Friday, September 16, 2016

HALF OF ME



Mike tersentak, terbangun dari tidurnya. Mimpi buruk yang baru saja ia alami membuat keadaan yang sedang ia hadapi semakin buruk. Ia sadari bahwa ia masih berada di dalam mobil dalam perjalanan malamnya. Yang membuatnya jengkel adalah keadaan macet yang harus ia hadapi. Ia sebenarnya berada di sebuah jalan tepi kota, yang membelah hutan. Biasanya jalanan ini sepi. Namun karena suatu alasan, kini belasan kendaraan berhenti dan saling berdesakan. Suara-suara klakson terdengar dari segala penjuru. Jika semua hal itu tidak membuat Mike frustasi, mungkin hujan deras yang turun kala itu bisa membuatnya meledak marah.
Mike mencoba untuk tidak tertidur lagi. Ia tajamkan pandangan matanya, menatap ke arah sederet lampu merah di bagian belakang kendaraan lain. Wiper mobilnya bekerja cepat, menyeka tetesan air hujan yang mengguyur. Beberapa kali terlihat kilat menyambar. Membuat keadaan hutan itu terang seketika, yang kemudian diikuti dengan suara guntur yang menggelegar.
Mike dalam perjalanan pulangnya ke Backlot. Sebuah kota yang jaraknya hanya sekitar sepuluh kilo dari tempatnya saat ini. Dan jalur yang ia ambil ini adalah jalur tercepat jika ia ingin segera pulang. Istri dan dua anaknya menunggu di rumah. Dan Mike sadari, bahwa jarum jam telah menunjukkan pukul sebelas malam.
Bunyi klakson tidak pernah berhenti terdengar. Bersamaan dengan hal itu, deretan mobil mulai bergerak maju perlahan. Mike merasa sedikit bersyukur. Mungkin kemacetan akan segera berakhir.
Mike akhirnya dapat mengetahui apa yang sebenarnya membuat kemacetan itu. Ada sebuah operasi yang dilakukan oleh kepolisian di ujung jalan dekat jembatan. Mike masih belum tahu apa masalahnya. Dan mungkin ia akan segera tahu.
Salah seorang petugas polisi dalam seragam hujannya menghadang mobil Mike begitu mike sampai di pos penjagaan itu. Mike mnurunkan kaca mobilnya, dan memandang serius ke arah wajah polisi yang mendekat ke arahnya.
“Ada masalah, opsir?” tanya Mike ingin tahu.
“Hanya operasi kecil. Ada kasus pembunuhan tak jauh dari sini. Vicini Lodge. Dan informasi yang kami dapat menyebutkan bahwa pelaku terakhir kali terlihat di sekitar area ini. Jadi kami melakukan sedikit penggeledahan.”
“Aku juga akan digeledah?”
“Tidak perlu khawatir!” ucap polisi itu. “Boleh aku melihat kartu SIM dan STNK-nya, Tuan?”
Mike melakukan apa yang petugas itu minta. Ia sempat bergerak keluar dari mobilnya, dan berlindung di bawah pohon dari siraman air. Meski begitu, ia tetap basah kuyup. Polisi terlihat menggeledah barang-barangnya yang ada di bagasi. Beberapa menit kemudian, salah satu polisi bergerak mendatanginya.
“Nama Anda?”
“Michael Tunner.” Jawab Mike. “Ada masalah dengan…”
“Kami perlu berbicara sebentar dengan Anda, Tn. Tunner.” Ucap polisi itu. “Bisa ikut kami?”
Mike dibawa ke dalam sebuah pos kecil yang terletak tak jauh dari portal polisi. Di atas meja terdapat tas cangklongnya, yang sudah terbuka. Dan apa yang tidak ia harapkan sudah terjembreng diatas meja di samping tas.
“Anda bisa menjelaskan soal ini?” tanya salah seorang polisi sambil menunjuk pada sebuah kaos yang penuh dengan noda darah. Mike mengangguk.
“Itu kaosku.” Ucap Mike. “Aku pergi berburu siang tadi dengan temanku. Mungkin darah hewannya…”
“Bisa kami mengkonfirmasi hal ini? Anda punya kartu lisensi berburu, Tn. Tunner?”
“Ya, ya.” Jawab Mike cepat seraya merogoh saku belakangnya. Sedetik kemudian ia mengeluakran kartu lisensi berburunya, yang masih aktif.
“Anda berburu dengan senapan ini?” tanya polisi lain sambil mengangkat sebuah senapan berburu. Mike cepat-cepat mengangguk membenarkannya.
“Tidak ada masalah, ‘kan, Tuan-tuan?” tanya Mike. “Aku pergi berburu, dan tidak sempat mencuci kaos itu. Aku tidak ada hubungannya dengan pembunuhan yang terjadi di Vicini Lodge. Aku bahkan tidak berada di area itu.”
“Kami hanya ingin memastikan.” Ucap salah seorang polisi. “Sekarang, sebagai formalitas, bisakah Anda mengisi formulir data diri ini. Untuk berkas.”
Mike menghembuskan nafas lega setelah ia selesai dengan segala pertanyaan dan filing berkas-berkas itu. Polisi akhirnya membiarkan dirinya untuk kembali ke mobil, dan melanjutkan perjalanannya. Hujan masih mengguyur dengan deras, dan keadaan sudah semakin larut.
Perjalanan setelah pos penjagaan itu terbilang cukup lancar. Mike tidak terlalu mengebut dalam keadaan hujan. Dan konsentrasinya sempat buyar saat ponselnya berdering. Telepon dari Jana, istrinya.
“Hai! Aku dalam perjalanan pulang.” Ucap Mike.
“Kau baik-baik saja? Kenapa sampai selarut…”
“Kujelaskan di rumah nanti, oke?” ucap Mike. “Jalanan licin. Aku tidak mau terperosok ke jurang.”
“Hati-hati!”
Sidah ada dua tahun lebih Mike dan keluarganya tinggal di Backlot. Sebuah kota kecil yang asri, dan menyenangkan. Sebelumnya mereka tinggal di Immortalegre. Sebuah kota industrial yang tidak terlalu menyehatkan karena ada terlalu banyak asap dari pabrik.
Mike tinggal bersama dengan istrinya, Jana, yang sudah menjadi pasangan hidupnya sejak lama. Dan hal baiknya, ia masih mencintai wanita itu. Jana menjadi ibu yang baik bagi Josh dan Mike kecil. Kedua putranya itu masih ada dalam usia yang cukup muda. Josh, yang tertua, berusia 7 tahun, dan Mike kecil berusia 5 tahun. Mungkin hanya ketiga orang itulah yang dapat selalu memberikan kekuatan bagi Mike untuk terus dapat bertahan dengan pekerjaannya. Bukan sebuah pekerjaan yang menghasilkan cukup banyak uang, namun cukup untuk menghidupi ketiga orang yang ia sayangi itu. Ia harus berkendara puluhan kilo setiap hari untuk pergi bekerja. Dan rasa lelahnya selalu terobati dengan tawa manis dari Josh dan Mike kecil.
Mike tiba di rumah tepat pukul dua belas malam. Jana membukakan pintu untuknya, dan langsung memberikan handuk untuk mengeringkan rambut dan wajah Mike yang basah.
“Apa yang terjadi?” tanya Jana seketika. Ia sudah menyiapkan secangkir kopi panas untuk suaminya.
“Pos polisi.” Jawab Mike. “Ada patroli, dan keadaannya jadi macet. Itu sebabnya aku pulang terlambat. Oh! Mungkin sudah ada tiga jam aku berhenti di tengah-tengah kemacetan. Aku sempat tertidur.”
“Apa yang polisi lakukan?”
“Mereka melakukan pemeriksaan, atas kasus yang baru saja terjadi. Ada pembunuhan di Vicini Lodge, dekat jalan tol 68. Dan katanya pelaku terakhir kali terlihat melewati jalur tengah hutan itu.”
“Mereka belum menemukan pembunuh itu?”
“Mungkin belum.” Ucap Mike. Ia kemudian duduk di kursi dapur, dan mulai menyeruput kopi panasnya. Seketika, segala rasa lelahnya menghilang seperti asap.
“Sayang aku tidak bisa mengobrol dengan mereka. Mereka sudah tidur?”
“Beberapa jam yang lalu.” Jawab Jana. “Kau terlihat lelah, sayang. Kau mau kusiapkan air hangat untuk mandi? Kau harus segera beristirahat.”
“Ide yang bagus.” Jawab Mike tanpa pikir panjang.
Mike dan Jana naik ke atas tempat tidur saat jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari. Besok adalah hari Sabtu. Dan Mike tidak harus pergi ke kantor di hari itu. Di dalam kepalanya, ia sudah mendapatkan rencana-rencana unik yang akan ia lakukan bersama dengan kedua putra kecilnya itu. Dengan pikiran yang tenang, Mike pun tertidur.

