Thursday, May 25, 2017

DIBALIK WAJAH BERMASKER



Bel sekolah berbunyi dengan nyaring. Menandakan bahwa pelajaran terakhir di Sma Northville telah berakhir. Jenna dengan gerak mata lemah memandang teman-temannya mulai mengemasi buku-buku mereka. Tapi ia masih terdiam, merasa begitu cemas ketika sedetik lagi ia harus keluar dari sekolahnya itu.
Jenna tidak pernah merasakan kecemasan untuk pulang sekolah seperti ini sebelumnya. Kejadian yang terjadi pada hari ulang tahunnya beberapa minggu yang lalu seolah menjadi semacam katalis, kenapa kini ia begitu enggan untuk meninggalkan tempat yang ia anggap begitu nyaman itu.
Kecemasannya bukan tanpa alasan. Selama beberapa minggu, ia merasa seperti ada yang mengawasinya ketika ia pulang dari sekolah. Mungkin kecemasannya ini tak beralasa, namun ia sangat yakin bahwa ada seseorang yang diam-diam selalu mengawasinya dari kejauhan. Seseorang, yang bukan murid sekolahannya, dan juga bukan seseorang yang ia kenal.
“Kenapa denganmu? Kau tidak mau pulang?” tanya Mary, salah satu teman yang duduk dekat dengannya. Jenna hanya membalas dengan senyuman tipis, seraya meraih buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas. Dengan gerak perlahan, seolah ingin terus berada di kelas itu, Jenna pun akhirnya melangkah pergi.
Ia bergerak cukup pelan. Bahkan kini tinggal ia sendiri yang berjalan di koridor yang akan membawanya keluar dari gedung sekolahannnya itu. Untuk sesaat ia berhenti tepat di samping sebuah jendela, dan memandang ke arah pintu gerbang sekolah. Disana yang terlihat hanyalah puluhan murid lain yang bergerak keluar dari area sekolah. Namun Jenna merasa bahwa diantara puluhan orang itu, ada seseorang yang telah menunggunya.
Jenna awalnya mengira bahwa ketakutannya itu hanya berasal dari perasaannya saja. Sebuah ketakutan yang tidak beralasan, dan terdengar cukup konyol. Ia berpikir begitu, paling tidak hingga seminggu yang lalu. Saat itu ia tengah melakukan olahraga di lapangan sekolahan, ketika ia melihat dengan jelas ada seorang pria dalam balutan mantel berdiri tak jauh dari dinding sekolah. Awalnya ia mengira hanya orang biasa. Namun saat ia pulang dari sekolah, ia kembali melihat orang yang sama, yang terus mengawasinya itu.
Mulai sejak saat itu, Jenna ini selalu wasapada dengan keadaan di sekelilingnya. Ia terus mengamati sekitarnya ketika ia keluar dari gedung sekolah, sama seperti saat ini. Ia bergerak cepat, berusaha untuk berjalan bersama rombongan murid lainnya. Namun hal itu hanya dapat ia lakukan hingga gerbang sekolah. Selepas itu, ia harus berjalan sendirian pulang ke rumahnya.
Jenna menrik nafas dalam-dalam sesaat sebelum ia melangkahkan kakinya keluar dari area sekolah. Kedua matanya memandang cepat ke beberapa tempat, mencoba mencari sosok bermantel itu. Dan ia dapat bernafas lega ketika ia tidak menemukan keberadaan pria misterius itu. Untuk sesaat, ia merasa bahwa perjalanan pulangnya akan mulus. Tapi…
Jenna baru berjalan kurang lebih lima ratus meter dari sekolahnya ketika perasaannya menjadi tidak tenang. Jantungnya kembali berdegup kencang, dan seolah ada orang yang berbisik di telinga, memperingatkan bahwa penguntitnya itu telah kembali.
Jenna mencoba untuk memutar kepalanya, melihat ke arah belakang. Dan seketika kedua matanya membesar, saat ia dengan jelas melihat kembali sosok misterius yang selalu mengikutinya itu. Seorang pria berbadan besar dengan balutan mantel. Wajahnya tidak begitu terlihat karena pria itu memakai topi dan masker. Hal-hal tersebut sepertinya sudah cukup mayinkan bagi Jenna untuk mengecap pria itu sebagai pria yang berbahaya. Dan tanpa pikir panjang, ia pun berlari.
Ia sampai di rumah dengan nafas tersengal-sengal. Yang membuat ibunya mengernit heran dengan tingkahnya.
“Kau tidak apa-apa?” tanya ibu Jenna. Jenna hanya menganggukkan kepalanya, meski ia tahu bahwa keadaannya tidak sebaik apa yang ia sebutkan. Setelah melepas sepatu, ia bergerak ke arah jendela dan memandang ke arah jalanan. Apakah pria itu masih mengikutinya? Tidak. Pria itu sudah menghilang seperti asap.
Kenapa Jenna tidak pernah membicarakan masalah ini dengan kedua orang tuanya? Jawabannya cukup mudah. Orang tua Jenna adalah tipe orang tua yang hanya sedikit peduli dengan anak mereka. Bukan contok orang tua yang baik. Dan Jenna malas untuk membahas hal yang mengganggu pikirannya itu, jika yang ia dapatkan nantinya hanyalah sebuah anggukan tak berarti.
Meski begitu, kedua orang tua Jenna sepertinya sadar dengan perubahan sikapnya. Jenna lebih banyak dia saat makan malam, karena selalu memikirkan sosok misterius itu. Kenapa sosok itu mengikutinya? Siapa sebenarnya sosok itu?
“Kau terlihat tidak sehat.” Ucap ayahnya saat makan malam. “Kau sakit?”
“Apa pedulimu?” balas Jenna kesal. Sudah berulang kali orang tuanya bertanya, namun rasanya tidak benar-benar peduli.
“Jenna! Begitukah caramu berbicara di depan ayahmu?” sentak ibunya sedikit emosi. Jenna yang kesal dengan segera mendorong piringnya yang masih separuh penuh dan berlari ke arah kamarnya.
“Dasar orang tua tidak berguna!” gumam Jenna kesal. Ini bukanlah pertama kalinya Jenna kecewa dengan kedua orang tuanya. Sudah berkali-kali terjadi. Saat ia terjatuh dalam masalah dan meminta pertolongan, kedua orang tuanya selalu mementingkan adiknya, Josh, yang beberapa tahun lebih muda darinya. Seolah Jenna sudah tidak berarti lagi di dalam keluarga itu. Dan sejak saat itu, Jenna bersumpah bahwa ia tidak akan meminta pertolongan lagi pada kedua orang tuanya.
Namun ia berada dalam dilema juga saat ini. Bagaimana ia bisa keluar dari permasalahan penguntit itu jika ia tidak mau membicarakannya dengan kedua orang tuanya? Jenna tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia bergerak ke arah jendela setiap malam, untuk memastikan pria mencurigakan itu tidak menunggu di depan rumah. Setelah itu, barulah ia bisa pergi tidur dengan tenang.
Pagi yang sama selalu dimulai dengan sebuah rutinitas yang sama. Sebuah kekacauan di dalam rumah. Ayah Jenna selalu terburu-buru seperti orang kebakaran jenggot, dan ibunya selalu sibuk mempersiapkan Josh untuk pergi ke sekolah. Jenna hanya dapat duduk di meja makan sambil memakan roti lapisnya yang terasa begitu hambar. Inikah keluarga yang sesungguhnya?
Jenna pun mendapatkan kecemasan saat ia harus berjalan lagi ke sekolahnya yang memang terletak tak begitu jauh. Ia harus selalu mengawasi sekitarnya, memastikan pria misterius itu tidak muncul lagi. Dan seperti bisanya, pria aneh itu tidak pernah muncul di pagi hari.
