Friday, February 26, 2016

KUTUKAN BONEKA VENTRILOQUIS



“Ada yang tidak beres dengan boneka itu.” Ucap Terry meyakinkan suaminya. Ia tidak tahu dengan apa yang ia rasakan mengenai kehadiran boneka itu. Akan tetapi, selalu ada perasaan mengganjal ketika ia memandang kehadiran sosok manusia kecil dari kayu yang kini terpajang di rak dinding ruang tamu.
Boneka itu merupakan sebuah boneka ventriloquis tua yang dibeli oleh Frank, suami Terry, dari sebuah kota di selatan yang namanya saja membuat Terry bergidik. Blackwood. Frank membeli boneka itu dengan harga murah di Blackwood dari seseorang yang sama sekali tidak dikenal dan terlihat sedikit mencurigakan.
“Tidak ada yang salah dengan boneka itu.” Ucap Frank. “Memang terlihat sedikit menyeramkan. Namun boneka hanyalah boneka. Dia tidak akan hidup dan memakanmu.”
Frank tertawa, mencoba membuat istrinya tersenyum. Namun tetap saja, Terry merasakan hawa yang tidak menyenangkan yang datangnya dari boneka berwujud seorang anak kecil dengan mata besar itu. Boneka itu seolah menatapnya, menyeringai ke arahnya. Boneka itu seolah hidup.
Terry sendiri tidak tahu kenapa Frank membeli boneka tua itu. Frank bukanlah penggemar Ventriloquis. Dan kini ketika boneka itu sudah ada di rumahnya, pertanyaan pun bertambah. Kenapa Frank membeli boneka itu? Terry sudah mencoba mempertanyakan hal itu tetapi Frank menjawabnya dengan lelucon yang sama sekali tidak terdengar lucu. Terry mencoba untuk membicarakannya secara serius. Tetapi Frank selalu mengatakan padanya bahwa boneka itu hanyalah sebuah pajangan yang antik.
Terry tidak pernah merasakan kecemasan seperti ini sebelumnya. Ia, sebagai seorang ibu rumah tangga, selalu bekerja di rumah. Pekerjaannya yang biasanya terasa menyenangkan kini terasa sedikit berat dengan adanya boneka tua itu. Setiap kali ia membersihkan ruang tamu, ia selalu bergidik jika matanya bertemu dengan mata boneka itu. Boneka itu terlihat seperti terus mengawasi gerak-geriknya. Dan bahkan, Terry seperti mendengar sebuah bisikan yang datang dari boneka itu.
“Kenapa aku harus membuangnya?” tanya Frank ketika Terry terus menceritakan rasa tidak nyamanya mengenai boneka itu.
“Kau berpikir terlalu berlebihan, sayang.” Lanjutnya. “Seperti di film, maksudmu? Boneka ventriloquis yang bisa hidup? Semua hanya khayalan. Tidka mungkin boneka itu hidup.”
“Tapi aku merasa seperti itu, Frank.” Ucap Terry bersikukuh dengan pendapatnya.
“Blackwood.” Lanjutnya. “Tidak tahukah kau bahwa kota itu dijuluki sebagai kota angker oleh orang-orang? Aku bahkan terus mengkhawatirkanmu ketika kau harus mendapatkan tugas di kota itu, meski hanya sehari. Dan kini, kau malah membeli boneka menyeramkan ini. Aku tidak mengerti dengan apa yang kau pikirkan. Kau pikir boneka ini lucu, dan aku akan menyukainya?”
“Kau tidak menyukainya?”
“Bukankah sudah jelas?” balas Terry sambil berteriak. Suasana tenang malam hari itu bisa saja berubah menjadi pertengkaran seandainya saja Frank bukanlah tipe pria yang tenang berkepala dingin. Dengan santai, ia mencoba menanangkan istrinya kembali.
“Percaya padaku!” ucapnya. “Jika boneka itu mulai macam-macam, aku akan segera menyingkirkannya. Oke?”
Terry tidak mengerti dengan ucapan suaminya itu. Frank pikir hal ini lucu? Pria itu terus tertawa melihat dirinya ketakutan. Dan bukannya membantu, Frank sepertinya malah terus menggodanya. Bagaimana jika apa yang ia rasakan benar-benar terjadi?
Malam berlalu. Detik berganti menit, dan jam terus berganti. Jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari ketika Terry terpaksa harus bangun dari mimpinya. Ia dikejutkan dengan sebuah suara berdebum dari lantai bawah, seperti ada benda yang jatuh. Terry terduduk diatas tempat tidurnya, di tengah kegelapan dan kesunyian, dan tengah mencoba untuk mendengarkan situasi yang terjadi. Apakah hanya halusinasi akibat dari ketakutannya?
“DUK!!”