**

Jana terbangun seketika, saat ia sadari bahwa tubuh suaminya sudah tidak ada disampingnya. Ia membuka kedua matanya dalam keadaan remang kamar yang hanya diterangi oleh sebuah lampu meja. Ia sadari pula bahwa hujan masih membabi buat di luar sana. Dengan petir yang kadang menyambar, memberikan cahaya terang selama beberapa detik yang kemudian disusul dengan suara guntur.
Jane mengangkat tubuhnya ke posisi duduk. Ia lihat jarum jam menunjukkan pukul 3.15. jam yang aneh baginya untuk bangun di hari sepagi itu. Namun entah kenapa, ia merasa seperti ada yang aneh.
“Mike?” serunya memanggil Mike. Dan beberapa detik kemudian, terdengar derap langkah cepat menaiki tangga menuju lantai dua. Dan Mike muncul di pintu kamar dengan raut wajah yang tidak dapat dijelaskan. Raut wajah panik, penuh ketakutan yang tidak biasa. Dan anehnya lagi, baju yang Mike pakai basah.
“Mike, apa yang kau…”
“Ssstt!!” Mike mendesis sambil meletakkan telunjuk di bibirnya, meminta istrinya itu untuk diam. Jana semakin tidak mengerti.
“Ada apa?” bisiknya. Mike terlihat bingung. Ia menoleh ke kanan dan kekiri, bergerak cepat ke jendela, melongok keluar, lalu kembali lagi ke arah tempat tidur. Kedua matanya terlihat bergerak jalang, yang pada akhirnya mendarat pada wajah istrinya.
“Ada yang aneh.” Ucapnya dengan nada lirih. “Kurasa ada pencuri yang berusaha masuk ke rumah ini.”
“Apa?!” Jana terpekik. Namun seketika ia tutup mulutnya. Pandangan matanya menyorot pada wajah Mike.
“Mike? Kau yakin?”
“Ya, ya. Aku yakin.” Jawab Mike dengan nada tak biasa. “Aku mendengarnya. Langkah kaki diluar. Saat aku tertidur…”
“Bagaimana mung…”
“Aku merasakannya.” Potong Mike. “Aku turun ke dapur untuk minum, dan aku mendengar suara-suara bergemerisik di luar rumah. Kukira karena hujan, tapi…, tidak. Aku sempat melihat bayangan melintas lewat di jendela. Kurasa memang ada yang berusaha untuk masuk.”
Jana tidak tahu apa yang harus ia ucapkan. Cerita Mike barusan membuatnya bergidik ngeri, dan seketika ia khawatir dengan keadaan kedua putranya.
“Mereka baik-baik saja.” Ucap Mike. “Aku baru saja dari kamar mereka.”
“Dan kenapa kau basah?”
“Aku sempat keluar, untuk memeriksa.”
“Kau menemukan sesuatu? Sosok itu?”
Mike menggelengkan kepalanya. Dari caranya memandang, Jana tahu bahwa Mike tidak mengada-ada. Mungkin memang ada yang ingin membobol masuk rumah mereka.
Jana tahu, bahwa di kota kecil ini segala sesuatunya bisa terjadi. Backlot sudah cukup terkenal sebagai kota yang terpencil, dan tindak kriminalitas sering sekali terjadi. Rasanya tidak aneh jika memang ada pencuri yang ingin masuk ke dalam rumah.
“Aku melihat jejak kakinya.” Ucap Mike. “Sosok itu mengelilingi rumah. Aku tidak…”
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Jana. “Kita hubungi polisi, dan menjelaskan masalh ini.”
Mike sepertinya setuju dengan ide itu. Beberapa detik kemudian, ia menyambar ggang telepon. Dan tidak lebih dari lima belas menit kemudian, satu mobil patroli datang dan berhenti tepat di depan rumah Mike. Dua anggota polisi mereka persilahkan masuk, dan Mike mulai menjelaskan apa yang ia lihat.
“Kami akan memeriksa keadaan sekitar.” Ucap salah satu anggota polisi. “Anda berdua tenang saja.”
Mike dan Jana hanya dapat duduk di ruang tamu sambil menunggu hasil dari penyelidikan polisi. Josh dan Mike kecil terbangun, dan ikut duduk dengan mereka.
“Ibu, ada apa?” tanya Josh. Jana berusaha sebisa mungkin untuk menjelaskan apa yang terjadi, tanpa harus membuat kedua putranya ketakutan.
“Anda temukan sesuatu, opsir?” tanya Mike seketika saat dua polisi itu kembali masuk ke dalam rumah.
“Kami menemukan jejak di sekitar rumah. Masih baru. Dan hujan belum sepenuhnya berhenti.” Ucap petugas itu. “Anda beruntung, Tn. Tunner. Mungkin pencuri itu membatalkan niatnya.”
“Mungkin dia masih ada di luar sana.” Ucap Mike ketakutan. “Kumohon, Tuan-tuan! Periksa…”
“Kami sudah memeriksa cukup jauh, Tn. Tunner.” Ucap polisi itu. “Tapi jejaknya berakhir di halaman belakang. Kami juga melihat ada bekas kaki telanjang penuh lumpur di teras belakang...”
“Itu aku.” Ucap Mike cepat. “Aku berusaha mencari tahu apa yang terjadi.”
Keadaannya kini cukup ganjil. Siapa sebenarnya sosok yang berkeliaran di luar rumah itu? Apakah memang benar pencuri, atau seseorang yang berusaha untuk memata-matai keluarga Tunner? Polisi pergi tanpa memberikan kesimpulan yang jelas. Namun mereka bersedia untuk kembali lagi jika ada sesuatu.
Mike dan ketiga orang yang ia cintai duduk di meja makan. Hari sudah pagi, dan mereka tidak bisa kembali tidur. Hingga pukul enam, mereka duduk dan membicarakan apa yang sudah terjadi. Josh dan si kecil Mike sepertinya tidak begitu terpengaruh dengan cerita mengerikan itu.
“Ini serius.” Ucap Mike berbisik. “Kemarin, ada pembunuhan di Vicini Lodge. Dan pembunuhnya belum tertangkap. Bagaimana jika apa yang kulihat semalam…”
“Mike, kau membuatku takut.” Ucap Jana cepat. “Jangan mengada-ada.”
“Tidak, bukan begitu. Maksudku…, ada kemungkinannya…”
“Kurasa kita harus menyerahkan masalah ini pada polisi.” Ucap Jana memberikan usulan. Entah Mike mau menerimanya atau tidak, Jana tidak tahu. Mike hanya mengangguk kecil, dengan sorot mata melyang-layang.
Akhir pekan terlihat cukup menyenangkan, meski tanah di sekitar rumah mereka masah oleh hujan kemarin malam. Namun matahari bersinar dengan cerah di Backlot. Banyak anggota keluarga yang pergi ke taman, bermain dengan anak-anak mereka. Jana memutuskan untuk tinggal di rumah sambil menyiapkan masakan. Josh dan Mike kecil sepertinya juga tidak mau pergi keluar.
Mike duduk di meja makan, sambil membaca koran pagi. Di koran itu disebutkan lagi mengenai pembunuhan di Vicini Lodge yang masih menjadi misteri. Korban bernama Luiz Fernandes, usia 27 tahun, seorang anggota perburuan di kota terdekat. Luiz tewas dengan luka bekas hantaman benda tumpul di kepala, dengan lengan patah di sebelah kiri. Darah berceceran di dalam lodge yang Fernandes tempati. Polisi masih melakukan penyelidikan.
“Aku tidak mau membayangkannya.” Ucap Jana saat Mike meminta pendapat mengenai kasus di Vicini Lodge itu. Jana terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
Bukan.
Jana terlalu takut dengan apa yang akan terjadi seandainya pembunuh itu memang adalah sosok semalam. Ia tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi. Untuk pertama kalinya, Jana merasa tidak aman tinggal di kota sekecil itu. Hal yang aneh dapat terjadi begitu saja.
“Tidak mungkin.” Ucap Mike. “Sosok semalam kurasa tidak ada hubungannya dengan kematian di Vicini Lodge. Tidak. Tidak mungkin.”
“Kenapa kau begitu yakin?”
“Entahlah.” Jawab Mike. “Aku hanya merasa…, sedikit aneh dengan hal itu.”
Mike berbicara tanpa makna di menit-menit berikutnya. Yang membuat Jana sedikit mengernyitkan keningnya heran. Ia menganggap bahwa Mike mungkin hanya kelelahan. Keduanya memang belum beristirahat sejak pukul tiga pagi tadi.
Tingkah laku Mike beberapa jam setelah itu semakin membuat Jana menggeleng tidak percaya. Suaminya itu bergerak dengan tidak tenang, mondar-mandir dan beberapa kali naik turun tangga. Jana tahu bahwa ada suatu hal yang mengganggu pikiran suaminya itu. Ia sudah mencoba untuk bertanya, tapi Mike hanya menggelengkan kepalanya.
Kedua putranya, Josh dan Mike kecil, terlihat sama bingung dengan ibunya. Mereka tahu bahwa ayah mereka sudah menjanjikan akhir pekan yang menarik bagi mereka. Tapi sepertinya ayah mereka lupa akan hal itu.
Jane menarik Mike masuk ke dalam dapur ketika ia sudah tidak betah melihat tingkah lakunya. Jana memandang Mike lekat-lekat, dan mencoba untuk menenangkan pria itu.
“Mike! Apa yang terjadi?” tanya Jana. “Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Kau…, meskipun kau tidak mengatakannya…”
“Ini aneh.” Ucap Mike cepat. “Aku memang merasa ada yang aneh, Jana. Mengenai kejadian semalam, hujan itu, lalu ada seseorang yang mencoba untuk masuk ke dalam rumah kita, dan kabar mengenai kematian orang itu…”
“Kau yang mengatakannya sendiri, bahwa mungkin dua kejadian itu tidak saling berhubungan.”
“Mungkin.” Ucap Mike.
Mike dengan cepat mencengeramkan kedua tangannya pada lengan Jana, dan memandang wanita itu tepat di kedua matanya. Ada api yang membara di dalam tatapan tajam suaminya itu. Namun Jana tidak tahu kenapa.
“Kau tidak akan percaya dengan apa yang akan kukatakan.” Ucap Mike sedetik kemudian.
“Mengenai terbunuhnya Luiz Fernandes…, sepertinya aku tahu siapa yang membunuh pria itu.”
“Apa?!”
“Ini terdengar gila.”
“Memang.” Balas Jana. “Maksudmu…, kau menyaksikan aksi pembunuhan itu, dan mungkin orang yang datang semalam…”
“Ini hanya kemungkinan.” Ucap Mike. “Tapi aku yakin…, aku memiliki penglihatan aneh ini. Kejadian itu, saat kepala Fernandez mulai terbuka saat benda itu menghantam kepalanya…, aku bisa menyaksikannya di dalam ingatanku. Aku tidak tahu kenapa…, aku…”
“Kenapa kau tidak mengatakannya pada polisi?” tanya Jana. “Mike! Mungkin dengan cara itu mereka dapat menemukan pembunuhnya. Mungkin ada kaitannya dengan orang yang berusaha mencoba masuk semalam. Mike!”
Mike tidak lagi mendengarkan teriakan istrinya. Ia menjadi ling-lung lagi. Ia bergerak berputar-putar di dalam dapur itu, dan sesekali mengucek rambutnya sendiri.
Perhatian kedua orang itu terebut oleh datangnya sebuah mobil, yang berhenti tepat di depan rumah mereka. Sebuah mobil patroli polisi, dimana dua orang petugas muncul dari dalamnya, dan bergerak ke arah teras rumah.
“Selamat pagi, Tn. Tunner!” sapa salah satu petugas polisi.
“Ada yang bisa kami bantu, Tuan-tuan?” tanya Mike dengan sikap sopannya.
“Ya.” Ucap polisi itu. “Mengenai kasus kematian Luiz Fernandez. Kami rasa Anda dapat membantu kami.”
Jana membelalakkan kedua matanya. Ia tidak dapat mempercyai kenyataan bahwa polisi bisa tahu bahwa Mike menjadi saksi atas kasus pembunuhan itu. Bahkan mereka baru saja membicarakannya.
“Oh…” ucap Mike. “Ya. Tentu.” Lanjunya ragu.
“Kami meminta Anda untuk datang ke kantor polisi, sekarang juga. Kami ingin segera menyelesaikan kasus ini.”
“Segala informasi dari Anda akan sangat membantu, Tn. Tunner.” Ucap petugas yang lain.
Tidak ada hal lain lagi yang dapat Mike lakukan saat itu. Dengan hati terbuka, ia bergerak masuk ke dalam mobil patroli, yang segera membawanya ke kantor polisi pusat di kota itu.

