Monday, January 30, 2017

URBAN EXPLORERS TRAGEDY



Kegiatan menjelajah rumah-rumah dan bangunan kosong merupakan salah satu hobi dari Travis. Kegiatan yang biasa disebut dengan istilah Urban Exploring, atau yang biasa disingkat Urbex itu sudah ia kenal sejak ia masih duduk di bangku sma. Dan kini, hingga usianya genap tiga puluh tahun, ia masih tidak daapt menghentikan, atau menghilangkan hobi yang paling ia sukai itu.
Ia sudah tergabung dalam komunitas Urbex selama kurang lebih sepuluh tahun. Dan sudah banyak tempat yang ia jelajahi, mulai dari kotanya sendiri, kota lain, dan bahkan ia rela pergi jauh ke negara lain hanya untuk memuaskan hasrat Urbex-nya. Ia memiliki dua orang teman akrab yang selalu ikut dengannya dalam setiap kegiatan Urbex. Yang seorang bernama Tony, dan yang satu Jessica. Mereka kerap dijuluki Urbex Trio. Dan sudah banyak sekali foto yang mereka hasilkan dari kegiatan mereka dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Hari itu pun menjadi hari yang paling ditunggu oleh Travis. Hari itu ia dan kedua temannya memutuskan untuk melakukan Urbex pada sebuah rumah yang terletak jauh dari keramaian. Sebuah rumah besar bergaya klasik yang katanya sudah ditinggalkan selama kurang lebih lima belas tahun. Travis dan kedua temannya tidak sabar untuk segera memulai petualangan mereka lagi, dengan harapan akan mendapatkan banyak foto dan video menarik dari rumah kosong itu.
Hari itu pun juga menjadi hari yang spesial bagi Travis. Sebab hari itu adalah hari ulang tahunnya yang ketiga puluh. Ia sudah mendapatkan banyak ucapan selamat dari teman-temannya, dan juga keluarganya. Namun untuk membuat hari itu menjadi semakin sempurna, ia meminta kedua kawannya itu untuk memajukan jadwal Urbex.
“Kau yakin mau melakukannya sekarang?” tanya Tony di telepon semalam saat Travis meneleponnya.
“Ya.” Ucap Travis. “Besok akan menjadi hari yang sempurna. Tidak ada waktu lain lagi. kita ahrus segera melakukannya sebelum rumah itu dibongkar.”
“Kau sudah berbicara dengan Jess?”
“Ya.” Jawab Travis. “Dan dia setuju.”
Maka begitulah. Di suatu hari yang tenang di tengah sebuah kota kecil, Travis duduk di kap mobilnya, menunggu kedatangan kedua temannya yang entah kenapa terlambat datang. Perjanjiannya pukul satu siang. Tapi hingga pukul setengah tiga Travis belum juga melihat sosok keuda temannya itu.
Travis membuka kembali catatan yang ia buat mengenai rumah yang akan mereka tuju itu. Rumah besar itu dulunya dimiliki oleh seorang konglomerat dari Santa Lucia, yang ditinggalkan secara tiba-tiba lima belas tahun yang lalu setelah terjadi sebuah tragedi. Travis masih belum mengerti soal tragedi apa yang terjadi. Yang jelas, area rumah itu sudah tak terawat cukup lama.
Banyak warga dari kota itu yang mengatakan bahwa rumah itu berhantu atau semacamnya. Apakah Travis akan gentar mendengar hal seperti itu? Tidak. Sebaliknya, ia malah semakin bersemngat. Jika memang ada kegiatan supranatural dan ia dapat mengabadikannya dalam video, makan ia percaya bahwa videonya akan menjadi viral di internet. Dia sudah tidak sabar untuk segera memasuki rumah yang tak tersentuh selama lebih dari satu dekade itu.
Travis masuk kembali ke dalam mobilnya saat ia merasa sudah terlalu lama duduk dibawah siaraman sinar matahari. Kepalanya mulai pusing dan rasanya tidak menyenangkan. Untuk sesaat, ada sebuah rasa kesal di dalam dadanya mengenai dua orang temannya yang tidka juga muncul itu. Kemana mereka pergi? Apakah mereka mau mmebatalkan acaranya? Seharusnya mereka meneleponnya jika emmang begitu.
Alunan musik dari radio mobil sedikit dapat mengobati perasaan jengkel Travis. Dan ia nyaris saja tertidur saat sebuah ketukan terdengar pada jendela mobil. Ia membuka kedua matanya, dan menemukan sepasang mata menatap lurus padanya.
“Sialan Tony!” umpatnya saat ia terbangun dengan sebuah keterkejutan. Tony, yang berdiri di luar bersama Jessice terlihat meringis, menertawai kekagetan temannya itu.
“Lihat sudah berapa lama aku menunggu!” ucap Travis kesal begitu ia keluar dari mobilnya. “Kukira kalian tidak datang dan mau membatalkan rencananya.”
“Maaf soal itu!” ucap Tony. “Ada satu kejadian yang tak terkira.”
“Apa?”
“Mobilk mogok di tengah jalan. Dan perlu cukup lama untuk memperbaikinya.”
“Tentu kami tidak akan mengecewakanmu, Travis.” Ucap Jessica menambahkan. “Ini ahri ulang tahunmu.”
“Dan kita akan membuatnya sangat spesial.” Tambah Tony.
Travis mendesah, dan seketika melepaskan semua rasa kesalnya. Ya. Ia kini merasa senang dapat melihat kedua temannya itu lagi. dan dengan hal ini, mereka siap untuk segera menjelajah.
“Sebaiknya kita periksa perlatan kita.” Ucapnya seraya bergerak ke arah bagasi mobil.
Travis dan kedua temannya mulai sibuk dengan segala perlengkapan yang akan mereka butuhkan untuk kegiatan Urbex. Kamera, tentu saja. Benda itu merupakan benda terpenting dalam kegiatan Urbex mereka.
“Lampu senter?”
“Ada.”
“Memori cadangan?”
“Yep!”
“Dan tali?”
Tony dan Amanda seketika mengernyit sambil memandang ke arah Travis.
“Untuk apa?” tanya Tony seketika. “Kita tidak akan memanjat tebing, ‘kan?”
“Untuk berjaga-jaga.” Ucap Travis sambil meanrik keluar sbeuah gulungan tali pendakian, dan mengalungkannya di leher.
“Oh, ini akan menyenangkan.” Ucapnya dengan girang. Dan dengan hal itu, persiapan mereka selesai.
