Thursday, September 17, 2015

KUTUKAN BUKU PEMBAWA MAUT



Kendra tidak dapat menghitung lagi waktu yang ia gunakan hari itu untuk menata rumahnya. Ia baru saja pindah dari Hauldnpring, dan barang-barangnya yang ia bawa dari kota itu pun belum sepenuhnya tertata dengan rapi. Sejak pukul sembilan pagi, ia sudah berkutat dengan tumpukan buku-buku tuanya, yang ia tata rapi dalam sebuah rak buku yang terletak di ruang tengah dekat perapian. Selain itu, ia juga harus menata dapurnya, yang hingga detik ini masih terlihat cukup berantakan.
Kendra hidup sendiri. Ya. Rasanya kurang normal bagi wanita seusianya yang seharusnya sudah memiliki pasangan. Bulan depan, ia akan genap berusia tiga puluh tahun. Dan satu-satunya orang yang ia cintai tinggal puluhan kilometer dari tempat tingganya sekarang. Kendra tidak bisa memaksa kekasihnya itu untuk pindah, mengingat kekasihnya terikat pada kontrak sebuah perusahaan di kotanya. Lalu, kenapa Kendra tidak pindah ke rumah kekasihnya itu dan malah memilih tinggal di kota kecil seperti Blackwood?
Kendra terpaksa. Ya, itu benar. Bukan pilihannya sendiri untuk tinggal di kota kecil yang terpencil itu. Jika bukan karena pekerjaannya, ia tidak mau tinggal di Blackwood, yang terkenal dengan kisah-kisah angkernya. Tapi Kendra bukanlah penakut. Ia malah ingin merasakan keanehan Blackwood.
Kendra adalah seorang penulis novel yang belum cukup memiliki nama di dunia literatur Sherland. Namun di kotanya yang lama, ua sudah terkenal sebagai seorang penulis buku misteri. Alasan Kendra memilih tinggal di Blackwood, karena ia ingin merasakan keangkeran yang sesungguhnya, yang tidak bisa ia rasakan di kotanya yang lama. Mungkin jika ia bisa merasakan hawa mistis kota Blackwood, ia akan bisa menulis novelnya dengan lancar.
Tapi lupakan pekerjaan untuk sementara waktu. Kendra benar-benar kerepotan dengan barang-barang yang baru saja datang diantar oleh sebuah jasa angkut barang. Sebagi besar barangnya masih berada di teras rumah dan belum ia bawa masuk.
Pukul dua siang, Kendra akhirnya selesai menata sebagian besar perabot di dalam rumahnya yang baru itu. Ia mendesah, kelelahan, lalu membanting tubuhnya ke atas sofa. Perlahan, ia sapukan pandangan kedua matanya ke stiap sudut rumah yang saat itu sudah terlihat lebih hidup dengan barang-barangnya. Memang masih ada satu kardus barang di teras depan yang belum ia masukkan. Mungkin ia akan menyelesaikannya setelah beristirahat sejenak.
Kendra terhuyung-huyung saat ia bersusah payah membawa sebuah kardus yang berisi buku ke dalam ruang tengah. Ia jatuhkan karuds berat itu, dan isinya berhamburan keluaran. Kebanyakan dari buku yang ia miliki adalah novel misteri. Dan sebagian besar dari buku yang ia miliki sudah menjadi sedikit kumal dan berantakan karena terlalu sering ia buka dan baca.
Kendra hampir selesai memasukkan buku-bukunya ke dalam rak saat kedua matanya itu menangkap sebuah benda asing yang berada di tumpukan terbawah di dalam kardus itu. Ia melihat sebuah buku bersampul coklat tebal, yang terlihat sudah kumal. Ia ambil buku iatu, dan membukanya. Namun ia tidak menemukan satupun tulisan di dalamnya. Buku itu hanyalah sebuah buku tua kosong. Kenapa Kendra merasa aneh dengan buku itu? Apakah karena ia belum pernah melihat buku itu sebelumnya? Ia yakin belum pernah melihat buku itu.
Duggan Kendra hanya ada satu. Mungkin buku itu adalah buku kepunyaan kekasihnya, Jason. Kendra tanpa sadar telah men-dial nomor kekasihnya itu, dan suara yang khas menggema di telinganya.
“Mengenai buku.” Ucap Kendra. “Apa kau pernah meninggalkan sebuah buku di rak bukuku yang lama? Aku menemukan sebuah buku kosong. Buku tua.”
“Ada buku seperti itu?”
“Kukira buku ini punyamu.” Ucap Kendra. “Jadi kau tidak ingat pernah memiliki buku seperti itu?”
Kendra hanya dapat mengernyit heran saat ia ketahui bahwa buku tua itu bukanlah milik Jason. Lalu bagaimana buku itu bisa sampai masuk ke dalam kardus buku-bukunya? Kardusnya tersegel sebelum ia menyerahkannya ke jasa pengangkutan. Jadi sepertinya tidak mungkin buku itu adalah buku milik orang lain. Lalu? Mungkin Kendra hanya lupa bahwa ia pernah memiliki buku itu.
Kendra tidak memikirkan lagi buku itu hingga malam menjelang. Di malam yang dingin itu, Kendra sibuk di depan layar laptopnya, mengedit naskah novel yang akan ia kirimkan ke penerbit.
Pikirannya fokus ke arah cerita yang ia tulis. Namun beberapa detik kemudian, ia melonjak kaget saat ia dengar sebuah suara berdebum dari lantai bawah. Dari arah ruang tengah, dimana perapian berada. Kendra mencoba mengabaikan suara itu. Namun beberapa menit kemudian, suara berdebum itu kembali terdengar. Seperti suara benda terjatuh, yang terdengar begitu keras.
Kendra akhirnya melepaskan perhatiannya dari naskah novelnya. Ia bergerak turun ke lantai bawah, memeriksa ruang tengah. Semuanya terlihat sama seperti saat ia tinggalkan, dan tidak ada yang berubah. Vas bunga yang ada di atas meja masih berada di tempatnya dan terlihat tidak bergeser, begitu juga dengan benda yang lain. Lalu suara apa itu tadi?
Kendra baru saja akan melangkah kembali ke lantai dua saat suara berdebuk itu kembali terdengar. Kendra pusatkan pandangan matanya ke arah sumber suara, yang ia yakin berasal dari arah rak bukunya. Ia bergerak cepat ke arah rak bukunya, memeriksa, namun tidak ada yang berubah.
Kendra mengenyit saat kakinya tersandung sebuah benda di lantai. Sebuah buku. Buku tua bersampul coklat yang ia temukan beberapa jam yang lalu, tergeletak diatas lantai. Mungkin buku itu yang membuat suara? Terjatuh dari rak?
Kendra ambil buku tua itu. Perasaan aneh dan tidak mengenakkan tiba-tiba saja Kendra rasakan saat ia memegang buku tua itu di tangannya. Kendra semakin heran, dan ingin rasanya membuang buku itu jauh-jauh. Namun ia tidak melakukannya. Ia letakkan kembali buku tua itu ke dalam rak, lalu melangkah pergi.
Kendra akhirnya bisa benar-benar lupa dengan buku tua itu hingga pagi menjelang keesokan harinya. Setelah sarapan, Kendra biasanya akan melakukan senam ringan di depan televisi. Namun sebuah suara yang sama dengan apa yang ia dengar kemarin kembali terdengar. Lagi-lagi berasal dari ruang tengah, dimana rak buknya berada. Apa mungkin buku tua itu lagi?
Kendra benar-benar bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Buku tua bersampul coklat itu kembali ia temukan tergeletak di depan rak, seolah baru saja terjatuh. Benarkah hanya terjatuh? Buku tua itu sudah terjatuh dua kali, tanpa membawa buku lain. Apa mungkin buku tua itu hidup?