**

“Jelaskan pada kami sekali lagi, Tn. Tunner, mengenai keberadaan Anda kemarin siang sekitar pukul satu.”
“Seperti yang sudah kukatakan…” ucap Mike dengan tergesa karena atmosfir di dalam ruangan polisi itu tidak begitu menyenangkan. Ada dua orang polisi yang bertugas bertanya padanya. Dan Mike merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres, yang tidak biasa.
“Aku berada di perkumpulan pemburu kemarin siang, berburu dengan teman-temanku.”
“Itu yang dikatakan opsir dari pos penjagaan semalam.” Ucap polisi yang lain. “Dan kami sudah melakukan pemeriksaan mengenai hal itu. Mereka juga katanya menemukan kaos penuh darah di bagasi mobil Anda, Tn. Tunner?”
“Ya.” Jawab Mike. “Darah binatang. Seperti kataku, aku pergi berburu…”
“Maaf, Tn. Tunner.” Potong petugas polisi yang ada di depannya. “Tapi kami sudah melakukan penelusuran dan bertanya pada kawan-kawan anda di perkumpulan itu, dan mengatakan bahwa Anda tidak berada bersama mereka sekitar pukul satu.”
“Mustahil!” teriak Mike. “Aku jelas-jeals bersama mereka, kami memburu rus…”
“Mengenai hal lain, Tn. Tunner.” Potong polisi lain. Mike menghentikan ucapannya seketika.
“Adakah kemungkinan Anda kenal dengan pria bernama Luiz Fernandez?”
“Apa?”
“Jawan pertanyaannya, Tn. Tunner!”
Mike bingung seketika. Pandangannya terlihat tidak tenang, dan ebrgerak dari satu polisi ke polisi yang lain. Ia seperti tengah dihakimi. Atau…, ia sedang di interogasi. Mengenai apa? Keberadaannya kemarin? Apakah polisi mencurigainya sebagai pembunuh Fernandez?
“Kalian tidak…” ucap Mike. “Aku tidak kenal dengan pria bernama Luiz Fernandez. Dan aku tidak ada hubungannya dengan kematian pria itu kemarin.”
“Tapi data yang kami kumpulkan berkata lain, Tn. Tunner.” Ucap polisi yang ada di depan Mike. Polisi itu menatapnya dengan tatapan tajam ke arahnya, terlihat benar-benar mengintimidasi.
“Luiz Fernandez adalah salah satu anggota dari klub Coyote, klub perburuan yang sama dengan Anda. Dan kami mendapatkan data yang mengatakan bahwa hubungan Anda dengan Tn. Fernandez tidak baik akhir-akhir ini. Ya. Anda kenal dengan pria itu.”
“Tidak mungkin!” bantah Mike. “Bagaimana mungkin aku kenal dengan pria itu? Aku bahkan baru mendengar mengenai namanya pagi ini.”
“Dimana Anda kemarin siang, Tn. Tunner?” ulang polisi itu lagi. Jantung Mike melonjak seketika. Ia tahu bahwa saat itu ia berada dalam posisi yang tidak menyenangkan. Polisi mencurigainya.
“Ini sebuah kesalahan.” Ucap Mike seraya bangkit dari tempat duduknya. “Ada kesalahan!”
“Tenang, Tn. Tunner! Kembali duduk!”
“Tidak!” teriak Mike. “Aku tidak membunuh Luiz Fernandez! Kalian salah!”
“Tn. Tunner…”
“Orang itu!” ucap Mike seketika. “Semalam ada orang yang berusaha masuk ke dalam rumahku. Orang itu! Pasti orang itu yang membuat segala kesalahan ini! Dia yang bersalah!”
“Tn. Tunner…”
Mike seketika teriangat dengan Jana dan kedua putranya. Saat ini, mereka sendirian tanpa ada penjagaan di rumah. Dan Mike, mendapatkan insting untuk melindungi orang yang ia cintai.
“Tn. Tunner!”
Mike tidak peduli lagi dengan orang-orang yang ada di dalam kantor polisi itu. Ia bergerak cepat meninggalkan kantor polisi, lalu menyetop sebuah taksi yang kebetulan melintas. Mike segera meminta untuk diantarakan ke rumahnya.
Selama dalam perjalanan, Mike tidak bisa berhenti berpikir mengenai apa yang akan terjadi. Sosok semalam memang benar-benar misterius dan membuatnya terus mengkhawatirkan keadaan keluarganya. Dan kini, ia berada jauh dari Jana dan kedua putranya. Apa yang mungkin terjadi?
Mike segera melompat turun dan berlari ke arah rumah begitu sampai. Dan keadaan yang ia dapatkan membuat jantungnya kembali berdegup kencang. Pintu depan dalam keadaan terbuka, dan beberapa barang di dalam ruang tamunya berserakan.
“Jana!” teriak Mike.
“MIKE!!!”
Teriakan Jana membuat Mike segera berlari menaiki tangga. Ia naik ke lantai dua, mengarah ke koridor, dan ia temukan istrinya berada di ujung koridor, berteriak saat sosok berpakaian hitam berkerudung itu mengangkat sebuah vas yang akan ia hantamkan pada Jana.
“TIDAK!!!” Mike berteriak, seketika melompat dan menubruk sosok berpakaian hitam itu. Keduanya bergelut, mencoba untuk saling menyakiti tanpa tahu apa yang dapat mereka lakukan. Mike mendapatkan pukulan-pukulan telak di wajahnya, cakaran, dan teriakan Jana masih terdengar di telinganya. Apa yang terjadi?
Mike mencoba untuk membalas cakaran-cakaran itu. Kenapa? Kenapa sosok itu mencakarnya? Kenapa tidak memukulnya seperti seorang pria?
Mike melepaskan satu pukulan telak yang mengenai leher sosk hitam itu. Dan seketika, sosok itu tergeletak kaku. Mike terengah-engah setelah pertarungan sengit itu. Kini tiba saatnya untuk melihat, siapa sosok yang berada di balik kerudung hitam itu. Mike menyingkap kerudung itu, dan seketika…
“TIDAK!!”
Wajah Jana terlihat pucat, puneh dengan darah dibawah kerudung hitam itu. Mulutnya penuh dengan darah, saat tenggorokannya hancur terkena pukulan telak dari tangan Mike. Mike berteriak histeris.
“JANA!! TIDAK!!”
Tubuh Mike menggigil seketika. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa Jana berada di posisi sosok hitam itu?
Terdengar derap langkah cepat menaiki tangga, yang sedetik kemudian tiba di sisi Mike yang masih dalam keadaan tercengang. Terdengar dua suara kecil, penuh ketakutan.
“Ayah?” ucap suara itu. Josh dan Mike kecil berdiri di sisi Mike, dengan wajah pucat pasi. “Apa yang kau lakukan pada ibu?”
“Josh! Mike! Aku…”