Suara itu terdengar lagi. Terry seketika mencengkeram lengan suaminya, dan mengguncangkannya untuk membangunkan pria itu. Frank membuka kedua matanya, namun seperti tidak begitu peduli dengan ketakutan yang ada di wajah istrinya.
“Ada apa?” tanyanya.
“Kau tidak dengar?” balas Terry. “Bagaimana mungkin kau tidak dengar? Suaranya begitu keras.”
“Suara apa?”
“Dari lantai bawah.” Jawab Terry. Kecemasan masih terlihat jelas di wajahnya. “Ada suara benda jatuh. Keras.”
“Yang benar saja!”
“Kau pikir aku berbohong?”
Frank menggeliat di posisinya, namun tidak mau bangun. Ia memang membuka kedua matanya dan merespon ucapan istrinya dengan baik. Namun tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan bangun dari tempat tidur dan memeriksa ruang bawah.
“Sudahlah! Kembali tidur!”
Terry tidak begitu yakin dengan apa yang ia rasakan. Ia takut, namun juga penasaran. Namun ia juga tidak mau bangkit dari tempat tidur, dan kembali bergelung di bawah selimut. Untuk sesaat ia coba tajamkan kembali pendengarannya, seandainya suara itu kembali. Namun…, tidak. Semuanya terlihat normal dan hening. Tidak ada suara lain selain suara berdetik dari jam di atas meja. Terry berpikir, mungkin suara itu hanya suara yang berasal dari dalam kepalanya sendiri.
Terry sudah hampir tertidur ketika suara berdebum keras itu kembali terdengar. Terry seketika menegakkan tubuhnya, dan dengan cepat membangunkan kembali suaminya itu.
“Suara itu lagi.” Ucapnya. “Ada yang tidak beres, Frank. Kau harus mempercayaiku.”
Frank dengan terpaksa bangkit dari posisinya. Ia coba dengarkan dengan kedua telinganya, namun keadaan tetap hening.
“Ini aneh.” Ucap Terry. “Suara itu.”
“Kau yakin suara itu berasal dari lantai bawah?” tanya Frank. “Tapi tidak ada benda…, jangan katakan sesuatu mengenai boneka itu!”
“Mungkin…” ucap Terry sedikit ragu. “Bagaimana jika hal lain? Mungkin ada pencuri yang mencoba masuk…”
Frank lebih bisa menerima penjelasan itu daripada cerita takhayul mengenai boneka tua itu. Ya. Bisa saj pencuri berusaha masuk ke dalam rumah dan menciptakan suara-suara aneh itu.
“Oke. Aku akan periksa.”
Frank bangkit dari tempat tidur diikuti oleh Terry. Keduanya bergerak bersamaan keluar kamar, menuruni tangga lalu menuju ke ruang tengah. Frank menyalakan lampu, dan ruangan itu terang seketika. Untuk sesaat keduanya terdiam, dan mencoba memeriksa apakah ada yang aneh dengan barang-barang di ruangan itu.
“Lihat?” ucap Frank. “Tidak ada yang berubah, ‘kan?”
“Bagaimana dengan ruang tamu?”
Keduanya bergerak bersama ke arah ruangan dimana boneka itu berada. Mereka memeriksa ruangan itu, namun juga tidak ada berubah. Semua benda masih berada di tempatnya. Termasuk boneka ventriloquis tua yang ada diatas rak.
Terry seketika merasakan perasaan takut yang luar biasanya ketika kedua matanya bertemu dengan kedua mata boneka itu. Seolah ada sebuah kekuatan yang tak terlihat, yang memancar dari dalam boneka itu, yang membuat bulu kuduknya berdiri. Boneka yang terlihat selalu tersenyum itu benar-benar membuat Terry tidak nyaman.
“Semua jendela masih tertutup dan terkunci. Begitu juga dengan pintu-pintu. Tidak ada apa-apa disini.”
“Kau yakin?” tanya Terry. “Bagaimana dengan boneka itu?”
Frank mendesah, lalu memandang istrinya dengan tatapan kesal dan tak menyenangkan.
“Dengar! Aku lelah saat ini, Terry. Jika ingin membicarakan mengenai boneka itu, sebaiknya besok pagi saja. Oke?”
Terry tidak mengucapkan apa-apa lagi. Beberapa menit kemudian, ia sudah melingkar kembali diatas tempat tidurnya. Ia mencoba untuk tidur, namun kedua matanya tidak bisa terpejam. Ia merasa sedikit cemas, takut, dan perasaan lain yang tak dapat ia jelaskan.
Keadaan benar-benar sunyi. Suara berdebum itu sudah tidak terdengar lagi, entah kenapa. Dan apa yang menyebabkan suara itupun tidak diketahui. Kenyataan yang terjadi, Terry akhirnya dapat tertidur. Dan tidak ada gangguan lain untuk malam itu.

