Kristin terlalu fokus dengan pekerjaan yang ada di depannya.
Perhatiannya terlalu fokus pada essay yang ia tulis, hingga ia tidak menyadari
apa yang terjadi di sekelilingnya. Hingga sebuah hembusan menghempas wajahnya,
dan mengingatkannya seketika bahwa ia saat itu berada di dalam sebuah
perpustakaan remang yang dihuni oleh puluhan rak-rak tinggi.
Kristin mengangkat wajahnya
untuk pertama kali sejak lima belas menit terakhir. Tangan kanannya yang hingga
sedetik yang lalu berdansa diatas kertas putih pun berhenti seketika. Ia
menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Memandang pada deretan rak buku yang
terlihat kosong dan terlupakan. Atmosfir
yang ia rasakan menjadi sedikit menekan saat keadaan semakin gelap di luar
sana. Kristin sadar bahwa ia sudah terlalu lama duduk sendirian di dalam
perpustakaan yang mencekam itu.
Kristin menolehkan kepalanya
cepat saat ia mendengar suara berderak yang berasal dari ujung rak buku tinggi.
Terdengar sebuah suara langkah kaki pelan, yang nyaris tidak dapat didengar.
Tapi Kristin dapat merasakan kehadiran sosok lain di dalam perpustakaan yang
mulai kosong itu. Kristin sadar ia tidak sendiri.
Entah apa yang ada di dalam
kepalanya. Ia bangkit seketika dari kursi yang ia duduki, meninggalkan
pekerjaannya dan bergerak perlahan ke arah ujung rak buku dimana suara langkah
kaki itu berasal. Bukan hanya langkah kaki. Ia bahkan dapat mendengar desahan
nafas berat yang tidak biasa. Keadaan yang super sunyi membuat segala indera di
tubuhnya menjadi begitu sensitif. Apa yang akan ia temui? Seseorang…, atau sesuatu
yang mungkin hanya pernah nyata di dalam mimpi dan angannya. Sesuatu yang kasat
mata…
Kristin bergerak semakin
dekat sambil mengepalkan tangannya. Perasaan tak karuan yang berada di dadanya
semakin menjadi-jadi. Ia bahkan seolah dapat mendengar detak jantungnya
sendiri, yang berderap kencang, menjadi semakin keras semakin ia mendekati
ujung rak tinggi itu. Selangkah, dua langkah, dan…
“AHH!!”
Kristin menjerit seketika
saat sesosok wajah putih yang tertutup rambut hitam muncul di depan wajahnya.
Sepasang mata mendelik ke arahnya, dan satu seringai muncul di wajah putih itu.
Tapi…
“Oh!” Kristin seketika
mengarahkan satu tangan ke dadanya. Mengelus bagian dimana jantungnya berada.
Ia sadari kemudian bahwa sosok itu adalah temannya sendiri, yang sudah tega
mengusilinya sejak ia masuk ke dalam perpustakaan itu.
Ashley. Gadis berambut hitam
dengan wajah putih bersih itu tak dapat menahan tawanya setelah melihat
ekspresi wajah Kristin. Kristin, di lain sisi, merasa begitu geram dengan apa
yang dilakukan oleh teman satu kamarnya itu. Ashley tidak biasanya usil
padanya.
“Apa yang kau lakukan?”
geram Kristin sedikit kesal. Ia mencoba untuk menahan agar suaranya tidak
terdengar terlalu keras di dalam perpustakaan itu. Ia ingat bahwa sang
pustakawan sedikit ketat dan mengerikan.
“Maaf! Maaf!” ucap Ashley
sambil masih mencoba menahan tawa. Ia menarik lengan Kristin kembali ke arah
meja dimana Kristin mengerjakan tugas sekolahnya. Kristin belum melepaskan raut
amarah dari wajahnya.
“Kau tidak punya ide yang
lebih gila lainnya?” bisik Kristin sambil mendecakkan lidah. “Oh, ya. Buat aku
takut di tmepat yang sudah mengerikan seperti perpustakaan ini. Ho..ho.., aku
yakin aku akan baik-baik saja.”
“Apa yang kau takutkan?”
tanya Ashley. “Ada banyak murid di dalam perpustakaan ini, ‘kan tahu?”
Kristin menyadari hal itu
detik berikutnya. Ia, yang awalnya mengira bahwa ia sendirian di dalam
perpustakaan besar itu, kini dapat melihat sekelompok remaja-remaja lain yang
berdiri di antara rak-rak buku di seberang ruangan. Yang membuat mengerikan
adalah kenyataan bahwa tidak ada satupun orang yang membuat suara. Menjadikan
perpustakaan itu seolah sudah ditinggalkan.
“Kau tidak menjawab
pertanyaanku. Apa yang kau lakukan?” tanya Kristin. Dengan kesal ia kembali
duduk di kursinya.
“Aku sedang mencari buku di
rak sebelah.” Jawab Ashley dengan wajah tanpa dosa. “Dan ketika aku melihatmu,
aku tidak dapat menahan keinginanku untuk mengagetkanmu.”