Kedua anak kecil itu segera berlari menuruni tangga lagi. Mike mencoba untuk bangkit dan mengejar, namun seketika kepalanya berputar tak karuan. Pandangannya kabur seketika, dan ia dapat melihat sosok hitam itu lagi, berdiri di ujung anak tangga. Suara lirih itu dapat ia dengar dengan jelas.
“Hebat, Michael.” Ucap sosok itu. Suaranya terdengar begitu familiar di telinga Mike, namun Mike tidak dapat mengenalinya.
“Kau melakukan apa yang kuinginkan.”
“SIAPA KAU?” teriak Mike, yang masih berusaha untuk berdiri kembali di atas kedua kakinya. “APA YANG SUDAH KAU….”
“Kau tahu siapa diriku, Mike.” Ucap sosok itu.
“TUNGGU!!”
Sosok itu menghilang seperti asap. Kemana? Mungkin turun ke lantai satu? Mike, dengan sisa kekuatannya mencoba untuk menuruni tangga. Namun ia terantuk kakinya sendiri dan terjerembab, terjatuh, hingga ia bergulung di anak tangga terbawah. Pandangannya masih terlihat kabur dan tidak jelas. Namun sosok hitam itu kini menaunginya. Wajahnya tidak terlihat dengan jelas.
“Sudah selesai, Michael.”
“TIDAK!!!”
Mike tidak dapat melakukan apapun. Apa yang sudah terjadi benar-benar tidak masuk akal? Ia baru saja menyakiti istrinya sendiri. Apa ini mungkin terjadi? Tapi ia melihat Jana dalam posisi bahaya sebelum ia menyerang sosok hitam itu. Bagaimana mungkin?
Terdengar raungan sirine di luar rumahnya. Polisi? Mungkin polisi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sosok itu…, sosok itu yang mungkin sudah menyakiti Jana. Dan mungkin sosok itu jugalah yang sudah membunuh Luiz Fernandez. Pertanyaannya, apa yang sudah Mike lakukan? Mike tidak dapat mengingat apapun, saat pada akhirnya ia terjerembab, masuk ke dalam alam bawah sadar.

**

Mike membuka keuda matanya. Ya. Pandangan matanya sudah tidak kabur lagi. Dan…, dimana dia?
Ia terbangun di dalam sebuah ruangan kecil dengan sebuah pintu yang sepertinya terkunci rapat. Ia terbaring di tempat tidur kecil, di dalam ruangan yang kosong. Ia tidak dapat mendengar suara apapun dari ruangan itu.
Mike sadari bahwa pakaiannya sudah terganti dengan pakaian yang tidak biasa. Dan ia masih tidak tahu dimana dirinya. Hingga akhirnya sebuah suara wanita di luar ruangan membuatnya bangkit dari tempat tidur. Mungkin Jana?
“Hanya sebentar.” Ucap suara wanita itu.
Detik berikutnya, seorang wanita dalam balutan jas putih bergerak masuk ke dalam ruangan sambil membawa semacam clipboard di tangan. Wanita itu terlihat profesional. Dari pakaiannya, mungkin dia adalah seorang dokter.
“Bagaimana keadaanmu, Tn. Tunner?” tanya wanita itu, yang duduk di ujung ruangan, memandang ke arah Mike dengan tatapan serius. Hal pertama yang Mike tanyakan adalah dimana dia berada.
“Anda berada di tempat yang aman, Tn. Tunner.” Ucap wanita itu. “Di tempat dimana Anda bisa mendapatkan segala perawatan yang mungkin Anda butuhkan. Anda berada di tangan profesional.”
“Aku tidak sakit.” Ucap Mike. “Keluargaku…, istriku, Jana.”
Dokter itu memandangnya dengan tatapan serius setelah Mike mengucapkan kata-kata itu. Lembaran kertas di clipboardnya secara perlahan terbuka satu persatu.
“Apa yang Anda ingat mengenai sosok Jana, Tn. Tunner? Mendiang Jana Tunner, yang terbunuh seminggu yang lalu.”
“Tidak!” bentak Mike. “Jana tidak mati! Tidak mungkin.”
Dokter itu masih memandangnya dengan tatapan serius ke arahnya samnil memainkan pena di jarinya.
“Sosok itu…”
“Ah! Mengenai sosok yang sering Anda teriakkan.” Potong dokter itu. “Ceritakan mengenai sosok itu, Tn. Tunner. Apakah sosok itu sering menghampiri Anda disaat Anda sendiri? Sering berbicara pada Anda, mengenai keinginan-keinginannya? Siapa sosok itu, Tn. Tunner?”
Mike meremas-remas rambutnya sendiri. Ia benar-benar tidak tahu siapa sosok itu sebenarnya. Dan segalanya keadaan aneh ini membuatnya benar-benar nyaris gila.
Gila?
Mike mengangkat wajahnya ke arah dokter itu seketika. Ia dapat melihat kartu nama yang tergantung pada dada dokter itu. Dan ia dapat membacanya dengan jelas, satu nama…
‘BACKLOT STATE MENTAL HOSPITAL’
“Tidak! Tidak! Tidak mungkin!”
Mike seketika bangkit dari tempat tidurnya. Ia berputar-putar, mencoba untuk mencari penjelasan mengenai hal yang membingungkan itu. Kenapa? Kenapa ia berada di dalam kamar rumah sakit jiwa? Apa yang sebenarnya terjadi?
“Aku tidak gila!” teriakknya.
Dokter itu terlihat menuliskan sesuatu pada clipboard yang ia bawa. Dan sedetik kemudian, ia bangkit dari kursinya dan mengarah ke pintu. Sebelum Mike dapat melakukan apapun, pintu itu sudah tertutup lagi. Terkunci dari luar.
“Bagaimana, Dr. Handerson?” tanya salah seorang polisi yang sudah menunggunya di luar ruangan Mike.
“Dia memiliki halusinasi mengenai sosok hitam ini. Yang sering ia teriakkan dalam tidurnya, dan berdasarkan dari laporan polisi, ia juga mengatakan mengenai sosok ini pada polisi?”
“Sosok yang berusaha masuk ke dalam rumahnya sehari sebelum tragedi itu terjadi.” Ucap polisi itu. “Tidak salah lagi, Michael Tunner adalah pembunuh dari Luiz Fernandes. Ada potongan rambut, dan sidik jari Tunner di Vicini Lodge, di TKP. Tidak salah lagi. Dan ia juga yang sudah membunuh istirnya sendiri, dengan perilaku ‘aneh’nya, mengenai sosok hitam itu.”
“Dia melakukannya tanpa sadar.” Ucap dokter itu. “Hal itu bisa terjadi dalam beberapa kasus penyakit jiwa yang berat. Mungkin dia memiliki kepribadian lain, yang tidak ia sadari. Yang termanifestasi dalam wujud ‘sosok hitam’, yang sering ia ucapkan.”
“Bagaimanapun, dia adalah tersangka.” Ucap polisi itu. “Bagaimana, Dr. Henderson? Dia siap untuk menjalani persidangan?”
“Sebaiknya kita tunggu perkembangan selanjutnya.”

