Kate sudah tidak ingat lagi sudah berapa lama ia memiliki
perasaan takut itu. Sebuah perasaan terancam disaat ia sendirian, yang sudah ia
rasakan sejak ia pindah ke kota baru. Kate pada awalnya tidak menghiraukan apa
yang ia rasakan, dan berpikir bahwa mungkin hal itu hanya dikarenakan suasana
baru tempat ia tinggal. Namun lama kelamaan, perasaan Kate mulai yakin bahwa
memang ada yang tidak beres dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Tertutama
saat ia pulang sendiri dari kantor setelah jam malam.
Kate merasa ragu sesaat
sebelum ia melangkah keluar dari kantor telekomunikasi tempatnya bekerja. Ia
harus pulang sendirian jam sepuluh malam, dan harus melewati jalan sepi itu
untuk mencapai kontrakannya. Apa tidak ada jalan lain? Ya. Ada. Tapi Kate harus
memutar dan akan memakan banyak waktu dan juga uang. Jalan tercepat adalah
melalui sebuah jalan di pinggiran kota yang sudah cukup terkenal karena
keangkerannya. Tidak ada banyak lampu jalan, dan keadaannya cukup terpencil.
Pertanyaan penting yang
sering ditanyakan oleh rekan kerjanya, kenapa ia memilih tinggal di tempat
seperti itu? Sebenarnya, Kate tidak memiliki banyak pilihan. Pekerjaannya
lamanya tidak menghasilkan cukup banyak uang untuk dapat menyewa apartemen di
tengah kota. Dan rumah yang ia kontraki saat ini adalah rumah dengan harga
paling rendah. Meski begitu, keadaannya cukup menyenangkan di siang hari.
Rumahnya menghadap tepat ke arah taman dimana terdapat banyak pohon rindang
yang memberikan kesejukan. Namun ketika matahari terbenam, tempat itu seperti
bagian lain dari dunia yang ia tempati. Terlihat suram, sepi, dan mencurigakan.
Apa yang sebenarnya
takutkan? Ada banyak jawaban untuk hal itu. Pertama, adalah keadaan jalan yang
sepi itu. Dan yang kedua, alasan yang cukup penting, adalah perasaan seperti
dikuntit. Ya. Kate sudah merasakannya sejak ia mulai tinggal di kawasan itu.
Meski Kate mencoba untuk mengabaikannya, lambat laun ketakutan itu mulai
meracuni tubuhnya. Kate sudah banyak mendengar berita mengenai penyerangan di
tempat-tempat gelap, oleh pria, yang mungkin ingin merampok atau memperkosa
wanita seperti dirinya. Hal itu lebih menakutkan daripada hantu sekalipun. Dan
ketakutan Kate cukup masuk akal.
Kate sudah mencoba untuk
meminta bantuan pada salah satu temannya di kantor mengani masalah itu. Dan
seperti yang Kate duga, mereka malam bertanya dan meminta Kate untuk pindah
kontrakan. Jawaban yang sama sekali tidak membantu, dan Kate tentu saja tidak
bisa pergi begitu saja dari rumah kontrakannya itu, tentu saja karena dana yang
tidak memadai.
“Mungkin jika aku sudah
memiliki cukup uang untuk pindah ke apartemen.” Ucap Kate.
Kate masih berdiri termangu
di trotoar jalan, menunggu datangnya taksi. Ia lirik jam tangannya, yang
menunjukkan pukul sepuluh malam. Kate benar-benar tidak suka dengan pekerjaan
yang mengharuskannya pulang malam. Namun mau bagaimana lagi? Pekerjaan sulit
untuk di dapatkan.
Kate mencoba untuk
menenangkan dirinya di dalam taksi, dalam perjalanannya pulang. Kenapa taksi
tidak bisa mengantarkannya sampai depan rumah? Jawabnnya ada pada rekonstruksi
jembatan yang memisahkan bagian kota dan tempat kontrakannya. Hal itu membuat
taksi tidak bisa masuk ke dalam area perumahan pinggir kota itu.
Taksi itu berhenti lima
belas menit kemudian. Kate turun di sisi jalan yang terlihat remang, yang hanya
diterangi oleh sebuah lampu jalan berwarna jingga. Ketika taksi sudah pergi,
Kate sadar bahwa ia akan melewati lagi satu perjalanan yang cukup mendebarkan
itu.