“Lucu sekali!”
“Aku benar-benar tidak
mengira kau akan termakan dengan guyonan kecilku itu.”
“Setelah apa yang terjadi?”
Tawa di wajah Ashley
menghilang seketika. Ucapan yang baru saja ia dengar keluar dari mulut Kristin
soelah membekap mulutnya. Membuatnya tidak dapat mengeluarkan kata-kata selama
beberapa detik. Otaknya serasa beku.
“Ya.” Ucapnya setelah ia
dapat membuka mulutnya lagi. “Setelah tragedi itu.”
Kristin menggelengkan
kepalanya. Jika ia mengingat lagi mengenai tragedi yang baru saja terjadi di
sekolahan itu, ia rasanya tidak ingin lagi terus bersekolah di sma itu. Tapi,
apa yang sebeanrnya terjadi?
Sma Norrington yang ia
tempati saat ini adalah sebuah sma yang terkenal sebagai salah satu sma di
Cherwood yang sudah banyak menghasilkan siswa-siswi berprestasi selama kurang
lebih dua dekade terakhir. Namun sejak setahun terakhir, reputasi sma
Norrington sedikitt tercemari dengan adanya sebuah tragedi yang menimpa salah
satu murid di tempat itu. Seorang murid di temukan tewas di dalam salah satu
toilet.
Kristin masih ingat benar
dengan apa yang terjadi saat itu. Sekolahan itu menjadi kacau dengan
ditemukannya jenasah gadis malang itu di toilet. Tidak ada yang benar-benar
tahu apa yang terjadi. Menurut penyelidikan polisi, tidak ditemukan adanya luka
di tubuh korban. Dan berdasarkan dari penelitian, gadis itu dinyatakan tewas karena
serangan jantung.
Sungguh sebuah hal yang tak
terkira. Kedua orang tua korban mengatakan bahwa putri mereka tidak pernah
memiliki permasalahan kesehatan jantung. Dan entah kenapa hal itu bisa terjadi.
Banyak spekulasi yang
bermunculan mengenai tragedi yang terjadi. Ada yang mengatakan bahwa gadis itu
adalah korban bullying. Namun hal ekstrim lainnya mengatakan bahwa gadis itu
mungkin tewas karena sesuatu yang tak kasat mata, yang hingga detik ini
menghuni toilet wanita lantai dua gedung utama. Namun tidak ada yang pernah
beanr-benar menganggap cerita itu nyata. Semua murid menganggap hal itu hanya
omong kosong dan mitos belaka. Hingga suatu kejadian terjadi beberapa minggu
yang lalu.
Seorang gadis ditemukan
pingsan di toilet yang bermasalah itu. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang
terjadi. Ketika sadar, gadis itu tidak mampu mengucapkan apapun selain jerit
panik seolah ada teror yang terjadi di depan kedua matanya. Gadis itu menggila,
dan tidak ada informasi yang bisa didapat dari gadis itu.
Cerita-cerita mulai
berkembang di lingkup sma Norrinton. Sma yang awalnya menyenangkan itu kini
menjadi semacam pusat keangkeran yang tak terjelaskan. Terutama mengenai toilet
wanita di lantia dua itu. Ada yang mengatakan bahwa toilet itu berhantu. Ada pula
yang mengatakan bahwa apa yang terjadi merupakan usaha balas dendan dari arwah
seorang gadis yang meninggal puluhan tahun yang lalu.
Cerita-cerita lain pun mulai
bermunculan. Kini, yang dicap berhantu bukan hanya toilet itu saja. Namun juga
beberapa tempat lain di dalam gedung utama sma Norrington. Gym di lantai tiga
juga dikatakan berhantu. Lalu ruang staff di ujung koridor, dan yang terakhir,
tentu saja, adalah perpustakaan besar itu. Itu sebabnya Kristin merasa ketakutan
dengan keusilan yang dilakukan oleh temannya itu.
“Bisakah kita ‘tidak’
membicarakan soal hal itu?” ucap Kristin. Ia merasa bahwa segala sesuatu yang
berkaitan dengan tragedi yang terjadi membuatnya merasa tidak nyaman. Ia merasa
ada yang bergerak di dalam perutnya.
“Tapi, serius.” Ucap Ashley.
“Kau tidak percaya dengan hal-hal supranatural, ‘kan?”
“Tentu tidak.” Jawab
Kristin. “Di jaman di mana teknologi sudah maju sekarang ini, rasanya aneh jika
masih percaya dengan superstisi seperti itu. Hantu, atau yang lain…”
“Lalu apa penjelasanmu soal
gadis gadis itu?” tanya Ashley. “Gadis yang ditemukan pingsan di toilet itu?
Yang kini menghuni salah satu rumah sakit jiwa di kota.”