Kendra mendengus sambil menggeleng. Ia tertawa akan pikiran konyolnya itu. Ya, ia memang penulis cerita misteri dan kadang horor. Ia kadang memang sering berimajinasi. Namun untuk kasus buku tua yang terus melompat dari rak itu, Kendra benar-benar tidak tahu. Mungkin ia hanya salah menempatkannya. Kali ini, Kendra tidak memasukkan kembali buku itu ke dalam rak melainkan hanya meletakkannya begitu saja diatas meja.
Meski Kendra berusaha melupakan mengenai buku itu, sebeanrnya ia begitu penasaran. Kenapa buku itu bisa sampai berada di tangannya? Buku apa itu? Kenapa ia tidak pernah ingat memiliki buku itu? Mungkinkah buku itu adalah kepunyaan ayahnya yang tak sengaja ia bawa?
Sore menjelang. Kendra bersantai di ruang tengah seperti biasanya, sambil membaca sebuah novel. Perhatiannya terebut, saat secara tidak sengaja ia melihat buku tua itu masih tergeletak diatas meja. Rasa penasaran Kendra muncul begitu saja. Ia letakkan novelnya, dan ia raih buku tua itu.
Buku tua itu memang terlihat sudah begitu usang. Sampul kulitnya sudah kumal, dan halaman-halamannya sudah menguning termakan usia. Aroma debu yang khas tercium. Selain itu, tidak ada yang aneh.
Kendra baru saja akan meletakan buku itu kembali ke atas meja saat kedua matanya itu secara tak sengaja menangkap sebuah tulisan di sampul belakang buku tua itu. Di bagian bawa, tertulis dengan spidol yang mulai pudar termakan waktu, namun masih dapat dibawa.
“Buku ini milik Lance Camelot.”
Kendra kembali mengernyit. Lance Camelot bukanlah nama ayahnya. Itu berarti buku itu emmang bukan milik salah satu anggota keluarga Kendra. Dan mengenai nama itu, Kendra sepertinya pernah mendengarnya. Hanya saja, ketika ia coba untuk mengingat akan nama itu, ia semakin merasa tidak nyaman. Ada sebuah perasaan kosong di dalam dirinya, saat mencoba melafalkan nama itu. Kenapa?
Serbuan angin tiba-tiba saja masuk dari arah jendela. Meniup tirai dan mengobrak-abrik tumpukan majalah yang ada di bawah meja. Dan karena angin itu, halaman di buku tua tua itu terbalik dengan cepat. Hingga akhirnya berhenti di sebuah halaman, dimana di halaman itu terdapat sebuah tulisan tangan berwarna merah kehitaman, yang seolah ditulis dengan darah. Tulisan itu berbunyi,
“Lagu kematian telah dituliskan, dan akan dinyanyikan.”
Kendra tiba-tiba saja merasakan hawa dingin yang tidak biasa. Apakah karena jendelanya yang terbuka? Tidak. Perasaan yang aneh, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Keadaan di sekitarnya seolah menjadi ancaman, mencekam, dan tidak mengenakkan, terutama setelah Kendra membaca tulisan itu.
Kendra secara spontan melempar buku itu ketika secara tiba-tiba sebuah pemandangan yang mengerikan muncul di dalam kepalanya. Terlihat begitu nyata, seperti sebuah slide film yang diputar tepat di depan kedua matanya. Ia melihat genangan darah, dan rasanya ia seperti mendenga jeritan di telianganya. Sebuah pemandangan yang mencekam yang tidak tahu datangnya darimana itu tiba-tiba saja menghilang setelah buku itu terlepas dari tangannya. Apa yang terjadi?
Kendra kini yakin bahwa buku tua itu bukanlah buku biasa. Atau…, hanya imajinasinya saja? Kendra menatap nanar pada buku tua yang terlempar ke seberang ruangan itu. Tertutup, namun terlihat begitu mengacam. Lalu apa yang akan ia lakukan?
Kendra mencoba untuk tidur. Ia abaikan suara-suara jeritan tadi yang terus berputar di kepalanya. Pemandangan mengerikan yang dipenuhi dengan darah itu terus saja terputar di dalam ingatannya, dan seolah tidak bisa hilang.
Jam di atas meja menunjukkan pukul satu dinihari. Namun kedua mata wanita itu belum juga terpejam. Ia merasa ngeri, dan takut untuk memejamkan kedua matanya. Karena saat kedua matanya terpejam, gambaran-gambaran aneh itu selalu muncul menghantuinya. Kini bukan hanya darah. Tapi ia juga melihat sosok wajah yang pucat pasi dengan mata gelap menatap ke arahnya.
Obat tidur ternyata tidak dapat membantu. Tetap saja, ia tidak bisa tidur. Memang kedua matanya merasakan kantuk yang cukup berat. Namun otaknya rasanya tidak mau diajak untuk beristirahat, dan terus memutar pemandangan dan suara-suara aneh itu. Kendra bisa saja berteriak. Kesal, terhadap apa yang tengah terjadi pada dirinya. Kenapa dengannya? Kenapa ia bisa setakut itu?
Perjuangan Kendra dalam melawan rasa kantuknya akhirnya berakhir dengan sebuah kekalahan. Sekitar pukul tiga, ia akhirnya bisa tidur. Namun rupanya bukanlah sebuah tidur yang normal seperti yang ia lakukan selama ini. Mimpi yang begitu mencekam menghantuinya. Kendra merasa bahwa apa yang ia lihat dan rasakan begitu nyata. Suara-suara desahan, jeritan, tangis dan ratapan terdengar berulang-ulang. Kendra berkeringat, meski udara sedang dingin-dinginnya. Tubuhnya menegang, mencoba melawan segala impian yang hadir di dalam kepalanya. Detik berikutnya, sosok wajah pucat pasi dengan mata kosong itu muncul secara tiba-tiba. Menjerit kearahnya.
Kendra membuka kedua matanya dengan sebuah desahan panjang. Tubuhnya basah oleh keringat, bergetar, dan rasanya ia seperti telah ebrlari sejauh puluhan kilometer. Nafasnya memburu, dan tenggorokannya terasa begitu kering.
Kendra tidak dapat mengatakan bahwa tidurnya begitu nyenyak. Dengan mimpi buruk semacam itu, tidak heran bila ia masih merasa lelah meski telah tidur selama kurang lebih lima jam. Ketika ia bangun, sinar matahri telah menyiram dari arah jendelanya. Hangat. Namun Kendra masih tidak bisa melepaskan kengerian yang ia rasakan semalam.
Semua karena buku tua itu. Ya. Kendra yakin dengan dugaannya itu. Ketika ia masuk ke dalam ruang tengah pagi itu, buku tua yang ia lempar kemarin mash tergeletak di ujung ruangan. Dengan peuh kehatian-hatian, Kendra mengangkat buku itu lagi. Ia sudah bersiap seandainya pemandangan dan suara ngeri itu datang lagi. Tapi…, tidak ada. Tidak ada yang terjadi. Segalanya masih berada dalam keadaan normal.
Kendra dengan cepat membolak-balik halaman buku tua itu, mencoba untuk menemukan lagi kalimat dengan tulisan darah itu. Anehnya, tulisan itu telah menghilang. Seolah telah dihapus, dan tidak meninggalkan jejak. Hal tersebut semakin membuat Kendra yakin bahwa buku yang berada di tangannya itu memang bukanlah buku biasa.
