihat sebuah cahaya neon di kejauhan. Matt yang duduk di kursi belakang langsung mengatakan bahwa mereka sudah sampai.
“Ini tempatnya?” tanya John. “Kau yakin? Kenapa ada tempat aneh di tengah hutan seperti ini?”
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Ucap Matt. Kita berhenti saja, oke?”
Tidak ada pilihan lain bagi John. Mobilnya kini masuk ke dalam sebuah kawasan perkemahan trailer yang terlihat berantakan. Ada satu trailer dengan tulisan neon besar di body-nya, yang bertuliskan nama kedai tersebut.
“Ini tidak benar.” Ucap Lucy lirih. Ia menatap pada John, seolah memohon agar mereka tidak perlu mampir.
“Tidak apa-apa. Hanya sebentar saja.”
Mobil John terparkir tepat di depan trailer restoran itu. Ia kemudian turun bersama kedua temannya, dan masuk ke dalam kedai yang rasanya lebih hangat daripada hawa di luar. Mereka disambut oleh seorang wanita gemuk begitu mereka masuk.
Tak perlu waktu lama, makanan dan minuman hangat telah tersaji di depan mereka. Mereka tidak perlu berbicara, saat mereka melahap makanan mereka. John merasa bahwa makanan di tempat itu tidak buruk, meski tempatnya sedikit kotor. Mungkin setelah ini ia akan segera melanjutkan perjalanan ke Blackwood.
“Oh! Aku permisi sebentar.” Ucap Matt seraya bangkit dari tempat duduknya. “Aku harus menemui mekanik.”
Pria itu menghilang beberapa detik kemudian. Kini tinggal John, Lucy, dan juga wanita gemuk itu. John dan Lucy hanya terdiam, hingga akhirnya wanita itu pergi meninggalkan konter.
“Kita harus segera keluar dari tempat ini. Aku memiliki firasat yang buruk, John.” Ucap Lucy.
“Kenapa? Tentu saja kita akan segera keluar. Setelah menghabiskan makanan ini.”
“Apa dia akan ikut lagi?”
“Maksudmu Matt? Kurasa tidak.”
John menyeruput kopinya. Rasa panas meluncur turun ke perutnya, dan membuatnya merasa hangat dan bersemangat untuk sesaat. Ia lihat Lucy juga tengah menikmati kopinya.
John melirik jam tangannya. Waktu sudah cukup malam. John tidak ingin menghabiskan waktu lama di tempat itu, dan ingin segera pergi. Tapi…, ia merasakan ada keanehan detik berikutnya. Kepala terasa begitu berat dan anggota tubuhnya sulit untuk digerakkan. Karena apa? Ia pandang wajah Lucy. Wanita itu sepertinya juga mengalami hal yang sama. Keduanya sama-sama pusing, dan tidak enak badan. John kemudian teriangat dengan cangkir kopinya. Mungkin karena itu? John merasa yakin bahwa ada sesuatu yang dimasukkan ke dalam kopinya.
“Kau!” ucapnya dengan nada lemah saat wanita gemuk itu masuk lagi dan berdiri di belakang konter.
“Kau…” John tidak dapat mengontrol suaranya. “Apa yang kau masukkkan…”
John melihat dengan jelas saat tubuh Lucy ambruk ke atas lantai. John ingin membantu, namun tubuhnya sendiri tidak dapat dikontrol. Hingga pada akhirnya…, ia pun terjatuh dan tak sadarkan diri.

**

Kepala John rasanya berputar dengan begitu cepat. Darah seolah mengumpul di kepalanya, membuatnya pusing dan tidak dapat berpikir jernih mengenai apa yang baru saja terjadi. Detik berikutnya, ketika ia dapat membuka matanya, ia telah terbangun di dalam sebuah ruangan yang penuh barang rongsokkan. Parahnya lagi, ia dalam keadaan terikat di sebuah kursi kayu.
Cahaya dari bola lampu kuning itu menyilaukan kedua matanya. Setelah ia pikir-pikir, mungkin ia pingsan karena apa yang ia minum. Ya. Kopi itu. Seseroang telah memberikan obat tidur atau semacamnya ke dalam kopi yang ia minum.
Otot-otot di tubuh John menegang seketika saat ia teringat dengan Lucy. Apa yang terjadi dengan wanita yang ia cintai itu? John mengerang, berteriak, mencoba untuk menggerakkan setiap inci dari tubuhnya untuk dapat bebas, namun rasanya mustahil. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Kini ia dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa kawsan trailer di tengah antah berantah ini memang aneh dan tidak wajar.
“TOLONG AKU!!!” teriak John. Suaranya berkumandang, namun tidak ada balasan. Derik suara jangkrik terdengar di kelamnya suasana. Selain itu, suara rintik hujan masih terdengar dengan begitu jelas di luar ruangan yang ia tempati.