Jenna kadang merasa takut untuk pergi ke sekolah. Ia sudah pernah meminta ayahnya untuk mengantarkannya ke sekolah, tapi…, Jenna sudah dapat menebak apa jawaban ayahnya.
“Tidak terlalu jauh. Jalan kaki saja. Ayah sibuk.”
Jenna hanya dapat mendengus. Ia tinggal bersama orang-orang yang ia sayangi, namun ia merasa seperti hidup sendirian. Barulah ketika ia bisa sampai di sekolah dan bertemu kembali dengan teman-temannya, ia baru bisa merasa hidupnya sempurna. Dan untuk sesaat, kecemasannya mengenai sosok misterius itu menghilang.
Jenna tentu saja juga sudah menceritakan mengenai apa yang ia takuti itu pada teman-temannya. Dan respon yang ia dapatkan lebih bagus bila dibandingkan dengan respon kedua orang tuanya.
“Tidakkah kau mau melaporkannya?” tanya salah seorang teman Jenna saat di kelas.
“Entahlah. Mungkin.” Jawab Jenna. “Selama ini memang ia belum melakukan tindakan aneh terhadapku. Mungkin jika ia berbuat demikikan…”
Namun sepertinya tinggal menunggu waktu saja hingga pria misterius itu melakukan hal yang aneh dan mencurigakan. Hari itu Jenna berolahraga di luar kelas seperti biasanya. Dan alangkah kagetnya ia ketika ia menyadari bahwa pria itu lagi-lagi mengawasinya dari balik pagar.
Jenna langsung melaporkan hal ini pada guru kelas olahraga. Dan guru itu sepertinya berhasil mengusir pria mencurigakan itu dari area sekolah.
“Kau kenal dengannya?” tanya guru itu pada Jenna setelah kelas usai.
“Tidak.” Jawab Jenna. “Tentu saja tidak.”
Ketika bel tanda pelajar terakhir kembali berbunyi, kecemasan Jenna kembali meluap seperti arus pasang di dalam dadanya. Ia bisa saja meminta salah satu temannya untuk menemaninya pulang. Namun sialnya, hari itu teman-temannya memiliki agenda lain setelah sekolah. Yang memaksa Jenna untuk sekali lagi berjalan pulang sendirian.
“Seandainya saja ada yang menjemputku.” Pikir Jenna.
Jenna kembali merasakan ketegangan yang luar biasa ketika ia keluar dari area sekolah. Teman itu ramai dengan orang, tapi entah kenapa ia merasa begitu kesepian. Seolah ia sudah berteriak keras namun tidak ada yang menolehkan kepala.
Jenna, dengan jantung masih berdegup kencang, kembali bergerak menyusuri trotoar yang akan mengantarnya ke rumah. Dan ketika ia menoleh ke belakan…
Pria itu berdiri tidak begitu jauh darinya. Seorang pria bermantel yang memakai masker di wajahnya. Sorot kedua mata pria itu menunjukkan bahwa pria itu tidak memiliki niat baik. Pria itu memicing, dan dengan perlahan bergerak mengikuti Jenna.
Jenna mempercepat langkahnya. Sialnya ia saat itu berada di kawasan perumahan yang sedikit sepi. Tidak ada gunanya berteriak dalam keadaan seperti itu. Ia malah hanya akan membuat pria bermasker itu menjadi beringas.
Langkah Jenna rasanya secepat detak jantungnya. Ketika ia membelok di tikungan jalan, Jenna kembali mencoba melirik ke arah penguntitnya itu. Dan…, ya. penguntitnya itu masih membuntut di belakang. Jenna yang sudah merasa tidak tahan dengan perasaan takut itu segera saja berlari. Tepat ketika ia mendengar namanya diserukan oleh pria bermasker itu. Apa artinya? Apakah pria itu sudah cukup lama mengincarnya?
“Kenapa kau selalu terengah-engah seperti itu?” tanya ibunya ketika Jenna sampai di rumah. Jenna yang awalnya tidak mau menjelaskan apapun pada kedua orang tuanya, kini merasa sudah putus asa. Ia akhirnya menceritakan sola penguntitnya itu pada ibunya.
“Kau yakin?” tanya ibunya dengan sikap kurang percaya seperti biasa. Jenna bisa saja meledak marah saat itu juga. Namun ia masih dapat menahannya, dan mencoba menjelaskan masalahnya lebih terperinci.
“Sejak kapan kau melihat pria itu?” tanya ibunya. Yang anehnya, kini bersikap lebih peduli dari biasanya. Apakah Jenna sedang beruntung?
“Sejak aku mengadakan pesta ulang tahun di kafe beberapa minggu yang lalu.” Jawab Jenna. “Pria itu muncul beberapa hari setelahnya. Dan sejak saat itu, ia terus membuntutiku. Bahkan hari ini. Dan dia tahu namaku!”
Jenna merasa sedikit lega setelah mengeluarkan apa yang ada di pikirannya, ayng sempat terpendam selama beberapa waktu. Untuk pertama kalinya ia merasa senang saat ibunya itu mau mendengarkan ceritanya dengan serius.
“Kita bicarakan hal ini dengan ayah nanti.” Ucap ibunya. “Kini aku harus menjemput adikmu dari sekolah.”
“Apa?!”
Jenna hampir saja tidak mempercayai apa yang ia dengar. Ibunya itu akan pergi meninggalkannya sendirian setelah apa yang ia ceritakan?
“Tidak akan lama.” Ucap ibunya seraya bergerak keluar dari rumah.
Kecemasan yang Jenna rasakan dtang kembali dengan cepat. Ia sendriian di rumah, tanpa ada seseorang yang menemaninya. Ia tidak pernah merasa setakut ini dalam hidupnya. Bagaimana jika pria itu sampai mencoba menerobos masuk ke dalam rumah?
Suara mesin mobil menjauh, menandakan bahwa ibunya sudah pergi dari kawasan itu. Jenna dengan cepat mengarah ke pintu depan, lalu dengan cepat memutar kuncinya. Ia juga memeriksa semua jendela dan pintu belakang. Semua terkunci. Bagus.
Dengan langkah cepat Jenna mengarah ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Ia juga mengunci jendela kamarnya. Meski ia yakin penguntit itu tidak akan bisa terbang hingga ke lantai dua. Dari balik kaca, ia memperhatikan ujung jalan tempat dimana ia tadi terakhir kali melihat pria bermasker itu. Kini pria itu sudah hilang.
Jenna menghembuskan nafasnya. Namun ia belum merasa lega. Di tangan kanannya ia memagang sebuah tongkat baseball. Berjaga-jaga seandainya pria itu muncul dan masuk ke dalam rumah. Namun hingga ibunya kembali, sosok itu tidak juga muncul.
“Benarkah apa yang kau katakan, Jenna?” tanya ayahnya saat makan malam. “Itukah sebabnya kau terlihat berbeda akhir-akhir ini?”
“Memang begitu.” Jawab Jenna lirih. Ia memainkan makanan di piringnya dengan garpu.
“Kenapa kau tidak menceritakannya pada kami?” tanya ibunya cepat. “Aku dan yahku mungkin…”
“Karena kalian sepertinya tidak peduli.” sahut Jenna cepat. “Setiap kali aku bercerita kalian hanya menanggapiku dengan entang, dan benar-benar tidak…, apa untungnya?”
“Jenna…” ucap ibunya lagi. Kali ini ibunya mencoba untuk meraih tangan Jenna.
“Kami peduli padamu.” Lanjutnya. “Hanya saja akhir-akhir ini aku dan ayahmu banyak pekerjaan yang menyita waktu dan pikiran kami…, mungkin itu sebabnya kami terlihat begitu dingin padamu.”