*

Keesokan harinya, keadaan masih terlihat normal seperti biasa. Terry bangun dan menyiapkan sarapan untuk suaminya sebelum suaminya itu pergi bekerja. Perbicangan pagi itu sedikit tidak menyenangkan karena Terry terus mengungkapkan keluh kesahnya mengenai boneka ventriloquis itu, namun Frank malah menanggapinya dengan sedikit emosi.
“Aku tidak ingin membicarakannya!” bentak Frank sesaat sebelum ia pergi. Ia tatap kedua mata istrinya, yang sebenarnya sedikit menyusahkan hatinya. Ia menyesal dengan teriakannya barusan.
“Aku harus pergi.” Lanjutnya dengan nada bicara sudah kembali normal. Sesaat, ia berikan senyuman pada istrinya itu, dan pergi.
Terry tetap tidak bisa melepaskan pikirannya dari hal-hal aneh yang sudah terjadi. Tentu saja mengenai boneka itu. Ia mencoba meyakinkan dirinya, seperti kata-kata Frank, bahwa boneka itu hanya boneka biasa dan tidak bermasalah. Namun, hatinya berkata lain.
Terry melakukan pekerjaannya seperti biasa hari itu. Menyapu, mengepel lantai, membereskan tempat tidur dan menjemur pakaian. Hingga tengah hari, tidak ada satupun hal ganjil yang terjadi. Namun beberapa jam setelah Terry selesai dengan pekerjaannya, ia dikagetkan oleh sebuah suara yang datangnya dari arah ruang tamu.
Suara benda jatuh itu datang lagi. Terry mungkin tidak akan berani memeriksa ruang tamu seandainya bukan pada saat siang hari. Perlahan ia arahkan langkah kakinya ke ruang tamu kecilnya, dan ia menemukan boneka kayu tua itu telah terjatuh dari raknya. Tertelungkup diatas lantai, dengan bagian wajah menempel pada lantai.
Terry ragu untuk mengambil boneka itu. Perasaannya mengatakan bahwa ia seharusnya tidak berada dekat-dekat dengan boneka itu. Tapi ia juga merasa bahwa ia tidak bisa membiarkan boneka itu tergeletak begitu saja. Setelah cukup lama meyakinkan hatinya, ia pun bergerak ke arah boneka itu. Ia ulurkan tangannya, dan dengan perlahan memegang lengan boneka itu.
Terry merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia putar tubuh boneka itu, hingga wajah menyeramkan itu bertatapan dengan kedua matanya. Mata bundar, besar, terlihat polos namun ada kesan licik dalam seringainya. Boneka kayu tua itu memang menyeramkan.
Terry bangkit dari posisi jongkok sambil mengangkat boneka itu. Saat tiba-tiba saja kedua mata boneka itu bergerak. Terry seketika melempar boneka itu sambil menjerit. Kenapa hal itu terjadi?
Boneka itu tergeletak kembali di lantai dengan tatapan kedua matanya ke arah Terry. Apa boneka itu hidup? Terry amati dengan seksama, namun kedua mata boneka itu masih diam di tempat. Lalu apa yang terjadi beberapa detik yang lalu? Apakah halusinasinya saja?
Terry mengangkat boneka itu lagi dan dengan cepat meletakkannya diatas rak. Ia tidak mau berdekatan dengan boneka itu lagi. Terry memutar tubuhnya cepat dan bergerak pergi. Namun baru beberapa langkah, ia terhenti saat dengan jelas ia mendengar sebuah suara anak kecil di belakangnya, yang mengucapkan,
“Mati!”

