Ini hanyalah sekelumit cerita tentang Alan Stormfield.
Seorang penulis yang sudah bertarung melawan depresi sepanjang hidupnya. Selama
bertahun-tahun, Alan berpegang teguh pada sebuah pengharapan, yang mengatakan
bahwa akan ada terobosan dalam hidupnya suatu saat nanti. Namun ternyata, Alan
berpegang pada sebuah kehampaan yang pada akhirnya meremukkan tulang
kehidupannya.
Alan adalah anak pertama
dari keluarga Stormfield. Dia adalah kakak dari dua orang adik perempuannya
yang dalam kenyataan memiliki nasib yang lebih baik bila dibandingkan dengan
Alan. Alan merupakan seorang anak dari seorang dokter terkenal di Cherwood. Ada
banyak orang, anggota keluarga Alan, yang berharap Alan akan menempuh jalur
kehidupan yang sama dengan ayahnya, yaitu bekerja di sebuah institusi
kesehatan. Namun, Alan memiliki impian lain. Ia hanya ingin menjadi penulis
novel. Dan sejak ia lulus dari sma, ia mulai menekuni hobinya itu sebagai karir
kehidupannya.
Alan adalah seorang penulis
yang mahir dalam bidang fiksi misteri. Kegemarannya akan misteri membuatnya
cukup terkenal di kalangan teman-temannya saat ia masih bersekolah. Meski ia
memiliki beberapa teman, Alan selalu merasa kesepian dan merasa dirinya begitu
kecil dan tidak siknifikan di mata orang lain. Selama masa sekolahnya, Alan
berkali-kali jatuh ke dalam masalah karena ia sering membolos. Alasannya bukan
karena ia malas, namun karena ia memiliki suatu kelainan dengan jiwanya, dimana
ia selalu merasa panik jika berada diantara banyak orang.
Tidak ada yang pernah
betul-betul mengenal sosok Alan Stormfield. Di sekolah, ia tidak pernah
dipandang dua kali oleh orang-orang di sekitarnya. Dan ketika ia lulus dari
sma, keadaannya semakin buruk. Menulis adalah satu-satunya cara bagi Alan untuk
dapat meredam amarah dan juga kegelisahan yang ada di pikiran dan hatinya. Ia
berharap suatu hari nanti dapat menjadi seorang penulis yang cukup memiliki
nama. Namun apakah impiannya itu tercapai?
Depresi yang ia rasakan
semakin menjadi parah saat ia menginjak usia 25 tahun. Masih terlalu muda, namun
Alan sudah mulai bosan dengan kehidupannya yang monoton, yang seolah tidak ada
jalan keluar permasalahan yang ia hadapi. Alan berusaha untuk terus bertahan,
dan mendengarkan nasihat-nasihat yang mungkin dapat membangkitkan kembali
menuju kepercayaan diri. Namun ternyata keadaan sebenarnya berbanding terbalik
dengan hal itu.
Pertolongan yang Alan
butuhkan selanjutnya hanyalah dari psikiatris. Ia didiagnosa memiliki
agoraphobia dan juga masalah kecemasan. Psikiatris mencoba membantunya dengan
beberapa obat anti depressan dan juga mood stabilizer. Benzo, yang pada
akhirnya membuat Alan memiliki ketergantungan terhadap obat itu.
Alan masih terus menjalani
karirnya sebagai penulis. Ia memiliki sebuah blog dimana ia mengirimkan
beberapa karyanya sebagai bentuk penyaluran hobinya. Namun blognya tidak
berjalan sesuai dengan rencana. Dan manuskrip dari novel yang ia kirimkan ke
beberapa penerbut pun selalu mendapatkan penolakan. Alasannya terdengar konyol
dan tidak masuk akal. Segala kegagalan Alan ini membuatnya semakin terjatuh
dalam lubang kesengsaraan tanpa ada jalan keluar.
Alan yang sudah cukup
tertekan dengan keadaannya mulai mencari cara lain untuk dapat membantunya
bertahan dalam kehidupannya. Ia kembali ke rumah Stormfield, menemui ayahnya,
meminta saran apa yang harus ia lakukan. Tapi…
“Kau sudah memutuskannya
sejak awal, Alan.” Ucapnya ayahnya dengan ketus. “Kau memilih menjadi penulis,
daripada meneruskan jejakku sebagai seorang praktisi medis. Kau membangkang.
Kau tidak berhak menerima belas kasihan dariku!”
Alan mencoba beberapa kali
meminta bantuan dari ayahnya itu. Namun seperti sebelumnya, Alan hanya
mendapatkan makian.
“Lihat apa yang terjadi
dengan dirimu!” ucap ayahnya ketus. “Kau gagal, Alan. Kau menjadi aib bagi
keluarga Stormfield. Kau membuatku malu. Kau membuat ibumu malu. Kau berbeda
dengan dua adik perempuanmu itu. Lihat mereka jadi apa sekarang! Mereka menjadi
perawat dan dokter. Lalu apa yang bisa kau lakukan? Tulisan tidak berguna itu!”