Lance Camelot. Nama itu menjadi satu-satunya petunjuk bagi Kendra untuk dapat mengetahui kebenaran dari buku tua itu. Kendra yang merasa pernah mendengar nama itu mencoba untuk membuka-buka lagi arsip tulisannya yang lama. Ia selalu melakukan sedikit riset untuk setiap novel misteri yang ia tulis. Dan informasi yang ia dapatkan ia kumpuklan dalam sebuah buku jurnal tebal yang berisi dengan guntingan-guntingan koran dan segala tulisan. Namun, tidak ada satupun halaman dalam jurnalnya yang membahas mengenai Lance Camelot. Lalu dimana Kendra pernah mendengar nama itu?
Kendra mencoba melakukan penelusuran di internet mengenai nama itu. Hasilnya? Tidak ada. Nama itu seolah adalah nama yang begitu rahasia. Tidak ada staupun situs misteri di internet yang memuat berita mengenai nama itu.
Kendra mendesah seraya melempar tubuhnya ke arah sofa. Waktu telah berlalu begitu cepat. Ketika ia sadari, jam telah menunjukkan pukul sebelas siang. Dan ia masih belum menemukan informasi apapun mengenai nama Lance Camelot.
Kendra tidak sadar bahwa rasa kantuk karena kelelahan telah merayapi kedua matanya. Detik berikutnya, ia telah terjatuh ke dalam alam mimpi. Disana, terdengar sebuah suara seorang pria yang terdengar begitu familiar bagi Kendra. Suara itu…, suara ayahnya.
“Jadi kau mau menulis cerita misteri, Kendra?” tanya suara pria itu. Dan Kendra dapat mendengar jawaban dari mulut seorang anak kecil. Seorang gadis muda, yang kira-kira baru berusia dua belas tahun.
“Siapa Lance Camelot?” tanya Kendra kecil pada ayahnya.
“Dia orang yang sangat berbahaya. Tapi dia sudah tidak ada. Dia hidup pada zaman kuno di Inggris.”
“Apa dia ada hubungannya dengan raja Arthur?”
“Kau tahu cerita tentang raja Arthur?”
“Bukankah dia yang merajai kerajaan Camelot?”
“Ya, Kendra.” Jawab pria itu. “Tapi kurasa Lance Camelot tidak ada hubungannya dengan rasa Arthur. Lance Camelot, adalah seorang penyihir jahat yang telah melukai ratusan jiwa karena praktek sihirnya. Di jaman itu, sihir adalah sesuatu yang umum. Sesuatu yang ditakuti, yang dapat membuat seseorang berjaya atas nyawa orang lain.”
“Apa yang Camelot lakukan?”
“Dia menyembah setan. Dia adalah maut. Siapapun yang mendengar puisi kematiannya, orang itu akan tewas.”
“Puisi kematian?”
“Lagu kematian telah dituliskan, dan akan dinyanyikan.”
Kedua mata Kendra terbuka dengan seketika. Dan ia ingat betul mengenai mimpi singkat yang baru saja ia alami. Ya. Mimpi, atau kenangan dari masa kecilnya saat ia tengah berbincang dengan ayahnya. Kini ia ingat dimana ia pernah mendengar nama Lance Camelot. Ternyata dari ayahnya sendiri.
Segala kenangan Kendra mengenai nama Lance Camelot dan buku tua itu hadir seperti banjir, memenuhi otaknya. Ayahnya pernah mengatakan bahwa pria itu, Camelot, adalah seorang penyihir yang berbahaya. Dan siapapun yang mendengar puisi kematiannya, orang itu akan mati.
Kendra merasakan otot-otot di tubuhnya menegang. Pusi itu…, ya. Ia telah membacanya. Kalimat yang tertulis dengan darah itu memang ditujukan kepadanya. Pusi kematian…, dan kematian yang akan menghampirinya.
Kendra dengan cepat menyambar buku tua itu lalu kembali membuka-buku halamannya. Ia mencoba mencari dimana tulisan awal dari pusi kematian itu berada, namun usahanya itu berakhir sia-sia. Ia tidak menemukannya.
Kendra berteriak kesal seraya melempar buku itu ke seberang ruangan. Buku terkutuk. Apa yang akan terjadi padanya jika ia tidak segera membuang buku itu jauh-jauh?
Tidur Kendra malam harinya sedikit terganggu. Mimpi-mipi buruk mengenai hal-hal mengerikan yang pernah ia lihat saat memegang buku tua itu kembali. Ia lihat sebuah tanah tandus, terlupakan, lalu adanya darah, dan wajah pucat pasi itu kembali menghampirinya. Apakah wajah itu adalah wajah dari kematian yang akan menghampirinya?
Kendra ketakutan. Tidak pernah ia merasakan rasa takut yang menjadi-jadi hingga berakar ke tulang-tulangnya seperti ini. Hari demi hari ia lewati dengan perasaan gundah. Buku tua itu masih tergeltak di sudut ruangan. Kendra tidak berani lagi menyentuhnya.
“Kau harus menghancurkannya, Kendra!” ucap salah seorang teman Kendra sesaat setelah ia menjelaskan mengenai buku terkutuk itu. Teman Kendra yang satu ini memang memiliki kepercayaan dengan hal-hal gaib. Dan pengetahuannya tentang hal-hal seperti itu memang tidak diragukan lagi.
“Tapi aku takut untuk menyentuhnya.” Ucap Kendra. “Setiap kali mendekat, aku merasakan rasa dingin itu. Lalu gambaran-gambaran aneh mulai datang memenuhi kepalaku.”
“Kau harus melawannya!”
“Bagaimana caranya?”
“Buat dirimu berani.” Ucap teman Kendra itu memberikan solusi. “Kau tidak akan mampu menghancurkannya jika kau tidak berani menghadapinya. Temukan kelemahan buku itu, Kendra!”
Hari-hari berkutnya, ketakutan Kendra mulai memudar, namun tidak sepenuhnya hilang. Ia mulai berani menyentuh buku itu lagi. Ia buka-buka halamannya, dan masih saja kosong. Tidak ada lanjutan dari puisi itu.
Hal yang mengejutkan terjadi di suatu Minggu pagi. Saat Kendra tengah membersihkan ruangan, tiba-tiba saja ada angin besar masuk ke dalam ruang tengahnnya seperti saat itu. Halaman dari buku tua itu kembali terbuka, dan berakhir pada sebuah halaman, dimana kelanjutan dari puisi itu tertulis.
“Tarian kedamaian, tarian kematian. Api akan menyebar ketakutan, dan darah menjadi lautan. Apakah kau siap untuk dunia berikutnya?”
Kendra dengan kasar merobek halaman buku tua yang berisikan tulisan itu dan membakarnya. Ia berpikir dengan cara itu ia telah berhasil menghentikan kutukan dari buku tua itu. Ternyata, perkiraannya itu salah.
Ia kembali mendapatkan mimpi-mimpi buruk di malam-malam berikutnya, dan tidurnya benar-benar terganggu. Bahkan Kendra pernah tidak tidur semalaman, dan hanya menatap buku tua itu.
Segala rasa cemas dan ketakutan kembali meracuni tubuh Kendra. Hal tersebut kini telah benar-benar membuatnya lumpuh, tidak dapat bekerja lagi. Ia tidak akan kembali ke kehidupannya yang normal jika ia tidak segera menghancurkan kutukan buku tua itu.
Kendra mencari solusi dari luar rumahnya. Siapa yang kiranya tahu hal-hal mengenai sihir? Jika pertanyaannya semacam itu, mungkin ia akan mendapat banyak jawaban, mengingat ia tinggal di Blackwood.
Seorang nenek tua yang tinggal di kawasan Whisper Street menjadi satu-satunya orang yang mungkin dapat membantu Kendra. Kendra menemui wanita tua itu, dan menjelaskan segalanya. Kendra senang wanita itu tidak menertawakannya.
