Thursday, February 11, 2016

KISAH TERAKHIR RACHEL



Sudah tiga hari Maria menunggu anak kecil itu. Seorang gadis kecil, seorang pasien dengan penyakit mematikan yang terlihat begitu menderita, dan rasa sungguh menyedihkan bila melihat gadis itu harus terbaring sendiri di sebuah kaamr rumah sakit yang besar, penuh dengan alat-alat penopang kehidupan, tanpa ditemani oleh seorang pun. Maria sudah mencoba untuk menanyakan kemana perginya orang tua gadis itu, namun gadis itu bungkam dan tidak mau bicara.
Nama gadis itu adalah Rachel. Hanya itu yang dapat Maria tahu. Ia bisa saja mengakses database pasien di rumah sakit tempatnya bekerja itu, namun ia terlalu sibuk dengan pasien lain. Namun tidak ia sangkal bahwa selama ia beekrja seharian, pikirannya terus mengarah pada keadaan Rachel yang seiring bergantinya hari, keadaannya terus memburuk.
Pertama kali Maria tahu mengenai Rachel adalah ketika suatu malam ia sedang bertugas jaga seorang diri, ia mendengar sebuah teriakan dari sebuah kamar. Dan ketika ia hampiri, gadis dengan kepala yang sudah tak berambut itu terduduk di atas tempat tidurnya, menangis, dan ketakutan. Maria mencoba menenangkannya. Ia belum mempunyai keluarga, dan ia tidak pernah bekerja di dekat anak-anak sebelumnya. Ini adalah pertama kalinya ia menangani seorang pasien anak, dimana ia dituntut untuk menggunakan keahlian ekstra untuk dapat menangani tingkah laku seorang anak. Meski begitu, Rachel tidak banyak bertingkah. Gadis itu lebih banyak terdiam, dan tidak mau bicara sedikitpun. Maria yang semakin mengkahwatirkan keadaan gadis itu tidak bisa tinggal diam. Dan sejak saat itu, ia selalu mengunjungi kamar gadis itu setiap malam.
“Hai, gadis manis!” sapa Maria di malam keempat. Ia membawa senampan makanan di tangannya. Ia kemudian duduk di samping Rachel, lalu membantunya duduk. Maria membantu gadis kecil itu makan. Bukan suatu hal yang mudah, mengingat saat pertama kali Maria memberikan makanan, gadis itu nyaris menumpahkan isi nampan.
“Kau baik-baik saja? Bagaimana perasaanmu?”
Rachel tidak pernah menjawab satupun pertanyaan yang Maria lontarkan, dan selalu terdiam. Paling, gadis itu hanya memberikan satu senyum kecil.
Kebiasaan Maria yang sudah ia lakukan selama beberapa hari terakhir adalah menemani Rachel. Ia banyak bercerita mengenai keluarganya, kerabatnya, dan juga hobinya. Beberapa dari ceritanya berhasil membuat gadis itu tertawa. Namun, tetap saja Maria belum bisa mendapatkan jawaban dari mulut gadis itu.
“Kenapa kau tidak mau menjawab?” tanya Maria dengan sangat berhati-hati karena ia tahu keadaan psikologis anak itu belum stabil, dan kadang dapat marah secara tiba-tiba.
“Apa aku…, menginggung perasaanmu?” tanya Maria lagi. Gadis itu memberikan jawaban dengan satu gelengan kepala.
“Kau punya teman dekat, Rachel?” tanya Maria. Maria menunggu jawaban gadis itu. Namun seperti yang dapat ia duga, gadis itu bungkam seperti biasanya.
“Oke. Saatnya bercerita!” ucap Maria riang sambil mengarah ke meja dan menyahut satu buku cerita yang sudah ia gunakan sejak ia pertama kali bertemu dengan gadis itu.
“Jadi…, apa yang harus kubaca hari ini?” tanya Maria sambil membuka-buka buku cerita itu. Rachel tiba-tiba saja menyahut buku itu, dan membuka halamannya. Kemudian ia serahkan kembali pada Maria.
“Kau mau mendengar cerita ini?” tanya Maria. “Lagi?”
Cerita yang dipilih gadis itu selalu sama setiap malamnya. Sebuah kisah pendek, mengenai sebuah keluarga kecil yang hidup tenang di pinggiran kota. Bukan cerita yang buruk. Namun Maria tetap saja merasa aneh bila harus membacanya setiap hari. Mungkin Rachel memiliki kenangan tersendiri dengan cerita itu? Mungkin. Andai saja Rachel mau berbicara, mungkin akan sedikit mudah baginya untuk mengurus gadis kecil itu.
Maria membacakan buku yang ia pegang dengan penuh perasaan dan penghayatan. Ia kini bahkan mulai belajar untuk menirukan beberapa bunyi hewan, dan beberapa karakteristik tokoh. Dan ia mulai menjadi seorang pendongeng yang cukup bagus.
Selama kurang lebih tiga puluh menit, Maria membaca buku itu. Dan perlahan ia dapat melihat gadis itu mulai tertidur, jauh ke dalam alam mimpinya, hingga akhirnya Maria mengakhiri cerita itu.
Wajah gadis kecil itu terlihat begitu polos. Maria tidak tahu ahrus merasa apa terhadap keadaan gadis kecil itu. Di usia dimana ia seharusnya berlarian di luar bersama dengan anak-anak lain, Rachel malah harus terbaring di dalam rumah sakit. Tanpa teman, tanpa keluarga. Maria tidak bisa berhenti berpikir. Namun semakin lama ia mencoba untuk mengetahui kisah dari gadis itu, semakin banyak pula pertanyaan yang tidak terjawab.
Maria tersenyum. Ia letakkan buku itu kembali ke meja, lalu ia betulkan posisi selimut dari gadis kecil itu. Dalam keadaan tenang malam itu, Maria pergi meninggalkan kamar Rachel. Dan berjanji bahwa besok ia akan kembali lagi.