Alan pergi dari rumah
keluarga Stormfield untuk yang kesekian kali, dengan perasaan hancur yang
selalu ia rasakan. Bahkan kini keluarganya tidak peduli lagi padanya. Apa yang
harus ia lakukan? Menunggu? Tapi sampai kapan?
Alan merasa bahwa seolah ada
monster yang hidup di dalam kepalanya, yang selalu mengingatkannya bahwa ia
adalah sebuah kegagalan. Ia tidak berhak untuk hidup, dan harus mengakhiri
hidupnya. Tapi Alan masih dapat melawan bisikan-bisikan setan itu. Meski dengan
satu cara yang tidka benar.
Dinding di dalam kamar
apartemen Alan sudah penuh dengan luabng berkat amarah Alan. Ketika
bisikan-bisikan itu datang, Alan dengan keras menghantamkan kepalanya ke arah
dinding atau lemari. Ia lukai tangannya sendiri dengan meninju kaca jendela
hingga berkeping-keping. Untuk sesaat, iblis di dalam kepalanya diam. Alan
tertawa terkekeh-kekeh, merasa menang, meski dengan kepala dan tangan berdarah.
Tapi sesaat sebelum ia tidur di malam hari…
“Kau sebuah kegagalan! Kau
aib bagi keluarga Stormfield!”
Suara itu terdengar lagi.
Semakin jelas dari sebelumnya, dan semakin membuat Alan menjadi cukup beringas.
Ia bangkit dari tempat tidurnya di suatu malam, lalu dengan keras membanting
sebuah gelas ke dinding hingga hancur berkeping-keping.
“DIAM!!!!” teriakknya di
tengah malam buta. Ia tidak peduli lagi jika teriakannya akan membangunkan
tetanggannya. Alan sudah benar-benar merasa frustasi dengan keadaan yang ia
jalani.
Dalam beberapa bulan, Alan
tidak terlihat seperti Alan yang dulu pernah menjadi putra keluarga Stormfield.
Depresi dan juga stres yang ia rasakan membuat tubuhnya menjadi kering dan
kurus, dan membuat rongga matanya melebar, dengan mata coklat berapi-api. Alan
berubah menjadi reinkarnasi dari segala hal buruk yang terus terucap di dalam
kepalanya. Alan seolah telah mencapai puncak dari kehidupannya.
Setiap malam tiba, Alan
seolah berubah menjadi monster. tatapanya tajam menusuk mata siapapun yang
melihatnya. Ia sudah tidak peduli lagi dengan rasa sakit yang ia rasakan di
tangan ataupun di kepalanya. Lubang di dinding semakin banyak dan semakin
besar. Ketika ia mulai lelah, ia mulai bisa tertidur dengan tenang. Namun
ketika matahari bersinar lagi keesokan harinya, Alan kembali berada di neraka
dari depresi yang ia rasakan.
Meski dengan segala
rintangan itu, Alan masih cukup aktif dalam menulis novel dan juga
cerpen-cerpennya. Blognya, meski tidak selalu terupdate, masih mendapatkan
cerita-cerita baru darinya. Alan berpikir, mungkin hanya ini yang dapat ia
lakukan seumur hidupnya. Sendirian, dalam depresi berat, dan tidak mungkin ia
akan bisa menemukan kebahagiaan lagi. tapi…
Ia salah.
Terdengar seperti sebuah
keajaiban bagi Alan yang sedang dilanda dengan segala macam stres yang ia
rasakan. Seorang pembaca blognya mulai mengukai cerita-cerita yang Alan buat.
Dan lebih menariknya lagi, orang itu meminta bertemu dengan Alan, untuk
berbicara empat mata.
Alan tidak pernah berpikir
bahwa hal bagus akan datang padanya. Namun pikirannya itu salah, ketika orang
yang mengajaknya bertemu itu adalah seorang gadis cantik yang mengagumi
karya-karyanya. Alan, untuk sesaat, bersyukur ia tidak menolak ajakan untuk
bertemu itu.
Beberapa bulan berlalu sejak
pertemuan kala itu. Hubungan Alan dengan wanita itu semakin erat, dan Alan pun
mulai dapat mengendalikan sifat buruknya. Segala depresi yang ia rasakan seolah
menghilang dengan datangnya wanita itu. Bagi Alan, wanita itu seperti seorang
malaikat yang dikirimkan langsung dari surga untuk mengubah kehidupannya. Dan
ternyata memang benar begitu.
Alan mulai aktif dalam
berbagai macam kegiatan yang ia lakukan. Ia terus menuliskan novelnya, mengirim
manuskripnya ke beberapa penerbit, meski belum mendapatkan satupun jawaban.
Namun Alan sudah merasa lebih bahagia dari sebelumnya. Semua berkat wanita itu.
Tapi…, satu hal yang tidak Alan inginkan terjadi beberapa bulan kemudian.
