Thursday, April 27, 2017

GIRL IN THE RAIN



Trevor Beck merupakan seorang petani biasa, dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Namun sebuah keganjilan yang terjadi beberapa bulan yang lalu membuat Trevor berpikir bahwa, mungkin kehidupannya sebagai petani tidak membosankan seperti apa yang sering orang-orang bicarakan. Bahkan ia dapat berkata, ia senang kini menjadi seorang petani.
Trevor tinggal di desa Lenchister, Boulder, yang terletak di dalam kawasan Northshire. Ia memiliki sebuah ladang jagung yang cukup luas, yang bahkan sudah terkenal sebagai penyuplai terbanyak kota tersebut. Trevor, pada awalnya, menganggap bahwa kegiatan bertani bukanlah untuknya. Ia selalu memiliki impian lain. Namun karena warisan dari keluarganya, ia harus mengurus ladang jagung yang cukup luas itu. Dan ia tidak memiliki pilihan lain.
Ia tinggal bersama dengan istrinya Matilda, dan memiliki dua orang anak remaja yang saat ini sedang berkuliah di Boulder University. Kegiatan Trevor setiap harinya selalu sama. Ia bangun di pagi hari, memeriksa ternak-ternaknya yang berada di kandang samping rumah, lalu sarapan di dapur sambil membaca koran, dan sisa hari ia lakukan dengan memeriksa ladang jagungnya. Tidak ada yang pernah berubah dari kegiatan kesehariannya itu. Hingga suatu kala…, suatu hal terjadi.
Hari itu merupakan sebuah hari di pertengahan tahun yang panas. Langit tiba-tiba saja menghitam dengan cepat saat Trevor masih mengurus jagungnya di ladang. Hujan tiba-tiba saja turun. Memaksa Trevor untuk segera kembali ke truknya dan bergerak kembali ke rumah. Namun di persimpangan jalan yang terletak tak jauh dari rumahnya, ia melihat sesosok gadis dalam balutan kaos hitam tengah berdiri di tepi jalan, di tengah hujan, tanpa payung. Rambut hitam gadis itu terlihat basah kuyup, menutupi wajahnya yang terlihat putih pucat. Trevor yang merasa penasaran menghentikan truknya tepat di depan gadis itu. Gadis itu hanya mengangkat wajahnya sedikit, lalu tersenyum.
“Apa yang kau lakukan di tengah hujan seperti ini?” tanya Trevor. “Kau bisa sakit.”
“Aku sedang menunggu seseorang.” Jawab gadis muda itu.
“Rumahku ada disekitar sini. Kau mau mampir sambil menunggu? Aku memiliki baju gantiku untukmu.”
“Tidak usah.” Balas gadis itu. “Temanku sebentar lagi akan datang. Terima kasih sudah menawari.”
Trevor tidak memiliki pilihan lain selain bergerak meninggalkan gadis itu di tengah hujan. Meski begitu, Trevor tidak dapat menghilangkan bayang-bayang gadis itu dari dalam kepalanya. Entah apa yang salah. Apakah karena kenyataan agdis itu berdiri di hujan? Atau karena alasan lain? Trevor pergi tidur malam itu dengan banyak pertanyaan masih memenuhi kepalanya.
Keesokan harinya, Trevor tiba-tiba saja teringat kembali dengan gadis yang berdiri di tengah hujan itu. Karena ia tidak bisa menyimpannya sendiri, maka ia mencertakan hal itu pada Matilda.
“Apanya yang aneh?” balas Matilda. “Dia hanya gadis yang sedang menunggu temannya. Mungkin dia tidak mengira akan hujan, dan tidak membawa payung.”
“Tapi aneh.” Balas Trevor. “Aku merasa aneh saja. Ia basah kuyup, seolah ia sudah berdiri terlalu lama disana. Dan pertanyaan lainnya, darimana sebenarnya gadis itu? Perempatan itu jauh dari kawasan penduduk. Tidak mungkin dia bisa ada disana tanpa alasan, ‘kan?”
“Trevor!” ucap Matilda sambil mendesah. Wanita itu seketika melupakan panci masakannya dan memandang serius ke arah suaminya itu.
“Kau tidak perlu memikirkannya.” Ucap wanita itu. “Yang perlu kau lakukan kini adalah apa yang akan kau perbuat pada salah satu kudamu yang sakit itu?”
“Benar.” Jawab Trevor seraya berdiri dari kursi yang ia duduki.
Dari pagi hingga siang hari itu, Trevor sibuk di kandang mengurus kudanya yang entah kenapa tiba-tiba sakit itu. Ia sadari pula bahwa gerak-gerik dari ternaknya yang lain tidak normal. Sapi-sapi tidak berhenti melenguh, dan kuda-kuda lain yang masihs ehat terus menghentak-hentakkan kakinya. Kambing terus mengembek, dan para angsa terlihat tidak bisa diam. Seolah hewan-hewan itu ingin mengatakan sesuatu pada Trevor.
“Ada yang tidak beres dengan hewan kita.” Ucap Trevor saat kembali ke dalam rumah. “Sebaiknya aku mengunjungi dr. Stevenson. Aku ingin bertanya soal tingkah aneh ternak-ternah ini.”
“Ke Boulder?”
“Ya.” Jawab Trevor.
Kota Boulder hanyalah sebuah kota kecil yang terletak tak jauh dari peternakan dan pertanian Trevor. Trevor berhasil menemui dokter hewan Stevenson, namun Trevor tidak mendapatkan jawaban yang ia mau. Hewan-hewannya sepertinya tidak mengidap penyakit apapun. Lalu kenapa?
Langit tiba-tiba kembali menghitam saat Trevor keluar dari rumah dr. Stevenson. Hujan lagi, dan begitu deras. Petir beberapa kali menyambar, dan angin bertiup dengan begitu kencang. Bahkan sudah dapat dikatakan sebagai badai.
Trevor mengendarai truknya dengan hati-hati di tengah guayaran hujan deras itu. Jalanan terlihat buram dan tidak jelas. Namun ketika Trevor akan berbelok di perempatan yang mengarah ke rumahnya, ia melihat kembali gadis itu. Gadis yang sama, dalam balutan kaos hitam yang sama. Berdiri di posisi yang sama, di tengah hujan deras. Trevor, tanpa sadar, mengehentikan kembali truknya tepat di depan gadis itu.
“Kau lagi.” ucap Trevor setelah membuka kaca jendela mobilnya. Sedikit air masuk ke dalam kabin, namun Trevor tidak mempedulikannya. Gadis itu kembali melepas satu senyum tipis.
