Wednesday, December 14, 2016

RITUAL PEMBAWA MAUT



Rumah di ujung jalan Whisper Street sudah terkenal dengan keangkerannya. Sebuah remah besar dan mewah, yang mungkin terlihat begitu menawan saat masih dihuni itu, kini berubah menjadi sarang dari segala macam teori, kisah horor, dan kegiatan spiritual yang sudah menyebar hingga ke ujung kota kecil Blackwood.
Mungkin akan terdengar gila. Namun keempat remaja usia sma itu memiliki ide yang bisa dikatakan ‘ekstrem’, yang bisa disebut sebagai suatu kegiatan yang sia-sia dan tidak dapat dikatakan akan mendatangkan hal bagus pada akhirnya.
Apa yang sebenarnya mereka rencanakan?
Tobi, Nick, Jennifer, dan Ashley sudah mempersiapkan acara yang akan mereka lakukan malam nanti. Hari jumat malam, pukul sepuluh, mereka akan masuk ke dalam rumah besar itu dan melakukan satu hal yang bisa dianggap cukup berbahaya, meski belum terbukti kebenarannya.
Ouija board, adalah sebuah instrumen yang kerap digunakan oleh kalangan remaja saat mereka melakukan pesta piyama atau pada saat perkumpulan tertentu. Tulisan yang ditunjukkan oleh potongan kayu kecil yang dipegangi oleh empat orang itu katanya adalah dorongan dari alam gaib. Namun masih banyak yang percaya bahwa kegiatan berbicara dengan arwah menggunakan papan ouija itu hanyalah sebuah rekaan dan tidak nyata.
“Kau, tidak benar-benar mempercayainya, ‘kan?” ucap Jennifer saat mereka makan siang di kantin sekolahan. Mereka terus membicarakan mengenai rencana mereka malam nanti.
“Semua orang tahu papan ouija hanyalah omong kosong. Seseorang dari antara pemegang papan kecil sengaja menggerakkan pointer itu pada huruf-huruf yang dapat membuat teman-temannya berteriak ketakutan.”
“Kalau begitu, Jenn, kau tidak percaya dengan arwah?” tanya Ashley. Ashley adalah tipe gadis yang mudah takut, dan dapat berteriak histeris saat mendengar satu suara aneh. Dialah yang paling kecil diantara kelompok remaja itu.
“Aku percaya dengan arwah.” Jawab Jenn. “Tapi mengenai ouija…”
“Hanya ada satu cara untuk membuktikannya.” Sahut Tony yang duduk di hadapan Jennifer. Pandangan matanya berapi-api.
“Oh, tidak dengan rumah hantu itu lagi!” ucap Jenn.
“Itu ide utamanya.” Balas Nick. “Kita akan masuk ke sana, melakukan ritual, dan mungkin kita bisa bicara dengan arwah yang menghuni rumah mengerikan itu. Kau tahu kenapa rumah itu ditinggalkan?”
“Kenapa?” tanya Ashley. “Karena ada han…”
“Bukan!” sahut Jenn cepat. “Mereka pergi karena ada masalah dengan keluarga mereka. Tidak ada hubungannya dengan hantu, Ash.”
“Tapi..tapi…” Ashley mulai melakukan aksi ketakutannya, meski saat itu hari masih siang dan penuh dengan orang.
“Ayolah!” ucap Tony sambil nyengir lebar. “Ini akan menjadi satu hal meanarik. Sebentar lagi kita akan ujian. Anggap saja acara malam nanti sebagai sebuah…, er…, inisiasi, atau ritual agar tes kita berjalan dengan lancar.”
“Dengan meminta bantuan pada hantu?” Jenn terdengar sedikit skeptis soal apa yang mereka bicarakan. Ia adalah tipe orang yang tidak begitu percaya dengan superstisi, terutama dengan papan ouija. Dengan malas, ia menjilati french-friesnya.
“Pokoknya kita harus lakukan malam nanti.” Ucap Nick sambil mengetuk permukaan meja. Ia mengangguk-angguk sambil nyengir, mencoba untuk meyakinkan ketiga temannya.
“Hal ini akan aman, ‘kan?” ucap Ashley. “Maksudku…, bagaimana jika kita malah membuat arwah atau hantu disana marah?”
“Mudah.” Sahut Tony sambil terkikik. “Kita tinggal minta maaf dan lari dari rumah itu.”
Benar-benar sebuah ide yang sudah kelewat akal. Jika mereka melakukan ritual di rumah mereka sendiri, sepertinya tidka begitu buruk. Namun mereka mau melakukannya di dalam rumah yang usdah kosong selama bertahun-tahun itu. Mengesampingkan soal hantu, mereka bisa saja jatuh ke dalam masalah karena menerobos masuk pekarangan orang lain tanpa ijin. Dan itu sudah merupakan sebuah pelanggaran.
Pukul sepuluh kurang lima belas menit malam itu, keempat remaja itu sudah berdiri di perempatan jalan yang terletak tak jauh dari rumah besar itu. Jenn terlihat malas seperti biasa. Di lain sisi, Ashley terlihat seperti tikus di ujung got yang nyaris terendam air. Wajahnya menunjukkan rasa takut yang berlebihan. Tony dan Nick terlihat begitu ‘normal’, dalan skala yang mereka buat sendiri. Sudah menjadi tugas keduanya untuk menjaga para gadis jika hal buruk terjadi.
“Aku bawa senter, dan korek api.” Ucap Tony. “Siapa tahu kita bisa menyalakan perapiannya.”
