Thursday, October 19, 2017

THE GHOSTLY PRANK



Olivia menggelengkan kepalanya. Ia heran dengan tingkah tiga teman wanitanya itu, yang setiap kali selalu melakukan kejahilan di sekolah tempatnya bersekolah. Baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Ia sudah meminta ketiga temannya itu untuk berhenti dari ulah usil mereka, namun usahanya sepertinya sia-sia saja.
Beth, Mary, dan Emily adalah tiga teman Olivia itu. Sudah banyak yang mengatakan bahwa ketiga gadis itu adalah gadis paling jahil di sekolah. Mereka sering melakukan hal-hal gila yang diluar nalar terhadap teman satu sekolah mereka. Dan Olivia, yang masih berteman dengan tiga temannya itu, selalu menerima upah dari kejahilan ketiga temannya itu.
“Sudahlah! Kenapa kalian tidak bisa diam untuk sesaat?” ucap Olivia saat makan siang bersama Beth, Mary, dan Emily. Ia tidak menyangka ketiga temannya itu berencana untuk melakukan hal usil lainnya.
“Ingat seminggu yang lalu?” ucap Olivia. “Ny. Marble hampir menelanku hidup-hidup saat kalian melakukan kejahilan pada Tanya. Kalian menaruh permen karet di kursinya, ‘kan?”
“Oh, itu lucu sekali.” Sahut Beth. “Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya? Tanya marah, tentu saja. Tapi dia tidak tahu bahwa kita yang menaruh permen karet di bangkunya.”
“Bukan ‘kita’ tapi ‘kalian’.” Ucap Olivia cepat. “Aku tidak pernah memberikan anggukan kepala untuk setiap kejahilan yang kalian lakukan. Dan aku tidak mau ikut bertanggung jawab atas apa yang terjadi, kalian tahu?”
“Ayolah, Olivia!” ucap Mary. “Ini menyenangkan. Bayangkan wajah-wajah tidak beruntung itu! Segala kemarahan mereka, dan segala yang terjadi setelah kita melakukan keusilan itu. Sungguh luar biasa!”
“Ya, Olivia.” Sahut Emily. “Kenapa kau tidak ikut rencana kami sekali-kali? Kurasa akan menyenangkan, dan bisa menjadi bahan pembicaraan setiap hari.”
“Tidak, dan tidak.” Jawab Olivia dengan ketegasan dalam ucapannya. “Apa yang kalian lakukan telah kelewatan. Mungkin, bisa saja kalian akan dikeluarkan dari sekolah ini jika kalian sampai ketahuan melakukan kejahilan-kejahilan itu.”
“Tenang saja!” ucap Beth. “Kami tidak akan ketahuan.”
Olivia hanya dapat mendesah pasrah. Ia tidak tahu kenapa dulu ia bisa berkenalan dengan ketiga temannya itu. Jika dipikir-pikir, ia dulu adalah salah stau korban dari tiga teman usilnya itu. Dan entah kenapa ia tidak melaporkan kejadian itu pada kepala sekolah. Kini ia menyesali kesalahannya itu.
“Hei, lihat siapa yang datang!” ucap Beth. Kepala Olivia dan ketiga temannya langsung terarah pada seorang gadis yang baru saja masuk ke dalam kantin.
Gadis itu adalah Chloe. Seorang murid baru yang memiliki kepribadian tertutup. Hingga detik ini, Chloe belum juga memiliki satupun teman yang bisa diajak untuk makan siang bersama. Kasihan gadis itu. Olivia sebenarnya ingin memperkenalkan dirinya namun ketiga temannya itu selalu menghadangnya.
“Jangan berpikir macam-macam soal gadis itu!” ucap Olivia cepat. Namun ketiga temannya itu hanya mencibir.
“Kenapa? Sepertinya akan menyenangkan bisa sedikit usil pada gadis yang pemalu itu. Kita sama sekali tidka mengenalnya.”
“Karena itulah…”
“Diam, Olivia!” ucap Mary. “Kalau kau tidak mau melakukannya, biar kami saja. Kau tidak usah ikut campur.”
“Tapi kasihan Chloe.” Ucap Olivia. “Ia anak baru di sekolah ini dan membutuhkan teman. Tidak selayaknya kalian melakukan kejahilan padanya.”
“Tentu saja layak.” Sahut Emily. “Anggap saja kejahilan kami adalah salah satu kata sambutan untuk menyambutnya sebagai murid di sekolah ini. Dan…, oh! Pasti akan sangat memuaskan bisa melihatnya menangis.”
“Kalian benar-benar…”
“Aku sebenarnya sudah punya satu ide untuk ‘bermain-main’ dengan gadis itu.” Ucap Beth. “Sesuatu yang akan sangat memuaskan.”
“Apa yang kau rencanakan?” tanya Emily cepat.
“Aku tahu bahwa kini Chloe sepertinya jatuh cinta pada kapten kesebelasan kita, Troy.”
“Oh, ya?”
“Aku punya satu ide yang cemerlang.”
“Ceritakan pada kami!” pinta Mary. Namun Beth melirik ke arah Olivia dengan satu senyum nakal.
“Mungkin jika Olivia tidak ada di sekitar kita.”
Olivia merasa penasaran dengan apa yang ketiga temannya itu rencanakan. Namun bagaimana juga, ia tidak bisa mengetahui apa yang ketiga temannya itu rencanakan. Dan ia merasa khawatir dengan Chloe. Bagaimana jika sampai hal buruk terjadi pada gadis itu?