“Apa yang sebenarnya kau lakukan?” tanya Trevor mengutarakan rasa penasarannya. Karena ia berpikir tingkah gadis itu sudah tergolong aneh dan tidak wajar.
“Aku menunggu temanku.” Jawab gadis itu. Jawaban yang sama seperti yang terucap sehari sebelumnya. Yang membuat Trevor semakin menekuk alisnya.
“Temanmu sepertinya bukan teman yang baik, meninggalkanmu dalam hujan seperti ini.”
“Dia mungkin hanya terlambat.” Ucap gadis itu. “Kurasa dia akan datang sebentar lagi.”
“Kau yakin?” tanya Trevor. “Mampir ke rumahku! Kau bisa menggunakan telepon untuk…”
“Tidak apa-apa.” Potong gadis itu. “Terima kasih.”
Sekali lagi, Trevor meninggalkan gadis itu berdiri dalam hujan deras. Dan Trevor, kembali masuk ke rumah dengan berjuta pertanyaan soal gadis misterius yang berdiri di tengah hujan itu.
“Gadis itu lagi?” ucap Matilda tidak percaya. “Kenapa? Kenapa dengan gadis itu? Kenapa dia selalu berdiri disana, saat hujan?”
“Bukankah itu pertanyaan yang kutanyakan pagi tadi?” balas Trevor sambil mencicip kopi panas. Hujan masih belum berhenti.
“Jika kejadian ini berlanjut,” lanjutnya. “Mungkin kita harus memanggil polisi. Sikap gadis itu sudah terbilang aneh.”
“Tapi dia tidak melakukan apapun.”
“Aku tahu.” Balas Trevor. “Tapi firasatku mengatakan hal lain.”
Keesokan harinya merupakan hari Sabtu, dimana seperti biasa, dua anak Trevor pulang kembali ke rumah. Mereka adalah Adam dan Tracy, kakak adik yang hanya berjarak dua tahun. Mereka sama-sama bersekolah di Boulder University.
“Kau tidak melihat ada yang aneh saat kemari?” tanya Trevor pada putranya sulungnya, Adam. “Di perempatan, dekat ladang jagung?”
“Tidak.” Jawab Adam. “Memangnya ada apa?”
“Bukan apa-apa.” Ucap Trevor. “Tidak perlu kau pikirkan.”
Pemikiran Trevor mengenai gadis misterius itu terpecah saat ia mendengar suara gonggongan anjing. Pintu depan tiba-tiba saja terbuka, dan seorang gadis berambut pirang bergerak masuk sambil membawa seekor anjing berwarna hitam dan coklat. Anjing itu adalah anjing Tracy, yang biasanya ditipkan di tempat penitipan hewan saat Tracy kuliah. Dan setiap akhir pekan, Tracy selalu membawa anjing itu kembali ke rumah.
“Halo Pollie!” ucap Trevor. Anjing itu, Pollie, langsung mengibas-ibaskan ekornya sambil menjilati tangan tuannya.
“Hai, ayah! Kau sudah baca berita hari ini?” tanya Adam seketika sambil mengangkat koran yang ada di tangannya.
“Berita bagus?”
“Mayor Larsen ingin maju lagi dalam pemilihan tahun depan.”
“Oh, ya?” balas Trevor. “Boleh pinjam?”
Trevor membentangkan koran di tangannya, dan membaca headline hari itu yang memang berkutat pada masalah kampanye calon-calon mayor Boulder. Lalu ada beberapa artikel kecil lainya yang tidak begitu penting, dan secara tak sengaja Trevor menemukan sebuah berita kecil yang menarik di halaman dua. Sebuah berita yang membuat kedua matanya terbelalak.
“INI DIA!” seru Trevor tanpa sadar. Perhatian istri dan kedua anaknya segera terarah padanya.
“Ada apa, Ayah?” tanya Tracy.
Trevor segera membentangkan koran yang ia pegang di atas meja. Perhatian semua orang yang ada di tempat itu segera saja terfokus pada artikel kecil yang dimuat di dalam koran itu. Sebuah artikel yang berjudul,
MAHASISWI MENGHILANG.
Mahasiswi yang disebutkan di dalam artikel itu memiliki ciri-ciri yang begitu mirip dengan gadis yang sellau Trevor temui di persimpangan jalan itu. Berambut hitam sebahu, terlihat terakhir kali memakai kaos hitam lengan panjang, dengan tinggi sekitar 170 cm. Nama gadis yang menghilang itu adalah Cassandra Lowe, berusia 22 tahun yang tinggal di sebuah kamar asrama dekat dengan Boulder University, dimana gadis itu kuliah. Cassandra terakhir kali terlihat tanggal 12. Tepat di saat Trevor melihat gadis itu untuk yang pertama kalinya.
“Kau yakin, Ayah?” tanya Adam. “Maksudku…, apa benar memang Cassandra ini yang kau lihat? Mungkin hanya memiliki ciri-ciri yang sama dengan…”
“Terlalu pas untuk sebuah kebetulan.” Potong Trevor. “Gadis itu memiliki ciri-ciri persis dengan apa yang ditulis disini. Dan tanggal 12, adalah hari pertama aku melihat gadis itu.”
“Dan kemarin kau melihatnya lagi?”
“Ya.” Jawab Trevor. “Di tempat yang sama.”
“Berarti dia saat ini berada di kawasan kita ini?” tanya Matilda. “Trevor! Apa yang harus kita lakukan? Gadis itu mungkin butuh pertolongan kita.”
“Apa mungkin dia tersesat?” tanya Tracy. “Tapi rasanya mustahil, ‘kan? Kota Boulder hanya berjarak lima kilo dari pertanian ini. Dan apa yang ia lakukan di tengah area ladang?”
“Dia berkata, temannya akan menjemputnya.” Ucap Trevor. “Paling tidak itu yang ia katakan.”
“Lalu sekarang bagaimanaya?”
Trevor bangkit dari kursi yang ia duduki, lalu bergerak ke arah jendela. Langit di sebelah barat mulai menghitam, dan mungkin sore nanti akan turun hujan lagi. Jika Trevor ingin menemukan gadis itu, mungkin saat ini adalah waktu yang tepat.
“Adam, bantu aku!” ucap Trevor seraya bergerak meraih jaketnya. “Bawa Pollie! Dia mungkin bisa membantu.”
