Friday, July 14, 2017

SANG PENJARAH MAKAM



James mendesah. Nafasnya terdengar tersengal-sengal saat ia dengan kekuatan penuh menancapkan sekopnya ke dalam tanah yang sudah ia gali cukup dalam itu. Meski dalam keadaan malam, keringatnya bercucuran membasahi kening dan punggungnya. Dan dengan satu kekuatan penuh, ia lempar secaruk tanah dari sekop yang ia pegang.
“Hampir sampai.” Ucapnya pada temannya yang menunggu di bagian atas lubang galian. James bekerja bersama dengan Abe. Dan apa yang mereka lakukan bukanlah sebuah hal mulia yang patut untuk dibanggakan. Keduanya adalah perampok makam.
Akhir abad 19 di Sherland merupakan tahun-tahun perekonomian terburuk di negara itu. Dan setiap orang rela melakukan segala sesuatu untuk dapat mendapatkan makanan. James dulunya bekerja sebagai seorang buruh di pabrik. Begitu juga dengan Abe. Namun karena ekonomi yang hancur berantakan itu, ia terpaksa harus menerima phk dari pabrik tempatnya bekerja. Dan tidak ada pekerjaan lain yang lebih menguntungkan daripada apa yang ia kerjakan sekarang ini.
Sudah menjadi hal yang umum bagi orang yang meninggal, terutama mereka yang kaya, bahwa mereka akan mengenakan perhiasan-perhiasan mereka sebelum dikubur. Dan hal inilah yang menjadi pemicu bagi James dan Abe untuk merampok makan sehari setelah orang kaya dikuburkan.
James dan Abe sudah melakukan pekerjaan ini selama hampir satu tahun, dan mereka belum pernah sekalipun tertangkap. Dan karena hal itu, mereka masih terus melakukannya.
“Jangan berhenti! Kau hampir sampai!” seru Abe dari atas lubang. James terus menggali dan menggali, hingga akhirnya peti kayu terlihat di bawah tumpukan tanah.
“Oh! Kita berhasil!” ucap James.
Abe langsung melompat masuk ke dalam lubang dan membantu James menjebol tutup kayu dari peti mati itu. Karena mereka sudah cukup profesional, maka pekerjaan itu tidak tergolong sulit. Hanya lima menit, dan mereka sudah dapat melihat mayar berusia dua hari yang masih memakai pakaian dan perhiasan lengkap itu.
“Ini luar biasa!” ucap Abe seraya melepas kalung dan anting emas dari mayat itu. James mengeluarkan satu kantong kain yang ia gunakan untuk membawa perhiasan-perhiasan itu.
“Dasar! Kenapa mati membawa perhiasan?” ucap Abe dengan sedikit nada bercanda.
“Untung bagi kita.” Balas James sambil tertawa lebar.
Pekerjaan malam itu pada akhirnya berakhir setelah mereka menutup kembali makam. Bukan pekerjaan yang sulit, dan hasilnya memuaskan. James dan Abe dengan hati-hati keluar dari area makam dan mulai membagi hasil jarahan mereka.
“Setiap ada orang mati, kita akan kaya.” Ucap Abe.
“Ya.” balas James. “Kecuali jika yang mati orang yang miskin.”
“Kau dengar sesuatu soal Ny. Stevenson?” tanya Abe beberapa saat kemudian. Ia dan James berdiri di sudut jalan di tengah penerangan lampu gas.
“Maksudmu wanita yang tinggal di Baker Estate?” ucap James. “Ya. aku dengar soal wanita kaya itu.”
“Dia sudah lama sakit.” Ucap Abe. “Dan kau tahu? Mungkin dia akan menjadi jarahan terhebat kita.”
James melepas tawanya sambil memainkan sebuah cincin berlian di tangannya.
“Kau menginginkannya untuk segera mati?”
“Ya, mungkin.” Balas Abe sambil tertawa. “Kita lihat saja nanti. Dan untuk malam ini, kita selesai.”
James hanya mengangguk. Beberapa menit kemudian ia dan Abe berpisah, mengarah ke rumah masing-masing.
James segera saja mendudukkan dirinya di sebuah kursi saat ia sampai di pondok kecilnya yang terletak di kawasan kumuh kota besar itu. Sekali lagi, ia pandangi barang-barang yang ada di tangannya. Cincin berlian, kalung emas, dan juga sebuah bros yang dihiasi dengan batu zamrud. Ia tersenyum, saat membayangkan bahwa ia akan mendapatkan uang banyak setelah menjual barang-barang itu.
James tinggal sendirian. Ia belum memiliki istri. Alasannya tentu saja karena masalah ekonomi. Ia tidak ingin menikahi seseorang jika ia belum memiliki pekerjaan yang layak. Tentu ia tidak ingin istrinya menjadi istri dari seorang penjarah makam. Namun dalam situasi ekonomi yang berat seperti sekarang ini, James tidak menemukan solusi lain sebagai pekerjaan. Dan menjarah makam, adalah keahliannya.
Sebenarnya James tidak begitu suka dengan hal itu. Setiap kali ia memejamkan mata, ia selalu terbayang mayat-mayat dari kuburan yang ia gali. Mereka yang seharusnya beristirahat dengan tenang, ia malah menjarahnya. Jujur, James merasa sangat bersala. Tapi…, ia mencoba untuk tidak memikirkannya.
Malam itu terbilang cukup dingin, dan James merasa begitu lelah setelah menggali beberapa jam yang lalu. Ia pergi tidur seperti biasa, namun baru beberapa menit ia memejamkan matanya ia dikagetkan oleh sebuah suara berkelotak dari arah dapur. Suara apa?
James hanya mengira bahwa suara itu mungkin diseabkan oleh tikus atas kayu yang sudah retak. Mengingat rumahnya hanyalah sebuah ponsok kecil, ia tidak heran jika ada suara-suara yang aneh. Namun ketika ia memejamkan matanya lagi, suara berkelotak itu kembali terdengar, disertai suara sebuah benda menggelinding di lantai. Tikus? Bukan. James membuka matanya. Dan tiba-tiba saja…
“HEI!”
James seketika menegakkan tubuhnya. Suara panggilan itu terdengar dengan begitu jelas dari arah dapurnya. Sebuah suara pria, atau wanita. Ia tidak begitu yakin. Mungkinkah Abe? Dan kenapa Abe mendatanginya malam-malam seperti itu?
“Abe?” panggil James dari arah kamar. Tidak ada jawaban, namun suara berkelotak itu terdengar lagi. Mungkin pencuri? James seketika bangkit dari tempat tidurnya dan meraih pisau belati dari arah meja, dan dengan perlahan bergerak ke arah dapur di dalam keadaan yang gelap. James melangkah dengan berhati-hati, bergerak melewati koridor, lalu ke arah dapur, tapi…
Tidak ada siapapun di sana. Cahaya bulan menerobos masuk melalui jendela kaca, menciptakan pemandangan keperakan di dapurnya yang kecil itu. Tidak ada keanehan apapun, dan tentu saja tidak ada siapapun di dapur itu.
James menghembuskan nafasnya, dan berpikir, mungkin ia hanya berhalusinasi. Namun ketika ia memutar badan ingin kembali ke arah kamar, suara berkelotak itu kembali terdengar. James seketika memutar tubuhnya dengan cepat, namun tidak menemukan apapun. Kecuali…
Cahaya sinar bulan mengenai tepat pada sebuah bungkus kain yang tergeletak di atas meja. Bungkusan perhiasan itu. Lalu apa yang aneh? James bergerak dan meraih bungkusan itu, lalu merogoh ke dalamnya. Namun seketika ia berteriak saat tangannya seolah terbakar menyentuh barang yang ada di dalam bungkusan itu.
“Mustahil!” gumam James. Ia segera menumpahkan isi dari bungkusan itu dan melihat perhiasan-perhiasan itu berkelotak di atas meja. Cincin permata, kalung, dan bros. Namun ketika James kembali akan menyentuh salah satu dari benda itu…
“ARRGH!!”
Rasa panas yang luar biasa ia rasakan, seolah membakar tangannya. Kenapa? James pun tidak tahu. Benda-benda itu masih terlihat begitu normal beberapa jam yang lalu. Tapi kenapa kini…
Ada begitu banyak pertanyaan yang berputar di dalam kepala James. James butuh bantuan. Dan satu-satunya orang yang dapat ia mintai tolong hanyalah temannya itu. Abe.