“Aku tidak tahu.” Jawab
kristin jujur. Mengenai apa yang terjadi dengan gadis itu, ia akui, bahwa hal
itu sedikit membingungkan dan sempat membuat bulu kuduknya berdiri.
“Dan di perpustakaan ini…”
“Hentikan!” potong Kristin
cepat dengan sedikit menaikkan nada bicaranya. Ashley memandangnya dengan
heran.
Kristin memang sudah
mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak percaya dengan yang namanya
hantu. Namun entah kenapa, cerita-cerita misterius yang berkembang di sekolah
akhir-akhir ini membuatnya merasa tidak nyaman. Terutama dengan cerita mengenai
perpustakaan yang berhantu itu. Kristin sadari bahwa kini ia harus banyak
menghabiskan waktu di perpustakaan untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya
yang menumpuk. Dan ia tidak mau pikirannya terkotori dengan segala cerita
mistis yang ada.
“Tidak usah membahas soal
hal itu lagi, oke?” lanjutnya. “Aku masih punya pr banyak. Dan harus selesai
besok.”
“Jadi kau masih mau tinggal
disini?”
“Satu jam lagi.” ucap
Kristin. Entah kenapa ia merasa sedikit ragu dengan ucapan yang keluar dari
mulutnya itu. Ia melirik jam tangannya, dan menyadari bahwa waktunya untuk
berada di dalam perpustakaan itu hanya tinggal dua jam. Saat itu jarum jam
menunjukkan pukul delapan. Dan perpustakaan akan tutup jam sepuluh malam.
“Kau tidak perlu memaksa,
Kristin.” Ucap Ashley. “Kau bisa menyelesaikannya di kamar.”
“Tidak untuk subjek satu
ini.” Balas Kristin. Ia memutar kepalanya, dan memandang pada lembaran beberapa
kertas essay yang tertumpuk di depan matanya. Masih banyak yang harus
dilakukan.
“Kalau begitu, aku akan
kembali ke kamar.” Ucap Ashley sedetik kemudian. “Kau yakin kau akan baik-baik
saja?”
“Asal kau tidak usil lagi.”
“Ha..ha…, ya. Maaf soal
itu!” balas Ashley. Ashley kemudian melenggang pergi meninggalkan Kristin. Dan
dalam hitungan detik, Kristin sudah sendiri lagi. hanya ditemani oleh lampu
meja, buku-buku tebal, lembaran essay, dan juga rak-rak buku tinggi itu.
Kristin dengan segera terjun
kembali pada tugas yang harus ia kerjakan. Tangannya sekali lagi bergerak
cepat, menuliskan kata-kata yang terangkai di dalam otaknya. Ia benar-benar
fokus, dan tidak menyadari bahwa lama kelamaan perpustakaan itu mulai kosong.
Kristin sempat melihat murid terakhir pergi meninggalkan perpustakaan. Dan
kini, hanya tinggal ia sendiri bersama dengan sang pustakawan yang jarak jauh
dari tempatnya duduk.
Hal buruk apa yang mungkin
terjadi? Kristin mempertanyakan hal itu di dalam kepalanya selama ia berada di
dalam perpustakaan itu. Sejauh apa yang ia ingat, belum pernah ada kejadian
aneh di perpustakaan itu. Yang ada hanyalah cerita-cerita. Dan semua itu belum
benar terjadi. Namun mengenai toilet itu, Kristin masih ragu.
Kristin menlonjak kaget saat
Ny. Winston, sang pustakawan, secara tiba-tiba sudah berdiri di sisinya.
Kristin terlalu fokus dengan apa yang ia kerjakan sampai-sampai ia tidak
menaydari kedatangan wanita tua itu. Wajah Ny. Winston terlihat pucat seperti
biasa, dengan dua mata kecil yang menatap tajam.
“Perpustakaan akan segera
tutup. Sebaiknya segera kembalikan buku-buku itu.” Ucap wanita itu.
“Ya, Ny. Winston.” Jawab
Kristin seraya meraih lembaran essay-nya, dan memasukkannya ke dalam tas. Ia
segera menutup buku-buku besar di depannya, dan segera mengembalikannya ke
tempat semula.
Perpustakaan sudah
benar-benar kosong, dan terlihat begiu mencekam. Seolah ada sesuatu yang
menunggu di sudut-sudut raku tinggi. Ketika Kristin sadari, jam sudah
menunjukkan pukul sepuluh kurang sepuluh. Malam sudah larut, dan ia harus
segera kembali ke kamar asrama.
Koridor di gedung utama
terlihat begitu mencekam di malam hari. Memang ada lampu penerangan. Namun
koridor yang kosong tanpa penghuni itu memberikan kesan yang tak menyenangkan.
Kristin dapat mendengar langkah kakinya menggema di koridor.
Kristin memutuskan untuk
mampir sebentar ke toilet yang ada di lantai itu. Dia tidak sendiri. Sebelum ia
masuk, ia melihat sekelebatan seorang gadis memasuki toilet. Begitu Kristin
tiba di dalam toilet, ia tidak melihat adanya gadis itu. Namun salah satu bilik
toilet tertutup. Mungkin gadis itu ada di dalam sana.