Dalam sekejap, Trevor dan Adam sudah berada di perempatan dimana gadis itu terlihat sebelumnya. Namun sejauh mana mereka mencari, mereka tetap tidak menemukan keberadaan gadis berkaos hitam itu. Bahkan tidak ada tanda-tanda sama sekali.
“Terlalu aneh untuk gadis muda berdiri di tengah ladang seperti ini.” Ucap Adam. “Kurasa memang ada yang tidak beres.”
“Dia juga bersekolah di Boulder University. Kau tidak mengenalnya?”
“Ada ribuan murid disana.” jawab Adam. “Tentu aku tidak mengenal semuanya.”
Setelah lelah mencari dan tidak menemukan apapun, Trevor dan Adam kembali ke rumah. Langit hitam mulai membuung tinggi, siap untuk mengguyur kawasan itu.
“Sebaiknya aku melaporkannya pada polisi.” Ucap Trevor.
Malam harinya, hujan turun dengan deras. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam namun Trevor masih belum bisa tidur. Ia masih memikirkan soal gadis yang ditemuinya di tengah hujan itu. Apakah benar gadis itu adalah Cassandra? Dan kenapa Cassandra ada di tengah pertanian seperti ini? Apakah ia mencoba lari dari sesuatu? Sesuatu yang mengancam nyawanya?
John yang mulai merasakan matanya berat lambat laun terserap ke dalam alam mimpi. Namun baru satu menit, ia bangkit ke posisi duduk dengan seketika saat ia mendengar gonggongan Pollie dari lantai bawah. Tidak biasnaya Pollie bersuara di malam hari. Ada yang tidak beres.
Trevor memutuskan untuk tidak membangunkan Matilda yang sedang tertidur pulas. Setelah meraih jaket, ia bergerak turun ke lantai satu, dimana ia menemukan pollie sudah berdiri di pintu depan dan terus menggonggong tidak tenang.
“Ada apa, Pollie?” tanya Trevor. “Ada yang tidak beres?”
Pollie terus menggeruk-garukkan kaki depannya pada pintu, seolah ingin dibukakan pintu. Trevor menuruti permintaan anjingnya itu. Pollie langsung berlari ke halaman, di tengah hujan, begitu pintu dibukakkan. Namun gonggongan anjing itu tidak berhenti. Pollie berlari ke sana-kemari. Trevor sadar bahwa Pollie meminta dirinya untuk mengikuti anjing itu.
Trevor dengan segera meraih jas hujan dan senter dari dapur, lalu seketika keluar dair rumah. Hujan masih mengguyur dengan deras, dan kawasan pertanian seperti itu di malam hari terlihat begitu gelap, apalagi di tengah badai. Perlahan, Trevor mengikuti Pollie yang bergerak menyusuri jalan keluar dari area pertanian. Dan anehnya, Pollie mengarah pada perempatan yang bermasalah itu.
“Apa yang ingin kau tunjukkan, Pollie?” gumam Trevor sambil menyorotkan senternya ke setiap tempat. Dan beberapa saat kemudian, barulah Trevor tahu apa yang Pollie inginkan.
Di kejauhan, Trevor dapat melihat sosok gadis berkaos hitam itu, yang lagi-lagi berdiri di perempatan, di bawah tiang lampu. Ini adalah kesempatan Trevor untuk menolong gadis itu.
“Trevor segera berlari ke arah gadis itu. Namun sebelum ia sampai, gadis itu mulai bergerak menjauh dari area lampu.
“TUNGGU! KAU!” Trevor berteriak. Namun suaranya sia-sia saja di tengah guyuran hujan yang lebat itu.
“Kejar gadis itu, Pollie!” seru Trevor sambil terus berlari. Pollie bergerak di depan, mengikuti kemana arah perginya gadis itu. Akan tetapi…
Trevor menghentikan langkahnya seketika saat ia mencaai sebuah jalan buntu. Ya. Jalan buntu. Gadis itu mengarah langsung pada ladang jagung. Tidak ada jalan lain. Dan gadis itu telah hilang.
Trevor tidak begitu saja menyerah. Ia berteriak, berseru mencoba untuk memanggil gadis itu keluar. Ia berpikir, mungkin gadis itu bersembunyi diantara tanaman jagung. Tapi…, Trevor tidak menemukannya.
Pollie pun sepertinya sudah menyerah. Ia sudah berhenti mengonggong. Hujan yang deras masih mengguyur. Langit hitam, di tengah kawasan pertanian yang gelap. Gadis itu menghilang tanpa jejak.
“Mustahil!” seru Adam keesokan harinya saat Trevor menceritakan kejadian semalam. “Kau benar-benar melihatnya? Kau tidak berteriak memintanya untuk berhenti?”
“Tentu aku sudah melakukan hal itu.” Ucap Trevor. “Tapi seperti kataku, gadis itu aneh. Seolah ia sudah tidak memiliki emosi lagi di dalam dirinya, dan yang tersisa hanya senyuman tipis itu. Seolah bagian dalam dirinya sudah mati.”
“Kenapa kau berkata seperti itu?”
“Apakah orang normal akan terus berdiri di tempat yang sama selama beberapa hari, di tengah hujan?”
Tidak ada yang mempertanyakan ucapan Trevor itu. Sebab memang betul, tingkah laku yang ditunjukkan oleh gadis itu sudah tidak wajar. Dan kenyataan bahwa Trevor melihatnya berkali-kali, semakin menunjukkan bahwa keadaannya tidak beres.
“Biarkan Pollie di rumah selama seminggu.” Ucap Trevor kemudian. “Mungkin ia bisa membantuku menemukan gadis itu lagi.”
Adam dan Tracy kembali ke Boulder di hari Senin. Trevor hari itu tidak melakukan kegiatan seperti biasanya. Ia merasa terlalu khawatir dengan gadis berkaos hitam itu. Apakah betul ia Cassandra Lowe yang menghilang itu?
Trevor, bersama dengan Pollie kembali ke perempatan jalan yang bermasalah itu. Trevor memeriksa segala tempat, segala permukaan tanah, ada kemungkinan benda dari gadis itu ada yang terjatuh, yang bisa ia gunakan sebagai petunjuk. Namun nyatanya tidak ada. Hingga matahri meninggi, Trevor tidak menemukan satupun petunjuk. Ia akhirnya pulang tanpa hasil.
“Sampai kapan kau akan terus memikirkan soal gadis itu?” tanya Matilda. “Mungkin dia kabur dengan pacarnya, atau temannya ke suatu tempat.”
