Thursday, August 31, 2017

THE RED MANOR TRAGEDY



Sandra mendecakkan lidahnya kesal. Lagi-lagi ia harus berhadapan dengan situasi yang tidak menyenangkan. Kedua matanya itu masih terpaku ke arah layar ponselnya, dan menyadari bahwa ia berada di kawasan yang tidak memiliki sinyal. Sungguh sebuah malapetaka yang tidak terkira. Ia kini berada di tengah hutan, tanpa ada satupun tanda-tanda akan adanya pertolongan.
Ia tidak sendiri. Ia pergi bersama tiga temannya yang lain, Lisa, James, dan Eric. Mereka berencana untuk menonton sebuah konser musik yang diadakan di Arcadia. Karena waktu sudah begitu mepet, mereka pada akhirnya memutuskan untuk memotong jalan melalui jalur tengah hutan. Tujuan mereka adalah sampai di Arcadia tepat waktu. Tapi siapa sangka bahwa mobil yang mereka tumpangi akan mogok di tengah jalan?
Lisa yang berdiri di depannya juga terlihat kesal dengan keadaan yang tengah mereka hadapi itu. Langit terlihat begitu gelap, tertutup mendung, yang sesaat lagi mungkin akan mencurahkan air hujan ke atas kepala mereka. Bukan hanya itu saja yang menjadi masalah. Mereka juga harus menghadapi keadaan gelap hutan, mengingat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih.
“Sialan!” umpa Lisa seraya menendang ban mobil. Ia sedari tadi terus mengomel tanpa berhenti. Sandra yang awalnya diam saja kini mulai merasa kesal juga dengan tingkah aneh temannya itu.
“Bisakah kau diam sebentar saja, Lisa?” ucap Sandra sedikit kasar. Ia tidak peduli lagi jika temannya itu mau marah.
“Benar-beanr sebuah perjalanan yang menarik, ‘kan?” ucap Lisa dengan anda sedikit jengkel. “Ide siapa untuk memotong jalan melalui hutan ini? Dan lihat apa yang terjadi!”
“Kurasa kita semua sudah menyetujui kesepakatan itu.” Balas Sandra. “Dan, ya. Ini memang diluar dugaan. Siapa sangka mobil semahal ini bisa mogok?”
“Kita jadi tidak bisa menonton konser,” ucap Lisa. “Kita juga terjebak di tengah hutan, di malam hari, dan langit sudah mau runtuh. Lihat mendung itu!”
Sandra hanya dapat mendesah pelan. Apapun yang ia dan Lisa ucapkan, sepertinya tidak akan merubah keadaan yang mereka temui saat itu. Ya. Apa lagi yang bisa lebih buruk dari keadaan itu?
“Kemana mereka?” tanya Lisa dengan nada membentak. Pertanyaannya mengacu pada perginya James dan Eric. Kedua lelaki itu menghilang begitu saja tanpa asap.
“Mencari bantuan, mungkin.” Balas Sandra.
“Oh, ya. Semoga saja mereka bisa menemukan ‘rumah’ di tengah hutan lebat seperti ini.”
“Paling tidak mereka berusaha.” Ucap Sandra lagi. “Tidak sepertimu yang hanya bisa mengomel.”
Lisa menggeram pelan. Keadaan yang ia alami saat itu memang benar-benar tidak ia sukai. Sandra sudah tidak heran lagi dengan tingkah dari gadis di depannya itu. Selama ini Lisa selalu menganggap dirinya seorang ‘putri’ yang harus bisa mendapatkan segala sesuatunya dengan mudah. Keadaan genting seperti sekarang ini tentu saja tidak cocok dengan kepribadian gadis itu.
“Ah! Itu mereka!” ucap Lisa sambil menunjuk ke arah dua lelaki yang bergerak mendekat ke arah mobil.
“Bagaimana?” tanya Sandra pada kedua lelaki itu. “Tidak ada sinyal, dan sepertinya kita sudah kehabisan akal. Kalian menemukan sesuatu?”
“Oh, ya.” jawab Eric sambil nyengir. Tingahnya itu entah kenapa membuat Sandra sedikit muak.
“Kami menemukan rumah di tengah hutan.” Ucap James.
“Ha..ha.., lucu sekali.” Balas Lisa. “Ada lelucon lain yang ingin kalian ucapkan? Untuk menambah penderitaan kita?”
“Aku serius.” Ucap James. Ia bergerak ke arah mobil, lalu meraih tas kecilnya. Ia memandang ke arah kedua gadis itu dengan tatapan yang sepertinya memang sungguh-sungguh.
“Ada seuah rumah besar tak jauh dari sini.” Lanjut James. “Kami juga tidak mempercayainya. Namun rasanya tidak ada pilihan lain yang bisa kita lakukan, ‘kan?”
“Rumah itu…” balas Sandra. “Kau yakin bukan rumoh kosong? Dan siapa yang mau tinggal di tengah hutan seperti ini?”