Sebuah jalan kecil membelah
kegelapan di pinggiran kota. Tidak ada begitu banyak rumah di kawasan itu,
kecuali adanya beberapa taman tak terawat. Kate melewati sebuah tempat bermain
tua yang terlihat sepi malam itu. Dan dengan tidak percaya, Kate merasa seperti
melihat adanya sosok hitam di ayunan yang ada di taman itu. Namun ketika Kate
memperhatikannya lagi, sosok itu sudah menghilang.
“Tenang, Kate!” ucap Kate
pada dirinya sendiri. Ia berusaha untuk tenang, dan bergerak secepat mungkin
untuk segera sampai di rumah.
Angin mulai berhembus
kencang, tanpa alasan yang jelas. Phon-pohon besar yang ada di sepanjang tepian
jalan mulai bergoyang. Membuat bayangannya menari-nari diatas jalan aspal, dan
memberikan sensasi menegangkan yang hanya pernah Kate ketahui dari film horor.
Kate menggerakkan kakinya secepat mungkin. Suara langkah kakinya adalah
satu-satunya suara yang ada di tempat itu, selain gemerisik suara angin di
pepohonan.
Kate bergerak melewati
kontruksi di jembatan, yang saat itu sudah ditinggalkan oleh pekerjanya.
Alat-alat berat masih tergeletak di sepanjang jembatan. Dan entah kenapa, semua
hal itu semakin membuat Kate merasa tidak tenang.
Kate menghentikan langkahnya
saat ia menendang sebuah barang kecil di jalan. Sebuah koin. Ketika ia merunduk
untuk mengambil koin itu, untuk sesaat, ia melihat ada sosok hitam yang berdiri
beberapa meter di belakangnya.
Jantung Kate melompat
seketika. Kate tanpa sadar menoleh ke arah tempat sosok itu berada. Namun…,
hilang. Sosok hitam itu tadi terlihat berada di ujung jembatan, namun kini
hilang seperti asap. Apa Kate berhalusinasi?
Kate tidak mau terlalu lama
berdiam di tempat itu. Ia segera melanjutkan langkahnya lagi. Namun…, perasaan
itu tidak hilang. Kate merasa ada yang mengikutinya. Kate sama sekali tidak
menoleh ke belakang. Namun ia tahu, bahwa ada yang tidak beres.
Kate pada akhirnya dapat
bernafas lega saat rumahnya terlihat. Dan dengan beberapa langkah, ia tiba di
teras rumahnya. Apakah ketakutannya hilang seketika? Tidak. Kate menoleh ke
segala arah, mencoba membidikkan matanya melalui keremagangan yang ada di
sekitar tempat itu. Namun usahanya itu sia-sia. Ia tidak melihat apapun.
Kate seharusnya bisa merasa
lebih tenang saat ia sudha ada di dalam rumah. Ya. Perasaan cemasnya itu memang
sudah berkurang. Namun ia paranoid. Ia memastikan semua jendela dan pintu
terkunci rapat sebelum ia pergi tidur. Pukul dua belas, Kate naik ke atas
tempat tidur. Untuk sesaat ia berdoa agar tidak ada hal aneh yang terjadi
padanya. Apakah doanya itu akan terkabul begitu saja? Kate memejamkan matanya,
dan mencoba untuk melupakan ketakutannya.
**
Kedua mata Kate terbuka
seketika saat sebuah suara menggelegar terdengar. Kate bangun seketika, dan
menyadari bahwa hujan deras turun di luar sana. Beberapa kilatan petir terlihat.
Dan secara tidak sengaja, Kate melihat satu siluet hitam berdiri tepat di depan
jendela kamarnya.
Kate berteriak, dan dengan
cepat menghidupkan lampu kamarnya. Apa ia benar-benar yakin dengan apa yang ia
lihat? Kilatan petir muncul lagi, dan sesaat membuat keadaan di luar jendelanya
terang. Namun bayangan itu tidak terlihat lagi.
Kate sebenarnya terlalu
takut untuk bangkit dari tempat tidurnya, namun ia harus memastikan keadaan di
luar kamarnya. Ia bergerak ke arah jendela, membuka tirainya, dan tidak melihat
adanya sosok hitam itu. Air dengan keras menghantam kaca jendela. Kate menghela
nafasnya. Ia tidak tahu apakah yang ia lihat tadi nyata atau tidak. Dan untuk
sesaat, ia merasa cukup gila. Mungkin ia akan benar-benar gila jika hal aneh
seperti ini terus terjadi.