“Tapi kenapa dia selalu muncul di tempat itu?” balas Trevor. “Aku tahu hal ini memang aneh, dan…, ya. Memang bukan urusanku. Tapi aku merasa tidak akan tenang sebelum menemukan kenyataan mengenai menghilangnya Cassandra. Aku seolah ikut terlibat dalam hal ini.”
Hujan kembali mengguyur sore itu, hingga malam. Pukul sepuluh malam, Matilda sudah tidur. Tapi Trevor masih duduk termenung di meja dapur sambil menikmati secangkir kopi. Pollie tidur di sebelahnya. Trevor masih menunggu, seandainya saja Pollie bangkit lagi seperti malam sebelumnya. Hal itu pun terasa begitu aneh bagi Trevor. Kenapa Pollie yang berada di dalam rumah bisa tahu keberadaan gadis itu di perempatan jalan?
Trevor hendak menyicip kembali kopinya, saat tiba-tiba saja ia bangkit berdiri dari kursi yang ia duduki. Telinganya baru saja menangkap tajam sebuah suara di kejauhan, yang terdengar seperti teriakan seorang gadis. Sepertinya bukan hanya Trevor saja yang mendengar. Pollie pun bangkit dan mulai mengarah ke pintu.
“Ayo, Pollie!” seru Trevor seraya meraih senter dan berlari ke tengah hujan tanpa mempedulikan jas hujan. Dengan cepat, Trevor mengarahkan kakinya ke arah perempatan yang bermasalah itu. Dan tiba-tiba saja ia melihat sosok gadis itu berlari menuju ladang jagung. Dan Trevor mendengar kembali teriakan itu.
“Pollie, kejar gadis itu!”
Trevor mengejar gerak Pollie hingga perempatan jalan. Namun mereka sudah kehilangan jejak gadis itu. Trevor menyorotkan senternya ke segala arah, mencoba mencari. Namun ia tidak menemukan apapun.
Satu hal aneh yang Trevor sadari kemudian adalah, tidak adanya jejak kaki seorangpun di perempatan jalan yang basah itu. Yang ada hanya jejak kakinya dan kaki Pollie. Untuk sesaat, pikiran Trevor terpenuhi dengan hal itu. Namun sedetik kemudian…
“TOLONG!!”
Trevor seketika memutar tubuhnya ke arah teriakan, yang asalnya dari dalam ladang jagung. Pollie, tanpa disuruh, langsung berlari menerobos tanaman jagung, diikuti oleh Trevor.
Trevor sudah tidak tahu seberapa jauh ia masuk ke dalam formasi tanaman jagung itu. Namun sedetik kemudin, ia seketika menghentikan langkahnya. Kedua matanya terbelalak melaihat apa yang ada di depan matanya. Senter yang ia pegang nyaris terjatuh dari tangannya saat ia melihat benda yang mengejutkan itu, yang tergeletak di tengah-tengah ladang jagung. Yang Trevor temukan adalah, mayat Cassandra Lowe yang sudah membusuk.

*

Malam itu menjadi malam yang begitu berat bagi Trevor. Setelah ia menemukan jenasah gadis itu, ia kembali ke rumah dan menghubungi polisi. Polisi pun datang tidak lama kemudian, dan jenasah Cassandra diambil dari antara tanaman jagung. Hasil penyelidikan sementara menunjukkan bahwa mayat itu memang benar adalah mayat dari Cassandra Lowe, yang sudah menghilang sejak tanggal 12.
“Bagaimana Anda bisa menemukan jenasah korban?” tanya inspektur polisi yang berwenang saat itu. Trevor sedikit kesulitan untuk menjelaskan hal itu. Ia sudah mencoba bercerita mengenai pengalamannya selama beberapa hari terakhir. Namun hal itu tentu saja tidak masuk akal. Cassandra Lowe sudah meninggal sejak tanggal 12. Lalu, gadis yang sellau ia lihat di perempatan itu…
“Sulit untuk dipercaya.” Ucap Adam beberapa hari kemudian saat ia memutuskan untuk pulang setelah mendengar kabar mengenai ayahnya yang menemukan tubuh Cassandra.
“Jadi siapa yang kau lihat selama ini, Ayah?” tanya Tracy. “Mungkinkah…, aku sulit untuk mempercayai hal ini tapi…, kau mungkin bertemu dengan arwahnya?”
“Banyak hal yang belum bisa dijelaskan oleh manusia hingga saat ini.” Jawab Trevor. “Mengenai hantu, dan hal-hal spiritual lainnya. Namun apa yang kulihat saat itu adalah kenyataan. Mungkin hantu memang ada. Atau paling tidak, arwah yang belum tenang di alam kubur. Cassandra seolah memintaku untuk menemukan jenasahnya, agar ia dapat dikuburkan dengan tenang.”
“Mungkin seperti itu.” Sahut Matilda.
Trevor tahu di kemudian hari bahwa pembunuh dari Cassandra adalah kekasihnya sendiri, teman satu kelas di Boulder University. Pada tanggal 12, Cassandra pergi minum-minum dengan teman-temannya di suatu baru. Namun karena suatu alasan, Cassandra pergi dengan kekasihnya.
Meski begitu, Trevor masih tidak tahu apa motif di balik pembunuhan Cassandra. Apakah mungkin karena kecemburuan atau masalah romantikan semacamnya? Ia rasa hal itu menjadi urusan polisi, dan bukan miliknya.
Namun yang pasti, kini Trevor dapat mengatakan bahwa hidup di pertanian tidaklah membosankan seperti apa yang sering orang-orang bicarakan. Sehari setelah penemuan mayat itu, banyak wartawan yang datang ke rumahmnya. Trevor tentu saja merasa senang. Ia tidak eprnah sepopuler itu sebelumnya. Semua hal itu, berkat Cassandra. Dan Trevor hanya bisa berdoa, agar Cassandra beristirahat dengan tenang di alam sana.

****

Thursday, April 20, 2017

MISTERI KAMAR LANTAI TIGA



Pada awalnya, Mary menganggap bahwa pekerjaan yang ia geluti itu biasa-biasa saja. Namun setelah satu bulan ia bekerja sebagai pengasuh anak di rumah keluarga Cavendish, ia mulai merasakan aura yang negatif, yang keluar dari setiap orang yang menghuni rumah besar itu. Hal-hal misterius, berbau sebuah skandal, dan juga horor yang ada di dalam rumah itu membuat Mary merelakan pekerjaannya itu. Kini ia hanya bisa duduk di rumah, sambil membayangkan kembali kengerian yang terjadi padanya selama ia tinggal di rumah keluarga Cavendish.