“Tidak kosong.” Ucap Eric. “Kami dapat melihat jendelanya berpendar dari dalam. Tentu ada yang tinggal disana. Dan kenapa mereka tinggal di tengah hutan? Aku tidak tahu. Apakah itu penting?”
“Kita hanya akan meminjam telepon mereka.” Ucap James. “Dan mungkin juga untuk berlindung dari hujan ini.”
Benar saja. Rintik-rintik hujan mulai turun dari langit. Benar-benar sebuah keadaan yang sangat menyebalkan bagi keempat pemuda itu. Namun mereka tidak memiliki banyak pilihan dalam situasi seperti itu.
“Jadi bagaimana?” tanya Eric. “Kalian mau ikut dengan kami ke rumah itu, atau menunggu di mobil hingga pagi? Kalian mau tidur di mobil?”
Lisa mendecak kesal. Lagi-lagi wajahnya menekuk saat kekesalan sudah memuncak di dadanya. Dengan sikap ragu, ia mulai mengambil tasnya dari dalam mobil, dan bergerak mengikuti ketiga temannya.
Rumah yang dimaksudkan oleh Eric dan James terletak tidak begitu jauh dari tempat mobil mereka mogok. Mereka berjalan kira-kira sepuluh menit, dan rumah besar itu terlihat jelas.
Sungguh sebuah pemandangan yang aneh, melihat adanya rumah besar tiga lantai di tengah hutan belantara. Siapapun yang tinggal di dalam rumah besar itu pasti tidak begitu menyukai kerumunan manusia. Memang aneh, namun rumah itu menjadi satu-satunya harapan bagi keempat pemuda itu.
Rumah besar itu memiliki dinding dengan bata merah. Dalam keadaan gelap dan basah oleh air hujan, dinding rumah itu terlihat seperti berdarah. Bentuk bangunan itu sendiri pun tergolong aneh, dan memberikan sensasi yang tidak biasa bagi keempat pemuda itu.
“Ini dia.” Gumam Eric. “Semoga saja pemilik rumah belum pergi tidur.”
Keempat pemuda itu mengarah ke pintu depan besar yang ada di bagian depan rumah itu. Eric mengetukkan kepalan tangannya pada pintu besar itu. Namun saking tebalnya kayu pintu, ketukannya jadi tidak begitu terdengar.
“Gedor saja!” ucap James.
Eric melakukan apa yang James perintahkan. Ia gedorkan kepala tangannya pada pintu besar itu berkali-kali. Namun sayangnya tidak ada balasan dari dalam.
“Kosong.” Ucap Lisa. “Rumah ini kosong.”
“Tidak.” Bantah James. Ia kemudian menunjuk sebuah jendela di lantai dua, yang terlihat berpendar, menunjukkan sinar keemasan.
“Lebih keras! Gedor lebih keras!”
Hujan turun semakin lebat, dan mereka mulai basah kuyup. Eric menggedorkan kepalan tangannya beberapa kali. Hingga pada akhirnya, terdengar sebuah suara kunci diputar dari dalam. Dan pintu itu terbuka, menunjukkan sesosok pria tua kurus dalam balutan jas.
“Maaf!” ucap Eric seketika. Pria tua itu memandang keempat pemuda itu melalui kedua mata cekungnya.
“Mobil kami mogok di dekat sini,” ucap Eric kemudian. “Dan kami melihat rumah ini. Mungkin kami mau meminta tolong. Mungkin Anda bisa meminjamkan telepon pada kami? Kami butuh bantuan, dan…”
Pria tua kurus itu tidak menjawab apapun. Namun gerakan tangannya dengan perlahan mulai membuka pintu besar itu, mempersilahkan tamunya masuk ke dalam rumah besar itu.
“Terima kasih.”
Keempat pemuda itu akhirnya terbebas dari guyuran air hujan. Kini mereka berada di foyer rumah besar itu, yang terlihat begitu mewah dan megah, namun masih memberikan sensasi yang aneh. Lantai di foyer itu terbuat dari marmer dengan pola-pola unik. Dinding ruangannya terbuat dari panel-panel kayu yang mengkilat. Rumah itu bukan rumah bisa, namunrumah konglomerat.
“Terima kasih, sekali lagi.” ucap Eric sambil memandang pada pria tua itu. “Uhm…”
“Mobil kalian mogok?” ucap pria tua itu sedetik kemudian dengan nada yang serak. “Sungguh disayangkan. Tapi kalian beruntung bisa menemukan  rumah ini.”
“Ya.” balas Eric. “Kami merasa beruntung. Benar-benar beruntung.”
“Kurasa aku bisa membantu.”
“Anda pemilik rumah ini?” tanya Eric cepat. Pria tua itu terlihat mengawasi wajah keempat pemuda itu sebelum membuka mulutnya.
“Aku hanya pelayan di rumah ini.” Ucap pria tua itu. “Jangan khawatir! Kalian bisa meminjam telepon. Dan aku akan memberitahu Tuan besar mengenai kedatangan kalian.”