“Itu benar, ratu kecil.” Sahut ayahnya. Jenna seketika mengangkat wajahnya. Ayahnya sudah lama tidak menggunakan kata ‘ratu kecil’ padanya. Mungkin sejak ia masih tk. Dan kini Jenna merasa sudah cukup tenang, karena kini ia tahu bahwa kedua orang tuanya masih peduli dengannya.
“Lalu bagaimana dengan penguntit itu?” tanya Jenna kemudian. “Dia menggangguku. Aku tidak bisa tennag di sekolah, atau saat tidur…”
“Kita akan melaporkannya pada polisi.” Ucap ayahnya. Yang membuat Jenna merasa begitu tenang dan damai. Paling tidak, untuk saat itu.

**

Jenna seharusnya sudah dapat tidur dengan tenang malam itu mengingat ia sudah menceritakan kegelisahannya pada kedua orang tuanya. Namun kenyataannya, ia tidak bisa tidur.
Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam, dengan keadaan sudah sangat sepi. Hujan turun di luar, dengan petir beberapa kali menyambar. Membuat Jenna semakin cemas dan tidak bisa tidur.
Jenna akhirnya bangkit ke posisi duduk. Kedua matanya benar-benar tidak bisa tertutup untuk malam itu, entah karena apa. Padahal besok pagi ia ada tes di sekolahnya, dan ia harus datang pagi.
Jenna bergerak melewati jendelanya yang terbuka tanpa tirai, mencoba mengarah ke meja untuk minum air, saat tiba-tiba saja kilat menyambar. Dan dalam waktu sepersekian detik itulah Jenna melihat sosok itu berdiri di depan rumahnya.
Mata Jenna membelalak, dan tubuhnya terasa kaku. Pria dalam balutan mantel dan masker itu, berdiri di tengah hujan, memandang lurus ke arah rumahnya. Ya. Akhirnya situasi yang Jenna takutkan itu terjadi juga.
Jenna langusng saja berlari keluar dari kamarnya dan langusng mengarah ke kamar kedua orang tuanya. Dengan nafas memburu, Jenna langsung mengatakan bahwa pria misterius itu ada di depan rumah.
Ayahnya langsung merespon dengan cepat. Ia dan Jenna bersama-sama turun ke lantai satu yang masih gelap, lalu mengarah ke jendela. Jenna saat itu juga sudah membawa tongkat baseball-nya lagi. untuk berjaga-jaga. Namun ketika mereka mengintip ke arah jalan…
Hilang. Sosok itu telah menghilang seperti asap!
“Tidak mungkin!” ucap Jenna. “Baru beberapa menit yang lalu aku melihatnya tepat di dekat kotak pos!”
“Mungkin dia mulai mengitari rumah ini.” Ucap ayahnya. Yang membuat Jenna semakin panik.
“Jangan turun!” ucap ayahnya pada ibunya yang berdiri di pncak tangga. “Tetap disana dan temani Josh!”
Jenna tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan saat itu. Ia hanya bisa menguntit ayahnya, sambil berharap pria misterius itu tidak menerobos masuk ke dalam rumah dan melakukan serangan yang membabi buta.
Jenna dan ayahnya memeriksa beranda belakang, namun juga tidak terlihat adanya sosk misterius itu. Hujan masih turun dengan deras. Namun bagian halaman belakang rumah tidak ada satupun jejak manusia. Apakah mungkin sosok itu sudah pergi?
“Sebaiknya kita lapor polisi.” Ucap ayah Jenna.
Keluarga kecil itu tidak bisa tidur hingga pukul empat pagi. Semua orang, termasuk adik Jenna Josh, duduk di meja makan sambil berharap bahwa keadaan cukup aman bagi mereka untuk kembali tidur. Tetapi ketakutan masih merayapi tubuh setiap orang yang ada di situ.
“Polisi akan segera menangani pria bermasker itu.” Ucap ayah Jenna. “Deskripisimu itu benar, ‘kan, Jenna?”
“Ya.” jawab Jenna. “Pria tinggi, dengan tubuh besar, bermasker, dan selalu memakai mantel tua itu.”
“Bagaimana polisi menanggapinya?” tanya ibu Jenna.
“Tidak bagus.” Jawab ayah Jenna. “Mereka mengatakan bahwa ada salah satu pelarian dari penjara. Mungkin pria itu…”
“Tapi apa hubungannya dengan Jenna?” tanya ibunya cepat. “Apakah pria itu memiliki gangguan mental, dan mengincar Jenna untuk…, aku tidak percaya aku mengatakan hal ini.”
“Polisi akan segera mengurusnya.” Ucap ayah Jenna lagi. “Dan besok, aku akan mengambil cuti. Aku akan mengantarkan Jenna sampai sekolah.”
Jenna dapat merasa tenang dengan keputusan ayahnya itu. Dan benar saja, selama seminggu, ayah Jenna selalu mengantar dan menjemput Jenna. Perasaan Jenna sudah lebih tenang dari sebelumnya, karena kini ia tidak perlu lagi khawatir dengan ada sosok itu. Polisi akan mengurusnya.
Kabar yang menggembirakan akhirnya datang di suatu sore saat Jenna dan anggota keluarganya yang lain sedang duduk menonton tv. Sebuah telepon masuk dari kepolisian, yang mengatakan bahwa pelarian dari penjara itu sudah berhasil tertangkap. Jenna dan kedua orang tuanya berseru setelah merasa memang.
“Sudah berakhir.” Ucap ayahnya. “Sepertinya besok aku bisa kembali ke kantor seperti biasa.”
Ya. Rutinitas kembali seperti biasa. Pagi yang sama selalu terjadi di dalam rumah itu. Ayahnya yang selalu tergesa-gesa, dan ibunya juga sibuk mempersiapkan Josh. Namun Jenna sudah dapat menerima keadaan itu. Dengan satu senyum, ia memakan roti lapisnya, yang rasanya lebih manis dari biasanya.
“Oh, jadi orang itu sudah tertangkap?” tanya teman Jenna. Jenna dengan penuh kepercayaan diri langsung menganggukkan kepalanya.
“Ya. Kemarin.” Jawab Jenna.
Apakah benar bahwa teror sudah berakhir? Sepertinya semua hal telah berjalan sesuai dengan rencana. Pelarian dari penjara itu sudah tertangkap. Lalu apa lagi yang Jenna khawatirkan?
Jenna tidak mengerti. Siang itu saat ia mengikuti pelajaran, kecemasannya kembali hadir. Sama seperti saat ia masih berhadapan dengan sosok bermantel itu. Tapi itu tidak mungkin terjadi lagi, ‘kan? Sosok itu sudah tertangkap. Tapi…
Jenna menoleh ke arah laur jendela secara tidak sengaja. Dan apa yang dilihatnya saat itu membuat jantungnya serasa berhenti berdetak seketika. Sosok bermantel itu, bergerak memasuki area sekolah.
“TIDAK!!” teriak Jenna seraya bangkit dari kursinya. Tatapan penuh tanya dari murid dan guru di kelas itu mengarah padanya.
“Dia kesini! Tidak mungkin! Dia kesini!”
Jenna dengan cepat, dan seolah tak berpikir, langsung berlari dari kelas itu. Ia tidak habis pikir. Kenapa satpam sekolah tidak menghentikan pria mencurigakan itu? Dan kemana ia akan berlari?
Jenna bergerak cepat menuruni tangga, dan dari tempat itu ia dapat melihat pintu depan gedung itu. Yang sedetik kemudian terbuka, dan sosok bermasker itu bergerak masuk.
Jenna menyelinap dengan cepat ke arah pintu belakang. Dan dari sana, ia langsung berlari pulang ke rumah tanpa sedikitpun memelankan larinya.
“Oh, ibu! Dia ke sekolah! Dia ke sekolah!”