Mary Walter adalah seorang wanita muda berusia 28 tahun yang baru saja lulus dari sebuah universitas di Sherlnad timur. Ia berhasil lulus dengan nilai yang baik. Meski begitu, permasalahan ekonomi yang mengguncang Sherland di tahun 1860 membuat sebagian besar orang di negara itu sengsara. Banyak pabrik yang tutup dan perusahaan yang bangkrut. Negara Sherland yang awalnya makmur mulai dilanda dengan berbagai macam permasalahan. Tingkat pengangguran dan kemiskinal melonjak naik. Dan setiap orang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan makanan untuk bertahan hidup.
Hal yang sama pun dialami oleh Mary. Ia memang bukan dari kalangan atas, yang memiliki pundi-pundi uang banyak untuk mendukung kehidupannya. Ia hanya berasal dari kalangan bawa yang memiliki mimpi untuk menjalani hidup yang baik setelah ia lulus dari kuliah. Namun nyatanya, impiannya belum terwujud. Karena keadaan ekonomilah yang pada akhirnya memaksa Mary untuk menerima pekerjaan apapun. Suatu hari ia membaca sebuah iklan di koran mengenai keluarga Canvendish yang membutuhkan seorang pengasuh anak. Mary, melamar, dan pada akhirnya berhasil diterima dengan baik.
Iming-iming gaji yang cukup besar membuat Mary tidak berpikir dua kali untuk bekerja pada keluarga Canvendish. Keluarga Cavendish sendiri adalah sebuah keluarga papan atas yang memiliki sebuah manor yang terletak jauh dari pemukiman penduduk. Dan ditempat itulah Mary bekerja dan tinggal. Hanya beberapa hari setelah interview yang dilakukan, Mary pada akhirnya membawa barang-barangnya masuk ke dalam rumah Cavendish.
Tn. Dan Ny. Cavendish adalah sepasang suami istri berusia diatas lima puluhan tahun yang terbilang cukup ramah. Mereka tidak tinggal sendiri. Selain mereka, masih ada kepala pelayan, Smith, seorang pria 69 tahun, dan juga seorang pelayan wanita lain, Ny. Summer, yang berusia 40-an. Mereka dengan senang hati menerima Mary di dalam keluarga itu. Dan Mary menjadi satu-satunya pekerja di rumah itu yang masih single dan terbilang muda. Mary banyak belajar dari Tn. Smith dan Ny. Summer selama ia bekerja di rumah keluarga Cavendish.
Tugas Mary terbilang cukup mudah. Pekerjaannya hanyalah mengurus seorang bocah lelaki kecil berusia lima tahun yang bernama Tom. Tom adalah cucu dari Tn. Dan Ny. Cavendish. Mary tidak tahu banyak kenapa anak itu malah tinggal dengan kakeknya dan tidak bersama dengan kedua orang tuanya. Mary masih merasa cukup baru di tempat itu, dan tidak berani banyak bertanya. Yang perlu ia lakukan hanyalah menjaga Tom, dan kadang mengajarinya beberapa hal sederhana. Ia sudah bisa dianggap sebagai guru pribadi di tempat itu.
Mary awalnya berpikir bahwa segalanya berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan. Namun beberapa hari setelah ia tinggal di tempat itu, ia mulai mendapatkan peringatan dan Tn. Dan Ny. Cavendish. Bukan karena kesalahannya dalam bekerja, namun karena hal lainnya.
“Lantai tiga,” ucap Ny. Cavendish di suatu sore saat Mary dipanggil menghadapnya di ruang duduk. “Adalah satu tempat yang tidak boleh dikunjungi oleh siapapun, kecuali Tn. Smith dan Ny. Summer. Kau paham dengan hal itu, ‘kan, Nn. Walter?”
“Ya, Ny. Cavendish.” Jawab Mary. “Jika boleh saya bertanya, ada apa di lantai tiga?”
“Kurasa hal itu berada di luar tanggung jawabmu, Nn. Walter.” Jawan Ny. Canvendish. “Dan aku tidak perlu menjawabnya. Kau boleh melakukan apapun sebebas mungkin di dalam rumah ini, kecuali segala sesuatunya yang berhubungan dengan lantai tiga. Jika kau sampai melanggarnya, maka aku dan Tn. Cavendish akan bertindak tegas. Kau mengerti, Nn. Walter?”
“Ya, Ny. Cavendish.” Jawab mary lagi, dan ia tidak berani bertanya lebih banyak lagi.
Apa yang sebenarnya ada di lantai tiga? Dan kenapa tempat itu tidak boleh dijamah? Mary mendapatkan pertanyaan-pertanyaan itu dalam beberapa hari berikutnya. Selama ia bekerja, ia sedikitnya lupa akan masalah soal lantai tiga itu. Namun ketika Tom sudah tertidur, atau saat sedang sibuk bermain, Mary suka sesekali menyelinap di koridor dan mengarah pada tangga yang mengarah ke lantai tiga.
Tangga itu berada di ujung koridor. Sebuah tangga kayu sempit yang mengarah pada sebuah pintu tertutup yang berada di lantai tiga. Mary merasa begitu penasaran dengan apa yang ada di balik pintu itu. Tapi ia masih sayang dengan pekerjaannya. Dan ia berjanji bahwa ia tidak akan memikirkan lagi soal lantai tiga itu. Untuk apa? Jika ada suatu rahasia, hal itu menjadi urusan Tn. Dan Ny. Cavendis, dan juga dua pelayan lain. Mary meraa tidak perlu peduli.
Memang awalnya ia bisa berpikir seperti itu. Tapi sebuah kejadian si suatu tengah malam buta membuat Mary merasakan rasa penasarannya lagi. Saat itu ia tengah tertidur di kamarnya yang berada di lantai dua. Ia tiba-tiba saja terbangun saat terdengar sebuah suara bergedebuk dan juga sebuah jeritan, yang langsung ia tebak berasal dari lantai tiga.
Jeritan yang ia dengar terdengar tidak normal. Bahkan ia merasa bahwa jeritan itu bukan berasal dari jeritan seorang manusia atau semacamnya. Jeritan yang terdengar dingin, yang dengan seketika mendirikan bulu-bulu halus di belakang lehernya.
