Friday, January 22, 2016

PENELEPON MISTERIUS



Telepon adalah salah satu alat telekomunikasi yang begitu populer dan sering digunakan di jaman moderen ini. Setiap orang, paling tidak menggunakan telepon sekali dalam sehari. Bahkan bagi sebagian besar kalangan, mereka tidak bisa terlepas dari telepon, atau ponsel mereka. Dan itulah kenyataan yang ada di dunia hari ini.
Tapi ada beberapa orang yang begitu takut untuk menggunakan alat telekomunikasi tersebut. Ada begitu banyak alasan yang kadang tidak rasional, dan terdengar bodoh. Dan salah satu orang tersebut adalah Miranda Winston. Seorang wanita kepala empat yang tinggal sendirian di apartemen kecil di tengah kota.
Miranda tidak memiliki ketakutan terhadap alat komunikasi hingga tahun lalu. Namun mulai awal bulan Maret, ia mendapatkan mimpi buruk yang tidak dapat dijelaskan yang berkaitan dengan telepon. Entah itu telepon rumahnya, atau ponselnya. Ia takut untuk menyentuh telepon. Dan ia lebih sering meninggalkan ponselnya jika tidak begitu penting.
Ketakutannya ini bukan tanpa alasan. Berawal di sebuah pagi yang tenang dan sedikit dingin di awal musim semi, ia mendapatkan telepon yang terdengar aneh dari seseorang yang tidak mau menyebutkan namanya. Penelepon misterius itu adalah seorang pria, dengan suara serak, yang hanya mengucapkan satu kata berulang-ulang dalam setiap sambungan telepon.
“Tolong aku! Dingin! Tolong aku!”
Insting pertama Miranda menegnai hal itu adalah, bahwa ada seseorang yang mungkin sedang terjebak dalam sebuah situasi sulit yang memerlukan pertolongan. Miranda sudah mencoba untuk bertanya mengenai keadaan pria itu, dan juga alamat rumah atau keberadaannya. Namun pria itu tidak mau mengucapkan kata lain selain kata ‘tolong’ dan ‘dingin’.
Miranda merasa aneh sekaligus curiga dengan hal itu. Ia merasa bahwa ada suatu kasus besar dibalik telepon misterius itu. Namun tidak ada yang dapat Miranda lakukan, karena penelepon itu paling hanya berbicara selama kurang lebih satu menit, lalu sambungan kembali tertutup.
Miranda merasa curiga dan peduli dengan keadaan yang terjadi dengan pria itu. Namun disaat yang bersamaan ia juga merasa bahwa telepon itu mungkin hanyalah telepon iseng dan beberapa temannya atau penelepon acak. Dengan tujuan, mungkin untuk menutup-nutupinya.
Amanda sudah mencoba menceritakan hal ini pada teman-temannya, dan mencurigai mereka sebagai salah satu penelepon usil itu. Ia tahu, karena memang ada sebagian dari temannya yang suka iseng dengan telepon. Namun jawaban mereka atas hal itu terdengar mengejutkan. Mereka tidak tahu menahu mengenai telepon usil itu.
“Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Miranda meminta solusi. Tidak ada satupun dari temannya yang dapat memberikan solusi yang dapat dieprcaya.
“Hanya telepon iseng.” Ucap salah satu temannya. “Lupakan saja! Dia akan bosan dengan sendirinya.
Benarkah akan begitu?
Miranda sedikit demi sedikit mulai mempercayai teori temannya. Ia lakukan kegiatan hariannya seperti biasa, hingga pada suatu siang ia kembali menerima telepon. Ketika ia angkat, tidak ada suara dari sang penelepon. Melainkan ia seperti emndengar saura air yang mengalir, seperti dari sebuah keran.
“Halo?” Miranda mencoba untuk berkomunikasi. Namun sama sekali tidak ada jawab dari seberang telepon. Sementara suara air bergemerucuk itu masih terus terdengar.
Miranda hampir saja meletakkan kembali gagang telepon saat tiba-tiba saja ia mendengar suara serak memanggilnya. Suara pria itu lagi. Dan apa yang diucapkannya benar-benar sama dengan apa yang diucapakan pada telepon sebelumnya.
“Tolong aku! Disini dingin! Aku tidak bisa keluar!”
“Dimana Anda?” tanya Miranda. Pria yang berada di seberang sambungan telepon itu terdengar menggertakkan giginya, seolah tengah menahan suatu udara yang dingin. Apa mungkin pria itu terjebak di tnegah hutan? Aneh. Musim sudah berganti menjadi musim semi. Tidak mungkin akan ada yang kedinginan di musim seperti itu.
“Halo?” seru Amanda lagi. Dan tiba-tiba saja telepon itu tertutup kembali.