Jarum jam menunjukkan pukul tiga sore saat ketiganya mulai bergerak mengarah pada rumah tua itu. Jalan untuk mencapai rumah tua itu berada sedikit di luar perbatasan kota, dan sepertinya jarang dilewati. Terdapat begitu banyak rumput dan semak-semak memadati jalan, dan tak mereka kira bahwa mereka akan menembus sebuah hutan kecil hanya untuk mengarah ke rumah itu.
Mereka memutuskan untuk turun dari mobil begitu sampai pada sebuah jalan buntu. Dari sana, mereka memutuskan untuk berjalan kaki menembus semak-semak dan hutan kecil. Cahaya matahari sedikit terhalang oleh kerimbunan tanaman yang ada di tempat itu. Menjadikan kawasannya menjadi sedikit mencekam seketika.
“Apa yang sudah kau tahu soal rumah itu?” tanya Tony sambil berusaha melompati sebuah batang pohon tumbang.
“Rumah kediaman Spencer.” Jawab Travis. “Dulunya dimiliki oleh Alfred Spencer, seorang pebisnis dari Santa Lucia. Lalu tragedi terjadi lima belas tahun yang lalu, dan rumah itu kosong sejak saat itu.”
“Tragedi apa?” tanya Jessica.
“Ah, aku senang kau akhirnya bertanya.” Sahut Tony dengan satu tawa kecil di wajahnya. Kedua temannya membuka telinga mereka lebar-lebar.
“Terjadi satu kasus pembunuhan di rumah itu lima belas tahun yang lalu.” Ucap Tony mulai menjelaskan. “Seorang gadis kecil ditemukan tewas dengan leher tergorong di kamarnya. Polisi mengatakan bahwa hal itu jelas-jelas adalah kasus pembunuhan. Setelah dilakukan investigasi, ternyata pembunuhnya adalah pelayan yang ada di dalam rumah itu. Motifnya tidak jelas. Atau paling tidak, aku tidak begitu mengerti. Tapi yang jelas, mulai terjadi hal-hal aneh di rumah itu sejak meninggalnya gadis itu.”
“Hal-hal aneh?”
“Kegiatan supranatural.” Ucap Tony. “Pemilik rumah sering mendengar langkah-langkah kaki di koridor saat malam. Lalu suara orang menutup pintu, dan juga suara piano di kamar gadis kecil itu, yang seharusnya kosong.”
“Itu sebabnya mereka memutuskan untuk pergi?”
“Ya.” Jawab Tony. “Bagaimana? Semakin menarik, bukan? Mungkin Urbex kita kali ini akan dibumbui dengan sedikit kegiatan supranatural?”
“Kau mencoba menangkap hantu?” tanya Jessica.
“Jika memungkinkan.” Sahut Tony. “Dengan kamera kita, kurasa. Bagaimana Travis?”
“Aku suka dengan idenya.” Jawab Travis sambil tertawa kecil. “Mungkin akan menjadi sensasi di internet jika kita bisa menangkap rupa hantu itu.”
Langkah kaki ketiganya mengantarkan mereka tepat pada bagian depan rumah besar yang kosong itu. Pagar besi dari rumah itu terlihat sudah berkarat dan dipenuhi dengan tanaman rambat. Travis mencoba untuk mendorong pintu gerbang tersebut, namun usahanya sia-sia.
“Oke. Bagaimana cara kita masuk?” tanya Travis.
“Memanjat?”
“Kau lihat itu?” ucap Travis sambil menunjuk pada bagian-bagian runcing di bagian atas pagar pembatas halaman dan gerbang. Hal itu membuat mereka tidak mau melewati resiko tetanus jika harus melompati ujung-ujung runcing tersebut.
“Dan gerbangnya tidak dapat dibuka.” Ucap Jessica, sekali lagi mencoba untuk menggerakkan gerbang.
Keadaan sekitar yang dipenuhi dengan tumbuhan yang mulai meranggas di musim gugur membuat rumah itu terlihat sedikit menonjol. Dinding yang kotor dan penuh lubang, dan jendela-jendela yang terpalang oleh kayu. Hawa mistis seketika merayap pada tubuh ketiga penjelajah itu. Namun tak satu detikpun mereka meragukan dengan apa yang akan mereka lakukan.
“Hei, disini!” teriak Tony dari kejauhan. Lelaki itu merunduk di balik sebuah semak-semak, dan menunjuk pada sebuah lubang menganga di dinding pembatas.
“Oke. Sekarang kita masuk!”
Hal pertama yang mereka sadari begitu mereka menginjakkan kaki di dalam halaman rumah besar itu adalah hawa dingin yang tidak biasa. Angin tiba-tiba saja berhembus, menerbangkan setiap dedaunan kering yang menurutpi sebagian besar halaman berpavingnya. Sebuah air mancur yang usdha tua terlihat berada di tengah halaman. Air yang berada di dasar air mancur terlihat menghitam, seolah menyembunyikan apa yang terletak di dalamnya.
Travis dan kedua temannya semakin merasa begitu bersemangat untuk segera masuk ke dalam rumah besar itu. Namun tugas mereka sudah dimulai sejak mereka masuk melalui lubang di dinding itu. Travis dan yang lain dengan segera membidikkan kamera mereka. Mengambil beberapa foto bagian depan rumah kosong yang mencekam itu.
Travis memimpin langkah kedua temannya bergerak menuju teras rumah yang keadaannya sudah begitu buruk. Papan-papan lantai kayu di beberapa tempat sudah terlepas, menunjukkan lubang menganga di bawah. Beberapa jendela terpalang, dan debu menumpuk, membuat mereka tidak dapat melihat apa yang ada di dalam rumah itu.
Pintu ganda rumah besar itu pun terlihat sudah begitu tua. Meski begitu, masih terlihat begitu kokoh meski keadaannya sudahtidak layak lagi. Travis mencoba memutar kenop pintu yang berkarat. Yang tentu saja, tidak dapat diputar.
“Sekarang kita harus cari cara untuk masuk.” Ucap Travis sambil memeriksa beberapa jendela. Namun semua jendela terpalang dari dalam.
“Bagaimana jika kita mengitari rumah ini?” usul Jessica. “Mungkin ada pintu yang bisa kita masuki dari samping.”
Tidak ada gunanya berdebar. Ketiganya dengan segera melangkah lagi menyusuri halaman, lalu mengarah ke samping rumah yang keadaannya sama saja dengan bagian depan. Terdapat semak-semak yang tumbuh memenuhi segala tempat. Travis menemukan satu pintu lagi. namun tetap saja pintu itu tidak mau terbuka.
“Menarik bukan?” ucap Tony sambil tertawa kecil. “Rumah ini begitu mengundang. Tapi kita tidak bisa masuk ke dalam.”
“Aku yakin akan ada cara untuk masuk.” Ucap Travis mencoba untuk berpikir positif.
