Wednesday, January 18, 2017

THE RESTROOM



Kristin terlalu fokus dengan pekerjaan yang ada di depannya. Perhatiannya terlalu fokus pada essay yang ia tulis, hingga ia tidak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya. Hingga sebuah hembusan menghempas wajahnya, dan mengingatkannya seketika bahwa ia saat itu berada di dalam sebuah perpustakaan remang yang dihuni oleh puluhan rak-rak tinggi.
Kristin mengangkat wajahnya untuk pertama kali sejak lima belas menit terakhir. Tangan kanannya yang hingga sedetik yang lalu berdansa diatas kertas putih pun berhenti seketika. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Memandang pada deretan rak buku yang terlihat kosong dan  terlupakan. Atmosfir yang ia rasakan menjadi sedikit menekan saat keadaan semakin gelap di luar sana. Kristin sadar bahwa ia sudah terlalu lama duduk sendirian di dalam perpustakaan yang mencekam itu.
Kristin menolehkan kepalanya cepat saat ia mendengar suara berderak yang berasal dari ujung rak buku tinggi. Terdengar sebuah suara langkah kaki pelan, yang nyaris tidak dapat didengar. Tapi Kristin dapat merasakan kehadiran sosok lain di dalam perpustakaan yang mulai kosong itu. Kristin sadar ia tidak sendiri.
Entah apa yang ada di dalam kepalanya. Ia bangkit seketika dari kursi yang ia duduki, meninggalkan pekerjaannya dan bergerak perlahan ke arah ujung rak buku dimana suara langkah kaki itu berasal. Bukan hanya langkah kaki. Ia bahkan dapat mendengar desahan nafas berat yang tidak biasa. Keadaan yang super sunyi membuat segala indera di tubuhnya menjadi begitu sensitif. Apa yang akan ia temui? Seseorang…, atau sesuatu yang mungkin hanya pernah nyata di dalam mimpi dan angannya. Sesuatu yang kasat mata…
Kristin bergerak semakin dekat sambil mengepalkan tangannya. Perasaan tak karuan yang berada di dadanya semakin menjadi-jadi. Ia bahkan seolah dapat mendengar detak jantungnya sendiri, yang berderap kencang, menjadi semakin keras semakin ia mendekati ujung rak tinggi itu. Selangkah, dua langkah, dan…
“AHH!!”
Kristin menjerit seketika saat sesosok wajah putih yang tertutup rambut hitam muncul di depan wajahnya. Sepasang mata mendelik ke arahnya, dan satu seringai muncul di wajah putih itu. Tapi…
“Oh!” Kristin seketika mengarahkan satu tangan ke dadanya. Mengelus bagian dimana jantungnya berada. Ia sadari kemudian bahwa sosok itu adalah temannya sendiri, yang sudah tega mengusilinya sejak ia masuk ke dalam perpustakaan itu.
Ashley. Gadis berambut hitam dengan wajah putih bersih itu tak dapat menahan tawanya setelah melihat ekspresi wajah Kristin. Kristin, di lain sisi, merasa begitu geram dengan apa yang dilakukan oleh teman satu kamarnya itu. Ashley tidak biasanya usil padanya.
“Apa yang kau lakukan?” geram Kristin sedikit kesal. Ia mencoba untuk menahan agar suaranya tidak terdengar terlalu keras di dalam perpustakaan itu. Ia ingat bahwa sang pustakawan sedikit ketat dan mengerikan.
“Maaf! Maaf!” ucap Ashley sambil masih mencoba menahan tawa. Ia menarik lengan Kristin kembali ke arah meja dimana Kristin mengerjakan tugas sekolahnya. Kristin belum melepaskan raut amarah dari wajahnya.
“Kau tidak punya ide yang lebih gila lainnya?” bisik Kristin sambil mendecakkan lidah. “Oh, ya. Buat aku takut di tmepat yang sudah mengerikan seperti perpustakaan ini. Ho..ho.., aku yakin aku akan baik-baik saja.”
“Apa yang kau takutkan?” tanya Ashley. “Ada banyak murid di dalam perpustakaan ini, ‘kan tahu?”
Kristin menyadari hal itu detik berikutnya. Ia, yang awalnya mengira bahwa ia sendirian di dalam perpustakaan besar itu, kini dapat melihat sekelompok remaja-remaja lain yang berdiri di antara rak-rak buku di seberang ruangan. Yang membuat mengerikan adalah kenyataan bahwa tidak ada satupun orang yang membuat suara. Menjadikan perpustakaan itu seolah sudah ditinggalkan.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku. Apa yang kau lakukan?” tanya Kristin. Dengan kesal ia kembali duduk di kursinya.
