Friday, January 29, 2016

MISTERI HOTEL KOTA TUA

Mereka berkata,
“Harganya cukup murah untuk menginap semalam.”
Mungkin ucapan itulah yang membuat Elizabeth Dune memutuskan untuk tinggal di sebuah kamar hotel yang menurutnya terlalu biasa itu. Sebuah hotel dengan nama Diamond, adalah sebuah hotel kelas menengah yang ia dapatkan ketika ia mengunjungi Cherwood, sebuah kota tua yang terletak jauh di utara. Tapi, apa sebenarnya tujuan Elizabeth menginap di hotel itu?
Elizabeth merupakan seorang jurnalis bagi sebuah surat kabar yang sudah cukup terkenal di kotanya, Hauldnspring. Dan perjalanannya ke utara ini adalah salah satu upayanya dalam mencari berita, yang dapat ia rubah menjadi sebuah artikel menarik, seperti yang pernah ia lakukan di waktu-waktu sebelumnya. Namun ada satu hal yang menarik Liz untuk dapat ke kota itu. Yaitu mengenai legenda mengerikan yang melingkupi Cherwood, yang katanya sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Jika dilihat-lihat, Cherwood tidak jauh berbeda dengan kota-kota lain. Kota itu memiliki jalur ekonominya sendiri. Kawasan industri, perumahan, dan distrik perbelanjaan. Semuanya komplit. Hanya saja, kota itu adalah kota tua yang jarang direnovasi. Bangunan-baungan dengan bata tua masih banyak berdiri di kawasan tengah kota. Dan hotel Diamond, merupakan salah satu peninggalan dari awal pada 20.
Hari itu merupakan hari pertama Liz menginap di hotel yang cukup murah itu. Tidak ada yang harus ia keluhkan mengenai pelayanan hotel atau semacamnya. Ada telepon di meja, yang dapat ia gunakan untuk memesan minuman atau makanan. Dan ia rasa, keadaan yang cukup tenang dapat membantunya dalam pekerjaan yang tengah ia lakukan.
Liz mencoba untuk mengorek misteri yang ada di Cherwood. Sejauh ini, ia sudah mendapatkan beberapa informasi menarik yang dapat ia sisipkan dalam artikelnya.
Cherwood dibangun sekitar tahun 1790, dimana kota ini dulu menjadi semacam kota singgah bagi orang-orang yang bergerak dari barat menuju New Himpton, di timur. Dan selain itu, Cherwood juga dikenal sebagai kota perdagangan.
Sejarah mengatakan, bahwa Cherwood pernah hampir hangus saat api melalap kota itu pada suatu malam tanggan 14 April 1850. Semua bagian kota itu hangus terbakar oleh api, dan yang tertinggal hanyalah batu-batu penyusun dindin bangunan yang selamat.
Cherwood kemudian secara perlahan dibangun kembali. Namun pembangunannya dipenuhi dengan berbagai masalah. Mengenai tanah, pajak, biaya untuk pembangunan, dan juga adanya sekte-sekte gelap yang mengatakan bahwa Cherwood terkutuk. Mereka mengatakan, kutukan itulah yang menyebabkan kebakaran besar di kota itu beberapa tahun yang lalu. Tapi, tentu saja masih banyak orang yang tidak mau percaya dengan takhayul seperti itu. Dan Cherwood berhasil diangun kembali, berdiri kokoh hingga abad-abad selanjutnya.
Cerita aneh yang Liz dengar mengenai Cherwood adalah, sering terjadinya penampakan di beberapa tempat kota tua itu. Ada yang mengatakan penampakan seekor anjing di pemakaman, lalu seorang gadis yang duduk di ayunan taman tengah kota, dan ada pula yang mengatakan bahwa kadang jam besar yang ada di menara balai kota bergerak mundur satu menit setiap tanggal 14, bulan April. Tidak ada yang pernah tahu mengenai alasan dibalik kemisteriusan jam besar itu. Ada yang mulai mengaitkan, bahwa mungkin arwah dari para penduduk yang terbakar kala itu masih menempati Cherwood hingga detik ini.
Liz, sebenarnya bukanlah seorang penulis cerita horor atau misteri. Namun ada permintaan pada redaksi dimana ia bekerja, untuk membuat sebuah kolom misteri dimana penduduk Hauldnspring menyukainya. Dan Liz mendapatkan tanggung jawab untuk menuliskan hal tersebut.
Liz masih duduk di depan komputernya di kamar hotel Diamond yang ia tempati. Jemarinya sudah siap untuk mengetik, namun berkali-kali ia terhenti saat ia seperti mendengar sebuah suara bisikan dari sebelahnya. Ia menolah berkali-kali, namun ia tidak melihat apapun. Hingga sore menjelang, Liz tidak dapat menuliskan satu katapun di komputernya.