Halaman belakang dari rumah besar itu dipenuhi dengan berbagai amcam barang rongsokan yang semuanya sudah berkarat. Mereka menemukan sebuah grill barbeque yang ditinggal begitu saja. Di bagian lain dari halaman belakang, terdapat satu ayunan untuk anak kecil dengan kursi sudah terlepas.
Terdapat sebuah bangunan kecil di sudut halaman belakang. Ketika ketiganya memeriksa, ternyata bangunan itu adalah sebuah garasi. Di dalamnya terdapat sebuah mobil klasik yang dibiarkan membusuk dalam keadaan yang buruk.
“Sayang sekali.” Ucap Tony. “Padalah mobil bagus.”
“Tetap fokus!” ucap Jessica sambil terus merekam dengan kamera yang ada di tangannya. Kita masih harus masuk, ‘kan?”
Pintu bagian belakang rumah pun sepertinya mudah untuk dimasuki. Namun ternyata sama dengan pintu lain, tidak daapt dibuka begitu saja. Travis bahkan berniat untuk mendobrak pintu itu, sebelum akhirnya idenya itu ditentang oleh Jessica.
“Kita bisa dianggap masuk tanpa ijin.”
“Kita sudah masuk tanpa ijin, Jess.” Ucap Tony. “Lagiula, bukankah itu yang sudah kita lakukan selama beberapa tahun terakhir?”
“Itu inti dari Urbex, Jessica.” Ucap Travis. “Kita masuk ke dalam properti yang tidak dihuni. Seperti rumah ini.”
“Entahlah.” Balas Jessica dengan raut wajah cemas. “Aku merasa ada yang tidak beres dengan keadaan di sekitar sini. Rumah ini…, atau…”
“Kau tidak mau masuk?” tanya Travis. “Kau bisa menunggu…”
“Tidak!” ucap Jessica cepat. “Aku tidak mau ditinggal sendirian. Aku tetap akan masuk.”
“Oke kalau begitu.” Ucap Travis.
Ia mengambil ancang-ancang, sebelum akhirnya mengarahkan tendangan kakinya pada kenob pintu. Perlu beberapa kali mencoba sebelum akhirnya pintu itu menjeblak terbuka. Menunjukkan kekelaman yang ada di dalam rumah tua itu. Mereka menghadap pada sebuah koridor yang gelap dan berdebu.
“Senter? Oke. Kita masuk.”
Travis merasakan sensasi yang luar biasa ketika ia sudah berada di dalam rumah itu. Kegelapan yang menyelimuti setiap sudut, lalu debu-debu yang beterbangan, dan juga furnitur yang dibiarkan membusuk begitu saja, membuat Travis lupa akan keadaan. Dan sekejap, ia sudah mengambil begitu banyak foto dari mulai dapur hingga ruang tengah.
“Sepertinya mereka pergi dengan tergesa.” Ucap Tony saat ia melihat masih ada beberapa cangkir kosong terletak di salah satu meja. Bahkan satu ceret masih terisi dengan air.
Ketiganya mengarah pada sebuah ruangan luas di bagian tengah rumah yang sepertinya adalah sbeuah galeri. Di dalamnya terdaapt begitu banyak lukisan yang berdebu, namun masih dapat menunjukkan sisi artistiknya.
“Mungkin kita bisa menjualnya.” Ucap Tony.
“Kita tidak akan mengambil apapun!” ucap Jessica cepat. Tony melepas tawanya.
“Aku hanya bercanda, Jess. Tenang sedikit!”
Selama hampir tiga puluh menit, ketiga orang itu berkeliaran di area bawah rumah, mulai dari sayap kiri dan kanan. Sudah ada begitu banyak foto yang mereka ambil. Namun mereka masih belum puas.
“Masih ada lantai dua.” Ucap Tony.
Travis menghentikan langkah Jessica sesaat sebelum ia mengarah ke lantai dua melalui tangga. Travis sadar dengan tingkah aneh teman wanitanya itu sejak mereka masuk ke dalam rumah tiga puluh menit yang lalu.
“Entahlah.” Ucap Jessica sambil menggeleng. “Aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Perasaan aneh di dadaku. Seolah masih ada penghuni yang tinggal disini.”
“Itu tidak mungkin.” Ucap Travis. “Rumah ini sudah kosong cukup lama. Tidak mungkin ada…”
“Aku tahu itu.” Potong Jessica. “Aku hanya merasa tidak nyaman. Aku ingin cepat keluar dari sini.”
“Setelah kita memeriksa lantai dua. Ayo!”
Keduanya kembali bergerak menaiki tangga besar menuju lantai dua. Namun begitu mereka tiba di bagian atas, mereka tercengang dengan tatanan ruangan di lantai dua tersebut. Segalanya terlihat begitu rumit. Terdapat banyak koridor yang berpintu, yang seolah seperti sebuah labirin besar dengan berbagai macam kemisteriusannya.
“Tony!” seru Travis saat menyadari ia sudah tidak melihat temannya itu lagi. “Tony, dimana kau?”
“Anthony!” teriak Jessica.
“Dia menghilang? Tidak mungkin, ‘kan?”
Travis dan Jessica masuk ke dalam sebuah koridor, dimana ada sebuah pintu di ujungnya. Keduanya masuk, namun hanya menemukan sebuah kamar tidur dengan kasur yang sudah penuh dengan debu. Namun tidak ada tanda-tanda bahwa Tony masuk ke dalam ruangan itu. Lantainya masih tertutup oleh debu tebal.
“Tony, ini tidak lucu!” teriak Travis. “Kau membuat Jessica takut!”
Hanya keheninganlah yang terdengar di dalam rumah besar itu. Dengan jendela yang sebagian besar tertutup oleh palang kayu, keadaan di dalam rumah itu menjadi sedikit gelap dan sulit untuk melihat. Cahaya senter mereka pun sepertinya tidak banyak membantu.
“Anthony, jawab aku!” teriak Jessica. Dan lagi-lagi tidak ada jawaban dari mana pun.
“Mungkin dia ada dalam masalah.” Ucap Jessica. “Mungkin…”
“Apa yang mungkin terjadi? Dia tidak mungkin tersesat di dalam  rumah ini, ‘kan?”
“Entahlah. Mungkin…”
Travis dan Jessica seketika menajamkan indera pendengaran mereka saat mereka sepertinya mendengar suara bergedebuk di ruangan lain. Mungkinkah Tony? Keduanya tidak berpikir panjang, dan segera mengarah kembali ke koridor yang terhubung dengan tangga.