**

“Kenapa tidak ada yang tahu?” tanya Maria pada salah satu teman kerjanya keesokan harinya saat ia harus kembali bekerja mengurus beberapa pasien yang kadang menyebalkan.
“Aku tidak tahu dengan apa yang kau bicarakan, Maria.” Jawab temannya.
“Rachel.” Ucap Maria. “Gadis di kamar nomor 301. Mengenai keluarganya…”
Ucapan Maria terpotong saat tiba-tiba saja datang kegaduhan dari ulang salah seorang pasien. Dan temannya itu terpaksa harus pergi meninggalkannya.
“Coba cari di database!” teriak temannya sebelum menghilang.
Ya. Mungkin ia harus mencari informasi mengenai Rachel seorang diri, tana bantuan orang lain. Tidak mungkin tidak ada yang tahu mengenai pasien bernama Rachel itu. Maria yakin ia akan menemukan jawaban.
Ketika malam datang dan tugasnya sudah hampir selesai, Maria menyempatkan diri untuk mengunjungi sebuah tempat dimana semua rekam medis pasien disimpan. Ia mengarah ke sebuah komputer di ujung ruangan, lalu mulai melakukan pencarian.
Ia dapatkan nama pasien di kamar 301. Rachel Lindon, 12 tahun, dan diketahui mengidap satu penyakit yang hingga kini belum ada obatnya. Kanker. Itukah sebabnya semua rambut gadis itu menghilang? Akibat kemoterapi?
Maria mendapatkan apa yang ia mau. Namun hal itu tidak menjelaskan kenapa keluarga pasien tidak pernah datang menemui gadis itu. Dan Maria masih melakukan rutinitas malamnya, menghampiri gadis kecil itu untuk mengajaknya berbicara.
Rachel menunggunya diatas tempat tidur dengan satu senyum lebar yang tidak pernah Maria lihat sebelumnya. Terjadi satu perubahan besar pada diri Rachel, yang tidak tahu darimana asalnya.
“Kau terlihat senang.” Ucap Maria. “Kau merasa baikan hari ini? Kau merasa nyaman?”
Gadis itu memberikan satu anggukan seperti biasa. Ia kemudian berbaring, dan memandang Maria seperti biasanya. Ia menunggu Maria untuk mulai bercerita.
Maria menceritakan pekerjaannya, lalu juga masa lalunya. Ia menceritakan segala hal yang ada di dalam otaknya untuk dapat membuat Rachel nyaman dengan keadaannya. Rachel, mungkin tidak akan bertahan lama. Kanker itu akan membunuhnya. Dan Maria memutuskan untuk memberikan kenangan baik bagi gadis itu sebelum gadis itu pergi.
“Dan…, aku punya seekor anjing, bernama Skip. Berwarna coklat. Dan ia masih bersamaku hingga sekarang.”
Gadis itu tersenyum kembali. Dan tiba-tiba saja terjadi satu mujizat yang tidak dapat Maria percaya. Gadis itu membuka mulutnya dan berkata,
“Mug.”
Maria mengernyit. Namun dengan cepat ia rubah ekspresinya dengan satu senyum lebar di wajah.
“Mug?” tanyanya.
“Anjingku bernama Mug.” Ucap gadis itu lagi. “Aku menyukainya. Sangat menyukainya. Dia lucu. Kami sering pergi ke taman bersama.”
“Oh, ya?” balas Rachel. Ia merasa begitu senang akhirnya Rachel mau membuka mulutnya. Mungkin ia mulai merasa nyaman berada di sisi Maria selama beberapa hari terakhir.
“Ceritakan tentang Mug!” pinta Maria.
Seperti sebuah keajaiban, dan seperti sebuah perubahan yang tidak Maria sangka. Gadis itu, Rachel, bercerita penuh dengan energi. Maria bahkan tidak dapat menahan tawanya ketika gadis itu mulai bercerita mengenai tingkah lakunya di sekolah, sebelum ia jatuh sakit. Maria benar-benar merasa kasihan dengan keadaan gadis itu.
“Sudah malam.” Ucap Maria ketika ia lirik jam, dimana jarumnya telah menunjukkan angka dua belas.
“Kau harus beristirahat, Rachel.” Ucap Maria.
“Besok kau akan kembali?”
“Ya. Tentu saja.” Jawab Maria penuh janji. Ia kemudian membantu menata bantal gadis itu, menyelimutinya, dan mengucapkan selalam malam. Maria keluar dari kamar itu dengan perasaan begitu bahagia. Rachel akhirnya mau terbuka padanya.