**

Chloe Bennet sudah tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi keseharian di sekolahnya yang baru itu. Ia selalu malu untuk berkenalan dengan teman baru. Dan hingga detik ini, dua bulan setelah kepindahannya, ia belum juga mendapatkan satu teman.
Mungkin ada satu orang yang sudah bersikap baik padanya. Nama gadis itu adalah Olivia. Namun Chloe merasa ragu untuk berteman dengan Olivia sebab Olivia juga adalah anggota geng dari kelompok gadis nakal di sekolah itu.
Namun sejauh dari apa yang sudah ia alami, Olivia sepertinya tidak seperti ketiga temannya itu. Beberapa hari yang lalu saat buku yang ia bawa jatuh, Olivia rela membantunya. Ia ingin sekali sebenarnya untuk berteman dengan Olivia. Namun Olivia sepertinya lebih memilih ketiga temannya itu daripadanya. Memangnya siapa dia ingin berteman dengan salah satu gadis populer di sekolah itu?
Chloe menjalani hari-harinya seperti biasa. Mengikuti kelas, makan di kantin sendirian, dan mengikuti kelas lagi.Ia harus memfokuskan dirinya pada pelajaran sekolah yang ia terima, dan tidak usah peduli lagi pada adanya teman. Tidak masalah baginya memiliki teman atau tidak. Yang penting ia bisa bertahan dengan nilai-nilai bagusnya, hal itu rasanya sudah cukup.
Mungkin memang ada satu hal lagi yang membuatnya betah berada di sekolah itu disaat ia tidak memiliki teman. Saat pertama kali ia masuk di sekolah itu, ia bertemu dengan lelaki tampan yang membuat hatinya berdesir. Ia ketahui beberapa hari kemudian bahwa lelaki itu ternyata adalah kapten dari tim kesebelasan sekolah itu, yang bernama Troy. Chloe tidak bisa berbat apapun selain menjadi penggemar rahasia dari lelaki itu. Lelaki yang menurutnya cukup sempurna di matanya.
Mungkin memang akan menjadi sebuah harapan yang terlalu tinggi bagi dirinya yang kutu buku, untuk bisa berkenalan dengan lelaki populer seperti Troy. Namun suatu kejadian tak terduga terjadi kemarin. Ia secara tak sengaja bertabrakan dengan Troy saat ada di perpustakaan. Dan Troy tersenyum manis padanya. Bukankah hal itu menjadi sebuah impian yang jadi kenyataan?
Troy sedikit bertanya-tanya tentang dirinya beberapa saat kemudian. Yang ia akui memang menjadi sebuah situasi yang terlalu menekan baginya. Ia bahkan tidak sadar apakah saat itu ia bernafas atau tidak. Bisa berkenalan dengan Troy adalah sebuah anugerah yang sulit untuk terjadi. Namun sudah terjadi.
Nama Troy menjadi semacam racun di dalam kepalanya. Ia tidak bisa berkonsentrasi dengan apa yang diajarkan oleh guru di depan kelas karena terlalu sibuk memikirkan wajah Troy. Oh…, Troy. Chloe benar-benar jatuh cinta pada pemain sepak bola itu.
Hal yang sama sekali tak terduga olehnya terjadi di kemudian hari. Seseorang tiba-tiba saja mendekat ke arahnya dan menyerahkan sepucuk surat untuknya.
“Untukku?” tanya Chloe dengan sikap tidak percaya. Gadis di depannya itu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Dari siapa?” tanya Chloe. Karena ia tidak memiliki satupun teman di sekolah itu, rasanya aneh menerima sepucuk surat secara tiba-tiba.
“Kau akan tahu.” Ucap gadis itu kepadanya. “Mungkin kau bisa pingsan ketika membacanya.”
Chloe cepat-cepat segera menyobek amplop putih dari surat itu begitu sang pengantar surat sudah pergi. Dan ketika ia membaca sebuah nama di akhir surat singkat itu, ia benar-benar nyaris mau pingsan.
Troy!
Surat itu adalah surat dari Troy, yang menginginkan berkenalan dengan dirnya lebih dalam. Surat itu berbunyi begitu manis, semanis senyuman Troy saat itu.
“Aku selalu memikirkanmu sejak pertemuan kita saat itu. Aku ingin mengenalmu lebih dalam, Chloe. Jika kau tak keberatan, temui aku di kantin sekolah saat pelajaran jam keempat.”
Chloe bisa saja melonjak-lonjak kegirangan saat itu. Namun ia bukanlah tipe gadis yang bisa dengan bebas berekspresi. Sebagai gantinya, ia rasanya mau menangis.
Selama sisa pelajaran ia tak bisa menahan pikirannya yang terus terarah pada Troy. Surat itu benar-benar membuat dirinya berubah secara seketika. Ia bahkan masih tidak mempercayainya. Apakah surat itu benar-benar Troy yang menulis? Dia tidak mau tahu. Yang penting, ia akan segera bertemu dengan pujaan hatinya itu.
Bel tanda pelajaran keempat berbunyi. Jantung Chloe berdetak tidak karuan karena saat inilah Troy tengah menunggunya di kantin. Ia hanya mengikuti pelajaran itu selama beberapa menit, sebelum akhirnya ia ijin untuk ke toilet. Namun begitu keluar dari kelas, ia segera saja berlari ke arah kantin.
Chloe sedikit kaget bahwasanya tidak ada siapapun di kantin itu. Kantin terlihat kosong, dan hanya ada Ny. Tames yang menjaga kantin. Chloe mulai berpikir, mungkin ada yang jahil dengan dirinya dengan cara mengirim surat itu. Akan tetapi, sebelum ia bergerak pergi meninggalkan kantin, Ny. Tames tiba-tiba saja memanggilnya.
“Ada sepucuk surat darimu.” Ucap wanita gemuk itu. Jantung Chloe melonjak lagi. akankah dari Troy lagi? Chloe dengan cepat membuka surat itu. Yang berbunyi,
“Maaf aku tidak bisa menemuimu saat ini. Ada kelas yang tidak bisa kutinggalkan. Kita bertemu saja saat sekolah bubar. Temui aku di depan ruang perawatan lantai tiga.”
Chloe dapat bernafas lega. Kenyataan bahwa Troy tidak melupakan janjinya membuat Chloe merasa lebih nyaman daripada memikirkan bahwa surat itu hanyalah surat keusilan. Ia pun kembali ke kelasnya sedetik kemudian.
Selama sisa pelajaran hari itu Chloe tidak sabar untuk segera keluar dari kelasnya. Dan ketika bel pelajaran terakhir berbunyi, Chloe rasanya ingin melonjak lagi. Dengan cepat ia masukkan semua buku kembali ke dalam tasnya, lalu berlari keluar. Ia tidak peduli lagi dengan tatapan-tatapan aneh yang terarah padanya. Ia akan bertemu dengan Troy.
Ruang perawatan lantai tiga. Chloe segera saja mengarahkan kakinya kesana. Dan begitu ia sampai di tempat itu, ia lagi-lagi tidak menemukan Troy.
“Mungkin Troy belum datang.” Ucap Chloe pada dirinya sendiri. Dengan sabar ia menunggu di depan ruang perawatan itu, cukup lama, hingga koridor benar-beanr kosong telah ditinggalkan oleh semua orang. Jantung Chloe berdetak cepat lagi.
“Apakah Tory lupa akan janjinya?” tanya Chloe dalam hati. Namun sedetik kemudian pintu ruang perawatan terbuka, dan seorang gadis berambut pirang bergerak keluar dari ruangan itu. Chloe tahu gadis itu bernama Beth, yang juga pernah sekelas dengannya.
“Oh, hai Chloe!” sapa Beth. “Kau pasti sedang menunggu Troy, ‘kan?”
“Bagaimana kau tahu?” tanya Chloe cepat.
“Tenang saja! Rahasia kalian aman bersamaku.” Ucap Beth. “Sebenarnya aku tadi bertemu dengan Troy, dan ia memintamu untuk menunggu di dalam ruangan ini.”
“Benarkah?” Chloe tidak begitu percaya. Namun Beth terlihat benar-benar serius dengan apa yang ia ucapkan.
“Masuklah! Troy akan datang sebentar lagi.”
Chloe pun pada akhirnya bergerak dengan keraguan memasuki ruangan yang gelap dan pengap itu. Di dalam hatinya ia bertanya-tanya, apakah mungkin Troy mau menemuinya di tempat mengerikan semacam itu. Namun sebelum ia dapat menemukan jawaban di kepalanya, seketika ia mendengar satu tawa di belakangnya. Dan…
BRAK!
Pintu ruangan itu tertutup seketika. Beth mengarah ke pintu, mencoba untuk membukanya kembali namun sia-sia saja. Ia kemudian mendengar suara kunci diputar dari luar.
“Beth! Beth apa yang kau lakukan? Keluarkanaku!” teriak Chloe. Namun tawa Beth belum juga menghilang.
“Kau terlalu naif, Chloe.” Ucap Beth. “Pria setampan Troy tidak mungkin akan jatuh hati padamu, dasar pecundang!”
“BETH! KUMOHON!!”
Tawa Beth terdengar menjauh beberapa detik kemudian. Dan Chloe kini menyadari kebodohannya. Kenapa ia percaya begitu saja pada semua hal yang terjadi padanya hari itu? Ya. tidak mungkin Troy akan…
Tapi bukan itu masalah yang ia hadapi sekarang. Pertanyaannya, bagaimana ia akan keluar dari ruangan yang gelap dan penuh sarang laba-lana itu. Chloe seketika merasakan kepanikan saat ia merasa dinding-dinding ruangan itu mulai menyempit.
Chloe memutar tubuhnya, dan memandang ke arah sesisi ruang perawatan yang dipenuhi dengan berbagai maca barang perawatan. Kegelapan yang ada di dalam tempat itu seolah menusuk jantungnya. Ia seketika merasakan sulit untuk bernafas. Dan ketika ia akan melangkah di dalam kegelapan, tiba-tiba saja…
BRUK!! BRAKK!!
Ia tersandung sebuah pel, dan jatuh terjerembab ke tanah. Barang-barang yang ada di tempat itu seketika jatuh, dan ada sebuah benda keras yang menghantam kepalanya.
Chloe mengerang, dan merasakan kepalanya begitu sakit dan terasa begitu berat. Pandangannya kabur seketika, dan ia pusing berkunang-kunang. Ia tidak dapat menegakkan dirinya lagi. Dan kemudian, ia masuk ke dalam alam bawah sadarnya.