Miranda ingin mengabaikannya. Jika saja bisa begitu, ia akan merasa tenang untuk tidur. Namun kebalikannya, ia malah begitu penasaran dengan telepon itu. Yang awalnya ia kira telepon iseng, kini malah terdengar begitu nyata dan serius. Pria itu sedang berada dalam kesulitan. Dan Miranda tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Telepon-telepon aneh itu mulai berdatangan dalam hari-hari berikutnya. Dan keadaannya sama dengan sebelumnya. Seorang pria dengan suara serak, dan sepertinya tengah terjebak di suatu tempat yang dingin.
Miranda tidak bisa diam begitu saja. Teman-temannya mencoba meyakinkannya bahwa tidak ada yang perlu ia cemaskan. Namun malah hal itu yang Miranda rasakan. Ia peduli, dan ingin menolong pria itu.
Ia datang ke kantor polisi seminggu setelah kejadian telepon itu menggangunya. Polisi menanyakan beberapa hal yang tentu saja tidak dapat ia jawab.
“Aku tidak tahu.” Ucap Miranda. “Pria itu sepertinya berada di tempat yang dingin, dan terjebak. Ia terus meminta pertolongan padaku. Dan aku merasa kasihan padanya. Mungkin dia bisa tewas.”
“Mungkin salah satu rekan atau kenalan Anda, Nyonya?” ucap petugas polisi yang menanganinya itu.
“Apakah Anada sudah memeriksa apakah ada salah satu dari kerabat Anda yang menghilang, atau saudara jauh Anda? Pria itu tahu nomor telepon Anda. Jadi bisa dibilang, dia sudah kenal Anda.”
“Tidak.” Bantah Miranda. “Aku ingat dengan semua suara rekan dan saudaraku. Dan sepertinya ia memang benar-benar orang asing. Aku percaya seratus persen bahwa…, dia butuh bantuan.”
Miranda tidak tahu bagaimana lagi untuk meyakinkan polisi yang ada di depannya itu. Seperti teman-temannya, polisi tidak memberikan jawaban yang memuaskan.
“Kami akan menyelidinya. Jika saja Anda memiliki nomor telepon pria itu…”
“Tidak ada.” Jawab Miranda. “Ia selalu menelepon ke telepon rumah, bukan ponselku.”
Miranda keluar dari kantor polisi dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia masih terlalu bingung dengan telepon-telepon misterius itu. Dan karena hal itulah, Miranda jadi sedikit takut untuk menggunakan telepon. Hal ini memang sedikit merugikannya, mengingat pekerjaannya selalu berhubungan dengan telepon.
Miranda kadang susah untuk tidur di malam hari karena terus memikirkan mengenai si penelepon misterius itu. Dan sebagai akibatnya, ia sering telat bangun keesokan harinya. Kehidupannya menjadi sedikit terganggu dengan adanya telepon misterius itu.
Miranda terbangun di suatu malam saat ia mendengar sebuah suara aneh yang datang dari luar kamarnya. Ketika ia pertajam telinganya, ia tahu suara apa yang keluar dari koridor itu. Suara keran air yang mengalir.
Miranda memeriksa ke arah kamar mandi, dan menemukan bahwa keran dan shower terbuka dan memancarkan air. Hal ini tentu saja aneh. Miranda ingat betul bahwa ia tidak menghidupkan air sejak sore tadi. Lalu kenapa?
Miranda berjingkat saat telepon di lantai bawah berbunyi. Pikirannya dengan cepat terbang ke arah masalah yang tengah ia hadapi selama satu minggu terakhir. Penelepon misterius itu.
Miranda ingin mengabaikannya. Tapi di dalam hatinya ia tahu bahwa ia begitu peduli dengan orang lain. Bagaimana jika orang itu butuh bantuan? Bagaimana jika memang ada sesuatu yang penting?
“Halo?” ucap Miranda setelah mengangkat gagang telepon. Suara keran air masih terdengar di telepon itu. Miranda menunggu datangnya suara pria itu. Namun…, sambungan kembali tertutup.
Pertanyaan berputar di dalam kepalanya. Siapa pria itu? Dan apa yang ia inginkan? Dan kenapa dia yang mendapatkan telepon?
Miranda kembali tidur. Namun beberapa jam kemudian ia dikejtukan dengan sebuara suara dentuman di luar koridornya. Apa itu? Amanda bergerak keluar dari kamar untuk memeriksa, dan ia nayris saja berteriak ketika ia melihat sekelebat sosok hitam seperti asap menghilang di ujung koridor yang gelap. Sosok apa itu?
Miranda ketakutan setengah mati dengan apa yang terjadi. Penelepon misteris itu, lalu keran yang tiba-tiba saja hidup dengan sendirinya, dan juga bayangan hitam itu. Apa yang sebenarnya tengah terjadi?