“Siapa yang…”
“Pria itu! Pria bermasker itu! Dia kembali!”
“Tidak mungkin!” ucap ibunya tidak percaya. “Tapi kemarin polisi sudah…”
“Kita harus pergi.” Ucap Jenna dengan kepanikan yang sudah tidak terkendali. Ia mencoba menarik lengan ibunya, tapi ibunya juga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Gerakan mereka seketika terhenti saat terdengar ketukan dari pintu depan.
“Jangan!” ucap Jenna panik. “Itu pasti dia! Pria itu! Jangan membukakan pintu!”
“Mungkin orang lain.” Ucap ibunya.
“Jangan, ibu, kumohon!”
Jenna mendapatkan insting bertahannya seketika. Ia mengarah ke kamarnya, meraih tongkat baseball-nya dan kembali ke bawah. Ia dan ibunya bergerak perlahan ke arah pintu depan, dimana suara ketukan itu masih terus terdengar.
“Siapa?” teriak ibu Jenna. Namun sosok dibalik pintu itu sama sekali tidak menjawan. Ibunya perlahan mulai meletakkan tangannya di handel pintu, dan Jenna siap dengan tongkat pemukulnya. Dan ketika pintu itu terbuka…
“TIDAK!!!”
Sosok bermasker itu sudah tepat berada di depan Jenna. Ia dan ibunya terjatuh ke belakang, dan tongkat pemukul itu secara tidak sengaja terlepas dari tangan Jenna. Jenna berteriak sekuat tenaga saat sosok itu mulai bergerak mendekat. Tubuhnya bergetar dengan hebat.
“Kumohon!” ucapnya dengan air mata sudah mengalir dari matanya. Jenna sudah merasa putus asa. “Jangan sakiti kami!”
“Kami mohon!” ucap ibunya. Tapi…
“Amber, tenang!” ucap sosok itu. Jenna dan ibunya membeku seketika. Sorot mata tajam sosok itu masih terarah pada keduanya.
“Ini aku, John.”

**

Jenna dan ibunya masih membeku, seolah tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Sosok di depan mereka itu mengangkat tangan, dan dengan perlahan melepaskan topi dan masker yang ia kenakan. Dan ketika wajah itu muncul, satu desah kelegaan langsung keluar dari mulut ibu Jenna.
“John!”
Jenna tahu siapa pria itu. Paman John. Paman yang sudah tidak bertemu dengannya sejak ia berusia lima tahun. Tapi Jenna masih ingat dengan wajah itu. Meski wajah itu kini terlihat buruk karena ada bekas bakaran di wajah itu.
“Astaga!” Ibu Jenna berdiri dengan bantuan pria itu. Jenna, masih terpuruk di lantai, tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Jenna, ini aku.” Ucap pria itu sambil tersenyum. Ia mengulurkan tangan pada Jenna, dan…
“URGH!!!” Jenna menangis dengan keras saat kesadaran sepenuhnya telah merayapi tubuhnya. Paman John? Jadi selama ini sosok misterius itu adalah paman John?
“Kenapa?” tanya Jenna di tengah isak tangis yang tidak juga berhenti. “Kenapa kau melakukan itu? Kenapa kau menguntitku seperti itu?”
Paman John hanya terkekeh sambil meminta maaf. Ia mengatakan, bahwa ceritanya cukup panjang.
Namun kemudian Jenna mengerti dengan alasan kenapa paman John berusaha mendekatinya dengan cara yang mencurigakan seperti itu. Paman John sudah tidak bertemu dengannya selama sepuluh tahun lebih. Dan paman John ragu apakah keponakannya itu masih ingat dengannya atau tidak.
Paman John sempat mengalami kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Yang membuat sebagian wajahnya terbakar dan tidak pulih. Paman John merasa ragu dengan penampilannya yang baru itu. Ia takut, mungkin Jenna tidak akan ingat dengannya.
“Jadi itukah alasanmu mengawasiku?” tanya Jenna setelah ia dapat meredam tangisannya. “Mengawasiku?”
“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.” Ucap paman John. “Sudah lebih dari sepuluh tahun, dan kini kau sudah remaja. Aku tidak yakin kau akan bisa mengenaliku. Jadi aku hanya dapat mengawasi dari kejauhan. Aku menguntitmu pulang, karena aku ingin tahu alamatmu.”
“Kenapa kau tidak datang padaku, John?” tanya ibu Jenna, yang juga sudah tidak bertemu dengan adiknya itu cukup lama. Ibu Jenna bahkan berpikir bahwa adiknya sudah meninggal akibat kecelakaan itu. Slama kurang lebih delapan tahun, paman John memdekam di salah satu rumah sakit karena cidera yang ia dapatkan.
“Maaf, Amber.” Ucapnya. “Aku tidak yakin aku bisa hadir di depanmu, setelah kita bertengkar saat itu.”
“Aku sudah melupakannya.” Jawab ibu Jenna. “Aku senang kau sudah kembali.”
Paman John tersenyum. Meski wajahnya dipenuhi dengan luka bakaran, namun Jenna tetap tidak dapat melupakan senyum yang selalu ia ingat itu. Saat ia masih kecil, ia sering bemain dengan paman John.
“Maaf, Jenna!” ucap paman John kemudian.
Jenna langsung saja bangkit dari kursinya saat terdengar suara mobil di depan rumah. Ia kemudian mendengar suara ayahnya berteriak.
“JENNA! JENNA!”
“Ayah!”
Ayah Jenna bergerak cepat masuk ke dalam rumah dan memandang ke arah putrinya yang menyambutnya di koridor depan.
“Oh, Jenna, kau baik-baik saja? Aku dengar dari sekolah bahwa kau lari, dan sosok itu…”
“Ayah, semuanya sudah baik.” Potong Jenna. Sedetik kemudian, wajah ayahnya dipenuhi dengan kerutan saat paman John menunjukkan dirinya.
“John?”
“Halo, Arthur! Sudah lama sekali, ‘kan?”
Ayah Jenna kemudian mengerti dengan duduk permasalahannya setelah paman John menjelaskan segalanya. Mereka malah tertawa, menertawai kecurigaan mereka pada sosok bermantel itu.
“Itu salahmu.” Ucap ayah Jenna. “Kenapa kau harus berpenampilan seperti seorang penjahat?”
“Ah, uangku tipis.” Jawab John. “Hanya ini yang bisa kudapat untuk sementara waktu. Dan masker ini, untuk menyembunyikan luka di wajahku.”
Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Jenna hari itu. Ya. Misteri mengenao sosok itu telah benar-benar beakhir. Dengan munculnya paman John, hari itu menjadi hari yang cukup sempurna.
“Lucu, ‘kan?” ucap ayah Jenna saat makan malam. Paman John tertawa mendengar cerita-cerita dari Jenna mengenai ketakutannya pada sosok paman John yang memakai mantel.
“Ya. Bahkan kami menghubungi polisi.” Ucap ayah Jenna. “Kukira kau adalah…, kau tahu, pengincar gadis muda.”
“Lucu sekali.” Balas paman John.
“Tapi sudah cukup keterlaluan, kau tahu?” ucap Jenna. “Sampai-sampai kau rela berdiri di tengah hujan mengawasri rumah ini?”
“Ah, ya. Itu!” tambah ayahnya sambil tertawa. Tapi…
Paman John sama sekali tidak tertawa. Ia malah terlihat bingung dengan apa yang keponakannya itu ucapkan.
“Tunggu dulu!” ucapnya. “Aku berdiri di tengah hujan…, tidak. Aku tidak pernah melakukannya.”
“Apa maksudmu dengan ucapan itu?” tanya ayah Jenna.