Langkah dokter dan petugas polisi itu pun menghilang. Dan Mike, kembali berada dalam kesendiriannya. Apa yang sebenarnya sudah terjadi? Jana, istrinya, sudah meninggal. Bagaimana mungkin? Apakah ia memang orang yang melakukan semua itu?
“Kau menyesalinya, Michael?” tanya sebuah suara. Mike mengangkat wajahnya seketika, dan mendapati sosok hitam itu sudah berdiri di depannya.
“Aku adalah bagian dari sisi tergelapmu, Michael Tunner.” Ucap sosok itu. Sosok itu kemudian mengangkat tangannya, dan membuka tudung yang ia kenakan. Dan Mike dapat melihat, wajah yang begitu familiar itu menyeringai ke arahnya. Wajahnya sendiri.
“Aku sisi lain dari kehidupanmu.”

****

Friday, September 9, 2016

STALKER, THE CREEPING SHADOW



Kate sudah tidak ingat lagi sudah berapa lama ia memiliki perasaan takut itu. Sebuah perasaan terancam disaat ia sendirian, yang sudah ia rasakan sejak ia pindah ke kota baru. Kate pada awalnya tidak menghiraukan apa yang ia rasakan, dan berpikir bahwa mungkin hal itu hanya dikarenakan suasana baru tempat ia tinggal. Namun lama kelamaan, perasaan Kate mulai yakin bahwa memang ada yang tidak beres dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Tertutama saat ia pulang sendiri dari kantor setelah jam malam.
Kate merasa ragu sesaat sebelum ia melangkah keluar dari kantor telekomunikasi tempatnya bekerja. Ia harus pulang sendirian jam sepuluh malam, dan harus melewati jalan sepi itu untuk mencapai kontrakannya. Apa tidak ada jalan lain? Ya. Ada. Tapi Kate harus memutar dan akan memakan banyak waktu dan juga uang. Jalan tercepat adalah melalui sebuah jalan di pinggiran kota yang sudah cukup terkenal karena keangkerannya. Tidak ada banyak lampu jalan, dan keadaannya cukup terpencil.
Pertanyaan penting yang sering ditanyakan oleh rekan kerjanya, kenapa ia memilih tinggal di tempat seperti itu? Sebenarnya, Kate tidak memiliki banyak pilihan. Pekerjaannya lamanya tidak menghasilkan cukup banyak uang untuk dapat menyewa apartemen di tengah kota. Dan rumah yang ia kontraki saat ini adalah rumah dengan harga paling rendah. Meski begitu, keadaannya cukup menyenangkan di siang hari. Rumahnya menghadap tepat ke arah taman dimana terdapat banyak pohon rindang yang memberikan kesejukan. Namun ketika matahari terbenam, tempat itu seperti bagian lain dari dunia yang ia tempati. Terlihat suram, sepi, dan mencurigakan.
Apa yang sebenarnya takutkan? Ada banyak jawaban untuk hal itu. Pertama, adalah keadaan jalan yang sepi itu. Dan yang kedua, alasan yang cukup penting, adalah perasaan seperti dikuntit. Ya. Kate sudah merasakannya sejak ia mulai tinggal di kawasan itu. Meski Kate mencoba untuk mengabaikannya, lambat laun ketakutan itu mulai meracuni tubuhnya. Kate sudah banyak mendengar berita mengenai penyerangan di tempat-tempat gelap, oleh pria, yang mungkin ingin merampok atau memperkosa wanita seperti dirinya. Hal itu lebih menakutkan daripada hantu sekalipun. Dan ketakutan Kate cukup masuk akal.
Kate sudah mencoba untuk meminta bantuan pada salah satu temannya di kantor mengani masalah itu. Dan seperti yang Kate duga, mereka malam bertanya dan meminta Kate untuk pindah kontrakan. Jawaban yang sama sekali tidak membantu, dan Kate tentu saja tidak bisa pergi begitu saja dari rumah kontrakannya itu, tentu saja karena dana yang tidak memadai.
“Mungkin jika aku sudah memiliki cukup uang untuk pindah ke apartemen.” Ucap Kate.
Kate masih berdiri termangu di trotoar jalan, menunggu datangnya taksi. Ia lirik jam tangannya, yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Kate benar-benar tidak suka dengan pekerjaan yang mengharuskannya pulang malam. Namun mau bagaimana lagi? Pekerjaan sulit untuk di dapatkan.
Kate mencoba untuk menenangkan dirinya di dalam taksi, dalam perjalanannya pulang. Kenapa taksi tidak bisa mengantarkannya sampai depan rumah? Jawabnnya ada pada rekonstruksi jembatan yang memisahkan bagian kota dan tempat kontrakannya. Hal itu membuat taksi tidak bisa masuk ke dalam area perumahan pinggir kota itu.
Taksi itu berhenti lima belas menit kemudian. Kate turun di sisi jalan yang terlihat remang, yang hanya diterangi oleh sebuah lampu jalan berwarna jingga. Ketika taksi sudah pergi, Kate sadar bahwa ia akan melewati lagi satu perjalanan yang cukup mendebarkan itu.
Sebuah jalan kecil membelah kegelapan di pinggiran kota. Tidak ada begitu banyak rumah di kawasan itu, kecuali adanya beberapa taman tak terawat. Kate melewati sebuah tempat bermain tua yang terlihat sepi malam itu. Dan dengan tidak percaya, Kate merasa seperti melihat adanya sosok hitam di ayunan yang ada di taman itu. Namun ketika Kate memperhatikannya lagi, sosok itu sudah menghilang.
“Tenang, Kate!” ucap Kate pada dirinya sendiri. Ia berusaha untuk tenang, dan bergerak secepat mungkin untuk segera sampai di rumah.
Angin mulai berhembus kencang, tanpa alasan yang jelas. Phon-pohon besar yang ada di sepanjang tepian jalan mulai bergoyang. Membuat bayangannya menari-nari diatas jalan aspal, dan memberikan sensasi menegangkan yang hanya pernah Kate ketahui dari film horor. Kate menggerakkan kakinya secepat mungkin. Suara langkah kakinya adalah satu-satunya suara yang ada di tempat itu, selain gemerisik suara angin di pepohonan.
Kate bergerak melewati kontruksi di jembatan, yang saat itu sudah ditinggalkan oleh pekerjanya. Alat-alat berat masih tergeletak di sepanjang jembatan. Dan entah kenapa, semua hal itu semakin membuat Kate merasa tidak tenang.
Kate menghentikan langkahnya saat ia menendang sebuah barang kecil di jalan. Sebuah koin. Ketika ia merunduk untuk mengambil koin itu, untuk sesaat, ia melihat ada sosok hitam yang berdiri beberapa meter di belakangnya.
Jantung Kate melompat seketika. Kate tanpa sadar menoleh ke arah tempat sosok itu berada. Namun…, hilang. Sosok hitam itu tadi terlihat berada di ujung jembatan, namun kini hilang seperti asap. Apa Kate berhalusinasi?
Kate tidak mau terlalu lama berdiam di tempat itu. Ia segera melanjutkan langkahnya lagi. Namun…, perasaan itu tidak hilang. Kate merasa ada yang mengikutinya. Kate sama sekali tidak menoleh ke belakang. Namun ia tahu, bahwa ada yang tidak beres.
Kate pada akhirnya dapat bernafas lega saat rumahnya terlihat. Dan dengan beberapa langkah, ia tiba di teras rumahnya. Apakah ketakutannya hilang seketika? Tidak. Kate menoleh ke segala arah, mencoba membidikkan matanya melalui keremagangan yang ada di sekitar tempat itu. Namun usahanya itu sia-sia. Ia tidak melihat apapun.
Kate seharusnya bisa merasa lebih tenang saat ia sudha ada di dalam rumah. Ya. Perasaan cemasnya itu memang sudah berkurang. Namun ia paranoid. Ia memastikan semua jendela dan pintu terkunci rapat sebelum ia pergi tidur. Pukul dua belas, Kate naik ke atas tempat tidur. Untuk sesaat ia berdoa agar tidak ada hal aneh yang terjadi padanya. Apakah doanya itu akan terkabul begitu saja? Kate memejamkan matanya, dan mencoba untuk melupakan ketakutannya.