**

Chloe masih merasakan kepalanya begitu sakit saat ia tersadar beberapa jam kemudian. Ia sudah tidak tahu lagi waktu. Dan ketika ia akan membuka kedua matanya, pandangannya berputar tak karuan. Ia harus bangkit ke posisi duduk terlebih dahulu sambil mengusap-usap kepalanya yang kejatuhan benda berat itu tadi. Lambat laun, ia mulai mendapatkan kekuatan untuk melihat lagi. Akan tetapi, masalah yang ia hadapi tetap sama. Ia terkunci di dalam ruang perawatan itu. Bagaimana ia akan keluar?
Chloe melirik ke arah jendela kecil yang ada di ujung ruangan. Dari sana ia dapat melihat bahwa hari sudah gelap. Mungkin sudah malam diluar, dan Chloe semakin sadar bahwa ia ada dalam masalah yang cukup besar. Ia benar-benar tidak mengira Beth akan tega menguncinya di dalam ruangan yang kotor itu.
Dalam keadaan yangbegitu gelap, Chloe tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia mencoba untuk meraba-raba di dalam kegelapan, mungkin dengan begitu ia bisa menemukan jalan keluar. Tapi tangannya hanya menemukan beberapa pel tua dan sapu, juga beberapa ember. Ia kemudian berdiri, dan mulai bergerak ke satu sisi. Hingga akhirnya ia mentok menabrak dinding.
Ia kemudian menyusuri dinding tersebut. Beberapa kali ia nyaris tersandung oleh beberapa peralatan kebersihan tua yang ada di ruangan itu. Namun pada akhirnya, ia menemukan kenop pintu. Ia coba putar kenob pintu itu, dan…
Berhasil! Pintu itu terbuka dan tidak terkunci. Namun keadaannya tetap saja menyebalkan. Chloe sadar bahwa ia kini berada di sekolahan saat malam hari, dan sendirian. Suara berkeriak dari pintu ruangan itu yang terbuka membuat merinding seketika.
Chloe baru saja akan keluar dari ruangan itu saat tiba-tiba saja ia mendengar suara berkelotak di belakangnya. Jauh di dalam ruang perawatan itu. Chloe menoleh ke arah kegelapan yang ada di dalam, dan suara berkelotek itu masih terdengar.
Chloe yang merasa penasaran segera saja bergerak masuk kembali ke arah ruang perawatan itu dan mengarah pada sumber suara. Datangnya dari sebuah peti kecil yang terletak diantara benda-benda lain. Ia lihat dalam keremangan cahaya, kotak itu bergetar. Apa yang mungkin ada di dalam? Tikus? Meski Chloe merasa enggan untuk membuka kotak itu, namun ia tidak dapat menghentikan langkahnya. Dan setelah ia sadari kemudian, ia sudah berjongkok di dekat peti kecil itu.
Peti itu masih bergetar saat Chloe berada dekat dengannya. Dan ada yang aneh lagi. Ia seperti melihat cahaya berpendar dari dalam peti itu. Chloe yang merasa penasaran seketika mengarahkan tangannya pada peti kecil itu, lalu dengan cepat membukanya. Dan…
“AAAHHHHH!!!”
Chloe menjerit dan membanting tubuhnya ke lantai saat benda di dalam peti itu melompat ke udara. Sebuah tengkorak yang berlumuran darah melayang di udara, dengan cahaya menyorot dari dalam dua rongga mata tengkoran itu. Chloe yang tidak menduga hal itu akan terjadi langsung saja bangkit berdiri dan berlari keluar dari ruangan itu. Ia berlari tanpa tahu arah di koridor yang gelap dan kosong. Ia baru berhenti ketika ia sampai di puncak tangga.
Nafasnya tersengal. Ia masih tidak dapat mempercayai apa yang baru saja ia lihat. Tengkoran berdarah? Apakah ia tidak salah lihat? Ia begitu yakin bahwa yang baru saja ia lihat adalah tengkoran manusia. Namun pertanyaannya, kenapa ada tengkorak manusia di dalam ruang penyimpanan?
Chloe tidak habis pikir. Ketika ia sadari kemudian, ia telah berada di koridor gelap yang begitu sunyi. Ruangan-ruangan kelas kosong berderet di sepanjang koridor lantai tiga itu. Dan keadaannya benar-benar sunyi. Saking sunyinya, Chloe bahkan dapat mendengar suara jantungnya sendiri.
Chloe bergidik ngeri ketika ia membayangkan kembali rupa tengkorak yang melayang tadi. Apakah hal itu normal untuk dilihat? Apakah sekolahan itu berhantu? Sebelum pertanyaannya itu terjawab, ada satu hal aneh lagi yang terjadi di koridor itu yang membuat bulu kuduk Chloe kembali meremang. Ia mendengar sebuah bisikan suara.
“Kemari…., kemari kelinci kecil….”
Chloe menolehkan kepalanya ke kanan dan kekiri, mencoba mencari sumber dari suara itu. Namun ia saat ini tengah berada di koridor yang kosong, tanpa satupun orang kecuali dirinya. Siapa yang memiliki kemungkinan untuk berbisik?
Tidak ada. Itulah yang membuat Chloe semakin merasa merinding dengan suasana yang ia hadapi. Ia melirik ke arah ujung koridor yang gelap, dan ia seperti melihat sebuah bayangan raksasa yang dengan perlahan mendekat. Chloe bergidik, mencoba menghilangkan suara-suara yang ia dengar itu. Namun suara itu masih terdengar dengan begitu jelas.
“Kemari, sayang….., kelinci kecil…, kemari….”
Bayangan yang Chloe lihat di ujung koridor itu menjadi semakin besar dan dekat. Chloe yang meraskan jantungnya berdetak kencang langsung saja bergerak meninggalkan tempatnya berdiri. Ia bergerak cepat menuruni tangga menuju lantai dua. Namun ketika ia tiba di depan pintu yang menghubungkan tangga dengan lantai dua, ia terpeleset dan jatuh ke lantai dengan keras.
Chloe mungkin akan merasakan sakit yang luar biasa saat ia jatuh ke arah pinggangnya. Namun ternyata bukan hal itu yang menjadi fokusnya saat ini. Ia lebih fokus pada apa yang membuatnya terpelet. Ia terpeleset cairan kental yang menggenang di lantai. Chloe telah berlumuran cairan itu, yang baunya sedikit aneh. Seperti bau…
Darah?
Chloe mengangkat tangannya ke arah cahaya bulan yang masuk melalui jendela. Dan saat itulah ia melihat dengan jelas cairan apa yang ada di tangannya itu. Cairan lengket, berwarna gelap. Darah.
“Tidak! Tidak! Tidak!”
Chloe seketika bangkit berdiri dari genangan darah itu. Namun seketika kakinya menyandung sesuatu di lantai. Sebuah benda kecil, yang juga berlumuran dengan darah. Chloe mengambilnya, dan…
“TIDAK!!!!”
Chloe seketika melemparkan potongan tangan seseorang itu ke arah lantai dan berlari lagi. Suara bisikan itu juga terdengar lagi saat ia bergerak menyusuri koridor lantai dua. Dan bayangan hitam yang ada di ujung koridor itu juga nampak lagi.
“TIDAK!!” Jerit Chloe. Ia terus berlari, hingga akhirnya ia sampai di ujng koridor yang buntu. Ia membalik tubuhnya, dan hanya dapat bersandar pada kaca jendela. Nafasnya memburu, dan jantungnya berdetak cukup kencang. Ia masih sulit untuk mempercayai apa saja yang ia lihat malam itu. Suara aneh, bayangan di ujung koridor, suara berbisik, lalu juga potongan tangan manusia? Apakah ia sudah gila? Atau memang sekolahan itu berhantu?
“Jangan lari, kelinci kecil….” Suara bisikan itu terdengar lagi. “Kemari…, jangan lari…”
Chloe tidak dapat menahan tubuhnya untuk tidak bergetar. Ia lihat bayangan di ujung koridor itu bergerak semakin dekat dengannya. Chloe sudah merasa putus asa dan mungkin lebih memilih untuk mati daripada harus menjadi korban dari keanehan di sekolah itu. Ia bahkan ingin menangis.
“Tidak, kumohon!” ucapnya lirih.
“Halo…” suara itu berasal dari arah belakangnya. Tapi bagian belakangnya hanya ada jendela. Apa yang mungkin bisa menciptakan suara itu? Chloe memutar tubuhnya, kemudian…
“AAAAHHHHHH!!! TIDAK!!!”
Sesosok wanita dalam pakaian putih dengan wajah membusuk terlihat berada di luar jendela, menatapnya dengan tatapan menyala seperti api. Wajah itu menyeringai ke arahnya, menunjukkan sederet gigi kuning yang kotor. Chloe menjerit sekuat yang ia mampu.
Ia berlari lagi, mencoba mengarah ke tangga. Namun tiba-tiba saja sebuah pintu yang tak jauh darinya terbuka, dan munculah sesosok pria kurus tinggi dengan wajah aneh memanang ke arahnya.
“TIDAK! KUMOHON!” Jerit Chloe. Pria kurus itu bergerak ke arahnya. Perlahan, seperti mayat hidup.
“Tidak, kumohon!!” rintih Chloe. Chloe nyaris saja kehilangan kekuatan kakinya untuk berdiri. Namun ia masih memaksa dirinya untuk berlari meninggalkan hal-hal aneh yang mengejarnya itu. Kini ia yakin betul bahwa sekolahan itu memang benar-benar berhantu.
Chloe dengan cepat menuruni tangga yang menuju ke lantai satu. Ia sempat berhenti di anak tangga terbawah, dan mendongak ke atas. Ia lihat pria tua kurus itu mulai bergerak menuruni tangga.
Chloe berlari lagi. Ia kini sudah berada di lantai satu. Dan tujuan utamanya adalah pintu keluar yang berada di depan. Ia berlari hingga akhirnya mencapai pintu ganda besar itu. Akan tetapi…
Terkunci! Tentu saja. Penjaga sekolah pasti sudah mengunci pintu itu sejak beberapa jam yang lalu. Lalu apa yang akan ia lakukan? Chloe bergidik lagi saat suara bisikan itu terdengar lagi membahana di sepanjang koridor.
“Chloe…, jangan lari…”
“Tidak!” rintih Chloe. Air mata kini sudah benar-benar keluar dari rongga matanya. Chloe sudah kehabisan tenaga untuk terus berlari.
Pandangan matanya itu terarah pada pintu yang menghubungkan dengan tangga. Dan ia lihat sosok pria kurus itu muncul kembali. Hal itu membuat Chloe memutuskan untuk berlari lagi. Namun ia sudah tidak tahu harus berlari kemana. Satu-satunya ruangan yang tidak terkunci adalah ruang biologi.
Ia memasuki ruangan itu, dengan suara-suara bisikan itu masih terdengar di sepanjang koridor. Chloe sudah kehabisan akal. Yang dapat ia lakukan kini hanyalah bersembunyi. Jika saja hal itu bisa membantunya menghadapi makhluk-makhluk aneh yang mendatanginya.
“Chloe…” Ia dapat mendengar suaranya dipanggil dari luar. Oleh makhluk itu. Oleh apapun yang saat ini sedang mengejarnya.
“Chloe…, Chloe…, Chloe…”
Chloe merunduk di ujung ruangan sambil menutup telinganya dengan kedua tangan. Ia sudah tidak tahan lagi dengan semua ketakutan yang ia rasakan. Tubuhnya bergetar hebat, dan air matanya mengalir dengan deras. Ia tidak mau lagi hidup. Dan sedetik kemudian ia mendengar pintu ruangan biologi itu terbuka, dan ada langkah-langkah kaki memasuki ruangan. Pria kurus itu…
“Tidak! Tidak! Jangan mendekat! Kumohon!”
Chloe memejamkan matanya, dan berharap agar apapun yang mendatanginya itu pergi. Akan tetapi langkah kaki iu semakin mendekatinya. Lebih dekat…, dan dekat lagi…
“Kumohoh, pergi!” rintih Chloe. Tubuhnya bergetar, dengan kedua tangan menutup telinganya. Dan sedetik kemudian, ia merasakan ada tangan dingin yang menyentuhnya. Chloe menjerit seketika.
“TIDAK!!!!”

