Telepon adalah salah satu alat telekomunikasi yang begitu
populer dan sering digunakan di jaman moderen ini. Setiap orang, paling tidak
menggunakan telepon sekali dalam sehari. Bahkan bagi sebagian besar kalangan,
mereka tidak bisa terlepas dari telepon, atau ponsel mereka. Dan itulah
kenyataan yang ada di dunia hari ini.
Tapi ada beberapa orang yang
begitu takut untuk menggunakan alat telekomunikasi tersebut. Ada begitu banyak
alasan yang kadang tidak rasional, dan terdengar bodoh. Dan salah satu orang tersebut
adalah Miranda Winston. Seorang wanita kepala empat yang tinggal sendirian di
apartemen kecil di tengah kota.
Miranda tidak memiliki
ketakutan terhadap alat komunikasi hingga tahun lalu. Namun mulai awal bulan
Maret, ia mendapatkan mimpi buruk yang tidak dapat dijelaskan yang berkaitan
dengan telepon. Entah itu telepon rumahnya, atau ponselnya. Ia takut untuk
menyentuh telepon. Dan ia lebih sering meninggalkan ponselnya jika tidak begitu
penting.
Ketakutannya ini bukan tanpa
alasan. Berawal di sebuah pagi yang tenang dan sedikit dingin di awal musim
semi, ia mendapatkan telepon yang terdengar aneh dari seseorang yang tidak mau
menyebutkan namanya. Penelepon misterius itu adalah seorang pria, dengan suara
serak, yang hanya mengucapkan satu kata berulang-ulang dalam setiap sambungan
telepon.
“Tolong aku! Dingin! Tolong
aku!”
Insting pertama Miranda
menegnai hal itu adalah, bahwa ada seseorang yang mungkin sedang terjebak dalam
sebuah situasi sulit yang memerlukan pertolongan. Miranda sudah mencoba untuk bertanya
mengenai keadaan pria itu, dan juga alamat rumah atau keberadaannya. Namun pria
itu tidak mau mengucapkan kata lain selain kata ‘tolong’ dan ‘dingin’.
Miranda merasa aneh
sekaligus curiga dengan hal itu. Ia merasa bahwa ada suatu kasus besar dibalik
telepon misterius itu. Namun tidak ada yang dapat Miranda lakukan, karena
penelepon itu paling hanya berbicara selama kurang lebih satu menit, lalu
sambungan kembali tertutup.
Miranda merasa curiga dan
peduli dengan keadaan yang terjadi dengan pria itu. Namun disaat yang bersamaan
ia juga merasa bahwa telepon itu mungkin hanyalah telepon iseng dan beberapa
temannya atau penelepon acak. Dengan tujuan, mungkin untuk menutup-nutupinya.
Amanda sudah mencoba
menceritakan hal ini pada teman-temannya, dan mencurigai mereka sebagai salah
satu penelepon usil itu. Ia tahu, karena memang ada sebagian dari temannya yang
suka iseng dengan telepon. Namun jawaban mereka atas hal itu terdengar mengejutkan.
Mereka tidak tahu menahu mengenai telepon usil itu.
“Lalu apa yang harus aku
lakukan?” tanya Miranda meminta solusi. Tidak ada satupun dari temannya yang
dapat memberikan solusi yang dapat dieprcaya.
“Hanya telepon iseng.” Ucap
salah satu temannya. “Lupakan saja! Dia akan bosan dengan sendirinya.
Benarkah akan begitu?
Miranda sedikit demi sedikit
mulai mempercayai teori temannya. Ia lakukan kegiatan hariannya seperti biasa,
hingga pada suatu siang ia kembali menerima telepon. Ketika ia angkat, tidak
ada suara dari sang penelepon. Melainkan ia seperti emndengar saura air yang
mengalir, seperti dari sebuah keran.
“Halo?” Miranda mencoba
untuk berkomunikasi. Namun sama sekali tidak ada jawab dari seberang telepon.
Sementara suara air bergemerucuk itu masih terus terdengar.
Miranda hampir saja
meletakkan kembali gagang telepon saat tiba-tiba saja ia mendengar suara serak
memanggilnya. Suara pria itu lagi. Dan apa yang diucapkannya benar-benar sama
dengan apa yang diucapakan pada telepon sebelumnya.