Jenna seketika merasakan bulu kuduknya meremang lagi. Dia ingat dengan jelas malam itu, saat ia melihat sosok bermantel itu berdiri di depan rumahnya saat malam.
“Tidak lucu, Arthur.” Ucap paman John. “Kenapa kau mau melakukan hal aneh seperti itu?”
Jenna dan ayahnya seketika saling pandang. Jadi, jika sosok malam itu bukan paan John, lalu siapa?”
“Ayah!” ucap Jenna seketika. “Aku takut.”
Benar. Sosok itu adalah sosok lain yang selama ini juga selalu mengawasi sosok Jenna. Seseorang, yang hanya bisa berdiri di dalam bayang-bayang. Seperti malam itu. Sosok itu berdiri di kegelapan, memadnang tajam ke arah rumah dimana Jenna tinggal.
“Jenna…” ucap sosok itu sambil tersenyum. “Aku mengawasimu.”

****


Thursday, May 18, 2017

A LITTLE PIECE OF HEAVEN



Barry kembali menegakkan kepalanya setelah beberapa saat meletakkannya di roda kemudi. Ia, sekali lagi, terbangun oleh mimpi yang tidak ia sukai itu, yang telah ia alami selama kurang lebih dua minggu terakhir.
Barry saat itu tengah duduk di dalam kabin sedan kecilnya di tepian kota Blackwood. Ia sengaja memarkir mobilnya di tepi jalan saat ia sudah merasa mulai lelah setelah menempuh perjalanan belasan kilometer dari Arcadia. Namun ia belum sampai ke kota Santa Lucia yang berada di selatan. Bahkan kenyataannya, ia baru berkendara setengah jalan.
Langit sudah mulai sore saat Barry terbangun dari mimpi buruk itu. Sekali lagi ia desahkan nafasnya, dengan otak kembali berputar mengingat kembali kenangan pahit yang terjadi padanya selama beberapa minggu terakhir.
Minggu itu merupakan minggu terparah dalam kehidupan Barry. Ia beru saja bercerai dengan istrinya, Rhonda, karena sebuah alasan yang sebenarnya cukup sepele namun dalam kenyataannya malah menghancurkan kehidupan rumah tangganya. Sebenarnya bukan masalah perceraian itu sendiri yang memusingkan. Namun Barry lebih memikirkan soal Candy, putri kecilnya, yang kini terombang-ambing diantara dirinya dan Rhonda. Barry baru saja menyelesaikan persidangan beberapa hari yang lalu, yang memutuskan bahwa Candy akan tinggal dengan ibunya, paling tidak hingga ia berusia 18 tahun.
Tidak dapat melihat keceriaan di wajah Candy menejadi sebuah siksaan yang berat bagi Barry, meski ia tahu Candy akan baik-baik saja di tangan Rhonda. Namun rasa kesepian yang melandannya selama dua minggu terakhir membuat Barry nyaris gila. Itu sebabnya kini ia mencoba mengarah kembali ke Santa Lucia, kota dimana istrinya itu tinggal. Jika memungkinkan, ia mau melihat Candy lagi.
Tapi ia kini masih berada di kawasan Blackwood. Sebuah kota kecil di tengah kawasan hutan yang terasa begitu asing bagi Barry. Ia sadari kemudian bahwa langit mulai menghitam. Menandakan bahwa hujan akan segera turun. Dan benar saja. Beberapa saat kemudian, gerimis mulai turun.
Barry akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kembali perjalanannya meski tubuhnya serasa mau hancur. Ia sempat berpikir untuk mencari penginapan di Blackwood, namun ia ingin segera bertemu dengan putrinya. Mungkin jika malam itu ia terus berkendara, ia akan sampai di kota tujuan besok pagi.
Hujan semakin deras saat mobil yang Barry tumpangi bergerak membelah sebuah kawasan hutan dengan satu jalan yang terlihat begitu sepi. Tidak ada mobil lain kecuali mobil yang Barry tumpangi. Dalam perjalanan yang panjang dan sepi itu, Barry hanya ditemani oleh musik yang keluar dari radio mobil itu.
Hujan semakin menjadi-jadi saat jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam. Weper yang berada di akca mobil bergerak cepat membersihkan kaca, memberikan Barry sedikit kesempatan untuk melihat jalanan yang gelap di depannya. Hujan yang deras si kawasan penuh dengan pohon itu membuat Barry sedikit kesulitan untuk mengendalikan laju mobilnya karena kadang jalanan licin.
Baru seketike menundukkan kepalanya dengan spontan saat terlihat satu kilat menyambar. Cahayanya menerangi keadaan sekitar selama sepersekian detik, sebelum akhirnya bunyi halilintar yang dahsyat membahana, memekakkan telinga. Barry bahkan dapat merasakan getarannya dari dalam mobil yang ia tumpangi.
Berkendara dalam keadaan hujan lebat dan dipenuhi dengan petir sebenarnya sangat berbahaya. Namun Baary tidak punya pilihan lain selain terus menyetir. Ia sudah terlalu juah dari Blackwood, dan tidak mungkin ia akan kembali.
Perjalanan yang panjang dan sedikit membosankan itu membuat Barry kadang merasakan kelopak matanya berat, dan bisa saja tertutup setiap saat. Ia sudah terlalu lelah, mengantuk, dan rasanya ia ingin tidur diatas ranjang yang hangat dan empuk. Tapi…, disinilah dia. Di tengah kemelut hujan lebat bercampur petir, di tengah kegelapan suasana, dan di tengaj jalan yang…
“TIDAK!!”
Barry membanting setirnya seketika saat ia melihat sebuah siluet di tengah jalan setelah belokan. Mobil yang ia tumpangi mengepot, berputar di jalanan yang licin, dan kemudian berhenti saat mobil itu nyaris terperosok ke dalam sebuah parit dalam.
Nafas Barry memburu. Apa? Apa yang sebenarnya ia lihat di tengah jalan tadi? Barry memutar kepalanya, mencoba untuk melihat sekelilingnya. Mungkin saja ia sudah menabrak sosok itu. Tapi keadaan yang gelap membuat Barry tidak dapat menemukan apapun di sekitarnya.
“HALO?” teriak Barry setelah menurunkan sedikit kaca samping, yang membuat sedikit air masuk ke kabin mobil. Suaranya memantul di tengah kegelapan hutan itu. Dan tidak ada jawaban. Tapi sedetik kemudian…
Barry berjingkat di kursi yang ia duduki saat sebuah wajah tiba-tiba saja muncul di jendela bagian penumpang. Terdapat sebuah wajah putih pucat memandangnya dari tengah kegelapan. Barry mengira bahwa ia mungkin saja melihat hantu, tapi…
Bukan.
Seorang wanita berambut pirang basah dalam balutan blouse putih yang juga basah terlihat memnadang Barry dair luar mobil. Barry untuk sesaat tidak dapat menggerakkan tubuhnya karena keterkejutannya. Namun sedetik kemudian, ia sadar bahwa ia ahrus bertindak. Barry kemudian membuka kaca jendela dan menyapa wanita yang berdiri di tengah hujan itu.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Barry. Karena ia tadi yakin ia hampir menabrak tubuh wanita itu. Wanita itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Wajahnya memang benar-benar terlihat begitu pucat.
“Boleh aku menumpang?” tanya wanita itu sedetik kemudian. Ada sedikit keraguan dalam hati Barry untuk menerima wanita itu di mobilnya. Namun kemudian, ia membiarkan wanita itu masuk ke dalam kabin mobil. Barry segera mengulurkan sebuah kaos kering untuk wanita itu, agar wanita itu dapat mengeringkan tubuhnya yang basah.
“Maaf!” ucap wanita itu. Barry hanya tersenyum, lalu mulai menjalankan mobilnya yang nyaris keluar jalur itu.