“Maaf, Alan.” Ucap wanita
itu ketika Alan mencoba untuk meminangnya menjadi istrinya. Alan dibuat
kebingungan. Apa yang sebenarnya terjadi? Selama ini ia selalu memiliki
hubungan yang baik dengan wanita itu. Wanita itu menjadi kekuatannya. Tapi
kenapa sekarang…
“Aku sudah bertunangan
dengan orang lain.” Ucap wanita itu. Yang bagi Alan, terdengar seperti sebuah
hukuman mati baginya.
“Maaf, Alan. Sekali lagi aku
minta maaf!”
Iblis yang berada di dalam
kepala Alan bangkit kembali. Lebih kuat dan lebih besar dari sebelumnya. Alan
menggila. Ia membenturkan kepalanya ke arah sebuah cermin di lemari hingga
dahinya bercucuran dengan darah. Ia menedang kursi, yang membuat jari jempol
kakinya patah. Dan lagi-lagi, ia melampiaskan kekesalannya pada dinding.
Alan terkulai lemah di
apartemennya yang sepi, di tengah keadaan gelap yang semakin membuatnya
terjatuh dalam kesengsaraan. Dan dalam jam-jam terberat itu, suara setan itu
berbisik lagi.
“Tidak ada yang mau
denganmu, Alan.” Ucap suara itu disertai dengans sebuah tawa. “Tidak, Alan. Kau
tidak berhak hidup di dunia ini. Apakah ada keadilan di dunia ini? Kenapa
adik-adikmu bisa sukses, dan mendapatkan perhatian lebih dari ayahmu, sedangkan
kau tidak?”
“DIAM!!” teriak Alan sambil
memukul kepalanya. Namun iblis itu kebal dengan pukulan tangan Alan.
“Oh, Alan.” Ucap iblis itu
lagi. “Sebaiknya segera akhiri saja. Akan lebih mudah bagimu. Akhiri
penderitaan ini, Alan. Akhiri saja!”
Tangan Alan bergetar saat ia
mengulur sebuah tali di tangannya, yang kemudian ia ikatkan pada sebuah palang
di lamgit-langit kamar apartemennya. Untuk yang terakhir kali Alan melirik ke
arah laptopnya yang terbuka.
“Selamat tinggal, kawan.”
Ucapnya lirih. “Aku sudah cukup banyak menderita. Kegelapan sebentar lagi akan
menyelimutiku.”
**
Kegemparan terjadi sehari
setelah penemuan mayat Alan, yang ditemukan tergantung di dalam kaar
apartemennya. Polisi kemudian menemukan tulisan terakhir Alan di laptop, yang
berbunyi,
“Ini adalah akhir dari kehidupan hampa diriku. Maaf, jika aku tidak bisa
lagi menanggung semua penderitaan ini. Akan lebih mudah bagiku untuk bisa
melupakan segala hal yang terjadi. Untuk Dana, maafkan aku! Aku lebih baik
pergi daripada tidak dapat memilikimu. Dana untuk adik-adikku, maafkan aku!”
“Sungguh pemuda yang
malang.” Ucap salah seorang opsir polisi yang bertugas di tkp. Di luar dari
kamar itu, berdirilah seorang wanita muda yang tidak dapat menahan air mata.
Wanita itu adalah Dana. Wanita yang selama berbulan-bulan telah menjadi
kekuatan bagi Alan, hingga akhirnya wanita itu memutuskan untuk pergi. Lalu
kini kenapa dia kembali?
“Maafkan aku, Alan!” ucap
wanita itu dalam hati. “Jika saja aku datang sehari lebih cepat, aku ingin
mengatakan padamu, bahwa aku telah membatalkan pertunanganku.”
Terlambat.
Alan Stormfield kini hanya
menjadi sebuah kenangan. Sebuah kenangan pahit yang mungkin juga dialami oleh
ribuan orang lain di luar sana. Mereka-mereka yang mengalami depresi berat dan
juga stres. Yang mereka perlukan bukanlah uang atau kekayaan. Namun yang mereka
butuhkan hanyalah seseorang yang mau peduli.
Dana telah menjadi seseorang
yang dapat merubah Alan dalam waktu sekejap. Namun aksi dari wanita itu, yang
meninggalkan lan begitu saja, adalah sebuah kesalahan besar. Alan tidak mau
hidup lagi. Alan sudah menyerah dengan kehidupannya.
Kisah Alan ini mungkin bukan
satu-satunya kisah menyedihkan yang ada di dunia ini. Ada ratusan, bahkan
ribuan Alan lain di luar sana, yang membutuhkan pertolongan. Yang mereka
butuhkan hanyalah cinta dan kasih. Alan Stormfield, tidak pernah mendapatkannya.
****
55
ReplyDeletesisi lain dari seorang penulis.... bahkan orang yg memiliki segalanya pun akan hampa tanpa kasih sayang :'(
ReplyDelete