**

“Kau tidak mengada-ada, ‘kan, James?” ucap Abe keesokan harinya saat James menemuinya di sebuah kedai minum kecil. James menggelengkan kepalanya, lalu mendekatkan wajahnya pada Abe.
“Kau tahu apa yang kupikirkan?” ucap James. “Kurasa apa yang kita ambil semalam memiliki kutukan.”
Abe nyaris saja tersedak bir yang ia minum setelah mendengar ucapan yang menurutnya sedikit bodoh dan tidak masuk akal itu. Ia berharap James juga akan tertawa. Ternyata tidak.
“Aku serius.” Ucap James dengan nada rendah, berusaha agar apa yang ia ceritakan tidak menarik perhatian orang-orang yang ada di dalam kedai itu.
“Tunggu dulu!” ucap Abe. “Jadi kau mengatakan bahwa benda-benda itu membakar tanganmu?”
“Ya. Lihat ini!” balas James seraya mengangkat tangan kanannya. Di jarinya terdapat bekas bakaran dari benda panas. Abe, mau tidak mau harus mempercayai apa yang temannya itu ceritakan.
“Tapi aneh.” Ucap Abe. “Benda yang aku miliki sama sekali tidak seperti itu. Dan benda kita berasal dari tempat yang sama.”
“Aku tidak tahu apa yang terjadi, Abe.” Ucap James. “Tapi kau harus melihatnya sendiri.”
Abe akhirnya setuju untuk datang ke pondok James dan melihat sendiri benda-benda yang menjadi panas itu. Namun satu hal yang tak terkira terjadi saat James sampai di rumah. Jendela dapur terlihat bobrok bekas dijebol. Dan James sadar bahwa ia ada dalam masalah besar.
“TIDAK!” teriaknya seraya bergerak ke arah jendela yang bobrok itu. “Sialan! Pencuri masuk ke rumahku!”
“Benda-benda itu?”
“Aku tinggalkan diatas meja ini.” Ucap James sambil menunjuk pada meja kecil di dapur itu. Kantong berisi perhiasan itu telah menghilang tanpa jejak. Dicuri oleh seseorang.
“Aneh. Semakin aneh.” Ucap Abe. “Bagaimana mungkin seseorang bisa tahu ada benda berharga di rumah ini?”
“Mungkin ada yang melihat kita semalam.” Ucap James. Ia teringat saat itu ia dan Abe mengagumi benda jarahan mereka di sudut jalan. Mungkin seseorang melihatnya dan menguntit James hingga rumah.
“Ini gawat!” ucap James seraya memukul kepalanya sendiri. Ia dengan keras menempatkan dirinya ke atas salah satu kursi di dapur kecil itu. Namun kemudian, kakinya menyenggol sesuatu yang kemudian berkelotak di atas lantai. James merunduk, dan menemukan salah satu benda dari perhiasan semalam.
“Ini!” ucap James seraya mengangkat cincin berlian. Satu-satunya benda jarahannya yang tidak digondol oleh pencuri.
“Sepertinya kau memang sedang sial, James.” Ucap Abe. Ada sedikit tawa di wajahnya, dan James benar-benar tidak menyukainya.
“Jangan khawatir!” ucap Abe. “Ny. Stevenson sebentar lagi meninggal. Dan kau akan mendapatkan lebih dari apa yang kau kira.”
Seperti sebuah lelucon yang tidak lucu. Namun James mengangguk menyetujuinya. Ya. Ia kehilangan barang jarahannya. Namun dalam waktu dekat mungkin ia akan mendapatkan kembali apa yang telah hilang.
Malam itu James tidak bisa tidur. Tidak biasanya ia terjaga hingga pukul dua dini hari. Di tangannya, terdapat cincin berlian itu, yang ia putar-putar di bawah cahaya lilin. Satu-satunya benda berharga yang ia miliki. Dan ia tidak mungkin menjual perhiasan yang hanya tinggal satu itu.
James sadari kemudian bahwa cincin berlian itu memiliki sebuah logo aneh di bagian dalam. Terlihat hanya seperti coretan, namun dipahat pada cincin bagian dalam. Dan ada sederet tulisan dengan bahasa latin yang tidak James mengerti.
James iseng-iseng memasukkan cincin itu ke dalam jarinya, yang ternyata begitu pas. Ia tersenyum, tanpa tahu kenapa. Namun sedetik berikutnya…
“ARRGGHH!!!”
James meremas dadanya yang tiba-tiba saja terasa begitu sakit. Saking sakitnya, ia terjatuh ke lantai dan mengeliat menahan rasa sakit yang tak terkira itu. Tubuhnya seketika terasa begitu kaku dan tidak dapat bergerak. Dadanya serasa diremas oleh tangan besi, dan nafasnya terengah-engah. James mencoba untuk bangkit dari posisinya, namun ia terjauh lagi. Pandangan matanya mulai kabur, dan ia tidak sadarkah diri.

