Samantha membuka kedua matanya dengan cepat, dan ia sadari
bahwa ia tengah terbaring di dalam kamarnya yang mulia gelap. Dari sudut
matanya, ia lirik jam yang ada di atas meja, dimana jarum jam telah menunjukkan
pukul enam sore.
Sam melompat bangun dan seketika
teringat bahwa malam itu ia akan berada di rumah sendiri. Kedua orang tua dan
adiknya pergi mengunjungi neneknya yang tengah sakit di luar kota, dan sebagai
gantinya, Sa, harus menjaga rumah sendirian.
Bukan hal yang baru bagi Sam
tinggal di rumah sendiri. Bahkan, ia menyukainya. Ia bisa bebas berbuat
sesuatu, dan dapat pergi tidur jam berapapun setelah ia puas menonton dvd. Ia
baru berusia 16 tahun, dan sepertinya masih perlu penjagaan. Namun ia
menolaknya mentah-mentah saat ibunya menawarkan seseorang untuk menjaganya.
“Aku sudah besar.” Ucapnya
menolak tawaran ibunya itu.
“Kau yakin akan baik-baik
saja?” tanya ibunya sedikit khawatir. “Jika kau makan, atau kau butuh sesuatu…”
“Aku tahu.” Ucap Sam cepat.
Dan begitulah. Di hari Jumat
yang sedikit kelabu karena mendung sejak siang tadi, ia berada di rumah
sendirian. Ia sudah menghidupkan semua lampu, memeriksa jendela-jendela
terkunci, dan ia sudah siap untuk menghadapi malam menyenangkan yang akan ia
lewati. Ia sempat mengundang teman terbaiknya untuk datang. Namun rupanya
temannya itu masih sibuk dengan pr yang harus ia kerjakan. Bagaimana dengan
Sam? Apakah ia akan mengurung diri di kamar mengerjakan prnya?
Tentu saja tidak.
Sam melompat ke atas sofa
sambil menyahut remot yang ada di meja. Seketika, ia nyalakan tv 21 inci yang
ada di depannya. Acara yang sudah ia tunggu-tunggu sudah mulai. Dan dalam
beberapa menit, Sam sudah terbius dengan apa yang ad dihadapannya.
Meja di depan tv yang pada
awalnya kosong kini mulai terpenuhi oleh toples-toples makanan dan kaleng soda.
Di dekatnya juga ada satu cangkir besar minuman coklat panas yang isinya sudah
tinggal separuh. Tv masih menyala, namun tidak diperhatikan. Sam malah sibuk
dengan ponsel yang ada di hadapannya.
“Seharusnya kau datang.”
Ucap Sam pada Amber, teman terbaiknya. Mereka berbicara melalui sambungan
telepon.
“Aku tidak bisa.” Ucap
Amber. “Pr ini…, kau sudah mengerjakan prmu, Sam besok kita…”
“Tentu saja.” Sahut Sam
dengan penuh kepercayaan diri. Meski sebenarnya ia belum mengerjakan pr-nya, dan
berniat akan mengerjakannya malam nanti.
“Senang berada di rumah
sendiri.” Ucap Sam. “Aku bisa berbuat semauku tanpa ada yang melarang.
Seandainya saja hal ini bisa terjadi setiap hari.”
“Kau tidak akan menyukainya
sesaat lagi.”
“Kenapa begitu?” tanya Sam
heran. Amber menjawabnya dengan satu tawa kecil.
“Kau akan merasa bosan.”
Benarkah hal itu akan
terjadi. Paling tidak hingga detik itu, Sam belum merasakan rasa ‘bosan’ itu.
Ia masih bisa bersenang-senang dengan puluhan dvd ayahnya, atau musik yang ada di
kamarnya. Ia merasa malam itu seperti malam tahun baru dimana ia akan merayakan
segala hal.