**

Jeritan Chloe membahana. Mungkin akan terdengar hingga luar sekolahan itu. Chloe sudah benar-benar ada di ujung tanduk. Tangan itu masih mencengkeramnya.
“TIDAK!!”
“Chloe! Chloe! Buka matamu!”
Chloe seketika menghentikan jeritannya. Dan ia bertanya-tanya, apakah yang ia dengar nyata? Ia seperti mendengar suara seorang gadis di depannya. Ketika ia membuka matanya secara perlahan, sesosok gadis seusianya telah berdiri di depannya.
Olivia.
Chloe masih bergetar hebat. Dan ia masih tidak memeprcayai Olivia berdiri di depannya, dan bukan sosok pria tua itu. Apa yang terjadi?
“Chloe, tenang, oke?” ucap Olivia. Chloe masih merasa begitu ketakutan, ia tidak dapat berbicara.
Langkah-langkah lain tiba-tiba saja muncul dari arah belakang Olivia. Dan sosok seorang pemuda muncul di hadapan Chloe. Sosok pemuda yang selama ini selalu Chloe idam-idamkan.
“Troy!” ucap Chloe tanpada sadar. Perasaan hangat seketika menjalar ke sekujur tubuhnya, meski ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Olivia.
“Ap-apa yang terjadi?” ucap Chloe dengan gugup. “Makhluk itu…, suara-suara itu, hantu di jendela, dan darah….”
“Tenang, Chloe! Tidak ada apa-apa.” Ucap Olivia. “Semua ini hanya keusilan Beth dan kawan-kawannya.”
“Apa?!” Chloe mengernyitkan keningnya masih tidak mengerti.
“Semua hantu dan apapun yang kau dengar itu hanyalah  properti yang sudah mereka persiapkan.” Ucap Olivia menjelaskan. “Tidak ada hantu, atau sosok apapun di sekolah ini. Kau aman, Chloe. Dan apa yang ada di tubuhmu, itu bukan darah asli.”
Chloe memandangi kedua lengannya yang berlumuran dengan cairan itu. Kini dengan adanya cahaya dari senter yang Olivia pegang, ia dapat melihat bahwa apa yang ada di tangannya hanyalah cairan berwarna coklat.
“Tapi…” Chloe masih tidak mempercayai apa saja yang baru saja ia lewati. Semua hal itu…
“Kau aman.” Ucap Olivia. Namun Chloe malah menegang seketika saat iamelihat ke arah belakang Olivia dan Troy. Sosok pria bertubuh kurus itu muncul lagi dan menatap ke arahnya.
“ITU!!” teriak Chloe seketika dengan menunjuk ke arah sosok tua itu.
“Tidak apa-apa.” Ucap Olivia. “Dia Tn. Vanders, penjaga sekolah ini. Dia membantuku mencarimu.”
“Kau sudah menjadi korban dari ketiga orang itu, Chloe.” Ucap Troy menambahkan. “Harus kuakui, ulah usil ini sudah keterlaluan.”
Chloe seketika merasakan satu kelegaan di dadanya. Jadi semua yang ia temui malam itu hanya bohongan? Dan ia menangis? Chloe sangat membenci dirinya sendiri.
“Sudahlah!” ucap Troy. “Sebaiknya kita pergi dari sini.”
Tn. Vanders mengantarkan ketiga pemuda itu keluar dari gedung sekolah. Harus mereka akui, bahwa sosok Tn. Vanders sebenarnya memang terlihat menyeramkan. Terutama saat pria tua itu diam dan hanya memandang. Olivia menganggap pria tua itu terlihat seperti zombie.
“Kau sudah tenang, ‘kan, Chloe?” tanya Olivia begitu mereka keluar dari gerbang sekolah. Malam sudah benar-benar larut.
“Terima kasih, Olivia.” Ucap Chloe. “Tapi kenapa kau tahu aku ada di dalam? Aku terkunci di ruang perawatan saat Beth…”
“Ya. Beth. Sialan itu.” Ucap Olivia. “Aku mendengar mereka mempunyai rencana untuk mengusili dirimu. Aku memiliki firasat. Dan aku mencoba mencarimu di rumah, tapi orang tuamu juga kelabakan saat kau belum juga pulang. Aku kemudian memaksa Beth untuk mengatakan apa yang ia lakukan. Dan begitulah. Aku pada akhirnya meminta bantuan Troy, untuk menemukanmu disini.”
“Terima kasih. Sekali lagi.” ucap Chloe. “Tapi makhluk-makhluk yang aku lihat tadi, dan suara-suara itu…”
“Hanya properti Halloween sekolah yang Beth gunakan untuk menakut-nakutimu.” Ucap Olivia. “Mereka memang sudah kelewatan. Mungkin aku akan melaporkan hal ini pada kepala sekolah.”
“Dan kenapa kau masih berteman dengan mereka, Olivia?” ucap Troy. “Tinggalkan mereka. Lebih baik menjadi teman Chloe. Sepertinya dia butuh teman, bukan begitu Chloe?”
Wajah Chloe merona merah saat Troy berbicara kepadanya. Dari hal-hal buruk yang terjadi malam itu, Chloe sepertinya juga menemukan kebahagiaannya. Troy datang menyelamatkannya.
“Terima kasih, Troy.” Ucap Chloe. Dan saat Troy tersenyum ke arahnya, jantung Chloe rasanya melelah. Dan segala ketakutannya malam itu menghilang seketika.
“Oke. Sekarang aku akan mengantarmu pulang.”

**
Rencana Beth untuk menakut-nakuti Chloe sebenarnya berhasil dengan cemerlang. Lalu kenapa gadis itu malah bersungut-sungut? Jawabannya ada di depan mata saat mereka makan siang keesokan harinya.
Karena kejadian semalam, Troy kini lebih dekat dengan Chloe. Kapten tampan dari kesebelasan tim sekolah itu terlihat makan siang berdua dengan Chloe. Hal itulah yang membuat Beth terlihat kusut siang itu. Ia sendiri sudah lama mengincar Troy. Tapi kini Troy malah jatuh ke tangan gadis baru itu.
“Kau tidak senang?” tanya Emily sambil terkikik geli. “Kurasa itulah ganjaran yang kau dapat atas perbuatanmu, Beth.”
Olivia yang duduk di hadapan ketiga temannya itu juga tidak dapat manahan tawanya. Melihat kedekatan dari Troy dan Chloe, ia merasa begitu senang. Mungkin memang benar, Chloe belum memiliki banyak teman di sekolah itu. Namun Olivia percaya bahwa dalam waktu dekat, Chloe akan menjadi primadona di sekolah itu. Gadis yang cantik dan pintar. Bukankah itu yang menjadi sorotan di setiap sekolah?
“Urgh! Menyebalkan!” gerutu Beth. Ia telah kalak telak kali ini. Dan kekalahannya itu hanya menjadi bahan tertawaan Mary dan Emily.
“Lain kali jangan pernah usil.” Ucap Olivia. “Atau kau akan mendapatkan balasannya.”