“Kau mendengarnya, ‘kan?” tanya Jessica. “Mungkin Tony…”
“Di sekitar sini, kalau tidak salah.” Ucap Travis sambil menunjuk padakoridor lain yang juga memiliki pintu di bagian ujung. Travis dan Jessica perlahan bergerak mendekat sambil terus menyerukan nama Tony. Namun tidak ada jawaban.
“Lihat!” ucap Travis sambil menunjuk pada lantai. Di sana terdapat bekas jejak kaki seseorang. “Tony ada di dalam.
Pintu yang mereka hadapi adalah sebuah pintu antik dengan berbagai amcam ornameln berada pada daun pintunya. Handelnya terbuat dari tembaga yang terlihat masih mengkilat dibawah timbunan debu. Travis perlahan memutar kenop pintunya, yang menimbulkan sedikit derak, dan membukanya. Dan disanalah ia menemukan Tony.
“Tony, kenapa kau tidak menjawab teriakan kami?” tanya Travis seraya bergerak mendekati Tony yang terlihat tengah duduk di depan meja.
“Tony, aku serius.” Ucap Travis lagi. Namun tidak ada respon sama sekali dari temannya itu. Travis mendekat, lalu mengguncang tubuh temannya itu, tapi…
“OHH!! ASTAGA!!!”
Kepala Tony secara tiba-tiba terjatuh dari atas lehernya dan menggellinding di lantai. Travis dan Jessice seketika berpengangan tangan, dengan mata melotot, tidak memeprcayai apa yang mereka lihat.
“OH, TRAVIS, KITA HARUS KELUAR DARI SINI!” teriak Jessica histeris. Nafas Travis memburu seketika. Tidak mungkin kepala Tony bisa terlepas dengan sendirinya. Dan seketika ia sadar bahwa memang ada sesuatu di dalam rumah itu.
“Kita pergi.” Ucapnya. Namun ketika ia akan kembali ke arah pintu…
BRAK!
Pintu itu tertutup dengan seketika. Travis berteriak, berlari ke arah pintu dan mencoba untuk menariknya terbuka. Namun usahanya sia-sia. Pintu itu terkunci.
“TIDAK!!” teriakknya sambil menggedor pintu.
“Oh, Travis! Apa yang terjadi? Kenapa dengan Tony? Aku tidak…”
“Perasaanmu tadi benar, Jess.” Ucap Travis dengan nafas memburu sambil memutar otak. “Ada sesuatu di dalam rumah ini.”
“Pintu itu! Coba pintu itu!” ucap Travis saat ia melihat ada sebuah pintu di sisi ruangan lain. Beruntung, pintu itu dengan begitu mudahnya terbuka. Namun mereka kembali berada di dalam labirin koridor yang sepertinya tak berujung. Ada terlalu banyak pintu. Dan setiap pintu akan semakin menyesatkan mereka. Jujur, mereka tidak tahu lagi kemana mereka harus pergi.
“Terus bergerak, Jess!” ucap Travis. Namun langkahnya terhenti seketika saat sebuah suara asing terdengar.
Jessica pun mednengar suara aneh itu. Seperti sebuah bilah pisau yang diseret di lantai, atau dinding. Dan mereka mendengar langkah berat mendekat.
“Travis!”
“Ssstt!!”
Keadaan koridor yang remang semakin membuat nyali mereka ciut. Otot-otot di tubuh mereka seolah membeku, dan tidak dapat membuat merke bergerak. Dan tepat sat itulah Travis seperti melihat sekelebatan bayangan di kejauhan.
“SIAPA DISANA?” teriak Travis. Sedetik kemudian ia sadari bahwa apa yang baru saja ia ucapkan malah akan membuatnya jatuh dalam masalah. Siapapun yang ada di dalam rumah itu kini tahu posisi Travis dan Jessica.
Dan benar saja. Baru saja mulut Travis tertutup. Di ujung koridor jauh terlihat sebuah bayangan sosok seseorang dengan sebuah pisau teracung di tangannya. Travis seketika menarik lengan Jessica.
“LARI!!”
Koridor-koridor yang saling berhubungan dengan pintu-pintu ganda membuat Travis dan Jessica kehilangan arah. Mereka tidak tahu kemana mereka harus pergi. Sementara sosok itu masih mengejar di belakang mereka.
“Lewat sini!”
Travis menendang sebuah pintu terbuka, dan masuk ke dalam sebuah ruangan. Namun…
“AAHHHKKK!!!”
Suara berderak kayu yang patah timbul bersamaan dengan teriakan Jessica. Sebelum Travis dapat menyadari keadaan sebenarnya, ia tersungkur ke atas lantai berdebu. Ketika ia berdiri lagi, terdapat sebuah lubang menganga di lantai. Jessica terjatuh dari ruangan itu ke sebuah ruangan di bawahnya.
“JESS!” teriak Travis sambil melongok ke dalam lubang menganga itu. Keadaan di ruangan bawah begitu gelap dan sulit untuk melihat. Namun sebuah suara batuk sedikit dapat menenangkan Travis.
“Kau tidak apa-apa?”
“Ya.” Jawab Jessica dari bawah. Suaranya menggema. “Aku tidak tahu kemana aku harus…”
“Jess?”
“Sialan! Dia disini, Travis! S-sosok itu! Apa yang harus aku…”
“Lari, Jessica! Lari dan bersembunyi!”
Jessica berlari ketika sosok itu muncul. Meski sudah melihatnya, Travis tetap tidak dapat mengenai sosok itu dengan jelas. Dan yang lebih membuatnya kesal lagi adalah satu kenyataan bahwa sedetik kemudian ia mendengar jeritan Jessica. Sesuatu terjadi pada wanita itu.
“Sialan!”
Travis mencoba pintu-pintu lain, dan menyusuri koridor. Untuk sesaat, ia merasa ada yang selalu mengikutinya. Bahkan Travis nyaris berteriak saat melihat pantulan wajahnya sendiri di sebuah cermin yang berdebu.
“Tenang, Travis! Sial!”
Travis bergerak lagi menyusuri koridor, dan membuka sebuah pintu di ujung. Dan saat itu juga kedua mata Tarvis terbuka dengan lebar.
Ia melihat ujung tangga yang mengarah ke lantai satu. Pada akhirnya ia bisa keluar. Tapi…, bagaimana dengan Jessica? Jessica masih terperangkap di suatu tempat di dalam rumah itu. Dan ia tidak akan meninggalkan Jessica begitu saja.
Travis ragu. Mungkin ia bisa keluar dari rumah itu lalu memanggil bantuan polisi? Namun jika begitu, Travis yakin bahwa saat polisi datang nanti, bukan hanya jenasah Tony saja yang ada di dalam. Tapi mungkin juga Jessica. Ia bingung. Apa yang akan ia lakukan?