“Tolong aku! Disini dingin!
Aku tidak bisa keluar!”
“Dimana Anda?” tanya
Miranda. Pria yang berada di seberang sambungan telepon itu terdengar
menggertakkan giginya, seolah tengah menahan suatu udara yang dingin. Apa
mungkin pria itu terjebak di tnegah hutan? Aneh. Musim sudah berganti menjadi
musim semi. Tidak mungkin akan ada yang kedinginan di musim seperti itu.
“Halo?” seru Amanda lagi.
Dan tiba-tiba saja telepon itu tertutup kembali.
Miranda ingin
mengabaikannya. Jika saja bisa begitu, ia akan merasa tenang untuk tidur. Namun
kebalikannya, ia malah begitu penasaran dengan telepon itu. Yang awalnya ia
kira telepon iseng, kini malah terdengar begitu nyata dan serius. Pria itu
sedang berada dalam kesulitan. Dan Miranda tidak tahu apa yang harus ia
lakukan.
Telepon-telepon aneh itu
mulai berdatangan dalam hari-hari berikutnya. Dan keadaannya sama dengan
sebelumnya. Seorang pria dengan suara serak, dan sepertinya tengah terjebak di
suatu tempat yang dingin.
Miranda tidak bisa diam
begitu saja. Teman-temannya mencoba meyakinkannya bahwa tidak ada yang perlu ia
cemaskan. Namun malah hal itu yang Miranda rasakan. Ia peduli, dan ingin
menolong pria itu.
Ia datang ke kantor polisi
seminggu setelah kejadian telepon itu menggangunya. Polisi menanyakan beberapa
hal yang tentu saja tidak dapat ia jawab.
“Aku tidak tahu.” Ucap
Miranda. “Pria itu sepertinya berada di tempat yang dingin, dan terjebak. Ia
terus meminta pertolongan padaku. Dan aku merasa kasihan padanya. Mungkin dia
bisa tewas.”
“Mungkin salah satu rekan
atau kenalan Anda, Nyonya?” ucap petugas polisi yang menanganinya itu.
“Apakah Anada sudah
memeriksa apakah ada salah satu dari kerabat Anda yang menghilang, atau saudara
jauh Anda? Pria itu tahu nomor telepon Anda. Jadi bisa dibilang, dia sudah
kenal Anda.”
“Tidak.” Bantah Miranda.
“Aku ingat dengan semua suara rekan dan saudaraku. Dan sepertinya ia memang
benar-benar orang asing. Aku percaya seratus persen bahwa…, dia butuh bantuan.”
Miranda tidak tahu bagaimana
lagi untuk meyakinkan polisi yang ada di depannya itu. Seperti teman-temannya,
polisi tidak memberikan jawaban yang memuaskan.
“Kami akan menyelidinya.
Jika saja Anda memiliki nomor telepon pria itu…”
“Tidak ada.” Jawab Miranda.
“Ia selalu menelepon ke telepon rumah, bukan ponselku.”
Miranda keluar dari kantor
polisi dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia masih terlalu bingung dengan
telepon-telepon misterius itu. Dan karena hal itulah, Miranda jadi sedikit
takut untuk menggunakan telepon. Hal ini memang sedikit merugikannya, mengingat
pekerjaannya selalu berhubungan dengan telepon.
Miranda kadang susah untuk
tidur di malam hari karena terus memikirkan mengenai si penelepon misterius
itu. Dan sebagai akibatnya, ia sering telat bangun keesokan harinya.
Kehidupannya menjadi sedikit terganggu dengan adanya telepon misterius itu.
Miranda terbangun di suatu
malam saat ia mendengar sebuah suara aneh yang datang dari luar kamarnya.
Ketika ia pertajam telinganya, ia tahu suara apa yang keluar dari koridor itu.
Suara keran air yang mengalir.
Miranda memeriksa ke arah
kamar mandi, dan menemukan bahwa keran dan shower terbuka dan memancarkan air.
Hal ini tentu saja aneh. Miranda ingat betul bahwa ia tidak menghidupkan air
sejak sore tadi. Lalu kenapa?