Sempat terjadi keheningan selama beberapa saat setelah mobil itu kembali berjalan. Barry masih belum dapat menghilang keterkejutannya tadi. Bahkan jantungnya masih berdetak cukup cepat.
“Terima kasih.” Ucap wanita itu kemudian memecah keheningan. Barry mengerling pada wanita itu sambil melepaskan senyum.
“Apa yang kau lakukan di sana tadi?” tanya Barry langsung ke pokok permasalahan. Sebab terasa aneh melihat seorang wanita berdiri di tengah jalanan sepi di tengah kegelapan.
“Mobilku mogok.” Jawab wanita itu. “Sudah berjam-jam aku menunggu mobil lewat. Hingga akhirnya aku melihat mobil ini.”
“Aku hampir saja menabrakmu.”
“Itu salahku.” Ucap wanita itu. “Tidak seharusnya aku menghadang jalan.”
Barry hanya dapat tersenyum. Ia kini merasa sedikit lega setelah ia dapat berbincang dengan wanita yang basah kuyup itu. Wanita itu terlihat masih mencoba untuk mengeringkan rambut pirangnya.
“Jadi?” ucap Barry kemudian. “Sampai mana kau akan menumpang?”
“Kota terdekat.” Jawab wanita itu.
“Tujuanmu?”
“Kota di selatan. Santa Lucia.”
Barry menolehkan kepalanya seketika. Seolah apa yang baru saja ia dengar adalah sebuah hal yang begitu mengejutkan.
“Kebetulan sekali.” Ucap Barry. “Itu juga tujuanku. Bagaimana jika kau kuberi tumpangan sampai disana? kau tinggal di Santa Lucia?”
“Ada teman disana.” jawab wanita itu. “Aku dalam urusan bisnis.”
Barry mengangguk-anguk. Kini dengan ditemani seorang wanita, mungkin rasa kantuknya akan hilang. Sedikitnya ia dapat merasa beruntung bisa mengangkut wanita itu dari tepi jalan.
“Ah, maaf!” ucap wanita itu kemudian. “Namaku Hillary. Sudah seharusnya aku memperkenalkan diriku, ‘kan?”
“Aku Barry.” Ucap Barry.
Semakin lama Barry berbincang dengan Hillary, maka ia semakin merasa akrab dengan wanita itu. Ia bahkan sudah tidak sadar dengan keadaan cuaca ekstrim yang ada di luar. Angin dan hujan masih turun dengan kencang. Jendela kaca mobil berkali-kali tersapu oleh angin.
“Jadi begitu?” ucap Barry setelah mendengar cerita panjang dari Hillary mengenai kehidupan awal Hillary. Hillary ternyata dulunya adalah seorang aktris theater di New Himpton. Dan Hillary bercerita banyak hal mengenai karirnya sebagai seorang aktris kecil. Susah dan senangnya, dan segala hal yang membuat Barry lupa akan perjalanan malam yang berbahaya itu.
“Aku tidak akan pernah tahu.” Ucap Barry. “Lalu kenapa kau memutuskan untuk keluar dari dunia akting? Kau sepertinya masih cukup muda dan wajahmu..., (Barry tertawa kecil.), penuh dengan daya tarik.”
Wanita itu terkekeh setelah mendengar pujian dari pria yang baru ia temui itu. Pandangan mata birunya itu terpaku ke arah wajah Barry.
“Ada banyak hal.” Ucap Hillary kemudian. “Aku…, menikah cukup muda. 25 tahun. Dan seandainya saja aku tidak mengambil keputusan itu, mungkin aku saat ini masih menekuni bidangku di dunia akting.”
“Oh, ya?” balas Barry. “Tapi aku tidak mengerti. Kenapa kau ahrus keluar dari dunia akting, meski kau sudah menikah? Apakah suamimu…, maaf! Sedikit ketat atau menginginkanmu bekerja di tempat lain?”
“Tidak perlu minta maaf.” Ucap Hillary. Entah kenapa wajahnya terlihat menegang seketika. Raut wajah putih seperti bidadari itu kini berubah menjadi sedikit gelap.
“Dia hanya seorang pria brengsek yang hanya menginginkan tubuhku.” Ucap Hillary sedetik kemudian. Jujur Barry sedikit terkejut mendengar hal ini. Ia sama sekali tidak bermaksud untuk mengorek masa lalu wanita di sampingnya itu.
“Awalnya ia terlihat manis.” Lanjut wanita itu. “Tapi setelah dua tahun aku menikah dengannya, wajah iblis itu mulai nampak. Kau tidak akan pernah bisa mengenal seseorang kecuali kau tinggal bersama orang itu cukup lama. Dan dua tahun rasanya seperti sepuluh tahun bagiku di bawah naungan pernikahanku dengan pria itu. Sungguh…”
Barry berdehem. Ia tidak tahu ahrus bagaimana menanggapi cerita yang sedikit kikuk itu. Meski begitu, Hillary tidak berhenti.
“Aku sempat mengandung.” Ucap Hillary kemudian. “Tapi aku keguguran saat kandunganku mencapai usia tujuh bulan. Semua, karena ulah lelaki itu yang memperkerjakanku di rumah seperti pembantu.”
“Tidakkah kau mencoba untuk mencari bantuan saat itu?” tanya Barry yang sedikit demi sedikit mulai merasa penasaran.
“Ya.” Jawab Hillary. “Tapi keputusanku menikah di usia muda sepertinya telah merusak hubunganku dengan anggota keluargaku yang lain. Tidak ada yang peduli lagi. Bahkan kakakku yang awalnya dekat denganku.”
Barry mengerling cepat ke arah wajah Hillary. Wajah itu masih terlihat gelap dan sendu seperti sebelumnya. Di tengah penerangan yang minim, wajah yang dipenuhi dengan luka lama itu seolah berubah menjadi wajah setan.
“Semuanya menjadi neraka bagi kehidupanku.” Lanjut Hillary. “Ketika kau begitu mencintai seseorang, tapi ternyata keputusanmu salah, dan kau berusaha untuk meninggalkan orang itu tapi masih terkekang…, kau tidak tahu bagaimana rasanya.”
“Aku tahu.” Balas Barry seketika. Wajah Hillary menoleh ke arahnya, dipenuhi dengan banyak tanda tanya.
“Bisa kukatakan,” lanjut Barry. “Bahwa posisiku kini sama denganmu. Aku baru saja bercerai dengan istriku, karena masalah yang terlalu sepele. Aku berusaha untuk melupakan kehidupan lamaku denganmu tapi…, seperti katamu, aku terkekang. Kekangan itu berada dalam wujud seorang gadis kecil.”
“Putrimu?”
“Ya.”
“Paling tidak kau bisa melihat putrimu lahir dan tumbuh.” Ucap Hillary. Yang seketika membungkam mulut Barry. Terlihat sekali kepedihan di wajah Hillary saat wanita itu membicarakan mengenai kandungannya yang gugur di tengah jalan.
“Aku heran,” ucap Hillary kemudian. “Kenapa sebagian orang dapat menjalani hidup mereka dengan begitu sempurna, dan ada sebagian orang seperti kita yang harus menderita?”
Barry tidak tahu apa yang harus ia ucapkan. Ia sendiri pun sedang memikirkan soal itu. Kenapa dia harus menjalani sebuah pernikahan yang hanya berakhir dengan sebuah perceraian? Kenapa ia harus memiliki seorang putri yang ia cintai jika ia hanya akan terpisah dengan gadis itu?
“Apakah kita bagian dari ciptaan yang terkutuk?” tanya Hillary kemudian. Barry jujur tidak tahu jawabannya. Namun ia menganggukkan kepalanya, menyetujui apa yang wanita itu ucapkan.