Kate tidak dapat tidur
dengan nyenyak malam itu. Dan ia bangun terlalu pagi. Pukul enam, matahari
belum sepenuhnya muncul. Keadaan di sekita tempat kontrakannya itu dipenuhi
dengan kabut tebal, yang membuat jarak pandang berkurang. Kabut itu mungkin
bukan kabut alami, mengingat daerah yang ia tempati bersebelahan dengan area
industri.
Kate duduk di meja makan,
dan seketika teringat dengan apa yang ia lihat semalam. Saat petir menyambar,
bagian luar rumah terang selama beberapa detik. Dan ia begitu yakin saat itu
melihat adanya bayangan yang berdiri di luar jendela kamarnya. Namun ketika ia
periksa, sosok itu menghilang. Aneh, ‘kan? Kate bahkan menganggal dirinya
sendiri gila.
Kate tidak tahu apa yang
harus ia lakukan. Hal selanjutnya yang terjadi adalah dirinya, dengan ponsel
menempel di telinganya. Ia mencoba menghubungi kekasihnya yang berada di kota
yang berbeda. Kate pun segera menumpahkan segala keluh kesah dan
penglihatan-penlihatan yang ia lihat pada kekasihnya itu.
“Mungkin aku perlu kesana
untuk menemanimu. Melihat apa yang sebenarnya…”
“Jangan!” ucap Kate
seketika. “Kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu.”
“Aku bisa mengambil cuti.”
“Tidak, Matt.” Ucap kate.
“Aku baik-baik saja. Hanya saja…, mungkin perasaanku. Aku masih abru disini.
Mungkin aku terlalu banyak berpikir.”
“Kau yakin?”
“Ya.”
Memang tidak ada solusi yang
Kate dapat setelah menghubungi Matt. Namun paling tidak perasaan berat di
dadanya sudah sedikit berkurang. Namun tetap saja, rasa takut itu ada di dalam
dirinya. Apakah ia akan terus merasa seperti itu?
Di kantor, Kate sedikitnya
dapat melupakan mengenai sosok-sosok misterius yang menguntitnya itu.
Pekerjaannya menumpuk, dan tebak saja! Ia mendapatkan jatah lembur. Seolah
pekerjaan selama 12 jam itu belum cukup untuk menghancurkan kedua mata dan
tubuhnya.
Pukul dua belas malam Kate
baru menyelesaikan pekerjaannya. Ia bukanlah satu-satunya orang yang lembur
malam itu. Masalahnya bukan itu. Masalahnya, ia harus pulang ke kontrakan. Dan
lagi-lagi harus melewati jalan sepi itu.
“Kau bisa menginap di
rumahku, jika kau mau.” Salah satu temannya menawarkan. Namun Kate masih belum
cukup berani untuk menumpang di rumah salah satu temannya, meski hubungan
diantara ia dan temannya itu sudah cukup dekat.
“Tidak akan ada apa-apa.”
Ucap Kate. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri, dan berpikir positif.
“Kau harus berhati-hati,
Kate.” Ucap temannya itu. “Kawasan tempatmu tinggal tidak begitu populer karena
suatu alasan.”
“Ya. Terima kasih.”
Kate naik taksi seperti
kemarin untuk mencapai kawasan perumahan tempatnya tinggal. Dan lagi-lagi, ia
harus jalan kaki karena ada konstruksi jembatan itu.
Angin berhembus cukup
kencang malam itu, membuat rambut coklatnya berkibar di udara. Kate
menyilangkan lengannya di depan dada, berjalan cepat, dan sesekali menoleh ke
belakang. Tidak ada apapun. Namun ia merasa tidak aman.
Kate hampir mencapai
jembatan saat tiba-tiba saja lampu jalan di depannya padam. Kegelapan
menyelimuti Kate seketika. Dan saat itu juga, Kate merasakan bulu kuduknya berdiri
dengan begitu cepat. Secara spontan Kate memutar tubuhnya, memandang ke arah
ujung jalan yang baru saja ia lewati. Yan terlihat hanyalah deretan rumah
penduduk, dan…
Kate melonjak seketika saat
ia melihat sosok gelap itu muncul dari arah taman, dan bergerak ke arahnya.