**

Maria kembali bekerja seperti biasa keesokan harinya. Tidak pernah terpikirkan di kepalanya bahwa suatu keadaan yang sedikit aneh terjadi di rumah sakit tempatnya bekerja. Ia mendengar kasak-kusuk, dimana ia menjadi bahan pembicaraan. Entah karena apa. Yang jelas, ini adalah pertama kalinya Maria mendengarkan gosip mengenai dirinya. Dan ia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Maria, aku ingin berbicara denganmu.” Ucap salah seorang rekan kerjanya yang bernama Debra. Wanita itu membawa Maria masuk sebuah ruangan, kemudian memandang lekat-lekat pada wajah Maria. Maria tentu saja heran dengan hal ini. Apa ia melakukan kesalahan?
“Kau sedikit aneh, akhir-akhir ini.” Ucap Debra. “Kau tidak apa-apa? Maksudku…, ya. Pekerjaan kita memang berat. Tapi kita diijinkan untuk mengambil cuti jika kelelahan.”
“Aku tidak apa-apa.” Balas Maria. “Kenapa kau berkata seperti itu? Dan aku ingin tahu, kenapa semua orang kini membicarakan tentangku? Apa aku berbuat suatu kesalahan yang tidak kusadari?”
“Tidak. Bukan begitu.” Balas Debra.
Terlihat jelas bahwa Debra ingin mengucapkan sesuatu. Namun mulutnya tetap bungkam pada akhirnya. Ia kemudian menepuk pundak Maria, dan berbisik di telingana.
“Mungkin kau harus menemui Dr. Stevenson.”
Hal aneh itu kembali terjadi. Dr. Stevenson adalah dokter jiwa di rumah sakit itu. Dan Maria tidak tahu kenapa ia harus menemui Dr. Stevenson. Apa teman-temannya mulai berpikir bahwa ia gila? Kenapa mereka berpikir seperti itu?
Selama satu hari itu, Maria merasakan suatu tekanan yang luar biasa. Tidak biasanya ia mendapatkan lirikan-lirikan dan bisikan tersenyumbunyi. Ia masih belum tahu apa yang terjadi.
Malam akhirnya tiba. Dan Maria kembali mendatangi kamar nomor 301 itu. Namun langkahnya terhenti di pintu masuk saat ia melihat ada pasangan wanita dan lelaki yang duduk di sisi Rachel. Siapa mereka?
“Oh, hai!” sapa sang wanita, yang kemudian menarik Rachel masuk ke dalam kamar.
“Kau pasti Maria.” Ucap wanita itu. “Rachel bercerita tentangmu. Kau yang selalu menemaninya setiap malam, ‘kan?”
“Ya.” Jawab Maria. Pikirannya masih mencoba untuk mengerti apa yang sedang terjadi.
“Anda berdua…”
“Kami keluarga Rachel.” Ucap sang wanita. “Aku Jenn, dan ini suamiku John.”
“Oh…”
“Kami sangat berterima kasih padamu dengan apa yang sudah kau lakukan terhadap putri kami.” Ucap Jenn. “Dia sangat menderita, dan kesepian. Dan ada satu atau dua hal yang memaksa kami untuk tidak dpat menemninya setiap saat. Dan kau…, rela melakukan hal itu pada Rachel, kami…”
“Saya mengerti, Ny. Lindon.” Ucap Maria. Ia tersenyum, dan meremas tangan wanita itu dengan hangat.
Terdapat satu senyuman di wajah wanita itu, suaminya, dan Rachel. Tentu saja gadis itu kini merasa senang akhirnya kedua orang tuanya kembali menemaninya.
“Aku selalu membacakan cerita untuknya setiap malam.” Ucap Maria seraya bergerak ke arah meja dan mengambil buku yang biasanya ia baca. Ia menunjukkannya pada Ny. Lindon, dan memberitahunya mengenai cerita yang disukai oleh gadis kecil itu.
“Aku tidak pernah mengiranya.” Ucap wanita itu. Ia memandangi putrinya, tersenyum, dan mengelus lengan gadis itu.
Maria tahu bahwa malam itu ia tidak akan bisa melakukan apa yang biasanya ia lakukan. Keluarga Rachel telah kembali. Dan ia senang dengan keadaan itu.
“Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu…”
“Jangan dipikirkan!” ucap Maria. “Aku senang menjadi teman Rachel selama beberapa hari terakhir.”
Maria mengucapkan selamat malam pada keluarga Lindon. Kamar yang biasanya sepi itu kini terlihat lebih berwarna dengan kehadiran kedua orang tua Rachel. Mungkin kisahnya akan sama dengan cerita mengenai keluarga yang biasanya Maria bacakan untuk Rachel. Rachel tidak akan merasa kesepian lagi.
Hari berikutnya, Maria memutuskan untuk mengunjungi kamar Rachel. Tidak biasanya ia datang di pagi hari. Ia berpikir untuk memberikan kejutan pada gadis kecil itu. Namun…
Langkah Maria terhenti di ambang pintu saat ia melihat kamar 301 itu telah kosong, dan semua barangnya tertata dengan begitu rapi. Seperti tidak ada yang pernah menempati. Lalu kemana perginya keluarga Lindon?
“Tunggu! Vendra!” Maria memanggil salah satu rekan kerjanya yang kebetuan lewat.
“Keluarga Lindon, apa mereka sudah pergi?”
“Maaf?”
“Keluarga Lindon.” Ucap Maria. “Pasien dengan nama Rachel Lindon yang menginap di kamar 301 ini, mereka sudah keluar?”
Alih-alih mendapatkan jawaban, Maria malah mendapatkan tatapan aneh dari teman kerjanya itu. Ia tidak tahu kenapa temannya memandangnya seperti itu.
“Maria, kau baik-baik saja?”
“Kenapa semua orang menanyakan hal itu?” sentak Maria. Ia sudah muak dengan segala keanehan yang terjadi.
“Maria Martinez!” panggil seseorang dari ujung koridor. Maria memutar kepalanya, dan melihat seorang pria dalam balutan jas putih bergerak ke arahnya.
“Dr. Stevenson?”
“Aku ingin bicara denganmu.”
Maria mengikuti gerak langkah dokter jiwa itu hingga akhirnya mereka sampai di ruangan dokter itu. Dr. Stevenson mempersilahkan Maria untuk duduk.
“Ada apa, Dok?” tanya Maria. “Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Semua orang sepertinya…”
“Semua orang membicarakanmu selama beberapa hari terakhir.” Ucap Dr. Stevenson. “Kau tahu alasanya?”
“Tidak.” Jawab Maria jujur.
“Kau ingin tahu jawabannya?” tanya dokter itu dengan cepat.
Ya, tentu saja. Maria sudah menahan keinginannya untuk bertanya selama beberapa hari terakhir, yang sangat membuatnya penasaran.
“Kamar 301…” ucap dokter itu. “Ada apa dengan kamar itu, Maria? Katakan sejujurnya!”
“Rachel Lindon.” Jawab Maria tanpa ragu. “Aku menemani pasien  itu setiap malam karena ia selalu sendirian. Orang tuanya sibuk, dan aku harus menjaganya. Aku membacakannya cerita, menemaninya makan, hingga semalam, keluarganya akhirnya kembali. Tapi pagi ini…”
“Kau yakin dengan apa yang kau lakukan, Maria?”
“Kenapa Anda bertanya seperti itu?” tanya Maria cepat. Ia merasa bahwa tidak ada yang aneh dengan apa yang ia ceritakan.
“Aku ingin mengatakan kebenarannya padamu, Maria. Tapi apakah kau sudah siap untuk mendengarnya?”
“Mengenai apa?”
“Aksimu selama beberapa hari terakhir.”
“Ada yang salah dengan hal itu?” tanya Maria. Ia merasa sedikit tersinggung dengan apa yang dokter itu ucapkan.
Dokter itu memandangnya dengan tatapan yang tajam, seolah menghakimi. Dan Maria sadar bahwa ada yang begitu salah dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Hingga akhirnya sang dokter membuka mulutnya dan mengucapkan,
“Kamar 301 sudah kosong sejak sepuluh hari yang lalu.”