Perbincangan Barry dan Hillary sedikit terputus saat Barry melihat sebuah cahaya di depan, di tengah kegelapan. Sebuah pom bensin di tengah antah berantah. Ketika ia melihat jarum indikator tangki bensin, bensinnya juga hampir habis. Makan ia memutuskan untuk mampir.
“Kau mau turun dan membeli sesuatu?” tanya Barry ketika sudah memarkir mobilnya di dekat pompa bensin. Wanita itu menggelengkan kepalanya.
Barry kemudian turun dari mobilnya. Hujan masih turun dengan deras meski kini tidak ada petir lagi. seorang pegawai pom membantu Barry mengisikan bensin sementara Barry pergi ke arah swalayan untuk membeli beberapa bungkus makanan ringan.
Ia hanya menghabiskan waktu kurang lebih lima menit, sebelum akhirnya ia kembali ke mobilnya. Tapi satu hal aneh terjadi. Wanita itu sudah tidak ada di kursi penumpang.
Barry menoleh ke belakang, melihat ke arah swalayan. Apakahw anita itu tadi sempat turun dari mobil? Barry merasa sedikit ragu. Ia kemudian memanggil seorang pegawai yang berdiri tak jauh darinya.
“Kau melihat kemana perginya wanita berambut pirang itu?” tanya Barry. Bukan mendapat jawaban yang ia inginkan, ia malah mendapat raut wajah kebingungan dari pegawai pom bensin itu.
“Tidak mungkin!” gumam Barry. Apakah ia berhalusinasi di tengah hujan mengenai wanita itu? Rasanya tidak mungkin, ‘kan? Ia tidak mungkin tertidur dan bermimpi? Apakah wanita itu memutuskan untuk pergi begitu saja di tengah antah berantah itu?
Barry pada akhirnya masuk ke dalam mobil. Ia lihat kaosnya yang basah tersampir di kursi penumpang. Itu adalah kaos yang ia berikan pada wanita itu tadi untuk mengeringkan tubuhnya. Jadi…, ia memang tidak berhalusinasi. Lalu kemana perginya wanita itu?
Perhatian kedua mata Barry kemudian terebut oleh sesuatu yang tergeletak di kursi penumpang yang basah itu. Sebuah dompet kecil yang sedikit terbuka. Milik wanita itu? Barry bukanlah orang jahat yang akan seenaknya saja mengintip barang milik orang lain. Tapi kebetulan, ada sebuah kartu yang keluar dari dompet kecil itu. Sebuah kartu nama, yang bertuliskan,
HILLARY HARPER, Boston Herald, Editor.
Jadi Hillary beekrja di sebuah redaksi surat kabar sebagai seorang editor? Lalu apa lagi yang mau Barry ketahui? Rasa penasarannya dengan sosok Hillary memaksanya untuk melihat apa yang berada di di dalam dompet kecil itu. Tapi…
“Tidak ada uangnya di dalam.”
Suara itu mengejtukan Barry, yang seketika menjatuhkan dompet yang ia pegang itu. Ia angkat wajahnya, dan Hillary sudah ada di depannya sambil membuka pintu samping.
“Maafkan aku!” ucap Barry cepat-cepat. “Aku tidak bermaksud jahat, aku hanya…”
“Lupakan saja!” balas Hillary sambil tersenyum, seolah ia tidak berpikiran buruk mengenai apa yang baru saja Barry lakukan.
“Kau sudah berbaik hati padaku mau mengangkutku.” Lanjut wanita itu. “Sudah semestinya kau tahu dengan siapa kau berkendara, ‘kan?”
Barry hanya tersenyum. Misteri mengenai menghilangnya wanita itu tidak akan terjawab sebelum Barry bertanya. Dan Barry mendapatkan jawaban yang tak terduga.
“Ke toilet?” ucap Barry sedikit terkejut. “Di swalayan? Tapi aku tidak melihatmu…, bahkan petugas pom bensin…”
“Sudahlah!” uap Hillary. “Sebaikany kita segera pergi.”
Barry hanya dapat menyetujui ucapan wanita itu, dan kembali menjalankan sedan kecilnya di tengah kepekatan hutan. Jarum jam perlahan bergerak melewati angka sebelas. Malam semakin larut.
“Jadi kau seorang editor di kantor surat kabar itu?” tanya Barry beberapa saat kemudian.
“Ya.” Jawab Hillary. “Berbanding terbalik dengan bakatku berakting, tapi kurasa cukup menyenangkan. Setelah aku berhasil meninggalkan pria yang menjadi suamiku itu, aku ahrus bisa menerima pekerjaan apapun untuk tetap hidup. Karena keluargaku sudah tidak peduli lagi denganku, jadi…”
“Aku turut prihatin.” Ucap Barry.
“Aku juga.” Balas Hillary. “Kau baru saja bercerai dan harus meninggalkan putrimu…, kurasa sangat berat bagiku.”
“Kita sama kalau begitu, ‘kan?” ucap Barry sambil tertawa. Wanita itu pun juga melepas tawanya.
“Kita terkutuk.” Ucap wanita itu sambil tertawa. “Seandainya saja surga mau melihat pada nasib kita…”
“Meski hanya sedikit bagian dari surga itu sendiri.” Balas Barry.
Ketika jarum jam mengancik pukul dua belas malam, perbincangan diantara Barry dan Hillary terhenti. Hillary sepertinya kelelahan dan tetidur dengan begitu cepat. Barry menyetir sendirian, dan masih berusaha untuk menghilangkan rasa kantuknya, tapi…
Sebuah kejadian aneh terjadi. Barry merasa mobil yang ia kendarai seperti melayang saat ia menabrak sebuah cahaya kecil di jalan. Dan tiba-tiba saja, mobilnya sudah berada di tengah hamparan rerumputan luas yang dipenuhi dengan bunga yang bermekaran, dan di siang hari.
Ini tidak mungkin!
Barry mencoba meneriakkan kata-kata itu di hatinya. Apa yang terjadi? Apakah ia tertidur dan bermimpi?
Jantung Barry meloncat seketika saat sebuah lubang di jalan membangunkannya dari mimpi sepersekian detik itu. Kedua matanya pedas, dan ia hampir saja terperosok ke dalam sebuah parit di tepi jalan.
“Bodoh, Barry!” ucap Barry apda dirinya sendiri sambil menampar pipinya.
Barry berusaha sekuat tenaga untuk tetap membuka kedua matanya tapi…, mimpi itu datang lagi. Hamparan bunga…, perbukitan…, sebuah pohon… sinar matahari yang hangat…, dan…
“Bangun!”
Barry seolah mendengar teriakan itu di telinganya. Dan ia sadari kemudian bahwa ia masih mengemudi dan lagi-lagi nyaris terperosok ke parit di tepi jalan.
“Ayolah!” ucap Barry kesal dengan dirinya sendiri. Apakah ia memang selelah itu sampai-sampai ia tertidur dua kali? Ia lihat Hillary masih tertidur pulas di bangku penumpang. Dan Barry…
Hamparan bunga…, perbuktikan…,udara segar dan bau rerumpytan basah itu… dan… ia melihat sebuah wajah yang begitu ia kenal di depannya. Wajah putih dengan sepasang mata biru itu…, Hillary…
“Bangun!”
Jantung Barry melonjak lagi. tidak! Kali ini malah lebih parah. Ketika barry tersadar dari tidurnya, ia mendengar suara sebuah klakson kerasd ari arah depan, dengan dua buah cahaya terang membutkana matanya. Sebuah truk mengarah tepat pada mobilnya, dan…
Barry seolah tidak dapat berpikir. Sudah terlambat. Ia sudah tidak bisa menjangkau rem atau membanting setir. Truk itu sudah begitu dekat. Tidak! Ia pasti akan menabrak, dan…, mati?