Kate langsung menggerakkan kakinya, berusaha untuk menghindar. Tidak cukup, ia
pun berlari. Berlari dengan ber-hak sulit untuk dilakukan. Namun Kate sudah
tidak peduli lagi.
Kate menoleh saat ia nyaris
sampai di rumahnya. Dan ia lihat, lagi-lagi, bayangan itu menghilang. Kate
tidak tahu kemana perginya sosok itu. Dan ia tidak mau tahu. Ia segera masuk ke
dalam rumahnya, dan memastikan pintu terkunci dengan rapat.
Kate mencoba untuk
menenangkan dirinya lagi dengan meminum segelas air putih. Namun hal itu tidak
benar-benar membantu. Ia duduk, merasa gelisah dengan apa yang baru saja ia
lihat. Kate mulai merasa yakin bahwa ia dikuntit, oleh seseorang yang tidak
dikenal. Haruskan ia menelepon polisi? Namun ancamannya sudah hilang untuk saat
itu.
Dia tidak bisa tidur seperti
kemarin. Pukul dua dini hari, kedua matanya masih terbuka di tengah kegelapan
kamarnya. Ia dapat melihat cahaya perak bulan dari balik jendela kamarnya itu.
Malam yang cukup tenang, dan tidak begitu berisik. Hal itu membuat suara kecil
sekalipun terdengar mencurigakan di telinga Kate. Dan…
Kate menegang seketika saat
ia mendengar sebuah suara di luar rumahnya. Suara tutup kaleng tempat sampah
dibuka dan ditutup. Kate benar-benar yakin dengan suara itu. Siapa? Apakah
penguntitnya itu, atau hanya gelandangan yang mencoba mencari makanan di tempat
sampah?
Kate belum mau bangkit dari
tempat tidurnya. Ia merasa benar-benar tertekan dengan keadaan yang ia alami.
Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan seluruh otot di tubuhnya menegang.
Detik demi detik berlalu, dan tidak ada suara aneh lagi. Namun ketika Kate
mulai mencoba untuk tidur, satu suara membuatnya waspada lagi.
Terdengar suara berat di
teras rumahnya. Terdengar seperti suara langkah kaki berat, yang mungkin
mengenakan sepatu berat. Detuk langkah itu terdengar pelan, namun jelas. Kate
bergetar, dan dengan erat memeluk bantal di dadanya.
Lima menit berlalu tanpa ada
suara langkah kaki itu lagi. Namun sedetik kemudian, Kate dibuat melonjak saat
pintu depan rumahnya bergetar dengan hebat. Terdengar saura knob pintu diputar
dan didorong. Pintu masih terkunci, dan siapapun orang itu tidak akan bisa
masuk dengan cara normal. Namun hal itu sudah diluar kewajaran. Kate seketika
meraih telepon yang ada di sisi tempat tidurnya dan men-dial nomor darurat.
“Ada seseorang yang mencoba
masuk ke rumahku.” Ucap Kate dengan nada bergetar. Pandangan matanya terpaku
pada pintu kamarnya. Dan suara knob pintu itu masih terdengar.
“Tolong aku!”
Berapa lama waktu yang
diperlukan hingga polisi datang? Mungkin tidak lebih dari lima menit. Namun
Kate merasa sudah berjam-jam sejak ia meminta bantuan. Suara knob pintu itu
sudah menghilang. Namun suara langkah kaki itu terdengar kembali. Langkah kaki
itu bergerak mengelilingi rumahnya. Mungkin masih mencoba satu cara untuk masuk
ke dalam rumahnya. Kate mendesah, dan rasanya ingin menangis. Hingga akhirnya
suara sirine mobil patroli terdengar, dan berhenti tepat di depan rumahnya.
Kate segera bangkit dari
tempat tidurnya dan berlari ke arah pintu depan. Ia membuka pintu tepat saat
dua anggota polisi berdiri di depan pintu.
“Nyonya?”
“Ada yang ingin masuk.” Ucap
Kate dengan tergesa. “Seseorang…, yang sudah mengikutiku sejak lama. Sosok itu
menguntitku…, aku…”
“Tenang Nyonya! Jelaskan
perlahan!”