*

“Boneka itu hidup!” ucap Terry menjelaskan pada Frank sore harinya. Ia mengatakannya dengan sungguh-sungguh, namun seperti sikap Frank sebelumnya, pria itu seolah tidak peduli.
“Sudah berapa kali kita membicarakan hal ini?” balas Frank. “Kau berlebihan, Terry. Dan aku tidak suka dengan sikapmu.”
“Kau pikir aku berbohong?” teriak Terry dengan air mata mulai membasahi kedua matanya. “Apa aku pernah berbohong padamu selama ini? Aku hanya…”
“Oke. Mari kita periksa!”
Terry mengikuti langkah suaminya ke arah ruang tamu. Terry melihat dengan jelas sosok boneka itu. Masih menyeramkan seperti sebelumnya. Cahaya lampu yang menyiram wajah boneka itu menciptakan sebuah bayang-bayang yang membuatnya semakin terlihat sadis.
“Boneka ini.” Frank meraih boneka itu lalu dengan cepat mengguncangkannya. Ia sentuh kedua mata boneka itu, yang tidka bisa bergerak. Frank membuka tutup mulut boneka itu, dan tidak ada yang terjadi.
“Lihat?” ucap Frank. “Jika boneka ini bisa hidup, kenapa ia hanya berani menunjukkan aksinya padamu? Kenapa ia tidak…ARGGGH!!!”
Frank berteriak seketika, dan melempar boneka yang ia pegang. Ia lihat satu jarinya berdarah karena terjepit oleh mulut boneka tua itu.
“Lihat?” ucap Terry.
Frank menatap nanar pada boneka yang kini tergeletak di lantai itu. Diantara percaya dan tidak, Frank mengarahkan pandangan matanya pada Terry yang berdiri di sebelahnya.
“Boneka itu…, boneka itu menggigit…”
“LIHAT!”
Mengikuti teriakan istrinya, Frank memutar kepalanya dengan cepat. Dan kini ia lihat dengan sendirinya saat kepala boneka kayu itu berputar perlahan, dengan mulut terbuka dan tertutup secara sendirinya. Dan mereka berdua dapat mendengar dengan jelas saat boneka itu mengucapkan,
“Kalian harus mati.”
Terry berteriak seketika. Frank, tanpa sadar bergerak cepat ke arah boneka itu dan dengan keras menendangnya. Boneka itu terlempar ke udara dan membentur dinding. Sebagian dari wajah kayunya hancur, dan meninggalkan satu lubang menganga. Namun, mulut boneka itu masih dapat bergerak. Dan ia berucap lagi,
“Kalian anak nakal. Kalian pantas mati!”
Frank dan Terry sama-sama melonjak kaget saat terdengar sebuah suara berdenting dari dapur, dan mereka dapat mendengar sebuah suara semburan yang begitu keras. Dan dalam beberapa detik, mereka dapat mencium sebuah aroma yang khas di udara.
“Oh, tidak!”
Gas dari selang kompor yang terlepas telah memenuhi ruangan. Dan sebelum Frank dapat bertindak, semua lampu yang ada di rumah itu menjadi semakin terang, dan terang, dan terang, hingga akhirnya salah satu bohlam lampu pecah.
Frank dan Terry tidak dapat melakukan apapun. Hal terakhir yang mereka ingat adalah suara bola lampu pecah, dan seketika cahaya merah mulai menenggelamkan mereka. Satu ledakan terjadi, dan rumah itu pun hancur berkeping-keping. Frank dan Terry, tewas seketika.

*

“Tidak ada yang tersisa dari rumah itu.” Ucap salah seorang petugas pemadam kebakaran yang datang beberapa menit setelah ledakan terjadi. Kediaman Frank dan Terry telah hancur terbakar, dan tubuh keduanya ditemukan telah gosong di ruang tamu rumah itu.
“Ada satu bendat tersisa.” Ucap salah seorang yang datang beberapa saat kemudian. Di tangan pemadam kebakaran itu, terdapat satu benda yang sama sekali tidak terbakar sedikitpun oleh api. Sebuah boneka kayu, dengan kedua mata besar dan seringai lebar. Seolah dapat mengatakan bahwa ia merasa puas karena telah merenggut dua nyawa malam itu.