“Aku sedang mencari buku di rak sebelah.” Jawab Ashley dengan wajah tanpa dosa. “Dan ketika aku melihatmu, aku tidak dapat menahan keinginanku untuk mengagetkanmu.”
“Lucu sekali!”
“Aku benar-benar tidak mengira kau akan termakan dengan guyonan kecilku itu.”
“Setelah apa yang terjadi?”
Tawa di wajah Ashley menghilang seketika. Ucapan yang baru saja ia dengar keluar dari mulut Kristin soelah membekap mulutnya. Membuatnya tidak dapat mengeluarkan kata-kata selama beberapa detik. Otaknya serasa beku.
“Ya.” Ucapnya setelah ia dapat membuka mulutnya lagi. “Setelah tragedi itu.”
Kristin menggelengkan kepalanya. Jika ia mengingat lagi mengenai tragedi yang baru saja terjadi di sekolahan itu, ia rasanya tidak ingin lagi terus bersekolah di sma itu. Tapi, apa yang sebeanrnya terjadi?
Sma Norrington yang ia tempati saat ini adalah sebuah sma yang terkenal sebagai salah satu sma di Cherwood yang sudah banyak menghasilkan siswa-siswi berprestasi selama kurang lebih dua dekade terakhir. Namun sejak setahun terakhir, reputasi sma Norrington sedikitt tercemari dengan adanya sebuah tragedi yang menimpa salah satu murid di tempat itu. Seorang murid di temukan tewas di dalam salah satu toilet.
Kristin masih ingat benar dengan apa yang terjadi saat itu. Sekolahan itu menjadi kacau dengan ditemukannya jenasah gadis malang itu di toilet. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi. Menurut penyelidikan polisi, tidak ditemukan adanya luka di tubuh korban. Dan berdasarkan dari penelitian, gadis itu dinyatakan tewas karena serangan jantung.
Sungguh sebuah hal yang tak terkira. Kedua orang tua korban mengatakan bahwa putri mereka tidak pernah memiliki permasalahan kesehatan jantung. Dan entah kenapa hal itu bisa terjadi.
Banyak spekulasi yang bermunculan mengenai tragedi yang terjadi. Ada yang mengatakan bahwa gadis itu adalah korban bullying. Namun hal ekstrim lainnya mengatakan bahwa gadis itu mungkin tewas karena sesuatu yang tak kasat mata, yang hingga detik ini menghuni toilet wanita lantai dua gedung utama. Namun tidak ada yang pernah beanr-benar menganggap cerita itu nyata. Semua murid menganggap hal itu hanya omong kosong dan mitos belaka. Hingga suatu kejadian terjadi beberapa minggu yang lalu.
Seorang gadis ditemukan pingsan di toilet yang bermasalah itu. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi. Ketika sadar, gadis itu tidak mampu mengucapkan apapun selain jerit panik seolah ada teror yang terjadi di depan kedua matanya. Gadis itu menggila, dan tidak ada informasi yang bisa didapat dari gadis itu.
Cerita-cerita mulai berkembang di lingkup sma Norrinton. Sma yang awalnya menyenangkan itu kini menjadi semacam pusat keangkeran yang tak terjelaskan. Terutama mengenai toilet wanita di lantia dua itu. Ada yang mengatakan bahwa toilet itu berhantu. Ada pula yang mengatakan bahwa apa yang terjadi merupakan usaha balas dendan dari arwah seorang gadis yang meninggal puluhan tahun yang lalu.
Cerita-cerita lain pun mulai bermunculan. Kini, yang dicap berhantu bukan hanya toilet itu saja. Namun juga beberapa tempat lain di dalam gedung utama sma Norrington. Gym di lantai tiga juga dikatakan berhantu. Lalu ruang staff di ujung koridor, dan yang terakhir, tentu saja, adalah perpustakaan besar itu. Itu sebabnya Kristin merasa ketakutan dengan keusilan yang dilakukan oleh temannya itu.
“Bisakah kita ‘tidak’ membicarakan soal hal itu?” ucap Kristin. Ia merasa bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan tragedi yang terjadi membuatnya merasa tidak nyaman. Ia merasa ada yang bergerak di dalam perutnya.
“Tapi, serius.” Ucap Ashley. “Kau tidak percaya dengan hal-hal supranatural, ‘kan?”
“Tentu tidak.” Jawab Kristin. “Di jaman di mana teknologi sudah maju sekarang ini, rasanya aneh jika masih percaya dengan superstisi seperti itu. Hantu, atau yang lain…”
“Lalu apa penjelasanmu soal gadis gadis itu?” tanya Ashley. “Gadis yang ditemukan pingsan di toilet itu? Yang kini menghuni salah satu rumah sakit jiwa di kota.”
“Aku tidak tahu.” Jawab kristin jujur. Mengenai apa yang terjadi dengan gadis itu, ia akui, bahwa hal itu sedikit membingungkan dan sempat membuat bulu kuduknya berdiri.