Jarum jam menunjukkan pukul
sembilan malam, dan keadaan sudah begitu sunyi. Daerah dimana rumah Sam berada
memang cenderung sepi bila dibandingkan dengan derah lain di kotanya. Dan Sam
sudah terbiasa dengan kesunyian suasana.
Sam masih menyaksikan acara
bakat yang ada di tv. Namun kedua matanya tiba-tiba saja menjadi berat saat
acara yang ia tonton semakin lama semakin membosankan. Ia mulai bosan? Tidak.
Ia hanya mengantuk. Dan Sam sepertinya masih berusaha untuk tetap terjaga.
Ia bangkit dari sofa yang ia
duduki seraya meraih cangkir coklat yang sudah kosong itu, dan bergerak ke
dapur. Ia berniat untuk membuat coklat lagi untuk menemaninya.
Sam sibuk di dapur. Namun
sedetik kemudian gerak tangannya tehrenti saat ia mendengar suara aneh yang
datangnya dari garasi yang memang berada dekat dengan dapur. Terdengar seperti
suara kayu bergesekan, atau benda lain yang diseret. Suara itu kadang terdengar
kadang tidak. Dan Sam semakin penasaran dengan suara itu.
Ia bergerak ke arah garasi
melalui pintu penghubung yang ada di dekat dapur, meninggalkan cangkir
coklatnya. Ia buka pintu garasi dan seketika menyalakan lampu. Namun…, tidak
ada. Tidak ada satupun hal aneh ketika ia melihat ke dalam garasi. Kotak
perkakasn masih berada di tempatnya, dan benda lain juga masih ada di
tempatnya. Tidak ada yang aneh.
“Mungkin hanya kucing liar.”
Ucap Sam meyakinkan dirinya sendiri, lalu bergerak meninggalkan tempat itu. Ia
kembali ke dapur, menyahut cangkir coklatnya yang penuh, dan kembali ke ruang
tengah dimana tv masih menyala. Namun…
Sam mengernyitkan dahinya
saat tv-nya tidak menampilkan apapun di layarnya. Yang ada hanyalah layar biru,
menandakan bahwa tidak ada sinyal yang masuk ke dalam tv-nya.
“Yang benar saja!” geram
Sam. Ia melihat ke arah kabel-kabel yang terhubung ke tv-nya, namun ia tidak
tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak begitu paham dengan eketronik. Dan
tidak ada yang dapat ia lakukan untuk memperbaiki tv-nya.
“Menarik.” Ucap Sam kesal.
Ia yang berniat menghabiskan malam di depat tv terpaksa harus menggagalkan
rencana itu. Ia matikan tv, lalu duduk di sofa. Ia minum sedikit coklatnya,
sambil berpikir, apa yang harus ia lakukan?
Ia raih ponselnya yang
tergeletak di meja. Ia sempat berniat untuk menghubungi Amber lagi. Namun ia
tahu bahwa mungkin ia hanya akan mengganggu sesi belajar temannya itu. Ia
mengurungkan niatnya.
Sam bersantai di sofa sambil
membaca majalah-majalah lama yang kebetulan ia temukan. Membaca memang bukan
hal favoritnya. Namun ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk
melewati jam-jam membosankan itu. Jam baru menunjukkan pukul setengah sepuluh,
dan masih terlalu dini untuk pergi tidur. Lagipula, ia masih harus mengerjakan
pr-nya.
Sam melonjak kaget saat
sebuah suara keras terdengar. Seperti bunyi barang besar yang menabrak sesuatu,
menghasilkan bunyi ‘BRAK!!’ keras yang datangnya dari arah bagian depan rumah.
Sam seketika bangkit dari
sofa yang ia tiduri dan berlari ke arah ruang tamu, lalu mengintip melalui
jendela ke arah halaman bagian depan rumahnya. Keadaannya cukup gelap. Yang ia
lihat hanyalah cahaya lampu temaram dari beberapa lampu jalan, yang benar-benar
tidak bisa memberikan kejelasan mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
Ia masih dapat melihat pagar
rumahnya, yang terlihat masih normal. Suara ‘BRAK’ tadi seperti suara tong
sampah yang ditendang. Namun tempat sampah di depan rumahnya masih berdiri.