“LUCY!! MATT!!”
John menghentikan gerakannya seketika saat lampu di ruangan itu berkedip, seolah menanadakan akan datangnya bahaya. Dan benar saja. John mendengar langkah-langkah berat bergerak mendekati ruangan itu, dan ia juga mendengar suara beso yang di seret di tanah. Apa yang akan terjadi?
Keringat John keluar begitu cepat, meski udara sedang dingin-dinginnya. Ini tidak wajar. Rasa ketakutan John mulai melumpuhkan setiap saraf yang ada pada tubuhnya. John mencoba menggerakkan lengannya yang terikat erat dengan tali, namun usahanya itu sia-sia saja.
Jantung John melompat seketika saat pintu ruangan itu digedor dari luar. Detik berikutnya, pintu itu terhempas terbuka, dan menampilkan satu sosok aneh yang membuat John nyaris pingsan.
Sesosok pria gemuk setinggi dua meter berdiri di depannya. Pria itu terlihat begitu besar bila dibandingkan dengan tubuh John. Pria itu memakai pakaian lusuh, sebuah apron putih yang dipenuhi dengan noda darah, dan anehnya, ada semacam topeng kulit yang menutupi wajah pria itu. Di tangannya terdapat sebuah tangkai kayu panjang, dimana sebilah kapak berada di ujungnya. Dari apa yang terlihat pada permukaan kapak itu, pria itu mungkin baru saja menebas daging hewan. Mungkin hewan…., atau hal lain yang tidak ingin John bayangkan.
“Kumohon!!” ucap John dengan nada bergetar. Ia masih mencoba bebas dari kursi itu, namun sia-sia.
Pria besar itu hanya menggeram sambil memainkan kapak yang terseret di lantai. John tidak tahu apa yang tengah pria besar itu pikirkan. Mungkin kapak itu akan menembus tubuhnya dalam beberapa detik? John benar-benar sudah pasrah dengan keadaan yang ia alami.
“Kumohon!!” teriaknya lagi. “Jangan lakukan!”
Pria itu menggeram, dan mulai mengangkat kapaknya. Cahaya dari lampu menerpa pada permukaan kapak yang licin, dengan noda darah itu. John mungkin sudah ada di ambang kematian. Tapi…
“Tolong!!”
Suara teriakan permintaan tolong itu terdengar dari arah luar, bercampur dengan suara rintik hujan. Pria besar itu menghentikan aksinya, menolen, dan sepertinya lupa sejenak dengan keadaan John. Kapak itu turun lagi, dan pria besar itu memutar tubuhnya.
“Tidak! Tidak!” teriak John. Jika teriakan wanita itu adalah Lucy, maka akan ada kemungkinan ia akan dihabisi oleh pria berkapak itu. John tidak mau hal itu terjadi. Jika ada yang harus mati, mungkin hanya dirinya.
“Kemarik keparat!!” teriaknya mencoba memprovokasi pria besar itu. Namun usahanya sia-sia. Pria besar itu keluar dari ruangan, mungkin mencoba untuk menemukan wanita itu.
“Sialan!!” umpat John. Dengan keras ia menggerakkan setiap inci dari bagian tubuhnya yang dapat ia gerakkan. Pergelangan tangannya mungkin sudah berdarah karena terus bergesekan dengan tali tua yang mengikat erat itu.
“Ayolah! John, kau harus keluar dari sini!” ucap John pada dirinya sendiri.
Apakah ia masih memiliki keyakinan bahwa ia akan keluar? Apakah masih ada jalan yang akan terbuka dalam keadaan yang ganjil ini? Jika saja John bukan orang beriman, mungkin ia akan menyerah. Namun ia tahu bahwa setiap usaha pasti ada hasil yang akan di dapat. Meski John akui, kini ia sedikit ragu dengan hal itu.
John menghentikan gerakannya seketika saat iamendengar suara bergemerisik di luar ruangan, diserati dengan suara langkah-langkah cepat. Apakah pria besar itu lagi? Bukan. Sepertinya ada orang lain yang akan memperkenalkan dirinya pada John.
John menunggu dalam rasa panik yang tidak biasa. Mungkin kali ini ia akan benar-benar mati. John mulai memikirkan kembali apa yang iducapkan oleh teman-temannya mengenai jalur 86. Ya. Jalur terkutuk ini telah merenggut harapan John untuk bisa sampai ke Blackwood.
Pintu kayu itu bergetar saat seseorang mencoba mendobraknya. John menatap pintu itu dengan mata nanar, dan seketika…
Pintu itu terbanting, terbuka lebar, dan menampilkan sesosok pria yang terlihat begitu kacau dengan pakaian yang sobek disana-sini dan penuh dengan lumpur juga darah. Wajah pria itu mengarah pada John, dengan tatapan tak percaya.