“Dan aku…” ucap Nick. Ia meraih sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah papan kayu dengan abjad alfabet di permukaannya. Papan ouija itu.
“Oh, aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan.” Ucap Ashley dengan tangan gemetar. Sedari tadi ia selalu bersembunyi di belakang punggung Jenn.
“Tenang, Ash!” ucap Nick. “Mungkin hantunya hantu ganteng yang akan tertarik padamu.”
“Diam, Nick!” sentak Ashley dengan wajah memerah seperti tomat. Kedua matanya bergerak tidak tenang.
“Apa yang kita tunggu?” tanya Tony. Ia bergerak di depan, memimpin ketiga kawannya.
Rumah besar itu terlihat begitu megah diantara rumah-rumah lainnya. Gaya eropa, dengan dua sayap bangunan yang sudah porak-poranda. Akibat dari cuaca dan angin, dan juga hujan, rumah itu terlihat begitu berantakan.
Gerbang besi di depan rumah sudah cukup berkarat dan sulit untuk dibuka. Tony hanya dapat menyelip di celah yang terbuka, diikuti oleh ketiga kawannya. Tony bergerak melewati halaman yang dipenuhi dengan sampah dan langsung mengarah ke pintu besar yang ada di depan. Ia memutar kenob pintunya, tapi…
“Tentu saja!” ucapnya sambil mengumpat. “Kita harus cari jalan lain.”
Keempat remaja itu bergerak mengeliling rumah besar itu. Cahaya bulan menciptakan bayangan yang mengerikan, saat mereka melewati sebuah pohon besar di halaman samping. Keempat remaja itu bergerak perlahan, mencoba untuk tidak tersandung pada barang-barang yang berserakan di sekitar rumah itu.
“Itu!” ucap Tony sambil menunjuk pada sebuah pintu yang mengarah ke ruang bawah tanah. Dengan satu tenaga ekstra, Tony dan Nick membuka pintu yang mengarah ke basement rumah besar itu. Tidak terkunci. Sepertinya mereka beruntung.
Cahaya senter Tony membelah kegelapan yang ada di dalam ruang bawah tanah. Ia memimpin ketiga temannya seperti tadi. Ia melihat sekeliling ruang bawah tanah, yang dipenuhi dengan barang-barang rongsokan yang sudah dipenuhi dengan debu dan sarang laba-laba.
“Lewat sini!” ucapnya, sambil bergerak ke arah tangga yang akan mengantarkan mereka ke lantai satu rumah besar itu.
Ada semacam kekaguman dari empat remaja itu saat mereka sudah sampai di dalam rumah. Meski terlihat tak terawat, namun kemegahan dari panel dinding dan segalanya membuat keempat remaja itu menggelngkan kepalanya mereka. Ada terlalu banyak barang seni kelas tinggi di rumah itu, yang dibiarkan berdebu begitu saja. Sarang laba-lana berada di setiap tempat.
“Kenapa belum ada pencuri yang membobol rumah ini?” gumam Nick saat melihat sebuah vas cantik di tangga.
“Mereka takut hantu.” Ucap Ashley. Ia masih terus bersembunyi di balakng punggung Jenn. wajahnya terlihat lebih cemas dari ketiga temannya.
“Oke. Kita sudah di dalam.” Ucap Tony. Saat itu mereka berada di tengah bangunan, menghadap pada satu tangga besar yangmengarah ke lantai dua.
“Kita lakukan disini saja.” Ucap Nick. Ia menari sebuah meja kecil ke tengah ruangan, dan meletakkan empat kursi di sisinya. Ia mengeluarkan beberapa batang lilin dari dalam tas yang ia bawa, dan mulai menyalakannya, meletakkan di beberapa tempat. Rumah besar itu terlihat sedikit lebih terang dengan adanya cahaya lilin. Namun bayangan yang bergoyang dari api lilin itu membuat seolah ada yang selelu bergerak di dalam rumah itu. Ashley bersumpah, bahwa ia sempat melihat sekelebatan bayangan hitam.
“Hanya bayangan lilin, Ash. Tenang!”
Keempat remaja itu mulai duduk diatas kursi, menghadap pada papan ouija yang sudah terbuka di depan mereka. Satu pointer diletakkan di tengah, dan keempat remaja itu mulai menempelkan ujung jari mereka pada pionter tersebut.
Tony dan Nick tersenyum lebar, merasa begitu bersemangat melakukan hal yang berbahaya ini. Di lain sisi, Jenn dan Ashley terlihat cemas.
“Tenang saja!” ucap Nick. “Jika hantu memang ada, mereka tembus pandang dan tidak padat. Mereka tidak bisa membunuh kita.”
“Jangan bercanda!” sentak Ashley. “Jangan membuat mereka marah.”
“Mereka, siapa?”
“Siapapun yang ada di tempat ini.” Jawab Ashley lirih.
Keempat remaja itu saling pandang, bingung dengan apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Belum ada satupun dari remaja itu yang pernah melakukan ritual ouija.
“Apakah harus ada mantra untuk memulai hal ini?” tanya Nick. Ia arahkan pandangan matanya pada Tony yang duduk di depannya.
“Entahlah.” Jawab Tony. “Kurasa kita harus mencobanya.”
Keempat remaja itu diam, berkonsentrasi pada pointer kecil yang ada di tengah papan ouija. Ashley bergetar, terlalu takut untuk melakukannya.
“Aku akan mulai.” Ucap Tony. Ia berdehem melonggarkan tenggorokannya.
