Sudah tiga hari Maria menunggu anak kecil itu. Seorang
gadis kecil, seorang pasien dengan penyakit mematikan yang terlihat begitu
menderita, dan rasa sungguh menyedihkan bila melihat gadis itu harus terbaring
sendiri di sebuah kaamr rumah sakit yang besar, penuh dengan alat-alat penopang
kehidupan, tanpa ditemani oleh seorang pun. Maria sudah mencoba untuk
menanyakan kemana perginya orang tua gadis itu, namun gadis itu bungkam dan
tidak mau bicara.
Nama gadis itu adalah
Rachel. Hanya itu yang dapat Maria tahu. Ia bisa saja mengakses database pasien
di rumah sakit tempatnya bekerja itu, namun ia terlalu sibuk dengan pasien
lain. Namun tidak ia sangkal bahwa selama ia beekrja seharian, pikirannya terus
mengarah pada keadaan Rachel yang seiring bergantinya hari, keadaannya terus
memburuk.
Pertama kali Maria tahu
mengenai Rachel adalah ketika suatu malam ia sedang bertugas jaga seorang diri,
ia mendengar sebuah teriakan dari sebuah kamar. Dan ketika ia hampiri, gadis
dengan kepala yang sudah tak berambut itu terduduk di atas tempat tidurnya,
menangis, dan ketakutan. Maria mencoba menenangkannya. Ia belum mempunyai
keluarga, dan ia tidak pernah bekerja di dekat anak-anak sebelumnya. Ini adalah
pertama kalinya ia menangani seorang pasien anak, dimana ia dituntut untuk menggunakan
keahlian ekstra untuk dapat menangani tingkah laku seorang anak. Meski begitu,
Rachel tidak banyak bertingkah. Gadis itu lebih banyak terdiam, dan tidak mau
bicara sedikitpun. Maria yang semakin mengkahwatirkan keadaan gadis itu tidak
bisa tinggal diam. Dan sejak saat itu, ia selalu mengunjungi kamar gadis itu
setiap malam.
“Hai, gadis manis!” sapa
Maria di malam keempat. Ia membawa senampan makanan di tangannya. Ia kemudian
duduk di samping Rachel, lalu membantunya duduk. Maria membantu gadis kecil itu
makan. Bukan suatu hal yang mudah, mengingat saat pertama kali Maria memberikan
makanan, gadis itu nyaris menumpahkan isi nampan.
“Kau baik-baik saja?
Bagaimana perasaanmu?”
Rachel tidak pernah menjawab
satupun pertanyaan yang Maria lontarkan, dan selalu terdiam. Paling, gadis itu
hanya memberikan satu senyum kecil.
Kebiasaan Maria yang sudah
ia lakukan selama beberapa hari terakhir adalah menemani Rachel. Ia banyak
bercerita mengenai keluarganya, kerabatnya, dan juga hobinya. Beberapa dari
ceritanya berhasil membuat gadis itu tertawa. Namun, tetap saja Maria belum
bisa mendapatkan jawaban dari mulut gadis itu.
“Kenapa kau tidak mau
menjawab?” tanya Maria dengan sangat berhati-hati karena ia tahu keadaan
psikologis anak itu belum stabil, dan kadang dapat marah secara tiba-tiba.
“Apa aku…, menginggung
perasaanmu?” tanya Maria lagi. Gadis itu memberikan jawaban dengan satu
gelengan kepala.
“Kau punya teman dekat,
Rachel?” tanya Maria. Maria menunggu jawaban gadis itu. Namun seperti yang
dapat ia duga, gadis itu bungkam seperti biasanya.
“Oke. Saatnya bercerita!”
ucap Maria riang sambil mengarah ke meja dan menyahut satu buku cerita yang
sudah ia gunakan sejak ia pertama kali bertemu dengan gadis itu.
“Jadi…, apa yang harus
kubaca hari ini?” tanya Maria sambil membuka-buka buku cerita itu. Rachel
tiba-tiba saja menyahut buku itu, dan membuka halamannya. Kemudian ia serahkan
kembali pada Maria.
“Kau mau mendengar cerita
ini?” tanya Maria. “Lagi?”
Cerita yang dipilih gadis
itu selalu sama setiap malamnya. Sebuah kisah pendek, mengenai sebuah keluarga
kecil yang hidup tenang di pinggiran kota. Bukan cerita yang buruk. Namun Maria
tetap saja merasa aneh bila harus membacanya setiap hari. Mungkin Rachel
memiliki kenangan tersendiri dengan cerita itu? Mungkin. Andai saja Rachel mau
berbicara, mungkin akan sedikit mudah baginya untuk mengurus gadis kecil itu.