**

Kedua mata Kate terbuka seketika saat sebuah suara menggelegar terdengar. Kate bangun seketika, dan menyadari bahwa hujan deras turun di luar sana. Beberapa kilatan petir terlihat. Dan secara tidak sengaja, Kate melihat satu siluet hitam berdiri tepat di depan jendela kamarnya.
Kate berteriak, dan dengan cepat menghidupkan lampu kamarnya. Apa ia benar-benar yakin dengan apa yang ia lihat? Kilatan petir muncul lagi, dan sesaat membuat keadaan di luar jendelanya terang. Namun bayangan itu tidak terlihat lagi.
Kate sebenarnya terlalu takut untuk bangkit dari tempat tidurnya, namun ia harus memastikan keadaan di luar kamarnya. Ia bergerak ke arah jendela, membuka tirainya, dan tidak melihat adanya sosok hitam itu. Air dengan keras menghantam kaca jendela. Kate menghela nafasnya. Ia tidak tahu apakah yang ia lihat tadi nyata atau tidak. Dan untuk sesaat, ia merasa cukup gila. Mungkin ia akan benar-benar gila jika hal aneh seperti ini terus terjadi.
Kate tidak dapat tidur dengan nyenyak malam itu. Dan ia bangun terlalu pagi. Pukul enam, matahari belum sepenuhnya muncul. Keadaan di sekita tempat kontrakannya itu dipenuhi dengan kabut tebal, yang membuat jarak pandang berkurang. Kabut itu mungkin bukan kabut alami, mengingat daerah yang ia tempati bersebelahan dengan area industri.
Kate duduk di meja makan, dan seketika teringat dengan apa yang ia lihat semalam. Saat petir menyambar, bagian luar rumah terang selama beberapa detik. Dan ia begitu yakin saat itu melihat adanya bayangan yang berdiri di luar jendela kamarnya. Namun ketika ia periksa, sosok itu menghilang. Aneh, ‘kan? Kate bahkan menganggal dirinya sendiri gila.
Kate tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Hal selanjutnya yang terjadi adalah dirinya, dengan ponsel menempel di telinganya. Ia mencoba menghubungi kekasihnya yang berada di kota yang berbeda. Kate pun segera menumpahkan segala keluh kesah dan penglihatan-penlihatan yang ia lihat pada kekasihnya itu.
“Mungkin aku perlu kesana untuk menemanimu. Melihat apa yang sebenarnya…”
“Jangan!” ucap Kate seketika. “Kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu.”
“Aku bisa mengambil cuti.”
“Tidak, Matt.” Ucap kate. “Aku baik-baik saja. Hanya saja…, mungkin perasaanku. Aku masih abru disini. Mungkin aku terlalu banyak berpikir.”
“Kau yakin?”
“Ya.”
Memang tidak ada solusi yang Kate dapat setelah menghubungi Matt. Namun paling tidak perasaan berat di dadanya sudah sedikit berkurang. Namun tetap saja, rasa takut itu ada di dalam dirinya. Apakah ia akan terus merasa seperti itu?
Di kantor, Kate sedikitnya dapat melupakan mengenai sosok-sosok misterius yang menguntitnya itu. Pekerjaannya menumpuk, dan tebak saja! Ia mendapatkan jatah lembur. Seolah pekerjaan selama 12 jam itu belum cukup untuk menghancurkan kedua mata dan tubuhnya.
Pukul dua belas malam Kate baru menyelesaikan pekerjaannya. Ia bukanlah satu-satunya orang yang lembur malam itu. Masalahnya bukan itu. Masalahnya, ia harus pulang ke kontrakan. Dan lagi-lagi harus melewati jalan sepi itu.
“Kau bisa menginap di rumahku, jika kau mau.” Salah satu temannya menawarkan. Namun Kate masih belum cukup berani untuk menumpang di rumah salah satu temannya, meski hubungan diantara ia dan temannya itu sudah cukup dekat.
“Tidak akan ada apa-apa.” Ucap Kate. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri, dan berpikir positif.
“Kau harus berhati-hati, Kate.” Ucap temannya itu. “Kawasan tempatmu tinggal tidak begitu populer karena suatu alasan.”
“Ya. Terima kasih.”
Kate naik taksi seperti kemarin untuk mencapai kawasan perumahan tempatnya tinggal. Dan lagi-lagi, ia harus jalan kaki karena ada konstruksi jembatan itu.
Angin berhembus cukup kencang malam itu, membuat rambut coklatnya berkibar di udara. Kate menyilangkan lengannya di depan dada, berjalan cepat, dan sesekali menoleh ke belakang. Tidak ada apapun. Namun ia merasa tidak aman.
Kate hampir mencapai jembatan saat tiba-tiba saja lampu jalan di depannya padam. Kegelapan menyelimuti Kate seketika. Dan saat itu juga, Kate merasakan bulu kuduknya berdiri dengan begitu cepat. Secara spontan Kate memutar tubuhnya, memandang ke arah ujung jalan yang baru saja ia lewati. Yan terlihat hanyalah deretan rumah penduduk, dan…
Kate melonjak seketika saat ia melihat sosok gelap itu muncul dari arah taman, dan bergerak ke arahnya. Kate langsung menggerakkan kakinya, berusaha untuk menghindar. Tidak cukup, ia pun berlari. Berlari dengan ber-hak sulit untuk dilakukan. Namun Kate sudah tidak peduli lagi.
Kate menoleh saat ia nyaris sampai di rumahnya. Dan ia lihat, lagi-lagi, bayangan itu menghilang. Kate tidak tahu kemana perginya sosok itu. Dan ia tidak mau tahu. Ia segera masuk ke dalam rumahnya, dan memastikan pintu terkunci dengan rapat.
Kate mencoba untuk menenangkan dirinya lagi dengan meminum segelas air putih. Namun hal itu tidak benar-benar membantu. Ia duduk, merasa gelisah dengan apa yang baru saja ia lihat. Kate mulai merasa yakin bahwa ia dikuntit, oleh seseorang yang tidak dikenal. Haruskan ia menelepon polisi? Namun ancamannya sudah hilang untuk saat itu.
Dia tidak bisa tidur seperti kemarin. Pukul dua dini hari, kedua matanya masih terbuka di tengah kegelapan kamarnya. Ia dapat melihat cahaya perak bulan dari balik jendela kamarnya itu. Malam yang cukup tenang, dan tidak begitu berisik. Hal itu membuat suara kecil sekalipun terdengar mencurigakan di telinga Kate. Dan…
Kate menegang seketika saat ia mendengar sebuah suara di luar rumahnya. Suara tutup kaleng tempat sampah dibuka dan ditutup. Kate benar-benar yakin dengan suara itu. Siapa? Apakah penguntitnya itu, atau hanya gelandangan yang mencoba mencari makanan di tempat sampah?
Kate belum mau bangkit dari tempat tidurnya. Ia merasa benar-benar tertekan dengan keadaan yang ia alami. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan seluruh otot di tubuhnya menegang. Detik demi detik berlalu, dan tidak ada suara aneh lagi. Namun ketika Kate mulai mencoba untuk tidur, satu suara membuatnya waspada lagi.
Terdengar suara berat di teras rumahnya. Terdengar seperti suara langkah kaki berat, yang mungkin mengenakan sepatu berat. Detuk langkah itu terdengar pelan, namun jelas. Kate bergetar, dan dengan erat memeluk bantal di dadanya.
Lima menit berlalu tanpa ada suara langkah kaki itu lagi. Namun sedetik kemudian, Kate dibuat melonjak saat pintu depan rumahnya bergetar dengan hebat. Terdengar saura knob pintu diputar dan didorong. Pintu masih terkunci, dan siapapun orang itu tidak akan bisa masuk dengan cara normal. Namun hal itu sudah diluar kewajaran. Kate seketika meraih telepon yang ada di sisi tempat tidurnya dan men-dial nomor darurat.
“Ada seseorang yang mencoba masuk ke rumahku.” Ucap Kate dengan nada bergetar. Pandangan matanya terpaku pada pintu kamarnya. Dan suara knob pintu itu masih terdengar.
“Tolong aku!”