***


Thursday, February 18, 2016

GANGGUAN TENGAH MALAM



Samantha membuka kedua matanya dengan cepat, dan ia sadari bahwa ia tengah terbaring di dalam kamarnya yang mulia gelap. Dari sudut matanya, ia lirik jam yang ada di atas meja, dimana jarum jam telah menunjukkan pukul enam sore.
Sam melompat bangun dan seketika teringat bahwa malam itu ia akan berada di rumah sendiri. Kedua orang tua dan adiknya pergi mengunjungi neneknya yang tengah sakit di luar kota, dan sebagai gantinya, Sa, harus menjaga rumah sendirian.
Bukan hal yang baru bagi Sam tinggal di rumah sendiri. Bahkan, ia menyukainya. Ia bisa bebas berbuat sesuatu, dan dapat pergi tidur jam berapapun setelah ia puas menonton dvd. Ia baru berusia 16 tahun, dan sepertinya masih perlu penjagaan. Namun ia menolaknya mentah-mentah saat ibunya menawarkan seseorang untuk menjaganya.
“Aku sudah besar.” Ucapnya menolak tawaran ibunya itu.
“Kau yakin akan baik-baik saja?” tanya ibunya sedikit khawatir. “Jika kau makan, atau kau butuh sesuatu…”
“Aku tahu.” Ucap Sam cepat.
Dan begitulah. Di hari Jumat yang sedikit kelabu karena mendung sejak siang tadi, ia berada di rumah sendirian. Ia sudah menghidupkan semua lampu, memeriksa jendela-jendela terkunci, dan ia sudah siap untuk menghadapi malam menyenangkan yang akan ia lewati. Ia sempat mengundang teman terbaiknya untuk datang. Namun rupanya temannya itu masih sibuk dengan pr yang harus ia kerjakan. Bagaimana dengan Sam? Apakah ia akan mengurung diri di kamar mengerjakan prnya?
Tentu saja tidak.
Sam melompat ke atas sofa sambil menyahut remot yang ada di meja. Seketika, ia nyalakan tv 21 inci yang ada di depannya. Acara yang sudah ia tunggu-tunggu sudah mulai. Dan dalam beberapa menit, Sam sudah terbius dengan apa yang ad dihadapannya.
Meja di depan tv yang pada awalnya kosong kini mulai terpenuhi oleh toples-toples makanan dan kaleng soda. Di dekatnya juga ada satu cangkir besar minuman coklat panas yang isinya sudah tinggal separuh. Tv masih menyala, namun tidak diperhatikan. Sam malah sibuk dengan ponsel yang ada di hadapannya.
“Seharusnya kau datang.” Ucap Sam pada Amber, teman terbaiknya. Mereka berbicara melalui sambungan telepon.
“Aku tidak bisa.” Ucap Amber. “Pr ini…, kau sudah mengerjakan prmu, Sam besok kita…”
“Tentu saja.” Sahut Sam dengan penuh kepercayaan diri. Meski sebenarnya ia belum mengerjakan pr-nya, dan berniat akan mengerjakannya malam nanti.
“Senang berada di rumah sendiri.” Ucap Sam. “Aku bisa berbuat semauku tanpa ada yang melarang. Seandainya saja hal ini bisa terjadi setiap hari.”
“Kau tidak akan menyukainya sesaat lagi.”
“Kenapa begitu?” tanya Sam heran. Amber menjawabnya dengan satu tawa kecil.
“Kau akan merasa bosan.”
Benarkah hal itu akan terjadi. Paling tidak hingga detik itu, Sam belum merasakan rasa ‘bosan’ itu. Ia masih bisa bersenang-senang dengan puluhan dvd ayahnya, atau musik yang ada di kamarnya. Ia merasa malam itu seperti malam tahun baru dimana ia akan merayakan segala hal.
Jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam, dan keadaan sudah begitu sunyi. Daerah dimana rumah Sam berada memang cenderung sepi bila dibandingkan dengan derah lain di kotanya. Dan Sam sudah terbiasa dengan kesunyian suasana.
Sam masih menyaksikan acara bakat yang ada di tv. Namun kedua matanya tiba-tiba saja menjadi berat saat acara yang ia tonton semakin lama semakin membosankan. Ia mulai bosan? Tidak. Ia hanya mengantuk. Dan Sam sepertinya masih berusaha untuk tetap terjaga.
Ia bangkit dari sofa yang ia duduki seraya meraih cangkir coklat yang sudah kosong itu, dan bergerak ke dapur. Ia berniat untuk membuat coklat lagi untuk menemaninya.
Sam sibuk di dapur. Namun sedetik kemudian gerak tangannya tehrenti saat ia mendengar suara aneh yang datangnya dari garasi yang memang berada dekat dengan dapur. Terdengar seperti suara kayu bergesekan, atau benda lain yang diseret. Suara itu kadang terdengar kadang tidak. Dan Sam semakin penasaran dengan suara itu.