****

Thursday, October 12, 2017

BEYOND DEATH



Kemerosotan dalam bidang ekonomi Sherland di tahun 1860 membuat setiap orang rela melakukan segala sesuatu hanya untuk sedikit uang. Jika ada pertanyaan, mana yang lebih penting? Uang atau cinta? Setiap orang yang ada di Sherland akan menjawab bahwa uanglah yang terpenting bagi mereka saat ini.
Kemerosotan dalam bidang ekonomi itu benar-benar membuat Sherland terpuruk. Ini adalah kasus kemerosotan yang sangat parah dalam sejarah berdirinya Sherland. Banyak pabrik yang memecat tenaga kerja karena mereka tidak bisa lagi menggaji para pekerja. Dan hal-hal kecil lainnya pun ikut mendapatkan dampak buruk dari kemerosotan ekonomi ini.
John Walker pun menjadi salah satu korban dari krisis yang terjadi di Sherland. Ia yang awalnya menjadi seorang pekerja di pabrik, kini harus rela menggeluti bidang pekerjaannya yang baru. Sebuah pekerjaan yang tidak begitu banyak diinginkan orang, dan juga sebuah pekerjaan yang membutuhkan saraf yang kuat. John Walker bekerja sebagai penjaga makam.
Tugasnya tentu saja bukan hanya menjaga makam, tetapi ia juga harus melakukan persiapan pada jenasah yang dikirimkan ke kantornya yang terletak tak begitu jauh dari pemakaman. Setiap hari ia bisa mendapatkan kiriman sepuluh peti mati berisi mayat. Mayat-mayat itu kebanyakan adalah mayat para gelandangan yang tidak bisa mencari pekerjaan, dan mati kelaparan. Pada awalnya John begitu enggan untuk berdekatan dengan mayat-mayat seperti itu. Namun setelah tiga bulan bekerja di tempat itu, ia mulai terbiasa.
John dengan temannya Jeff tengah mencoba memindahkan sebuah peti mati sore hari itu. Keduanya bekerja di ruang bawah tanah kantor pemakaman dimana di dalamnya terdapat tumpukan peti mati lain yang belum terisi. John dan Jeff mengangkat peti mati yang telah berisi mayat itu, dan meletakkan di sudut ruangan.
“Kapan orang ini akan dikubur?” tanya Jeff setelah berhasil meletakkan peti mati di sudut ruangan.
“Tn. Lowry, gelandangan, dulunya bekerja sebagai kondektur kereta api, dan harus mati kelaparan. Dia mati dua hari yang lalu.”
“Bukan itu yang kutanyakan.”
“Aku tahu.” Jawab John seraya menyeka keringat di dahinya. “Kukira kau akan tertarik dengan cerita latar belakang setiap mayat yang kita urus.”
“Aku sudah cukup bosan mendengarnya, kau tahu?” balas Jeff.
“Dia akan dikuburkan besok.” Ucap John. “Untuk sekarang, kurasa pekerjaan kita selesai. Ayo kembali naik!”
Sudah menjadi kebiasaan John dan temannya untuk tidur di kantor pemakaman hingga pekerjaan mengubur mereka selesai. Malam hari itu pun John dan Jeff memutuskan untuk tidur di lantai atas, tepat diatas ruang bawah tanah dimana mereka meletakkan tumpukan peti mati.
Keadaan langit di luar sudah cukup gelap saat John duduk di sebuah kursi sambil membaca koran hari itu. Sedikit hujan juga mulai turun dari langit. Cahaya temaram dari sebuah lentera menjadi satu-satunya sumber cahaya di dalam ruangan kecil itu. Jeff terlihat sudah tertidur di salah satu kursi.
Perhatian John terebut dari korannya saat ia mendengar ada suara ketukan di pintu depan kantor. John begerak cepat ke arah pintu dan membukanya. Dimana disana ia melihat ada seorang pria dalammantel hutan dan topi tinggi berdiri di tengah hujan. Di belakang pria itu terdapat sebuah kereta kuda.
“Ada yang bisa aku bantu, Tuan?” ucap John seraya membuka pintu depan terbuka lebar.
“Ada jenasah yang harus dikuburkan.” Jawab pria yang memakai mantel itu dengan sedikit suara seraknya. “Kau bisa membantu?”
“Tentu.” Jawab John. Ia kemudian meneriakkan nama Jeff. Jeff, dengan mata masih memerah, bergerak ke arah pintu depan.
“Siapa yang meninggal?” tanya John penasaran. Ia melihat peti mati itu berada di kereta kuda di belakang pria bermantel itu.
“Tuan Baker.” Jawab pria bermantel itu. “Ia terkena serangan jantung siang tadi. Dan kami berencana menguburkannya lusa. Untuk sementara, bisakah kalian mendandaninya terlebih dahulu?”
“Ya. Tentu saja, Tuan.” Jawab John. “Ayo Jeff!”
John dan Jeff segera saja mengarah ke kereta kuda yang terparkir tepat di depan kantor pemakaman itu.
John kini dapat melihat dengan jelas peti mati dari pria bernama Baker itu. Dari apa yang dapat ia nilai dari peti mati itu, pria bernama Baker itu mungkin adalah orang yang kaya. Peti mati itu terbuat dari kayu berukir dengan warna hitam mengkilat dan terlihat begitu kokoh. Sebuah peti mati yang hanya bisa dibeli oleh orang-orang kaya. Baker sepertinya adalah sosok yang penting. Namun John belum pernah mendengar soal pria bernama Baker itu.
“Kurasa hanya itu saja yang perlu aku lakukan.” Ucap pria bermante itu. “Tolong jaga mayatnya baik-baik!”
Pria bermantel itu segera saja mengarah kembali ke kereta kudanya, dan seketika melesat pergi. John dan Jeff masih berada di bawah siraman air hujan, dengan tangan mereka menggotong peti mati yang ternyata cukup berat dari biasanya.
“Kita taruh di bawah.” Ucap John. Ia dan Jeff bergerak menggotong peti itu melewati pintu samping yang mengarah langsung ke bawah tanah. Mereka kemudian meletakkan peti mati hitam itu di dekat peti mati Tn. Lowry.
“Ah! Kenapa berat sekali?” tanya Jeff. Ia dengan sedikit kesusahan berusaha untuk menggeser peti mati hitam itu lebih mendekat ke arah tumpukan peti mati lain.
“Kau pernah mendengar soal pria kaya ini? Tn. Baker?” tanya John. Jeff ternyata memberikan gelengan kepalanya.
“Untuk apa kita urusi?” balas Jeff. “Ayo naik lagi! Aku sudah mengantuk.”
John kembali menyibukkan dirinya dengan koran saat ia sampai di lantai atas lagi. Ia duduk di dekat jendela, sambil sesekali melirik ke arah luar jendela, melihat air hujan yang mengguyur semakin deras. Kota itu terlihat begitu kelam di malam hari.
John kehabisan kopi setelah setelah sekian lama duduk di kursi sambil membaca koran. Ia lihat Jeff, yang ternyata sudah tertidur dengan lelap di salah satu kursi.
John mengarah ke dapur. Berencana untuk membuat lagi secangkir kopi yang akan menemani malamnya. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul sebelas lebih, dan keadaan begitu sepi. Namun satu hal yang aneh terjadi saat John tiba di dapur.
BRAK! BRAK!
John mendengar dengan jelas suara hantaman pada kayu itu, yang anehnya berasal dari lantai bawah. John pada awalnya mengira bahwa suara yang ia dengar mungkin dari gedung sebelah. Namun ketika suara itu terdengar lagi, John yakin suara itu berasal dari ruang bawah tanah.
BRAK! BRAK! BRAK!
John masih berdiri dengan kaku di dapur kantor pemakaman itu. Keuda telinganya berusaha menangkap lagi suara yang aneh itu. Suara apa sebenarnya? Apakah ada tikus di ruang bawah tanah, yang secara tidak sengaja menjatuhkan beberapa tumpukan peti mati? Rasanya mustahil.
BRAK! BRAK!
John seketika meletakkan cangkirnya dan bergerak keluar dari dapur. Ia dengan segera membangunkan Jeff, dan menceritakan apa yang baru saja ia dengar.
“Kau bercanda?” ucap Jeff dengan sebelas mata masih tertutup. “Tidak ada yang aneh dengan hal itu, ‘kan?”
“Sangat aneh.” Ucap John. “Mungkin ada sesuatu di bawah. Kita harus melihatnya.”
“Tidak!” ucap Jeff. Pria itu malah kembali menutup kedua matanya.
“Jeff, aku serius!” ucap John. Tapi Jeff sudah terlelap lagi ke dalam alam tidurnya.
Tidak ada pilihan lain. John kini harus memeriksa ruang bawah tanah itu sendirian. Entah kenapa perasaannya saat itu tidak seperti biasanya. Ia sudah tidak takut lagi dengan mayat atau semacamnya. Namun saat itu, jantungnya berdegub dengan begitu kencang.
John meraih lentera yang ada di meja kemudian bergerak mengarah ke tangga yang akan membawanya ke ruang bawah tanah. Keadaan yang gelap di tengah hujan membuat ruang bawah tanah itu terlihat begitu mencekam. Cahaya temaram dari lentera yang ia bawa menciptakan bayang-bayang yang seolah bergerak di tengah kegelapan.
John menyapukan pandangannya ke seisi ruang bawah tanah. Yang ia lihat hanyalah tumpukan-tumpukan peti mati yang kosong. Peti mati yang terisi hanyalah peti mati milik Tn. Lowry dan Tn. Baker. Selain itu, tidak ada yang aneh. Lalu apa yang menciptakan suara ribut itu tadi?
“Tidak ada apa-apa disini.” Gumam John pada dirinya sendiri. Ia baru saja memutar tubuhnya, berniat untuk kembali ke ruang atas saat tiba-tiba saja terdengar lagi suara ribut itu dari belakangnya.
BRAK! BRAK!
John seketika memutar tubuhnya dan sekali lagi mengangkat lenteranya tinggi-tinggi. Ia picingkan matanya, mencoba melihat dengan teliti setiap benda yang ada di dalam ruang bawah tanah. Apa yang menciptakan suara tadi?
BRAK! BRAK!
Perhatian John seketika terarah pada peti mati hitam berukir milik Tn. Baker itu tadi. Ia yakin betul kini bahwa suara ribut itu berasal dari peti mati milik Tn. Baker. Peti mati mahal itu terlihat bergoyang saat suara ribut itu muncul. Kenapa? Apakah Tn. Baker…
John merasakan bulu kuduknya berdiri seketika. Matanya terarah pada peti mati hitam itu, yang kini terlihat bergoyang, seolah apa yang ada di dalamnya mencoba untuk keluar. Apa yang ia lihat benar?
John tidak tahu lagi apa yang ia lakukan. Kakinya bergerak sendiri tanpa perintah dari otaknya. Ia bergerak mendekati peti mati itu, yang secara terus-terusan masih mengeluarkan suara ribut dari dalamnya. John kini berada di dekat peti mati itu. Ia mengangkat tangannya untuk menyentuh peti itu, dan…
Diam. Suara ribut itu tiba-tiba saja menghilang dengan sendirinya. John tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa suara itu tiba-tiba saja menghilang? Ia sudah terlanjur berada di dekat peti mati itu. Dan ia memiliki keinginan yang berlebih untuk mengetahui isi dari peti mati itu. Apakah ia akan benar-benar melakukannya?
Tangannya pun seolah bergerak sendiri tanpa ia perintah. Dalam sekejap, ia sudah membuka tutup dari peti mati hitam berukir itu. Dan kini ia dapat melihat dengan jelas mayat Tn. Baker yang terlihat terbaring tak bergerak sedikitpun. Lalu apa yang menyebabkan suara aneh itu tadi?
John masih merasakan merinding di sekujur tubuhnya ketika ia mengamati sosok Tn. Baker, yang terlihat begitu pucat di bawah siraman cahaya lentera. Mayat itu sama sekali tidak bergeming sedikitpun. Dan rasanya tidak ada yang aneh.
“Aneh…” gumam John. Ia tahu bahwa tidak ada lagi yang dapat ia lakukan. Sedetik kemudian, ia tutup kembali peti mati itu, dan melangkah naik ke lantai satu.
Hujan masih mengguyur dengan deras di luar sana. John duduk di kursinya, dengan pikiran masih terarah pada suara-suara aneh yang tadi didengarnya. Apa yang mungkin terjadi? Selama ia bekerja sebagai pengurus makam, ia tidak pernah menjumpai hal aneh seperti ini. Mungkin ia akan isa menemukan jawabannya besok pagi bersama dengan Jeff.