“Matt!” seru John seketika. Matt langsung menghampiri John dan membantunya membuka semua ikatakan yang ada di tubuhnya. Dalam beberapa detik, John telah terbebas dari semua ikatan menyakitkan, yang memberikan bekas luka pada pergelangan tangannya.
“Matt! Ini buruk. Tempat ini…”
“Aku tahu.” Potong Matt dengan nada tergesa. “Kita ahrus segera pergi dari sini, John. Tempat ini terkutuk. Kau tidak akan percaya dengan apa yang kulihat. Kepala terpenggal, kerangka manusia, daging-daging itu, di dapur… pria besar…”
“Tempat apa ini sebenarnya?”
“Kita tidak akan pernah tahu.” Balas Matt. “Yang jelas, kita akan mati jika terus berada disini.”
John mengusap wajahnya. Ia sadari bahwa wajahnya telah basah sepenuhnya dengan keringat yang tidak ia sadari keluar dengan sendirianya.
“Aku melihat ada satu mobil yang bisa kita tumpangi.”
“Mobilku?”
“Mereka menghancurkannya.”
“Mereka, siapa?”
“Orang-orang gila penghuni tempat ini!” ucap Matt. “Mereka gila, John. Mereka kanibal!”
Matt bergerak ke segala tempat di dalam ruangan kecil itu, mencoba mencari satu benda yang mungkin dapat ia gunakan untuk senjata. Dan ia menemukan sebuah pipa besi dan sebuah kunci ledeng. Matt meneyrahkan kunci itu pada John.
“Kita harus pergi, sekarang!”
“Tidak!”
“Apa?!”
“Aku harus menemukan Lucy.” Ucap John. “Aku mendengarnya berteriak, mungkin dia…, sial! Pria besar itu.”
John dan Matt segera berlari keluar dari ruangan kecil itu, dan basah kembali oleh air hujan yang terus mengguyur. Keadaan gelap hutan sekitar membuat keduanya nyaris tidak dapat menemukan arah yang benar.
“Dengar itu!” bisik Matt.
John mendengarnya dengan jelas. Suara-suara dari begitu banyak orang yang slaing bersahutan, meneriakkan kata-kata yang aneh dan janggal. Dan John merasa bahwa keadaannya semakin buruk.
“Lari!”
Lumpur dan licinnya jalan membuat keduanya nyaris tidak dapat menahan diri mereka. Mereka terpeleset, tergelincir, dan tersandung. Luka-luka tidak lagi mereka rasakan. Mungkin jika tidak begitu, mereka tidak akan bisa lari.
“LUCY!!” teriak John ketika melihat sosok wanita itu berlari dari arah berlawanan. Lucy berteriak, berlari menghampiri John. Akan tetapi, di belakang wanita itu munculah sosok si pria besar. dan tanpa di duga, sebuah kapak melayang seketika. Berputar di udara, lalu dengan begitu keras membelah kepala wanita itu hingga hancur.
John nyaris pingsan. Ia tidak sadar betapa keras ia berteriak saat melihat tubuh wanita yang ia cintai itu jatuh terkapar dengan kepala menganga, dan darah mengucur, bercampur dengan air hujan dan lumpur.
“John! Cepat! Tidak ada yang bisa kita lakukan.”
John berlari bersama Matt, tanpa tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Air mata keluar begitu saja, bercampur dengan keringat dan air hujan. John serasa kehilangan kekuatan untuk bertahan hidup. Tanpa Lucy, apa yang akan ia lakukan?
“Itu mobilnya!” teriak Matt sambil menunjuk pada sebuah sedan biru yang terparki di bawah pohon. Keduanya dengan cepat bergerak masuk, tepat ketika segerombolan orang keluar dari area gelap hutan. Orang-orang itu mengacungkan senjata yang ada di tangan mereka. Pisau, kapak, dan segala macam hal yang cukup mengerikan.
“Ayolah!!” teriak Matt kesal saat mobil itu tidakmau menyala, sementara gerombolan orang itu bergerak semakin dekat dengan teriakan-teriakan kemarahan mereka.
“Cepat!” teriak John. “Matt!”
“Mobil sialan! Tidak mau menyala!”
Mereka terlambat. Gerombolan itu kini sepenuhnya telah mengepung mobil. Satu kapak melayang lagi, memecahkan kaca jendela mobil. John dan Matt kini diteraik keluar dari mobil, dan dipukul dengan senjata yang mereka bawa.
John tidak lagi merasakan rasa sakit saat ia sudah mulai tidak peduli lagi apakah ia ahrus hidup atau mati. Matt berteriak nyaring saat sebuah pisau menembus perutnya. John tidak sanggup lagi untuk melihat apa yang terjadi.