Liz memutuskan untuk makan di restoran bawah hotel tersebut. Disana ia bertemu dengan seorang pria yang kebetulan saja bersanding dengannya. Pria tua itu mulai menceritakan segala hal mistis yang ada di Cherwood, seperti apa yang sudah Liz dengar.
“Mengenai hotel ini?” tanya Liz dengan santai. Ia tidak berpikir bahwa hotel yang ia tempati berhantu.
“Banyak pendapat mengenai hal itu.” Ucap sang pria tua sambil menggaruk-garuk dagunya yang ditumbuhi sedikit jenggot. Kedua matanya mendelik ke arah Liz.
“Ada alasan kenapa harga inap semalam di hotel ini begitu murah, ‘kan?”
Liz kembali ke kamarnya begitu perutnya kenyang. Dan siapa sangka bahwa ia mulai dapat menuliskan apa yang ada di pikirannya. Jemari tangannya itu berdansa diatas keyboard tanpa henti, dengan kedua mata terus terpicing ke arah layar monitornya yang menyala, menjadi satu-satunya penerangan di kamar yang ia biarkan gelap.
Tanpa ia sadari, jarum jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun ia belum merasakan lelah sedikitpun. Karena ia sudah terbiasa menulis artikel panjang, jadi tidak masalah baginya.
Liz terpaksa harus mengalihkan perhatiannya sejenak dari artikel yang tengah ia tulis saat sekali lagi ia mendengar suara bisikan di telinganya. Terdengar begitu jelas, bahkan ia sempat merasakan hembusan angin tipis di telinga. Namun siapa? Dia sendirian di kamar itu. Dan tidak mungkin ada orang lain, ‘kan?
Hantu?
Liz tertawa seketika. Yang benar saja! Hantu tidak dapat bernafas, ‘kan? Seharusnya ia tidak setakut itu. Ia tahu bahwa segala cerita buruk mengenai hantu dan monster berawal dari kekuatan imajinasi seseorang yang dapat terproyeksi melalui cerita mereka. Hantu, tidak pernah ada.
Liz memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya saat waktu semakin larut. Ia tutup komputernya, lalu naik ke atas tempat tidur. Ia membiarkan kamarnya dalam keadaan gelap. Karena ia suka dengan suasana gelap dan tenang. Dan dalam beberapa detik, ia jatuh ke dalam alam bawah sadarnya.
Liz tiba-tiba saja terbangun saat ia mendengar suara benda jatuh. Kedua matanya terbuka, namun ia berada di tengah kegelapan yang tak memungkinkan dirinya untuk melihat. Ia arahkan tangannya ke arah samping tempat tidur dan meraih tali lampu. Sedetik kemudian, kamarnya itu telah diterangi oleh cahaya temaram yang terasa hangat.
Apa yang terjatuh?
Liz bangkit dari tempat duduknya lalu memandangi sekitar tempatnya duduk. Tidak ada yang aneh dengan kamar yang ia tempati. Tasnya masih berada di dekat lemari. Dan laptopnya masih ada di atas meja, seperti saat tadi ia tingalkan. Lalu suara apa itu?
Liz berpikir, mungkin suara itu berasal dari kamar sebelah. Ya. Sejak siang tadi ia memang mendengar tawa gadis-gadis dari kamar sebelah. Mungkin anak kuliahan yang menginap disana. Dan jujur saja, Liz merasa sedikit terganggu dengan tawa-tawa melengking itu.
Liz kembali berbaring dan melingkar di bawah selimutnya. Ia matikan lampu, dan kembali tidur. Hanya saja, baru beberapa menit ia bisa masuk ke dalam mimpi, suara itu terdengar lagi.
“DUK!!”
Liz seketika membuka kedua matanya. Dengan cepat ia tarik tali lampu, dan terang. Tidak. Tidak ada yang berubah dan tidak ada yang jatuh di kamarnya. Apakah ulang siswi-siswi itu lagi?
Liz bangkit lagi dari tempat tidurnya. Kemudian ia coba dengar suara di kamar sebelahnya, yang tidak ia duga, terlalu sunyi. Memang Liz tidak begitu yakin dengan teorinya bahwa suara benda jatuh itu berasal dari kamar sebelah. Namun ia yakin ia sempat mendengar tawa-tawa kecil sore tadi.
Liz yang akan beranjak dari tempat tidur melonjak kaget saat tiba-tiba saja suara benda itu datang lagi. Terdengar bunyi ‘DUK’ yang amat keras sampai-sampai dinding kamarnya itu bergetar. Liz mendungus kesal. Ya. Pasti ulah siswi-siswi di kamar sebelah.