Miranda berjingkat saat
telepon di lantai bawah berbunyi. Pikirannya dengan cepat terbang ke arah
masalah yang tengah ia hadapi selama satu minggu terakhir. Penelepon misterius
itu.
Miranda ingin
mengabaikannya. Tapi di dalam hatinya ia tahu bahwa ia begitu peduli dengan
orang lain. Bagaimana jika orang itu butuh bantuan? Bagaimana jika memang ada
sesuatu yang penting?
“Halo?” ucap Miranda setelah
mengangkat gagang telepon. Suara keran air masih terdengar di telepon itu.
Miranda menunggu datangnya suara pria itu. Namun…, sambungan kembali tertutup.
Pertanyaan berputar di dalam
kepalanya. Siapa pria itu? Dan apa yang ia inginkan? Dan kenapa dia yang
mendapatkan telepon?
Miranda kembali tidur. Namun
beberapa jam kemudian ia dikejtukan dengan sebuara suara dentuman di luar
koridornya. Apa itu? Amanda bergerak keluar dari kamar untuk memeriksa, dan ia
nayris saja berteriak ketika ia melihat sekelebat sosok hitam seperti asap
menghilang di ujung koridor yang gelap. Sosok apa itu?
Miranda ketakutan setengah
mati dengan apa yang terjadi. Penelepon misteris itu, lalu keran yang tiba-tiba
saja hidup dengan sendirinya, dan juga bayangan hitam itu. Apa yang sebenarnya
tengah terjadi?
“Kau terlalu memikirkannya.”
Ucap salah satu temannya ketika ia jelaskan mengenai apa yang ia alami semalam.
“Ketakutan itu berasal dari
dalam pikiranmu sendiri, Miranda.” Lanjut temannya. “Mungkin kau harus menemui
dokter. Minta saran atas apa yang kau alami.”
“Telepon itu nyata.” Ucap
Miranda bersikukuh dengan pendapatnya. Dan ia merasa bahwa apa yang ia alami
bukanlah halusinasi atau pun ilusi. Ia tahu bahwa ada yang tidak beres dengan
semua yang ia temui.
Merinda mendapatkan mimpi
yang cukup buruk malam harinya. Ia merasa berada di tengah-tengah sebuah
ruangan, dimana dimana ruangan itu tergenangi oleh air berwarna gelap setinggi
lutut, yang anehnya terasa terllau dingin seperti es. Miranda mencoba keluar
dari ruangan remang itu, tapi pintunya tidak dapat terbuka. Dan di dalam
mimpinya itulah ia mendengar sebuah suara misterius lain. Sebuah jeritan,
erangan, dan terdengar debur air seperti ombak, namun juga terdengar seperti
keran air.
Miranda tidak tahu apa yang
harus ia lakukan. Air yang berada di dalam ruangan itu semakin tinggi dan
tinggi. Hingga kini separuh dari pinggangnya telah terendam dalam air. Ia
mencoba bergerak kembali ke arah pintu. Ia genggam kenop pintunya yang sudah
terendam air, dan mencoba memutarnya, namun usahanya tetap gagal.
Miranda memutar tubuhnya
seketika saat ia rasakan ada sebuah pergerakan di dalam air dingin dimana ia
berada. Terlihat gelembung-gelembung udara mulai bermunculan di depannya. Dan
tiba-tiba saja sesosok misterius, yang tidak dapat Miranda kenali, melompat ke
arahnya.
Miranda berteriak seketika.
Di air? Bukan. Ia telah kembali di dalam kamarnya yang hangat dan tenang itu.
Namun nafasnya sudah terengah-engah atas mimpinya. Ia memadnang ke seisi ruang
kamarnya, dimana segalanya masih terlihat begitu normal.
Miranda turun dari tempat
tidurnya. Dan seketika ia menjerit lagi saat ia sadari lantai kamarnya itu
sudah digenangi dengan air. Miranda kebingungan, tidak tahu apa yang terjadi.
Ia bergerak keluar kamar, dan ia dengar semburan keras berasal dari kamar
mandinya.
Hal aneh itu terjadi lagi.