**

James merasa seolah tubuhnya dibanting ke lantai. Dengan seketika kedua matanya terbuka, dan ia dapat menghirup debu yang ada di lantai pondoknya. Selama semalaman ia pingsan diatas lantai. Dan James masih tidak tahu kenapa bisa begitu.
Ia teringat kemudian, bahwa rasa sakit yang ia rasakan semalam terjadi sesaat setelah ia memakai cincin berlian itu. James, yang tidak ingin kejadian semalam terulang, langsung melepaskan cincin itu dan melemparnya ke sudut ruangan. Ia kemudian sadar, bahwa mungkin cincin itu benar-benar terkutuk.
Rasanya memang aneh jika memikirkan sebuah kutukan. Namun hal itu juga tidak bisa dianggap sebagai takhayul belaka. Buktinya nyata, dan ia telah merasakannya sendiri. Dan James merasa bahwa ia juga harus memberitahu Abe soal perhiasan yang mereka dapatkan itu.
James bergerak cepat di jalanan kota di pagi yang tenang. Namun ketenangan itu segera buyar saat ia melihat segerombolan orang berkumpul di sebuah taman. Terlihat ada beberapa polisi di sekitar tempat itu. Apa yang terjadi? James yang merasa penasaran segera bergerak mendekat.
“Apa yang terjadi?” tanya James pada salah seorang di kerumunan itu.
“Seseorang meninggal.” Jawab seorang wanita. “Perampok itu…”
“Perampok?”
“Dia membawa begitu banyak perhiasan. Mungkin hasil jarahan.”
Jantung James serasa melonjak seketika. Mungkinkah orang yang mati itu adalah pencuri yang masuk ke dalam rumahnya? James bergerak menerobos kerumunan hingga ia berada di deret terdepan. Dan kini terlihat jelas sosok pria yang tergeletak dengan posisi yang aneh itu. Kedua matanya terbuka, dan ada darah mengucur dari mulutnya.
Salah seorang polisi terlihat menjejerkan perhiasan di bangku taman. Dan James langsung mengenali bahwa perhiasan-perhiasan itu memang adalah perhiasan yang ia jarah dari kuburan bersama dengan Abe. Dan kini ketika sudah ada korban, James sepenuhnya yakin bahwa perhiasan-perhiasan itu memang terkutuk.
Yang ada di dalam pikiran James hanyalah Abe. Abe mungkin berada dalam bahaya. Dan tanpa pikir panjang, James segera mengarah ke rumah Abe yang terletak tidak begitu jauh dari taman itu.
“Kau masih mau membicarakan soal itu?” ucap Abe ketika ia sudah mempersilahkan James masuk ke dalam rumahnya.
“Ini serius, Abe.” Ucap James. “Pencuri yang memasuki rumahku itu kini mati di taman. Dengan perhiasan-perhiasan itu. Dan kau tahu apa yang terjadi padaku semalam? Aku memakai cincin itu, dan aku seolah mendapatkan serangan jantung mendadak!”
“Jangan mencoba menakutiku, James!” ucap Abe. “Kau mungkin iri karena kini kau tidak memiliki apapun.”
“Bukan begitu!”
“Aku tidak akan termakan bualanmu.” Ucap Abe, terlihat sedikit murka. “Jika hanya itu yang ingin kau katakan, sebaiknya kau ergi dari rumahku.”
James tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan pada temannya itu. Abe dengan terang-terangan mengusirnya. Namun James merasa begitu khawatir terhadap keselamatan Abe.
James kemudian kembali ke rumahnya dan mengambil kembali cincin yang ia lempar ke sudut ruangan itu. Memang terlihat seperti cincin biasa. Tapi…
James mencoba memakai kembali cincin itu. Dan kemudian…
“AARRGG!!!”
James segera melepas kembali cincin terkutuk itu saat dadanya terasa begitu panas. Ya. Cincin itu memang terkutuk.
Malam harinya, James kembali tidak dapat tidur dengan nyenyak. Pikirannya hanya terfokus pada apa yang akan terjadi padanya. Ia masih memiliki cincin itu. Dan mungkin kematian akan terus mengikutinya?
James nyaris terpejam saat sebuah suara berkelotak kembali terdengar dari arah luar kamar. Dan satu suara juga terdengar dengan begitu jelas.
“HEI!”
James menegakkan tubuhnya ke posisi duduk seketika. Suara yang sama dengan suara malam itu. Dan suara berkelotak itu berasal dari…
Cincin permata itu!
James melihat dengan jelas cincin permata itu tergeletak di atas meja di dalam kamarnya. Dalam keadaan remang, entah kenapa ia seolah melihat cincin itu berpendar, seolah memiliki sumber cahaya tersendiri. Apakah hanya karena cahaya bulan yang masuk melalui jendela?
James bangkit berdiri kemudian mendekat ke arah cincin itu. Namun seketika itu pula cahayanya pudar dan menghilang. James yang merasa begitu penasaran seketika memegang cincin itu, namun…
“AARRGGG!!!”
James mengerang seketika sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba saja terasa seperti ditusuk pisau. Cincin itu sudah ia lepaskan, namun rasa sakit masih mmebuatnya lumpuh selama beberapa saat. Dan secara bersamaan, James seperti melihat wajah tua di depan wajahnya. Terlihat sama, wajah tua itu, menyeringai ke arahnya…, dan…
Hilang.
Jantung James berdetak dengan cukup kencang. Seketika pikirannya terarah pada Abe. Dan entah kenapa ia memiliki firasat bahwa malam itu mungkin Abe sedang dalam bahaya.
James tidak membuang waktu lama untuk segera keluar dari rumahnya tanpa mengenakan mantel. Udara dingin terhempas ke wajahnya, namun ia sudah tidak peduli lagi. Ia harus segera menemui Abe dan memperingatkan kembali soal perhiasan jarahan itu.
“ABE!” teriak James begitu ia sampai di depan rumah temannya itu. Ia menggedor pintu, namun tidak ada jawaban dari dalam rumah.
“ABRAHAM!!” teriak James lagi. Namun usahanya nihil. Barulah beberapa detik kemudian ia sadari bahwa pintu depan ternyata tidak terkunci. James membukanya perlahan, dan ia melihat satu hal yang tak ia kira akan terjadi.
Bagian dalam rumah Abe terlihat seperti telah dirampok. Barang-barang berceceran di segala tempat, terobrak-abrik, dan tidak beraturan. Satu hal lain yang memuat jantung James berdesir adalah dengan adanya bekas ceceran darah di lantai. James seketika mengikuti arah darah itu, hingga pada akhirnya…
“Abraham! Oh, tidak!”
Tubuh Abe terkapar di lantai dengan kedua tangan mengarah ke tenggorokannya sendiri. Kedua mata Abe terbuka, dan terlihat ada bekas darah keluar dari rongga matanya. Abe sepenuhnya sudah tidak bernyawa lagi. Hal ini tentu saja menjadi guncangan berat bagi James. Ia datang terlambat.
Satu hal lain yang menarik perhatiannya adalah adanya kalung emas yang melingkar di leher Abe. James tahu benar dengan benda itu. Kalung itu adalah salah satu dari barang jarahan makam saat itu.
James merasa lumpuh untuk sesaat. Sebelum pada akhirnya ia sadar bahwa ia harus memutus kutukan itu, atau jika tidak, ia mungkin akan bernasib sama dengan Abe. Ia segera saja melepas kalung itu dari leher Abe, dan mengumpulkan perhiasan lainnya yang tersimpan di kamar Abe. James memiliki satu rencana dengan semua barang itu. Ia akan mengembalikannya.