**

“Apa maksudmu dengan suara ribut itu?” tanya Jeff keesokan harinya saat John menceritakan apa yang ia alami semalam. Saat itu keduanya berada di ruang bawah tanah, menata kembali tumpukan-tumpukan peti mati dan mempersiapkan peti mati Tn. Lowry yang akan dikubur hari itu.
“Suaranya seperti ini.” Ucap John. Ia kemudian menedang-nendang sebuah peti kosong yang ada di dekatnya. Yang menciptakan suara yang sama seperti apa yang ia dengar semalam.
“Kau yakin?” tanya Jeff masih kurang percaya. “John?”
“Aku serius.” Ucap John. “Jika saja semalam kau mau ikut aku, kau akan bisa mendengarnya dengan sendiri suara itu.”
“Dan suara itu berasal dari peti mati Tn. Baker?”
“Ya.” jawab John.
John dan Jeff bergerak mendekati peti mati berukir hitam itu, yang masih tergeletak tak jauh dari peti mati Tn. Lowry. John dan Jeff yang sama-sama merasa penasaran segera saja membuka tutup peti mati itu, dan melihat jenasah Tn. Baker yang tergeletak dengan tenang dengan tangan terlipat di depan dada.
“Apa yang aneh?” tanya Jeff. “Pria ini benar-benar mati. Tidak mungkin ia hidup kembali, ‘kan?”
“Ya.” sahut John. “Tapi memang suaranya semalam berasal dari peti ini. Seperti ada yang mencoba untuk keluar, dan kupikir…, ah! Tidak.”
“Tapi harus aku akui…” ucap Jeff. “Pria ini terlihat sedikit menakutkan. Lihat wajahnya yang pucat? Aku belum pernah melihat mayat sepucat ini.”
“Itu juga yang kuanggap aneh.”
“Sudahlah!” ucap Jeff sedetik kemudian seraya menutup kembali peti mati hitam itu.
“Kita harus bersiap untuk pemakaman Tn. Lowry. Sebaiknya kita segera persiapkan petinya.”
Selama sisa hari itu John sedikitnya dapat melupakan masalah suara aneh yang terjadi semalam. Ia mengikuti upacara pemakaman Tn. Lowry, yang dikuburkan tak jauh dari kantor pengurusan makam itu. John dan Jeff membantu memasukkan peti Tn. Lowry ke dalam lubang.
Pekerjaan itu akhirnya selesai sekitar pukul sebelas siang. John dan Jeff kembali ke kantor pengurusan makam, dan bersantai di sana selama satu jam. Sebelum John pada akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah untuk menemui istrinya. Sudah dua hari ia tidak pulang dari kantor itu.
“Kau masih mau disini?” tanya John. “Tidak ada yang harus kita lakukan untuk sementara waktu.”
“Aku sedang malas untuk pulang.” Jawab Jeff. “Aku akan terus disini hingga penguburan Tn. Baker selesai. Besok, ‘kan?”
“Ya.” jawab John. “Jika ada apa-apa, kau bisa mencariku di rumah.”
John pun pergi meninggalkan kantor itu. Meninggalkan Jeff, yang berdiam sendirian dengan belasan peti mati kosong di kantor pengurusan makam itu. Satu-satunya peti mati yang terisi adalah peti mati Tn. Baker. Yang hingga detik ini masih menjadi pertanyaan di dalam kepala John.

**

John masih tidak dapat melepaskan pikirannya dari suara –suara yang ia dengar semalam. Suara-suara, yang jelas-jelas ia dengar dari dalam peti mati Tn. Baker. Ia masih tidak dapat menemukan penjelasan yang masuk akal soal hal itu.
“John, kau tidak apa-apa?” tanya istri John saat John banyak termenung setelah pulang dari pemakaman hari itu. John menggeleng pelan. Namun istrinya itu sudah hafal dengan sikap John. Jika John tidak banyak bicara, pasti ada yang tidak beres.
“Kau yakin?” tanya istrinya lagi.
“Aku baik-baik saja.” Jawab John. “Bagaimana denganmu? Pekerjaanmu di rumah Tn. Lambert merepotkan seperti biasa?”
“Seperti biasanya.” jawab istri John. Istri John bekerja sebagai pengasuh anak di kediaman Tn. Lambert. Memang gajinya tidak seberapa. Namun dalam perekonomian yang buruk seperti itu, setiap orang mau melakukan apapun.
“Jika kau tidak tahan dengan anak-anak itu, kau bisa meminta keluar.” Ucap John. Ia tahu bahwa anak-anak Tn. Lambert susah diatur dan kadang membuat istrinya pusing.
“Tidak bisa begitu.” Bantah istrinya. “Kau bekerja, aku juga bekerja. Meskipun anak-anak itu memang terlalu nakal bagi anak-anak seusia mereka, tapi hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini.”
“Paling tidak kau tidak berhubungan dengan mayat.” Ucap John sambil tertawa kecil.
Istri John memandang lekat-lekat wajah John. Ia tahu bahwa suaminya itu kelelahan setelah sekian lama harus bekerja keras sebagai pengurus makam. Bukan pekerjaan yang menyenangkan. Dan ia juga sudah hafal dengan raut wajah John. Ia tahu jika John sedang memikirkan suatu masalah.
“Kau masih tidak mau mengatakannya padaku?” tanya istri John. John mengangkat wajahnya seketika.
“John, aku sudah kenal denganmu cukup lama.” Lanjut istrinya. “Ada yang kau pikirkan saat ini, ‘kan? Katakan padaku!”
John merasa ragu untuk sesaat. Tidak biasanya ia membicarakan masalah pemakaman dengan istrinya itu. Tapi suara-suara misterius yang ia dengar semalam telah membuat pikirannya kacau. Dan ia ingin teman bicara.
“Kami menerima kiriman jenasah kemarin.” Ucap John memulai ceritanya. “Awalnya biasa-biasa saja, tapi semalam ada kejadian aneh yang berhubungan dengan peti mati itu.”
“Apa yang terjadi?”
“Aku seperti mendengar…”
John merasa ragu untuk sesaat. Ia biasanya orang pertama yang menolak untuk membicarakan hal gaib. Namun untuk saat itu, ia sudah kehabisan akal.
“Aku mendengar suara-suara aneh dari peti mati.” Lanjut John. “Seperti suara ketukan-ketukan dari dalam, seolah mayatnya…”
“Astaga, John!” pekik istrinya.
“Bukan apa-apa, sebenarnya.” Ucap John.
“Kau sudah memeriksanya?” tanya istrinya itu dengan cepat. “Aku pernah mendnegar ada kasus orang yang dikubur hidup-hidup. Pencuri atau penjahat, seperti itu…”
“Mayat itu nyata. Aku sudah membuka petinya.” Ucap John. “Ya. Pria itu benar-benar mati. Tapi aku masih tidak dapat mempercayai apa yang kudengar semalam. Dan aku melihatnya sendiri, peti itu bergetar saat suara-suara itu keluar, tapi…”
“Bagaimana dengan Jeff?” tanya istrinya. “Kau sudah membicarakan hal ini dengan Jeff? Ini mungkin hal yang serius.”
“Kau sudah kenal dengan Jeff, ‘kan?” balas John. “Dia tidak suka mengurusi hal-hal kecil seperti itu.”
“Dimana Jeff sekarang?”
“Dia masih ada di sana. Di kantor pengurusan makam.”
“Kau meninggalkannya sendirian?”
“Dia akan baik-baik saja.” Ucap John cepat. “Suara-suara itu…, mungkin aku hanya kelelahan atau berhalusinasi. Aku tidak…”
“John, dengar aku!” ucap istrinya itu seketika.
John sama sekali tidak mengira istrinya itu akan begitu peduli dengan permasalahan peti mati itu. Istrinya terliha begitu serius memandanganya, seolah permasalahn peti itu adalah permasalah yang dapat mengancam nyawa.
“Kau tidak pernah mendengar kabar akhir-akhir ini?”
“Kabar soal apa?” tanya John.
“Kabar tentang anak-anak kecil yang menghilang secara misterius. Ada yang mengatakan, menghilangnya anak-anak itu dikaitkan dengan sebuah sekte yang dipimpin oleh seorang pria.”
“Sekte?”
“Ya. Sekte gelap.” Jawab istrinya. “Sekte itu mungkin menggunakan anak-anak itu sebagai tumbal. Aku tahu kau tidak begitu percaya dengan sihir, tapi kasus menghilangnya anak-anak itu benar-beanr nyata. Banyak hal aneh yang terjadi di kota ini semenjak kedatangan pria itu.”
Mata John langsung terarah pada wajah istrinya.
“Pria itu?” tanya John. “Siapa?”
“Archibald Baker.”