“Halo?” ucapnya dengan suara keras. “Ada yang menunggu tempat ini?”
Keempat remaja itu masih menunggu. Namun pointer yang ada di tangan mereka sama sekali tak bergeming.
“Ulangi lagi!” bisik Nick.
“HALO!” Tony berseru. “JIKA ADA SESEORANG…”
“Oh!!!” Ashley nyaris berteriak saat pointer yang ada di tangannya mulai bergetar, dan sedikit bergeser dari posisinya semula. Ketiga remaja lainnya sadar akan perubahan itu.
“Berhasil!” ucap Nick. “Lakukan lagi!”
“Boleh kami berbicara?” tanya Tony, dengan nada bicara yang ia buat sejelas mungkin. Ia memberikan penekanan dalam setiap kata yang ia ucapkan.
Pointer itu tiba-tiba saja bergerak, mengarah pada kata ‘YES’. Untuk sesaat, keempat remaja itu terdima. Mereka saling pandang.
“Bukan salah satu dari kalian yang menggerakkannya, ‘kan?” tanya Tony sedikit ragu. Ia curiga ada yang curang dalam permainan itu.
“Ehm…, kau masih tinggal disini?” tanya Tony lagi. Pointer itu bergerak memutari papan untuk sesaat, dan kembali pada kata ‘YES’.
“Ini nyata.” Bisik Nick. “Ada sesuatu…”
“Siapa namamu?” tanya Tony lagi. Pointer kayu itu mulai bergerak pada huruf-huruf yang ada di papan itu. Membentuk sebuah nama.
“Mary.” Gumam Nick. Ia memandang lagi pada Tony.
“Kami ingin tahu…, bagaimana kau meninggal?”
Tony seketika mendapatkan tatapan tajam dari ketiga temannya. Ia sadar kemudian, bahwa pertanyaan itu terlalu ekstrim.
“Maafkan aku!” ucapnya. “Boleh kami tahu, tentang siapa dirimu sebenarnya, Mary?”
Pointer itu bergerak lagi. kali ini menunjukkan kata ‘NO’.
“Oke.” Ucap Tony. Ia menghela nafasnya, dan siap untuk melakukan percakapan lagi.
“Kau sendiri disini, atau ada yang lain?”
Keempat remaja itu menunggu selama beberapa detik. Namun pointer itu sama sekali tidak bergerak. Satu menit, menjadi lima menit, dan begitulah.
“Hanya itu? Payah!” keluh Nick. Keempat remaja itu melepaskan tangan mereka dari pointer. Namun tiba-tiba saja pointer itu bergerak dengan sendirinya. Membuat sebuah kata ‘PERGI’.
Keempat remaja itu saling pandang. Apakah hantu di rumah itu tidak ingin diganggu? Dan apa yang akan terjadi jika…
“AHHH!!!” Ashley berteriak nyaring saat papan ouija itu tiba-tiba saja terlempar ke udara. Keempat remaja itu berdiri seketika dari kursi mereka. Dan disaat bersamaan, ada angin kencang bertiup, entah dari mana. Cahaya api lilin kembali bergoyang, dan keadaan semakin mencekam.
“Sudah cukup!” ucap Jennifer. “Kita harus pergi dari tempat ini.”
Tidak ada yang menolak rencana itu. Ya. Mereka sudah mendapatkan apa yang mereka mau, dan mereka sadari bahwa memang ada arwah di dalam rumah tua itu. Namun sesaat ketika mereka akan bergerak, cahaya lilin-lilin yang mereka pasang padam seketika. Membuat mereka berdiri di dalam kegelapan.
“Oh, tidak!!” Ashley berteriak lagi. Dia terdengar nyaris menangis.
“Tenang!” ucap Tony. Ia mengeluarkan senternya, dan menyalakannya. Untuk sesaat, cahaya senter dapat menerangi wajah keempat remaja. Namun detik berikutnya, senter itu mati mendadak.
“Apa yang…”
“Apa itu?” tanya Jenn saat ia seperti mendengar suara langkah kaki di dalam rumah itu. Padahal tidak ada yang bergerak. Langkah kaki itu semakin dekat, dan…
“AARGHHHH!!!”
Nick berteriak keras, melengking, dan terdengar suara bergedebuk tak jauh dari tempat remaja itu berdiri.
“Nick!” teriak Tony. Ia memukul-mukul senternya, dan cahayanya hidup lagi. Dan mereka menemukan Nick tergeletak di lantai. Namun ada yang aneh dengan tubuh Nick.
“Oh, tidak!” teriak Ashley histeris saat melihat kepala Nick sudah berputar 180 derajat, dengan darah mengucur keluar dari mulut dan hidungnya. Nick tewas.
“Kita harus pergi, cepat!”
Ketiga remaja itu segera berlari kembali ke ruang bawah tanah. Namun ketika mereka tiba di lantai, Ashley berteriak. Tony mengarahkan senternya pada Ashley, dan ia melihat ada sebuah tangan hitam kurus dengan kulit keriput memegangi pergelangan kaki Ashley. Ashley meronta, namun kejadiannya begitu cepat, bahkan Tony dan Jenn tidak tahu harus melakukan apa. Ashley diseret naik kembali ke arah lantai satu. Suara jeritannya menggema di dalam rumah besar itu, lalu terdima.
“Kita keluar, Jenn. cepat!”
“Bagaimana dengan Ash, dan Nick, dan…”
“Tidak ada waktu!” ucap Tony seraya menarik lengan Jenn mengarah ke tangga yang mengarah pada halaman luar.