**

Di tengah gelap dan dinginnya suasana, James bergerak sendirian ke arah makam dengan satu kantong perhiasan dan juga sekop di tangan yang lain. James mencoba untuk mengingat dimana letak makam itu. Di tengah kegelapan dan tanpa penerangan, sedikit sulit untuk menemukannya.
James menyusuri berderet-deret nisan, hingga akhirnya ia menemukan sebuah kuburan baru yang ia datangi bersama dengan Abe beberapa hari yang lalu itu. James pada awalnya tidak banyak berpikir soal makam itu. Namun setelah kejadian-kejadian aneh yang terjadi, ia kemudian penasaran dengan makam siapa sebenarnya yang ia rampok itu.
Sebuah nama tertera jelas di papan nisan batu yang ada di makam itu. Sebuah nama yang seketika menegakkan bulu kuduknya. Nama itu…
VALERIA KORZT
Nama itu seketika berputar di dalam kepala James. Ya. James tahu siapa wanita itu. Bahkan seluruh kota sudah tahu siapa Valeria sebenarnya.
Valeria Korzt adalah seorang canayang yang tinggal di sebuah gubuk yang terletak di tepi hutan. Sebagian besar orang menganggap bahwa Valeria adalah satu-satunya orang di kota itu yang dapat berkomunikasi dengan roh. Pekerjaan utama Valeria adalah membantu orang-orang yang meminta bantuan soal hal spiritual, dan juga mengenai barang yang hilang. Namun sebagian orang lain mengatakan bahwa Valeria adalah nenek sihir. Dan kematiannya pun sedikit mencurigakan.
 Lalu kenapa James tidak membaca terlebih dahulu nisan itu sebelum merampoknya? James merasa saat itu ia terlalu gembira. Ia dan Abe sama sekali tidak berpikiran bahwa mereka akan menggali makam si nenek sihir itu.
Kini semua terlihat jelas bagi James. Itu sebabnya semua benda yang ia jarah memiliki kutukan. Mungkin Valeria telah melakukan semacam sihir pada barang-barangnya sesaat sebelum kematiannya. Dan kini, James akan mengembalikannya.
“Jangan ikuti aku lagi!” ucap James dengan nada bergetar sesaat setelah ia menimbun kantong perhiasan itu di makam Valeria.
“Kumohon!” pintu James.
James kembali ke rumahnya, dan seharusnya ia sudah bisa merasa lebih tenang setelah mengembalikan barang Valeria. Namun…
James merasa dirinya gila. Kini ia mendengar suara-suara bisikan halus yang seolah mengelilingi kepalanya. Suara wanita tua…
“James…”
“Hentikan!” teriak James sambil mencoba menutup telinganya. Namun suara itu seolah berasal dari dalam kepalanya sendiri.
“Hentikan! Aku tidak memiliki barangmu lagi!”
Wajah wanita itu muncul secara kilat di depan mata James. Dan James kini benar-benar yakin bahwa ia sepenuhnya sudah mulai gila. Semua hanya karena kerakusannya merompak makam.
“Kumohon!” pintu James dengan suara lirih. “Aku tidak akan menjarah makam lagi. Kumohon! Hentikan!”
“James….”
“TIDAK!!!”
James seketika berdiri dari tempat tidurnya lalu menghantamkan kepalanya ke daun pintu, mencoba untuk menghilangkan suara-suara itu. Tapi usahanya sia-sia. Hingga pada akhirnya ia menyadari bahwa ia lupa membawa cincin permata itu, yang kini masih tergeletak diatas meja.
“Ambil!” teriak James. “Ambil cincinmu!”
Suara-suara halus itu terdengar semakin sering, dan James sudah kehilangan akalnya. Ia mencoba untuk melemparkan cincin itu keluar jendela, namun malah memantul dan mengarah ke perapian. Dan seketika…
Sebuah semburan api merah menyala langsung muncul ketika cincin itu masuk ke dalam perapian. Dengan api yang begitu besar, munculah asap tebal berwarna hitam yang dengan cepat memenuhi rumah kecil itu. James mencoba mencari jalan keluar, namun entah kenapa ia tidak bisa membuka pintu, bahkan jendela. Semuanya terkunci secara misterius.
“KUMOHON! AMPUNI AKU! KUMOHON!”
James terjatuh ke lantai saat ia sudah tidak bisa bernafas lagi. Dengan sisa-sisa kekuatannya ia mencoba untuk berteriak, namun yang keluar hanyalah desahan penderitaan di detik-detik terakhir.
“Kumo…hon….”
Sesosok wanita tua tiba-tiba saja muncul di depan James. Wanita itu, Valeria…, menyeringai ke arahnya…
“Selamat datang di dunia bawah!” ucap nenek tua itu. Dan James, pada akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.