“Kau terlalu memikirkannya.” Ucap salah satu temannya ketika ia jelaskan mengenai apa yang ia alami semalam.
“Ketakutan itu berasal dari dalam pikiranmu sendiri, Miranda.” Lanjut temannya. “Mungkin kau harus menemui dokter. Minta saran atas apa yang kau alami.”
“Telepon itu nyata.” Ucap Miranda bersikukuh dengan pendapatnya. Dan ia merasa bahwa apa yang ia alami bukanlah halusinasi atau pun ilusi. Ia tahu bahwa ada yang tidak beres dengan semua yang ia temui.
Merinda mendapatkan mimpi yang cukup buruk malam harinya. Ia merasa berada di tengah-tengah sebuah ruangan, dimana dimana ruangan itu tergenangi oleh air berwarna gelap setinggi lutut, yang anehnya terasa terllau dingin seperti es. Miranda mencoba keluar dari ruangan remang itu, tapi pintunya tidak dapat terbuka. Dan di dalam mimpinya itulah ia mendengar sebuah suara misterius lain. Sebuah jeritan, erangan, dan terdengar debur air seperti ombak, namun juga terdengar seperti keran air.
Miranda tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Air yang berada di dalam ruangan itu semakin tinggi dan tinggi. Hingga kini separuh dari pinggangnya telah terendam dalam air. Ia mencoba bergerak kembali ke arah pintu. Ia genggam kenop pintunya yang sudah terendam air, dan mencoba memutarnya, namun usahanya tetap gagal.
Miranda memutar tubuhnya seketika saat ia rasakan ada sebuah pergerakan di dalam air dingin dimana ia berada. Terlihat gelembung-gelembung udara mulai bermunculan di depannya. Dan tiba-tiba saja sesosok misterius, yang tidak dapat Miranda kenali, melompat ke arahnya.
Miranda berteriak seketika. Di air? Bukan. Ia telah kembali di dalam kamarnya yang hangat dan tenang itu. Namun nafasnya sudah terengah-engah atas mimpinya. Ia memadnang ke seisi ruang kamarnya, dimana segalanya masih terlihat begitu normal.
Miranda turun dari tempat tidurnya. Dan seketika ia menjerit lagi saat ia sadari lantai kamarnya itu sudah digenangi dengan air. Miranda kebingungan, tidak tahu apa yang terjadi. Ia bergerak keluar kamar, dan ia dengar semburan keras berasal dari kamar mandinya.
Hal aneh itu terjadi lagi. Keran air di wastafel dan shower terbuka, dan menumpahkan air yang begitu banyak. Lubang pembungan yang secara aneh tersumbat menyebabkan banjir di dalam rumahnya. Miranda segera memutar kembali keran air, dan aliran pun berhenti. Namun tidak dapat menghapus kenyataan bahwa rumahnya sudah dipenuhi dengan air.
Miranda berjingkat saat suara telepon terdengar dari arah lantai satu. Pikiran Miranda langsung terarah pada penelepon misterius itu. Jujur, ia sudah merasa cukup muak dengan keanehan yang terus terjadi padanya. Ia turun, lalu meraih gagang telepon itu. Seketika ia berteriak,
“APA YANG KAU INGINKAN DARIKU?”
Tidak ada jawaban dari seberang melainkan hanya suara keran air. Miranda terengah-engah, penuh dengan rasa takut dan juga amarah. Dan tiba-tiba saja, sambungan terputus dengan sendirinya.
Keanehan untuk malam itu tidak berhenti. Ketika Miranda naik kembali ke lantai atas, ponselnya yang berada di kamar berbunyi. Ia hampiri ponselnya itu, yang menunjukkan sebuah nomor tak dikenal. Tanpa ragu, Miranda mengangkatnya.
“Tolong aku!” suara pria serak itu kembali lagi. Tangan Miranda bergetar, namun ia tidak memiliki kekuatan untuk meletakkan kembali ponselnya. Malahan, ia terus mendengarkan.
“Dingin! Dingin sekali! Aku ingin keluar! Kumohon! Tolong aku!”
“Katakan siapa dirimu!”
“Kumohon!” suara pria itu semakin lama semakin lemah. Hingga akhirnya, sambungan terputus.
Miranda berhasil mendapatkan nomor telepon penelepon misterius itu. Meski ia juga masih penasaran bagaimana caranya pria itu bisa tahu nomor teleponnya.
Miranda langsung mendatangi kantor polisi, dan menjelaskan segalanya. Ia berikan nomor telepon pria itu, dengan harapan polisi dapat melacaknya.
Miranda terlihat seperti orang gila. Ia duduk termenung di depan kantor polisi sambil memukuli kepalanya sendiri. Apakah ia sudah gila? Apa yang sebenarnya terjadi? Dan kenapa harus dirinya?