Membutuhkan cukup lama waktu
bagi Kate untuk menjelaskan segala permasalahan mengenai penguntit misteriusnya
itu. Dan kedua polisi itu ternyata mau benar-benar membenarkan. Mereka
bertanya, kenapa Kate tidak segera melaporkan hal itu pada polisi? Jawabannya,
Kate masih belum merasa begitu yakin dengan apa yang ia rasakan. Pad awalnya ia
hanya menganggap bayangan itu sebagai manifestasi dari ketakutannya, akibat
dari kepindahannya ke kota itu.
“Malam ini…” ucap Kate masih
dengan nada bergetar. “Dia mencoba masuk. Aku…, aku tidak tahu apa yang ia
inginkan dariku.”
Ucapan Kate terpotong sat
seorang petugas polisi lain bergerak masuk ke dalam ruangan. Ia memandang ke
arah kawan polisinya sambil mengangguk pelan.
“Aku menemukan jejak kaki di
sekitar rumah. Sepatu boot, pria, mungkin dengan tinggi sekitar 180 cm. Nn.
Summer mengatakan yang sebenarnya.”
Kate berada di ambang
keputusasaan. Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia pergi dari kota itu? Tapi
bagaimana dengan pekerjaannya? Ia tahu betapa sulit untuk mendapatkan pekerjaannya
yang sekarang ini.
“Nn. Summer,…” ucap polisi
itu. “Pernahkah Anda membaca surat kabar akhir-akhir ini.”
“Tidak.” Jawab Kate.
“Kenapa? Ada kaitannya dengan…”
“Kasus mengenai punguntit
ini sudah terjadi kurang lebih tiga bulan.” Ucap polisi itu menjelaskan. “Pria
ini berbahaya. Dia mengincar wanita sepertimu. Dan dalam beberapa minggu
terakhir, ada begitu banyak laporan masuk mengenai penguntit itu. Hingga kini
kami masih dalam tahap pelacakan.”
“Orang ini…” ucap Kate. “Apa
mungkin penguntit itu? Apa yang sebenarnya ia inginkan?”
“Tidak ada yang benar-benar
ia inginkan.” Jawab sang polisi. “Kecuali menguntit dan menakuti wanita
sepertimu. Tapi dia berbahaya. Kasus terakhir mengatakan penguntit itu nyaris
membunuh korbannya.”
“Astaga! Lalu apa yang harus
aku lakukan? Maksudku…, aku hidup sendiri…”
“Kau tidak punya rekan atau
keluarga yang mungkin bisa menemanimu tinggal untuk sementara waktu, Nn.
Summer?”
Ya. Ada. Matthew. Hanya pria
itu yang mungkin bisa menemaninya hingga kasus mengenai penguntit ini selesai.
Atau paling tidak, hingga ia dapat meraih keberaniannya lagi untuk tinggal
sendirian.
Hanya itu solusi yang dapat
Kate pikirkan saat itu. Ia tahu bahwa Matt memiliki pekerjaan yang super sibuk.
Tapi mungkin Matt mau mengerti. Pria itu akan melakukan apapun untuk Kate.
“Kami akan menempatkan dua
anggota polisi untuk malam ini, Nn. Summer. Dan sebaiknya kau segera
menghubungi orang itu.”
Matt datang keesokan
harinya. Kate memutuskan untuk tidak ke kantor hari itu. Dua petugas polisi
masih menjaga rumahnya. Untuk sesaat, Kate merasa cukup aman dengan keadaan yang
ada. Dan seperti apa yang sudah Kate duga, wajah Matt dipenuhi dengan perhatian
yang menurutnya sedikit berlebihan, dan Kate belum pernah melihat Matt sekacau
itu.
“Kau sudah tenang?” tanya Matt
sambil mendudukkan Kate ke kursi dapur. “Aku segera memesan tiket pesawat
semalam setelah kau menelepon.”
“Terima kasih.” Ucap Kate
dengan nada lirih. Ketakutan di dalam dirinya membuat ia tak berdaya, dan
terlalu lemah untuk berbicara. Namun pada akhirnya, dengan ditemani secangkir
kopi, ia mulai menjelaskan segalanya pada Matt.
“Kuharap pria itu segera
ditangkap.” Ucap Matt. “Dan jangan khawatir! Aku akan terus berada disini untuk
memastikan kau aman.”
“Tapi pekerjaannmu…”
“Kau lebih penting dari itu,
Kate.”