“Dan di perpustakaan ini…”
“Hentikan!” potong Kristin cepat dengan sedikit menaikkan nada bicaranya. Ashley memandangnya dengan heran.
Kristin memang sudah mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak percaya dengan yang namanya hantu. Namun entah kenapa, cerita-cerita misterius yang berkembang di sekolah akhir-akhir ini membuatnya merasa tidak nyaman. Terutama dengan cerita mengenai perpustakaan yang berhantu itu. Kristin sadari bahwa kini ia harus banyak menghabiskan waktu di perpustakaan untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya yang menumpuk. Dan ia tidak mau pikirannya terkotori dengan segala cerita mistis yang ada.
“Tidak usah membahas soal hal itu lagi, oke?” lanjutnya. “Aku masih punya pr banyak. Dan harus selesai besok.”
“Jadi kau masih mau tinggal disini?”
“Satu jam lagi.” ucap Kristin. Entah kenapa ia merasa sedikit ragu dengan ucapan yang keluar dari mulutnya itu. Ia melirik jam tangannya, dan menyadari bahwa waktunya untuk berada di dalam perpustakaan itu hanya tinggal dua jam. Saat itu jarum jam menunjukkan pukul delapan. Dan perpustakaan akan tutup jam sepuluh malam.
“Kau tidak perlu memaksa, Kristin.” Ucap Ashley. “Kau bisa menyelesaikannya di kamar.”
“Tidak untuk subjek satu ini.” Balas Kristin. Ia memutar kepalanya, dan memandang pada lembaran beberapa kertas essay yang tertumpuk di depan matanya. Masih banyak yang harus dilakukan.
“Kalau begitu, aku akan kembali ke kamar.” Ucap Ashley sedetik kemudian. “Kau yakin kau akan baik-baik saja?”
“Asal kau tidak usil lagi.”
“Ha..ha…, ya. Maaf soal itu!” balas Ashley. Ashley kemudian melenggang pergi meninggalkan Kristin. Dan dalam hitungan detik, Kristin sudah sendiri lagi. hanya ditemani oleh lampu meja, buku-buku tebal, lembaran essay, dan juga rak-rak buku tinggi itu.
Kristin dengan segera terjun kembali pada tugas yang harus ia kerjakan. Tangannya sekali lagi bergerak cepat, menuliskan kata-kata yang terangkai di dalam otaknya. Ia benar-benar fokus, dan tidak menyadari bahwa lama kelamaan perpustakaan itu mulai kosong. Kristin sempat melihat murid terakhir pergi meninggalkan perpustakaan. Dan kini, hanya tinggal ia sendiri bersama dengan sang pustakawan yang jarak jauh dari tempatnya duduk.
Hal buruk apa yang mungkin terjadi? Kristin mempertanyakan hal itu di dalam kepalanya selama ia berada di dalam perpustakaan itu. Sejauh apa yang ia ingat, belum pernah ada kejadian aneh di perpustakaan itu. Yang ada hanyalah cerita-cerita. Dan semua itu belum benar terjadi. Namun mengenai toilet itu, Kristin masih ragu.
Kristin menlonjak kaget saat Ny. Winston, sang pustakawan, secara tiba-tiba sudah berdiri di sisinya. Kristin terlalu fokus dengan apa yang ia kerjakan sampai-sampai ia tidak menaydari kedatangan wanita tua itu. Wajah Ny. Winston terlihat pucat seperti biasa, dengan dua mata kecil yang menatap tajam.
“Perpustakaan akan segera tutup. Sebaiknya segera kembalikan buku-buku itu.” Ucap wanita itu.
“Ya, Ny. Winston.” Jawab Kristin seraya meraih lembaran essay-nya, dan memasukkannya ke dalam tas. Ia segera menutup buku-buku besar di depannya, dan segera mengembalikannya ke tempat semula.
Perpustakaan sudah benar-benar kosong, dan terlihat begiu mencekam. Seolah ada sesuatu yang menunggu di sudut-sudut raku tinggi. Ketika Kristin sadari, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang sepuluh. Malam sudah larut, dan ia harus segera kembali ke kamar asrama.
Koridor di gedung utama terlihat begitu mencekam di malam hari. Memang ada lampu penerangan. Namun koridor yang kosong tanpa penghuni itu memberikan kesan yang tak menyenangkan. Kristin dapat mendengar langkah kakinya menggema di koridor.
Kristin memutuskan untuk mampir sebentar ke toilet yang ada di lantai itu. Dia tidak sendiri. Sebelum ia masuk, ia melihat sekelebatan seorang gadis memasuki toilet. Begitu Kristin tiba di dalam toilet, ia tidak melihat adanya gadis itu. Namun salah satu bilik toilet tertutup. Mungkin gadis itu ada di dalam sana.