Sam membuka pintu depan dan
memeriksa keadaan sekitarnya. Keadaan malam itu memang begitu sunyi. Ia tidak
melihat adanya satupun orang di jalanan, ataupun mobil. Dan keadaan menjadi
sedikit tidak menyenangkan. Sam merasakan bulu kuduknya berdiri, dan tidak
tahan dengan hawa dingin di luar rumah. Langit terlihat masih tertutup mendung,
dan terlihat begitu gelap. Mungkin akan ada badai malam itu.
Sam masuk kembali ke dalam
kehangatan bagian dalam rumahnya. Ia kunci pintu, dan kembali ke arah sofa
dimana ia tadi bersantai. Ia menyahut kembali majalahnya tadi, dan berniat
untuk melanjutkan apa yang tadi ia lakukan, saat tiba-tiba saja kegelapan
menyelimuti seisi rumah itu.
“Bagus sekali!” geram Sam
kesal. Listrik tiba-tiba saja mati, dan ia berdiri di tengah kegelapan yang
tidak menyenangkan.
Sam meraba di dalam
kegelapan mencari ponselnya. Ia gunakan alat telekomunikasinya itu untuk
membuat sebuah senter. Dan ini adalah pertama kalinya ponsel miliknya itu dapat
benar-benar berguna. Di tengah keremangan cahaya senter kecil itu, Sam mengarah
ke dapur. Ia ambil beberapa lilin besar yang jarang digunakan, dan
menyalaknnya. Kini ruang tengah itu tidak begitu gelap dengan datangnya
beberapa lilin. Keremangan cahaya membuat suasananya sedikit menakutkan.
Lalu apa yang akan Sam
lakukan? Ia tidak bisa menonton tv, dan tidak mungkin melakukan hal lain dalam
kegelapan seperti itu. Tapi, memang ada satu hal yang harus ia lakukan.
Pr-nya. Tentu saja. Sam
menyesal tidak menyelesaikannya sore tadi saat matahari masih ada. Kini, ia
harus mengerjakannya dalam gelap. Ia bawa sebatang lilin naik ke lantai dua dan
masuk ke dalam kamarnya. Dalam keadaan gelap, kamarnya yang berantakan itu jadi
terlihat sedikit berbeda. Barang-barangnya yang berserakan jadi sedikit tak
terlihat. Bahkan kadang ada yang tak sengaja ia injak.
Jarum jam menunjukkan pukul
sepuluh ketika Sam mulai membuka-bukua buku pelajarannya di tengah keremangan
cahaya lilin. Kedua matanya itu kadakng memicing, mencoba untuk menemukan
sebuah kata di dalam buku pelajarannya.
Sam menggerutu kesal. Ia
kesal dengan pr yang harus ia kerjakan, dan ia juga kesal dengan listrik yang
entah kenapa harus padam. Ia dapat berkonsentrasi untuk sejenak, namun
pikirannya selalu terarah pada kesunyian yang ia rasakan.
Kini ia akui bahwa keadaan
yang sepi seperti itu memang tidak menyenangkan. Ditambah lagi ia harus sendirian
malam itu. Kini ia menyesal telah menolak tawaran ibunya sore tadi. Mungkin
jika ada teman bicara, ia tidak akan merasakan kesepian seperti itu.
Sam tengah mencoba
memecahkan soal matematika saat tiba-tiba saja terdengar suara keras dari
lantai bawah. Seperti suara benda jatuh, namun bukan suara pecahan. Sam
menggerutu kesal. Ia tahu bahwa kadang kucing tetangga masuk ke dalam rumah
melalui celah pintu di dapur. Dan kini ia berpikir mungkin kucing itu juga yang
sedang berulah.