Keran air di wastafel dan shower terbuka, dan menumpahkan air yang begitu
banyak. Lubang pembungan yang secara aneh tersumbat menyebabkan banjir di dalam
rumahnya. Miranda segera memutar kembali keran air, dan aliran pun berhenti.
Namun tidak dapat menghapus kenyataan bahwa rumahnya sudah dipenuhi dengan air.
Miranda berjingkat saat
suara telepon terdengar dari arah lantai satu. Pikiran Miranda langsung terarah
pada penelepon misterius itu. Jujur, ia sudah merasa cukup muak dengan keanehan
yang terus terjadi padanya. Ia turun, lalu meraih gagang telepon itu. Seketika
ia berteriak,
“APA YANG KAU INGINKAN
DARIKU?”
Tidak ada jawaban dari
seberang melainkan hanya suara keran air. Miranda terengah-engah, penuh dengan
rasa takut dan juga amarah. Dan tiba-tiba saja, sambungan terputus dengan
sendirinya.
Keanehan untuk malam itu
tidak berhenti. Ketika Miranda naik kembali ke lantai atas, ponselnya yang
berada di kamar berbunyi. Ia hampiri ponselnya itu, yang menunjukkan sebuah
nomor tak dikenal. Tanpa ragu, Miranda mengangkatnya.
“Tolong aku!” suara pria
serak itu kembali lagi. Tangan Miranda bergetar, namun ia tidak memiliki
kekuatan untuk meletakkan kembali ponselnya. Malahan, ia terus mendengarkan.
“Dingin! Dingin sekali! Aku
ingin keluar! Kumohon! Tolong aku!”
“Katakan siapa dirimu!”
“Kumohon!” suara pria itu
semakin lama semakin lemah. Hingga akhirnya, sambungan terputus.
Miranda berhasil mendapatkan
nomor telepon penelepon misterius itu. Meski ia juga masih penasaran bagaimana
caranya pria itu bisa tahu nomor teleponnya.
Miranda langsung mendatangi
kantor polisi, dan menjelaskan segalanya. Ia berikan nomor telepon pria itu,
dengan harapan polisi dapat melacaknya.
Miranda terlihat seperti
orang gila. Ia duduk termenung di depan kantor polisi sambil memukuli kepalanya
sendiri. Apakah ia sudah gila? Apa yang sebenarnya terjadi? Dan kenapa harus
dirinya?
*
“Nyonya Winston.” Ucap salah
seorang perwira polisi yang mendatangi kediaman Miranda beberapa hari kemudian.
“Bagaimana?” tanya Miranda.
“Kalian sudah menemukan pria itu?”
“Ya.” Jawab petugas polisi
itu.
Polisi itu kemudian
menjelaskan segala hasil investigasi pada Miranda. Nomor telepon itu ternyata
adalah milik seorang pria tua yang tinggal tak jauh dari apartemen Miranda.
John Walters. Ya. Miranda
kenal dengan pria tua itu. Dulu ia sering bertemu di taman. Polisi kemudian
menjelaskan bahwa mereka menemukan John Walters telah meninggal di dalam
bathtub akibat dari serangan jantung selama kurang lebih satu bulan. Kenyataan
bahwa Walters tinggal sendirian membuat penemuan mayatnya terlambat.
Kini segalanya menjadi jelas
bagi Miranda. Penelepon misterius itu mungkin adalah arwah dari John yang ingin
agar jasadnya ditemukan untuk dikuburkan dengan layak. Dan mengenai air, suara
keran, dan sebagainya, menunjukkan dimana Walter tewas. Di dalam bathtub yang
penuh dengan air.
“Aku masih tidak mengerti.”
Ucap polisi itu. “Bagaimana mungkin Anda dapat menerima telepon dari orang yang
sudah meninggal?”
Miranda tidak pernah
benar-benar mendapatkan jawabannya. Sesuatu yang supranatural, memang tidak
dapat dijelaskan. Dan memang itulah kenyataannya.
“Seandainya saja aku tahu.”
Ucap Miranda mengakhiri perbicangannya dengan polisi itu. Dan dengan itu pula,
misteri penelepon misterius itu pun menghilang bersama dengan munculnya sinar
matahari pagi.
***
No comments:
Post a Comment