Berapa lama waktu yang diperlukan hingga polisi datang? Mungkin tidak lebih dari lima menit. Namun Kate merasa sudah berjam-jam sejak ia meminta bantuan. Suara knob pintu itu sudah menghilang. Namun suara langkah kaki itu terdengar kembali. Langkah kaki itu bergerak mengelilingi rumahnya. Mungkin masih mencoba satu cara untuk masuk ke dalam rumahnya. Kate mendesah, dan rasanya ingin menangis. Hingga akhirnya suara sirine mobil patroli terdengar, dan berhenti tepat di depan rumahnya.
Kate segera bangkit dari tempat tidurnya dan berlari ke arah pintu depan. Ia membuka pintu tepat saat dua anggota polisi berdiri di depan pintu.
“Nyonya?”
“Ada yang ingin masuk.” Ucap Kate dengan tergesa. “Seseorang…, yang sudah mengikutiku sejak lama. Sosok itu menguntitku…, aku…”
“Tenang Nyonya! Jelaskan perlahan!”
Membutuhkan cukup lama waktu bagi Kate untuk menjelaskan segala permasalahan mengenai penguntit misteriusnya itu. Dan kedua polisi itu ternyata mau benar-benar membenarkan. Mereka bertanya, kenapa Kate tidak segera melaporkan hal itu pada polisi? Jawabannya, Kate masih belum merasa begitu yakin dengan apa yang ia rasakan. Pad awalnya ia hanya menganggap bayangan itu sebagai manifestasi dari ketakutannya, akibat dari kepindahannya ke kota itu.
“Malam ini…” ucap Kate masih dengan nada bergetar. “Dia mencoba masuk. Aku…, aku tidak tahu apa yang ia inginkan dariku.”
Ucapan Kate terpotong sat seorang petugas polisi lain bergerak masuk ke dalam ruangan. Ia memandang ke arah kawan polisinya sambil mengangguk pelan.
“Aku menemukan jejak kaki di sekitar rumah. Sepatu boot, pria, mungkin dengan tinggi sekitar 180 cm. Nn. Summer mengatakan yang sebenarnya.”
Kate berada di ambang keputusasaan. Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia pergi dari kota itu? Tapi bagaimana dengan pekerjaannya? Ia tahu betapa sulit untuk mendapatkan pekerjaannya yang sekarang ini.
“Nn. Summer,…” ucap polisi itu. “Pernahkah Anda membaca surat kabar akhir-akhir ini.”
“Tidak.” Jawab Kate. “Kenapa? Ada kaitannya dengan…”
“Kasus mengenai punguntit ini sudah terjadi kurang lebih tiga bulan.” Ucap polisi itu menjelaskan. “Pria ini berbahaya. Dia mengincar wanita sepertimu. Dan dalam beberapa minggu terakhir, ada begitu banyak laporan masuk mengenai penguntit itu. Hingga kini kami masih dalam tahap pelacakan.”
“Orang ini…” ucap Kate. “Apa mungkin penguntit itu? Apa yang sebenarnya ia inginkan?”
“Tidak ada yang benar-benar ia inginkan.” Jawab sang polisi. “Kecuali menguntit dan menakuti wanita sepertimu. Tapi dia berbahaya. Kasus terakhir mengatakan penguntit itu nyaris membunuh korbannya.”
“Astaga! Lalu apa yang harus aku lakukan? Maksudku…, aku hidup sendiri…”
“Kau tidak punya rekan atau keluarga yang mungkin bisa menemanimu tinggal untuk sementara waktu, Nn. Summer?”
Ya. Ada. Matthew. Hanya pria itu yang mungkin bisa menemaninya hingga kasus mengenai penguntit ini selesai. Atau paling tidak, hingga ia dapat meraih keberaniannya lagi untuk tinggal sendirian.
Hanya itu solusi yang dapat Kate pikirkan saat itu. Ia tahu bahwa Matt memiliki pekerjaan yang super sibuk. Tapi mungkin Matt mau mengerti. Pria itu akan melakukan apapun untuk Kate.
“Kami akan menempatkan dua anggota polisi untuk malam ini, Nn. Summer. Dan sebaiknya kau segera menghubungi orang itu.”
Matt datang keesokan harinya. Kate memutuskan untuk tidak ke kantor hari itu. Dua petugas polisi masih menjaga rumahnya. Untuk sesaat, Kate merasa cukup aman dengan keadaan yang ada. Dan seperti apa yang sudah Kate duga, wajah Matt dipenuhi dengan perhatian yang menurutnya sedikit berlebihan, dan Kate belum pernah melihat Matt sekacau itu.
“Kau sudah tenang?” tanya Matt sambil mendudukkan Kate ke kursi dapur. “Aku segera memesan tiket pesawat semalam setelah kau menelepon.”
“Terima kasih.” Ucap Kate dengan nada lirih. Ketakutan di dalam dirinya membuat ia tak berdaya, dan terlalu lemah untuk berbicara. Namun pada akhirnya, dengan ditemani secangkir kopi, ia mulai menjelaskan segalanya pada Matt.
“Kuharap pria itu segera ditangkap.” Ucap Matt. “Dan jangan khawatir! Aku akan terus berada disini untuk memastikan kau aman.”
“Tapi pekerjaannmu…”
“Kau lebih penting dari itu, Kate.”
Polisi tidak selamanya bisa menempatkan anggotanya di rumah Kate. Dua hari sejak kejadian malam itu, Kate hanya ditemani oleh Matt. Dan karena rasa takutnya, Kate menjadi sedikit paranoid dengan segalanya. Bayangan pohon yang bergerak tertiup angin ia kira sosok itu lagi. Kate merasa benar-benar gila.
Ia juga sudah menemui dokter untuk menanyakan soal kesehatan jiwanya. Satu hal yang pasti, ia mengalami serangan rasa cemas yang akut, dan mungkin trauma. Dokter hanya dapat memberikannya obat penenang, yang mungkin bisa berhasil. Mungkin.
Seminggi berlalu. Kate sudah kembali bekerja, diantara dan dijemput Matt setiap hari. Mereka tentu saja masih harus melewati jalanan sepi dan jembatan itu. Namun dengan adanya Matt, Kate tidak perlu merasa khawatir. Ya. Seseorang yang mencintainya, kini melindunginya.
Sebuah kabar yang cukup menggembirakan datang Senin pagi, saat Kate tengah menyiapkan sarapan di dapur. Matt berlari dari pintu depan dengan koran di tangan. Ia berteriak ruang ke arah wanita itu.
“Lihat ini!”
Kate mengarahkan matanya pada artikel yang Matt tunjuk. Disana dikatakan, bahwa penguntit misterius itu, yang ternyata bernama Seth Coswell, telah ditangkap. Kate tertawa lebar seketika, menegtahui bahwa mimpi buruknya telah berakhir.
“Oh…, Kate. Sayang!”
Keduanya berpelukan, merasa begitu lega dengan apa yang baru saja ia ketahui. Kate, disatu sisi, berterima kasih dengan apa yang sudah terjadi. Ia tidak perlu takut lagi sekarang, ‘kan? Dan Matt, mungkin sudah bisa kembali ke pekerjaannya.
Matt masih melakukan antar jemput untuk Kate selama beberapa hari kedepan. Memang sedikit sulit untk melepaskan Kate begitu saja. Entah kenapa, Matt masih merasa bahwa keadaannya sudah cukup aman.
“Kau harus segera kembali.” Ucap Kate di suatu pagi sesaat sebelum ia berangkat ke kantor. “Aku serius, sayang. Kau harus kembali ke pekerjaanmu. Aku akan baik-baik saja.”
“Kau yakin? Karena aku masih merasa…”
“Pria itu sudah ada dibalik jeruji besi.” Ucap Kate. “Tidak ada yang perlu kau kahwatirkan lagi. Mungkin dalam seminggu, kita akan melupakan hal ini.”
Matt tentu saja masih membutuhkan pekerjaannya. Ia berencana berangkat keesokan harinya, dan untuk malam terakhir, ia ingin mengejutkan Kate dengan makam malam yang sudah ia persiapkan sejak pagi. Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam saat Matt selesai menata piring. Ia memadamkan lampu ruang makan, dan menggantinya dengan lilin. Cukup romantis, menurutnya.
Ketukan di pintu depan membuat Matt tersenyum lebar. Kate. Ia tidak bisa menahan rasa penasarannya untuk melihat wajah Kate saat melihat meja makan. Matt bergerak cepat ke pintu depan, membukanya, dan…, Matt membeku seketika.