Polisi tidak selamanya bisa
menempatkan anggotanya di rumah Kate. Dua hari sejak kejadian malam itu, Kate
hanya ditemani oleh Matt. Dan karena rasa takutnya, Kate menjadi sedikit
paranoid dengan segalanya. Bayangan pohon yang bergerak tertiup angin ia kira
sosok itu lagi. Kate merasa benar-benar gila.
Ia juga sudah menemui dokter
untuk menanyakan soal kesehatan jiwanya. Satu hal yang pasti, ia mengalami
serangan rasa cemas yang akut, dan mungkin trauma. Dokter hanya dapat
memberikannya obat penenang, yang mungkin bisa berhasil. Mungkin.
Seminggi berlalu. Kate sudah
kembali bekerja, diantara dan dijemput Matt setiap hari. Mereka tentu saja
masih harus melewati jalanan sepi dan jembatan itu. Namun dengan adanya Matt,
Kate tidak perlu merasa khawatir. Ya. Seseorang yang mencintainya, kini
melindunginya.
Sebuah kabar yang cukup
menggembirakan datang Senin pagi, saat Kate tengah menyiapkan sarapan di dapur.
Matt berlari dari pintu depan dengan koran di tangan. Ia berteriak ruang ke
arah wanita itu.
“Lihat ini!”
Kate mengarahkan matanya
pada artikel yang Matt tunjuk. Disana dikatakan, bahwa penguntit misterius itu,
yang ternyata bernama Seth Coswell, telah ditangkap. Kate tertawa lebar
seketika, menegtahui bahwa mimpi buruknya telah berakhir.
“Oh…, Kate. Sayang!”
Keduanya berpelukan, merasa
begitu lega dengan apa yang baru saja ia ketahui. Kate, disatu sisi, berterima
kasih dengan apa yang sudah terjadi. Ia tidak perlu takut lagi sekarang, ‘kan?
Dan Matt, mungkin sudah bisa kembali ke pekerjaannya.
Matt masih melakukan antar
jemput untuk Kate selama beberapa hari kedepan. Memang sedikit sulit untk
melepaskan Kate begitu saja. Entah kenapa, Matt masih merasa bahwa keadaannya
sudah cukup aman.
“Kau harus segera kembali.”
Ucap Kate di suatu pagi sesaat sebelum ia berangkat ke kantor. “Aku serius,
sayang. Kau harus kembali ke pekerjaanmu. Aku akan baik-baik saja.”
“Kau yakin? Karena aku masih
merasa…”
“Pria itu sudah ada dibalik
jeruji besi.” Ucap Kate. “Tidak ada yang perlu kau kahwatirkan lagi. Mungkin
dalam seminggu, kita akan melupakan hal ini.”
Matt tentu saja masih
membutuhkan pekerjaannya. Ia berencana berangkat keesokan harinya, dan untuk
malam terakhir, ia ingin mengejutkan Kate dengan makam malam yang sudah ia
persiapkan sejak pagi. Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam saat Matt
selesai menata piring. Ia memadamkan lampu ruang makan, dan menggantinya dengan
lilin. Cukup romantis, menurutnya.
Ketukan di pintu depan
membuat Matt tersenyum lebar. Kate. Ia tidak bisa menahan rasa penasarannya
untuk melihat wajah Kate saat melihat meja makan. Matt bergerak cepat ke pintu
depan, membukanya, dan…, Matt membeku seketika.
**
“Syukurlah kasus itu
berakhir.” Ucap salah satu kawan Kate di kantor, ketika ia membicarakan
mengenai masalah stalker itu. Kate mengangguk menyetujui ucapan temannya.
Memang, selama beberapa minggu terakhir, ia tidak dapat hidup dengan tenang.
Tidurnya selalu dipenuhi dengan mimpi buruk, dan sepertinya ia tidak pernah
berhenti untuk terus was-was. Namun kini semua hal itu telah berakhir.
“Kau mau kutemani?” tanya
kawannya sesaat sebelum Kate memutuskan untuk pulang malam itu.
“Aku akan baik-baik saja.”
Ucap Kate sambil tersenyum seraya meraih tasnya. “Tidak ada yang perlu ditakuti
lagi.”
Ya. Kate seratus persen
yakin bahwa memang sudah tidak ada yang perlu ditakuti lagi. Ia memang membaca
mengenai penangkapan stalker itu di surat kabar. Namun untuk satu dua hari
setelahnya, Kate masih was-was. Dia tidak percaya seratus persen dengan hal
itu, meski satu sisi hatinya mengatakan bahwa bahaya telah berakhir. Apakah
benar seperti itu?