**

“Tidak mungkin!” ucap Maria seketika. Ia bangkit dari kursi yang ia duduki tanpa sadar, dan memandang lekat-lekat pada wajah dokter di hadapannya itu. Apa dokter itu berpikir ia sudah gila?
“Itu kenyataannya, Maria.” Ucap sang dokter. “Teman-temanmu, semua mengkhawatirkan keadaanmu karena kau sering pergi ke kamar itu setiap malam, dan berbicara sendirian. Kau mungkin…”
“Aku tidak gila!” ucap Maria tajam. “Rachel Lindon, dia ada disana, mendengarkanku, dan…”
“Rachel Lindon meninggal sepuluh hari yang lalu karena kanker yang ia derita.”
“Tapi semalam…” ucap Maria. “Nyonya dan Tuan Lindon ada disana…”
“Itu tidak mungkin terjadi.” Ucap Dr. Stevenson. “Karena Tuan dan Nyonya Lindon sudah meninggal sejak setahun yang lalu akibat dari kecelakaan yang mereka alami. Rachel tinggal dengan bibinya.”
Maria merasa dunia di sekelilingnya seolah diputar, dibolak-balik dan ia tidak tahu alasannya. Kepalanya tiba-tiba saja menjadi pusing, dan ia tidak tahan lagi untuk bertahan dalam posisinya. Ia akhirnya terjatuh kembali ke kursinya.
“Tidak…” ucap Maria sambil memegangi kepalanya. “Kenapa? Tidak mungkin hal itu terjadi.”
Dr. Stevenson menulis dengan cepat diatas kertas resepnya, kemudian memberikannya pada Maria.
“Tenangkan dirimu, Maria!” ucap dokter itu. “Dan ini, obat ang mungkin kau perlukan untuk beberapa minggu ke depan. Mungkin kau harus beristirahat di rumah.”
Maria tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan. Jadi selama ini ia berbicara dengan arwah Rachel? Dan semalam kedua orang tuanya menjemput gadis kecil itu, gadis malang itu.
Maria berjalan pelan di sepanjang koridor rumah sakit, dengan pikirannya masih terbayang pada wajah polos Rachel. Kenapa hal itu harus terjadi padanya?
Langkah Maria terhenti saat ia memandang ke ujung koridor. Di sana berdirilah tiga orang itu, dalam siraman sinar matahri pagi yang menerobos dari jendela. Keluarga Lindon, dengan Rachel berada di tengah, tersenyum padanya. Rambut coklat gadis itu terlihat bercahaya di bahwa siraman sinar matahari. Dan Maria seolah dapat mendengar ucapan gadis itu, yang mengucapkan kata,
“Terima kasih.”

***


No comments:

Post a Comment