“Terima kasih.” Ucap Eric lagi.
“Teleponnya ada di ujung koridor.” Ucap pria tua itu. Sebelum pria itu pada akhirnya bergerak pergi, menaiki sebuah tangga besar yang ada di ujung ruangan.
Eric memandang ketiga temannya sambil nyengir. Ia merasa senang pada akhirnya mereka bisa mendapatkan bantuan.
“Tenang saja!” ucap Eric. “Kita akan keluar dari tempat ini secepatnya.”
Sandra mengibas-ibaskan lengan bajunya. Mencoba untuk mengeringkan jaketnya yang sedikit basah terkena siraman air hujan di luar lagi. Lisa terlihat juga melakukan hal yang sama, meski ia lebih peduli pada rambut ekor kudanya. James, terlihat mengagumi sebuah lukisan kuno yang ada di foyer itu.
“Aku akan menelepon mobil derek.” Ucap Eric, sebelum lelaki itu bergerak masuk ke dalam koridor yang ada di samping tangga besar.
Sandra menyapukan pandangan matanya ke setiap sudut ruangan di foyer itu. Segala sesuatunya terlihat begitu mewah dan klasik. Sama seperti James, ia pun juga mengagumi adanya lukisan-lukisan besar yang ada di dalam ruang depan itu. Ia tidak dapat membayangkan seeprti apa rupa ruangan lain di rumah mewah itu.
“Mungkin kita bisa bermalam disini.” Ucap James asal-asalan. Ia seketika mendapatkan tatapan tajam dari Lisa yang terlihat masih belum pulih dari kekesalannya.
“Jangan bercanda!” ucap Lisa. “Aku mau menginap di hotel saja daripada tidur di rumah mengerikan seperti ini.”
“Rumah ini mewah, dan tidak…”
“Terserah apa katamu!” ucap Lisa sambil mendecak kesal.
Sandra pun sepertinya setuju dengan apa yang Lisa ucapkan. Ia sepertinya juga tidak mau menghabiskan malam di tengah rumah misterius di tengah hutan seperti itu. Melihat keadaan ruangan yang remang itu saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri.
“Kita ada di tengah hutan Bokoye.” Ucap James. “Kau pikir ada hotel yang buka di sekitar sini?”
Sandra dan Lisa harus menghadapi kekecewaan saat Eric datang lagi sambil membawa sebuah kabar yang tak mengenakkan.
“Mobil dereknya baru bisa datang besok pagi.” Ucap Eric. “Sepertinya kita harus meminta tuan rumah ini untuk mengijinkan kita…”
“Tidak! Tidak!” potong Lisa cepat. “Aku tidak mau tidur di rumah ini. Menyeramkan, kau tahu?”
“Apa lagi pilihan yang kita punya?” balas James. “Kita tidak bisa tidur di mobil, dan…”
“Lisa, tenang!” ucap Eric. “Hanya malam ini. Aku yakin tidak akan ada yang terjadi pada kita.”
“Apa maksud dari ucapan itu?” tanya Sandra seketika. Namun sebelum pertanyaannya terjawab, pria tua kurus itu muncul lagi dari arah sebuah koridor. Sama seperti tadi, ia memandang keempat pemuda itu melalui mata cekungnya.
“Aku sudah memberitahu Tuan besar mengenai kedatangan kalian.” Ucap pria tua itu. “Dan aku yakin bahwa mobil derek tidak bisa datang di malam seperti ini, dalam cuaca buruk seperti ini.”
“Ya.” sahut Eric.
“Tuan besar berbaik hati pada kalian.” Ucap pria tua itu kemudian. “Aku sudah menyediakan dua kamar untuk kalian berempat. Kalian sepertinya harus menginap di rumah ini untuk semalam hingga pagi menjelang.”
Sandra dan Lisa saling bertatapan. Kedua gadis itu mendapatkan firasat yang aneh dari rumah besar di tengah hutan itu. Mereka seolah baru saja masuk ke kandang singa. Namun seperti kata James, pilihan apa lagi yang mereka punya?
“Terima kasih, Tuan.” Ucap Eric. “Kami sangat berterima kasih atas kebaikan Tuan besar. Mungkin aku bisa bertemu dengannya, untuk mengutarakan rasa terima kasihku secara pribadi?”
“Sayang sekali.” Ucap pria tua itu. “Tuan besar sudah pergi tidur.”
Eric hanya menganggukkan kepalanya. Ia memadnang ke arah ketiga temannya, mencoba untuk meyakinkan ketiga temannya itu bahwa keadaannya akan baik-baik saja.
“Sebelum itu,” ucap pria tua itu lagi. “Aku akan menyiapkan malam malam untuk kalian. Kalian lapar, aku tahu. Sebaiknya kalian menuju ruang makan yang ada di samping tangga besar.”