Ia meraih gagang telepon lalu menghubungi bagian resepsionis. Ia katakan segala hal yang baru saja ia dengar, bahwa ada suara-suara tidak menyenangkan dari kamar sebelahnya.
“Anda yakin nomor kamar Anda 306?” tanya sang resepsionis seolah tidak percaya.
“Ya.” Jawab Liz. “Dan siswi-siswi yang menginap di kamar sebelah, kamar 307, mereka mengganggu. Ini sudah pukul satu dinihari tapi aku masih mendengar canda tawa mereka.”
Ya. Liz memang mendengarnya lagi. Beberapa saat setelah suara ‘DUK’ itu, ia mendengar tawa gadis. Dia tidak tahu ada berapa banyak gadis yang menginap di kamar sebelahnya itu.
“Maaf, Nyonya!” ucap sang resepsionis kemudian. “Tapi kami tidak memiliki tamu untuk kamar 307 hari ini. Mungkin ada salah dengar?”
“Tidak mungkin.” Bantah Liz. “Aku mendengarnya dengan sangat jelas.”
“Mungkin dari kamar 305?”
“Bukan.” Ucap Liz.
Liz menutup telepon saat ia tidak bisa lagi menjelaskan. Suara gadis-gadis itu masih terdengar cukup jelas, dan beanr-benar mengganggu. Liz tidak akan tinggal diam. Ia keluar dari kamarnya lalu mengarah ke kamar 306 yang ada di sebelah. Ia ketuk pintunya berkali-kali tapi tidak ada jawaban. Hingga akhirnya, Liz berteriak dengan suaranya.
“Maaf! Kalian bisa tenang sedikit? Ini sudah larut malam.”
Seketika, suara tawa itu terhenti. Namun sama sekali tidak ada respon dari dalam ruangan itu. Gadis-gadis itu mungkin merasa tidak enak dengan apa yang sudah mereka lakukan.
Liz kembali masuk ke dalam kamarnya. Gangguan yang ia rasakan malam itu membuatnya tidak dapat kembali tidur. Maka ia putuskan untuk membuka kembali laptopnya dan melanjutkan pekerjaannya sore tadi.
Liz duduk tenang di kursinya selama kurang lebih setengah jam. Suara benda itu sudah berhenti, begitu pula dengan suara tawa gadis-gadis itu. Ia akhirnya bisa merasa tenang. Namun, detik berikutnya…
“Astaga!”
Liz melonjak kaget saat ia mendengar suara yang cukup jelas di telinga kanannya. Seperti sebuah bisikan, yang mengatakan kata ‘Halo’ yang tidak begitu jelas. Namun memang terjadi.
Liz memandang ke arah sekitarnya. Tidak. Tidak ada apa-apa di dalam kamarnya. Hanya ada dia, dan beberapa perabotan. Lalu, darimana suara itu berasal?
Liz mulai merasakan bulu kuduknya meremang. Suasananya entah kenapa menjadi sedikit dingin. Ia seperti merasakan hembusan angin. Padahal jendela kamarnya terkunci dengan rapat. Untuk sesaat, Liz melupakan pekerjaannya.
Liz kembali melonjak saat tiba-tiba saja lampu di kamarnya berkedip dengan sangat cepat. Mati, hidup, mati, dan hidup lagi. Di sela-sela kedipan itu, ia merasakan adanya kehadiran sesuatu di kamarnya. Ia tidak dapat mengatakannya dengan jelas. Namun memang ada sesuatu yang mengawasinya.
Lampu kembali berkedip, dan Liz berteriak seketika dan nyaris terjatuh dari kursi yang ia duduki. Selama sedetik, ia dapat melihat sosok seorang gadis berdiri di kaki tempat tidurnya, memandangnya dengan tatapan mata merah. Liz tidak tahu kenapa hal itu terjadi. Ia tidak ingin mempercayainya, namun hal itu nyata.
“Apa itu?” Liz bertanya-tanya. Ia tak bisa beranjak dari kursinya. Tatapan kedua matanya terpaku pada kaki tempat tidurnya. Sosok itu, menghilang. Namun detik berikutnya, lampu kembali berkedip. Dan sosok gadis kecil itu muncul kembali di disertai dengan sebuah suara berbisik, yang mengucapkan kata ‘Tolong’, di telinganya. Sosok itu menatapnya lagi dengan tatapan kedua mata merahnya. Liz hanya dapat duduk. Tubuhnya kaku, dan ia heran kenapa ia belum juga pingsan.
Sosok itu perlahan mendekat, dan Liz secara spontan meraih benda yang ada di jangkauannya, dan melemparkannya ke arah gadis itu.