Travis mencoba untuk melangkah lagi. Namun seketika, ada yang manyayat bagian belakang kaki kanannya. Rasa dingin dan basah mulai ia rasakan di belakang bata kakinya itu. Dan kemudian ia sadari bahwa ada yang menyerangnya dari belakang. Sosok itu.
“TIDAK!” teriak Travis sambil mencoba untuk menyeret tubuhnya munder. “KUMOHON! JANGAN BUNUH AKU! KUMOHON!”
Travis pada akhirnya daapt melihat dengan jelas sosok di depannya itu. Sosok pria tua dengan wajah berkeriput, dengan satu seringai yang memperlihatkan gigi-gigi kuningnya. Di tangan pria itu terdapat sebilah pisau yang berlumuran dengan darah.
“Kau seharusnya tidak masuk ke tempat ini, nak.” Ucap sosok itu dengan suara kasarnya. “Kau tahu apa yang mungkin akan terjadi. Kau sudah melihat apa yang bisa kulakukan padamu. Dan gadis itu.”
“Kumohon!” ucap Travis lagi sambil terus menyeret tubuhnya. Ia tidak dapat berdiri karena luka sayatan lebar di kakinya itu. Darah merembes, membasahi lantai di bawahnya.
“Kumohon! Kumohon!” sosok itu meniru ucapan Travis. “Jika hal itu dapat membantumu keluar dari masalah ini, nak.”
“Aku hanya ingin pergi.” Ucap Travis.
“Terus memohon, anak muda!” ucap sosok itu sambil terus bergerak maju, memaksa Travis untuk terus mundur. Hingga akhirnya Travis sampai di ujung tangga dan menggelundung hingga lantai satu.
“Menarik, bukan?” ucap sosok itu seraya menuruni tangga, mengarah pada Travis yang berlumuran dengan darahnya sendiri.
“Sudah lama aku mendambakan tamu di rumah ini.” Ucap sosok itu sambil tertawa nyaring. Travis sudha kehabisan tenaga untuk menyerat tubuhnya. Yang dapat ia lakukan hanyalah bersandar pada sikunya, dan melihat dengan jelas saat pisau itu melayang tinggi di udara. Kemudian…
“MATILAH!”
Jeritan terakhir Travis menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam kekelaman rumah kosong itu. Seorang petualang, tewas dalam petualangannya sendiri. Dan mungkin tidak akan ada yang pernah tahu soal itu.
Atau…

**

Air mata mengalir turun di wajah Jessica ketika ia melaporkan apa yang baru saja ia alami pada kepolisian kota itu. Jessica melihat dengan mata kepalanya sendiri saat pisau itu mencabik leher Travis. Dan ia merasa bahwa ia telah kehilangan segala kekuatannya saat itu. Ia hampir saja pingsan, sesaat sebelum ia melihat celah di dinding rumah untuk menyelinap keluar.
Polisi pada akhirnya mendatangi rumah kosong itu satu jam kemudian. Dengan peralatan lengkap, pasukan khusus menerobos masuk ke dalam rumah dan menemukan sosok tua itu sedang bermain dengan tubuh kedua korbannya.
Satu tembakan berhasil polisi lepaskan dan mengenai kaki sosok itu saat sosok itu mencoba melawan dengan pisaunya. Pada akhirnya, ia digelandang oleh pasukan khusus, kembali ke kantor polisi.
Diketahui kemudian bahwa sosok itu ternyata adalah seorang pembunuh yang kabur dari penjara belasan tahun yang lalu. Dan selama ini, ia bersembunyi di dalam rumah kosong itu. Berdasarkan apa yang dapat ia kisahkan, Tony dan Travis bukanlah korban baru baginya. Ia sudah memnunuh begitu banyak orang dalam kurun sepuluh tahun terakhir. Polisi pun menemukan setumpuk tulang belulang di dalam rumah besar itu selama penyeledikan selanjutnya. Dan kini, pria tua itu akan kembali masuk dalam sel dingin penjara. Mungkin hingga kematian menjemputnya.
Apa yang sudah terjadi beanr-beanr merubah kehidupan Jessica. Sebagai satu-satunya orang yang berhasil keluar hidup-hidup dari rumah maut itu, ia menjadi sorotan banyak media masa.
Ada tawaran lagi yang masuk ke telepon Jessica beberapa bulan setelah kejadian itu. Mengenai…
“Urban Exploring? Lagi?” ucapnya.
“Tempatnya bagus.” Ucap suara pria di telepon. “Memang lokasinya asing. Tapi kita akan mendapatkan sponsor. Ini bisa menjadi karir bagi hobi kita.”
Jessica hanya tersenyum. Di ingatannya masih terbayang jelas dua wajah pria yang selama ini selalu menjadi teman baiknya itu. Dan Jessica tentu masih belum dapat melupakan apa yang terjadi.
“Maaf, David!” jawab Jessica. “Aku tidak tertarik lagi.”
Jessica puas dengan keputusannya. Sesaat setelah ia meletakkan telepon itu, ia melihat lagi pada album urbex yang ia lakukan selama ini bersama kedua temannya. Penuh dengan kenangan. Dan Jessica bersumpah bahwa ia tidak akan melupakan kedua temannya itu. Dan sebagai satu cara untuk mengenang keduanya, ia akan menulis sebuah buku tentang petualangannya selama ini. Ya. Ia akan mengenang mereka.
“Semoga kalian tenang.” Ucap Jessica sebelum kembali pada komputernya yang menyala.

****




Wednesday, January 25, 2017

THE PASSENGER



Alan Crayford berusaha untuk memegang roda kemudinya dengan erat. Perjalanan menembus hujan lebat di tengah kawasan hutan itu adalah suatu hal yang benar-benar tidak Alan harapkan. Mobilnya berkali-kali mengepot di tikungan jalan karena hujan yang membasahi aspal, membuat jalanan licin dan benar-benar berbahaya.
Lebih buruknya lagi, mobil yang Alex tumpangi adalah sebuah mobil tua dengan lampu sorot yang tidak dapat benar-benar menembus kegelapan malam. Cahaya kuning dari lampu mobil itu hanya dapat menyorot beberapa meter di depan. Dan di tengah hujan yang sangat lebat, apapun bisa terjadi. Baru beberapa menit yang lalu Alan hampir saja terperosok ke arah tepian jalan saat sebuah dahan pohon besar tergeletak di tengah jalan. Ia sudah tidak tahu lagi apa yang mungkin akan ia temui selama dalam perjalanan malamnya itu.