Eric dan yang lain hanya bisa menyetujui apa yang pria tua itu ucapkan. Tidak mereka sangkal bahwa mereka juga sudah lapar. Keadaan menyebalkan yang mereka hadapi hampir saja membuat mereka lupa bahwa mereka belum makan apapun sejak siang tadi.
Keempat pemuda itu segera masuk ke dalam sebuah ruangan panjang yang diisi oleh sebuah meja panjang dengan banyak kursi di sisi-sisinya. Seperti yang terlihat dalam film, ruang makan itu adalah ruang makan seorang konglomerat. Biasanya Tuan rumah akan duduk di ujung salah satu meja. Namun tidak untuk malam itu.
Jarum jam bergerak cepat, sementara mereka menunggu masakan datang di dalam ruang makan itu. Hujan yang ada di luar juga semakin mendera-dera tidak karuan. Sepertinya keputusan yang benar untuk tinggal di dalam rumah itu untuk malam itu.
Makan malam yang disajikan oleh orang tua itu ternyata melebihi ekspektasi mereka. Mereka kira mereka hanya akan makan seadanya. Namun ternyata pria tua itu menyediakan makanan lengkap yang tergolong makanan mewah. Seperti steak dan semacamnya. Keempat pemuda itu tentu saja sudah tidak bisa menahan perasaan lapar mereka lagi. Dan dalam hitungan detik, suara sendok dan garpu terdengar di dalam ruangan panjang itu.
Sandra mencoba untuk menelan apapun yang ada di depannya. Rasa laparnya ternyata dapat menghlangkan kebenciannya pada steak. Daging itu entah kenapa rasanya sedikit aneh. Ia memang jarang makan daging. Namun ia tidak mengira dagingnya akan sealot itu.
Teman-temannya yang lain sepertinya tidak memiliki masalah dengan makanan mereka. James dan Eric terlihat tertawa bersama, menikmati dengan betul makanan mereka. Lisa, terlihat diam saja di kursinya. Ia makan tanpa nafsu makan.
“Kamar kalian ada di lantai dua, sayap kiri.” Ucap pria tua itu begitu keempatnya selesai dengan makan malam mereka. Eric dan yang lain berterima kasih lagi atas hidangan yang telah disajikan untuk mereka.
Seperti apa yang Sandra bayangkan sebelumnya, ternyata rumah itu menyimpan banyak benda unik di sepanjang koridornya. Begitu ia dan yang lain naik ke lantai dua, mereka seketika disambut oleh sebuah patung beruang di atas tangga. Lukisan-lukisan klasik pun kembali mereka lihat di sepanjang koridor. Bahkan karpet di koridor itu pun terlihat begitu mahal.
“Ini kamar kita.” Ucap Eris sambil menunjuk pada kamar di sisi koridor. Kamar untuk Sandra dan Lisa terletak tepat di depan kamar Eric dan James.
“Selamat malam, nona-nona!” ucap Eric. “Kita bertemu lagi besok pagi.”
Sandra dan Lisa kemudian masuk ke dalam kamar mereka sendiri. Sudah dapat ditebak bahwa isi dari dalam kamar itu pun telrihat begitu mewah. Tempat tidurnya memiliki tiang-tiang di sudutnya, dengan kain sutra digunakan sebagai selambu.
“Terlihat nyaman.” Ucap Sandra seraya melepas jaketnya yang basah. Ia menyentuh sebuah kursi sofa berbulu, yang rasanya begitu hanyat dan nyaman.
“Ini tidak benar.” Gumam Lisa. “Siapa yang cukup gila membuat rumah besar di tengah hutan Bokoye? Kau pernah mendengar soal itu, Sandra?”
“Sudahlah, Lisa!” balas Sandra. “Hanya malam ini. Kita tidur, dan besok pagi kita akan pergi dari sini secepatnya.”
Ternyata lebih mudah mengatakannya daripada melakukannya. Sandra dan Lisa sama-sama tidak bisa tidur dalam keadaan remang kaamr besar itu. Segala benda yang ada di kamar itu menciptakan bayang-bayang yang mengerikan, yang terlihat bergerak sendiri di tengah keremangan suasana.
Hujan di luar juga belum berhenti. Malahan, terdengar suara guntur bekali-kali, yang semakin membuat Sandra dan Lisa tidak dapat memejamkan mata mereka.
“Apa kau juga merasakannya?” tanya Lisa di tengah kegelapan.
“Merasakan apa?”
“Aura negatif dari rumah ini.”
“Mungkin.” Balas Sandra. Tidak ia sangkal bahwa rumah di tengah hutan itu memang terlihat sedikit aneh. Apalagi saat sang tuan rumah tidak mau menunjukkan wajahnya pada tamu-tamunya. Selain itu, segala sesuatu di rumah itu membuat pikiran Sandra beputar cepat.
“Kita tidak perlu memikirkannya.” Ucap Sandra. “Sebaiknya kita tidur.”