Terlalu banyak membaca dalam
cahaya remang membuat kedua mata kristin sedikit perih. Ia mampir ke toilet
hanya untuk membasuh wajahnya. Namun ketika ia akan keluar dari toilet, ia
mendengar satu suara yang aneh datang dari dalam bilik tertutup itu.
Ia mendengar isak tangis.
Gadis yang ia lihat sebelumnya itu, menangis di dalam toilet? Apa yang terjadi?
“Halo?” ucap Kristin sambil
menghadap pada pintu bilik tertutup itu. “Er…, kau baik-baik saja?”
Tidak ada balasan dari
dalam. Namun Kristin dapat mendengar gadis itu menyedot hidungnya. Sepertinya
tengah berusaha untuk menghentikan isak tangisnya. Kristin bahkan mendengar
suara roll toilet. Gadis itu mungkin sedang menyeka wajahnya.
“Sebaiknya kau segera
kembali ke asrama.” Ucap Kristin. “Penjaga sekolah sebentar lagi akan menutup
gedung.”
Kristin mengira bahwa ia
tidak akan mendapat jawaban lagi. Namun pikirannya itu salah, saat ia mendengar
satu ucapan terima kasih lirih dari balik pintu bilik toilet. Kristin tidak
akan menunggu gadis itu keluar dari toilet. Ia dengan segera melangkah lagi,
bergerak meninggalkan toilet, dan kembali ke asramanya.
**
“Kau yakin dengan apa yang
kau dengar?” tanya Ashley keesokan harinya setelah kristin menceritakan soal
gadis yang menangis itu. Wajah Ashley dipenuhi dengan bermacam pertanyaan.
“Ya.” Jawab Kristin. “Memang
sedikit aneh. Aku tidak tahu siapa gadis itu. Tapi aku yakin benar dengan apa
yang kudengar. Memang terdengar seperti isak tangis.”
“Kau melihat gadis itu
memasuki toilet?”
“Ya. Sebelum aku masuk.”
“Di toilet mana?” tanya
Ashley. Wajahnya semakin terlihat begitu serius.
“Toilet yang satu lantai
dengan perpustakaan.” Jawab Kristin. Seketika ia melihat mata Ashley
membelalak, menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Kenapa?”
“Kau serius dengan apa yang
baru saja kau ucapkan?” tanya Ashley. “Toilet di lantai dua?”
“Ya. Ken…”
Kristin seperti mendapat
struman listrik saat menyadarinya. Toilet yang satu lantai dengan perpustakaan
adalah toilet wanita lantai dua. Toilet dimana dua kejadian janggal itu
terjadi.
“Gadis itu…” ucap Ashley.
“Yang kau lihat sebelum masuk ke toilet, kau melihat wajahnya?”
“Tidak. Aku hanya melihat
sekelebat pandang.”
“Oh, Kristin!
Jangan-jangan…”
Kristin sudah dapat menebak
apa yang akan diucapkan oleh Ashley. Mengenai dua kejadian janggal di toilet
itu, dan kini ada gadis yang menangis.
“Bukan hantu, itu yang
pasti.” Ucap Kristin. “Aku mendengarnya mengambil tisu dari roll tisu. Hantu
tidak akan melakukannya, ‘kan?”
“Lalu siapa yang memutsukan
menangis di toilet jam sepuluh malam saat smeua murid berada di asrama?” ucap
Ashley. “Tidakkah aneh? Gedung itu sudah benar-benar kosong di jam-jam seperti
itu.”
Kristin mencoba untuk
meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia dengar bukanlah hal yang besar. Namun
memang ia tak habis pikir, siapa sebenarnya gadis yang ia lihat semalam?
“Aku masih harus mengerjakan
tugas lagi malam ini.” Ucap Kristin. “Di perpustakaan lagi.”
“Jangan, Kristin. Kau gila?”
balas Ashley. “Lakukan di sore hari saat masih ramai.”
“Tapi mungkin akan selesai
malam.”
“Pinjam bukunya, dan bawa
saja ke asrama. Lebih baik begitu, ‘kan?”
Ide itu cukup masuk akal.
Kristin memang bukan gadis penakut. Namun tetap saja, suasana perpustakaan di
malam hari memang sangat tidak menyenangkan.
“Kau mau menemaniku?” tanya
Kristin kemudian.
“Kau takut?”
“Tidak. Hanya…”
“Oke.” Sahut Ashley.
“Asalkan kita ke sana sore hari, kurasa tidak apa-apa.”
Ashley menepati janjinya
itu. Sore itu, bersama dengan kristin, ia bergerak menuju gedung utama. Di
jam-jam seperti itu terlihat masih ada begitu banyak murid yang berkeliaran
baik di dalam maupun luar gedung utama. Sama sekali tidak ada kesan menakutkan
sedikitpun. Namun ketika mereka masuk ke dalam perpustakaan, suasana mencekam
itu kembali muncul.