**

“Apa?!” Jantung John serasa melompat seketika saat mendnegar nama itu disebutkan. Ia bahkan hampir tidak memeprcayai apa yang ia dengar.
“Archibald Baker, katamu?”
“Ya.” jawab istrinya. “Dia adalah pendatang baru, yang baru saja pulang dari sebuah negara di Eropa. Dia tinggal di Harrington Estate, rumah yang sudah lama kosong itu. Pria itu tidak pernah pergi dari rumahnya, dan ia hanya tinggal bersama seorang pelayannya.”
Jantung John melompat lagi. Apakah pelayan yang disebutkan oleh istrinya itu adalah pria yang mengantar mayat Tn. Baker kemarin? Dan apakah Srchibald Baker adalah orang yang sama dengan mayat yang ada di dalam peti itu?
“Kau pernah melihat bagaimana rupa Archibald Baker?” tanya John seketika.
“Aku belum pernah melihatnya.” Jawab istrinya itu. “Tapi roang-orang yang pernah bertemu dengannya mengatakan bahwa pria itu memiliki kulit yang pucat.”
John seketika teringat kembali dengan sosok mayat yang ada di dalam peti mati hitam itu. Sosok yang juga memiliki kulit yang menurutnya terlalu pucat. Kini John yakin bahwa yang ada di dalam peti mati itu adalah Archibald Baker. Sosok pria yang diduga telah melakukan praktek sihir.
“Dia sudah mati.” Ucap John sedetik kemudian. Wjaah istrinya itu masih terarah padanya.
“Peti mati yang kami terima kemarin adalah peti mati Tn. Baker.”
“Kau yakin?”
“Ya.” jawab John. “Jika ia sudah mati, berarti…”
“John, aku sedikit khawatir dengan hal ini.” Ucap istrinya cepat. “Pria bernama Baker itu sudah sering melakukan hal-hal gaib. Dan dengan kematiannya ini, kurasa akan ada sebuah bencana.”
“Aku tidak mengerti dengan apa maksudmu?”
“Suara-suara yang kau dengar dari petinya itu…” ucap istri John. “Mungkin ia akan kembali dari kematian.”
John mendengus seketika. Namun ia melihat ada keseriusan di wajah istrinya itu. John menganggap apa yang istrinya itu ucapkan tidaklah masuk akal? Siapa yang bisa lari dari kematian?
“Kurasa akan baik-baik saja.” Ucap John. “Dia tidak mungkin kembali dari kematian. Dia kulihat dengan mata kepalaku sendiri, bahwa ia sudah benar-benar mati.”
“Tapi John, bagaimana dengan Jeff? Ia disana dengan mayat itu…”
“Dia akan baik-baik saja.” Ucap John cepat. “Setelah makan siang aku akan kembali ke sana. Dan akan kupastikan lagi mayat itu. Aku yakin dia sudah benar-benar mati.”