Barry menolehkan kepalanya seketika saat sebuah tangan yang terasa begitu hangat menyentuh lengannya. Ia lihat Hillary tersenyum ke arahnya di tengah terangnya sinar lampu truk. Lalu…
BRAK!
Barry kehilangan kesadarannya.

**

Barry dapat mendengar suara-suara ribut di sekelilingnya. Tapi ia masih tidak dapat membuka matanya. Dimana dia? Apakah dia sudah mati dan sedang dalam perjalanan ke alam maut? Apakah suara-suara itu berasal dari arwah-arwah yang menjemputnya?
Bukan.
Ia mendengar suara sirine di kejauhan, dan juga suara beberapa pria yang kedengarannya seperti petugas polisi atau ambulan. Ya. Ia kemudian teringat dengan truk yang menabraknya tadi. Kecelakaan itu. Apakah ia berhasil selamat?
“Dia sudah sadar!” teriak seorang pria yang merunduk pada Barry ketika Barry berhasil membuka kedua matanya. Yang ia sadari kemudian adalah ia terbujur di atas tanah yang basah di tepi jalan, dengan beberapa petugas medis mengelilinginya. Barry kemudian menegakkan tubuhnya seketika.
“Tenang! Kami harus memeriksamu!”
“Dimana wanita itu?” tanya Barry seketika. Ia teringat dengan Hillary. Apakah Hillary berhasil selamat?
“Siapa yang kau bicarakan?”
“Hillary! Wanita berambut priang itu, yang duduk denganku di mobil…, dia…”
“Kau berhalusinasi.” Ucap petugas medis. “Tapi kepalamu tidak terluka…”
Barry seketika menolah-nolehkan kepalanya. Dimana? Dimana mobilnya? Mungkinkan Hillary masih berada di dalam mobil? Namun pertanyaan yang begitu penting adalah, kenapa ia bisa berada di luar mobil? Apa ia terpental keluar?
“Hei!” petugas medis mencoba untuk menahan tubuh Barry di tempat, namun Barry seketika bangkit dari posisinya dengan tubuh penuh dengan lumpur. Anehnya, setelah kecelakaan itu, ia sama sekali tidak merasakan sakit seidkitpun. Mungkin ia terluka. Namun rasa penasarannya pada sosok Hillary dan dimana keberadaan wanita itu mengalahkan segalanya.
“HILLARY! HILLARY!” teriak Barry sambil mengarah pada mobil yang terbakar. Tidak! Apakah Hillary…
“Hei, Tuan!” ucap salah seorang petugas polisi sambil berusaha menahan tubuh Barry. “Anda tidak boleh mendekat! Berbahaya!”
“Wanita itu!” ucap Barry panik. “Hillary!”
“Tidak ada siapapun.” Ucap polisi itu.
“Dia masih di dalam mobil! Hillary…”
“Tuan, denganrkan aku!” ucap polisi itu dengan tegas. Barry, masih dengan jantung berdegup kencang, memandang ke arah polisi itu.
“Anda satu-satunya penumpang di sedan kecil itu.” Ucap polisi itu dengan sungguh-sungguh. “Dan aku tidak habis pikir, bagaimana kau bisa berada di luar mobil yang ringsek itu?
Benar. Barry melihat sedan kecilnya telah berubah menjadi semacam kaleng minuman yang diremas. Hancur tak berbentuk dan terbakar bersama dengan truk itu. Ya. Bagaimana ia bisa keluar? Dan kenapa polisi mengatakan bahwa ia adalah satu-satunya penumpang di mobilnya?
“Yang lebih aneh,” ucap petugas medis yang baru datang. “Sama sekali tidak ada satupun lecet di tubuhnya.”
Banyak sekali pertanyaan yang ada di dalam kepala Barry yang coba Barry pecahkan, namun malah membuatnya semakin merasa bingung. Kemana perginya wanita itu? Bagaimana ia bisa selamat dari kecelakaan maut itu? Apakah semua yang ia alami nyata?
Barry kemudian di bawa ke kantor polisi terdekat. Disana ia kemudian menjelaskan segala sesuatunya pada petugas kepolisian mengenai Hillary, penumpang yang ia temukan di pinggir jalan.
“Ini buktinya.” Ucap Barry sambil mengeluarkan kartu nama Hillary yang ia ambil saat di pom bensin itu. Polisi-polisi yang ada di depannya telrihat kebingungan.
“Tuan,” ucap polisi itu. “Kami sudah mencari dengan teliti di rongsoan mobil Anda, tapi tidak detemukan adanya jenasah lain. Andalah satu-satunya penumpang di mobil Anda.”
“Bagaimana dengan kartu ini? Ini buktinya?”
Jawabannya tidak dapat Barry temukan. Untuk menemkan jawaban, ia mencoba untuk menghubingi pom bensin di tengah antah berantah itu untuk melakukan konfirmasi mengenai adanya wanita berambut pirang saat semalam ia mampir ke tempat itu.
“Aku ingat denganmu, Tuan.” Ucap sang pegawai. “Tapi tidak ada satupun wanita yang kami lihat bersama dengan Anda.”
Apa yang terjadi? Apa maksud dari smeua kejanggalan ini? Barry seolah masih dapat merasakan genggaman tangan hangat dari wanita itu sesaat sebelum ia bertabrakan dengan truk. Senyuman itu…
Hanya tersisa satu cara untuk menemukan dimana keberadaan Hillary. Dari kartu nama yang ia ambil, ia menghubungi kantor redaksi Boston Herald, dan menanyakan keberadaan Hillary Harper. Tapi jawabannya tidak terduga.
“Anda keluarganya?” tanya kepala redasi di telepon.
“Aku temannya.” Jawab Barry.
“Seharusnya Anda sudah tahu,” ucap kepala redaksi itu lagi. “Bahwa Hillary sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu karena kecelakaan mobil.”
Barry bisa saja berteriak saat itu. Namun ia hanya terpaku di tempat, tidak menghiraukan lagi ucapan-ucapan yang keluar dari telepon yang ia genggam. Apakah ini nyata? Hillary sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu? Lalu siapa yang bersamanya semalam? Dan kartu itu…
Barry tidak henti-hentinya memikirkan soal hal itu hingga beberapa hari kemudian. Dari penelusuran yang ia lakukan, ternyata memang benar. Hillary Harper mengalami kecelakaan di tempat yang sama dimana Barry mengalami kecelakaan malam itu. Dan Barry percaya, bahwa sosok yang bersamanya malam itu adalah arwah Hillary.
Barry tidak ingin mempercayainya tapi…, itulah kenyatanyaan. Ia tidak tahu kenapa roh Hillary menumpang di mobilnya. Mungkin untuk menyelamatkannya dari kecelakaan yang akan ia alami? Barry masih ingat dengan senyuman Hillary sesaat sebelum tabrakan itu terjadi.
Memang masih ada begitu banyak pertanyaan soal Hillary. Barry dan Hillary mungkin memang tidak pernah bertemu secara fisik. Namun meski begitu, Barry telah menyediakan satu tempat di hatinya bagi sosok Hillary, karena roh Hillary telah menjadi temannya sejak malam itu. Di malam, dimana roh Hillary memutuskan untuk menyelamatkannya dari kecelakaan maut itu.
Barry masih ingat dengan kata-katanya pada Hillary malam itu. ‘Seandainya saja surga mau melihat nasib kita’. Hal itu sepertinya memang terjadi. Barry percaya bahwa malam itu sebuah kekuatan spiritual terjadi padanya. Mungkin, surga melihatnya malam itu, dan memutuskan bahwa ia masih memiliki banyak tujuan di dunia ini, dan ia dihindarkan dari kematian.
“Surga melihatku malam itu.” Ucap Barry pelan sambil tersenyum. “Terima kasih, Hillary.”

****