Sudah beberapa hari ini Kate
berjalan pulang melalui jalan sepi itu tanpa dinaungi lagi oleh perasaan cemas
dan takut. Ia berkali-ali menoleh ke belakang, namun yang ada hanyalah
kesunyian suasana. Dan entah kenapa, semenjak tertangkapnya stalker itu, hawa
malam menjadi sedikit bersahabat. Tidak ada lagi angin dingin yang berhembus,
yang memaksa Kate untuk merapatkan kerah jaketnya.
Perjalanan lima belas menit
menggunakan taksi pada akhirnya mengantarkan Kate pada jalan sepi itu lagi.
Cahaya remang yang dihasilkan oleh beberapa lampu jalan benar-benar tidak dapat
membantu untuk menemukan hal yang mencurigakan. Namun Kate tidak merasa
khawatir sedikitpun. Ia berjalan normal, dengan pemikirkan bahwa Matt akan
menyambut kedatangannya. Mungkin malam ini adalah malam terakhir ia bisa
bersama pria itu.
Kate dapat melihat rumah
kontrakannya, yang terlihat lebih mengundang dari biasanya. Cahaya jingga
memancar dari dalam, menunjukkan sebuah kehangatan yang benar-benar Kate idamkan.
Ia naik ke teras, mengarah ke pintu depan, tapi sesuatu menarik perhatiannya.
Pintu depan tidak
benar-benar tertutup. Seketika Kate merasakan jantungnya melonjak di dalam
dadanya. Apa yang mungkin terjadi? Kate tahu bahwa mungkin ia hanya paranoid.
Tapi…
“Ohh!!”
Kate seketika mendekap
mulutnya saat ia melihat bekas merah di lantai tepat dibelakang pintu. Bekas
sapuan berwarn merah yang terseret hingga ke bagian belakang rumah. Bekas apa
itu?
“Matt?” panggil Kate. Kate
mencoba untuk menghilangkan asumsinya mengenai bekas merah itu. Darah? Dia
tidak mau memikirkannya.
“Matt, kau didalam?” teriak
Kate lagi sambil terus bergerak memasuki ruangan. Semakin lama ia memandang
pada bekas merah itu, Kate menjadi semakin yakin bahwa keadaan yang buruk akan
segera ia temui. Namun Kate terlalu takut untuk membayangkannya.
“Matt!! Astaga!”
Aroma anyir itu membubung
memenuhi ruangan. Kate menutup hidungnya, dengan kedua bola mata mulai berair.
Ia tidak mau membayangkan apa yang terjadi pada Matt.
Kate tiba di dapur.
Keadaannya gelap di tempat itu. Hanya ada cahaya temaram dari lilin yang
terpasang di meja makan, yang sudah ditata dengan rapi oleh Matt. Tapi dimana
pria itu?
“Matt, kau menakutiku!”
teriak Kate dengan nada bergetar, nyaris menangis.
Insting Kate membuatnya
mengikuti arah sapuan warna merah itu. Bekas merah itu mengarah ke sebuah
pintu, yang kemudian mengarah ke ruang bawah tanah dimana biasanya Kate mencuci
bajunya.
Kate menarik saklar lampu
ruang bawah tanah. Dan seketika, ia temukan bekas sapuan warna merah kehitaman
itu mengarah ke salah satu kloset. Kate bergetar. Dia tidak mau tahu apa yang
ada di dalam kloset itu, tapi otot di tubuhnya bergerak dengan sendirinya.
Tangannya terangkat, menggenggam kenop pintu kloset, dan ia buka…
“TIDAK!!! MATT!!!”
Tubuh Matt tergeletak di
dalam kloset, menekuk dengan kedua lutut terlipat di depan dada. Darah mengalir
dari mulut dan hidung pria itu. Namun bekas luka terbesar adalah pada perut
Matt, yang seolah sudah dirobek oleh sesuatu yang besar.
Kate terhuyung mundur, dan
rasanya ingin pingsan. Ia ingin pingsan jika itu memungkinkan. Tapi yang
terjadi hanyalah dirinya, yang berdiri kaku seperti patung, menangis, meratapi
apa yang terjadi pada Matt. Kate menggeleng tidak percaya dengan apa yang ia
lihat. Matt, tergeletak, tewas dengan luka yang mengerikan. Siapa yang
melakukan ini?