“Buku milik Lance Camelot.” Gumam wanita tua itu sambil mengelus sampul kulit dari buku tua itu. Kedua mata senjanya terpaku pada buku itu.
“Buku ini sudah hilang selama berabad-abad. Dan aku tidak tahu bagaimana kau bisa mendapatkannya.”
“Aku juga tidak tahu.” Ucap Kendra. “Yang jelas, puisi itu sudah tertulis untukku. Kematianku…”
“Jangan khawatir!” ucap wanita tua itu. “Selalu ada jalan untuk mengakhiri sebuah kutukan.”
Kendra tidak langsung mendapatkan solusi dari wanita itu. Wanita itu memintanya untuk menunggu. Menunggu apa? Kendra pun tidak mengetahuinya.
Hari-hari Kendra kini selalu dipenuhi dengan ketegangan. Ia terus memantau buku tua itu. Dan ia dapati, saat angin besar datang menyerbu ke dalam rumahnya, selalu ada kalimat baru di dalam buku tua itu. Di suatu akhir pekan, Kendra mendapat pesan yang berbunyi,
“Sangkakala terakhir, kehidupan terakhir.”
Mungkin kalimat itu adalah akhir dari puusi kematian itu, mengingat Kendra tidak lagi mendapatkan kalimat-kalimat baru dalam beberapa hari setelahnya. Namun, keanehan mulai terjadi. Maut mulai datang pada kehidupan Kendra.
Kendra ingat bahwa satu-satunya kecelakaan yang ia alami adalah saat ia berusia 16 tahun. Selain itu, tidak ada lagi. Tapi setelah kalimat terakir dari puisi keamtian itu, Kendra sudah tak dapat menghitung lagi berapa banyak kesialan yang bisa ia dapatkan dalam satu hari.
Ia pernah nyaris terserempet bus di persimpangan jalan, yang membuatnya jatuh dan mengalami luka di kakinya. Lalu saat di rumah, ia hampir saja terjatuh di tangga saat kakinya secara tak sengaja terantuk pada sebuah benda yang tak terlihat.
Kendra begitu yakin bahwa kutukan itu telah bekerja, dan kematian tengah mengejarnya. Ia harus segera mengakhiri semua ini jika ia ingin kembali ke kehidupannya yang normal. Ia harus menghancurkan buku itu.
Kendra tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Dalam cuaca yang tak mendukung, Kendra pergi dari rumahnya membawa buku tua itu. Hujan deras menerpa, membasahi seluruh pakaian yang ia kenakan. Ia berlari menyusuri jalanan Blackwood. Ia memutuskan untuk tidak menggunakan mobil karena ia tahu hal buruk akan terjadi padanya.
Whisper Street. Jalanan perumahan di kawasan itu memang terkenal sebagai yang paling sepi bila dibandingkan dengan bagian lain dari Blackwood. Kendra dengan cepat berlari ke arah sebuah rumah yang pernah didatanginya. Rumah nenek itu. Rumah Matilda.
“Matilda!” teriak Kendra sambil menggedor pintu rumah wanita tua itu. Hujan semakin deras menerpanya. Ia dengar gemuruh di kejauhan, yang seolah menjawab segala rasa takut yang Kendra alami.
“Matilda, kumohon!”
Pintu kayu rumah tua itu akhirnya terbuka. Nampaklah sesosok wanita tua, memandang serius ke arah Kendra yang basah kuyup. Kendra memohon pada wanita itu untuk membantunya.
“Kumohon, Matilda! Aku sudah tidak kuat lagi.”
“Masuklah, nak. Kurasa sudah saatnya.”
Kendra dibawa masuk ke dalam urmah yang terlihat sedikit mengerikan daripada saat terakhir kali Kendra datang. Keadaan di dalam rumah itu terlihat cukup terang dengan ada puluhan lilin berdiri di lantai, di rak buku, dan di segala tempat. Kendra tidak tahu apa yang tengah wanita itu lakukan.
“Jangan heran!” ucap wanita itu. “Semua ini kupersiapkan untuk hari ini. Untuk apa yang akan kita lakukan.”
“Kau yakin bisa mencabut kutukannya?” tanya Kendra. “Kematian mengejarku. Aku…, bisa saja mati.”
“Bukan perkara yang mudah untuk mematahkan kutukan yang sudah berusia ratusan tahun seperti ini. Aku memerlukan banyak persiapan. Sejak kau pulang hari itu, aku tidak pernah berhenti menghafalkan lagi mantra-mantra kuno yang dulu pernah diajarkan oleh kakekku. Dan kini…, kurasa kita akan melihat apakah kekuatanku dapat mengalahkan kekuatan Lord Lance Camelot.”
Tubuh Kendra bergetar. Bukan karena rasa dingin karena ia baru saja kehujanan. Namun karena atmosfir di ruangan itu yang berubah dengan drastis. Ia merasakan datangnya hembusan angin, entah darimana datangnya. Api-api yang ada di lilin bergoyang, kadang meniupnya hingga mati.
Wanita tua itu bergerak ke tengah ruangan dimana telah ia siapkan sebuah meja yang telah ia lumuri dengan suatu cairan berwarna merah. Darah? Kendra tidak tahu pasti. Keadaan sudah cukup mengerikan tanpa memikirkan adanya hal-hal lain yang bisa membuatnya mual.
Wanita itu berdiri tegak di depan meja. Ia kemudian merentangkan kedua lengannya, mendongak sambil memejamkan kedua matanya. Sedetik kemudian, keluarlah sederet mantra-mantra aneh dari mulutnya. Sebuah bahasa yang tidak akan mungkin Kendra pelajari.
Kendra merasa semakin takut saat hembusan angin terasa semakin kencang. Pigura-pigura di dinding dan segala benda kecil bergetar, kadang jatuh dari rak. Sebuah kekuatan yang tak terlihat seolah datang pada saat itu juga. Sebuah kekuatan yang tak nampak, yang rasanya begitu berbahaya.
“Kendra! Bukunya!”
Kendra segera menyerahkan buku itu pada Matilda. Matilda mengangkat buku itu pada kedua tangannya, mengucapkan mantra lagi, dan hembusan angin terasa semakin kencang. Disaat yang bersamaan, suara Matilda juga semakin kencang dalam mengucapkan mantra-mantra itu.
Matilda tiba-tiba saja mengerang, seolah tengah terserang oleh sesuatu. Kendra dengan jelas dapat menyaksikan wajah penuh derita wanita itu. Sesuatu sedang melawan Matilda. Apakah kekuatan dari buku tua itu? Kekuatan Lance Camelot?
Matilda berteriak. Buku yang ia pegang terlempar ke udara dan jatuh berdebuk ke atas lantai. Matilda seolah didorong oleh sebuah kekuatan, jatuh ke atas lantai. Disaat yang bersamaan, deruan angin keras itu berhenti.
Matilda terengah-engah, kelelahan. Kendra tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia yakin bahwa apa yang tengah Matilda lakukan menemui kegagalan.
“Buku itu sangat kuat.” Ucapnya. “Mustahil untuk bisa mematahkan kutukan Lance Camelot.”
“Tapi katamu…”
“Aku tidak mengatakan bahwa aku menyerah, nak.” Potong Matilda. “Aku yakin bahwa kutukan ini dapat dipatahkan. Meski harus merebut nyawaku.”
“Jangan mati!”
“Ini adalah sebuah perebutan kekuatan yang dahsyat. Aku harus mencobanya lagi.”