Mary bangkit dari tempat tidurnya lalu menyalakan lilin, kemudian membawanya saat ia mengarah ke pintu. Namun ia segera menghentikan langkahnya saat ia mendengar langkah-langkah cepat di koridor. Terdengar ada suara pria dan wanita, yang Mary kenal adalah suara Tn. Smith dan Ny. Summer. Yang membuat Mary semakin heran dan penasaran adalah kalimat-kalimat yang terucap dari mulut mereka.
“Aku sudah memeriksanya.” Ucap Tn. Smith sambil bergerak cepat di koridor. “Apa lagi sekarang?”
“Sudah seminggu sejak kejadian terakhir. Apakah kambuh lagi?”
Mary hanya dapat menggelengkan kepala dan mengerutkan dahinya. Ia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh Tn. Smith dan Ny. Summer. Mary memberanikan diri untuk membuka sedikit pintu kamarnya, dan ia dapat melihat Tn. Smith dan Ny. Summer bergerak cepat menyusuri koridor, dan mengarah pada tangga yang menuju lantai tiga. Setelah itu, keduanya menghilang. Mary tidak berani keluar dari kamarnya karena merasa begitu takut. Jeritan apa yang sebenarnya ia dengar? Apakah ada kaitannya dengan ‘sesuatu’ yang tersembunyi di lantai tiga?
Mary membawa pertanyaan itu hingga pagi. Keesokan harinya, Mary berharap bisa mendapatkan penjelasan dari apa yang terjadi semalam. Namun yang ia dapatkan adalah ekspresi normal dari setiap orang di rumah itu. Tn. Dan Ny. Canvendish terlihat tidak khawatir sama sekali dengan apa yang terjadi semalam, seolah hal itu sudah sering terjadi. Bahkan Tn. Smith dan Ny. Summer pun terlihat normal seperti biasa. Hal aneh ini semakin membuat Mary merasa begitu penasaran. Setiap ada kesempatan, ia selalu mengarah ke tangga yang menuju lantai tiga itu, namun ia tidak berani bergerak lebih jauh. Ia hanya dapatt memandang pintu hitam yang ada di puncak tangga, dan mereka-reka, apa yang sebenarnya ada di balik pintu itu.
Selama beberapa hari selanjutnya, suara jeritan itu tidak terdengar. Namun suatu ketika jeritan itu kembali terdengar oleh Mary. Tepat di tengah malam buta. Dan seperti sebelumnya, ia mendengar langkah-langkah cepat dari Tn. Smith dan Ny. Summer. Keanehan itu lagi.
Keanehan itu tidak hanya terjadi pada malam hari. Suatu hari ketika Mary sedang membacakan dongeng untuk Tom di ruang baca lantai dua, ia mendengar lagi suara bergedebuk itu dan juga jeritan melengking itu. Seketika Mary merasakan tangannya bergetar, dan bulu kuduknya berdiri. Seolaha da aliran dingin yang tiba-tiba saja merayap di tubuhnya ketika ia mendengar suara jeritan itu lagi. Apa yang sebenarnya ada di lantai tiga? Apakah ada sesuatu yang terkurung disana? sebuah rahasia besar?
Semakin lama Mary tinggal di tempat itu, kejadian aneh lainnya semakin bertambah. Ia sempat melihat beberapa kali Ny. Summer menuruni tangga yang mengarah ke lantai tiga itu. Di tangannya terdapat baki dengan piring kosong. Hanya dengan melihat hal itu saja, Mary sudah dapat menyimpulkan bahwa mungkin memang ada seseorang di lantai tiga yang disembunyikan oleh keluarga Cavendish. Tapi siapa? Dan dengan alasan apa?
Bukan hanya itu saja. Kejadian aneh lainnya terjadi saat Mary tanpa sengaja bergerak melewati tangga lantai tiga, dan melihat ada setumpuk kain yang tergeletak di anak tangga. Mary berpikir, mungkin hanya pakaian kotor yang lupa dibawa oleh Ny. Summer. Ketika ia menurunkan tangannya untuk mengambil tumpukan kain itu, tiba-tiba saja seseorang berteriak padanya dari ujung koridor.
“JANGAN SENTUH!”
Mary seketika menegakkan tubuhnya, dan melihat Ny. Summer bergerak cepat ke arahnya. Wajahnya terlihat kaku, dengan bibir tipis dan mata tajam memandang ke arah Mary.
“Kau pikir apa yang kau lakukan, Nn. Walter?” ucap Ny. Smith kemudian. “Bukankah sudah dikatakan bahwa tempat ini terlarang? Dan kau tidak seharusnya berada disini?”
“Maafkan aku!” ucap Mary. “Aku kebetulan lewat, dan melihat tumpukan kain kotor ini, dan aku berpikir…”
“Ini urusanku.” Potong Ny. Summer cepat. Satu hal aneh terjadi tepat di depan mata Mary. Ny. Summer terlihat menarik keluar sepasang sarung tangan kulit dan sakunya, dan memakainya sebelum ia mengangkat tumpukan kain kotor itu. Mary tidak mengerti dengan apa yang sebenanrya terjadi.
“Tugasmu hanya mengurus Tom.” Ucap Ny. Summer kemudian. “Jika sampai Tn. Dan Ny. Cavendish tahu kau berada disini…”
“Maafkan aku!” ucap Mary lagi. “Tidak akan terulang lagi.”
Kejadian itu benar-benar membekas dalam ingatan Mary. Mengenai tingkah Ny. Summer yang tiba-tiba saja menjadi begitu tegas dan ketat. Selama Mary tinggal di rumah itu, Ny. Summer selalu berbicara halus dengannya. Tapi tidak dengan hari itu.
Dan apa yang sebenarnya Ny. Summer lakukan terhadap kain kotor itu? Kenapa ia mengenakan sarung tangan untuk mengangkat kain-kain kotor itu? Mary tidak mendapatkan jawaban.
Hal aneh yang Mary temukan lainnya terjadi beberapa hari setelah hari itu. Suatu keadaan memaksa Mary untuk turun ke ruang bawah tanah hari itu. Alangkah terkejutnya Mary saat melihat ruang bawah tanah seolah telah berubah menjadi semacam toko pakaian.
Terdapat baju-baju basah yang tergantung di beberapa tali jemuran. Terdapat begitu banyak baju basah. Dan anehnya, Mary tidak pernah melihat salah satu anggota di rumah itu yang memakai pakaian seperti yang tergantung di tempat itu. Pakaian wanita, yang terlihat mulai kumal karena temakan usia. Jelas-jelas bukan milik Ny. Cavendish. Dan tentu juga bukan milik Ny. Summer. Lalu untuk siapa? Apakah pakaian dari seseorang yang tinggal di lantai tiga?