Perhatian Kate teralih saat
ia mendengar suara langkah kaki menuruni tangga. Dan seketika ia melihat sosok
yang sudah menghantuinya sejak ia tinggal di kota itu. Si penguntit itu, yang
entah kenapa bisa berkeliaran, mengingat ia sudah tertangkap. Tapi Kate
berpikir, apa ia salah kira dengan apa yang terjadi?
“Katherine Summer.” Gumam
sosok berbaju hitam berkerudung itu sambil terus bergerak mendekat. Di
tangannya terdapat semacam pisau dengan noda merah melumuri bagian tajamnya.
“Kau mungkin berpikir bahwa
stalker itu adalah masalahmu. Tapi kini kukatakan, akulah masalahmu.”
“Kau…” gumam Kate dengan
nada bergetar. “Kau…, bukan…”
“Aku seseorang dari masa
lalumu, Kate. Aku bukan stalker itu. Jika itu yang selama ini kau kira, dan kau
kira sudah aman? Lihat apa yang terjadi dengan kekasihmu!”
“Apa maumu?” balas Kate.
Kate terus bergerak mundur hingga ia menabrak dinding. Ia tidak bisa bergerak
kemana-mana, sementara sosok itu terus bergerak maju.
“Kau tidak lupa dengan wajah
ini, ‘kan?” ucap pria itu. Dengan satu tangan, ia buka kerudung yang menutupi
kepalanya. Dan kini terlihatlah wujud iblis asli itu. Seorang pria yang memang
Kate kenal sejak dulu.
“Anthony!” pekik Kate.
“Kau tidak akan pernah lupa
dengan hati yang kau sakiti.” Ucap pria itu. “Kau meninggalkanku, untuk pria
ini? Setelah semua hal yang kulakukan untukmu.”
“Tidak seperti itu. Kau
salah paham.” Ucap Kate. “Matt tidak ada hubungannya dengan semua ini. Tapi kau
membunuhnya?”
“Aku akan membunuh siapapun
untuk mendapatkanmu kembali, Kate.” Ucap pria itu. “KATE!!”
Tatapan tajam itu mengarah
langsung pada kedua mata Kate. Kate membeku. Tidak ia sangka bahwa mantan
kekasihnya itu rela melakukan hal sekejam itu pada Matt.
“Dengar, Anthony…”
“Terlambat.” Ucap pria itu.
“Aku sudah kehilangan segalanya saat kau meninggalkanku. Kau tidak tahu
penderitaanku.”
“APA MAUMU?” teriak Kate.
Air mata menetes tak terkira dari rongga matanya.
“Nyawamu.”
**
Hari masih terlalu pagi,
dimana kabut belum sepenuhnya hilang dari area perumaham tepi kota itu. Namun
beberapa mobil patroli kepolisian sudah ada di sana sejak tiga puluh menit yang
lalu.
Kediaman Katherine Summer
dipenuhi dengan polisi. Setelah laporan yang mereka terima satu jam sebelumnya,
mereka kini menemukan dua jasad dalam keadaan tercabik di ruang bawah tanah
rumah itu. Kate Summer, dan kekasihnya Matt. Polisi masih belum tahu siapa
pelaku dari pembunuhan sadis ini. Dan mungkin, misterinya tidak akan
terpecahkan dalam waktu dekat.
Pria itu hanya dapat
memandang dari ujung jalan ke arah kerumunan yang memenuhi sekitar rumah Kate.
Pria itu memakai kudungnya kembali, dan dengan satu gerakan melemparkan pisau
penuh darahnya ke arah parit. Tugasnya sudah selesai. Apa itu yang memang
benar-benar ia inginkan? Membunuh mantan pacarnya?
Tidak akan ada yang pernah
tahu apa yang sebenarnya ada di dalam kepala pria itu. Beberapa hari kemudian,
ia ditemukan tewas dengan luka tembak di kepala. Satu pistol berada di tangan
kanannnya. Kemungkinannya, bunuh diri. Polisi menganggap bahwa ini adalah kasus
yang berbeda, dan tidak ada hubungannya dengan kematian Katherine Summer.
Tapi…, mungkin hanya Tuhan yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
****
No comments:
Post a Comment