Maria membacakan buku yang
ia pegang dengan penuh perasaan dan penghayatan. Ia kini bahkan mulai belajar
untuk menirukan beberapa bunyi hewan, dan beberapa karakteristik tokoh. Dan ia
mulai menjadi seorang pendongeng yang cukup bagus.
Selama kurang lebih tiga
puluh menit, Maria membaca buku itu. Dan perlahan ia dapat melihat gadis itu
mulai tertidur, jauh ke dalam alam mimpinya, hingga akhirnya Maria mengakhiri cerita
itu.
Wajah gadis kecil itu
terlihat begitu polos. Maria tidak tahu ahrus merasa apa terhadap keadaan gadis
kecil itu. Di usia dimana ia seharusnya berlarian di luar bersama dengan
anak-anak lain, Rachel malah harus terbaring di dalam rumah sakit. Tanpa teman,
tanpa keluarga. Maria tidak bisa berhenti berpikir. Namun semakin lama ia
mencoba untuk mengetahui kisah dari gadis itu, semakin banyak pula pertanyaan
yang tidak terjawab.
Maria tersenyum. Ia letakkan
buku itu kembali ke meja, lalu ia betulkan posisi selimut dari gadis kecil itu.
Dalam keadaan tenang malam itu, Maria pergi meninggalkan kamar Rachel. Dan
berjanji bahwa besok ia akan kembali lagi.
**
“Kenapa tidak ada yang
tahu?” tanya Maria pada salah satu teman kerjanya keesokan harinya saat ia
harus kembali bekerja mengurus beberapa pasien yang kadang menyebalkan.
“Aku tidak tahu dengan apa
yang kau bicarakan, Maria.” Jawab temannya.
“Rachel.” Ucap Maria. “Gadis
di kamar nomor 301. Mengenai keluarganya…”
Ucapan Maria terpotong saat
tiba-tiba saja datang kegaduhan dari ulang salah seorang pasien. Dan temannya
itu terpaksa harus pergi meninggalkannya.
“Coba cari di database!”
teriak temannya sebelum menghilang.
Ya. Mungkin ia harus mencari
informasi mengenai Rachel seorang diri, tana bantuan orang lain. Tidak mungkin
tidak ada yang tahu mengenai pasien bernama Rachel itu. Maria yakin ia akan
menemukan jawaban.
Ketika malam datang dan
tugasnya sudah hampir selesai, Maria menyempatkan diri untuk mengunjungi sebuah
tempat dimana semua rekam medis pasien disimpan. Ia mengarah ke sebuah komputer
di ujung ruangan, lalu mulai melakukan pencarian.
Ia dapatkan nama pasien di
kamar 301. Rachel Lindon, 12 tahun, dan diketahui mengidap satu penyakit yang
hingga kini belum ada obatnya. Kanker. Itukah sebabnya semua rambut gadis itu
menghilang? Akibat kemoterapi?
Maria mendapatkan apa yang
ia mau. Namun hal itu tidak menjelaskan kenapa keluarga pasien tidak pernah
datang menemui gadis itu. Dan Maria masih melakukan rutinitas malamnya,
menghampiri gadis kecil itu untuk mengajaknya berbicara.
Rachel menunggunya diatas
tempat tidur dengan satu senyum lebar yang tidak pernah Maria lihat sebelumnya.
Terjadi satu perubahan besar pada diri Rachel, yang tidak tahu darimana
asalnya.
“Kau terlihat senang.” Ucap
Maria. “Kau merasa baikan hari ini? Kau merasa nyaman?”
Gadis itu memberikan satu
anggukan seperti biasa. Ia kemudian berbaring, dan memandang Maria seperti
biasanya. Ia menunggu Maria untuk mulai bercerita.
Maria menceritakan
pekerjaannya, lalu juga masa lalunya. Ia menceritakan segala hal yang ada di
dalam otaknya untuk dapat membuat Rachel nyaman dengan keadaannya. Rachel,
mungkin tidak akan bertahan lama. Kanker itu akan membunuhnya. Dan Maria
memutuskan untuk memberikan kenangan baik bagi gadis itu sebelum gadis itu
pergi.