Tujuan utamanya adalah Blackwood. Sebuah kota kecil yang terletak begitu jauh dari keramaian kota besar, terletak di tengah antah berantah dan benar-benar tak terjamah oleh dunia luar. Seperti sebuah setting yang cocok untuk sebuah film slasher. Mungkin Alan hanya berpikiran terlalu jauh. Ia memang sudah banyak medengar cerita-cerita mengerikan mengenai Blackwood. Yang ia akui, memang menyeramkan. Dan sempat membuatnya ragu untuk pergi ke kota itu. Jika saja bukan karena tuntuan pekerjaannya, ia mungkin tidak akan mengambil resiko berkendara di tengah hutan di malam hari dalam hujan lebat seperti itu.
Alex merasa benar-benar bosan dengan keadaan di sekelilingnya. Yang ia lihat hanyalah deretan pohon-pohon besar yang membuat hutan itu semakin terlihat mencekam. Hanya suara musik dari radio yang dapat memecah kesunyian di dalam mobil itu. Meski begitu, pikiran Alan tidak fokus dengan apa yang ia dengarkan. Pikirannya melayang-layang, membayangkan kasur yang hangat, karena ia sudah merasa begitu lelah.
Alan melepaskan satu tangannya dari roda kemudi saat ponselnya berdering. Ada telepon masuk dari salah satu temannya. Yang membuat Alan merasa sedikit beruntung karena ia bisa sedikitnya menghilangkan kebosanan.
“Yaa, aku sedang dalam perjalanan ke sana.” Ucap Alan menjelaskan keadaan pada temannya itu. “Buruk. Benar-benar buruk. Siang tadi saat aku bernagkat dari Arcadia langit begitu cerah. Tapi begitu aku memasuki bokoye hujan tiba-tiba saja turun dengan deras. Dan mobil sialan ini sulit untuk dikendalikan.”
“Tunggu dulu!” balas temannya dengan nada keterkejutan. “Jangan katakan kau masuk bokoye lewat jalur selatan!”
“Aku melewati jalur itu.” Balas Alan. “Memangnya kenapa?”
“Jalur itu buruk, Alen. Lebih buruk dari jalur lain. Akan lebih baik jika kau memilih jalur memutar.”
“Aku tidak bisa melakukannya.” Ucap Alan. “Aku ahrus tiba di Blackwood besok pagi untuk acara peluncuran novelku itu. Dan jalur ini adalah jalur tercepat.”
“Aku tidak menyangka kau mau menerima undangan ke kota itu.” Ucap temanya itu kemudian. “Kau tidak pernah medengar soal Blackwood? Segala cerita ‘kacau’ mengenai apa yang ada disana?”
“Ya, tentu saja aku tahu.” Balas Alan. “Hal-hal supranatural dan yang lain-lain, ‘kan? Itu sebabnya novelku laris di kota itu. Mereka suka dengan hal-hal berbau horor.”
“Jangan bercanda!” ucap temannya serius. “Akhir-akhir ini ada rumor mengenai seorang maniak yang lepas dari rumah sakit jiwa. Kau sudah dengan ceritanya?”
“Mengenai maniak yang memburu orang-orang tak bersalah dan membantai mereka itu, ‘kan?” ucap Alan. “Cerita itu berasal dari Blackwood. Mungkin hanya hoax, atau semacamnya. Mereka perlu publikasi untuk kota kecil mereka yang nyaris terlupakan oleh dunia luar.”
“Kau tidak percaya dengan berita itu?”
“Sejauh ini apa yang diberitakan di koran dan media tidak terbukti. Tidak ada foto atau semacamnya. Aku yakin hanya hoax. Tenang saja! Aku akan baik-baik saja.”
“Aku sudah memperingatkanmu, Alan. Kau harus berhati-hati!”
Alan tahu benar dengan apa yang ia hadapi. Mengenai cerita soal maniak itu, ya. Alan memang sudah mendengarnya. Sebuah cerita mengerikan yang mungkin bisa dijadikan sebuah naskah untuk film atau novel fiksi. Namun Alan tidak sepenuhnya mempercayai bahwa rumor itu benar-benar terjadi. Sejauh apa yang dapat ia ketahui mengenai Blackwood, semua cerita horor yang berkembang di kota kecil itu tidak pernah terbukti secara nyata. Yang ia dengar hanyalah cerita dari mulut ke mulut. Yang dapat dengan mudah sengaja dibuat untuk menarik perhatian turis ke kota kecil itu.
Namun harus Alan akui, bahwa segala cerita misterius soal Blackwood adalah salah satu inspirasinya menulis novel horor. Dan hasilnya, novelnya terjual laris. Kini ia tidak tahu apakah ia harus membenci Blackwood atau tidak. Yang jelas, semakin banyak ia mendengar cerita aneh dari Blackwood, maka ia akan mendapatkan banyak inspirasi. Mungkin ia akan menulis buku-buku lain berdasarkan cerita-cerita misterius itu.
Suara musik dari radio masih mengalun pelan di dalam mobil yang ia kendarai. Dan tak ia sangka, musik itu membuainya. Dalam keadaan yang monoton dan sunyi, rasa kantuk mulai meneyrang keuda matanya. Dan ia nyaris saja tertidur, saat secara tiba-tiba mobilnya terguncang.
Alan memelankan laju mobilnya. Apa yang terjadi? Alan seperti baru saja menginjak sesuatu di tengah jalan. Ia menoleh ke belakang, melihat melalui kaca belakang. Namun tidak ada apapun di tengah jalan. Ia membuka pintu mobilnya dan melongok ke luar. Lagi-lagi ia tidak dapat menemukan apapun yang dapat membuat mobilnya berguncang seperti itu. Apa mungkin rodanya kempes?
Alan terpaksa harus keluar dari mobilnya. Sambil membawa payung, ia memeriksa roda-roda mobilnya itu. Tapi…, tidak. Semuanya masih terlihat begitu normal. Ia memutuskan untuk masuk kembali ke dalam mobil. Namun ketika ia akan menginjak pedal gas lagi, sesuatu mendobrak pintu penumpang. Yang membuat Alan melonjak di atas kursi yang ia duduki.
Sebuah wajah tiba-tiba saja muncul di balik kaca mobil yang terletak di seberang tempatnya duduk. Seorang pria secara tiba-tiba muncul disana, dengan wajah menempel pada kaca mobil. Wajah seorang pria dengan rambut panjang kumal, dan sorot mata yang tajam.
“Maaf!” ucap pria itu sedetik kemudian. Alan berusaha untuk memenangkan dirinya kembali. Tidak apa-apa. Hanya seorang pria. Alan kemudian menurunkan kaca mobil hingga ia dapat melihat jelas sosok pria dengan dandanan kumal itu.