**

Kehebohan terjadi di kota itu keesokan harinya. Jenasah James dan Abe ditemukan, namun polisi tidak dapat mengatakan apa penyebab dari kematian kedua orang itu. Rumah James masih terlihat utuh, dan tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Yang lebih mengejutkan lagi, tubuh James ditemukan dalam keadaan terbakar meski rumahnya masih utuh.
Tidak akan ada yang tahu kisah sebenarnya dari dua perampok makam itu. Yang telah terlalu rakus, merampok milik orang lain, hingga akhirnya mereka menerima ganjaran atas apa yang mereka perbuat. Jenasah James dan Abe pada akhirnya dikuburkan. Dan letak kuburan mereka, ternyata bersebelahan dengan makam Valeria Korzt.
Valeria Korzt mungkin hanyalah tinggal sebuah kenangan di kota kecil itu. Namun arwahnya masih bergentayangan, menjelajahi kuburan di malam hari. Untungnya, dia tidak sendirian. Ada James dan Abe yang siap menjadi pembantunya.

****

Thursday, July 6, 2017

THE MONSTER OF MOUNT ELBER



Nafas Sandra terngengah-engah. Kakinya itu dengan kuat terus bergerak dengan cepat, berlari dan melompati beberapa rintangan yang ada di hadapan keduanya. Sandra merasa jantungnya sudah mau meledak setelah ia berlari selama beberapa menit di permukaan tanah yang tidak datar. Kegelapan malam pun sedikit mempersulit keadaan yang ia hadapi. Namun ia tahu bahwa ia harus terus berlari jika ia ingin hidup. Jika ia ingin terhindar dari makhluk yang mengejarnya itu.
Sandra tidak pernah berpikir bahwa rekreasi ke gunung ini akan berakhir dengan malapetaka seperti. Dia, dan tiga temannya yang lain memutuskan untuk mendaki gunung Elber sebagai satu agenda di akhir musim panas sebelum mereka harus kembali ke kampus. Namun ternyata perjalanan ini menjadi perjalanan maut.
Gunung Elber yang terletak di Norlandia utara itu terlihat begitu mencekam di malam hari. Meski sudah begitu terkenal dengan trek pendakiannya, namun tidak dapat memungkiri bahwa hutan lebat di sekeliling tempat itu dapat begitu membingungkan, terutama di malam hari. Sandra sudah tidak bisa mengingat lagi apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Saat itu ia tidur di tenda dengan Sarah, gadis lain di kelompok itu. Hingga akhirnya ia terbangun saat mendengar jeritan Tom.
Keadaan yang aneh ia temui saat ia keluar dari tenda bersama dengan Sandra. Keadaan begitu gelap, dan hanya cahaya dari api unggun yang menjadi satu-satunya penerangan di tempat itu. Ia melihat gerumubulan semak tiba-tiba saja bergerak, seolah akan ada yang melompat keluar dari sana. Saat tiba-tiba saja James berlari dari balik semak dengan wajah penuh teror. Ia berteriak dengan suara nyaring,
“LARI!!”
Sandara tidak tahu apa yang terjadi, dan tidak sempat untuk bertanya. Selama beberapa menit ia dan kedua temannya berlari tanpa tahu arah di tengah kegelapan suasana. Mungkin hanya sedikit cahaya dari bulan yang dapat membantu. Namun teror sudah semakin dekat.
“TERUS BERLARI! JANGAN BERHENTI!” teriak James yang berlari di belakang mereka.
Kemana perginya Tom? Pikir Sandra saat itu. Apakah Tom jatuh ke dalam suatu masalah? Teriakan itu…
Sandra baru bisa bertanya soal Tom pada James saat ia dan kedua temannya itu berhenti berlari dan berlindung di balik sebuah pohon besar. Dengan nafas terengah-tengah, James mengatakan sesuatu yang membuat Sandra dan Sarah terpekik.
“Tom sudah mati!” ucap James dengan wajah penuh teror. “Karena makhluk itu!”
Sandra tidak butuh penjelasan mengenai makhluk apa yang sebenarnya James maksudkan. Sesaat setelah mulut James tertutup, ia  dapat mendnegar sebuah jeritan yang memilukan di tengah kesunyian malam. Jerit dari makhluk besar yang mengejar mereka itu.
Sandra masih belum mempercayainya, namun apa yang ia dengar benar-benar nyata. Ada makhluk aneh yang mengejar mereka saat itu. Entah makhluk apa itu. Yang jelas, mereka tidak memilik banyak waktu untuk berhenti. Makhluk itu mungkin dapat mendeteksi keberadaan mereka. Dan benar saja, sedetik kemudian terdengar suara menggelepar di udara, seperti suara kelelawar. Dan Sandra melihat satu bayangan besar muncul di angkasa di antara siluet pepohonan.
“Kita harus lari lagi!” desis James seraya mendorong kedua temannya itu.
Rencananya sebenarnya sangat sederhana. Mereka akan berlari menyusuri jalan setapak menuruni gunung dan mencari bantuan di pos jaga. Namun siapa sangka bahwa mereka pada akhirnya akan terpisah satu sama lain? Dan kini, Sandra sendirian di tengah gunung gelap, di bawah mata makhluk ganas itu.
Sandra merasakan sakit di dadanya. Mungkin karena ia terlalu lelah berlari. Ia mencoba menghentikan langkahnya, namun ia tahu bahwa ia akan mati jika ia berhenti. Seolah ia masih dapat mendengar gelepar suara sayap makhluk itu di belakangnya.
Tidak.
Sandra merasa bahwa ia sudah tidak kuat lagi untuk berlari. Dan ketika orientasinya sedikit terganggu, ia jadi tidak dapat berpikir dan melihat apa yang ada di depannya. Ia terjatuh ke tanah dengan keras saat kakinya tersandung oleh sebuah akar besar.
Sandra meringkuk di atas tanah yang dingin dan basah, dengan jantung berdegup cepat. Apakah makhluk itu akan menemukan posisinya? Keadaan begitu gelap dan sunyi, yang dapat ia dengar hanyalah suara nafasnya sendiri. Kedua matanya begerak jalang di rongganya, mengamati keadaan gelap di sekelilingnya.
Ia sebenarnya tidak dapat melihat begitu jelas di tengah kegelapan total itu. Namun seolah ia dapat menyadari jika makhluk itu datang. Dan untuk saat itu, sepertinya ia aman untuk sementara.
Sandra mengangkat tubuhnya ke posisi duduk sambil meremas kakinya yang terasa begitu pegal. Beberapa bagian tubuhnya sudah penuh dengan luka goresan saat ia berlari menembus semak berduri dan ranting-ranting rendah. Sandra sudah tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Ia sendirian, dan tidak tahu dimana keberadaan Sarah maupun James.