“BRAK!!”
Suara benturan keras terdengar saat benda yang Liz lemparkan mengenai sosok itu, namun tembus dan menghantam tembok. Seketika, sosok itu menghilang dan lampu kembali menyala normal.
Liz nyaris beku akibat dari rasa takutnya. Ia sadari sedetik kemudian, bahwa ia telah melemparkan laptopnya. Yang kini hancur  berantakan memenuhi lantai. Namun bukan hal itu yang menarik perhatian Liz. Bekas benturan di dinding kamarnya itu meninggalkan sebuah lubang menganga, dan ada sesuatu terlihat di baliknya. Liz bangkit dari kursinya, dan bergerak ke arah lubang itu.
Lubang yang kecil itu tidak dapat memperlihatkan apa yang ada di baliknya. Liz menggunakan kekuatan kedua tangannya itu membongkar dinding itu, sedikit-demi sedikit, hingga akhirnya…
“OH! ASTAGA!”
Sebuah benda panjang berwarna putih kotor terlihat menjulur keluar dari lubang yang ia gali. Dan Liz tahu benar dengan apa yang ia lihat. Benda putih itu adalah tulang tangan manusia.

**

Tiga puluh menit setelah penemuan Liz atas jasad yang terkubur di dalam dinding kamar hotel itu, polisi mulai berdatangan. Mereka mulai melakukan penggalian pada dinding kamar 306, dan menemukan kerangka seorang gadis kecil dengan pakaian yang sepertinya berasal dari puluhan tahun yang lalu.
Liz tidak peduli lagi dengan laptopnya yang hancur berantakan. Ia terduduk di kursi lobi, saat pria tua yang ia temui saat makan malam datang lagi. Pria itu duduk di samping Liz, dan memberikan tepukan di punggung wanita itu seolah Liz adalah teman terdekatnya.
“Kenapa?” gumam Liz. Ia belum sepenuhnya pulih dari shock yang ia rasakan.
“Kau telah membantu gadis itu.” Ucap sang pria tua. “Mungkin gadis itu hanya ingin keluar dari tempat ini. Dimana ia terperangkap, dan tidak bisa pergi dari dunia ke tempat seharusnya.”
“Siapa yang tega melakukan hal itu?” tanya Liz seketika. “Kasus pembunuhan? Kapan?”
“Nama gadis itu adalah Sarah.” Ucap sang pria tua. “Dia menghilang sejak 3 September, tahun 1950. Terakhir kali gadis itu terlihat berada di taman bermain yang tidak jauh dari hotel ini. Aku masih tidak tahu kenapa gadis itu dibunuh dan disembunyikan. Pastinya, ini kasus yang aneh.”
“Dia…, meminta tolong padaku.” Ucap Liz dengan nada bergetar. “Dia…, berbicara denganku.”
“Dia mungkin akan datang lagi.” Ucap pria tua itu. “Untuk mengucapkan rasa terima kasihnya padamu, karena kau telah membebaskannya.”
“Benarkah?”
Pria tua itu hanya tersenyum. Ia kemudian bangkit dari tempatnya duduk, dan pergi meninggalkan Liz. Liz baru menyadari kemudian bahwa cara berpakaian pria tua itu sedikit aneh. Pakaiannya terlalu kuno.
“Siapa nama Anda?” teriak Liz. Pria tua itu memutar tubuhnya, lalu tersenyum lagi. Dengan pelan ia menyebutkan namanya,
“Anthony McBride.”
Liz terpaku, hingga akhirnya sosok pria tua itu menghilang dari pandangan. Liz kembali melamun dan masih memikirkan mengenai sosok yang menjumpainya malam itu.
“Nyonya Dune?” ucap salah seorang polisi yang datang menghampirinya. Liz menganggukkan kepalanya.
“Ada beberapa pertanyaan yang harus Anda jawab. Sebaiknya Anda ke kantor polisi.”
“Bagaimana dengan jasad itu?” tanya Liz.
“Kami sedang menyelidikinya.” Ucap sang polisi. “Tapi berdasarkan liontin yang ada di kerangka itu, kami yakin bahwa gadis itu adalah gadis yang menghilang puluhan tahun yang lalu. Sarah McBride. Kasus menghilangnya gadis itu tidak pernah terpecahkan. Kami tidak pernah mengira bahwa ia akan dikubur di dinding gedung ini.”
“Mengenai hal itu…”
“Gedung ini memang ada dalam tahap pembangunan di tahun 1950. Dan kurasa, sang pelaku menggunakan kesempatan itu untuk menyembunyikan jasad korban. Kini kami tinggal mengurus hal selanjutnya. Menghubungi keluarga korban, jika masih ada.”