Matilda bangun dengan bersusah payah. Ia ambil lagi buku tua itu, lalu melakukan hal yang sama. Mengangkatnya tinggi-tinggi di udara, sambil mengucapkan mantra. Dan lagi-lagi, deruan angin yang kencang itu datang menerpa. Kali ini seluruh api yang ada di lilin padam. Sebagai gantinya, api yang ada di dalam perapian membesar, menjadi-jadi. Lidah-lidah api bergerak tak normal, seolah api jahat yang keluar dari dalam neraka mencoba untuk membakar wanita tua itu.
Kekuatan dari dalam perapian itu snagat besar. Kendra merasakan tubuhnya goyah, dan bisa saja terlempar jika saja ia tak berpegangan pada sebuah kursi. Sebaliknya, Matilda sepertinya tidka merasakan kekuatan jahat itu, meski terliht jelas bahwa ia tengah berusaha keras menjaga buku itu tetap di udara. Tangannya bergetar hebat, seolah buku itu memaksa untuk lepas dari genggamannya.
Deruan angin itu semakin besar. Kendra kini bahkan tidak dapat mendengar ucapan Matilda. Suara gemuruh angin itu membuatnya tuli untuk sesaat. Kendra mengamati dengan nanar, saat lidah api dari perapian itu akhirnya menjilat tubuh Matilda.
Matilda berteriak keras saat sebelah tangannya terbakar. Namun anehnya, ia masih tetap menjaga buku itu tetap berada di udara. Mantra yang ia ucapkan semakin cepat dan keras, hingga akhirnya buku yang ada di tangannya melompat, masuk ke dalam perapian. Lidah-lidah api itu semkain membesar, lalu berubah warna menjadi kebiruan, hingga akhirnya padam seketika. Hanya meninggalkan asap tebal, yang hilang dalam beberapa detik.
Kendra terpuruk pada kedua kakinya saat semua hal yang mengejutkan itu berakhir. Ia lihat, Matilda terengah-engah di depannya. Api yang tadi membakar lengannya telah hilang, meninggalkan bekas bakaran di lengan bawah wanita itu. Kendra tidak yakin apakah ritual yang dilakukan Matilda berakhir atau tidak. Namun, ketika ia melihat Matilda tersenyum, ia tahu jawabannya.

*

Kendra membantu Matilda membebat lengannya yang terluka. Tiga puluh menit telah berlalu sejak buku tua itu melompat ke dalam perapian. Dan Matilda mengatakan bahwa semuanya telah berakhir.
Kendra melongok ke dalam perapian, dan melihat buku tua itu sudah hangus terbakar. Yang tersisa hanyalah segumpal kertas dengan bekas bakaran, yang sudah tidak bisa dikatakan sebagai sebuah buku lagi.
“Ritual yang kau lakukan itu…” ucap Kendra. “Darimana Anda mengetahuinya?”
“Itu adalah ritual lama.” Jawab Matilda pelan. “Kakekku selalu mengajarkan mantra-mantra itu, meski saat itu aku begitu yakin bahwa aku tidak akan perlu memakainya. Ritual ini berat, karena kita berhadapan dengan sebuah kekuatan jahat yang begitu besar. Harus ada banyak persiapan untuk melakukannya, dan saat melakukannya pun aku tidak bisa terlepas dari pengaruh-pengaruh jahat yang menyelubunyiku.”
“Jadi kau merasakannya? Saat api itu…”
“Ya.” Jawab Matilda. “Kekuatan yang tertanam pada buku tua itu sangat besar. Sesuai dugaan. Lance Camelot memang bukan orang sembarangan. Dia penyihir jahat terbesar di zamannya. Tapi jangan khawatir mengenai buku itu lagi. Semuanya sudah berakhir.”
“Apa ini berarti kutukan yang ada padaku juga sudah hilang?”
“Ya.”
Kendra tersenyum lebar. Ya, ia merasa begitu puas setelah apa yang terjadi. Kini ia bisa kembali lagi ke dalam kehidupan normalnya. Terbukti, beberapa hari setelah ritual itu, ia tidak lagi mendapatkan mimpi buruk mengenai pemandangan mengerikan dan wajah pucat itu, dan ia juga tidak mendapatkan kesialan lagi.
“Aku sudah mengakhrinya.” Ucap Kendra pada temannya. Ia menceritakan segalanya, mengenai ritual dalam menghancurkan kutukan itu.
“Kau bisa kembali ke dalam pekerjaanmu sekarang? Kau tidak takut lagi, ‘kan?”
“Kurasa begitu.” Jawab Kendra.
Pagi yang cerah menyambut Kendra. Sinar matahari yang hangat menyelimutinya saat ia duduk di kamarnya, menghadap layar laptop, dan ia bersiap untuk menuliskan bab pertama dari cerita barunya. Lalu, cerita misteri apa yang akan ia tuliskan?
“Kurasa…” ucap Kendra. “Aku bisa menceritakan pengalaman yang baru saja aku dapatkan.”

****



Thursday, September 10, 2015

PRIA TUA YANG TERSESAT



Jonas Mercer belum lama bertugas sebagai anggota kepolisian di kotanya yang baru, Blackwood. Baru sekitar lima bulan ia tinggal di kota kecil itu, namun ia sudah dapat dibandingkan dengan polisi-polisi senior yang bekerja lebih lama darinya. Prestasinya di kepolisian lumayan bagus. Ia banyak mendapat pujian atas kasus-kasus yang ia tangani, namun hal itu tidak membuatnya lupa akan dirinya yang sebenarnya.
Jika boleh memilih, Jonah lebih menginginkan bekerja di kota kelahirannya, New Himpton. Namun nasib ternyata harus membawanya ke Blackwood, kota kecil yang ia dengar memiliki banyak sekali kisah ganjil. Apakah karena banyak terjadi tindak kriminal di kota itu? Mungkin saja. Dalam seminggu Jonah bisa mendapatkan belasan kasus. Mulai dari kasus pencopetan hingga kasus pembunuhan. Aneh? Bagi masyarakat biasa, mungkin begitu. Tapi bagi anggota kepolisian seperti dirinya, hal itu adalah hal yang wajar.
Jonas mulai menyenangi tempat tinggalnya yang baru. Sebuah kota kecil di tengah kawasan hutan yang asri, sungguh berbeda dengan kota metropolitan seperti New Himpton yang setiap harinya selalu dipenuhi dengan gas beracun dari kendaraan. Jones sempat berpikir, mungkin ia akan mengajak keluarganya tinggal di kota itu suatu saat nanti.
Seperti hari-hari biasanya, Jones melakukan patroli mengelilingi Blackwood dengan mobil patrolinya. Hal yang rutin ia lakukan setiap pagi dan sore ini membuatnya dapat dengan cepat menghafal lalu lintas Blackwood, dan juga dengan lokasi-lokasi terpencil di area sekitar kota kecil itu.
Sore itu rupanya cuaca sedang tidak bersahabat. Hujan turun sejak pukul dua belas siang, dan hingga pukul lima belum juga berhenti. Jonas tetap melakukan tugas patrolinya seperti biasa. Berkeliling Blackwood dengan mobil putih bergaris biru miliknya. Biasanya ia berkeliling bersama dengan salah satu rekannya. Namun karena suatu alasan, sore itu ia harus bertugas sendirian.
Jonas memacu mobilnya dengan kecepatan sedang melewati sebuah jalan di perbukitan yang berada di bagian utara Blackwood. Tidak ada yang aneh, atau pun mencurigakan untuk bisa menarik perhatiannya. Udara yang dingin, dengan hujan deras membuat Jones harus ekstra hati-hati dalam mengemudikan mobilnya. Keadaan mulai gelap saat jarum jam menunjukkan pukul enam sore. Jalanan di kawasan hutan Blackwood bisa sangat berbahaya saat hujan seperti itu.