Ny. Winston yang duduk di
salah satu meja menatap keduanya dengan tajam. Secara non verbal, ia meminta
kedua gadis itu untuk tidak gaduh di dalam perpustakaan. Tentu saja hal itu
adalah satu aturan yang sudah diketahui banyak murid. Ny. Winston bisa menjadi
lebih mengerikan dari hantu jika ada yang gadus di dalam perpustakaan.
Kristin dan Ashley mengarah
pada deretan rak buku yang ada di ujung ruangan. Dimana Kristin dengan segera
mengeluarkan semua buknya dan mulai mengerjakan tugas. Ia merasa beruntung
karena memiliki teman sore itu yang bisa diajak bicara.
Keduanya mengobrol dengan
suara lirih agar tidak menimbulkan kegaduhan. Mereka begitu fokus dengan apa
yang mereka bicarakan, sampai-sampai mereka lupa dengan waktu. Dan ketika
mereka sadari kemudian, keadaan perpustakaan begitu hening. Langit terlihat sudah
gelap di luar jendela.
“Apa kita sendirian?” bisik
Kristin. Ia melongokkan kepalanya melalui sisi rak buku dan melihat ke deretan
rak-rak lain. Dan…, ya. Murid-murid lain sudah tidak berada di dalam
perpustakaan itu.
“Sudah jam tujuh.” Ucap
Ashley. “Kita sebaiknya kembali ke asrama. Kau pinjam bukunya saja.”
“Baik.” Jawab Kristin.
Keduanya keluar dari
perpustakaan beberapa menit kemudian. Tidak seperti kemarin, koridor-koridor di
gedung utama terlihat masih cukup ramai. Beberapa murid terlihat duduk di
bangku yang ada di koridor, dan ada murid-murid lain yang bergerak menyusuri
lorong-lorong remang itu.
“Tunggu sebentar!” ucap
Kristin begitu ia dan Ashley tiba di ujung tangga. Ashley memandangnya heran.
“Temani aku ke toilet!”
“Apa?!”
“Ke toilet.” Ulang Kristin.
“Kristin…” ucap Ashley. “Kau
tidak ingat kita berada di mana? Kita ada di lantai dua. Aku tidak mau masuk ke
toilet itu.”
“Toilet di bawah sedang
diperbaiki.” Ucap Kristin. “Ayolah! Aku sudah tidak bisa menahannya.”
Dengan ragu, akhirnya Ashley
mau mengantarkan Kristin ke toilet yang ada di lantai dua itu.
“Tenang saja!” ucap Kristin.
“Masih ada banyak murid di koridor. Jika ada sesuatu, kita bisa berteriak
meminta tolong.”
Mereka tidak yakin apakah
akan ada sesuatu yang ganjil yang akan terjadi. Toilet di lantai dua gedung
utama itu terlihat begitu normal. Lampunya masih menyala, dan keadaan bersih di
dalam toilet itu sebenarnya cukup membuat nyaman.
Ashley menunggu Kristin
menyelesaikan urusannya di depan deretan wastafel. Diatas wastafel, terdapat
cermin besar yang merefleksikan deretan bilik toilet. Ashley kemudian teringat
dengan cerita Kristin pagi tadi soal gadis yang menangis itu.
“Di bilik di sebelah kiri.”
Jawab Kristin dari dalam toilet saat Ashley menanyakan soal hal itu.
Ashley iseng-iseng bergerak
ke arah bilik yang ditunjukkan oleh Kristin. Bilik itu terlihat biasa-biasa
saja. Di dalamnya terdapat satu toilet yang bersih, dan selain itu, tidak ada
apapun yang dapat dikatakan aneh atau semacamnya.
“Ashley!” seru Kristin dari
dalam bilik toilet. Kristin dengan segera menghampiri lokasi temannya itu.
Mengira ada hal aneh yang terjadi.
“Kristin, kau baik-baik
saja?” tanya Ashley dari depan pintu bilik. Pintu bilik tiba-tiba saja terbuka,
dan wajah Kristin muncul dari celahnya.
“Kukira kau pergi.” Ucap
Kristin. Ashley mendenguskan hidungnya. Merasa sedikit kesal dengan ulah
temannya itu.
“Ayo kita segera kel…”
Ucapan Ashley terpotong
seketika saat tiba-tiba saja lampu di dalam toilet itu mati. Keduanya kini
berada di dalam kegelapan dan tak dapat melihat apapun.
“Ashley!” seru Kristin lagi.
“Aku disini.” Ucap Ashley.
Ia meraba dalam kegelapan dan menemukan lengan temannya.
“Aku tidak dapat melihat.”
“Tunggu sebentar. Pakai
ponsel saja.”
Ashley merogoh ke dalam
sakunya dan segera mengeluarkan ponselnya. Dalam sedetik, cahaya flash dari
ponsel itu menjadi satu-satunya penerangan di dalam toilet yang gelap.