“McBride?” ucap Liz seketika dengan kening berkerut. “Aku baru saja berbicara dengan seorang McBride. Mungkin dia keluarga korban.”
“Siapa namanya?”
“Anthony. Anthony McBride.”
“Anda yakin?”
“Ya. Aku sempat bertanya namanya.”
Polisi itu hanya menganggukkan kepalanya sambil menuliskan sesuatu di buku catatan yang ia bawa. Ia mengangguk, kemudian pergi dari hadapan Liz.
Liz mendatangi kantor polisi malam itu juga. Ia mendapatkan beberapa pertanyaan yang berkaitar dengan penemuan jasad Sarah McBride. Dan di bagian akhir, polisi yang bertugas mengajukan pertanyaan padanya mengucapkan sesuatu yang sedikit aneh pada Liz.
“Anda tahu siapa Anthony McBride?” tanya polisi itu.
“Tidak.” Jawab Liz sambil menggeleng.
“Inikah Anthony McBride yang Anda lihat beberapa jam yang lalu?”
Polisi itu mengangkat sebuah foto seorang pria dalam balutan jas, yang terlihat begitu perlente. Dan Liz yakin seratus persen bahwa memang pria itu yang ia lihat. Tapi apanya yang aneh?
“Aku tidak dapat mempercayainya.” Ucap polisi itu. “Anthony McBride adalah walikota Cherwood di tahun 1940. Dia adalah kakek dari Sarah McBride. Jasad yang baru saja Anda temukan. Anehnya, dia sudah meninggal puluhan tahun yang lalu. Lalu kenapa Anda mengatakan bahwa Anda baru saja bertemu dengan pria ini?”
Mulut Liz terbuka lebar setelah mendengar keterangan itu. Pria itu sudah meninggal? Jadi apa yang Liz lihat sore tadi adalah arwah dari pria itu?
Liz pergi meninggalkan kantor polisi saat matahari mulai terbit. Dan kini ia mulai percaya bahwa Cherwood memang sebuah tempat yang penuh dengan teka-teki dan misteri, selain kenyataan bahwa tempat itu juga penuh dengan hal mistis.
Liz kehilangan laptopnya, namun tidak dengan data yang untungnya ia simpan di flashdrive. Liz masuk ke dlam mobilnya, dan bersiap untuk pergi dari tempat itu. Ketika tiba-tiba saja ia melihat bayangan dari kaca spion, bahwa ada seseorang yang duduk di bangku belakang. Liz memutar tubuhnya seketika, dan ia lihat gadis kecil itu. Sarah McBride, yang kemudian mengucapkan,
“Terima kasih, Liz.”

***

Friday, January 22, 2016

PENELEPON MISTERIUS



Telepon adalah salah satu alat telekomunikasi yang begitu populer dan sering digunakan di jaman moderen ini. Setiap orang, paling tidak menggunakan telepon sekali dalam sehari. Bahkan bagi sebagian besar kalangan, mereka tidak bisa terlepas dari telepon, atau ponsel mereka. Dan itulah kenyataan yang ada di dunia hari ini.
Tapi ada beberapa orang yang begitu takut untuk menggunakan alat telekomunikasi tersebut. Ada begitu banyak alasan yang kadang tidak rasional, dan terdengar bodoh. Dan salah satu orang tersebut adalah Miranda Winston. Seorang wanita kepala empat yang tinggal sendirian di apartemen kecil di tengah kota.
Miranda tidak memiliki ketakutan terhadap alat komunikasi hingga tahun lalu. Namun mulai awal bulan Maret, ia mendapatkan mimpi buruk yang tidak dapat dijelaskan yang berkaitan dengan telepon. Entah itu telepon rumahnya, atau ponselnya. Ia takut untuk menyentuh telepon. Dan ia lebih sering meninggalkan ponselnya jika tidak begitu penting.
Ketakutannya ini bukan tanpa alasan. Berawal di sebuah pagi yang tenang dan sedikit dingin di awal musim semi, ia mendapatkan telepon yang terdengar aneh dari seseorang yang tidak mau menyebutkan namanya. Penelepon misterius itu adalah seorang pria, dengan suara serak, yang hanya mengucapkan satu kata berulang-ulang dalam setiap sambungan telepon.
“Tolong aku! Dingin! Tolong aku!”
Insting pertama Miranda menegnai hal itu adalah, bahwa ada seseorang yang mungkin sedang terjebak dalam sebuah situasi sulit yang memerlukan pertolongan. Miranda sudah mencoba untuk bertanya mengenai keadaan pria itu, dan juga alamat rumah atau keberadaannya. Namun pria itu tidak mau mengucapkan kata lain selain kata ‘tolong’ dan ‘dingin’.