Mereka berhasil keluar dari basement. Namun ketika mereka bergerak melewati halaman samping, keduanya mendengar suara dentingan logam yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Jenn?”
Tony berjingkat saat cahaya senternya menemukan tubuh Jennifer sudah tergeletak di tanah dengan garpu taman menembus perutnya. Jennifer juga mati.
“Astaga!”
Tony berlari sekuat tenaganya, mengarah ke gerbang depan. Ketika ia akan menyelip keluar, ia merasakan ada cengekraman di lengannya, yang mencengkeram begitu kuat, dan rasa panas menjalar di sekujur tubuhnya.
“TIDAK!!!” Tubuh Tony terbang sekitar dua meter ke udara dan terjerembab di kaki tangga depan rumah tua itu. Tony mencoba untuk berdiri lagi, namun ia sadari kemudian bahwa sudah ada sosok besar hitam seperti asap berdiri tepat di depannya. Wajah dari sosok itu turun ke arah wajah Tony, dan Tony melihat kengerian yang sebenarnya. Sebuah wajah tanpa bola mata dan mulut tanpa bibir berada tepat di hadapannya. Sebelum Tony sempat berteriak, jemari dari sosok itu sudah terlebih dahulu menusuk kedua bola matanya. Tony, terkulai lemah, dan menjadi korban terakhir malam petaka itu.
Rumah besar itu masih berdiri dalam kemegahannya yang tertutup oleh misteri. Apa sebenarnya yang membuat rumah itu ditinggalkan? Dan apa sebenarnya yang hidup di dalam rumah itu? Misteri dari rumah besar itu belum terpecahkan. Dan mungkin, tidak akan terpecahkan. Keempat remaja itu menjadi korban dari apa yang hidup di dalam sana. Yang mungkin, menunggu korban selanjutnya.

****

KALUNG ZAMRUD PETAKA



Amber tidak bisa tidur lagi malam itu. Untuk yang kesekian kali, ia selalu terbangun setiap pukul dua dini hari dikarenakan sebuah suara aneh yang muncul di dalam kamarnya. Sebuah suara berkelotak seperti benda yang bergerak di lantai, namun hingga detik itu Amber tidak mampu menemukan sumber suara misterius itu.
Amber bangkit ke posisi duduk. Di dalam kamar yang gelap, ia mencoba untuk memegang kenyataan bahwa apa yang ia dengar mungkin hanyalah imajinasinya. Ia memang sering mimpi aneh selama beberapa minggu terakhir. Semuanya terjadi karena ia terlalu lelah. Ia bekerja lembur sejak dua minggu yang lalu. Dan ia pergi tidur dengan begitu banyak masalah di dalam kepalanya.
“Hanya ada di dalam kepalamu, Amber.” Ucap Amber dalam hati, mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa suara berkelotak itu mungkin bukan suara yang nyata.
Namun untuk memastikannya, Amber bangkit dari tempat tidur dan menyalakan lampu kamar. Cahaya temaram seketika berpendar dari lampu meja di samping tempat tidur, menyiram ke seluruh isi kamar apartemennya. Yang terlihat hanyalah beberapa barang biasa di sudut kamar, ada jaekt di gantungan baju, dan sepatu-sepatunya di sisi ruangan yang lain. Amber masih mencoba menebak-nebak apa yang membuat suara berkelotak setiap malam itu.
Ia mencoba menyengggol beberapa barang yang tergeletak di lantai. Namun tidak ada satupun benda yang menciptakan suara yang sama dengan apa yang ia dengar. Suara berkelotak, seolah ada sesuatu yang hidup yang ingin melompat keluar dari sarangnya. Mustahil, pikir Amber. Ia pada akhirnya mencoba untul melupakan soal suara itu dan kembali ke tempat tidur. Ia matikan lampu, dan untuk yang kedua kalinya, ia kembali tidur.
Amber mulai menyadari suara berkelotak itu sejak seminggu yang lalu. Di suatu malam, ia mendapatkan mimpi yang begitu buruk yang membuatnya terbangun dengan kaos basah oleh keringat dingin. Di saat yang bersamaan, ia mendengar suara berkelotak itu. Suaranya terdengar jelas saat Amber masih menutup mata. Namun ketika ia mencoba untuk bangun, suara itu berhenti dengan seketika. Seolah benda yang membuat suara itu memiliki mata, dan sadar akan kehadiran Amber.
Amber mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya. Ia beekrja seperti biasa di kantor, dan pulang sekitar pukul lima sore. Namun kecemasan mengenai suara itu kembali muncul di dadanya saat ia sedang mengarah ke kamar, ia mendengar suara berkelotak itu lagi dengan jelas. Ia yakin seratus persen bahwa suara itu berasal dari dalam kamarnya. Namun ketika ia periksa lagi, tidak ada satupun benda yang bisa menggelinding atau semacamnya.
Amber sudah mencoba untuk menceritakan hal ini pada salah satu temannya. Namun ucapan dari mereka benar-benar tidak membantu. Mereka mengucapkan sesuatu mengenai hal-hal spiritual yang kenyataannya tidak Amber percayai. Amber bukanlah penggila horor. Namun tidak dapat ia sangkal bahwa suara berkelotak itu mungkin memang ada kaitannya dengan sesuatu yang supranatural.
“Kau tidak menyimpan benda keramat di dalam kamarmu, ‘kan?” tanya salah seroang temanya saat makan siang. Amber menggeleng.