Sam membawa senter kecilnya
turun ke lantai bawah dan langsung menuju dapur. Instingnya mengatakan bahwa
benda jatuh itu mungkin berasal dari dapur. Tapi…,
Ia arahkan cahaya senternya
itu ke beberapa tempat. Namun ia sama sekali tidak menemukan benda yang
terguling atau terjatuh. Ia mengarah ke ruang tengah, dan ia juga tidak
menemukan keanehan lain.
Sam mulai berpikir bahwa ada
yang tidak beres. Tadi sebelum lampu mati, ia sempat dikagetkan oleh suara
berderak dari garasi, lalu suara dari arah depan rumah, dan kini ia juga diganggu
dengan suara benda jatuh yang entah darimana datangnya. Sam mulai tidak
menyukai keadaan saat itu. Tanpa berpikir, ia men-dial nomor telepon Amber, dan
berusaha untuk berbicara dengan temannya itu.
“Kukira kau berani berada di
rumah sendiri.”
“Ya. Memang.” Jawab Sam.
“Tapi tidak seperti ini. Aku merasa ada yang tidak beres dengan rumahku. Aku
ingin…”
Sam mengernyitkan dahinya
saat sambungan telepon antara dirinya dan Sam mulai tidak jelas. Ia, secara
aneh, tidak mendapatkan sinyal, dan sambungan terputus secara tiba-tiba. Ya.
Tidak ada sinyal. Bagaimana mungkin? Sam mencoba menggunakan telepon rumah.
Namun keadaannya sama saja. Tidak ada nada dial di teleponnya.
Sam lagi-lagi melonjak saat
terdengar suara ‘BRAK’ dari lantai dua. Kini apa yang akan terjadi? Jantung Sam
berdetak begitu kencang saat rasa takut mulai melingkupi dirinya. Ia tidak tahu
lagi harus berbuat apa. Ia tidak berani bergerak dari tempatnya berdiri.
Suara desiran angin
terdengar semakin jelas. Sam melirik ke arah luar, melalui jendela dapur, dan
ia lihat pohon-pohon di luar sana mulai bergoyang tak karuan karena angin besar
yang secara tiba-tiba datang. Dan sedetik kemudian, hujan pun turun dengan
deras mengguyur kawasan itu.
Sam tidak tahu lagi apakah
ia harus takut dengan suara-suara aneh di dalam rumahnya, atau dengan badai
yang sedang terjadi. Perlahan ia coba gerakkan kakinya. Benar. Tidak ada yang
perlu ditakuti. Paling tidak, itu yang Sam ucakan pada dirinya sendiri.
Ia susuri anak tangga yang
mengarah ke lantai dua. Cahaya dari ponselnya semakin lama semakin meredup.
Mungkin baterainya mau habis. Dan…, ya. Ia harus bergantung pada cahaya lilin.
Langkahnya terhenti tepat di
tnegah-tengah tangga saat suara ‘BRAK’ kembali terdengar. Sebenarnya suara apa
itu? Suara itu terdengar berkali-kali, datang dari arah kamar kedua orang
tuanya. Sam sebenarnya tidak ingin mengarah kesana karena ketakutannya. Namun,
tubuhnya bergerak sendiri tanpa dapat ia kontrol.
Koridor gelap di lantai dua
benar-benar semakin memperparah rasa takutnya. Ia bergerak sedikit demi
sedikit, hingga akhirnya sampai di depan pintu kamar kedua orang tuanya. Ia
angkat tangannya, ia putar kenob pintunya, lalu membukanya dengan cepat.
Seketika, ia lihat cahaya putih dan biru berpendar dari arah jendela kamar. Dan
seketika…
Sam menjerit secara spontan
saat suara petir terdengar. Cahaya putih dan biru itu adalah cahaya kilat yang
terlihat dari jendela kamar kedua oang tuanya yang terbuka dan tertiup angin.