“Maaf mengagetkanmu!” ucap pria itu kemudian. “Aku sedang dalam masalah. Mobilku mogok, dan aku butuh tumpangan hingga kota terdekat. Jika kau tidak keberatan, boleh aku menumpang?”
Ada sedikit keraguan di dalam diri Alan ketika melihat pria itu. Ia sama sekali tidak menyadari kehadiran pria itu. Seolah pria itu baru saja muncul dari udara. Namun ketika Alan dapat memproses lebih lanjut apa yang terjadi, ia segera membuang perasaan aneh di dalam hatinya. Pria itu terlihat ‘normal’ menurutnya. Meskipun terlihat sedikit mencurigakan.
“Ya, tentu. Masuklah!” ucap Alan sedetik kemudian. Pria itu tersenyum, lalu masuk ke dalam mobil. Pria itu memakai sebuah mantel kulit yang terlihat basah kuyup. Sepertinya ia sudah berada cukup lama di tengah hujan.
“Terima kasih.” Ucap pria itu ketika ia sudah duduk di samping Alan. Alan hanya tersenyum, lalu menginjak pedal gasnya lagi.
“Apa yang terjadi? Kenapa dengan mobilmu?” tanya Alan beberapa menit kemudian. Disatu sisi ia merasa senang karena pada akhirnya ia memiliki teman untuk diajak bicara.
“Ah! Mobil tua. Mogok secara tiba-tiba. Aku sudah menunggu mobil lewat cukup lama. Tapi jalur ini sepertinya jalur yang jarang dilewati mobil. Lalu aku melihatmu. Aku merasa beruntung.”
“Ya. Jalurnya memang sepi.” Balas Alan.
Sempat terjadi keheningan selama satu menit. Yang terdengar hanyalah suara hujan yang menghantam atap mobil. Hingga akhirnya penumpang itu membuka mulutnya lagi.
“Jadi, kemana kau mau pergi?”
“Aku? Aku menuju Blackwood.”
“Blackwood?”
“Ya.”
“Kau tinggal disana?”
“Tidak.” Jawab Alan. “Pekerjaan. Aku penulis novel. Dan aku datang ke Blackwood untuk menemui fans dan melakukan tanda tangan.”
“Kau sudah pernah ke Blackwood sebelumnya?”
“Belum. Ini baru pertama kalinya.”
“Tapi kau sudah tahu soal Blackwood, ‘kan?” ucap pria itu. “Mengenai segala sesuatu yang terjadi di kota kecil itu?”
“Ya.” Balas Alan. “Mengenai cerita-cerita hantu, kisah misterius lainnya, dan kudengar ada maniak akhir-akhir ini. Sungguh, sebuah kota yang cocok untuk menulis cerita horor.”
“Kau tidak percaya dengan semua itu.” Ucap pria itu, seolah dapat membaca apa yang ada di dalam kepala Alan.
“Belum ada yang terbukti, ‘kan? Maksudku soal hantu atau kutukan-kutukan lain. Kurasa hanya hoax.”
“Tapi tidak dengan maniak itu.” Ucap pria rambut kumal itu dengan nada yang dalam dan serius. Untuk sesaat, Alan merasakan ada perasaan dingin mengalir di punggungnya. Entah karena apa. Ia biasanya tidak akan merinding hanya dengan mendengar cerita horor.
“Aku bisa memberikanmu keterangan mengenai maniak itu jika kau mau.” Ucap pria itu lagi. “Kau bodoh jika menganggap bahwa cerita itu hanya cerita bohongan.”
“Oh, ya?” balas Alan. “Bagaimana kau tahu bahwa cerita itu benar?”
“Karena aku pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.”

*

Alan menatap serius pada wajah kumal yang ada di sampingnya itu. Hingga akhirnya ia tersadar bahwa ia sudah terlalu lama mengalihkan perhatiannya dari jalanan yang ada di depannya. Dan seketika, Alan mengeluarkan tawanya. Sebuah tawa yang hampa, karena ia merasa antara percaya dan tidak dengan ucapan pria kumal itu.
“Aku tinggal di Blackwood.” Ucap pria itu kemudian. “Aku tahu dengan segala sesuatu yang ada di kota itu.”
Alan belum dapat mengucapkan apapun. Pikirannya bergerak dengan cepat. Haruskan ia mempercai ucapan pria itu? Atau pria itu hanya mencoba untuk menakutinya? Namun pada akhirnya Alan menerima kenyataan janggal itu, dan mengijinkan pria itu untuk bercerita. Ia hanya menganggap cerita ini sebagai cara untuk menghilangkan kebosanan.
“Segalanya berawal dari tragedi lebih dari dua puluh tahun yang lalu.” Ucap pria kumal itu memulai ceritanya. “Di sebuah kota kecil yang tenang, jauh dari keramaian, dan seolah polos tanpa dosa. Sebuah tragedi memilukan menjadi noda bagi kota Blackwood.
“Seorang remaja berusia lima belas bernama Eugene Handerson membantai seluruh anggota keluarganya di suatu malam berhujan. Jeritan memilukan korbannya ternggelamoleh suara guntur dan terpaan angin. Dan dari situlah cerita mengenai maniak ini dimulai.
“Eugene Handerson adalah seorang bocah yang sejak awal memiliki masalah dengan kejiwaan. Sejak kecil, Eugene sering diperlakukan kasar oleh ayahnya yang pemabuk dan ibunya yang bekerja sebagai seorang psk. Eugene adalah anak terakhir dari lima bersaudara. Dan keempat saudaranya pun memperlakukan Eugene sama buruknya dengan ayah dan ibunya. Eugene adalah anak yang pendiam dan tidak pernah menceritakan masalahnya pada siapapun. Ia menjadi anak yang pemurung, tertekan, dan kadang sering mengamuk dengan alasan yang tidak jelas. Mungkin kau bisa mengerti bagaimana rasanya hidup di tengah keluarga yang berantakan dan tidak pernah menyayangimu. Itulah yang terjadi pada soso Eugene.
“Di usianya yang kesepuluh ia secara tak sengaja menikam kakak perempuannya dengan obeng saat dia sedang dalam amukan amarah. Ayahnya meledak, kesal dengan apa yang sudah Eugene lakukan. Dan memutuskan untuk mengurung anaknya sendiri itu di ruang bawah tanah yang gelap selama sepuluh hari. Dan hanya memberikan anak itu makanan satu kali setiap harinya.