“Aku tidak akan mengadukanmu, Nn. Walter.” Ucap sebuah suara di belakang Mary yang membuat Mary langsung melonjak di tempat. Ia  putar tubuhnya, dan mendapati si tua Smith berdiri di anak tangga terbawah, memaku pandangan padanya.
“Rasa ingin tahu bukanlah sebuah tindakan kriminal.” Lanjut pria tua itu. “Tapi seseorang yang melanggar peraturan, memiliki hukuman tersendiri. Kau seharusnya tidak berada disini, Nn. Walter. Dan jika boleh aku tahu, apa alasanmu turun ke tempat ini?”
“Maafkan aku, Tn. Smith!” ucap Mary cepat. “Aku hanya mencari ember bekas, untuk pot tanaman. Kupikir ada di tempat ini jadi…”
“Aku akan mencarikannya.” Ucap Smith. “Jika kau berjanji kau tidak akan kembali ke tempat ini.”
Mary hanya dapat mengangguk. Namun rasa penasarannya kini sudah begitu besar, yang terasa menyesakkan dadanya. Ia ingin sekali berlari menaiki tangga lantai tiga, dan melihat sendiri apa yang sebenarnya tinggal di lantai misterius itu. Jeritan apa yang sebenarnya ia dengar?
Minggu-minggu berganti. Rasa penasaran Mary masih sama besarnya, dan sepertinya belum akan terpuaskan jika ia belum mendapatkan jawaban. Namun ia juga takut kehilangan pekerjaannya. Karena itulah ia mencoba untuk bungkam dan tidak banyak bertanya.
Di suatu hari, Tn. Dan Ny. Cavendish menyewa seorang tukang ledeng yang ditugaskan untuk memperbaiki aliran air di rumah itu. Segalanya berjalan dengan normal, hingga akhirnya Mary melihat pria itu turun dari lantai tiga dengan wajah tegang dan pucat. Mary mencoba menghentkan pria itu, mencoba untuk menjelaskan bahwa lantai tiga adalah lantai terlarang. Tapi…
“Bisa-bisanya kau tinggal di tempat ini?” ucap pria itu dengan wajah tegang dan pucat. Otot-otot di lehernya terlihat menegang.
“Makhluk seperti itu…, aku tidak percaya…”
“Tuan, dengarkan aku!”
“Aku akan pergi.” Ucap pria itu sambil berusaha melepaskan diri dari hadangan Mary. “Aku tidak peduli lagi dengan ledeng rumah ini.”
Kejadian kecil itu sempat membuat gempar tempat dimana Mary tinggal itu. Ia mendengar Tn. Dan Ny. Cavendish memarahi Tn. Smith dan Ny. Summer karena telah membiarkan orang luar masuk ke lantai tiga yang terlarang itu. Sebenarnya, tidak ada yang tahu bagaimana orang itu bisa naik ke lantai tiga. Dan bukan salah siapapun. Namun Mary jujur juga merasa bersalah. Mendengar Tn. Smith dan Ny. Summer di bentak-bentak membuatnya semakin merasa takut dengan apa yang akan terjadi seandainya ia sampai berani masuk ke lantai tiga. Namun dengan kejadian kecil itu, kini Mary yakin bahwa apapun, atau siapapun yang tinggal di lantai tiga, merupakan aib bagi keluarga Cavendish.
Atmosifr di dalam rumah besar itu berubah seketika dalam hari-hari selanjutnya. Setiap orang terlihat begitu tegang, kaku, dan tidak ada yang banyak berbicara. Tn. Dan Ny. Cavendish lebih sering menghabiskan waktu mereka di ruang baca sambil menikmati kopi atau teh. Sementara Tn. Smith dan Ny. Summer melakukan kegiatan mereka seperti biasanya, meski mereka kini jarang bercengkeraman.
Mary semakin merasa tidak enak dengan keadaan di dalam rumah itu. Setiap malam, ia selalu mendengar suara bergedebuk dan jeritan itu dari lantai tiga. Siapa yang bisa tahan dengan keadaan mengerikan seperti itu? Mary merasa ia bisa benar-benar gila jika ia tidak segera keluar dari rumah itu. Tapi bagaimana dengan pekerjaannya? Pekerjaan ini adalah pekerjaan terbaik yang bisa ia dapatkan. Tapi resikonya, ia mungkin bisa kehilangan akal sehatnya.
Mary juga menyadari bahwa kini Tn. Smith dan Ny. Summer sering bercengkerama secara rahasia di dapur. Mereka berbicara dengan suara rendah, membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan lantai tiga. Hal ini semakin menguatkan kepercayaan Mary bahwa apapun yang ada di atas sana, adalah hal yang buruk, yang tidak boleh diketahui oleh orang lain. Mary membutuhkan jawaban. Namun sepertinya ia tidak mungkin bisa naik ke lantai terlarang itu tanpa terlihat oleh Tn. Smith atau Ny. Summer, mengingat mereka kini sering berjaga di sekitar tangga setelah insiden kecil tukang ledeng itu.
Sebuah kesempatan besar pun pada akhirnya tiba. Suatu hari, Tn. Dan Ny. Cavendish memutuskan untuk pergi ke kota bersama dengan kedua pelayannya. Itu berarti Mary memiliki kesempatan untuk sedikitnya mengintip apa yang ada di lantai tiga. Ia pun membulatkan tekadnya untuk masuk ke dalam lantai terlarang.
Saat itu jarum jam menunjukkan pukul dua belas siang, dan Tom sudah tertidur tenang di kamarnya. Mary memiliki sebuah kesempatan yang tidak boleh ia sia-siakan. Ia tahu bahwa pintu di ujung tangga itu terkunci. Dan kuncinya, mungkin dibawa oleh Tn. Smith atau Ny. Summer. Bagaimana caranya ia bisa masuk?
Mary memberanikan diri untuk menyelinap masuk ke dalam kamar salah satu pelayan itu. Ia mencari-cari di gantungan baju, dan ia merasa beruntung lagi saat satu gebung kunci rumah ternyata ditinggal di balik sebuah jaket usang. Mary, tanpa membuang waktu, segera mengarah ke tangga yang mengarah pada lantai tiga itu. Sesaat sebelum ia menaiki anak tangga, ia mengamati sekelilingnya. Memastikan semuanya aman.