**

“Syukurlah kasus itu berakhir.” Ucap salah satu kawan Kate di kantor, ketika ia membicarakan mengenai masalah stalker itu. Kate mengangguk menyetujui ucapan temannya. Memang, selama beberapa minggu terakhir, ia tidak dapat hidup dengan tenang. Tidurnya selalu dipenuhi dengan mimpi buruk, dan sepertinya ia tidak pernah berhenti untuk terus was-was. Namun kini semua hal itu telah berakhir.
“Kau mau kutemani?” tanya kawannya sesaat sebelum Kate memutuskan untuk pulang malam itu.
“Aku akan baik-baik saja.” Ucap Kate sambil tersenyum seraya meraih tasnya. “Tidak ada yang perlu ditakuti lagi.”
Ya. Kate seratus persen yakin bahwa memang sudah tidak ada yang perlu ditakuti lagi. Ia memang membaca mengenai penangkapan stalker itu di surat kabar. Namun untuk satu dua hari setelahnya, Kate masih was-was. Dia tidak percaya seratus persen dengan hal itu, meski satu sisi hatinya mengatakan bahwa bahaya telah berakhir. Apakah benar seperti itu?
Sudah beberapa hari ini Kate berjalan pulang melalui jalan sepi itu tanpa dinaungi lagi oleh perasaan cemas dan takut. Ia berkali-ali menoleh ke belakang, namun yang ada hanyalah kesunyian suasana. Dan entah kenapa, semenjak tertangkapnya stalker itu, hawa malam menjadi sedikit bersahabat. Tidak ada lagi angin dingin yang berhembus, yang memaksa Kate untuk merapatkan kerah jaketnya.
Perjalanan lima belas menit menggunakan taksi pada akhirnya mengantarkan Kate pada jalan sepi itu lagi. Cahaya remang yang dihasilkan oleh beberapa lampu jalan benar-benar tidak dapat membantu untuk menemukan hal yang mencurigakan. Namun Kate tidak merasa khawatir sedikitpun. Ia berjalan normal, dengan pemikirkan bahwa Matt akan menyambut kedatangannya. Mungkin malam ini adalah malam terakhir ia bisa bersama pria itu.
Kate dapat melihat rumah kontrakannya, yang terlihat lebih mengundang dari biasanya. Cahaya jingga memancar dari dalam, menunjukkan sebuah kehangatan yang benar-benar Kate idamkan. Ia naik ke teras, mengarah ke pintu depan, tapi sesuatu menarik perhatiannya.
Pintu depan tidak benar-benar tertutup. Seketika Kate merasakan jantungnya melonjak di dalam dadanya. Apa yang mungkin terjadi? Kate tahu bahwa mungkin ia hanya paranoid. Tapi…
“Ohh!!”
Kate seketika mendekap mulutnya saat ia melihat bekas merah di lantai tepat dibelakang pintu. Bekas sapuan berwarn merah yang terseret hingga ke bagian belakang rumah. Bekas apa itu?
“Matt?” panggil Kate. Kate mencoba untuk menghilangkan asumsinya mengenai bekas merah itu. Darah? Dia tidak mau memikirkannya.
“Matt, kau didalam?” teriak Kate lagi sambil terus bergerak memasuki ruangan. Semakin lama ia memandang pada bekas merah itu, Kate menjadi semakin yakin bahwa keadaan yang buruk akan segera ia temui. Namun Kate terlalu takut untuk membayangkannya.
“Matt!! Astaga!”
Aroma anyir itu membubung memenuhi ruangan. Kate menutup hidungnya, dengan kedua bola mata mulai berair. Ia tidak mau membayangkan apa yang terjadi pada Matt.
Kate tiba di dapur. Keadaannya gelap di tempat itu. Hanya ada cahaya temaram dari lilin yang terpasang di meja makan, yang sudah ditata dengan rapi oleh Matt. Tapi dimana pria itu?
“Matt, kau menakutiku!” teriak Kate dengan nada bergetar, nyaris menangis.
Insting Kate membuatnya mengikuti arah sapuan warna merah itu. Bekas merah itu mengarah ke sebuah pintu, yang kemudian mengarah ke ruang bawah tanah dimana biasanya Kate mencuci bajunya.
Kate menarik saklar lampu ruang bawah tanah. Dan seketika, ia temukan bekas sapuan warna merah kehitaman itu mengarah ke salah satu kloset. Kate bergetar. Dia tidak mau tahu apa yang ada di dalam kloset itu, tapi otot di tubuhnya bergerak dengan sendirinya. Tangannya terangkat, menggenggam kenop pintu kloset, dan ia buka…
“TIDAK!!! MATT!!!”
Tubuh Matt tergeletak di dalam kloset, menekuk dengan kedua lutut terlipat di depan dada. Darah mengalir dari mulut dan hidung pria itu. Namun bekas luka terbesar adalah pada perut Matt, yang seolah sudah dirobek oleh sesuatu yang besar.
Kate terhuyung mundur, dan rasanya ingin pingsan. Ia ingin pingsan jika itu memungkinkan. Tapi yang terjadi hanyalah dirinya, yang berdiri kaku seperti patung, menangis, meratapi apa yang terjadi pada Matt. Kate menggeleng tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Matt, tergeletak, tewas dengan luka yang mengerikan. Siapa yang melakukan ini?
Perhatian Kate teralih saat ia mendengar suara langkah kaki menuruni tangga. Dan seketika ia melihat sosok yang sudah menghantuinya sejak ia tinggal di kota itu. Si penguntit itu, yang entah kenapa bisa berkeliaran, mengingat ia sudah tertangkap. Tapi Kate berpikir, apa ia salah kira dengan apa yang terjadi?
“Katherine Summer.” Gumam sosok berbaju hitam berkerudung itu sambil terus bergerak mendekat. Di tangannya terdapat semacam pisau dengan noda merah melumuri bagian tajamnya.
“Kau mungkin berpikir bahwa stalker itu adalah masalahmu. Tapi kini kukatakan, akulah masalahmu.”
“Kau…” gumam Kate dengan nada bergetar. “Kau…, bukan…”
“Aku seseorang dari masa lalumu, Kate. Aku bukan stalker itu. Jika itu yang selama ini kau kira, dan kau kira sudah aman? Lihat apa yang terjadi dengan kekasihmu!”
“Apa maumu?” balas Kate. Kate terus bergerak mundur hingga ia menabrak dinding. Ia tidak bisa bergerak kemana-mana, sementara sosok itu terus bergerak maju.
“Kau tidak lupa dengan wajah ini, ‘kan?” ucap pria itu. Dengan satu tangan, ia buka kerudung yang menutupi kepalanya. Dan kini terlihatlah wujud iblis asli itu. Seorang pria yang memang Kate kenal sejak dulu.
“Anthony!” pekik Kate.
“Kau tidak akan pernah lupa dengan hati yang kau sakiti.” Ucap pria itu. “Kau meninggalkanku, untuk pria ini? Setelah semua hal yang kulakukan untukmu.”
“Tidak seperti itu. Kau salah paham.” Ucap Kate. “Matt tidak ada hubungannya dengan semua ini. Tapi kau membunuhnya?”
“Aku akan membunuh siapapun untuk mendapatkanmu kembali, Kate.” Ucap pria itu. “KATE!!”
Tatapan tajam itu mengarah langsung pada kedua mata Kate. Kate membeku. Tidak ia sangka bahwa mantan kekasihnya itu rela melakukan hal sekejam itu pada Matt.
“Dengar, Anthony…”
“Terlambat.” Ucap pria itu. “Aku sudah kehilangan segalanya saat kau meninggalkanku. Kau tidak tahu penderitaanku.”
“APA MAUMU?” teriak Kate. Air mata menetes tak terkira dari rongga matanya.
“Nyawamu.”

**

Hari masih terlalu pagi, dimana kabut belum sepenuhnya hilang dari area perumaham tepi kota itu. Namun beberapa mobil patroli kepolisian sudah ada di sana sejak tiga puluh menit yang lalu.
Kediaman Katherine Summer dipenuhi dengan polisi. Setelah laporan yang mereka terima satu jam sebelumnya, mereka kini menemukan dua jasad dalam keadaan tercabik di ruang bawah tanah rumah itu. Kate Summer, dan kekasihnya Matt. Polisi masih belum tahu siapa pelaku dari pembunuhan sadis ini. Dan mungkin, misterinya tidak akan terpecahkan dalam waktu dekat.
Pria itu hanya dapat memandang dari ujung jalan ke arah kerumunan yang memenuhi sekitar rumah Kate. Pria itu memakai kudungnya kembali, dan dengan satu gerakan melemparkan pisau penuh darahnya ke arah parit. Tugasnya sudah selesai. Apa itu yang memang benar-benar ia inginkan? Membunuh mantan pacarnya?
Tidak akan ada yang pernah tahu apa yang sebenarnya ada di dalam kepala pria itu. Beberapa hari kemudian, ia ditemukan tewas dengan luka tembak di kepala. Satu pistol berada di tangan kanannnya. Kemungkinannya, bunuh diri. Polisi menganggap bahwa ini adalah kasus yang berbeda, dan tidak ada hubungannya dengan kematian Katherine Summer. Tapi…, mungkin hanya Tuhan yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.

****