“Aku tidak ingat aku punya benda seperti itu.”
“Ada banyak hal yang bisa menciptakan suara seperti itu. Jika itu benda keramat, mungkin ada roh di dalamnya yang mencoba untuk keluar. Kau yakin tidak punya benda seperti itu? Bentuknya bisa berbagai macam. Biasanya topeng etnik dari beberapa negara,…”
“Tidak ada.” Jawab Amber.
Ketika mendengar suara berkelotak lagi, pikiran Amber langsung terarah pada ucapan temannya. Apakah ia mempunya benda aneh seperti apa yang disebutkan temannya? Amber mencoba mengingat-ingat. Ia memang pernah membeli sebuah patung di pameran dengan ahrga yang murah. Sebuah patung seni yang terlihat aneh. Namun patung itu saat ini berada di rumahnya di Cherwood, dan tidak bersamanya di kamar apartemen itu.
Amber bangkit dari tempat tidurnya suatu malam dengan tergesa saat ia mendengar suara berkelotak itu lagi. karena kurang berhati-hati saat bergerak di dalam kegelapan, ia menabrak sebuah laci yang terletak di sebelah tempat tidurnya. Amber mengumpat pelan seraya menarik saklar lampu. Dan begitu cahaya menyiram ruangan itu, Amber menyadari bahwa kejadian kecil tadi telah membuat tumpukan buku dan majalah diatas laci berserakan di lantai. Dengan kesal, karena masih mengantuk, Jane memunguti kembali ceceran kertas dan buku itu. Hingga akhirnya ia menemukan selembar brosur lama yang terjepit diantara halaman buku.
Sebuah brosur perjalanan wisata ke La Luna, yang ia lakukan sebulan yang lalu dengan saudaranya. Ia pergi untuk sekedar refreshing otaknya, pergi ke gunung dan kota tua Morgan, dan…
Kedua mata Amber membelalak seketika. Mengingat soal kota Morgan, Amber ingat bahwa ia punya satu benda yang ia dapatkan saat liburan sebulan yang lalu itu. Ia bahkan tidak ingat ia masih menyimpan benda itu.
Amber bergerak cepat ke arah lemari pakaiannya, dan menyingkapi tumpukan pakaian yang ada di dalamnya. Hingga ia menemukan sebuah kalung yang terbuat dari emas putih dan memiliki liontin batu ebrwarna hijau gelap. Mungkin zamrud. Apakah ia membeli kalung itu?
Tidak. Amber tidak mempunyai cukup banyak uang untuk dapat membeli barang dari emas putih dan batu zamrud seperti itu. Harganya pasti jutaan. Ia mendapatkannya sudah berada di dalam saku mantel yang ia pakai. Ia tidak tahu siapa yang memasukkannya, dan abru sadar akan benda itu ketika ia sudah sampai di rumah. Benda yang bernilai harga tinggi seperti itu membuat Amber sedikit cemas pada awalnya. Bagaimana jika itu adalah barang curian? Amber berniat untuk menyerahkannya pada polisi, namun ia lupa dengan benda itu. Hingga detik ini, kalung itu melingkar indah di permukaan tangannya.
Amber seketika teringat dengan ucapan temannya mengenai benda keramat. Mungkinkan zamrud itu termasuk benda keramat? Yang Amber alami hanyalah ganggaun suara berkelotak. Dan ia belum mendapatkan ancaman yang bisa merenggut nyawanya. Amber rasa, mungkin ia harus berhati-hati dengan benda itu. Ia meletakkan di atas meja sisi tempat tidur, sebelum kembali ke atas tempat tidurnya.
Pagi menjelang, dan Amber harus melakukan rutinitas hariannya seperti biasa. Ketika akan mengambil tas yang harus ia bawa ke kantor, ia melewati sisi tmepat tidurnya dan melihat kalung itu masih tergeletak disana. Amber termangu untuk sesaat. Benda itu, tak lain adalah emas dan zamrud. Apakah akan terlihat bagus dengan blazer yang ia pakai?
Amber bukanlah tipe orang yang suka pamer. Namun entah kenapa hari itu ia memiliki keinginan yang besar untuk menunjukkan kalung zamrud itu pada setiap temannya di kantor. Ia memakainya di dada. Zamrud itu berwarna senada dengan kedua matanya.
“Darimana kau mendapatkannya?” tanya salah seorang teman Amber saat melihat kalung itu. Amber seketika merasa bangga.
“Oh, hadiah dari seseorang.” Jawab Amber berbohong. “Seseorang yang aku cintai saat di sma.”
“Kau masih pergi dengannya?”
“Kadang.” Jawab Amber, lagi-lagi berbohong.
Entah karena pengaruh kalung itu atau apa. Yang jelas, selama ia memakai kalung itu ia merasa begitu beruntung. Pekerjaannya terselesaikan dengan cepat dan ia mendapat pujian dari bosnya. Belum lagi ucapan selama dari beberapa karyawan saat ia tiba-tiba saha dipromosikan menjadi kepala bagian. Sungguh sebuah titik balik yang tidak pernah Amber bayangkan, bahkan dalam impian terliarnya.
Amber mulai terbiasa memakai kalung itu. Dan lebih bagusnya lagi, suara berkelotak itu menghilang semenjak ia mengeluarkan kalung itu dari lemari pakaiannya. Apakah mungkin ada hubungannya dengan kalung itu? Amber sudah menceritakan soal hal-hal bagus yang terjadi padanya semenjak ia memakai kalung itu pada temannya. Namun tidak seperti yang ia kira, temannya itu malah menatap tajam adanya dengan raut penuh kekhawatiran.