Ya. Hanya ada dirinya di dalam rumah besar itu. Mary sebenarnya emrasa sedikit ragu untuk naik ke lantai tiga. Ada perasaan takut di hatinya, yang kadang membuat kakinya bergetar. Namun rasa penasarannya lebih besar. Ia harus menemukan jawaban dari misteri lantai tiga itu.
Perlahan, Mary mulai menaiki tangga. Irama jantungnya berjana bersamaan dengan langkah kakinya. Semakin lama, jantungnya berdetak semakin kencang. Apa yang mungkin ia temukan di balik pintu itu? Bagaimana jika…
Sampai.
Mary berdiri terpaku di depan pintu hitam itu. Ia mencoba menempelkan telinganya pada daun pintu, mencoba untuk mendengar suara di dalam. Namun tidak ada yang terdengar. Mary mencoba untuk mengintip dari luabng kunci, namun keadaan di dalam begitu gelap dan tidak jelas.
Setelah mencoba beberapa kunci, Mary akhirnya menemukan kunciyang tepat. Sebuah bunyi ‘klik’ terdengar, saat kunci berhasil ia buka. Perlahan ia buka daun pintu itu, sesenti demi sesenti, hingga akhirnya pintu itu terbuka. Apa yang ia lihat?
Koridor kosong. Di depan matanya yang ada hanyalah sebuah koridor kosong yang gelap, karena setiap jendela yang ada di lorong itu telah dipaku. Tapi misteri yang sesungguhnya masih berada di lantai tiga itu. Mary bergerak masuk, menyusuri koridor, dan ia melihat ada sebuah ruangan di ujung koridor yang memancarkan sebuah cahaya jingga, yang terpantul di lantai. Kamar itu. Pasti kamar itu adalah kamar yang bermasalah.
Mary, sambil menguatkan hatinya, bergerak perlahan menyusuri koridor hingga ia tiba di depan pintu ruangan yang bercahaya itu. Jantung Mary nyaris copot saat ia mendengar sebuah senandung dari dalam ruangan itu. Seseorang bersenandung lirih. Tapi, siapa?
Pintu ruangan itu memiliki sebuah jendela kecil di bagian atasnya. Dari sana, Mary pada akhirnya memutsukan untuk mengintip ke bagian dalam. Yang terlihat, adalahs ebuah kaamr kecil dengan berbagai perabotan di dalam. Di ujung ruangan terdapat meja dengan satu lentera yang menyala. Namun, hal yang membuat Mary menyesal dengan keputusannya masuk ke dalam lantai tiga itu berada di sudut ruangan.
Mata Mary membelalak, dan mulutnya terbuka saat ia melihat horor yang sesungguhnya, yang mungkin sudah lama terkurung di dalam ruangan yang gelap itu.
Sesosok makhluk menyerupai manusia duduk di sudut ruangan. Tubuhnya terlihat begitu kurus, dengan lengan dan kaki yang besarnya mungkin hanya sebesar gagang sapu. Dan anehnya, tangan dan kaki itu tidak memiliki jemari, dan lengan dan kaki itu berada di posisi yang sangat aneh, yang seolah terpelintir di beberapa tempat. Yang lebih mengejutkan lagi adalah wajah dari makhluk itu. Sebuah wajah yang tak beraturan, yang hanya memiliki satu mata berwarna kemerahan. Rambut makhluk itu hitam panjang, dan terlihat begitu kumal.
Makhluk apa itu?
Mary terpaku di tempatnya berdiri, dan tidak dapat bergerak sedikitpun. Hingga akhirnya, wajah itu menoleh ke arahnya, memberikan sebuah tatapan tajam yang seolah menusuk langsung ke dalam kepala Mary. Seperti kerasukan setan, Mary pun langsung berlari kembali ke arah tangga, mengunci kembali pintu hitam itu, dan langusng mengarah ke dapur. Ia meminum dua gelas air putih untuk mengurngai ketakutan yang baru saja ia lihat. Makhluk itu, sosok itu, atau apapun itu, telah membuat Mary kehilangan hasratnya untuk bekerja di rumah itu.
Setelah melihat rahasia dari lantai tiga itu, Mary tidak tahan untuk terus berada di dalam rumah keluarga Cavendish. Keesokan harinya, ia memutuskan pergi tanpa berpamitan pada Tn. Dan Ny. Cavendish. Ia tidak peduli lagi dengan gajinya yang belum terbayarkan. Baginya, bisa keluar dari rumah mengerikan itu saja sudah cukup.
Bulan berganti tahun, dan sudah banyak hal yang terjadi pada sosok Mary Walter. Ia sudah berganti pekerjaan berkali-kali, dan menjalani kehidupan yang tidak dapat dikatakan bagus, meski lebih baik dari orang lain. Namun apa yang ia lihat di dalam kaamr lantai tiga kala itu tetap tidak dapat menghilang dari otaknya. Mengenai makhluk dengan anggota tubuh cacat yang tidak karuan itu. Mary, sepertinya telah terkutuk.
Mary memutuskan untuk tidak menceritakan hal ini pada siapapun. Apapun yang ada di lantai tiga itu, itu merupakan aib yang coba ditutupi oleh keluarga Cavendish. Sebuah skandal, atau misteri lainnya yang seharusnya memang tidak boleh didengar oleh orang lain. Mary melakukannya tentu saja bukan tanpa alasan. Tn. Dan Ny. Cavendish sudah begitu baik padanya selama ia bekerja di rumah itu. Dan karena hal itulah, ia tidak mau menceritakan aib itu pada orang lain.
Hingga kematiannya di tahun 1886, Mary tetap bungkam, dan membawa misteri mengenai sosok yang tinggal di lantai tiga itu ke dalam kuburnya. Kini, tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya akan terjadi pada sosok yang tinggal terkurung di kamar lantai tiga itu. Dan tidak akan ada yang pernah tahu, siapa sosok itu sebenarnya. Dan kenapa Tn. Dan Ny. Cavendish mengurus sosok mengerikan itu.
Misteri tetap menjadi misteri, kecuali ada seseorang yang berusaha untuk memecahkannya. Dan misteri dari kamar di lantai tiga itu tetap menjadi misteri, yang tidak akan pernah dipecahkan oleh siapapun. Bagaimana dengan nasib sosok itu selanjutnya? Dan apa yang akan dilakukan oleh Cavendish terhadap sosok itu? Jawabannya…, tidak akan ada yang pernah tahu.

****