Miranda merasa aneh sekaligus curiga dengan hal itu. Ia merasa bahwa ada suatu kasus besar dibalik telepon misterius itu. Namun tidak ada yang dapat Miranda lakukan, karena penelepon itu paling hanya berbicara selama kurang lebih satu menit, lalu sambungan kembali tertutup.
Miranda merasa curiga dan peduli dengan keadaan yang terjadi dengan pria itu. Namun disaat yang bersamaan ia juga merasa bahwa telepon itu mungkin hanyalah telepon iseng dan beberapa temannya atau penelepon acak. Dengan tujuan, mungkin untuk menutup-nutupinya.
Amanda sudah mencoba menceritakan hal ini pada teman-temannya, dan mencurigai mereka sebagai salah satu penelepon usil itu. Ia tahu, karena memang ada sebagian dari temannya yang suka iseng dengan telepon. Namun jawaban mereka atas hal itu terdengar mengejutkan. Mereka tidak tahu menahu mengenai telepon usil itu.
“Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Miranda meminta solusi. Tidak ada satupun dari temannya yang dapat memberikan solusi yang dapat dieprcaya.
“Hanya telepon iseng.” Ucap salah satu temannya. “Lupakan saja! Dia akan bosan dengan sendirinya.
Benarkah akan begitu?
Miranda sedikit demi sedikit mulai mempercayai teori temannya. Ia lakukan kegiatan hariannya seperti biasa, hingga pada suatu siang ia kembali menerima telepon. Ketika ia angkat, tidak ada suara dari sang penelepon. Melainkan ia seperti emndengar saura air yang mengalir, seperti dari sebuah keran.
“Halo?” Miranda mencoba untuk berkomunikasi. Namun sama sekali tidak ada jawab dari seberang telepon. Sementara suara air bergemerucuk itu masih terus terdengar.
Miranda hampir saja meletakkan kembali gagang telepon saat tiba-tiba saja ia mendengar suara serak memanggilnya. Suara pria itu lagi. Dan apa yang diucapkannya benar-benar sama dengan apa yang diucapakan pada telepon sebelumnya.
“Tolong aku! Disini dingin! Aku tidak bisa keluar!”
“Dimana Anda?” tanya Miranda. Pria yang berada di seberang sambungan telepon itu terdengar menggertakkan giginya, seolah tengah menahan suatu udara yang dingin. Apa mungkin pria itu terjebak di tnegah hutan? Aneh. Musim sudah berganti menjadi musim semi. Tidak mungkin akan ada yang kedinginan di musim seperti itu.
“Halo?” seru Amanda lagi. Dan tiba-tiba saja telepon itu tertutup kembali.
Miranda ingin mengabaikannya. Jika saja bisa begitu, ia akan merasa tenang untuk tidur. Namun kebalikannya, ia malah begitu penasaran dengan telepon itu. Yang awalnya ia kira telepon iseng, kini malah terdengar begitu nyata dan serius. Pria itu sedang berada dalam kesulitan. Dan Miranda tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Telepon-telepon aneh itu mulai berdatangan dalam hari-hari berikutnya. Dan keadaannya sama dengan sebelumnya. Seorang pria dengan suara serak, dan sepertinya tengah terjebak di suatu tempat yang dingin.
Miranda tidak bisa diam begitu saja. Teman-temannya mencoba meyakinkannya bahwa tidak ada yang perlu ia cemaskan. Namun malah hal itu yang Miranda rasakan. Ia peduli, dan ingin menolong pria itu.
Ia datang ke kantor polisi seminggu setelah kejadian telepon itu menggangunya. Polisi menanyakan beberapa hal yang tentu saja tidak dapat ia jawab.
“Aku tidak tahu.” Ucap Miranda. “Pria itu sepertinya berada di tempat yang dingin, dan terjebak. Ia terus meminta pertolongan padaku. Dan aku merasa kasihan padanya. Mungkin dia bisa tewas.”
“Mungkin salah satu rekan atau kenalan Anda, Nyonya?” ucap petugas polisi yang menanganinya itu.
“Apakah Anada sudah memeriksa apakah ada salah satu dari kerabat Anda yang menghilang, atau saudara jauh Anda? Pria itu tahu nomor telepon Anda. Jadi bisa dibilang, dia sudah kenal Anda.”
“Tidak.” Bantah Miranda. “Aku ingat dengan semua suara rekan dan saudaraku. Dan sepertinya ia memang benar-benar orang asing. Aku percaya seratus persen bahwa…, dia butuh bantuan.”
Miranda tidak tahu bagaimana lagi untuk meyakinkan polisi yang ada di depannya itu. Seperti teman-temannya, polisi tidak memberikan jawaban yang memuaskan.