“Dan…, aku punya seekor
anjing, bernama Skip. Berwarna coklat. Dan ia masih bersamaku hingga sekarang.”
Gadis itu tersenyum kembali.
Dan tiba-tiba saja terjadi satu mujizat yang tidak dapat Maria percaya. Gadis
itu membuka mulutnya dan berkata,
“Mug.”
Maria mengernyit. Namun
dengan cepat ia rubah ekspresinya dengan satu senyum lebar di wajah.
“Mug?” tanyanya.
“Anjingku bernama Mug.” Ucap
gadis itu lagi. “Aku menyukainya. Sangat menyukainya. Dia lucu. Kami sering
pergi ke taman bersama.”
“Oh, ya?” balas Rachel. Ia
merasa begitu senang akhirnya Rachel mau membuka mulutnya. Mungkin ia mulai
merasa nyaman berada di sisi Maria selama beberapa hari terakhir.
“Ceritakan tentang Mug!”
pinta Maria.
Seperti sebuah keajaiban,
dan seperti sebuah perubahan yang tidak Maria sangka. Gadis itu, Rachel,
bercerita penuh dengan energi. Maria bahkan tidak dapat menahan tawanya ketika
gadis itu mulai bercerita mengenai tingkah lakunya di sekolah, sebelum ia jatuh
sakit. Maria benar-benar merasa kasihan dengan keadaan gadis itu.
“Sudah malam.” Ucap Maria
ketika ia lirik jam, dimana jarumnya telah menunjukkan angka dua belas.
“Kau harus beristirahat,
Rachel.” Ucap Maria.
“Besok kau akan kembali?”
“Ya. Tentu saja.” Jawab
Maria penuh janji. Ia kemudian membantu menata bantal gadis itu,
menyelimutinya, dan mengucapkan selalam malam. Maria keluar dari kamar itu
dengan perasaan begitu bahagia. Rachel akhirnya mau terbuka padanya.
**
Maria kembali bekerja
seperti biasa keesokan harinya. Tidak pernah terpikirkan di kepalanya bahwa
suatu keadaan yang sedikit aneh terjadi di rumah sakit tempatnya bekerja. Ia
mendengar kasak-kusuk, dimana ia menjadi bahan pembicaraan. Entah karena apa.
Yang jelas, ini adalah pertama kalinya Maria mendengarkan gosip mengenai
dirinya. Dan ia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Maria, aku ingin berbicara
denganmu.” Ucap salah seorang rekan kerjanya yang bernama Debra. Wanita itu
membawa Maria masuk sebuah ruangan, kemudian memandang lekat-lekat pada wajah
Maria. Maria tentu saja heran dengan hal ini. Apa ia melakukan kesalahan?
“Kau sedikit aneh,
akhir-akhir ini.” Ucap Debra. “Kau tidak apa-apa? Maksudku…, ya. Pekerjaan kita
memang berat. Tapi kita diijinkan untuk mengambil cuti jika kelelahan.”
“Aku tidak apa-apa.” Balas
Maria. “Kenapa kau berkata seperti itu? Dan aku ingin tahu, kenapa semua orang
kini membicarakan tentangku? Apa aku berbuat suatu kesalahan yang tidak
kusadari?”
“Tidak. Bukan begitu.” Balas
Debra.
Terlihat jelas bahwa Debra
ingin mengucapkan sesuatu. Namun mulutnya tetap bungkam pada akhirnya. Ia
kemudian menepuk pundak Maria, dan berbisik di telingana.
“Mungkin kau harus menemui
Dr. Stevenson.”
Hal aneh itu kembali
terjadi. Dr. Stevenson adalah dokter jiwa di rumah sakit itu. Dan Maria tidak
tahu kenapa ia harus menemui Dr. Stevenson. Apa teman-temannya mulai berpikir
bahwa ia gila? Kenapa mereka berpikir seperti itu?
Selama satu hari itu, Maria
merasakan suatu tekanan yang luar biasa. Tidak biasanya ia mendapatkan
lirikan-lirikan dan bisikan tersenyumbunyi. Ia masih belum tahu apa yang
terjadi.
Malam akhirnya tiba. Dan
Maria kembali mendatangi kamar nomor 301 itu. Namun langkahnya terhenti di
pintu masuk saat ia melihat ada pasangan wanita dan lelaki yang duduk di sisi
Rachel. Siapa mereka?
“Oh, hai!” sapa sang wanita,
yang kemudian menarik Rachel masuk ke dalam kamar.