**

John masih menganggap apa yang diucapkan istrinya itu tidak mungkin terjadi. Siapa yang mungkin bisa bangkit dari kematian? John sama sekali tidak percaya dengan sihir, dan menganggap bahwa ritual-ritual gaib yang pernah dilakukan oleh Archibald Baker hanyalah bualan semata. Apa yang mungkin dapat diraih oleh Baker dengan ritual-ritual itu?
Lari dari kematian, mungkin?
Ada dua kubu di dalam pikirannya yang saling bertabrakan. Di satu sisi ia tidak ingin mempercyai teori istrinya. Namun di satu sisi ia juga khawatir jika apa yang diucapkan oleh istrinya itu benar. Bagaimana jika Archibald Baker memang bisa bangkit dari kematian?
John baru saja tiba di area pemakaman saat ia melihat seseorang berlari keluar dari kantor pengurusan makam. Orang itu adalah Jeff, yang seketika mengarah kepada John dengan wajah penuh teror. Jantung John pun melompat seketika. Apa yang mungkin telah terjadi?
“Oh, oh, John! Kau tidak akan percaya dengan apa yang terjadi!” ucap Jeff dengan nafas memburu. John mengernyitkan dahinya.
“Apa yang terjadi?” tanya John dengan penuh rasa penasaran. Jeff terlihat masih begitu ketakutan, dan berkali-kali menoleh ke arah ruang bawah tanah dimana mereka berdua menyimpan peti jenasah.
“Peti mati Tn. Baker. Ada yang salah. Aku mendengar suara-suara dari dalamnya!”
“Sudah kukatakan kemarin, ‘kan?” ucap John.
“Ya, tapi sekarang…, John, apa yang harus kita lakukan?”
“Tenang, Jeff! Mari kembali ke kantor.”
Jeff masih terlihat begitu ketakutan saat ia dan John bergerak kembali ke kantor itu. Kantor masih dalam keadaan seperti biasa. Cukup bernatakan dengan gelas-gelas kopi berada di meja.
“Apa yang terjadi, Jeff?” tanya John. “Peti mati itu membuat suara ribut lagi?”
“Bukan suara ribut!” ucap Jeff. “Tapi seperti sebuah ucapan mantra.”
“Apa?!” John nyaris tidak mempercayai apa yang ia dengar.
“Itu benar.” Ucap Jeff. “Aku tadi sedang merapikan peti-peti kosong yang ada di sekitar peti mati Baker. Dan seketika aku seperti mendengar ucapan-ucapan mantra terdengar dari dalam peti mati Baker. Aku langsung berlari keluar, dan bertemu denganmu tadi.”
John seketika teringat dengan cerita istrinya bahwa Archibald Baker sering melakukan ritual. Apakah berubah menjadi mayat juga salah satu ritual yang sering Baker lakukan? Sepertinya aneh.
“Kita periksa lagi!” ucap John.
Jeff bergerak begitu lambat dibelakang John, berusaha untuk tetap tinggal di lantai satu dan menolak untuk turun ke ruang bawah tanah. Namun John memaksa temannya itu.
Mereka segera saja mendakti peti mati berwarna hitam yang penuh ukiran itu. Dengan satu gerakan, John membuka peti mati itu. Dan Archibald Baker masih tergeletak tak bergerak di dalam peti mati itu. Dengan wajah yang pucat dan terlihat tanpa nyawa. Hanya dengan melihat sosok dalam balutan jas itu saja John sudah dapat merasakan bulu kuduknya berdiri. Mayat itu terlihat begitu aneh dan janggal.
“Dia benar-benar sudah mati.” Ucap John setelah memastikan tidak ada udara yang keluar dari hidung mayat itu. Jeff masih terlihat penuh dengan teror di belakangnya.
“Bersabar saja, Jeff!” ucap John seraya menutup kembali peti mati itu. “Besok kita akan menguburkannya. Sepertinya memang ada yang aneh dengan mayat pria ini.”
Kedua pria itu memutuskan untuk menghabiskan malam mereka di kantor lagi, mengingat penguburan mayat Tn. Baker akan dilakukan besok pagi. Mereka telah melakukan persiapan sejak sore. Sialnya, malam hari itu hujan kembali turun, membasahi area disekitar pemakaman.
“Istrimu tidak bercanda, ‘kan?” ucap Jeff saat mendengar kisah mengerikan soal Archibald Baker itu, yang keluar dari mulut John.
“Itu benar.” Ucap John. “Pria yang mengantarkan peti mati Baker kemarin, kurasa dia adalah pelayan dari pria itu.”
“Ritual-ritual aneh…, apa yang mungkin Baker lakukan? Apakah ia melakukan sihir?”
“Aku juga tidak tahu.” Balas John. “Berharap saja pria itu sudah benar-benar mati. Jika tidak, mungkin kita yang akan kerepotan.”
“Jangan bercanda soal itu!” ucap Jeff. “Mayat tidak bisa kembali hidup.”
Jarum jam dengan cepat berputar. Langit semakin malam terlihat semakin gelap saat mendung menaungi kota itu. John dan Jeff sudah tertidur di sofa kantor perngurusan makam itu. Namun satu hal aneh mulai terjadi di dalam peti mati Tn. Baker.
Peti itu kembali mengeluarkan suara-suara aneh. Seperti apa yang didengar oleh Jeff, terdengar seperti ada yang mengucap mantra dari dalam peti mati itu. Dan sedetik kemudian…
BRAK! BRAK!
Suara ribut itu muncul lagi dari dalam peti, seolah pria bernama Bakr itu kembali hidup dan mencoba untuk keluar dari dalam peti. Saking kerasnya suara itu, Jeff yang tidur di lantai atas pun terbangun seketika.
Jeff berada di bawah siraman cahaya temaram lentera yang diletakkan diatas meja. Ia bangkit ke posisi duduk dan mencoba untuk mendengarkan apa yang baru saja terjadi. Dan sedetik kemudian…
BRAK! BRAK! BRAK!
Jeff seketika langsung menarik lengan John. John yang tidur di dekatnya langsung bangun ketika Jeff mengatakan bahwa ia mendengar suara ribut itu lagi.
“Dari peti mati itu lagi?” ucap John. “Kita periksa sekarang. Sebaiknya kau membawa senjata.”
John bergerak mendahului dengan lentera berada di tangannya. Jeff bergerak di belakangnya sambil membawa sebuah sekop, yang akan ia gunakan untuk memukul apapun yang mungkin akan keluar dari peti mati itu.
Peti mati Baker terlihat masih tergeletak di sudut ruangan. Sekilas pandang, tidak ada yang aneh dengan peti mati tersebut. Namun sedetik kemudian…
BRAK! BRAK! BRAK!
Peti mati itu bergetar, dengan kekuatan dorongan dari dalam peti mati. John mencoba menguatkan hatinya. Jeff, di satu sisi, mulai mengangkat sekop yang ada di tangannya.
“Sialan!” umpat John pelan. “Sepertinya Baker ingin bermain-main dengan kita.”
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Jeff.
“Kita akan pastikan ia mati.”
John bergerak mendekati peti mati itu. Ia meminta Jeff untuk berdiri tepat di sisi peti mati itu sambil mengangkat sekopnya. John meminta agar Jeff memukulkan sekop itu pada apapun yang ada di dalam peti mati itu. Dan John, bersiap untuk membuka tutup petinya.
“Sekarang!” teriak John. Ia membuka peti mati itu dengan seketika, tapi…
Archibald Baker terlihat masih terbaring tak bergerak di dalam peti mati itu. Dan suara ribut itu entah kenapa berhenti seketika. Seolah kekuatan yang tadi diciptakan oleh peti itu menghilang.
“John, apa yang kita lakukan? Kita bunuh saja mayat ini agar tidak mengganggu kita lagi, oke?”
“Jangan!” ucap John. Ia kemudian menutup kembali peti mati itu. “Kita lupakan saja. Kita kembali ke atas sekarang, Jeff.”
“Tapi…”
“Sudahlah.”
John dan Jeff baru saja akan menaiki tangga saat tiba-tiba satu suara terdengar lagi dari belakang mereka.
BRAK!
John dan Jeff memutar tubuh mereka seketika, dan kedua mata mereka menatap nanar pada tutup peti mati yang terlempar dengan keras dari peti hitam itu. John dan Jeff seketika berlari ke arah peti mati itu, dan jantung mereka meloncat secara bersamaan.
Peti mati itu telah kosong!
John dan Jeff hanya bisa saling pandang tanpa tahu apa yang dapat mereka lakukan. Dan sebelum mereka belum bisa menemukan solusi, api yang ada di dalam lentera yang John pegang padam seketika. Dan mereka berdua kini berdiri di dalam kegelapan.
“Sial!” umpat John. Ia saat itu tidak membawa korek.
“John, kau dengar itu?”
John mendengar dengan jelas apa yang Jeff ucapkan. Terdengar seperti sebuah suara langkah kaki bergerak di dalam ruang bawah tanah itu. Dan sebelum John dapat melakukan tindakan, sebuah suara mengelepar terdengar di sisinya, dan kemudian terdengarlan suara erangan Jeff.
“AARRGGHHHHH!!!”
“JEFF!!”
Erangan dan teriakan Jeff terdengar begitu jelas. John kemudian mendengar suara bergedubuk di kejauhan, yang dibarengi dengan desahan nafas cepat.
“L-LARI, JOHN!!”
John kebingungan. Ia berada di dalam kegelapan dan tidak tahu apa yang terjadi. Sesuatu yang jelas telah terjadi pada Jeff. Apa yang mungkin telah terjadi? Apakah Archibald Baker telah…
John bergerak secara cepat menembus kegelapan tanpa tahu kemana ia mengarah. Ia menggunakan kedua tangannya untuk meraba-raba, hingga akhirnya ia menemukan selusur anak tangga yang mengarah ke atas. Dan tepat ketika ia berusaha menaiki tangga, terdengar satu jeritan keras dari belakangnya. Jeff…
“ARRRGGGGGHHHHH!!!!!”
John dengan cepat bergerak menaiki tangga, lalu mengarah ke pintu keluar. Ia mencoba untuk memutar kenop pintu, tapi entah kenapa kenop pintunya tidak bisa diputar.
“AYOLAH!!” teriak John kesal, sementara ia mendengar ada yang bergerak di belakagnya. Sesuatu yang sepertinya begitu besar dan kuat.
Pintu itu pada akhirnya terbuka dengan satu tendangan. John seketika berlari di bawah siraman air hujan, menembus kegelapan malam melalui area pemakaman. Namun tiba-tiba saja langkahnya harus terhenti saat ia tersandung sebuah batu nisan, yang membuatnya terpuruk ke tanah yang basah.
Jantung John melompat saat ia melihat ke arah belakang. Sebuah bayangan hitam besar terlihat bergerak mendekatinya. Telrihat seperti sebuah kelelawar raksasa yang tengah membentangkan sayapnya. John tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Ia mencoba untuk berdiri, namun kakinya telah kehilangan kekuatan. Dan tiba-tiba saja, bayangan itu meluncur cepat ke arahnya.
John mengerang saat sebuah cengekraman yang kuat menekik lehernya. Ia terangkat ke udara oleh sebuah cengkeraman yang terasa seperti jari-jari yang kurus. Dan ia dapat mendengar desahan nafas dari makhluk yang ada di depannya itu.
John mencoba melakukan pukulan-pukulan ke arah makhluk yang ada di depannya itu, namun usahanya sia-sia saja. Ia telah kehilangan sebagian besar kekuatannya. Dan tepat ketika ia hampir pingsan, wajah dari makhluk itu terlihat oleh matanya. sebuah wajah yang pucat, terdengar menyeringai ke arahnya. John dapat melihat dua mata membara seperti api itu. Dan juga… sepasang taring runcing yang siap mencabik lehernya.

**

Kematian dari Jeff dan John menjadi sensasi di kota itu selama beberapa minggu ke depannya. Yang membuat setiap orang resah adalah cara kematian kedua penjaga makam itu, yang ditemukan tewas dengan luka cabikan di leher mereka. Seolah ada sebuah taring yang merobek leher keduanya.
Tidak ada yang pernah tahu apa atau siapa yang sebenarnya menyebabkan kematian dari kedua orang itu. Mereka tidak pernah tahu kisah mengenai Archibald Baker. Mereka juga tidak pernah tahu bahwa Arrchibald Baker berhasil bangkit dari kematian. Yang mereka tahu adalah, bahwa ada satu makhluk yang selalu berkeliaran setiap malam, meminum darah orang-orang yang kurang beruntung. Kisah horor itu pada akhirnya bertahan hingga ratusan tahun. Dan hingga detik ini, kisah mengenai makhluk penghisap darah itu menjadi begitu melegenda. Setiap orang mengenalnya dengan sebutan, vampir.

****