Ia tentu saja juga sudah kehilangan jalur pendakian itu. Kini ia tersesat di dalam hutan yang luas, dengan makhluk aneh mengejar dan mungkin akan memangsanya. Sandra tidak tahu lagi. Makhluk apa yang sebenarnya tengah mengejarnya itu?
Otak Sandra tiba-tiba saja berputar dengan cepat mengingat kembali apa yang pernah teman-temannya ceritakan soal gunung Elber. Dan ia teringat akan satu mitos soal gunung itu.
Gunung Elber memang terkenal sebagai gunung pendakian dengan hadiah yang luar biasa jika pendaki bisa sampai di puncak. Namun ada satu cerita aneh soal gunung itu yang hingga saat ini masih menjadi misteri. Cerita soal monster gunung Elber yang melegenda.
Tidak ada yang tahu persis monster apa yang sebenarnya ada dalam cerita itu. Sandra selalu berpikir, mungkin orang-orang hanya membesar-besarkan cerita itu. Mungkin hanya hewan liar, dan pendaki salah melihat karena terllau kelelahan. Namun kini Sandra tahu sendiri bahwa teror di gunung itu bukan cerita bualan.
Kenapa ia mau mendaki gunung dengan mitos mengerikan itu?
Sandra sendiri tidak habis pikir kenapa ia menyetujui rencana James ini. Ya. James-lah yang memiliki ide untuk mendaki gunung Elber. Dan kini, ia berada dalam masalah besar. Ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan di tengah kegelapan seperti itu. Ia merasa cukup putus asa.
Pemikiran soal monster itu tiba-tiba saja buyar saat Sandra mendengar suara bergemerisik tak jauh darinya. Ada yang bergerak di dalam semak-semak yang tak jauh darinya. Siapa? Tidak mungkin monster besar itu, ‘kan?
Sandra masih terpaku di tempatnya tanpa dapat bergerak. Kedua matanya memicing mencoba untuk melihat di tengah kegelapan, dan telinganya ia buka lebar-lebar. Apa yang akan keluar dari semak-semak itu?
“Sarah?” panggil Sandra lirih. Apakah mungkin Sarah yang berada di balik semak itu?
Sandra menyeret tubuhnya mendekati semak-semak itu. Memang sebuah ide yang gila mengingat ia belum tahu benar apa yang ada di balik semak itu. Tapi mungkin Sarah. Mungkin Sarah juga ketakutan seperti dirinya dan tidak dapat membalas ucapannya. Namun ketika Sandra mengarahkan tangannya pada semak itu, tiba-tiba saja…
“ARRGH!!”
Sandra memekik saat sepasang mata bersinar dan gigi taring keluar dari semak-semak itu. Sandra terpental ke belakang, dan makhluk kecil itu berlari cepat melewatinya. Apa itu tadi? Hewan liar?
Sandra seketika memfokuskan kembali perhatiannya pada sekelilingnya. Ia mendengar suara aneh itu lagi. suara menggelepar di udara, seperti suara sayap kelelawar besar. Makhluk itu. Dan sedetik kemudian…
“Oh!”
Sandra memekik kecil saat sesuatu yang besar bergerak melewati atas kepalanya. Sesuatu seperti sebuah kelelawar raksasa yang menciptakan sebuah suara yang aneh. Suara seperti sebuah jeritan, yang terdengar memilukan di tengah keheningan suasana. Dan Sandra melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Sesosok makhluk yang bentuknya tidak jelas terlihat bertengger di salah satu dahan pohon berjarak beberapa meter dari posisi Sandra berada. Makhluk itu menciptakan sebuah silut besar di tengah remangnya suasana hutan. Terlihat seperti sebuah kelelawar raksasa, namun dengan tubuh seperti manusia. Kepalanya…
Tidak. Sandra tidak dapat melihat kepala dari makhluk itu. Yang terlihat olehnya hanyalah rentangan sayap raksasa dari makhluk itu. Dan kemudian ia mendengar kembali jeritan memilukan itu, yang terdengar lebih jelas dari sebelumnya.
Sandra mengerjap, dan mencoba untuk tidak bergerak. Lebih tepatnya, ia tidak dapat bergerak karena rasa takut yang ia derita. Tubuhnya menjadi kaku seperti kayu, dan jantungnya rasanya mau pecah. Kedua mata Sandra masih terpaku pada makhluk aneh itu, yang terlihat begitu besar. Apakah makhluk itu akan tahu posisinya?
KRAK!
Sandra mengerjap seketika. Otot-otot di tubuhnya menegang saat ia secara tidak sengaja menginjang ranting kering. Dan yang lebih membuatnya terkejut lagi, kepala dari sosok misterius itu berputar ke arahnya.
Sandra tidak begitu dapat menjelaskan seperti apa rupa dari makhluk itu, mengingat keadaan cukup gelap. Namun dari bayangannya, Sandra dapat melihat bentuk kepala seperti kepala manusia. Bulat, dengan betuk seperti telur dengan telinga runcing. Makhluk apa itu sebenarnya? Dan Sandra lagi-lagi memekik saat sepasang mata berwarna merah darah memandang tajam ke arahnya. Apa yang akan ia lakukan? Ia berdiri kaku di tempat. Apakah makhluk itu tahu keberadaannya? Hingga detik berikutnya…
Makhluk itu tiba-tiba saja mengeluarkan lengkingan jeritannya lagi seraya mengepakkan sayapnya, dan terbang lurus ke arah Sandra. Otot-otot di tubuh Sandra seketika reflek melakukan apa yang sudah seharusnya ia lakukan. Ia memutar tubuhnya dan berlari.
Di tengah kegelapan suasana, dengan keadaan yang remang dan penuh dengan rintangan, Sandra seperti berlari di neraka. Nafasnya begitu berat dan cepat, dengan dada panas dan jantung seolah mau pecah. Ia tidak peduli lagi dengan ranting-ranting atau duri yang menusuknya. Rasa sakit yang ia rasakan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa takut yang ia rasakan.
“Tidak! Tidak!” Amanda terus mengerakkan kakinya meski ia sudah merasa terlalu lelah. Suara menggelepar itu terdengar begitu dekat dengannya, di belakang, dan suara jeritan itu…
“TIDAK!!” Sandra berteriak saat ia mendengar makhluk itu semakin dekat. Makhluk itu melakukan satu gerakan terbang rendah, berusaha meraih tubuh Sandra, tapi kemudian…
“AARRGGHH!!!”
Kuku tajam dari makhluk itu mungkin saja bisa menembus tubuh Sandra jika saja Sandra tidak tersandung dan jatuh ke tanah. Sialnya, ia terjatuh pada permukaan tanah yang miring turun, dan memaksanya untuk bergulingan di tanah yang basah hingga akhirnya ia terjerembab ke dalam sebuah lubang yang cukup dalam. Sandra seektika melihat makhluk besar itu terbang di atasnya, melewatinya, dan…, menghilang dari pandangan. Sandra masih terpaku di tempatnya dengan jantung berdebar dan nafas terengah.