“Kau pasti Maria.” Ucap
wanita itu. “Rachel bercerita tentangmu. Kau yang selalu menemaninya setiap
malam, ‘kan?”
“Ya.” Jawab Maria.
Pikirannya masih mencoba untuk mengerti apa yang sedang terjadi.
“Anda berdua…”
“Kami keluarga Rachel.” Ucap
sang wanita. “Aku Jenn, dan ini suamiku John.”
“Oh…”
“Kami sangat berterima kasih
padamu dengan apa yang sudah kau lakukan terhadap putri kami.” Ucap Jenn. “Dia
sangat menderita, dan kesepian. Dan ada satu atau dua hal yang memaksa kami
untuk tidak dpat menemninya setiap saat. Dan kau…, rela melakukan hal itu pada
Rachel, kami…”
“Saya mengerti, Ny. Lindon.”
Ucap Maria. Ia tersenyum, dan meremas tangan wanita itu dengan hangat.
Terdapat satu senyuman di
wajah wanita itu, suaminya, dan Rachel. Tentu saja gadis itu kini merasa senang
akhirnya kedua orang tuanya kembali menemaninya.
“Aku selalu membacakan
cerita untuknya setiap malam.” Ucap Maria seraya bergerak ke arah meja dan
mengambil buku yang biasanya ia baca. Ia menunjukkannya pada Ny. Lindon, dan
memberitahunya mengenai cerita yang disukai oleh gadis kecil itu.
“Aku tidak pernah
mengiranya.” Ucap wanita itu. Ia memandangi putrinya, tersenyum, dan mengelus
lengan gadis itu.
Maria tahu bahwa malam itu
ia tidak akan bisa melakukan apa yang biasanya ia lakukan. Keluarga Rachel
telah kembali. Dan ia senang dengan keadaan itu.
“Aku tidak tahu bagaimana
membalas kebaikanmu…”
“Jangan dipikirkan!” ucap
Maria. “Aku senang menjadi teman Rachel selama beberapa hari terakhir.”
Maria mengucapkan selamat
malam pada keluarga Lindon. Kamar yang biasanya sepi itu kini terlihat lebih
berwarna dengan kehadiran kedua orang tua Rachel. Mungkin kisahnya akan sama
dengan cerita mengenai keluarga yang biasanya Maria bacakan untuk Rachel. Rachel
tidak akan merasa kesepian lagi.
Hari berikutnya, Maria
memutuskan untuk mengunjungi kamar Rachel. Tidak biasanya ia datang di pagi
hari. Ia berpikir untuk memberikan kejutan pada gadis kecil itu. Namun…
Langkah Maria terhenti di
ambang pintu saat ia melihat kamar 301 itu telah kosong, dan semua barangnya
tertata dengan begitu rapi. Seperti tidak ada yang pernah menempati. Lalu
kemana perginya keluarga Lindon?
“Tunggu! Vendra!” Maria
memanggil salah satu rekan kerjanya yang kebetuan lewat.
“Keluarga Lindon, apa mereka
sudah pergi?”
“Maaf?”
“Keluarga Lindon.” Ucap
Maria. “Pasien dengan nama Rachel Lindon yang menginap di kamar 301 ini, mereka
sudah keluar?”
Alih-alih mendapatkan
jawaban, Maria malah mendapatkan tatapan aneh dari teman kerjanya itu. Ia tidak
tahu kenapa temannya memandangnya seperti itu.
“Maria, kau baik-baik saja?”
“Kenapa semua orang
menanyakan hal itu?” sentak Maria. Ia sudah muak dengan segala keanehan yang
terjadi.
“Maria Martinez!” panggil
seseorang dari ujung koridor. Maria memutar kepalanya, dan melihat seorang pria
dalam balutan jas putih bergerak ke arahnya.
“Dr. Stevenson?”
“Aku ingin bicara denganmu.”
Maria mengikuti gerak
langkah dokter jiwa itu hingga akhirnya mereka sampai di ruangan dokter itu.
Dr. Stevenson mempersilahkan Maria untuk duduk.
“Ada apa, Dok?” tanya Maria.
“Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Semua orang sepertinya…”
“Semua orang membicarakanmu
selama beberapa hari terakhir.” Ucap Dr. Stevenson. “Kau tahu alasanya?”
“Tidak.” Jawab Maria jujur.