Ia bergerak ke arah garasi melalui pintu penghubung yang ada di dekat dapur, meninggalkan cangkir coklatnya. Ia buka pintu garasi dan seketika menyalakan lampu. Namun…, tidak ada. Tidak ada satupun hal aneh ketika ia melihat ke dalam garasi. Kotak perkakasn masih berada di tempatnya, dan benda lain juga masih ada di tempatnya. Tidak ada yang aneh.
“Mungkin hanya kucing liar.” Ucap Sam meyakinkan dirinya sendiri, lalu bergerak meninggalkan tempat itu. Ia kembali ke dapur, menyahut cangkir coklatnya yang penuh, dan kembali ke ruang tengah dimana tv masih menyala. Namun…
Sam mengernyitkan dahinya saat tv-nya tidak menampilkan apapun di layarnya. Yang ada hanyalah layar biru, menandakan bahwa tidak ada sinyal yang masuk ke dalam tv-nya.
“Yang benar saja!” geram Sam. Ia melihat ke arah kabel-kabel yang terhubung ke tv-nya, namun ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak begitu paham dengan eketronik. Dan tidak ada yang dapat ia lakukan untuk memperbaiki tv-nya.
“Menarik.” Ucap Sam kesal. Ia yang berniat menghabiskan malam di depat tv terpaksa harus menggagalkan rencana itu. Ia matikan tv, lalu duduk di sofa. Ia minum sedikit coklatnya, sambil berpikir, apa yang harus ia lakukan?
Ia raih ponselnya yang tergeletak di meja. Ia sempat berniat untuk menghubungi Amber lagi. Namun ia tahu bahwa mungkin ia hanya akan mengganggu sesi belajar temannya itu. Ia mengurungkan niatnya.
Sam bersantai di sofa sambil membaca majalah-majalah lama yang kebetulan ia temukan. Membaca memang bukan hal favoritnya. Namun ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk melewati jam-jam membosankan itu. Jam baru menunjukkan pukul setengah sepuluh, dan masih terlalu dini untuk pergi tidur. Lagipula, ia masih harus mengerjakan pr-nya.
Sam melonjak kaget saat sebuah suara keras terdengar. Seperti bunyi barang besar yang menabrak sesuatu, menghasilkan bunyi ‘BRAK!!’ keras yang datangnya dari arah bagian depan rumah.
Sam seketika bangkit dari sofa yang ia tiduri dan berlari ke arah ruang tamu, lalu mengintip melalui jendela ke arah halaman bagian depan rumahnya. Keadaannya cukup gelap. Yang ia lihat hanyalah cahaya lampu temaram dari beberapa lampu jalan, yang benar-benar tidak bisa memberikan kejelasan mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
Ia masih dapat melihat pagar rumahnya, yang terlihat masih normal. Suara ‘BRAK’ tadi seperti suara tong sampah yang ditendang. Namun tempat sampah di depan rumahnya masih berdiri.
Sam membuka pintu depan dan memeriksa keadaan sekitarnya. Keadaan malam itu memang begitu sunyi. Ia tidak melihat adanya satupun orang di jalanan, ataupun mobil. Dan keadaan menjadi sedikit tidak menyenangkan. Sam merasakan bulu kuduknya berdiri, dan tidak tahan dengan hawa dingin di luar rumah. Langit terlihat masih tertutup mendung, dan terlihat begitu gelap. Mungkin akan ada badai malam itu.
Sam masuk kembali ke dalam kehangatan bagian dalam rumahnya. Ia kunci pintu, dan kembali ke arah sofa dimana ia tadi bersantai. Ia menyahut kembali majalahnya tadi, dan berniat untuk melanjutkan apa yang tadi ia lakukan, saat tiba-tiba saja kegelapan menyelimuti seisi rumah itu.
“Bagus sekali!” geram Sam kesal. Listrik tiba-tiba saja mati, dan ia berdiri di tengah kegelapan yang tidak menyenangkan.
Sam meraba di dalam kegelapan mencari ponselnya. Ia gunakan alat telekomunikasinya itu untuk membuat sebuah senter. Dan ini adalah pertama kalinya ponsel miliknya itu dapat benar-benar berguna. Di tengah keremangan cahaya senter kecil itu, Sam mengarah ke dapur. Ia ambil beberapa lilin besar yang jarang digunakan, dan menyalaknnya. Kini ruang tengah itu tidak begitu gelap dengan datangnya beberapa lilin. Keremangan cahaya membuat suasananya sedikit menakutkan.