Untuk sesaat, ia dapat merasa cukup aman. Berada di dalam kubangan lumpur sepertinya bukan ide yang buruk mengingat apa yang baru saja terjadi. Sandra kemudian berusaha untuk mengangkat tubuhnya berdiri dari kubangan itu, dan merangkak menuju tanah yang lebih tinggi. Perlahan, ia rasakan rasa perih di sekujur tubuhnya karena luka-luka yang ia derita. Apakah mimpi buruk sudah berlalu? Sepertinya belum.
Sandra nyaris tidak dapat bergerak karena kakinya terkilir saat ia jatuh ke dalam lubang tadi. Ia terus mencoba untuk begrerak maju meski tertatih-tatih. Ia juga masih harus waspada dengan keadaan di sekelilingnya. Ia mencoba mencari dimana keberadaan makhluk itu, namun ia tidak menemukannya.
Sandra menghentikan langkahnya seketika saat ia mendengar sebuah suara aneh dari balik semak-semak. Apakah pergerakan hewan liar lagi? sepertinya bukan. Sesuatu yang untuk sesaat dapat melambungkan perasaannya.
Sebuah tangisan seorang gadis.
Sandra bergerak tertatih ke arah semak berduri itu, penasaran dengan apa yang ia dengar. Jika apa yang ia pikirkan benar…
“Sarah!”
Sarah terlihat terpuruk di atas tanah sambil menangis. Wajah gadis itu terlihat begitu berantakan dengan segala macam luka dan lumpur, bercampur dengan air mata.
“Oh, Sandra!” Sarah seketika bangkit dari posisinya dan bergerak ke arah Sandra yang masih tertatih.
“Oh, Sandra! Apa yang akan terjadi pada kita? Makhluk itu! Makhluk itu…, dan James, dia…”
“James tidak bersamamu?”
“Makhluk itu membunuh James!” teriak Sarah histeris dengan tangisan yang keluar semakin keras. Sandra mencoba menghentikan tangis gadis itu, sebab takut seandainya makhluk itu akan mendengar.
“Tubuh James! Tubuh James…” Sarah terbta-bata.
“Tenang, Sarah! Kini kita bersama.” Ucap Sandra, mencoba untuk berpikir positif. Meski sulit untuk dilakukan dalam keadaan itu.
“Apa yang akan kita lakukan? Apa kita akan mati?”
“Tidak, Sarah.” Ucap Sandra. “Kita harus turun gunung. Kita ahrus mencapai pos jaga.”
“Tapi kita tersesat!”
Ya, itu benar. Sandra tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan dalam posisi seperti itu. Mungkin mereka bisa menunggu datangnya pagi? Namun sepertinya masih terlalu lama, dan mereka tidak tahu ahrus berlindung di mana. Makhluk itu mungkin masih mengincar mereka.
“Kita harus terus bergerak!” ucap Sandra. Ia mencoba menguatkan otot-otot di kakinya meski terasa sakit.
Keduanya berjalan tertatih diantara semak dan pohon-pohon besar tanpa tahu kemana mereka harus bergerak. Mungkin mereka semakin jauh masuk ke dalam hutan, dan jauh dari jalur pendakian. Memang terlihat begitu kacau saat itu.
Keduanya saling diam, tak mengucapkan sepatah katapun selama dalam perjalanan. Sandra mencoba untuk memimpin, meski ia tidak tahu arah yang benar. Tapi ia tahu bahwa ia dan Sarah harus terus bergerak jika tidak ingin dimangsa oleh makhluk itu.
“Makhluk apa itu sebenarnya?” tanya Sarah lirih. Kekuatan sepertinya telah menghilang dari dirinya. “Aku tidak…”
“Aku juga tidak tahu.” Balas Sandra.
“Ini kutukan!” ucap Sarah. “Seperti apa yang selalu orang-orang katakan mengenai gunung ini. Entah kenapa aku menyetujui perjalanan mengesalkan ini!”
“Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk memutar waktu.” Ucap Sandra. “Kita hanya harus bertahan.”
“Aku takut mati!” keluh Sarah, yang sepertinya ingin menangis lagi.
Gerakan keduanya seketika terhenti saat jeritan memilukan itu terdengar lagi. Dan kemudian, suara menggelepar di udara itu.
“Oh, tidak! Kita harus lari!”
Sandra dan Sarah menegrahkan kekuatan terakhir mereka untuk bergerak cepat menembus segala semak yang ada di hadapan mereka. Mereka melompat akar demi akar, lalu menyusuri kembali lereng sempit, dan kembali berlari. Akan tetapi…
Jeritan itu kembali terdengar, dan semakin dekat. Suara gelepar dari sayap besar makhluk itu membelah udara. Semakin dekat…, dan dekat…
“Oh! Oh, tidak!”
Seketika seperti ada sebuah tiupan angin dari samping, dan terdengarlah suara jerit wanita yang seolah dapat menggetarkan setiap daun di pepohonan.
“SANDRA!!!!!”
Sandra terpuruk di tanah, terpaku memadnang pada sosok makhluk besar itu yang menyahut temannya. Dan dalam cahaya bulan, Sandra dapat melihat makhluk itu mencabik Sarah. Sandra hanya dapat terpaku, dengan kekuatan sepenuhnya menghilang darinya. Dan kemudian, makhluk itu kembali mengarah padanya. Dan kini Sandra dapat melihat dengan jelas sosok dari makhluk besar itu. Makhluk yang hampir menyerupai campuran antara manusia, kelelawar, dan juga serigala. Wajah berkerut dengan taring dan mata merah itu kini tepat berada di depan Sandra. Sandra seketika yakin, bahwa ini adalah saat terakhir baginya. Sebelum pada akhirnya…
Makhluk itu mengayunkan sayapnya yang besar, bersiap untuk mencabik tubuh Sandra seperti apa yang terjadi pada Sarah. Sandra seketika memejamkan matanya, siap untuk menjemput ajalnya. Namun…
Sebuah suara semburan terdengar begitu keras di sisinya, dan Sandra dapat merasakan hawa panas di udara. Sandra melihat sebuah kobaran api menyembur dari sela-sela pepohonan, mengarah pada makhluk besar itu. Makhluk itu mencoba melawan, namun api yang besar membuatnya bergerak semakin menjauh, dan pada akhirnya, memaksanya untuk pergi. Sandra masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Sesaat ketika ia pikir ia akan mati…
Sandra merasakan tubuhnya lemas seketika, dengan pandangan berputar cepat. Pandangannya menjadi kabur, dan ia terjatuh ke tanah. Dengan sisa tenaga terakhir, ia masih dapat melihat sesosok manusia bergerak ke arahnya. Namun terlalu buram, dan kabur. Ia tidak kuat lagi. Sandra tak sadarkan diri.