Terlalu banyak membaca dalam cahaya remang membuat kedua mata kristin sedikit perih. Ia mampir ke toilet hanya untuk membasuh wajahnya. Namun ketika ia akan keluar dari toilet, ia mendengar satu suara yang aneh datang dari dalam bilik tertutup itu.
Ia mendengar isak tangis. Gadis yang ia lihat sebelumnya itu, menangis di dalam toilet? Apa yang terjadi?
“Halo?” ucap Kristin sambil menghadap pada pintu bilik tertutup itu. “Er…, kau baik-baik saja?”
Tidak ada balasan dari dalam. Namun Kristin dapat mendengar gadis itu menyedot hidungnya. Sepertinya tengah berusaha untuk menghentikan isak tangisnya. Kristin bahkan mendengar suara roll toilet. Gadis itu mungkin sedang menyeka wajahnya.
“Sebaiknya kau segera kembali ke asrama.” Ucap Kristin. “Penjaga sekolah sebentar lagi akan menutup gedung.”
Kristin mengira bahwa ia tidak akan mendapat jawaban lagi. Namun pikirannya itu salah, saat ia mendengar satu ucapan terima kasih lirih dari balik pintu bilik toilet. Kristin tidak akan menunggu gadis itu keluar dari toilet. Ia dengan segera melangkah lagi, bergerak meninggalkan toilet, dan kembali ke asramanya.

**

“Kau yakin dengan apa yang kau dengar?” tanya Ashley keesokan harinya setelah kristin menceritakan soal gadis yang menangis itu. Wajah Ashley dipenuhi dengan bermacam pertanyaan.
“Ya.” Jawab Kristin. “Memang sedikit aneh. Aku tidak tahu siapa gadis itu. Tapi aku yakin benar dengan apa yang kudengar. Memang terdengar seperti isak tangis.”
“Kau melihat gadis itu memasuki toilet?”
“Ya. Sebelum aku masuk.”
“Di toilet mana?” tanya Ashley. Wajahnya semakin terlihat begitu serius.
“Toilet yang satu lantai dengan perpustakaan.” Jawab Kristin. Seketika ia melihat mata Ashley membelalak, menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Kenapa?”
“Kau serius dengan apa yang baru saja kau ucapkan?” tanya Ashley. “Toilet di lantai dua?”
“Ya. Ken…”
Kristin seperti mendapat struman listrik saat menyadarinya. Toilet yang satu lantai dengan perpustakaan adalah toilet wanita lantai dua. Toilet dimana dua kejadian janggal itu terjadi.
“Gadis itu…” ucap Ashley. “Yang kau lihat sebelum masuk ke toilet, kau melihat wajahnya?”
“Tidak. Aku hanya melihat sekelebat pandang.”
“Oh, Kristin! Jangan-jangan…”
Kristin sudah dapat menebak apa yang akan diucapkan oleh Ashley. Mengenai dua kejadian janggal di toilet itu, dan kini ada gadis yang menangis.
“Bukan hantu, itu yang pasti.” Ucap Kristin. “Aku mendengarnya mengambil tisu dari roll tisu. Hantu tidak akan melakukannya, ‘kan?”
“Lalu siapa yang memutsukan menangis di toilet jam sepuluh malam saat smeua murid berada di asrama?” ucap Ashley. “Tidakkah aneh? Gedung itu sudah benar-benar kosong di jam-jam seperti itu.”
Kristin mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia dengar bukanlah hal yang besar. Namun memang ia tak habis pikir, siapa sebenarnya gadis yang ia lihat semalam?
“Aku masih harus mengerjakan tugas lagi malam ini.” Ucap Kristin. “Di perpustakaan lagi.”
“Jangan, Kristin. Kau gila?” balas Ashley. “Lakukan di sore hari saat masih ramai.”
“Tapi mungkin akan selesai malam.”
“Pinjam bukunya, dan bawa saja ke asrama. Lebih baik begitu, ‘kan?”
Ide itu cukup masuk akal. Kristin memang bukan gadis penakut. Namun tetap saja, suasana perpustakaan di malam hari memang sangat tidak menyenangkan.
“Kau mau menemaniku?” tanya Kristin kemudian.
“Kau takut?”
“Tidak. Hanya…”
“Oke.” Sahut Ashley. “Asalkan kita ke sana sore hari, kurasa tidak apa-apa.”
Ashley menepati janjinya itu. Sore itu, bersama dengan kristin, ia bergerak menuju gedung utama. Di jam-jam seperti itu terlihat masih ada begitu banyak murid yang berkeliaran baik di dalam maupun luar gedung utama. Sama sekali tidak ada kesan menakutkan sedikitpun. Namun ketika mereka masuk ke dalam perpustakaan, suasana mencekam itu kembali muncul.