“Aku akan berhati-hati jika jadi kau.” Ucap Teman Amber. “Sesuatu yang berubah menjadi bagus secara tiba-tiba, bukanlah pertanda yang baik. Kau tiba-tba beruntung dalam setiap hal yang kau lakukan, karena kalung itu, ‘kan? Jika kau terus memakai kalung itu, kau akan mendapatkan hal buruk pada akhirnya.”
Bukan sebuah perbincangan yang Amber harapkan. Ia mulai tidak suka dengan sikap temannya itu. Ia mendapatkan kesan bahwa temannya itu mungkin hanya iri karena keberhasilannya selama ini. Mungkin dari kalung itu? Tapi Amber, dengan naif-nya, masih percaya bahwa semua hal bagus yang ia dapatkan hanya karena kemampuannya.
Selama sebulan penuh, amber selalu pergi dengan kalung itu. Bahkan ia memakai kalung itu di rumah. Saat memasak, membersikah rumah, mandi, bahkan tidur dengan kalung itu. Amber merasa lebih aman jika ia terus memakai kalung itu di lehernya. Hingga suatu malam, Amber terbangun lagi pukul dua dini hari saat ia mendengar suara berkelotak itu lagi.
Amber bangkit dari posisi tidurnya, dan seketika menyalakan lampu ruangan. Tidak. Ia hanya bermimpi soal suara berkelotak itu. Suara itu tidak terdengar lagi. namun Amber mulai meraskan ada yang tidak beres dengan tubuhnya, yang tiba-tiba saja menjadi panas seperti demam.
“Ouch!” Amber berjingkat saat ia secara tidak sengaja menyentuh permukaan zamrud yang ada di dadanya. Zamrud itu menjadi panas dan tidak dapatia sentuh. Kenapa? Apa yang terjadi?
Jantung Amber berdekat dengan cepat, penuh dengan ketakutan saat rasa panas dari zamrud itu mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Bukan hanya itu saja. Rantai emas putih itu tiba-tiba saja bererak dengan sendirinya, dan mencekik leher Amber. Amber mendendang-nendang siata tempat tidurnya, dengan tangan menggapai-gapai ke arah lehernya berusaha untuk melepaskan kalung itu. Namun sudah terlambat.
Lampu di kamar berkedip, dan Amber dapat melihat satu sosok tinggi besar muncul seperti asap tepat di depan kedua matanya. Satu sosok besar, dengan mata merah yang memandang ke arahnya. Amber berusaha untuk berteriak, meminta tolong, namun ikatan dari emas putih itu terlalu kuat. Zamrudnya menjadi semakin panas, dan membekas di dadanya. Amber terjatuh dari tempat tidur, menghantam tepian meja, dan bergulat di lantai dengan kalung itu.
“Benda terkutuk…, singkirkan kalung itu!” Amber mendnegar suara-suara di dalam kepalanya. Suara-suara yang tidak ia kenal, yang asing, dan meminta dirinya untuk menyingkirkan benda terkutuk itu.
“Benda keramat, Amber…” Amber mendengar suara temannya lagi,yang hingga beberapa hari yang lalu masih memperingatkannya untuk membuang benda itu jauh-jauh. Namun Amber tidak mendengarkan usulan temannya itu. Dan kini ia menerima konsekuensi dari apa yang ia lakukan. Segala hal bagus yang terjadi di kantor, segala hal yang berkaitan dengan promosi jabatan, kini tidak ada gunanya. Amber mencakar lehernya sendiri saat mencoba untuk membebaskan diri, namun…
“Tidak!!!” Kedua mata Amber melotot, saat kekuatan dari cekikan rantai putih itu membawanya ke alam kematian. Tubuhnya terkulai lemah, dan ia telah menghilang dari dunia ini.

**

Jenazah Amber Morris ditemukan tiga hari kemudian dengan keadaan membusuk di dalam kamar apartemennya. Namun dari sekian banyak benda yang dapat polisi selidiki, ada satu benda yang menghilang. Yang tidak akan pernah disadari oleh polisi.
Kalung Zamrud itu. Kalung itu telah menghilang dari leher Amber, entah kemana perginya. Kutukan dari kalung itu telah merenggut puluhan nyawa sejak dua ratus tahun terakhir. Dan setiap kali memakan korban, kalung itu selalu berpindah tangan.
Jauh di selatan, berjarak ratusan kilometer dari kamar apartemen Amber, seorang gadis duduk diam di dalam kereta bawah tanah, santai, sambil mendengarkan musik dari ponselnya. Salah satu tangannya yang masuk ke dalam saku jaket tiba-tiba saja ia tarik keluar, dan kalung zamrud hijau itu sudah berada di dalam genggamannya. Wajahnya menunjukkan sebuah keterkejutan sama seperti Amber. Namun detik berikutnya ada senyum lebar di wajahnya. Emas putih…, zamrud…, kalung mahal. Apa yang akan terjadi jika ia bisa memakainya dan memarmerkannya pada teman-teman di sekolahnya?