Sandra tidak tahu sudah berapa lama ia memejakan matanya. Yang ia sadari kemudian, ia sudah bermimpi. Mimpi yang tergolong aneh. Dan lebih anehnya lagi, ia terbangun dengan jantung berdetak kencang saat ia seperti mendengar sebuah teriakan. Apakah itu nyata, atau hanya bagian dari mimpinya?
Ia membangkitkan tubuhnya ke posisi duduk diatas ranjang besar itu. Lisa terlihat sudah tertidur pulas di sisinya. Ia lirik jam tangannya, dimana jarum jam menunjukkan pukul dua lebih. Ya. ia sudah tertidur cukup lama. Namun ia tidak ingat dengan apa yang baru saja ia impikan. Sebuah mimpi buruk, yang berkaitan dengan rumah besar itu. Dan teriakan itu…
Jantung Sandra melonjak cepat saat tiba-tiba saja terdengar ketukan cepat di pintu kamarnya. Dan ia mendengar suara Eric memanggil namanya dari luar.
“Ada apa?” tanya Sandra begitu ia membukakan pintu. Wajah Eric terlihat sedikit aneh dalam keremangan koridor. Namun Sandra dalam melihat jelas bahwa Eric sedang bingung.
“James,” ucapnya. “Dia menghilang dari kamar. Kukira dia ke kamarmu.”
“Tidak.” Balas Sandra. “Untuk apa dia ke kamar ini? Lagipula, bukankah kau juga sekamar dengan James?”
“Itu masalahnya.” Ucap Eric. “Aku tidur di sebelahnya. Jika ia bangun, aku pasti sadar akan hal itu. Jujur aku nyaris tidak bisa tidur di dalam rumah mengerikan ini.”
Eric terlihat benar-benar cemas. Beberapa kali ia mengarahkan pandangannya ke arah ujung koridor dimana ujung tangga berada. Berharap bahwa sosok temannya akan kembali.
“Bagaimana jika kita cari berdua?” tawar Sandra. Ia segera saja masuk ke dalam koridor dan menutup kembali pintu kamar. Ia dan Eric kemudian bergerak perlahan menyusuri koridor yang panajng dan remang, sambil sesekali melongok ke dalam ruangan yang terbuka.
“Ini aneh.” Ucap Eric kemudian. “James bukan tipe orang yang dengan mudah akan menghilang seperti ini.”
“Segala sesuatunya di rumah ini terlihat aneh bagiku.”
“Dan lebih aneh lagi, aku seperti mendengar suara teriakan.”
Sandra seketika menghentikan langkah kakinya dan memandang ke arah Eric dengan tatapan tidak percaya. apakah yang ia dengar barusan benar?
“Kau juga mendengar teriakan?”
“Apa maksudmu dengan kata ‘juga’?”
“Aku juga mendengar teriakan itu.” Ucap Sandra. “Kukira hanya bagian dari mimpiku, tapi…”
“Mungkin James…”
Keduanya merasa takut dengan apa yang terlintas di pikiran mereka. Mereka tidak mau mengatakan apa yang mereka pikirkan.
“Kita harus segera menemukan James.” Ucap Eric. “Setelah itu, kita berempat akan keluar dari rumah ini.”
“Di tengah hujan?”
“Sepertinya masuk ke dalam rumah ini adalah ide yang buruk. Aku memiliki firasat yang buruk.”
Sandra menyetujui akan hal itu. Ya. Jika saja mereka dapat dengan cepat menemukan keberadaan James.
Mereka memeriksa seluruh ruangan di lantai dua, namun sama sekali tidak melihat keberadaan James. Yang mereka lihat hanyalah ruangan-ruangan antik lainnya yang selalu dipenuhi dengan barang-barang antik.
Mereka kemudian turun ke lantai satu. Memeriksa ruang makan, dan juga ruangan-ruangan lain. Tapi lagi-lagi mereka tidak dapat menemukan keberadaan James.
“Aneh.” Ucap Eric sambil terus bergerak cepat. “Aneh.”
Langkah keduanya tiba-tiba saja terhenti saat mereka sekali lagi mendengar sebuah teriakan. Yang dengan jelas terdengar, dan berasal dari salah satu ruangan di dalam rumah itu.
“Mungkinkah itu James?” ucap Sandra. “Apa yang…”
“Ayo, Sandra!” ucap Eric seraya melangkahkan kakinya kembali menyusuri koridor. Ia tidak tahu dengan jelas darimana suara itu berasal. Mungkin dari lantai tiga yang belum mereka periksa.