Ny. Winston yang duduk di salah satu meja menatap keduanya dengan tajam. Secara non verbal, ia meminta kedua gadis itu untuk tidak gaduh di dalam perpustakaan. Tentu saja hal itu adalah satu aturan yang sudah diketahui banyak murid. Ny. Winston bisa menjadi lebih mengerikan dari hantu jika ada yang gadus di dalam perpustakaan.
Kristin dan Ashley mengarah pada deretan rak buku yang ada di ujung ruangan. Dimana Kristin dengan segera mengeluarkan semua buknya dan mulai mengerjakan tugas. Ia merasa beruntung karena memiliki teman sore itu yang bisa diajak bicara.
Keduanya mengobrol dengan suara lirih agar tidak menimbulkan kegaduhan. Mereka begitu fokus dengan apa yang mereka bicarakan, sampai-sampai mereka lupa dengan waktu. Dan ketika mereka sadari kemudian, keadaan perpustakaan begitu hening. Langit terlihat sudah gelap di luar jendela.
“Apa kita sendirian?” bisik Kristin. Ia melongokkan kepalanya melalui sisi rak buku dan melihat ke deretan rak-rak lain. Dan…, ya. Murid-murid lain sudah tidak berada di dalam perpustakaan itu.
“Sudah jam tujuh.” Ucap Ashley. “Kita sebaiknya kembali ke asrama. Kau pinjam bukunya saja.”
“Baik.” Jawab Kristin.
Keduanya keluar dari perpustakaan beberapa menit kemudian. Tidak seperti kemarin, koridor-koridor di gedung utama terlihat masih cukup ramai. Beberapa murid terlihat duduk di bangku yang ada di koridor, dan ada murid-murid lain yang bergerak menyusuri lorong-lorong remang itu.
“Tunggu sebentar!” ucap Kristin begitu ia dan Ashley tiba di ujung tangga. Ashley memandangnya heran.
“Temani aku ke toilet!”
“Apa?!”
“Ke toilet.” Ulang Kristin.
“Kristin…” ucap Ashley. “Kau tidak ingat kita berada di mana? Kita ada di lantai dua. Aku tidak mau masuk ke toilet itu.”
“Toilet di bawah sedang diperbaiki.” Ucap Kristin. “Ayolah! Aku sudah tidak bisa menahannya.”
Dengan ragu, akhirnya Ashley mau mengantarkan Kristin ke toilet yang ada di lantai dua itu.
“Tenang saja!” ucap Kristin. “Masih ada banyak murid di koridor. Jika ada sesuatu, kita bisa berteriak meminta tolong.”
Mereka tidak yakin apakah akan ada sesuatu yang ganjil yang akan terjadi. Toilet di lantai dua gedung utama itu terlihat begitu normal. Lampunya masih menyala, dan keadaan bersih di dalam toilet itu sebenarnya cukup membuat nyaman.
Ashley menunggu Kristin menyelesaikan urusannya di depan deretan wastafel. Diatas wastafel, terdapat cermin besar yang merefleksikan deretan bilik toilet. Ashley kemudian teringat dengan cerita Kristin pagi tadi soal gadis yang menangis itu.
“Di bilik di sebelah kiri.” Jawab Kristin dari dalam toilet saat Ashley menanyakan soal hal itu.
Ashley iseng-iseng bergerak ke arah bilik yang ditunjukkan oleh Kristin. Bilik itu terlihat biasa-biasa saja. Di dalamnya terdapat satu toilet yang bersih, dan selain itu, tidak ada apapun yang dapat dikatakan aneh atau semacamnya.
“Ashley!” seru Kristin dari dalam bilik toilet. Kristin dengan segera menghampiri lokasi temannya itu. Mengira ada hal aneh yang terjadi.
“Kristin, kau baik-baik saja?” tanya Ashley dari depan pintu bilik. Pintu bilik tiba-tiba saja terbuka, dan wajah Kristin muncul dari celahnya.
“Kukira kau pergi.” Ucap Kristin. Ashley mendenguskan hidungnya. Merasa sedikit kesal dengan ulah temannya itu.
“Ayo kita segera kel…”
Ucapan Ashley terpotong seketika saat tiba-tiba saja lampu di dalam toilet itu mati. Keduanya kini berada di dalam kegelapan dan tak dapat melihat apapun.
“Ashley!” seru Kristin lagi.
“Aku disini.” Ucap Ashley. Ia meraba dalam kegelapan dan menemukan lengan temannya.
“Aku tidak dapat melihat.”
“Tunggu sebentar. Pakai ponsel saja.”
Ashley merogoh ke dalam sakunya dan segera mengeluarkan ponselnya. Dalam sedetik, cahaya flash dari ponsel itu menjadi satu-satunya penerangan di dalam toilet yang gelap.