“Kami akan menyelidinya. Jika saja Anda memiliki nomor telepon pria itu…”
“Tidak ada.” Jawab Miranda. “Ia selalu menelepon ke telepon rumah, bukan ponselku.”
Miranda keluar dari kantor polisi dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia masih terlalu bingung dengan telepon-telepon misterius itu. Dan karena hal itulah, Miranda jadi sedikit takut untuk menggunakan telepon. Hal ini memang sedikit merugikannya, mengingat pekerjaannya selalu berhubungan dengan telepon.
Miranda kadang susah untuk tidur di malam hari karena terus memikirkan mengenai si penelepon misterius itu. Dan sebagai akibatnya, ia sering telat bangun keesokan harinya. Kehidupannya menjadi sedikit terganggu dengan adanya telepon misterius itu.
Miranda terbangun di suatu malam saat ia mendengar sebuah suara aneh yang datang dari luar kamarnya. Ketika ia pertajam telinganya, ia tahu suara apa yang keluar dari koridor itu. Suara keran air yang mengalir.
Miranda memeriksa ke arah kamar mandi, dan menemukan bahwa keran dan shower terbuka dan memancarkan air. Hal ini tentu saja aneh. Miranda ingat betul bahwa ia tidak menghidupkan air sejak sore tadi. Lalu kenapa?
Miranda berjingkat saat telepon di lantai bawah berbunyi. Pikirannya dengan cepat terbang ke arah masalah yang tengah ia hadapi selama satu minggu terakhir. Penelepon misterius itu.
Miranda ingin mengabaikannya. Tapi di dalam hatinya ia tahu bahwa ia begitu peduli dengan orang lain. Bagaimana jika orang itu butuh bantuan? Bagaimana jika memang ada sesuatu yang penting?
“Halo?” ucap Miranda setelah mengangkat gagang telepon. Suara keran air masih terdengar di telepon itu. Miranda menunggu datangnya suara pria itu. Namun…, sambungan kembali tertutup.
Pertanyaan berputar di dalam kepalanya. Siapa pria itu? Dan apa yang ia inginkan? Dan kenapa dia yang mendapatkan telepon?
Miranda kembali tidur. Namun beberapa jam kemudian ia dikejtukan dengan sebuara suara dentuman di luar koridornya. Apa itu? Amanda bergerak keluar dari kamar untuk memeriksa, dan ia nayris saja berteriak ketika ia melihat sekelebat sosok hitam seperti asap menghilang di ujung koridor yang gelap. Sosok apa itu?
Miranda ketakutan setengah mati dengan apa yang terjadi. Penelepon misteris itu, lalu keran yang tiba-tiba saja hidup dengan sendirinya, dan juga bayangan hitam itu. Apa yang sebenarnya tengah terjadi?
“Kau terlalu memikirkannya.” Ucap salah satu temannya ketika ia jelaskan mengenai apa yang ia alami semalam.
“Ketakutan itu berasal dari dalam pikiranmu sendiri, Miranda.” Lanjut temannya. “Mungkin kau harus menemui dokter. Minta saran atas apa yang kau alami.”
“Telepon itu nyata.” Ucap Miranda bersikukuh dengan pendapatnya. Dan ia merasa bahwa apa yang ia alami bukanlah halusinasi atau pun ilusi. Ia tahu bahwa ada yang tidak beres dengan semua yang ia temui.
Merinda mendapatkan mimpi yang cukup buruk malam harinya. Ia merasa berada di tengah-tengah sebuah ruangan, dimana dimana ruangan itu tergenangi oleh air berwarna gelap setinggi lutut, yang anehnya terasa terllau dingin seperti es. Miranda mencoba keluar dari ruangan remang itu, tapi pintunya tidak dapat terbuka. Dan di dalam mimpinya itulah ia mendengar sebuah suara misterius lain. Sebuah jeritan, erangan, dan terdengar debur air seperti ombak, namun juga terdengar seperti keran air.
Miranda tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Air yang berada di dalam ruangan itu semakin tinggi dan tinggi. Hingga kini separuh dari pinggangnya telah terendam dalam air. Ia mencoba bergerak kembali ke arah pintu. Ia genggam kenop pintunya yang sudah terendam air, dan mencoba memutarnya, namun usahanya tetap gagal.
Miranda memutar tubuhnya seketika saat ia rasakan ada sebuah pergerakan di dalam air dingin dimana ia berada. Terlihat gelembung-gelembung udara mulai bermunculan di depannya. Dan tiba-tiba saja sesosok misterius, yang tidak dapat Miranda kenali, melompat ke arahnya.