Lantai tiga rumah itu terlihat lebih polos bila dibandingkan dengan ruangan di lantai lainnya. Koridor-koridornya terlihat begitu kosong, tanpa ada panjangan sedikitpun. Dan ruangan-ruangan di sepanjang koridor juga banyak yang kosong. Mereka hanya dapat melihat  satu ruangan di ujung koridor yang terlihat memancarkan cahaya keemasan. Eric dan Sandra melangkahkan kaki mereka dengan cepat mendekati ruangan itu, tapi…
Keduanya seketika menghentikan langkah mereka saat mereka sudah tiba ti depan ruangan itu. Terdengar ada suara percakapan dari dalam ruangan. Eric dan Sandra sadar bahwa dua orang yang ada di dalam ruangan itu adalah si pelayan tua kurus itu, dan ada satu lagi seorang pria bertubuh besar yang duduk membelakangi pintu. Eric dan Sandra hanya dapat mengintip ke dalam ruangan itu.
“Semuanya siap?” tanya pria besar itu dengan suara berat dan terdengar serak. Si pelayan tua berdiri di depannya, sambil sesekali membungkukkan tubuhnya ke arah si pria besar.
“Ya, Tuan.” Jawab pelayan itu. “Saya sudah mempersiapkan alat-alatnya.”
“Bagus. Bagaimana dengan rencana selanjutnya?”
“Terserah Anda.” Ucap pelayan itu lagi. “Mungkin lebih cepat melakukannya lebih bagus. Sebelum pagi menjelang.”
“Menarik.” Ucap rpia besar itu. Terlihat ada asap mengepul dari arah wajahnya. Mungkin pria besar itu merokok.
“Katakan padaku, Albert!” ucap pria besar itu lagi. “Kau tahu siapa anak-anak itu?”
“Mereka hanya orang yang kebetulan lewat.” Jawab pelayan tua itu, yang ternyata bernama Albert. “Mobil mereka mogok.”
“Sungguh sebuah keberuntungan bagiku.” Ucap pria besar itu. “Disaat aku sedang membutuhkan kekuatan, ada empat tumbal yang datang dengan sendirinya.”
Eric dan Sandra melonjak mendengar ucapan itu. Kata ‘tumbal’ yang terdengar jelas oleh mereka menunjukkan bahwa akan ada hal buruk yang akan terjadi pada mereka jika mereka tidak segera keluar dari rumah itu.
“Saya sudah mempersiapkan satu orang.” Ucap Albert kemudian. “Dia ada di ruang bawah tanah.”
Sandra dan Eric seketika berpandangan. Pikiran mereka menyebutkan satu nama. James. Mungkin James-lah yang dimaksud oleh Albert.
“Ruang bawah tanah.” Bisik Eric. “Kita kesana sekarang.”
Keduanya dengan perlahan bergerak meninggalkan ruangan berpendar itu, lalu turun lagi melalui tangga. Begitu mereka sudah jauh dari jarak pendengaran kedua orang itu, mereka berlari.
“Oh, ini buruk!” ucap Eric. “Mereka berdua sudah gila. Apa yang mereka pikirkan? Dan apa maksudnya dengan ‘tumbal’?”
“Kita harus segera keluar!” ucap Sandra panik. “Oh, tidak! Lisa! Aku ahrus membangunkan Lisa.”
Keduanya berhenti tepat di ujung tangga besar. Keduanya lalu setuju untuk berpisah. Eric akan pergi menyelamatkan James yang ada di bawah tanah, dan Sandra akan menjemput Lisa yang masih tertidur pulas di kamar.
Setiap detik kini terasa begitu berharga. Pria besar dan pelayan tua itu bisa datang kapan saja, dan mereka terkurung di dalam rumah besar itu. Sandra dengan cepat mendobrak pintu kamar, dan Lisa seketika mengangkat tubuhnya.
“Sandra, apa yang…”
“Jangan banyak bicara! Kita harus keluar dari rumah ini!”
Sandra menarik lengan Lisa begitu saja. Gadis itu nyaris terjerembab ke atas lantai saat ditarik dari tempat tidur.
“Tidak ada waktu untuk mengepak barang.” Ucap Sandra. “Kita harus keluar sekarang.”
Keduanya bergerak cepat di koridor, lalu mengarah ke tangga besar. Di sana mereka bersembunyi di balik sebuah jam pendulum besar, menunggu kedatangan Eric.
“Sandra, apa yang terjadi?” tanya Lisa.
“Rumah ini buruk.” Jawab Sandra. “Pelayan tua itu, dan sang tuan rumah…, mereka pembunuh!”
Lisa mengerjap seraya menutup mulutnya dengan satu tangan. Ia memandang tidak percaya pada Sandra, namun ia mendapatkan anggukan pasti dari temanya itu.
“Kita hanya harus menunggu Eric dan James, lalu kita keluar.”
Tidak lama kemudian Lisa menarik-narik lengan Sandra. Gadis itu menunjuk ke arah sebuah pintu yang ada di lantai satu, dimana dari dalam pintu itu munculah Eric dan James. Sandra nyaris tidak dapat mempercayai apa yang ia lihat dari tubuh James. Lelaki itu bertelanjang dada, dengan bekas sayatan pisau di dada dan perutnya. Eric terlihat membantu James berjalan.