“Mati lampu?”
“Aneh.” Ucap Ashley. “Tidak pernah terjadi sebelumnya, ‘kan?”
“Ayo keluar!” ucap Kristin. Entah kenapa ia merasa ada yang aneh, dan perasaannya tidak nyaman.
Ketika kedua gadis itu bergerak mengarah ke pintu keluar, satu hal yang tak terduga terjadi. Pintu bilik toilet di sebelah kiri tiba-tiba saja tertutup dengan sendirinya. Kristin dan Ashley melonjak seketika. Pikiran mereka langsung memikirkan hal yang sama. Kenapa pintu itu bisa tertutup sendiri?
“Angin?” ucap Ashley mencoba mencari penjelasan yang masuk akal. Namun…
Tiba-tiba saja terdengar satu suara dari dalam bilik toilet. Satu isak tangis seorang gadis yang terdengar dengan jelas oleh Kristin dan Ashley. Kedua gadis itu seketika menjerit dan berlari keluar dari toilet.
Keduanya kembali dihadapkan pada satu keadaan yang cukup ganjil. Semua lampu di dalam gedung utama mati, dan murid-murid yang sebelumnya memenuhi koridor sudah tidak ada lagi. Kosong. Hanya ada kekosongan di tempat itu.
“Kristin, cepat!” teriak Ashley.
Keduanya berlari secepat mungkin dari toilet, menyusuri koridor, lalu mengarah ke tangga yang membawa mereka ke lantai satu. Tanpa berhenti, mereka segera menerobos pintu ganda yang membawa mereka keluar dari gedung itu.
Keduanya berhenti berlari ketika mereka sudah berada cukup jauh dari gedung utama. Nafas mereka tersengal, dan pikiran mereka berputar dengan cepat. Tangisan itu. Mereka mendengar tangisan misterius itu.
“Ash!” seru Kristin sedetik kemudian. Ashley yang masih berusaha mengatur nafasnya mengangakt wajah, memandang ke arah Kristin sambil bertanya. Wajah Kristin terlihat pucat, dengan tatapan mata terarah pada gedung utama.
Ashley memutar kepalanya, dan seketika ia merasakan rasa dingin mengalir turun dari lehernya, membekukan setiap otot di tubuhnya. Gedung utama yang seharusnya gelap itu kini berpendar. Cahaya terlihat dari berbagai jendela. Apa yang baru saja mereka alami seolah tidak pernah terjadi.
“Kenapa bisa?” tanya Kristin. “Lampunya….”
“Kristin, ayo pergi! Cepat!” dengan segera Ashley menarik lengan temannya itu, dan mereka kembali ke asrama.
“Aku tidak mempercayainya! Tidak!” ucap Ashley begitu ia tiba di kamarnya bersama dengan Kristin. Kristin pun memiliki pemikiran yang sama dengan temannya itu. Mereka mendengar tangisan di dalam toilet yang seharusnya kosong. Dan lampu tiba-tiba saja mati. Yang lebih aneh lagi, seluruh gedung gelap saat mereka berlari keluar. Namun begitu mereka sampai di luar, lampu menyala kembali. Apakah hal itu hanya ulah iseng seseorang? Atau memang ada hal aneh yang yang menunggu toilet di lantai dua itu?
Apa yang Kristin dan Ashley alami pada akhirnya menyebar ke setiap penjuru sekolah itu. Setiap murid kini benar-benar menghindari toilet di lantai dua itu, dan memilih kembali ke asrama jika mereka ingin pergi ke toilet. Dan selama seminggu sejak kejadian itu, Kristin tidak lagi menghabiskan banyak waktu di perpustakaan. Ia lebih memilih meminjam buku dan mengerjakan tugasnya di dalam kamar.
Namun satu hal aneh kembali terjadi beberapa hari kemudian. Ashley tiba-tiba saja menghilang. Kristin sudah mencoba mencari ke setiap area di sekolahan itu tapi ia tidak dapat menemukan keberadaan Ashley. Ia sudah bertanya pada teman-teman Ashley yang lain. Namun jawaban mereka selalu sama. Mereka tidak tahu kemana perginya gadis itu.
Salah satu gadis mengatakan ia melihat Ashley terakhir kali berada di depan perpustakaan yang ada di lantai dua. Untuk memastikannya, Kristin kembali memasuki gedung utama meski hari sudah sore. Sebagian besar murid sudah keluar dari gedung utama, dan seperti biasanya, atmosfir di dalam gedung itu sedikit tidak menyenangkan.
Kristin masuk ke dalam perpustakaan dan mencoba mencari temannya itu. Ia bergerak menyusuri setiap deret rak buku, namun yang ia lihat hanyalah remaja-remaja lain. Ashley tidak ada di dalam perpustakaan itu.