Jonas sempat melamun beberapa saat, ketika tiba-tiba saja tangannya tersentak dengan cepat, membanting setir ke arah kiri dan menginjak pedal rem dalam waktu yang bersamaan saat ia merasa ada sesuatu yang tergeletak di tengah jalan, tepat di depannya. Jonas memicingkan kedua matanya untuk dapat melihat menembus kabut hujan yang ada di depannya, dan menemukan sesuatu memang tergeletak di tengah jalan, tepat di depan mobilnya.
Apa itu? Hewan? Memang tidak aneh jika Jonas berpikir seperti itu mengingat kawasan hutan blackwood memang masih banyak ditinggali oleh kawanan hewan. Namun saat itu ia tidak berpikiran bahwa yang ada di depan mobilnya adalah seekor binatang. Ketika Jonas sudah dapat melihat benda itu dengan jelas, ia tersentak. Onggokan itu adalah tubuh seorang manusia.
Jonas dengan cepat keluar dari mobil patrolinya tanpa memikirkan hujan deras yang dengan cepat membasahi seragam kepolisiannya. Dengan langkah cepat ia mendatangi sosok di tengah jalan itu, yang tergeletak tak bergerak. Jasad? Bukan. Tanpa mendekat pun Jonas tahu bahwa sosok yang ada di tengah jalan itu masih hidup.
Seorang pria tua. Mungkin berusia 70-an, dengan rambut hitam yang mulai dipenuhi dengan garis putih, berpakaian kumal dan terlihat tak layak. Siapa sebenarnya pria tua itu? Jonas tidak akan berpikir lama untuk menyelamatkan seorang nyawa, seperti yang sudah pernah ia lakukan sebelumnya. Jonas mengangkat tubuh pria itu dari tengah jalan, lalu membawanya ke dalam mobilnya.
Wajah tua dari pria itu terlihat menunjukkan begitu banyak penderitaan. Terdapat banyak luka di sekujur tubuh pria tua itu. Ada bekas sayatan, luka lebam, dan pakaiannya compang-camping. Dugaan terbaik Jonas, pria ini mungkin baru saja dirampok.
ARRGGG!
Jonah langsung mengarahkan perhatiannya pada pria tua itu saat pria itu mengeluarkan sebuah erangan. Wajahnya terlihat memucat, dan terlihat jelas bahwa pria itu tengah menahan rasa sakit.
“Anda akan baik-baik saja.” Ucap Jonas mencoba menenangkan pria tua itu.
“Dimana aku?”
“Di mobil. Dan aku akan membawa Anda ke dok…”
“Tidak!!”
Pria tua itu dengan cepat membuka kedua matanya. Sebuah sorot mata yang tajam, kemerahan, menatap ke arah Jonas yang terpaku dan bingung.
“Dokter!” teriak Jonas untuk menanggulangi suara berisik air hujan di luar mobilnya.
“Aku akan membawa Anda ke dokter.”
“Tidak perlu!” balas pria tua itu dengan suara yang tertahan, disela erangan rasa sakitnya.
“Aku tidak butuh dokter.” Ucap pria itu lagi. “Aku ingin ke tempat lain. Antarkan aku ke tempat lain!”
“Dimana Anda tinggal? Blackwood?”
“Jauh dari tempat ini.” Jawab pria itu. “Aku…, aku…”
Jonas tidak betah harus mendengar erangan kesakitan dari pria tua itu. Ia sepertinya tidak perlu bernegosiasi untuk menyelamatkan satu nyawa. Tanpa menghiraukan ucapan-ucapan pria tua itu, Jones menginjak pedal gas dalam-dalam dan mengarah ke suatu tempat yang memang penting untuk saat itu.
Sebuah klinik di tepian Blackwood menjadi tempat yang Jonas tuju. Pria tua itu terus menolak untuk dibawa menemui dokter. Namun kekuatan tubuhnya tidak sebanding dengan kekuatan tubuh Jonas saat ia berusaha melarikan diri. Jonas terpaksa harus menggunakan cara yang sedikit keras untuk membawa pria tua itu masuk ke dalam klinik, dan menemui seorang dokter.
Pria tua itu dibawa pergi oleh beberapa perawat setelah ia diberikan suntikan penenang. Jonas, yang merasa khawatir dengan pria tua itu bertanya pada dokter mengenai apa yang mungkin terjadi pada pria tua itu.
“Tidak akan ada masalah besar selama kami memantaunya.” Ucap sang dokter. “Dia mungkin sedikit trauma dengan apa yang baru saja terjadi. Katamu, korban kasus perampokan?”
“Mungkin.” Jawab Jonas. “Aku menemukannya di tengah jalan dengan keadaan seperti itu. Mungkin dugaanku benar.”
“Kami akan merawatnya untuk sementara.” Ucap sang dokter. “Besok pagi mungkin kau bisa menemuinya lagi, opsir.”
“Terima kasih.”
Tanpa kata-kata lain, Jonas pun pergi dari klinik itu. Ia sempat mengunjungi kantor polisi sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang dan beristirahat.

**

Hari Minggu datang keesokan harinya. Satu hari dimana Jonas mungkin bisa sedikit bersantai di rumah tanpa harus memikirkan pekerjaannya. Sayangnya, tempat tinggal yang ia tempati saat ini belum memiliki fasilitas yang memadai baginya untuk dapat melepaskan rasa bosan. Terlalu sepi, sama seperti kota yang ia tempati ini.
Jonas memutuskan untuk keluar saat jarum jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi. Langit pagi itu sudah terlihat lebih cerah daripada kemarin yang dipenuhi dengan hujan. Sinar matahari pagi menyiram wajahnya saat ia berjalan di halaman rumah, hingga akhirnya ia masuk ke dalam mobilnya sendiri.
Jonas tentu saja tidak lupa dengan apa yang ia temukan kemarin. Pria tua itu. Pria tua yang menurutnya sedikit aneh, karena terus menolak untuk menemui dokter. Mungkin pria itu memiliki ketakutan terhadap petugas medis?
Tidak ada yang tidak mungkin. Jonas berpikir, pria itu tidak mau menemui dokter karena sebuah alasan. Tapi tanpa dokter, pria tua itu mungkin akan terus kesakitan dengan luka yang ada di sekujur tubuhnya.
Jonas terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa saja yang mungkin telah terjadi pada pria itu. Perampokan? Penculikan? Atau karena tindak kriminal lain? Dan Jonas juga penasaran dengan nama dan dimana pria itu tinggal.
Jonas akhirnya sampai di klinik dimana kemarin ia mengantarkan pria tua itu. Ia ingin segera menemui pria tua itu. Namun sebelum ia sempat melangkahkan kakinya amsuk ke dalam klinik, dokter yang kemarin menemuinya datang kearahnya dengan tergesa. Wajahnya terlihat menunjukkan kegelisahan yang cukup serius.
“Opsir! Opsir! Gawat!”
“Ada apa?” tanya Jones cepat. “Ada yang…”
“Pria yang kemarin.” Ucap dokter itu. “Dia menghilang.”
“Apa?!”
Jonas mengernyit cepat. Ia ragu dengan apa yang ia dengar. Tapi tidak salah lagi. Memang seperti itulah kebenarannya.
“Apa maksud Anda menghilang?” tanya Jones. “Pria tua itu…, bukankah Anda yang…”
“Ya. Tanggung jawabku.” Jawab dokter itu. “Aku memberikannya suntikan penenang lagi pukul dua dinihari tadi saat pria itu tiba-tiba saja terbangun. Seperti saat kau antarkan kemarin, pria tua itu terus menjerit-jerit dan sepertinya tidak begitu suka dengan keadaan dalam klinik.”