**

Sandra masih dapat mendengar jelas suara jeritan memilukan dan juga kepakan sayap besar itu. Ia ingat betul dengan dua mata semerah darah itu, dan juga jeritan dari teman-temannya. Tom, James, dan Sarah. Sandra merasa tidak berdaya dengan kesendirian yang ia hadapi. Dan apa yang sebenarnya terjadi? Ia melihat semburan api, dan makhluk itu pergi darinya. Namun…
Sandra perlahan membuka kedua matanya yang terasa begitu berat. Di hadapannya terdapat pemandangan langit-langit rumah yang kotor, dan ia dapat mencium aroma harum yang sepertinya berasal dari sebuah panci masakan. Ia mengerjap, kemudian ia sadar dengan apa yang terjadi. Seseorang telah menyelamatkannya.
Sorort dinar dari matahari pagi yang masuk melalui celah dinding membutakannya untuk sesaat. Namun ketika ia memperoleh penglihatannya kembali, ia sadar bahwa saat itu ia tengah berada di dalam sebuah pondok kecil, yang sepertinya masih berada di dalam hutan gunung Elber. Pertanyaannya, siapa yang menyelamatkannya?
Jawaban tas hal itu muncul sedetik kemudian, saat seorang pria tua masuk ke dalam ruangan sambil membawa sebuah mangkok kecil. Pria itu melepas satu senyum ramah, sebelum pada akhirnya menyerahkan mangkuk berisi sup panas pada Sandra. Sandra masih belum dapat mengucapkan apapun saat itu.
Dengan ada sup panas itu, pikirannya kembali terbuka. Dan kini ia teringat kembali dengan horor yang ia alami beberapa jam sebelumnya. Dimana ia kehilangan ketiga temannya secara tragis.
“Tidak ada yang dapat kau lakukan jika berhadapan dengan makhluk itu.” Ucap pria itu, seolah dapat membaca apa yang ada di dalam pikiran Sandra dari raut wajahnya. Sandra mendongak, dan meminta penjelasan lebih lanjut mengenai makhluk itu.
“Kami menyebutnya, The Night Reaper.” Ucap pria tua itu. “Seekor makhluk purba yang sudah hidup selama ribuan tahun di gunung ini. Dan selalu mencari mangsa setiap malam.”
Sandra tidak mencoba untuk membantah cerita mengenai makhluk gunung Elber itu, mengingat ia sudah melihat sendiri.
“Itulah kenapa aku membangun pondok di tempat ini.” Ucap pria tua itu. “Hanya aku yang berani menghadapi makhluk itu, karena hanya akulah yang tahu betul-betul soal makluk itu. Selain itu, tugasku juga untuk mencoba mencegah pendaki memasuki hutan di gunung ini.”
“Dan kau juga menyelamatkanku.” Ucap Sandra tanpa sadar. Pria itu tidak mengatakan apapun selain duduk di sudut ruangan.
“Kenapa makhluk itu bisa hidup disini?” ucap Sandra dengan pikiran kabur, berputar kembali pada kejadian semalam. “Kenapa tidak ada yang mencoba untuk membunuhnya?”
“Kau pikir apa yang bisa membuatnya bertahan selama ribuan tahun?” balas pria tua itu. “Makhluk itu tidak bisa mati, dan akan terus mencari mangsa.”
“Teman-temanku…”
“Kurasa sudah tidak ada yang tersisa dari tubuh mereka.”
Tubuh Sandra tanpa sadar bergetar hebat saat gejolak emosi memenuhi dirinya. Air mata kemudian mentes dari rongga matanya saat ia mengingat kembali wajah ketiga temannya. Makhluk itu…
“Kini kau menjadi saksi hidup.” Ucap pria tua itu kemudian. “Jika kau tidak ingin orang lain berakhir seperti teman-temanmu, kau harus memperingatkan orang lain agar tidak mendaki lagi gunung ini. Hanya kau, yang bisa menceritakannya. Dan mungkin dengan begitu tugasku di tempat ini akan jadi sedikit lebih ringan.”
Sandra tidak akan melupakan kejadian yang ia alami. Mungkin untuk seumur hidup. Dan Sandra sadar, bahwa memang hanya dialah yang mungkin dapat memperingatkan orang lain untuk tidak mendaki lagi gunung Elber itu.
Gunung Elber, yang penuh dengan misteri, masih terus akan menjadi misteri. Segala kemisteriusan dari gunung itu akan terpendam dalam-dalam di hutannya yang lebat. Soal The Night Reaper, dan juga korban-korban yang tewas, hanya Sandralah yang hidup untuk menceritakannya.

****