****

Thursday, December 8, 2016

SILENT NIGHT



Kepala Jane dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan yang selama seminggu terakhir terus berputar di dalam kepalanya? Apa sebenarnya yang terjadi dengan penghuni kamar apartemen itu? Jane memandang ke arah layar laptopnya. Disana terdapat begitu banyak informasi mengenai kota yang sedang ia kunjungi ini, Cherwood. Sebuah kota tua, yang katanya penuh dengan sejarah lama dan misteri. Kematian rutin di sebuah kamar apartemen kecil yang terletak di tepian kota pun menjadi salah satu berita di situs yang tengan ia buka. Apartemen Wagner, apartemen yang sudah terkenal karena kematian aneh setiap tahunnya di salah satu kamar. Orang-orang di kota itu menyebut apartemen Wagner sebagai ‘Apartemen Berdarah.’.
Jane adalah seorang jurnalis dari Aulkbifestto, yang memiliki spesialisasi dalam bidang misteri. Hanya kali ini ia sedikit tertarik dengan hal-hal berbau supranatural. Mengenai kematian rutin di apartemen Wagner, ia sudah menemukan beberapa poin penting dari hasil investigasinya.
Apartemen Wagner memiliki enam lantai. Kamar yang bermasalah terdapat di lantai teratas, kamar nomor 602. Sebuah kamar yang terlihat biasa-biasa saja, namun menyimpan satu misteri yang hingga detik ini belum juga terpecahkan. Uniknya, Jane kini tinggal di dalam kamar apartemen itu. Ia ingin merasakan seperti apa keadaan aneh ayng sering disebutkan orang-orang.
Ia mendengar dari berbagai macam sumber bahwa ada hal-hal aneh yang sering terjadi di kamar 602. Seperti jeritan, tangis, dan suara-suara ribut yang hampir terjadi setiap malam kala kamar itu masih ditempati.
“Suara jeritan?” tanya Jane beberapa hari yang lalu pada salah satu penghuni apartemen yang sama.
“Ya.” Jawab wanita tua itu. “Aku mendengar jeritan, seolah seseorang tengah menderita atau karena alsan lain. Aku masih ingat dengan Ny. Willington. Dia tinggal di kamar itu tahun lalu. Ia sering bercerita padaku bahwa ia sering mengalami mimpi buruk semenjak ia tinggal di kamar itu. Mungkin itu alasannya ia sering berteriak. Lalu masih ada suara-suara lain yang membuat bulu kudukku berdiri. Setiap jumat malam, selalu ada suara-suara aneh yang terjadi.”
“Bisa Anda jelaskan soal hal itu?”
“Seperti seseorang yang sedang marah dan melempar-lempar barang. Ya. Suara itu terdengar jelas. Aku yang tinggal di lantai dua mendengarnya dengan jelas. Aku yakin penghuni kamar lain memiliki kesaksian yang sama dengan apa yang aku ceritakan saat ini.”
Dan memang benar. Jane sudah melakukan cross-check terhadap penghuni kamar apartemen lainnya, dan kesaksian mereka sama persis. Mengenai jeritan, teriakan, dan suara-suara itu. Poltergeist. Kata itu muncul seketika di dalam pikiran Jane. Namun Jane masih mencoba untuk mencari alasan yang masuk akal soal jeritan dan suara barang-barang itu.
Jane tidak hanya mewawancarai penghuni apartemen Wagner. Ia juga pergi ke beberapa tempat di kota itu, menemui beberapa orang, dan menanyakan soal tragedi yang terjadi di apartemen Wagner.
“Sepertinya apa yang akan kukatakan sudah sering dimuat di ninternet.” Ucap salah seorang pria paruh baya di sebuah kedai saat Jane memutuskan untuk mampir.
“Kau tinggal di kamar itu? Kau gila, Nona.” Lanjut pria itu. “Aku tidak ingin ada hal buruk terjadi padamu.”
“Apa yang mungkin terjadi?” tanya Jane.
“Kau bisa gila.” Jawab pria itu dengan suara lirih, berbisik ke arah Jane. Jane dengan cepat mencatat apa yang ia dengar pada notes kecil yang ada di tangannya.
“Tragedi itu…” lanjut Jane. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Seperti kataku.” Jawab pria itu. “Setiap orang yang pernah tinggal di kamar 602 tidak pernah bertahan satu tahun tinggal di dalam apartemen itu. Pada akhirnya, mereka menjadi gila dan harus diangkut ke rumah sakit. Namun dalam hal lain, mereka ditemukan tewas begitu saja di kamar itu tanpa ada alasan yang jelas. Polisi sudah mencoba untuk menyegel kamar itu. Hal aneh tidak terjadi lagi selama kamar itu tidak dibuka. Namun dua tahun yang lalu, pemilik apartemen memutuskan untuk membuka kembali kamar itu saat seorang pasangan memutuskan untuk pindah kesana, dan satu-satunya kamar yang tersisa hanyalah kamar 602 itu.”
“Lalu apa yang terjadi?”
“Mereka ditemukan tewas di pagi hari. Semua orang ingat betul dengan kejadian itu. Natal dua tahun yang lalu.”
“Pada hari Natal?”
“Ya.”
Kesaksian dari pria paruh baya itu ternyata bukan hanya dongeng semata. Beberapa orang yang Jane temui berikutnya menjelaskan hal yang sama dengan apa yang sudah dijelaskan oleh pria tua itu.
“Kutukan Natal, kurasa.” Ucap salah seorang pemuda yang kebetulan Jane temui. “Setiap orang yang pernah tinggal di kamar itu selalu ditemukan tewas di tanggal 25, tepat saat hari Natal. Dan berdasarkan apa yang berhasil aku dengar, selalu terjadi keributan dan teriakan-teriakan histeris di malam sebelumnya.”