“Mati lampu?”
“Aneh.” Ucap Ashley. “Tidak
pernah terjadi sebelumnya, ‘kan?”
“Ayo keluar!” ucap Kristin.
Entah kenapa ia merasa ada yang aneh, dan perasaannya tidak nyaman.
Ketika kedua gadis itu
bergerak mengarah ke pintu keluar, satu hal yang tak terduga terjadi. Pintu
bilik toilet di sebelah kiri tiba-tiba saja tertutup dengan sendirinya. Kristin
dan Ashley melonjak seketika. Pikiran mereka langsung memikirkan hal yang sama.
Kenapa pintu itu bisa tertutup sendiri?
“Angin?” ucap Ashley mencoba
mencari penjelasan yang masuk akal. Namun…
Tiba-tiba saja terdengar
satu suara dari dalam bilik toilet. Satu isak tangis seorang gadis yang
terdengar dengan jelas oleh Kristin dan Ashley. Kedua gadis itu seketika
menjerit dan berlari keluar dari toilet.
Keduanya kembali dihadapkan
pada satu keadaan yang cukup ganjil. Semua lampu di dalam gedung utama mati,
dan murid-murid yang sebelumnya memenuhi koridor sudah tidak ada lagi. Kosong.
Hanya ada kekosongan di tempat itu.
“Kristin, cepat!” teriak
Ashley.
Keduanya berlari secepat
mungkin dari toilet, menyusuri koridor, lalu mengarah ke tangga yang membawa
mereka ke lantai satu. Tanpa berhenti, mereka segera menerobos pintu ganda yang
membawa mereka keluar dari gedung itu.
Keduanya berhenti berlari
ketika mereka sudah berada cukup jauh dari gedung utama. Nafas mereka
tersengal, dan pikiran mereka berputar dengan cepat. Tangisan itu. Mereka
mendengar tangisan misterius itu.
“Ash!” seru Kristin sedetik
kemudian. Ashley yang masih berusaha mengatur nafasnya mengangakt wajah,
memandang ke arah Kristin sambil bertanya. Wajah Kristin terlihat pucat, dengan
tatapan mata terarah pada gedung utama.
Ashley memutar kepalanya,
dan seketika ia merasakan rasa dingin mengalir turun dari lehernya, membekukan
setiap otot di tubuhnya. Gedung utama yang seharusnya gelap itu kini berpendar.
Cahaya terlihat dari berbagai jendela. Apa yang baru saja mereka alami seolah
tidak pernah terjadi.
“Kenapa bisa?” tanya
Kristin. “Lampunya….”
“Kristin, ayo pergi! Cepat!”
dengan segera Ashley menarik lengan temannya itu, dan mereka kembali ke asrama.
“Aku tidak mempercayainya!
Tidak!” ucap Ashley begitu ia tiba di kamarnya bersama dengan Kristin. Kristin
pun memiliki pemikiran yang sama dengan temannya itu. Mereka mendengar tangisan
di dalam toilet yang seharusnya kosong. Dan lampu tiba-tiba saja mati. Yang
lebih aneh lagi, seluruh gedung gelap saat mereka berlari keluar. Namun begitu
mereka sampai di luar, lampu menyala kembali. Apakah hal itu hanya ulah iseng
seseorang? Atau memang ada hal aneh yang yang menunggu toilet di lantai dua
itu?
Apa yang Kristin dan Ashley
alami pada akhirnya menyebar ke setiap penjuru sekolah itu. Setiap murid kini benar-benar
menghindari toilet di lantai dua itu, dan memilih kembali ke asrama jika mereka
ingin pergi ke toilet. Dan selama seminggu sejak kejadian itu, Kristin tidak
lagi menghabiskan banyak waktu di perpustakaan. Ia lebih memilih meminjam buku
dan mengerjakan tugasnya di dalam kamar.
Namun satu hal aneh kembali
terjadi beberapa hari kemudian. Ashley tiba-tiba saja menghilang. Kristin sudah
mencoba mencari ke setiap area di sekolahan itu tapi ia tidak dapat menemukan
keberadaan Ashley. Ia sudah bertanya pada teman-teman Ashley yang lain. Namun
jawaban mereka selalu sama. Mereka tidak tahu kemana perginya gadis itu.
Salah satu gadis mengatakan
ia melihat Ashley terakhir kali berada di depan perpustakaan yang ada di lantai
dua. Untuk memastikannya, Kristin kembali memasuki gedung utama meski hari
sudah sore. Sebagian besar murid sudah keluar dari gedung utama, dan seperti
biasanya, atmosfir di dalam gedung itu sedikit tidak menyenangkan.
Kristin masuk ke dalam
perpustakaan dan mencoba mencari temannya itu. Ia bergerak menyusuri setiap
deret rak buku, namun yang ia lihat hanyalah remaja-remaja lain. Ashley tidak
ada di dalam perpustakaan itu.