“Sandra!” panggil Eric dari lantai bawah. Sandra dan Lisa dengan cepat bergerak menuruni tangga dan bergabung bersama dengan Eric. Mereka dengan cepat mengarah ke pintu depan, tapi…
“Sial!” umpat Eric saat ia tidak dapat membuka pintu besar itu. “Tentu saja dikunci. Apa yang kupikirkan?”
“Ada jalan lain?” tanya Sandra. Namun sebelum pertanyaannya itu dijawab, terdengar sebuah suara dari belakang mereka.
Albert, pelayang tua itu, sudah berdiri di anak tangga terbawah sambil membawa sebuah sabit di tangannya. Pandangan mata cekungya terarah pada keempat pemuda itu.
“Mau pergi begitu saja?” ucap pria tua itu.
“Keparat!” umpat Eric. Ia seketika melepaskan tubuh James dan berlari mengarah pada Albert. Mungkin Eric berniat untuk menumbangkan sosok pria kurus itu. Tapi ternyata…
Eric mendapatkan satu tinjuan tepat ke wajahnya saat ia sudah ada begitu dekat dengan Albert. Entah apa yang terjadi. Seharusnya sosok pria kurus seperti Albert dapat dengan mudah ditumbangkan. Namun Eric merasakan ia tidak cukup kuat untuk menjatuhkan tubuh kurus itu. Seolah Albert memiliki kekuatan spesial.
“Kalian tidak akan pergi begitu saja.” Ucap Albert seraya mengangkat sabit yang ada ditangannya, dan diarahkan pada Eric yang tersungkur di lantai. Eric mencoba untuk menahan serangan, tapi…
“TIDAK!!” Sandra berteriak saat sabit itu menancap dalam pada salah satu lengan Eric. Eric mengerang, berusaha untuk bangkit dan lari dari pria tua itu, tapi lagi-lagi Albert mengayunkan sabitnya. Yang seketika mengenai pergelangan kaki Eric. Eric kembali tersungkur dengan darah mengucur dari bagian tubuhnya yang terluka. Ia mengangkat kepalanya dan memandang ke arah ketiga temannya. Lalu mulutnya terbuka.
“LARI!!”
Sandra dan Lisa memekik bersamaan saat sabit Albert seketika menembus leher Eric. Kepala Eric seketika terlepas dari tubuhnya dan menggelinding di lantai. Leher yang terpotong itu terlihat mengucurkan aliran darah yang begitu deras.
“LARI!!” teriak James.
Sandra dan Lisa berlari tanpa tahu arah. Mereka sadar bahwa mereka terjebak di dalam rumah itu dan mungkin tidak akan bisa menemukan jalan keluar.
James, yang sudah sepenuhnya penuh dengan luka, tidak dapat berlari secepat kedua teman gadisnya itu. Ia terseok-seok di belakang Sandra dan Lisa, dan berkali-kali nyaris terjatuh.
“TERUS LARI!!” ucap James. Ketiganya menyusuri sebuah koridor. Dan ketika mereka sampai di depan sebua pintu, tiba-tiba saja…
Sandra dan Lisa terpental ke arah lantai saat tubuh mereka menabrak sesuatu yang besar. Ketika mereka mengangkan kepala mereka, mereka menemukan sesosok pria besar telah berdiri di depan mereka. Sosok itu…, adalah tuan rumah.
“Kelinci-kelinci kecil…” gumam pria besar itu. Wajahnya yang tertutup oleh bayangan kemudian nampak di hadapan Sandra dan Lisa. Keduanya nyaris muntah saat melihat wajah dari pria bsar itu.
Wajah itu dipenuhi dengan jahitan, dengan sebelah mata terlihat kosong, meninggalkan sebuah rongga hitam. Gig-gigi kuning dan kotor menyeringai ke arah mereka.
“Selamat tinggal!” ucap pria besar itu seraya mengangkat sebuah tangkai besi runcing, yang seketika menembus dada Lisa.
“TIDAK!!!” Sandra menjerit saat melihat tubuh temannya itu terkulai ke atas lantai dengan darah mengucur dari dadanya yang tertusuk oleh tombak besi itu.
Sandra berdiri kembali, lalu berusaha untuk berlari ke arah lain. Ia terseok-seok saat kekuatan di kakinya seolah menghilang. Ia menyusuri koridor, sambil sesekali menjatuhkan vas-vas bunga untuk menghadang pria besar itu yang bergerak mengejarnya.
Sandra mendengar kembali sebuah teriakan. Teriakan James, yang mungkin juga sudah celaka oleh keuda pria gila rumah itu. Sandra menjerit dalam hatinya. Kedua bola matanya mengalirkan air mata tanpa dapat dibendung. Ia bingung, tidak tahu kemana ia akan pergi.
“Ayo! Kemari kelinci kecil!”
Jantung Sandra semakin berdegup kencang saat pria besar itu sudah berada di belakangnya lagi. Ia bergerak bersama Albert, si pria gila itu. Keduanya memojokkan Sandra yang sudah kehabisan tempat untuk berlari.