“Kau ingin tahu jawabannya?”
tanya dokter itu dengan cepat.
Ya, tentu saja. Maria sudah
menahan keinginannya untuk bertanya selama beberapa hari terakhir, yang sangat
membuatnya penasaran.
“Kamar 301…” ucap dokter
itu. “Ada apa dengan kamar itu, Maria? Katakan sejujurnya!”
“Rachel Lindon.” Jawab Maria
tanpa ragu. “Aku menemani pasien itu
setiap malam karena ia selalu sendirian. Orang tuanya sibuk, dan aku harus
menjaganya. Aku membacakannya cerita, menemaninya makan, hingga semalam,
keluarganya akhirnya kembali. Tapi pagi ini…”
“Kau yakin dengan apa yang
kau lakukan, Maria?”
“Kenapa Anda bertanya
seperti itu?” tanya Maria cepat. Ia merasa bahwa tidak ada yang aneh dengan apa
yang ia ceritakan.
“Aku ingin mengatakan
kebenarannya padamu, Maria. Tapi apakah kau sudah siap untuk mendengarnya?”
“Mengenai apa?”
“Aksimu selama beberapa hari
terakhir.”
“Ada yang salah dengan hal
itu?” tanya Maria. Ia merasa sedikit tersinggung dengan apa yang dokter itu
ucapkan.
Dokter itu memandangnya
dengan tatapan yang tajam, seolah menghakimi. Dan Maria sadar bahwa ada yang
begitu salah dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Hingga akhirnya sang
dokter membuka mulutnya dan mengucapkan,
“Kamar 301 sudah kosong
sejak sepuluh hari yang lalu.”
**
“Tidak mungkin!” ucap Maria
seketika. Ia bangkit dari kursi yang ia duduki tanpa sadar, dan memandang
lekat-lekat pada wajah dokter di hadapannya itu. Apa dokter itu berpikir ia
sudah gila?
“Itu kenyataannya, Maria.”
Ucap sang dokter. “Teman-temanmu, semua mengkhawatirkan keadaanmu karena kau
sering pergi ke kamar itu setiap malam, dan berbicara sendirian. Kau mungkin…”
“Aku tidak gila!” ucap Maria
tajam. “Rachel Lindon, dia ada disana, mendengarkanku, dan…”
“Rachel Lindon meninggal sepuluh
hari yang lalu karena kanker yang ia derita.”
“Tapi semalam…” ucap Maria.
“Nyonya dan Tuan Lindon ada disana…”
“Itu tidak mungkin terjadi.”
Ucap Dr. Stevenson. “Karena Tuan dan Nyonya Lindon sudah meninggal sejak
setahun yang lalu akibat dari kecelakaan yang mereka alami. Rachel tinggal
dengan bibinya.”
Maria merasa dunia di
sekelilingnya seolah diputar, dibolak-balik dan ia tidak tahu alasannya.
Kepalanya tiba-tiba saja menjadi pusing, dan ia tidak tahan lagi untuk bertahan
dalam posisinya. Ia akhirnya terjatuh kembali ke kursinya.
“Tidak…” ucap Maria sambil
memegangi kepalanya. “Kenapa? Tidak mungkin hal itu terjadi.”
Dr. Stevenson menulis dengan
cepat diatas kertas resepnya, kemudian memberikannya pada Maria.
“Tenangkan dirimu, Maria!”
ucap dokter itu. “Dan ini, obat ang mungkin kau perlukan untuk beberapa minggu
ke depan. Mungkin kau harus beristirahat di rumah.”
Maria tidak tahu lagi apa
yang harus ia katakan. Jadi selama ini ia berbicara dengan arwah Rachel? Dan
semalam kedua orang tuanya menjemput gadis kecil itu, gadis malang itu.
Maria berjalan pelan di
sepanjang koridor rumah sakit, dengan pikirannya masih terbayang pada wajah
polos Rachel. Kenapa hal itu harus terjadi padanya?
Langkah Maria terhenti saat
ia memandang ke ujung koridor. Di sana berdirilah tiga orang itu, dalam siraman
sinar matahri pagi yang menerobos dari jendela. Keluarga Lindon, dengan Rachel
berada di tengah, tersenyum padanya. Rambut coklat gadis itu terlihat bercahaya
di bahwa siraman sinar matahari. Dan Maria seolah dapat mendengar ucapan gadis
itu, yang mengucapkan kata,
“Terima kasih.”
***
No comments:
Post a Comment