Untuk lebih memastikannya,
Kristin mencoba bertanya pada Ny. Winston, sang pustakawan mengenai Ashley.
“Beberapa jam yang lalu.”
Jawab wanita tua itu. “Dia sedikit aneh. Wajahnya terlihat pucat dan tidak ada
senyum di wajahnya. Ia hanya duduk di ujung ruangan, membaca sebuah buku.”
“Buku apa yang dia baca?”
“Aku tidak tahu.” Jawab Ny.
Winston.
“Kapan dia keluar?”
“Sekitar pukul lima.”
Keterangan dari Ny. Winston
beanr-benar tidak membantu. Kristin tetap tidak tahu dimana keberadaan temannya
itu. Jika ada satu area yang belum ia cari, mungkin adalah toilet di lantai dua
itu. Namun ia ragu Ashley berada disana. Mengingat apa yang yang sudah terjadi,
tidak mungkin Ashley berada di dalam toilet itu.
Kristin baru saja akan
keluar dari perpustakaan saat tiba-tiba saja ponselnya berdering. Nama Ashley
muncul di layar ponselnya. Kristin tanpa ragu segera membuka sambungan.
“Ashley, kau dimana?”
Tidak ada jawaban dari
seberang. Yang terdengar hanyalah desah nafas berat dan isak tangis. Apakah
Ashley menangis?
“Ash!” panggil Kristin lagi.
“Kumohon, Ash! Jangan buat aku takut! Dimana kau sekarang?”
“Gelap.” Jawab suara
diseberang. Kristin yakin dengan beanrbahwa suara yang ia dengar adalah suara
Ashley.
“Gelap?”
“Aku tidak tahu dimana aku.”
Jawab Ashley. “Sekelilingku gelap, dan… huh?”
“Apa? Ada apa?”
Kristin menunggu. Namun yang
lagi-lagi ia dengar hanyalah desah nafas berat dari temannya itu. Ashley
sepertinya sedang ketakutan.
“Bagaimana mungkin aku bisa
disini?” gumam Ashley. “Tolong! Kristin!”
“Ash!”
“Tidak bisa dibuka!” teriak
temannya itu. “Pintu biliknya tidak bisa dibuka. Kristin, tolong aku!”
“Dimana kau, Ashley? Ash
jawab…”
“AAHHHHH!!!!”
“ASHLEY!!”
Tidak ada lagi balasan dari seberang.
Yang ada hanyalah suara statis dan bunyi bergemerisik. Teriakan terakhir dari
Ashley menandakan bahwa gadis itu ada dalam bahaya. Masalahnya, Kristin tidak
tahu dimana keberadaan gadis itu.
“Bilik tidak bisa dibuka…”
gumam Kristin mengulang apa yang Ashley ucapkan. Dan ia mendapat pencerahan
sedetik kemudian. Hanya ada satu tempat dimana Ashley kemungkinan berada.
Sebuah tempat yang memang sudah ia pikirkan beberapa menit yang lalu, yang awalnya
ia pikir tidak mungkin.
Toilet itu.
**
Kristin bergerak cepat
menyusuri koridor yang mulai gelap, mengarah pada toilet bermasalah itu. Satu
sisi dirinya mengatakan abhwa ia tidak seharusnya kembali ke toilet itu setelah
apa yang ia alami seminggu yang lalu. Namun sisi dirinya yang lain mengatakan
bahwa toilet itu adalah tempat dimana mungkin Ashley berada. Tidak mungkin
Ashley bisa menghilang begitu saja dari sekolah itu. Dan segala tempat sudah
Kristin cari. Tinggal toilet itu. Lagipula, Kristin ingat dengan apa yang
Ashley ucapkan di telepon.
“Pintu biliknya tidak bisa
terbuka.”
Jantung Kristin berdegup
kencang saat ia mulai mendekati toilet yang berada di ujung koridor itu. Ia
bisa saja mengajak seseorang untuk menemaninya. Namun sudah terlambat. Ia sudah
terlanjur berada di depan toilet itu.
Toilet itu bersinar terang.
Namun atmosfir mengerikan yang keluar dari toilet itu benar-benar terasa.
Kristin memaku pandangannya pada pintu masuk toilet itu. Di dalamnya, ada
misteri mengenai tangisan itu. Dan di dalamnya, mungkin juga ada temannya. Mana
yang ia pilih? Lari, atau masuk ke toilet?
Kristin mengepalkan
tangannya. Perasaan yang tak karuan melingkupinya saat ia memutuskan untuk
masuk ke dalam toilet itu. Begitu ia melewati pintu, ia merasa hawa dingin yang
tidak normal. Dingin, sedingin es yang membuat ujung jarinya seolah membeku.
“Ashley!” seru Kristin dari
ujung deretan bilik. Suaranya menggema. Namun tidak ada balasan.