John nyaris kehilangan kesadarannya saat ia seperti mendengar sebuah suara. Suara seorang wanita, yang terdengar begitu dengan dengan telinganya. John tahu siapa wanita itu. Lucy.
“Jangan menyerah! Pergi dari sini!”
Ucapan itu memang aneh dan tidak tahu dari mana asalnya. John seketika mendapatkan sebuah kekuatan baru. Ia meronta melepaskan diri, lalu merebut salah satu pisau daging dari gerombolan itu. Ia tebaskan pisau itu secara membabi buta, dan ia berhasil terlepas dari cengekeraman seorang pria.
Teriakan kemarahan dari gerombolan itu semaki terdengar nyaring di tengah kelamnya malam. John berlari sekuat tenaga, masuk ke dalam hutan yang gelap. Dengan satu pemikiran, bahwa ia harus hidup untuk dapat menceritakan apa yang sudah terjadi. Tempat terkutuk itu harus dimusnahkan. Tapi apakah John akan semudah itu keluar dari jalur 86?

**

John mencoba untuk terus berlari. Namun otot-otot kakinya ia rasa seperti terbakar. John tidak mungkin lagi melangkahkan kakinya yang rasanya hancur berantakan itu. Ketika ia memutar kepalanya, tidak ada lagi yang dapat ia lihat di belakangnya selain kepekatan hutan itu. Ia telah bergerak begitu jauh dari kamp trailer penuh dengan kanibal itu. Ia tidak mengira bahwa hingga detik ini jantungnya masih berdetak.
John menyandarkan tubuhnya pada sebuah btang besar yang basah oleh air hujan. Ia menatap ke langit, murka, bila mengingat apa yang baru saja terjadi. Ia harus kehilangan Lucy, dan juga Matt. Sebuah pukulan telak bagi kehidupan John sejauh ini. Namun ia masih bersyukur karena ia masih bisa bernafas.
John mengerjapkan matanya, saat ia melihat satu kilasan cahaya di kejauhan. Beberapa detik kemudian ia sadari bahwa ia berada dekat dengan jalan aspal, dan baru saja melihat sebuah mobil melintas. John menggerakkan lagi kakinya tanpa berpikir. Meski ia sering terpeleset oleh lumpur dan tersandung akar pohon, ia terus bergerak maju. Bertahan hidup untuk menceritakan kisah mengerikan itu adalah tujuan John selanjutnya.
John merangkak, hingga akhirnya ia dapat melompati pagar pembatas jalan, dan jatuh seketika ke aspal yang dingin. John terkekeh sendiri. Terpukau dengan aksi pelariannya yang nyaris mustahil itu. Ia bangkit berdiri, lalu bergerak menyusuri jalan aspal itu tanpa tahu kemana. Ia hanya akan menunggu datangnya mobil.
Hujan akhirnya berhenti. Kini John dapat melihat bagaimana rupa tubuh dan wajahnya, yang penuh dengan luka dan lumpur. Ia tidak peduli lagi. Ia memutar mengangkat kepalanya saat ia lihat ada dua cahaya kuning mendekati posisinya. Dengan spontan, John mengangkat kedua lengannya dan melambai pada mobil itu.
John merasa semakin beruntung saat ia melihat mobil putih itu dilengkapi dengan lampu di atas atapnya. Mobil polisi. Sebuah keberuntungan yang tidak ia harapkan. Mobil itu akhirnya berhenti, dan seorang polisi dalam seragam tugasnya keluar menghampiri John.
“Apa yang terjadi? Kau tidak apa-apa?” tanya polisi itu. John mencoba mengatur nafasnya, dan mulai mengeluarkan kata-kata secara berlebihan yang bahkan tidak dapat dimengerti.
“Tenangkan dirimu! Ceritakan apa yang terjadi!”
“Mereka!” ucap John. “Orang-orang yang ada di kamp trailer, semuanya kanibal! Mereka membunuh dua temanku! Tolong aku!”
“Kau aman bersamaku.” Ucap polisi itu. “Masuklah ke mobil.”
John tersenyum senang. Ia pada akhirnya akan mengakhiri mimpi buruk malam itu. Ia digiring oleh polisi mendekati mobil, dan masuk ke kabin bagian belakang. Namun John harus mengernyitkan dahinya saat tangannya tiba-tiba saha diborgol pada kisi besi yang membatasi kabin depan dan belakang. John mengarahkan tatapan penuh tanyanya pada polisi itu.
John tidak dapat mempercayai apa yang ia lihat. Polisi itu menyeringai ke arahnya, dengan tatapan licik yang mengerikan. Sedetik kemudian, bibir polisi itu terbuka, lalu mengucapkan,
“Kanibal?” ucapnya sambil terkekeh. “Mereka teman-temanku.”

****