Untuk lebih memastikannya, Kristin mencoba bertanya pada Ny. Winston, sang pustakawan mengenai Ashley.
“Beberapa jam yang lalu.” Jawab wanita tua itu. “Dia sedikit aneh. Wajahnya terlihat pucat dan tidak ada senyum di wajahnya. Ia hanya duduk di ujung ruangan, membaca sebuah buku.”
“Buku apa yang dia baca?”
“Aku tidak tahu.” Jawab Ny. Winston.
“Kapan dia keluar?”
“Sekitar pukul lima.”
Keterangan dari Ny. Winston beanr-benar tidak membantu. Kristin tetap tidak tahu dimana keberadaan temannya itu. Jika ada satu area yang belum ia cari, mungkin adalah toilet di lantai dua itu. Namun ia ragu Ashley berada disana. Mengingat apa yang yang sudah terjadi, tidak mungkin Ashley berada di dalam toilet itu.
Kristin baru saja akan keluar dari perpustakaan saat tiba-tiba saja ponselnya berdering. Nama Ashley muncul di layar ponselnya. Kristin tanpa ragu segera membuka sambungan.
“Ashley, kau dimana?”
Tidak ada jawaban dari seberang. Yang terdengar hanyalah desah nafas berat dan isak tangis. Apakah Ashley menangis?
“Ash!” panggil Kristin lagi. “Kumohon, Ash! Jangan buat aku takut! Dimana kau sekarang?”
“Gelap.” Jawab suara diseberang. Kristin yakin dengan beanrbahwa suara yang ia dengar adalah suara Ashley.
“Gelap?”
“Aku tidak tahu dimana aku.” Jawab Ashley. “Sekelilingku gelap, dan… huh?”
“Apa? Ada apa?”
Kristin menunggu. Namun yang lagi-lagi ia dengar hanyalah desah nafas berat dari temannya itu. Ashley sepertinya sedang ketakutan.
“Bagaimana mungkin aku bisa disini?” gumam Ashley. “Tolong! Kristin!”
“Ash!”
“Tidak bisa dibuka!” teriak temannya itu. “Pintu biliknya tidak bisa dibuka. Kristin, tolong aku!”
“Dimana kau, Ashley? Ash jawab…”
“AAHHHHH!!!!”
“ASHLEY!!”
Tidak ada lagi balasan dari seberang. Yang ada hanyalah suara statis dan bunyi bergemerisik. Teriakan terakhir dari Ashley menandakan bahwa gadis itu ada dalam bahaya. Masalahnya, Kristin tidak tahu dimana keberadaan gadis itu.
“Bilik tidak bisa dibuka…” gumam Kristin mengulang apa yang Ashley ucapkan. Dan ia mendapat pencerahan sedetik kemudian. Hanya ada satu tempat dimana Ashley kemungkinan berada. Sebuah tempat yang memang sudah ia pikirkan beberapa menit yang lalu, yang awalnya ia pikir tidak mungkin.
Toilet itu.

**

Kristin bergerak cepat menyusuri koridor yang mulai gelap, mengarah pada toilet bermasalah itu. Satu sisi dirinya mengatakan abhwa ia tidak seharusnya kembali ke toilet itu setelah apa yang ia alami seminggu yang lalu. Namun sisi dirinya yang lain mengatakan bahwa toilet itu adalah tempat dimana mungkin Ashley berada. Tidak mungkin Ashley bisa menghilang begitu saja dari sekolah itu. Dan segala tempat sudah Kristin cari. Tinggal toilet itu. Lagipula, Kristin ingat dengan apa yang Ashley ucapkan di telepon.
“Pintu biliknya tidak bisa terbuka.”
Jantung Kristin berdegup kencang saat ia mulai mendekati toilet yang berada di ujung koridor itu. Ia bisa saja mengajak seseorang untuk menemaninya. Namun sudah terlambat. Ia sudah terlanjur berada di depan toilet itu.
Toilet itu bersinar terang. Namun atmosfir mengerikan yang keluar dari toilet itu benar-benar terasa. Kristin memaku pandangannya pada pintu masuk toilet itu. Di dalamnya, ada misteri mengenai tangisan itu. Dan di dalamnya, mungkin juga ada temannya. Mana yang ia pilih? Lari, atau masuk ke toilet?
Kristin mengepalkan tangannya. Perasaan yang tak karuan melingkupinya saat ia memutuskan untuk masuk ke dalam toilet itu. Begitu ia melewati pintu, ia merasa hawa dingin yang tidak normal. Dingin, sedingin es yang membuat ujung jarinya seolah membeku.
“Ashley!” seru Kristin dari ujung deretan bilik. Suaranya menggema. Namun tidak ada balasan.