Kristin memutuskan untuk
bergerak lebih masuk. Ia melewati deretan bilik-bilik yang kosong, namun sama
sekali tidak menemukan Ashley. Namun di ujung deretan itu, ada bilik yang
tertutup. Mungkinkan Ashley berada disana? Kristin tidak menunggu lama untuk
mencari tahu. Ia percpat langkahnya, lalu dengan seketika membuka pintu bilik.
Dan…
“Ashley!”
Ashley terpuruk diatas
toilet dengan kepala terkulai lemah. Kristin mendekatinya, menepuk pipi gadis
itu, mencoba membangunkannya. Namun Ashley tak bergerak sama sekali. Kabar
baiknya, Kristin masih bisa mendengar desah nafas yang keluar dari hidung
temannya itu. Temannya itu hanya pingsan.
“Ashley, kumohon! Bangun!”
Kristin melonjak saat lampu
toilet itu tiba-tiba saja berkedip, hidup dan mati. Untuk sesaat Kristin
menghentikan usahanya untuk membangunkan Ashley. Apa yang terjadi? Apa hanya malfungsi?
Kristin kembali melonjak
saat lampu kembali berkedip. Kali ini lebih lama dari sebelumnya. Dengan
tergesa Kristin mencoba untuk membangunkan temannya itu. Ia menepuk setiap
senti dari wajah temannya itu.
“Ayolah, Ash! Bangun,
kumohon!”
Kristin tiba-tiba saja
merasakan bulu kuduknya meremang saat ia merasa mendengar sebuah bisikan.
Kristin memutar kepalanya, namun ia tidak menemukan apapun di belakangnya.
Hanya ada sebuah cermin besar, dimana ia dapat melihat bayangan wajahnya
sendiri. Tapi ada satu hal aneh di cermin besar itu. Cermin itu mengembun.
Bayangan wajah Kristin menghilang seketika.
Kristin tanpa sadar memutar
tubuhnya dan bergerak ke arah cermin. Ia angkat tangannya, dan menyeka embun
yang menempel di permukaan cermin itu. Dan ia melihat…
“TIDAK!!!”
Bukan bayangan wajahnya yang
ia lihat. Namun wajah lain. Sebuah wajah putih pucat dengan rambut hitam
terurai di depan wajah. Dan ketika wajah itu terangkat, wajah yang membusuk
dengan dua mata merah menatap pada Kristin.
Kristin seketika berlari ke
arah pintu keluar. Namun ketika ia berjarak satumeter dari pintu keluar, pintu
toilet itu tiba-tiba saja tertutup dengan keras.
“TIDAK! TIDAK! TOLONG!”
Kristin mencoba memutar
kenob pintu tapi usahanya itu sia-sia. Pintu itu benar-benar tertutup. Kristin
kembali melonjak, dengan jantung berdegup kencang saat lampu toilet padam
seketika. Kristin berada di dalam kegelapan. Yang dapat ia rasakan hanyalah
udara dingin yang membekukan kulit. Dan ia mendengar, dengan jelas, suara
terseret di lantai, yang perlahan mendekatinya. Dan seketika…, satu cengkeraman
mendarat di lehernya.
**
Sma Norrington dihebohkan
keesokan harinya dengan ditemukannya tubuh Kristin dan Ashley di toilet lantai
dua itu. Keduanya selamat, dan hanya pingsan. Namun keadaan mereka cukup lemah
sampai-sampai mereka harus dilarikan ke rumah sakit.
Cerita mengenai keangkeran
dari toilet itu sampai pada telinga kepala sekolah. Dan setelah mempertimbangkan
apa yang selama ini terjadi, akhirnya kepala sekolah meminta agar toilet itu
disegel. Mengubur misteri yang ada di dalam toilet itu.
Kristin dan Ashley kembali
ke sekolah seminggu kemudian. Namun keduanya memutuskan untuk pindah sekolah
karena sudah tidak betah dengan suasana mengerikan yang ada di Sma Norrington.
Mereka mencoba untuk melupakan apa yang sudah terjadi. Mencoba untuk
melupakannya. Namun apakah hal itu bisa hilang begitu saja dari ingatan mereka?
“Kita tidak akan pernah tahu
rahasia apa yang sebenarnya disimpan oleh toilet itu.” Ucap Ashley ketika ia
membereskan barang-barangnya di kamar. Besok pagi mereka akan pergi.
“Bukan urusan kita.” Jawab
Kristin. Ia memegang lehernya. Ia seolah masih bisa merasakan cengkeraman
sedingin es itu. Makhluk apa yang sebenarnya berada di dalam toilet itu? Siapa
gadis yang mengais itu? Dan wajah yang ada di cermin? Semua teka-teki itu
sepertinya akan terus terkubur, dan tidak akan pernah terungkap. Namun Kristin
sadari bahwa ia tidak perlu memikirkan semua hal itu. Ia harus segera
melupakannya.
“Aku tidak sabar untuk
segera pergi dari tempat ini.”
****
48
ReplyDeleteKereen seperti biasa :) terus berkarya k' ^_^
ReplyDelete