“Lalu?”
“Ketika aku akan memeriksanya pagi ini, kamarnya telah kosong. Jendela terbuka. Mungkin ia kabur lewat jendela itu.”
“Bisa kau tunjukkan kamarnya?”
Dokter itu membawa Jonas ke arah sebuah ruangan kecil yang terletak di bagian belakang klinik. Kamarnya memang kosong. Tempat tidurnya sedikit acak-acakan, mungkin karena pria tua itu tidak bisa tenang di tempat. Dan jendela yang ada di samping tempat tidur memang terbuka. Jonas melongok melalui jendela dan memeriksa tanah yang ada di bawahnya, yang basah oleh hujan kemarin, dan menunjukkan bekas jejak kaki.
“Dia memang kabur.” Ucap Jonas. “Apakah Anda sempat bertanya namanya, dokter?”
“Tidak.” Jawab sang dokter. “Seperti yang dapat kau lihat kemarin, dia tidak bisa tenang tanpa campur tangan obat penenang. Dan mustahil bagiku dan perawatku untuk dapat bertanya padanya.”
Rasa penasaran Jonas akan sosok pria tua itu semakin besar setelah melihat apa yang terjadi. Pria itu kabur. Kenapa? Karena alasan apakah pria tua itu sampai begitu ketakutan dengan dokter?
“Seharusnya ini tidak terjadi. Tepat di bawah pengawasanku.”
“Sudahlah.” Ucap Jonas. “Bukan salah Anda, dokter. Aku akan menyelidiki hal ini.”
“Dia sepertinya begitu ketakutan.”
“Memang.” Jawab Jonas.
Dalam beberapa menit, Jonas sudah kembali berada di dalam kabin mobilnya dan bergerak pelan di sepanjang jalanan kota Blackwood. Pikirannya tidak bisa tenang, dan terus memikirkan tentang orang tua itu. Dimana ia bisa mencari informasi mengenai pria tua itu? Kantor polisi tempatnya bekerja, mungkin?
Jonas ternyata memang dapat menemukan sedikit informasi saat ia datang ke kantor kepolisian pagi itu. Di papan pengumuman, terdapat selebaran dengan foto pria tua itu. Selebaran itu mengatakan bahwa pria tua itu sudah hilang selama berminggu-minggu.
“Ini pria yang kutemukan kemarin di batas kota.” Ucap Jonas pada salah satu rekannya.
“Kapan pengumuman ini datang? Kenapa aku tidak melihatnya kemarin?”
“Baru pagi ini.” Jawab kawan Jones yang bekerja di bagian reception.
Dari selebaran yang Jonas pegang, ia kini dapat mengetahui nama pria tua itu. Eugene Milverton, 69 tahun, berasal dari Caden. Caden adalah sebuah kota yang letaknya tidak begitu jauh dari Blackwood.
“Siapa yang mengirim selebaran ini?” tanya Jonas cepat setelah memeriksa dengan teliti selebaran yang ia pegang.
“Salah satu orang yang ia kenal.” Jawab rekan Jonas. “Mereka mengatakan, seperti yang tertulis, bahwa Tn. Milverton telah hilang selama berminggu-minggu. Awal kejadiannya saat pria tua itu pergi meninggalkan rumah di suatu sore beberapa minggu yang lalu, dan tidak kembali. Pihak keluarga sudah menghubungi beberapa kantor kepolisian mengenai menghilangnya Milverton. Namun hingga detik ini belum ada kabar. Tapi kini kau telah menemukannya, ‘kan?”
“Dia menghilang dari klinik.”
“Dia kabur?”
“Mungkin begitu.” Jawab Jonas. “Apa kita tidak punya info lain mengenai pria tua ini? Mungkin ia pernah menjadi tersangka dalam suatu kasus atau semacamnya?”
“Kurasa tidak.” Jawab rekan Jonas itu.
“Aku akan berusaha menemukannya.”
Meskipun telah berkata begitu, Jonas tidak tahu kemana ia harus mencari. Ia tidak punya informasi lain yang mungkin dapat membantunya dalam pencarian si tua Milverton. Berkeliling Blackwood dengan mobil untuk mencari pria tua itu sepertinya hanya akan membuang waktunya. Lalu, dimana ia harus mulai mencari?
Jonas mencoba membawa mobilnya berputar-putar mengelilingi Blackwood. Meski ia berpikir bahwa usahanya ini akan sia-sia, tapi paling tidak ia telah berusaha. Dan jujur, Jonas mengkhawatirkan pria tua itu.
Seperti dugaannya, ia tidak menemukan apapun. Ia sudah mencoba bertanya pada orang-orang di pinggir jalan, kerumunan di depan gereja, dan beberapa tempat lain yang mungkin didatangi oleh pria tua itu. Namun Jonas tetap tidak mendapatkan jawaban mengenai keberadaan pria tua yang malang itu.
Jones mulai berpikir, bahwa ia tidak akan bisa menemukan orang tua itu lagi. Mungkin orang tua itu sudah pergi jauh sejak ia kabur dari klinik semalam. Dan Jonas mencoba melupakan pria tua itu. Akan tetapi, sebuah hal yang tak terduga ia dapati ketika ia pulang ke rumahnya.
Di halaman rumahnya, tepatnya di tangga terbawah dari tangga yang mengarah ke teras, duduklah seorang pria tua yang betul-betul Jonas kenal. Pria yang terlihat kumal, pucat, dan terlihat seperti orang gila. Siapa lagi jika bukan pria tua yang Jonas cari? Tapi kenapa pria tua itu bisa berada di depan rumahnya?
“Tn. Milverton!” seru Jonas seraya melompat turun dari mobilnya. Ia segera mendatangi pria tua itu, yang memandangnya dengan tatapan serius.
“Aku tidak bisa bersama dengan mereka.” Pria tua itu menggeram.
“Bagaimana Anda bisa menemukan rumahku?”
“Tolong aku!” pria tua itu mulai mengerang lagi. Dibawah siraman sinar matahari, Jonas dapat melihat dengan jelas luka-luka yang berada di sekujur tubuh pria tua itu.
“Tolong aku! Aku ingin…”
“Ayo masuk!” ajak Jonas seraya meraih lengan pria tua itu.
Tubuh yang kurus dan terlihat rapuh itu akhirnya duduk di sebuah kursi di dapur. Jonas dengan cepat menyiapkan makanan dan minuman seadanya. Pria itu langsung memakan makanan yang Jonas siapkan, seperti orang yang benar-benar kelaparan.
Jonas duduk di depan pria tua itu. Semakin ia perhatikan keadaan pria tua itu, Jonas semakin penasaran dengan kisah dibalik kaburnya pria tua itu dari rumah keluarganya.
“Anda bisa bercerita?” tanya Jonas. “Anda dari Caden, ‘kan?”
“Putriku.”
“Maaf?”
“Aku ingin menemui putriku.”
“Putri Anda tinggal di Caden?” tanya Jonas. Bukan sebuah anggukan, namun sebuah gelengan kepala ia dapatkan. Detik berikutnya, kedua mata memerah pria tua itu menatap wajahnya.
“Kumohon! Antar aku ke tempat putriku. Aku sudah rindu dengannya. Aku…”
“Aku akan mengantar Anda pulang, Tn. Milverton. Setelah Anda habiskan makanan itu.”
Tidak perlu waktu lama bagi Jonas untuk kembali ke dalam mobilnya bersama dengan pria tua itu. Detik berikutnya, ia telah memacu kendaraannya di sebuah jalan yang mengarah ke timur, keluar dari Blackwood.
“Kenapa Anda kabur dari rumah?” tanya Jonas. “Keluarga Anda mencemaskan Anda, Tn. Milverton. Itu benar nama Anda, ‘kan?”