Lalu apa yang akan Sam lakukan? Ia tidak bisa menonton tv, dan tidak mungkin melakukan hal lain dalam kegelapan seperti itu. Tapi, memang ada satu hal yang harus ia lakukan.
Pr-nya. Tentu saja. Sam menyesal tidak menyelesaikannya sore tadi saat matahari masih ada. Kini, ia harus mengerjakannya dalam gelap. Ia bawa sebatang lilin naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya. Dalam keadaan gelap, kamarnya yang berantakan itu jadi terlihat sedikit berbeda. Barang-barangnya yang berserakan jadi sedikit tak terlihat. Bahkan kadang ada yang tak sengaja ia injak.
Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh ketika Sam mulai membuka-bukua buku pelajarannya di tengah keremangan cahaya lilin. Kedua matanya itu kadakng memicing, mencoba untuk menemukan sebuah kata di dalam buku pelajarannya.
Sam menggerutu kesal. Ia kesal dengan pr yang harus ia kerjakan, dan ia juga kesal dengan listrik yang entah kenapa harus padam. Ia dapat berkonsentrasi untuk sejenak, namun pikirannya selalu terarah pada kesunyian yang ia rasakan.
Kini ia akui bahwa keadaan yang sepi seperti itu memang tidak menyenangkan. Ditambah lagi ia harus sendirian malam itu. Kini ia menyesal telah menolak tawaran ibunya sore tadi. Mungkin jika ada teman bicara, ia tidak akan merasakan kesepian seperti itu.
Sam tengah mencoba memecahkan soal matematika saat tiba-tiba saja terdengar suara keras dari lantai bawah. Seperti suara benda jatuh, namun bukan suara pecahan. Sam menggerutu kesal. Ia tahu bahwa kadang kucing tetangga masuk ke dalam rumah melalui celah pintu di dapur. Dan kini ia berpikir mungkin kucing itu juga yang sedang berulah.
Sam membawa senter kecilnya turun ke lantai bawah dan langsung menuju dapur. Instingnya mengatakan bahwa benda jatuh itu mungkin berasal dari dapur. Tapi…,
Ia arahkan cahaya senternya itu ke beberapa tempat. Namun ia sama sekali tidak menemukan benda yang terguling atau terjatuh. Ia mengarah ke ruang tengah, dan ia juga tidak menemukan keanehan lain.
Sam mulai berpikir bahwa ada yang tidak beres. Tadi sebelum lampu mati, ia sempat dikagetkan oleh suara berderak dari garasi, lalu suara dari arah depan rumah, dan kini ia juga diganggu dengan suara benda jatuh yang entah darimana datangnya. Sam mulai tidak menyukai keadaan saat itu. Tanpa berpikir, ia men-dial nomor telepon Amber, dan berusaha untuk berbicara dengan temannya itu.
“Kukira kau berani berada di rumah sendiri.”
“Ya. Memang.” Jawab Sam. “Tapi tidak seperti ini. Aku merasa ada yang tidak beres dengan rumahku. Aku ingin…”
Sam mengernyitkan dahinya saat sambungan telepon antara dirinya dan Sam mulai tidak jelas. Ia, secara aneh, tidak mendapatkan sinyal, dan sambungan terputus secara tiba-tiba. Ya. Tidak ada sinyal. Bagaimana mungkin? Sam mencoba menggunakan telepon rumah. Namun keadaannya sama saja. Tidak ada nada dial di teleponnya.
Sam lagi-lagi melonjak saat terdengar suara ‘BRAK’ dari lantai dua. Kini apa yang akan terjadi? Jantung Sam berdetak begitu kencang saat rasa takut mulai melingkupi dirinya. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ia tidak berani bergerak dari tempatnya berdiri.
Suara desiran angin terdengar semakin jelas. Sam melirik ke arah luar, melalui jendela dapur, dan ia lihat pohon-pohon di luar sana mulai bergoyang tak karuan karena angin besar yang secara tiba-tiba datang. Dan sedetik kemudian, hujan pun turun dengan deras mengguyur kawasan itu.
Sam tidak tahu lagi apakah ia harus takut dengan suara-suara aneh di dalam rumahnya, atau dengan badai yang sedang terjadi. Perlahan ia coba gerakkan kakinya. Benar. Tidak ada yang perlu ditakuti. Paling tidak, itu yang Sam ucakan pada dirinya sendiri.
Ia susuri anak tangga yang mengarah ke lantai dua. Cahaya dari ponselnya semakin lama semakin meredup. Mungkin baterainya mau habis. Dan…, ya. Ia harus bergantung pada cahaya lilin.