*

“Nyonya Winston.” Ucap salah seorang perwira polisi yang mendatangi kediaman Miranda beberapa hari kemudian.
“Bagaimana?” tanya Miranda. “Kalian sudah menemukan pria itu?”
“Ya.” Jawab petugas polisi itu.
Polisi itu kemudian menjelaskan segala hasil investigasi pada Miranda. Nomor telepon itu ternyata adalah milik seorang pria tua yang tinggal tak jauh dari apartemen Miranda.
John Walters. Ya. Miranda kenal dengan pria tua itu. Dulu ia sering bertemu di taman. Polisi kemudian menjelaskan bahwa mereka menemukan John Walters telah meninggal di dalam bathtub akibat dari serangan jantung selama kurang lebih satu bulan. Kenyataan bahwa Walters tinggal sendirian membuat penemuan mayatnya terlambat.
Kini segalanya menjadi jelas bagi Miranda. Penelepon misterius itu mungkin adalah arwah dari John yang ingin agar jasadnya ditemukan untuk dikuburkan dengan layak. Dan mengenai air, suara keran, dan sebagainya, menunjukkan dimana Walter tewas. Di dalam bathtub yang penuh dengan air.
“Aku masih tidak mengerti.” Ucap polisi itu. “Bagaimana mungkin Anda dapat menerima telepon dari orang yang sudah meninggal?”
Miranda tidak pernah benar-benar mendapatkan jawabannya. Sesuatu yang supranatural, memang tidak dapat dijelaskan. Dan memang itulah kenyataannya.
“Seandainya saja aku tahu.” Ucap Miranda mengakhiri perbicangannya dengan polisi itu. Dan dengan itu pula, misteri penelepon misterius itu pun menghilang bersama dengan munculnya sinar matahari pagi.

***

No comments:

Post a Comment