“Kumohon!” ucap Sandra dengan nada bergetar. Kekuatan kedua kakinya telah menghilang, dan ia terpuruk diatas lantai. Ia bersandar pada dinding di belakangnya.
“Akan lebih mudah jika kau berhenti berlari.” Ucap pria besar itu dengan seringai lebar di wajahnya yang penuh jahitan. Gigi kuningnya itu sekali lagi nampak di depan mata Sandra.
“Kenapa?” tanya Sandra. “Kenapa kau melakukan ini?”
“Kalian sudah terkutuk saat kalian memasuki pekarangan rumah ini.” Ucap pria besar itu. “Red manor. Atau aku biasa menyebutnya blood manor. Karena apa yang aku lakukan selalu berhubungan dengan darah.”
“Kenapa?” tanya Sandra lagi. Air mata terus mengucur dari kedua bola matanya.
“Aku lapar.” Ucap pria besar itu. “Dan teman-temanmu rasanya bisa kujadikan sarapan besok pagi.”
Sandra semakin mual memikirkan hal itu. Jadi kedua pria yang ada di depannya itu kanibal?
“Kau suka dengan makan malam yang kau dapat dari kami?” tanya pria itu lagi sambil menyeringai.
Sandra seketika sadar dengan apa yang sebenarnya ia makan saat makam malam tadi. Daging yang terasa alot itu, tentu saja daging…
“Kau mau mengucapkan kata terakhir?” pria besar itu terus menyeringai. Sedetik berikutnya ia mengangkat tombak besinya, dan Sandra sudah pasrah dengan apa yang terjadi. Tidak akan ada lagi yang dapat ia lakukan. Ini adalah akhir bagi kehidupannya. Tapi…
PRANG!!
Pria besar itu mengerang saat sebuah vas mengenai kepalanya. Darah seketika mengucur dari kepalanya yang terluka.
James berdiri di ujung koridor sambil membawa vas lainnya. Yang segera saja ia lemparkan, dan mengenai kepala pelayan tua itu. Pelayan itu langsung ambruk ke lantai. Si pria besar terlihat geram. Namun sebelum ia dapat melakukan sesuatu, James sudah menerjang ke arahnya.
“SANDRA, LARI!!”
Pergulatan yang James lakukan dengan pria besar itu memberikan satu celah bagi Sandra untuk berlari. Ia bergerak menyusuri koridor, lalu ia melihat ada sebuah jendela di ujungnya. Ia kemudian meraih sebuah patung dari salah rak, yang segera ia gunakan untuk memecahkan kaca jendela. Dalam sedetik, ia telah keluar dari rumah mematikan itu.
Teriakan James menjadi suara terakhir yang ia dengar sebelum ia menggerakkan kakinya, berlari menjauhi rumah besar itu. Dengan air mata masih mengalir, Sandra hanya dapat memikirkan kembali soal kematian tragis ketiga temannya. Tidak. Tidak ada lagi yang dapat ia lakukan.
Tubuhnya terasa begitu lemah saat ia mencapai jalan raya. Hujan masih mengguyur dengan deras, dan ia tidak tahu kemana akan pergi.
Pandangan matanya tiba-tiba saja menjadi kabur. Suara-suara jeritan dari ketiga temannya terdengar dengan jelas di dalam kepalanya. Sandra mengerang. Apakah ia mulai gila karena pengaruh kejadian mengerikan yang baru saja terjadi? Pada akhirnya, ia kehilangan kekuatan tubuhnya. Dan ia pun terpuruk tak sadarkan diri.

**

Sebuah cahaya terang rasanya begitu menyakitkan bagi kedua mata Sandra yang baru saja terbuka. Ia baru saja pingsan. Dan dimana ia sekarang? Apakah ada yang menyelamatkannya?
“Bangun!” ucap sebuah suara yang begitu familiar. Suara yang dalam, dan serak. Suara itu…, Sandra merasakan jantungnya melompat lagi. Dan ketika ia mengangkat wajahnya, ia dapat melihat tubuh ketiga temannya tergantung pada kait daging di dinding, dengan darah berceceran dimana-mana. Dan suara serak itu terdengar lagi, di telinganya.
“Selamat datang kembali, kelinci kecil.” Ucap pria besar yang telah berdiri di sisinya. Pria itu menyeringai, seraya mengangkat sebuah pisau belati ke arah wajah Sandra.
“Selamat tinggal!”
Jeritan Sandra tidak dapat di dengar di dalam rumah besar itu.
Red Manor, menjadi sebuah mitos tersendiri yang kini suah tersebar ke seluruh Sherland. Banyak yang tidak percaya dengan cerita soal kanibal yang hidup di tengah hutan itu. Banyak yang mencoba untuk membuktikan kebenarannya. Dan hasilnya hanya ada satu. Mereka tidak pernah kembali lagi dari Red Manor.

****