“Penderitaan Eugene seperti menumpuk selama tahun-tahun selanjutnya. Di usianya yang ketiga belas, ia mengikat keempat saudaranya dan melempar mereka ke ruang bawah tanah saat ibu dan ayahnya sedang pergi. Lagi-lagi Eugene harus menerima amukan amarah dari ayahnya. Kali ini ia diikat dengan rantai pada traktor di garasi, dan membiarkan Eugene berada di sana selama sehari.
“Dia tahun berikutnya, Eugene mendapatkan begitu banyak siksaan dari kedua orang tua dan keempat saudaranya baik secara fisik maupun psikologis. Kurasa hal itulah yang seolah mulai membangkitkan iblis yang tinggal di dalam tubuhnya. Di suatu malam yang dipenuhi dengan hujan dan angin, Eugene keluar dari garasi sambil membawa sebuah kapak, dan mengarah pada anggota keluarganya yang sedang makan malam. Dan kau tahu apa yang terjadi selanjutnya. Eugene membantai keenam orang itu dengan sadis. Kabar yang kudengar, ia memenggal kapala ibunya sendiri dan menancapkannya pada pagar rumah. Dan dia melakukan hal-hal yang tak dapat diucapkan pada anggota keluarganya yang lain. Eugene bahkan memasukkan jenasah ayahnya pada perapian dan membakarnya.
“Eugene tidak mencoba untuk lari setelah apa yang ia lakukan. Keesokan harinya, polisi datang setelah mendengar laporan dari warga mengenai kegaduhan yang terjadi di kediaman Handerson. Polisi menemukan kepala Ny. Handerson di pagar. Dan ketika mereka memasuki rumah, mereka merasa seperti masuk ke dalam naraka. Ruang tamu dan ruang makan berwarna merah dipenuhi dengan darah. Dan organ dalam manusia berceceran di segala tempat. Dan di perapian, jenasah Tn. Handerson ditemukan menghitam, terbakar.
“Eugene ditemukan duduk di kaki tangga. Ketika polisi mendekatinya dalam todongan pistol, Eugene hanya menyeringai dan tertawa. Dia sama sekali tidak mencoba melawan saat ditangkap. Kemudian di kantor polisi saat polisi menanyakan alasannya membantai keluarganya, Eugene hanya berkata, ‘Setan memintaku untuk melakukannya’. Eugene kemudian dinyatakan memiliki gangguan mental yang serius, kemudian dikirim ke sebuah penjara khusus pelaku kejahatan kelas kakap. Disana pun Eugene menjadi ancaman bagi narapidana lain. Ia tinggal di dalam sel khusus yang dijaga ketat oleh penjaga penjara.”
Alan mendengar cerita itu dengan perasaan berdesir di dadanya. Setiap kata yang keluar dari mulut pria itu terdengar begitu jahat dan mengerikan. Sesekali ia melirik ke arah pria itu. Berharap pria itu tertawa dan mengatakan bahwa semua yang dikatakannya hanyalah rekaan. Namun pria itu terlihat begitu serius.
“Lalu mengenai maniak yang sekarang?”
“Eugene berhasil meloloskan diri dari penjara itu.”
“Bagaimana?”
“Tidak ada yang pernah tahu soal itu, ‘kan?” balas pria itu sambil terkekah. “Tapi ini nyata. Dia ada diluar sana, menunggu korban selanjutnya.”
“Apa sudah ada korban sejak dia keluar dari penjara?” tanya Alan penasaran. Sebab yang ia dengar selama ini hanya rumor. Dan tidak pernah terbukti mengenai keberadaan Eugene.
“Sudah ada terlalu banyak korban selama dia keluar dari penjara.” Ucap pria itu. “Dalam perjalanannya pulang kembali ke Blackwood, ia membunuh beberapa orang yang ia temui. Namun bukan itu bagian yang mengerikan. Bagian paling mengerikan adalah caranya membunuh korban.”
“Bagaimana?”
“Pertama dia akan memancingmu untuk mengikutinya. Seolah Eugene adalah seseorang yang sedang berada dalam masalah dan membuuthkan pertolongan. Kemudian ketika ia merasa sudah cukup aman, dia langsung menyerang korban. Dia tidak langsung membunuh korban. Itulah bagian paling menariknya. Dia hanya akan menikammu beberapa kali di bagian tubuh yang tidak vital. Kaki, lengan, bahu, dan ia membiarkan korbannya menjerit dalam rasa sakit yangluar biasa saat Eugene perlahan merobek perut korban dengan senjata yang ia miliki. Eugene begitu menikmati setiap sensasi yang ia dapatkan ketika ia dapat mendengar korbannya menjerit dan tidak dapat melakukan apapun.”
Alan menggelengkan kepalanya. Hanya dengan membayangkannya saja ia merasa mual. Cerita dari pria itu benar ditail dan cukup kuat untuk bisa membuatnya muntah.
“Kenapa dia melakukan hal itu?” tanya Alan pada akhirnya. “Aku tahu dia benci dengan anggota keluarganya. Tapi kenapa ia membunuh orang-orang tak bersalah itu?”
“Satu hal yang Eugene sadari setelah membunuh anggota keluarganya adalah, ia mendapatkan kesenangan yang selama ini tidak pernah ia rasakan. Selama masa kecilnya ia terus berada dalam tekanan. Dan ketika ia dapat menyalurkan rasa sakit hatinya pada para korbannya, dia merasa begitu hidup. Dan dia sudah ketagihan dengan rasa menyenangkan itu. Jeritan pada korbannya, dan darah…”
Alan memproses sekali lagi seluruh kisah dari mulut pria itu. Benar-benar tidak terkira. Sepertinya memang cocok dijadikan plot untuk sebuah novel horor. Tapi, apakah semua cerita itu benar?
“Lalu dia kini berada di Blackwood?” tanya Alan.
“Dia kembali ke rumahnya.” Jawab pria itu. “Tapi kurasa dia tidak menetap di Blackwood saat ini. Ia mungkin sedang mengembara, menunggu korban selanjutnya.”
“Jadi ini kisah nyata?”
Pria kumal itu hanya menyeringai saat melihat raut ketakutan dan kecemasan di wajah Alan. Ya. Cerita itu memang membuat isi eprutnya berputar-putar. Tapi satu hal yang aneh adalah cerita dari pria kumal itu sendiri.
“Kenapa kau bisa tahu semua ini?” tanya Alan sedetik kemudian. “Seolah kau selalu berada di dekatnya setiap detik.”
“Oh, tidakkah aku memperkenalkan diriku?” ucap pria itu. Kedua mata Alan seketika membelalak dan dengan cepat menoleh pada pria yang ada di sampingnya itu. Sebuah pisau belati sudah berada di depan matanya. Pria kumal itu menyerangi sambil berkata,
“Namaku Eugene Handerson. Akulah pria dalam cerita itu.”

****