Langkahnya terhenti tepat di tnegah-tengah tangga saat suara ‘BRAK’ kembali terdengar. Sebenarnya suara apa itu? Suara itu terdengar berkali-kali, datang dari arah kamar kedua orang tuanya. Sam sebenarnya tidak ingin mengarah kesana karena ketakutannya. Namun, tubuhnya bergerak sendiri tanpa dapat ia kontrol.
Koridor gelap di lantai dua benar-benar semakin memperparah rasa takutnya. Ia bergerak sedikit demi sedikit, hingga akhirnya sampai di depan pintu kamar kedua orang tuanya. Ia angkat tangannya, ia putar kenob pintunya, lalu membukanya dengan cepat. Seketika, ia lihat cahaya putih dan biru berpendar dari arah jendela kamar. Dan seketika…
Sam menjerit secara spontan saat suara petir terdengar. Cahaya putih dan biru itu adalah cahaya kilat yang terlihat dari jendela kamar kedua oang tuanya yang terbuka dan tertiup angin. Suara ‘BRAK’ itu berasal dari daun jendelanya yang berkali-kali tertiup angin dan membentur pada bingkai jendela. Sam, mungkin, dapat bernafas lega ketika ia sadari bahwa sebenarnya tidak ada yang perlu ditakuti dari suara ‘BRAK’ itu.
Sam tutup kedua jendela itu, dan berharap tidak ada lagi suara-suara aneh. Namun hal lain terjadi dengan begitu cepat tanpa ia sadari. Tubuhnya tiba-tiba saja terpelanting ke arah tempat tidur saat ia merasakan ada sesuatu yang menyentuh pundaknya. Di dalam kegelapan suasana, ia tidak tahu lagi apa yang terjadi. Ia pun menjerit.
Sam masih berpegangan pada senter kecilnya. Ia arahkan cahaya ke beberapa tempat di dalam kamar orang tuanya itu tapi ia tidak menemukan apapun yang dapat menjelaskan sentuhan di pundaknya itu tadi. Malahan, ia melihat sesuatud engan begitu jelas.
Lemari kayu di kamar itu tiba-tiba saja bergetar dengan hebat, dan mengeluarkan suara yang begitu berisik. Seolah ada sesuatu yang terperangkap di dalam sana dan sedang mencoba untuk keluar. Sam kembali menjerit tanpa dapat berpikir. Ia melompat turun dari tempat tidur lalu berlari keluar.
Kedua matanya terbelalak saat ia lihat ada cahaya jingga di ujung koridor, berasal dari dalam kamarnya. Sam, seketika mendapatkan firasat yang begitu buruk. Ia berlari ke arah kamarnya, lalu menemukan meja dan tempat tidurnya telah dilalap api, yang kemungkinan berasal dari lilin yang ia letakkan di meja.
Sam panik. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia berlari menuruni tangga, namun tiba-tiba saja seperti ada yang menyandungnya. Ia terjatuh tepat di anak tangga terbawah, dan seketika ia merasakan ada cengeraman pada pergelangan kakinya. Dan dengan cahaya senter kecilnya, ia dapat melihat satu tangan membusuk memegangi pergelangan tangannya.
Sam menjerit sekuat tenaga sambil menendangkan kakinya. Cengkeraman itu terlepas, dan Sam dapat bangkit berdiri. Keadaan gila yang menyerangnya ini dengan cepat membuatnya memutuskan untuk berlari keluar dari rumah. Namun ketika ia sampai di pintu depan, sesuatu terjatuh dari langit-langit. Sam berdiri kaku, hingga sosok besar itu berdiri di hadapannya. Saat petir menyambar, ia dapat melihat sosok besar itu. Sesosok wajah membusuk yang dipenuhi dengan belatung, menatap ke arahnya. Sam menjerit sesaat sebelum ia jatuh tak sadarkan diri.

**

Sam membuka kedua matanya dengan cepat seiring dengan nafasnya yang memburu. Ia dapat melihat langit-langit kamarnya, yang belum terlihat terlalu gelap. Ia miringkan kepalanya, dan ia dapat melihat jarum jam menunjukkan pukul enam. Enam sore?
Sam dengan cepat bangkit dari posisi tidurnya. Apa yang terjadi? Jadi semua itu hanya mimpi? Namun ia sudah mendapatkan gambaran mengenai apa yang akan terjadi malam nanti saat ia sendirian. Lalu, apakah ia akan terus berpikir bahwa berada di rumah sendirian adalah hal yang bagus?
Sam dengan cepat meraih ponselnya, lalu menghubungi nomor telepon ibunya.
“Ibu!” ucapnya saat sambungan terbuka. “Mungkin aku akan butuh seseorang malam ini.”

***