“Putriku.” Jawab pria tua itu. “Aku hanya ingin menemui putriku. Ia dalam bahaya. Dia bersama orang-orang itu!”
“Siapa?”
“Berandal-berandal dari kota. Mereka…, mereka ingin meulai putriku. Elizabeth!”
Jonas menggunakan sebelah tangannya untuk menenangkan tubuh Milverton yang tidak bisa diam di bangku yang ia duduki. Jones mencoba untuk mengorek informasi dari pria tua itu. Namun speertinya usahanya itu akan berakhir dengan sia-sia, saat pria tua itu tidak mau berhenti menggumamkan kata-kata yang tak jelas.
“Belok di depan! Kiri!”
Jonas sediki ragu untuk mengikuti perintah orang tua itu. Namun ketika ia tidak segera memutar roda kemudianya, pria tua itu meraih kemudi yang ia pegang dan memaksa Jonas untuk memutar kemudi itu. Mobil sempat kehilangan kendali karena usaha nekat pria tua itu.
“Oke!” ucap Joneas. “Jadi, kemana Anda ingi pergi? Bukan Caden, tempat tinggal Anda?”
“Ada sebuah rumah beberapa kilo dari sini.” Jawab pria tua itu. “Disana. Putriku menungguku disana.”
Jonas tidak tahu apakah pria itu masih waras atau tidak. Sejak ia meninggalkan Blackwood, pria tua itu terus menggumkan nama putrinya itu. Elizabeth. Kadang pria tua itu tersenyum, tertawa, lalu merintih lagi. Benar-benar sebuah pemandangan aneh bagi Jonas.
“Itu!” teriak pria itu iba-tiba sambil menunjuk ke arah hutan. “Disana! Itu rumahku! Disana! Putriku!”
Jones menghentikan mobilnya. Dengan mengikuti arah telunjuk pria tua itu, ia memang melihat adanya sebuah rumah di tepi hutan. Lebih tepatnya, sebuah pondok kayu yang terlihat sepi.
“Tunggu!”
Terlambat bagi Jonas untuk menghentikan pria tua itu. Pria itu melompat turun, lalu berlari cepat ke arah pondok tua itu. Jones, tanpa sadar telah berjalan beberapa meter dibelakang pria tua itu.
“Liz! Liz, aku pulang! Sayang!”
Jonas melihat pintu pondok itu terbuka, dan melihat adanya sosok wanita muda, yang kira-kir berusia akhir 20-an, muncul lalu menyambut kedatangan pria tua itu. Mereka berpelukan, seolah sudah lama mereka tidak bertemu.
“Selamat siang, Nona!” sapa Jonas. Wanita itu tersenyum ke arah Jonas, dengan senyum menawannya yang memikat. Jika saja Jonas tidak teringat bahwa ia sudah memiliki istri, mungkin ia akan mengencani putri dari pria tua itu.
“Opsir Jonas Mercer.” Ucap pria tua itu. “Dia yang menyelamatkanku. Dia yang mengantarku pulang.”
“Terima kasih, Opsir.” Ucap wanita itu.
“Aku melihat adanya selebaran mengenai Tn. Milverton yang menghilang. Dan kini kurasa…”
“Ya. Kami akan baik-baik saja.” Potong wanita muda itu. “Sekali lagi, teirma kasih, Tn. Mercer. Anda mau masuk, minum teh?”
“Tidak, terima kasih.” Balas Jonas. “Aku harus segera kembali. Senang bisa membantu Anda, Nona Milverton.”
Wanita muda itu masih memamerkan senyum manisnya, bahkan hingga Jonas kembali ke dalam mobilnya. Dari kejauhan, Jonas dapat melihat kedua orang itu berpelukan erat, saling melepas rindu. Eugene Milverton hilang selama beberapa minggu. Namun akhirnya pria tua itu sudah kembali ke rumahnya, bersama dengan keluarganya. Dan Jones merasa puas dengan hal itu.

**

“Apa maksudmu?” tanya Jonas cepat ketika ia tidak dapat mengerti ucapan yang baru saja diucapkan oleh Pedro, kawannya di kantor polisi. Pedro tengah melepas selebaran mengenai Milverton pagi itu.
“Ya. Dia. Orang ini. Miverton tua.”
“Tidak! Kau salah, Pedro. Aku kemarin…”
“Aku dengar akan hal itu, Mercer.” Potong Pedro sambil menggeleng pelan. Detik berikutnya, ia memberikan tepukan ringan ke arah pundak Jonas. Jonas semakin tak mengerti dengan apa yang Pedro bicarakan. Ia menahan kawannya itu untuk pergi.
“Apa maksudmu? Dia mati, itu tidak mungkin. Dia sudah kembali pada keluarganya. Aku mengantarkannya. Ke tempat itu.”
“Dimana?”
“Pondok tua diluar batas kota.”
“Disana.”
“Apanya?” tanya Jonas.
“Milverton dan putrinya.”
Jonas dengan cepat memutar tubuhnya ke arah datangnya suara berat berwibawa itu, dan melihat bahwa atasannya, kapten Jackson telah berdiri tak jauh darinya.
“Kapten!”
“Sudah saatnya kau tahu, Jonas.” Ucap Kapten Jackson sambil bergerak pelan.
“Mengenai apa?”
“Mengenai misteri yang menyelubungi kota ini. Blackwood. Yang selalu menyimpan cerita-cerita aneh. Dan pertemuanmu dengan si tua Milverton kemarin merupakan salah satunya.”
Jonas mendengus, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Kini kapten Jackson juga mengucapkan kata-kata yang tidak ia mengerti.
“Jasad Milverton dan putrinya ditemukan di pondok tua yang kau sebutkan itu, sudah dalam keadaan membusuk. Mungkin sudah lewat lima hari mereka tewas. Korban perampokan grup berandalan, kurasa.”
“Tidak mungkin! Aku…”
“Kau tinggal di Blackwood sekarang, Mercer.” Ucap Pedro sambil menatap serius ke arah temannya yang terguncang itu.
“Kau harus terbiasa dengan hal aneh seperti ini.”
Jonas melempar pandangannya bergantian ke arah kapten Jackson dan Pedro. Dan kedua lelaki itu sama-sama memberikan tatapan serius ke arahnya. Itu berarti, mereka tidak sedang bercanda.
Jonas merasa kehilangan kekuatan untuk menahan tubuhnya untuk tetap berdiri. Ia akhirnya jatuh ke sebuah kursi, lalu menunduk. Pikirannya berputar, mencoba mengingat, merasakan, apa yang ia alami kemarin sore. Pria tua itu…, Milverton…
“Ini Blackwood, Mercer.” Jonas mendengar ucapan Pedro itu lagi. Kalimat itu terus berputar di dalam kepalanya.
“Sudah saatnya kau menerima hal-hal aneh seperti ini.”
Butuh waktu bagi Jonas untuk dapat menerima kenyataan bahwa yang ia temui kemarin bukanlah si tua Milverton yang asli, melainkan arwahnya. Kenapa arwah Milverton menemuinya?
Jonas hanya bisa menyimpulkan satu hal dari pengalaman mistisnya itu. Eugene Milverton, hanya ingin ditemukan. Melalui dirinyalah, si tua Milverton meminta bantuan. Jonas tersenyum singkat, penuh dengan rasa kesal pada dirinya sendiri.
“Dasar pria tua sialan!” umpatnya sambil masih tersenyum. Ia kini hanya bisa membayangkan, bahwa si tua Milverton kini bisa beristirahat dengan tenang bersama putri tercintanya. Dan Jonas sadari, bahwa ia telah berperan besar dalam hal itu.

****