Kristin memutuskan untuk bergerak lebih masuk. Ia melewati deretan bilik-bilik yang kosong, namun sama sekali tidak menemukan Ashley. Namun di ujung deretan itu, ada bilik yang tertutup. Mungkinkan Ashley berada disana? Kristin tidak menunggu lama untuk mencari tahu. Ia percpat langkahnya, lalu dengan seketika membuka pintu bilik. Dan…
“Ashley!”
Ashley terpuruk diatas toilet dengan kepala terkulai lemah. Kristin mendekatinya, menepuk pipi gadis itu, mencoba membangunkannya. Namun Ashley tak bergerak sama sekali. Kabar baiknya, Kristin masih bisa mendengar desah nafas yang keluar dari hidung temannya itu. Temannya itu hanya pingsan.
“Ashley, kumohon! Bangun!”
Kristin melonjak saat lampu toilet itu tiba-tiba saja berkedip, hidup dan mati. Untuk sesaat Kristin menghentikan usahanya untuk membangunkan Ashley. Apa yang terjadi? Apa hanya malfungsi?
Kristin kembali melonjak saat lampu kembali berkedip. Kali ini lebih lama dari sebelumnya. Dengan tergesa Kristin mencoba untuk membangunkan temannya itu. Ia menepuk setiap senti dari wajah temannya itu.
“Ayolah, Ash! Bangun, kumohon!”
Kristin tiba-tiba saja merasakan bulu kuduknya meremang saat ia merasa mendengar sebuah bisikan. Kristin memutar kepalanya, namun ia tidak menemukan apapun di belakangnya. Hanya ada sebuah cermin besar, dimana ia dapat melihat bayangan wajahnya sendiri. Tapi ada satu hal aneh di cermin besar itu. Cermin itu mengembun. Bayangan wajah Kristin menghilang seketika.
Kristin tanpa sadar memutar tubuhnya dan bergerak ke arah cermin. Ia angkat tangannya, dan menyeka embun yang menempel di permukaan cermin itu. Dan ia melihat…
“TIDAK!!!”
Bukan bayangan wajahnya yang ia lihat. Namun wajah lain. Sebuah wajah putih pucat dengan rambut hitam terurai di depan wajah. Dan ketika wajah itu terangkat, wajah yang membusuk dengan dua mata merah menatap pada Kristin.
Kristin seketika berlari ke arah pintu keluar. Namun ketika ia berjarak satumeter dari pintu keluar, pintu toilet itu tiba-tiba saja tertutup dengan keras.
“TIDAK! TIDAK! TOLONG!”
Kristin mencoba memutar kenob pintu tapi usahanya itu sia-sia. Pintu itu benar-benar tertutup. Kristin kembali melonjak, dengan jantung berdegup kencang saat lampu toilet padam seketika. Kristin berada di dalam kegelapan. Yang dapat ia rasakan hanyalah udara dingin yang membekukan kulit. Dan ia mendengar, dengan jelas, suara terseret di lantai, yang perlahan mendekatinya. Dan seketika…, satu cengkeraman mendarat di lehernya.

**

Sma Norrington dihebohkan keesokan harinya dengan ditemukannya tubuh Kristin dan Ashley di toilet lantai dua itu. Keduanya selamat, dan hanya pingsan. Namun keadaan mereka cukup lemah sampai-sampai mereka harus dilarikan ke rumah sakit.
Cerita mengenai keangkeran dari toilet itu sampai pada telinga kepala sekolah. Dan setelah mempertimbangkan apa yang selama ini terjadi, akhirnya kepala sekolah meminta agar toilet itu disegel. Mengubur misteri yang ada di dalam toilet itu.
Kristin dan Ashley kembali ke sekolah seminggu kemudian. Namun keduanya memutuskan untuk pindah sekolah karena sudah tidak betah dengan suasana mengerikan yang ada di Sma Norrington. Mereka mencoba untuk melupakan apa yang sudah terjadi. Mencoba untuk melupakannya. Namun apakah hal itu bisa hilang begitu saja dari ingatan mereka?
“Kita tidak akan pernah tahu rahasia apa yang sebenarnya disimpan oleh toilet itu.” Ucap Ashley ketika ia membereskan barang-barangnya di kamar. Besok pagi mereka akan pergi.
“Bukan urusan kita.” Jawab Kristin. Ia memegang lehernya. Ia seolah masih bisa merasakan cengkeraman sedingin es itu. Makhluk apa yang sebenarnya berada di dalam toilet itu? Siapa gadis yang mengais itu? Dan wajah yang ada di cermin? Semua teka-teki itu sepertinya akan terus terkubur, dan tidak akan pernah terungkap. Namun Kristin sadari bahwa ia tidak perlu memikirkan semua hal itu. Ia harus segera melupakannya.
“Aku tidak sabar untuk segera pergi dari tempat ini.”

****

2 comments: