Friday, December 18, 2015

GADIS DI PERPUSTAKAAN



Daniel tidak tahu lagi cara lain untuk melampiaskan kemarahan dan kekesalannya. Jika saja bukan karena lembar tugasnya yang ditolak mentah-mentah oleh profesornya karena kurang bagus, mungkin Daniel tidak perlu menghabiskan waktunya di perpustakaan untuk memulai lagi risetnya mengenai subyek yang tengah ia pelajari. Ia kesal, ia bosan, namun ia tahu bahwa ia harus melakukannya.
Sudah dua tahun Daniel kulaih di universitas yang ia tempati saat ini. Dan setiap kali ia membuat tugas, entah kenapa profesornya selalu menunjukkan poin-poin yang salah dalam setiap lembar tugasnya. Apa dia terlalu bodoh? Tidak. Daniel selalu membuat nilai yang bagus saat sma. Tapi entah kenapa di bangku perkuliahan ini ia selalu tertinggal dengan teman-temannya. Hal itu, membuatnya harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan nilai yang baik.
Daniel tidak pernah menjadi penggemar dari sebuah perpustakaan. Kenapa harus ke perpustakaan jika ia bisa mencarinya lewat internet? Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa kadang ia memang harus membaca beberapa buku sebagai sumber makalahnya. Dan terpaksa, ia harus mengunjungi perpustakaan.
Diantara sekian banyak kesibukannya sebagai seorang mahasiswa, Daniel sulit untuk mengatur waktunya. Akibatnya, ia tidak memiliki cukup waktu untuk pergi ke persutakaan. Ia hanya bisa melakukannya saat malam tiba. Pukul sembilan malam, ia berjalan seorang diri di lorong yang gelap, bergerak menuju perpustakaan tua di kampusnya yang dijaga oleh seorang wanita gemuk dengan sikap yang tidak menyenangkan.
“Jangan berisik!” ucap wanita gemuk berkacamata itu ketika Daniel bergerak memasuki perpustakaan. Daniel hanya mendengus pelan, lalu bergerak ke arah rak buku.
Perpustakaan yang ia tempati saat itu merupakan sebuah perpustakaan yang sudah cukup berumur. Mungkin sudah ada sejak kampus ini dibangin 70 tahun yang lalu. Terdapat begitu banyak rak buku yang tinggi, yang menciptakan koridor-koridor sempit, gelap, berdebu, dan membuat suasananya sedikit tidak menyenangkan. Daniel bahkan sedikit kesulitan untuk menemukan buku yang ia inginkan. Ia kadang harus memanjat tangga, menggeser tangga, dan melakukan hal lain yang tidak ia senangi. Hanya demi makalahnya.
Daniel membawa setumpuk buku ke arah sebuah meja kecil yang terletak di samping sebuah rak. Tidak ia sangka bahwa ia harus membaca buku sebanyak itu. Daniel tengah sibujk membuka-buka buku ketika ia sadar bahwa keadaan begitu sepi dan sedikit membuatnya tidak tenang. Sama sekali tidak ada suara lain, keculai suara halaman buku yang ia buka.
Daniel berpikir, mungkin ia bisa mati karena bosan. Cahaya temaram di ruangan itu membuat kedua matanya berat, mengantuk, dan ia tidak tahu apakah kalimat-kalimat yang ia baca dapat masuk ke dalam otaknya. Daniel menguap. Dan tiba-tiba saja…
“Bosan?”
Daniel hampir saja menjerit saat mendengar suara itu. Sebuah suara seorang gadis dari arah sampingnya, yang tidak ia ketahui kapan gadis itu duduk disana. Daniel tidak percaya bahwa ia tidak sadar saat seroang gadis duduk beberapa meter darinya. Apakah gadis itu sudah ada disana sejak tadi?
Gadis itu terlihat cukup menarik bagi Daniel, yang hingga detik itu memang belum memiliki kekasih. Gadis itu memiliki rambut priang sebahu yang mengombak, senyum manis, dan sepasang mata hijau secerah zamrud. Gadis itu tengah membaca beberapa buku, ketika ia melepaskan satu senyuman pada Daniel.
“Maaf mengagetkanmu.” Ucap gadis itu.
“Kau…, sudah ada disana sejak tadi?” tanya Daniel. “Err…, maaf! Aku tidak menyadari kehadiranmu.”
Kebosanan yang Daniel rasakan tiba-tiba saja menghilang dengan kedatangan gadis manis itu. Kini, perasaannya digantikan dengan perasaan tak karuan karena telah melihat seorang gadis yang mungkin…, dapat menjadi teman baginya.
Daniel mencoba melanjutkan apa yang sedang ia lakukan. Membaca, sayangnya, kenyataan bahwa ada gadis cantik duduk disampingnya membuat Daniel tidak dapat berkonsentrasi. Detik berikutnya, ia membawa semua bukunya dan memindah posisi duduknya. Ia kini berada di samping gadis itu.
“Aku merasa beruntung.” Ucap Daniel ketika ia duduk di samping gadis pirang itu.
“Karena apa?”
“Karena aku tidak harus membaca sendiri malam ini.” Jawab Daniel. “Aku, dan tugas-tugas menyebalkan ini. Kau juga?”
“Ya.” Jawab gadis itu. “Tugas.”
“Oh! Namaku Daniel.” Ucap Daniel sambil mengulurkan tangannya. Gadis itu menjabat tangannya, terasa dingin, namun Daniel mengabaikannya. Mulut manis gadis itu mengucapkan satu nama yang akan selalu Daniel ingat.
“Rachel.”
Keadaan menjadi sedikit canggung saat keduanya saling diam dan mulai membaca buku yang ada di hadapan mereka. Jujur, Daniel merasa semakin tidak berkonsentrasi dengan bukunya. Ia ingin berbicara dengan gadis itu, tapi ia tidak tahu apa yang harus ia ucapkan.
Sesekali Daniel melirik ke arah gadis itu. Dan disaat yang bersamaan, gadis itu melirik ke arahnya. Perasaan canggung semakin menjadi-jadi. Daniel sadar bahwa ia harus segera mengucapkan sesuatu.
“Kenapa?” tanya Daniel beberapa detik kemudian. Rachel mengenyit, bingung dengan apa yang Daniel maksudkan.
“Maaf?”
“Maksudku…, kenapa kau berada disini malam-malam? Gadis sepertimu…, err….”
“Suasananya cukup tenang saat malam hari.” Jawab gadis itu. “Dan kau? Kau sepertinya bukan tipe orang yang suka dengan perpustakaan.”
“Ya.” Jawab Daniel. “Tapi kurasa…, ada baiknya membaca buku.”
Ketika Daniel merasa bahwa ia telah membuka sebuah celah untuk sebuah percakapan, maka tidak ada lagi yang dapat menghentikannya. Ia banyak bercerita mengenai kehidupan kampusnya, bertanya pada Rachel mengenai jalur perkuliahan yang ia ambil, dan hal-hal lain hingga mereka tak sadar bahwa kini keduanya telah melupakan buku yang seharunya mereka pelajari.
“Dingin.” Ucap gadis itu.
“Ya.” Timpal Daniel. “Cuaca memang sedang tidak bagus.”
Daniel merasa bahwa Rachel mungkin dapat menjadi teman baiknya. Detik berikutnya, ia bertanya kapan ia dapat menemui Rachel lagi.
“Aku selalu berada di tempat ini setiap malam.” Jawab gadis itu. “Kau bisa menemukanku disini.”
“Bagaimana dengan tempat lain?”
Gadis itu tidak menjawab. Tatapan kedua matanya lurus ke arah buku yang terbuka di hadapannya. Mungkin gadis itu tengah berkonsentrasi dengan buku yang ia baca. Daniel mencoba untuk tidak mengganggunya lagi.
Daniel sempat pergi meninggalkan gadis itu untuk mengambil buku lain yang berada di seberang ruangan. Wanita gemuk yang menjadi penjaga perpustakaan itu mengucapkan beberapa kata padanya.
“Hampir tutup. Sebaiknya kau segera pergi.”
“Baik.” Jawab Daniel.
Daniel kembali ke arah meja yang ia tinggalkan tadi. Dan anehnya, gadis itu telah menghilang dari pandangan. Gadis itu sudah pergi? Tapi Daniel tidak menyadari kepergian gadis itu.
Daniel mengabaikan keanehan yang ia rasakan. Mungkin Daniel hanya tidak sadar saat gadis itu keluar dari perpustakaan. Daniel mencoba untuk membaca kurang lebih dua puluh menit, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari perpustakaan. Dan ia berjanji dalam hatinya bahwa ia akan kembali besok malam. Mungkin ia akan bertemu dengan gadis itu lagi?

*

Mungkin terdengar sedikit gila. Namun Daniel kini lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan tua kampusnya itu. Sudah beberapa malam terakhir, Daniel selalu mengunjungi perpustakaan ini. Alasan utamanya adalah mengenai makalah yang sedang ia kerjakan. Yah…, paling tidak itu yang ia katakan pada teman-temannya. Alasan lain, tentu saja karena Rachel.
Daniel tidak pernah merasakan kedekatan seperti yang ia rasakan ketika ia sedang bersama dengan Rachel. Entah kenapa, hanya dalam hitungan hari Daniel dapat menjadi orang yang berbeda sepenuhnya. Ia yang biasanya selalu terlambat menyelesaikan tugas-tugasnya, kini selalu rajin mengerjakannya dan mendapatkan nilai bagus. Semua itu dikarenakan Rachel. Gadis itu mampu merubahnya dengan setiap kata-katanya.
“Ini impianku.” Ucap Rachel di suatu malam di perpustakaan, di tempat yang sama seperti malam-malam sebelumnya.
“Bisa bersekolah di tempat ini dan lulus, merupakan cita-citaku. Aku tidak akan membuang waktuku.”
Ucapan itu menyadarkan Daniel bahwa ia tidak bisa selamanya bersekolah di tempat itu. Ia harus berhasil dalam setiap pelajaran yang ia ikuti. Dan yang paling penting, ia harus lulus dari tempat itu.
Daniel kembali mengunjungi Rachel di malam-malam berikutnya. Daniel sebenarnya tidak suka jika ia harus terus berbincang dengan Rachel di perpustakaan, dan telah mengusulkan tempat lain. Tapi Rachel menolak dengan alasan yang tidak Daniel mengerti.
Malam itu, Rachel terlihat berbeda dari biasanya. Wajahnya yang biasanya merona merah dan cantik itu kini terlihat pucat dan tak bergairah. Dari sorot kedua mata zamrudnya, Daniel tahu bahwa gadis itu tengah menghadapi masalah.
“Aku ingin pulang.” Ucap Rachel.
“Kenapa?”
“Aku rindu dengan keluargaku.”
Daniel tidak begitu mengerti dengan apa yang Rachel bicarakan. Apakah Rachel tidak pernah pulang saat libur natal? Daniel sudah mencoba bertanya tentang hal itu, tapi Rachel tidak memberikan satupun penjelasan.
Daniel pergi tidur malam itu masih dengan sejuta pertanyaan mengenai Rachel. Gadis itu berubah. Awalnya gadis itu terlihat riang dan banyak berbicara, kini gadis itu hanya terdiam, dan kadang terlihat seperti ingin menangis. Daniel masih teringat ucapan terakhir Rachel malam itu. Dia berkata,
“Dingin.”
Daniel terabngun di tengah malam saat ponselnya berdering. Nama yang tertera di layar ponselnya adalah nama Rachel. Ya. Ia memang sudah memberikan nomornya apda gadis itu beberapa hari yang lalu. Daniel tidak mengerti kenapa gadis itu meneleponnya malam-malam. Dan gadis itu pun hanya mengucapkan satu kalimat sebelum menutup kembali sambungan telepon.
“Temui aku besok di belakang lapangan sepak bola.”
Daniel tidak mengerti. Dan ia tak habis pikir. Ia terus bertanya-tanya dalam hati, mengenai segala keanehan yang ditunjukkan oleh gadis itu. Keesokan harinya ia pun mengunungi tempat yang telah ditunjukkan oleh Rachel.
Bagian belakang lapangan sepak bola di kampus itu merupakan sebuah kawasan hutan kecil yang asri. Terdapat banyak pohon-pohon tua yang masih berdiri di tempat itu, tanpa ada tanda-tanda bahwa akan di tebang. Daniel menunggu di bawah naungan sebuah pohon besar. Tapi…, gadis yang ia tunggu tidak juga muncul.
Daniel sadar bahwa Rachel tidak pernah mengatakan jam berapa ia harus menemuinya. Daniel mencoba menunggu lebih lama, tapi gadis itu tak muncul juga.
Daniel kembali ke hutan kecil itu sore harinya. Di bawah siraman cahaya senja, Daniel mencoba untuk bersabar, dan menunggu kedatangan gadis bermata hijau itu. Ia ingin menemui Rachel. Karena Rachel kini menjadi seseorang yang cukup berarti baginya.
Pukul enam sore, saat matahari sudah mulai terbenam, Daniel masih berdiri di bawah naungan pohon. Tanpa ada tanda-tanda kedatangan gadis itu. Daniel berjalan berputar-putar, sedikit merasa kesal, namun tidak benar-benar marah. Kenapa gadis itu tidak juga datang?
Daniel mencoba menyepak beberapa tumpukan dedaunan kering dengan sepatunya. Hingga akhirnya ia merasa telah menedang sesuatu. Suatu benda yang rasanya cukup berat, dan terasa menyakitkan ketika ia menendangnya. Benda itu terletak di bawah tumpukan dedaunan kering. Daniel membungkukkan badannya, dan mencoba untuk menyingkirkan daun-daun kering. Hingga akhirnya ia melihat…
Daniel menjerit seketika saat melihat benda yang ada di depan kedua matanya. Benda putih kusam, berbentuk bulat, dengan rambut-rambut kering berada di permukaannya. Warna rambut itu terlihat sama persis dengan rambut yang selalu ia ingat dari Rachel. Benda itu adalah sebuah tengkorak.
Terdengar derap langkah kaki mendekat sesaat setelah Daniel menjerit. Seorang pria, yang Daniel kenal adalah salah satu pegawai di kampus itu, datang dan berhenti seketika ketika melihat benda yang berada di hadapan Daniel. Dengan satu helaan nafas pria itu itu berucap,
“Astaga!”

*

Daniel masih merasakan tubuhnya yang bergetar. Melihat ada tengkorak yang terkubur di bagian belakang sekolahnya memang benar-benar bukan hal yang ia harapkan. Yang lebih tidak ia harapkan lagi adalah cerita mengerikan dibalik hal itu.
“Rachel Summers.” Ucap seorang penjaga sekolah yang sudah bekerja cukup lama di kampus itu.
“Dia adalah seorang gadis yang dilaporkan menghilang sepuluh tahun yang lalu. Dan siapa sangka bahwa ia dikuburkan di belakang sekolah ini?”
Daniel tidak dapat menerima kenyataan itu. Rachel, sudah meninggal? Lalu, bagaimana dengan malam-malam yang sudah ia lewati bersama dengan gadis itu? Bahkan gadis itu sudah dapat merubah dirinya.
Daniel tahu, setelah mendengar cerita lengkap dari sang penjaga sekolah, bahwa Rachel adalah seorang gadis yang sering mendapatkan bullying dari para seniornya. Dia gadis yang pintar. Namun karena hal itulah ia sering menjadi bulan-bulanan para senior. Dan seperti ulah para senior itu sudah keterlaluan, dan sebagai akibatnya, Rachel harus kehilangan nyawanya. Jenazahnya dikuburkan dibagian belakang sekolah. Tidak ada yang pernah tahu, hingga Daniel menemukannya.
Polisi dan keluarga Rachel datang beberapa jam setelah penemuan kerangkanya. Daniel mendapatkan berbagai macam pertanyaan, yang sama sekali tidak mengenakkan bagi Daniel. Barulah beberapa jam kemudian, Daniel dapat kembali ke kamarnya.
Daniel duduk di dalam kamarnya yang gelap, termenung, dan masih tidak memeprcayai apa yang baru saja terjadi. Ia yang melamun terkagetkan oleh dering ponselnya. Ada satu pesan masuk ke dalam ponselnya. Daniel meraih ponselnya itu, dan lagi-lagi harus melonjak.
Rachel. Gadis itu mengirimkan satu pesan kepada Daniel yang berbunyi,
“Terima kasih, Daniel.”

***

Friday, December 11, 2015

MANEQUIN



Sudah beberapa tahun Jack Nelson menggeluti pekerjaannya sebagai penjaga malam sekolah umum Triton. Dan selama ia bekerja di sekolahan itu, tidak pernah ia mendengar adanya kejadian-kejadian aneh atau hal-hal yang berkaitan dengan kejadian supranatural. Secara pribadi, Jack Nelson memang tidak begitu menyukai, dan mempercayai, adanya hal-hal yang selalu dikaitkan dengan hantu itu. Namun pada akhirnya Nelson harus mengakui, bahwa kekuatan lain di dunia ini memang ada. Meskipun hanya beberapa orang yang dapat merasakannya.
Hari Jumat kala itu merupakan hari Jumat yang melelahkan bagi Nelson dan beberapa kawan sekerjanya. Ada sebuah kompetisi yang akan diadakan di sekolahan itu dalam beberapa hari. Dan sudah menjadi tugas Nelson untuk membantu apapun yang diperlukan oleh murid-murid.
Nelson tengah bersantai di pos jaga yang terletak di bagian depan sekolahan itu sesaat setelah ia menyelesaikan pekerjaannya, saat dua truk tiba di sekolahan itu. Nelson sudah diberitahu oleh kepala sekolah mengenai kedatangan dua truk itu.
“Masuk!” ucap Nelson dari arah pintu, memberikan aba-aba ke arag dua sopir truk itu. Truk box besar itu akhirnya masuk, dan parkir tak jauh dari halaman utama.
Nelson tahu dengan isi dari dua truk tersebut. Kepala sekolah telah memebritahunya bahwa kompetisi tahun ini akan sedikit lebih merepotkan dari kompetisi-kompetisi yang diadakan sebelumnya. Karena itu, sekolah Triton harus meminjam begitu banyak barang dari sekolah lain untuk dapat melaksanakan kompetisi dengan baik.
Nelson sudah bersiap di bagian belakang truk saat sang supir membuka pintu dari box barang. Dalam beberapa detik, tumpukan barang yang akan digunakan dalam kompetisi sudah ada di depan mata. Ada terlalu banyak barang yang harus Nelson keluarkan dari truk, dan ia tidak dapat melakukannya sendirian. Ia dibantu oleh dua penjaga lain untuk mengangkut barang-barang aneh itu dari truk, ke gymnasium yang terletak tidak begitu jauh dari tempat truk itu parkir.
Pekerjaan memindahkan barang itu memakan waktu sekitar satu jam. Nelson bergerak ke arah gymnasium dengan sebuah kardus besar di tangannya, yang ternyata lebih berat dari apa yang ia kira. Nelson hanya tinggal meletakkan kardus itu di gymnasium, saat tiba-tiba saja ada sebuah benda yang melompat keluar dari dalam kardus.
Nelson harus mengehntikan langkahnya saat benda itu keluar tanpa diduga. Sebuah benda bulat, dengan warna kulit. Benda itu memiliki sepasang mata dan mulut. Sebuah kepala.
Ya. Sebuah kepala manequin yang rasanya amat aneh bagi Nelson. Ini bukan kali pertamanya Nelson melihat kepala manequin. Akan tetapi, ini menjadi kali pertama ia merasa ngeri melihat kepala itu menggelinding keluar dari kardus. Seketika, Nelson mendapatkan firasat yang cukup buruk. Ia tidak tahu apa, tapi yang jelas perutnya merasakan hal yang tidak biasa.
Nelson meraih kepala itu dan meletakkannya kembali ke dalam kardus. Ia melangkah lagi, meletakkan kardus itu bersanding dengan kardus-kardus lain, dan…, pekerjaannya pun selesai. Ia bergerak kembali ke arah pos jaganya, dimana kedua temannya sudah menunggunya.
“Itu yang terakhir?” tanya salah satu kawan Nelson yang duduk di salah satu kursi di dalam pos jaga.
“Ya.” Jawab Nelson seraya melepaskan topi yang menutupi kepalanya. “Yang terakhir, dan cukup mengerikan.”
“Apa isinya?”
“Manequin.”
“Kau takut pada manequin, Jack?” tanya temannya lagi, disertai dengan satu tawa yang mungkin bersifat mengejek.
“Ada yang aneh dengan manequin itu.” Jawab Nelson. “Aku hanya merasa…, tidak nyaman.”
“Kau sakit?”
“Tidak. Aku baik-baik saja.” Ucap Nelson. “Malam ini giliranku bertugas, ‘kan?”
“Hanya dua hari.” Ucap teman Nelson. “Aku akan segera menggantikanmu.”
“Aku hanya tidak senang saat sendirian.” Ucap Nelson. “Kadang pikiranku kabur kemana-mana.”
“Kau takut?”
“Mungkin.”
“Tidak ada yang perlu ditakuti.” Ucap Teman Nelson sambil memberikan tepukan ringan di bahu Nelson. Ya. Mungkin memang tidak ada yang perlu ditakuti. Nelson mulai merasa lebih baik.
Tugas Nelson sebagai penjaga sekolahan pun dimulai ketika matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Cahaya jingga masih tersisa di ujung langit, namun keadaan sekolah umum Triton sudah cukup gelap. Nelson bersantai di depan layar monitor di pos jaganya sambil menikmati secangkir kopi.
Tidak ada hal yang dapat dikatakan mencurigakan hingga jarum jam menunjukkan pukul sepuluh. Nelson sempat meninggalkan kursinya selama beberapa menit untuk ke toilet. Dan ketika ia kembali, memang sepertinya tidak ada yang berubah. Namun mata jelinya itu dengan cepat dapat menangkap sebuah perbedaan.
Nelson menarik kursinya maju ke arah deretan layar monitor. Dengan cermat, ia periksa setiap lorong di sekolahan itu. Semuanya terlihat gelap, kecuali satu ruangan yang seharusnya juga gelap. Ruangan itu adalah ruang gymnasium, tempatnya menaruh barang-barang siang tadi.
Nelson menganggap hal ini cukup aneh. Namun sebelum ia meninggalkan kursinya, ia mencoba mengingat lagi jika saja ada kata-kata dari kepala sekolah yang memberikannya informasi mengenai jam malam. Tapi…, tidak. Kepala sekolah tidak mengatakan apapun mengenai jam malam. Malahan, seperti tidak ada jam malam dalam minggu itu. Lalu kenapa lampu di ruang gymnasium menyala?
Nelson meraih senternya, dan denganc epat meninggalkan posnya untuk memeriksa keanehan itu. Anggapannya, mungkin ada yang lupa tidak mematikan lampu siang tadi. Tapi Nelson masih belum yakin. Dengan langkah cepat ia membuka pintu utama sekolahan itu, dan berjalan di kegelapan lorong-lorong sekolah, dan hanya berteman dengan senter kecilnya. Gymnasium terletak di ujung lorong. Nelson dapat melihat ruangan itu. Tetapi…
Nelson mengernyitkan dahinya saat ia lihat ruangan itu sepenuhnya gelap, tanpa ada satupun cahaya. Lalu apa yang ia lihat di layar monitor tadi? Ia yakin seratus persen bahwa ruangan itu menyala, dan dapat terlihat dari kamera pengawas. Untuk memastikan hal itu, Nelson bergerak mendekati gymnasium. Ia mencoba membuka pintunya dan…, memang terkunci. Ia mencoba mengintip dari celah pintu, dan memang hanya ada kegelapan yang menyelimuti ruangan itu.
Aneh. Ya, memang. Nelson tidak dapat menjelaskan apa yang baru saja ia alami. Apakah ia hanya berkhayal? Mungkin karena ia merasa terlalu letih, ia jadi berpikiran yang tidak-tidak?
Nelson kembali ke pos jaganya, masih dengan pertanyaan-pertanyaan berputar di dalam kepalanya. Ia melihat di layar monitor, dan ya. Ruang gymnaisum itu dalam keadaan gelap.
Dia kelelahan. Ya. Itu anggapan Nelson terhadap kejadian aneh yang baru saja ia alami. Tidak mungkin lampu ruang gymnasium itu dapat menyala dan padam dengan sendirinya.
Nelson menikmati cangkir kedua kopinya untuk malam itu. Cuaca yang sedikit dingin membuat Nelson harus tetap menjaga suhu tubuhnya tetap hangat. Dan kopi panas itu memang cukup membantu. Sebagai petugas jaga malam, ia tidak boleh tertidur atau lengah sedikitpun. Dan Nelson sudah mahir dalam mengatasi hal-hal seperti ini.
Jarum jam bergerak perlahan. Dari pukul dua belas malam, kini telh berganti menjadi pukul satu dinihari. Tidak ada yang aneh. Namun tiga puluh menit berikutnya, jantung Nelson harus kembali berdegup kencang saat ia mendengar sebuah suara yang datangnya dari arah monitor yang ada di depannya.
Terdengar sebuah suara keras, berderak, seperti sebuah benda yang diseret diatas lantai. Nelson dengan seksama mengamati monitor-monitornya, mencoba untuk menemukan asal suara itu.
Beberapa monitor terlihat biasa saja. Namun beberapa monitor tiba-tiba saja padam. Nelson mencoba menghidupkan ulang monitor-monitor itu, dan beberapa dari monitor itu sudah kembali seperti semula. Keculai monitor yang ada di depan ruang gymnasium. Monitor untuk ruangan itu kini tidak mendapatkan sinyal, dan Nelson terpaksa harus mematikan monitornya. Apa yang terjadi?
Suara berat dari benda yang digeser diatas lantai itu masih terdengar. Tentu saja hal ini mencurigakan, mengingat tidak ada seorang pun di gedung sekolah itu selain dirinya. Atau jangan-jangan…, pencuri?
Anggapan itu langsung hadir di dalam otak Nelson. Ya. Jika tidak salah memang ada berita mengenai pencurian akhir-akhir ini. Tapi apakah pencuri juga akan menarget sebuah sekolah?
Nelson tidak bisa berpikir terlalu lama. Ia bangkit dari kursinya, meraih senternya, dan untuk kedua kali kembali memasuki gedung sekolahan itu. Ia langsung mengarah ke ruang gymnasium, dan tiba-tiba saja ia terkejut dengan apa yang ia temukan.
Pintu ruang gymnasium yang seharusnya terkunci itu terbuka. Nelson tidak tahu siapa yang melakukan ini. Pencuri, mungkin? Nelson bergerak berhati-hati mendekati ruang gymnasium itu dengan sebuah pentungan siap di tangan. Seandainya ada seseorang yang bergerak keluar, ia akan segera melakukan serangan.
“Keluar!” teriak Nelson. Suaranya memantul di koridor gelap itu. Tidak ada balasan dari dalam ruang gymnasium.
Nelson memeriksa kunci pada pintu gymnasium, yang ia perkirakan rusak setelah pencuri itu membobol masuk. Tapi…, tidak. Kuncinya sama sekali tak tersentuh. Kini Nelson bingung dengan apa yang terjadi? Kenapa pintu itu terbuka sendiri?
Nelson tibat-ba saja merasakan bulu kuduknya berdiri seketika. Entah karena apa, ia merasa ada sesuatu di dalam ruang gymnasium yang gelap itu. Sesuatu…, atau seseorang. Nelson tidak begitu yakin. Aksi yang ia lakukan selanjutnya adalah mengunci kembali pintu ruang gymnasium itu, lalu berlari kembali ke posnya. Dan sisa malam itu ia habiskan untuk memeriksa monitor setiap menit. Dan tidak ada lagi aneh yang terjadi.
Nelson mencoba untuk memeriksa kembali ruang gymnasium keesokan harinya saat sekolah sudah kembali buka. Ia lihat, tidak ada yang berubah dari tatanan di dalam ruangan itu semenjak kemarin setelah ia meletakkan barang terakhir itu. Nelson bergerak memasuki ruangan itu, mencoba untuk memeriksa ulang setiap benda.
Nelson nyaris terjatuh saat kakinya secara tidak sengaja tersandung pada sebuah benda. Benda itu bulat, berwarna coklat, yang disertai dengan sepasang mata dan mulut. Kepala manequin itu.
Kenapa kepala manequin yang seharusnya ada di dalam kardus kini ada di luar kardus? Terjatuh? Apa mungkin benda ini yang menyebabkan suara gaduh semalam?
Beberapa pertanyaan yang aneh kini berputar di dalam kepala Nelson. Ia masih belum mengerti dengan suara pergerakan benda semalam. Dan juga, mengenai pintu yang terbuka sendiri itu itu.
Malam kedua datang. Ini adalah malam terakhir sebelum Nelson mendapatkan pengganti keesokan harinya. Dan sebagai malam terakhir, Nelson berupaya untuk memecahkan misteri dari lampu dan suara aneh itu.
Hingga pukul sebelas malam, Neslon terus memperhatikan layar-layar monitor yang ada di depannya. Ia berusaha untuk tidak berkedip, jika itu memungkinkan. Ia tidak ingin melewatkan satu pun kejadian aneh malam itu.
Nelson sebenarnya merasa sedikit takut dengan apa yang akan terjadi. Bagaimana jika yang menyebabkan suara dan lampu padam itu adalah aksi pencuri betulan? Itu berarti ia dalam bahaya. Namun, sudah menjadi tugasnya untuk menjaga sekolahan pada malam hari. Jika tiba saat baginya untuk bertempur dengan pencuri itu, ia rasa ia sudah siap.
Nelson menguap, merasa letih karena sudah terlalu lama duduk di depan layar monitor. Ia mengambil secangkir kopi dari dapur. Dan begitu ia kembali, salah satu monitor telah mati, tidak mendapatkan sinyal.
Seperti kejadian kemarin malam, monitor yang mati adalah monitor untuk kamera yang ada di depan ruang gymnasium. Neslon berusaha untuk menekan rasa keterkejutannya, dan mulai berpikir secara rasional. Ia mencoba mengatakan pada dirinya sendiri bahwa apa yang terjadi hanyalah kesalahan teknis biasa.
Nelson melakukan restart pada monitor yang mati tersebut. Beberapa detik kemudian, monitor kembali mendapatkan gambar dari ruang gymnasium. Akan tetapi, ruangan itu terlihat terang. Lampu di dalam ruangan itu secara ajaib dapat menyala sendiri. Seperti kemarin malam.
Nelson menarik nafasnya dalam-dalam. Memang aneh, dan membuatnya merasa sedikit takut. Tapi ia tahu bahwa ia harus memeriksa ruangan tersebut. Ia bangkit dari kursinya, meraih senter kecilnya dalm masuk ke dalam gedung sekolah.
Keadaan koridor yang gelap, terlihat kontras dengan ruang gymnasium yang menyala terang. Cahaya dari ruangan itu seolah menarik gerak kaki Nelson untuk mendekat. Dan ketika ia tiba did epan ruang gymnasium, tiba-tiba saja lampu kembali padam. Nelson berada dalam kegelapan selama beberapa detik. Hingga ia menyalakan senternya, dan…
Nelson berjingkat, nyaris terjatuh karena keterkejutannya. Tepat di hadapan kedua matanya telah berdiri sosok tinggi, berkulit pucat dengan wajah yang cukup mengerikan. Hantu? Bukan. Nelson sadari beberapa detik kemudian bahwa yang berdiri di hadapannya adalh sesosok manequin yang seharusnya berada di dalam kardus.
Nelson tidak tahu siapa yang telah mengeluarkan manequin itu dari kardus. Yang jelas, siapapun pelakunya mencoba untuk menakuti Nelson. Patung tak bernyawa itu terlihat tersenyum. Namun Nelson merasakan hawa yang tak biasa dari manequin itu.
Nelson kemudian berusaha untuk memindahkan manequin itu kembali ke dalam ruang gymnasium. Anehnya, manequin itu lebih berat dari apa yang Nelson bayangkan. Seolah di bagian dalam manequin itu telah diisi dengan  semen atau semacanya, yang membuatnya tak dapat digeser.
Nelson mengumpat pelan. Ia coba lagi untuk menyeret patung tersebut, dengan bersusah payah, hingga akhirnya ia dapat memasukkan patung berat itu kembali ke dalam ruang gymnasium. Untuk sesaat, Nelson merasa terhipnotis oleh pandangan kosong dari kedua mata manequin itu. Ia merasa bahwa manequin itu hidup, dan kini sedang berusaha untuk menertawakannya.
Nelson bergidik ngeri bila membayangkan manequin itu. Bulu kuduknya berdiri. Dan hal-hal itu sudah cukup untuk membuatnya memutuskan untuk kembali ke pos. Tapi, keanehan lain terjadi di dalam pos jaganya.
Semua monitor terlihat mati dan tidak mendapatkan sinyal. Nelson mencoba melakukan restart pada semua sistem, namun usaha itu tidak berhasil. Semua monitor masih dalam keadaan padam. Namun beberapa detik kemudian…
Salah satu monitor menyala dengan sendirinya. Monitor yang menyala adalah monitor untuk kamera yang ada di depan ruang gymnasium. Gymnasium itu masih terlihat gelap. Namun ada sesuatu dari gamabr di dalam monitor itu yang berhasil menarik perhatian. Sesuatu, yang berada di sudut bawah monitor.
Nelson bergidik ngeri begitu menyadari bahwa apa yang terlihat di monitor adalah kepala dari manequin yang baru saja ia masukkan ke dalam ruang gymnasium. Manequin aneh itu kini sudah berdiri di lorong sekolahan. Bagaiman mungkin?
Hal yang ekstrim mulai terjadi di dalam pos jaga itu. Lampu tiba-toba saja berkedip tak karuan, dan suara-suara aneh mulai terdengar dari dalam monitor. Suara bergemerisik, seperti sebuah sinyal radio yang buruk, dan monitor-monitor itu mulai berkedip. Kadang menyala, dan kadang mati. Namun Neslon menyadari bahwa dari setiap layar monitor, ia dapat melihat dengan jelas bahwa manequin itu berpindah-pindah tempat. Dan gambar terakhir menunjukkan bahwa manequin itu sudah berada di halaman depan sekolah. Dan tiba-tiba saja…
Terdengar ketuka lembut dari pintu depan pos jaga. Neslon berjingkat. Ia tidak tahu siapa yang ada dibalik pintu itu. Tapi ia memiliki gagasan, bahwa mungkin, sesuatu yang tidak ia harapkan berada di luar dari ruang jaganya. Ketika Nelson mencoba untuk mendekati pintu itu, lampu dan semua alat elektronik di dalam pos jaga itu padam. Keadaan menjadi hening tanpa suara-suara aneh yang keluar dari layar monitor. Terkecuali, suara ketukan halus di pintu pos jaga itu.
Nelson bergerak perlahan dengan tubuh bergetar. Ia mendekati pintu pos jaganya, dan telah bersiap dengan tongkat pemukulnya. Siapapun yang ada di balik pintu itu, Nelson akan segera mengayunkan pemukulnya. Tetapi, tubuhnya seketika kaku, ketika ia membuka pintu itu, dan dihadapannya telah berdiri sesosok manequin berkulit pucat, dengan kedua mata merah dan seringai lebar. Nelson seketika menjerit, dan ia jatuh pingsan.

***