Miranda berteriak seketika. Di air? Bukan. Ia telah kembali di dalam kamarnya yang hangat dan tenang itu. Namun nafasnya sudah terengah-engah atas mimpinya. Ia memadnang ke seisi ruang kamarnya, dimana segalanya masih terlihat begitu normal.
Miranda turun dari tempat tidurnya. Dan seketika ia menjerit lagi saat ia sadari lantai kamarnya itu sudah digenangi dengan air. Miranda kebingungan, tidak tahu apa yang terjadi. Ia bergerak keluar kamar, dan ia dengar semburan keras berasal dari kamar mandinya.
Hal aneh itu terjadi lagi. Keran air di wastafel dan shower terbuka, dan menumpahkan air yang begitu banyak. Lubang pembungan yang secara aneh tersumbat menyebabkan banjir di dalam rumahnya. Miranda segera memutar kembali keran air, dan aliran pun berhenti. Namun tidak dapat menghapus kenyataan bahwa rumahnya sudah dipenuhi dengan air.
Miranda berjingkat saat suara telepon terdengar dari arah lantai satu. Pikiran Miranda langsung terarah pada penelepon misterius itu. Jujur, ia sudah merasa cukup muak dengan keanehan yang terus terjadi padanya. Ia turun, lalu meraih gagang telepon itu. Seketika ia berteriak,
“APA YANG KAU INGINKAN DARIKU?”
Tidak ada jawaban dari seberang melainkan hanya suara keran air. Miranda terengah-engah, penuh dengan rasa takut dan juga amarah. Dan tiba-tiba saja, sambungan terputus dengan sendirinya.
Keanehan untuk malam itu tidak berhenti. Ketika Miranda naik kembali ke lantai atas, ponselnya yang berada di kamar berbunyi. Ia hampiri ponselnya itu, yang menunjukkan sebuah nomor tak dikenal. Tanpa ragu, Miranda mengangkatnya.
“Tolong aku!” suara pria serak itu kembali lagi. Tangan Miranda bergetar, namun ia tidak memiliki kekuatan untuk meletakkan kembali ponselnya. Malahan, ia terus mendengarkan.
“Dingin! Dingin sekali! Aku ingin keluar! Kumohon! Tolong aku!”
“Katakan siapa dirimu!”
“Kumohon!” suara pria itu semakin lama semakin lemah. Hingga akhirnya, sambungan terputus.
Miranda berhasil mendapatkan nomor telepon penelepon misterius itu. Meski ia juga masih penasaran bagaimana caranya pria itu bisa tahu nomor teleponnya.
Miranda langsung mendatangi kantor polisi, dan menjelaskan segalanya. Ia berikan nomor telepon pria itu, dengan harapan polisi dapat melacaknya.
Miranda terlihat seperti orang gila. Ia duduk termenung di depan kantor polisi sambil memukuli kepalanya sendiri. Apakah ia sudah gila? Apa yang sebenarnya terjadi? Dan kenapa harus dirinya?

*

“Nyonya Winston.” Ucap salah seorang perwira polisi yang mendatangi kediaman Miranda beberapa hari kemudian.
“Bagaimana?” tanya Miranda. “Kalian sudah menemukan pria itu?”
“Ya.” Jawab petugas polisi itu.
Polisi itu kemudian menjelaskan segala hasil investigasi pada Miranda. Nomor telepon itu ternyata adalah milik seorang pria tua yang tinggal tak jauh dari apartemen Miranda.
John Walters. Ya. Miranda kenal dengan pria tua itu. Dulu ia sering bertemu di taman. Polisi kemudian menjelaskan bahwa mereka menemukan John Walters telah meninggal di dalam bathtub akibat dari serangan jantung selama kurang lebih satu bulan. Kenyataan bahwa Walters tinggal sendirian membuat penemuan mayatnya terlambat.
Kini segalanya menjadi jelas bagi Miranda. Penelepon misterius itu mungkin adalah arwah dari John yang ingin agar jasadnya ditemukan untuk dikuburkan dengan layak. Dan mengenai air, suara keran, dan sebagainya, menunjukkan dimana Walter tewas. Di dalam bathtub yang penuh dengan air.
“Aku masih tidak mengerti.” Ucap polisi itu. “Bagaimana mungkin Anda dapat menerima telepon dari orang yang sudah meninggal?”
Miranda tidak pernah benar-benar mendapatkan jawabannya. Sesuatu yang supranatural, memang tidak dapat dijelaskan. Dan memang itulah kenyataannya.
“Seandainya saja aku tahu.” Ucap Miranda mengakhiri perbicangannya dengan polisi itu. Dan dengan itu pula, misteri penelepon misterius itu pun menghilang bersama dengan munculnya sinar matahari pagi.

***