Suara ‘BRAK’ itu berasal dari daun jendelanya yang berkali-kali tertiup angin
dan membentur pada bingkai jendela. Sam, mungkin, dapat bernafas lega ketika ia
sadari bahwa sebenarnya tidak ada yang perlu ditakuti dari suara ‘BRAK’ itu.
Sam tutup kedua jendela itu,
dan berharap tidak ada lagi suara-suara aneh. Namun hal lain terjadi dengan
begitu cepat tanpa ia sadari. Tubuhnya tiba-tiba saja terpelanting ke arah
tempat tidur saat ia merasakan ada sesuatu yang menyentuh pundaknya. Di dalam
kegelapan suasana, ia tidak tahu lagi apa yang terjadi. Ia pun menjerit.
Sam masih berpegangan pada
senter kecilnya. Ia arahkan cahaya ke beberapa tempat di dalam kamar orang
tuanya itu tapi ia tidak menemukan apapun yang dapat menjelaskan sentuhan di
pundaknya itu tadi. Malahan, ia melihat sesuatud engan begitu jelas.
Lemari kayu di kamar itu
tiba-tiba saja bergetar dengan hebat, dan mengeluarkan suara yang begitu
berisik. Seolah ada sesuatu yang terperangkap di dalam sana dan sedang mencoba
untuk keluar. Sam kembali menjerit tanpa dapat berpikir. Ia melompat turun dari
tempat tidur lalu berlari keluar.
Kedua matanya terbelalak
saat ia lihat ada cahaya jingga di ujung koridor, berasal dari dalam kamarnya.
Sam, seketika mendapatkan firasat yang begitu buruk. Ia berlari ke arah
kamarnya, lalu menemukan meja dan tempat tidurnya telah dilalap api, yang
kemungkinan berasal dari lilin yang ia letakkan di meja.
Sam panik. Ia tidak tahu apa
yang harus ia lakukan. Ia berlari menuruni tangga, namun tiba-tiba saja seperti
ada yang menyandungnya. Ia terjatuh tepat di anak tangga terbawah, dan seketika
ia merasakan ada cengeraman pada pergelangan kakinya. Dan dengan cahaya senter
kecilnya, ia dapat melihat satu tangan membusuk memegangi pergelangan
tangannya.
Sam menjerit sekuat tenaga
sambil menendangkan kakinya. Cengkeraman itu terlepas, dan Sam dapat bangkit
berdiri. Keadaan gila yang menyerangnya ini dengan cepat membuatnya memutuskan
untuk berlari keluar dari rumah. Namun ketika ia sampai di pintu depan, sesuatu
terjatuh dari langit-langit. Sam berdiri kaku, hingga sosok besar itu berdiri
di hadapannya. Saat petir menyambar, ia dapat melihat sosok besar itu. Sesosok
wajah membusuk yang dipenuhi dengan belatung, menatap ke arahnya. Sam menjerit
sesaat sebelum ia jatuh tak sadarkan diri.
**
Sam membuka kedua matanya
dengan cepat seiring dengan nafasnya yang memburu. Ia dapat melihat
langit-langit kamarnya, yang belum terlihat terlalu gelap. Ia miringkan
kepalanya, dan ia dapat melihat jarum jam menunjukkan pukul enam. Enam sore?
Sam dengan cepat bangkit
dari posisi tidurnya. Apa yang terjadi? Jadi semua itu hanya mimpi? Namun ia
sudah mendapatkan gambaran mengenai apa yang akan terjadi malam nanti saat ia
sendirian. Lalu, apakah ia akan terus berpikir bahwa berada di rumah sendirian
adalah hal yang bagus?
Sam dengan cepat meraih
ponselnya, lalu menghubungi nomor telepon ibunya.
“Ibu!” ucapnya saat
sambungan terbuka. “Mungkin aku akan butuh seseorang malam ini.”
***
No comments:
Post a Comment