“Apa tidak pernah ada yang mencoba untuk melihat apa yang terjadi?” tanya Jane. “Mengenai jeritan itu. Tidak adakah yang berani masuk ke kamar itu ketika jeritan itu terjadi?”
“Kurasa tidak.” Jawab pemuda itu. “Tom, si penjaga apartemen, aku kenal dengannya. Ia mengatakan bahwa suara jeritan itu selalu menghilang setiap kali ada orang yang mendekat untuk memeriksa keadaan. Seolah sang pemilik hanya mengalami mimpu buruk atau semacamnya.”
Apa yang dapat Jane ketahui hingga detik ini? Setiap penghuni kamar 602 selalu meninggal di tanggal 25 Desember. Tidak pernah ada yang bertahan lebih dari satu tahun. Apakah ada kutukan di dalam kamar itu? Jane menocba untuk mencari satu penjelasan yang rasioanl akan hal itu. Akan tetapi, setiap kali Jane mencoba untuk mencari jawaban, ia selalu dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan aneh itu, yang semakin memeprkuat dugaan bahwa hal kasat mata adalah hal yang dapat menjelaskan misterinya.
Jane, dengan usaha terakhir, berhasil menemui inspektur dari kepolisian Cherwood. Hari itu langit terlihat gelap dan salju mulai turun. Tanggal 23 Desember. Dua hari sebelum hari Natal. Jika kutukan kamar itu benar, berarti Jane hanya memiliki waktu kurang dari dua hari untuk menemukan jawabannya.
“Bagaimana cara mereka meninggal?” tanya Jane.
“Kau menanyakan hal yang sama dari jurnalis lain selama beberapa tahun terakhir.” Jawab pria tinggi kurus yang menjadi pria berwenang di kepolisian Cherwood.
“Ada luka atau semacamnya?”
“Kau akan terkejut.” Jawab pria itu. “Sudah ada laporan kematian di kamar 602 selama sepuluh tahun terakhir. Dan semua korban meninggal terkena serangan jantung.”
“Semuanya?” tanya Jane.
“Semuanya.” Jawab inspektur itu. “Seolah ada yang benar-benar membuat mereka ketakutan. Wajah mereka pucat, dengan kedua mata membelalak, seolah baru melihat hantu atau semacamnya. Kini kau tahu dengan istilah ‘mati ketakutan’ itu.”
Jane mencoba untuk menelan semua penjelasan aneh dan tidak rasional itu. Kenapa selalu ada kematian setiap tanggal 25 Desember? Apakah memang ada kaitannya dengan sebuah kutukan yang ada di kamar 602? Benarkah kamar itu memang terkutuk?
Jane pada akhirnya harus dihadapkan dengan sebuah keputusan yang sebenarnya cukup gila. Ia memutuskan untuk tinggal di dalam kamar 602 itu, sendirian, tanpa tahu apa yang akan terjadi.
Sekilas pandang, tidak ada yang aneh dengan kamar apartemen itu. Sebuah ruangan yang tidak terlalu luas, dengan satu tempat tidur, sofa di ujung ruangan, sebuah tv kecil, dapur kecil, dan kamar mandi. Terlihat terlalu sederhana dan sepertinya tidak akan senyaman kamar apartemen miliknya yang ada di rumah. Tapi Jane ingin membuktikan apakah hal aneh akan terjadi pada dirinya. Apakah memang benar ada kekuatan spiritual yang menghuni kamar itu? Atau kematian-kematian misterius itu hanyalah sebuah skandal yang ditutupi?
Tanggal 23 Desember, pukul 11 malam, satu hari sebelum malam Natal. Jane duduk di atas tempat tidur sambil menonton sebuah acara tv monoton di kamar 602 itu. Sejauh apa yang dapat ia rasakan, tidak ada yang aneh dengan suasana kamar itu. Cahaya temaram bersinar dari salah satu lampu meja di sisi tempat tidur. Kamar itu memang terlihat remang, namun tidak ebgitu menyeramkan bagi Jane. Kecuali saat ia teringat bahwa di kamar itulah orang-orang meninggal. Mungkin arwah mereka masih bertahan di dalam kamar itu?
Jarum jam bergerak pelan, namun pasti. Pukul satu dinihari. Jane pada akhirnya memutuskan untuk tidur. Keadaan kamar yang gelap membuatnya cepat sekali terjatuh dalam alam mimpi. Tidak ada yang aneh. Hingga akhirnya ia dikejutkan oleh sebuah suara benda jatuh dan pecah di dalam ruangan itu.
Jane seketika meraih saklar lampu meja. Cahaya kembali menerangi kamar 602 itu. Ia melihat ke sekelilingnya. Apakah ada yang berubah? Jane kemudian menyadari bahwa mangkuk yang ia pakai untuk makan tadi sudah hancur di lantai. Terjatuh dari meja. Hal yang normal?
Jane tidak dapat memastikannya. Ia tidak ingat apakah ia sudah menaruh mangkuk tadi dengan bnar diatas meja. Mungkin terjatuh karena sesuatu? Jane menggeleng, lalu kembali membaringkan tubuhnya. Dan sekali lagi, kamarnya berada dalam gelap.
Jane merasa bahwa dirinya secara perlahan tertarik ke dalam alam mimpi. Saat telinganya mendengar sebuah suara aneh bergerak di kaki tempat tidurnya. Seperti suara sandal yang bergesekan dengan permukaan lantai. Jane ingin membuka kedua matanya, namun alam mimpi masih menariknya dengan begitu kuat. Ia setengah sadar setengah mimpi. Namun sepertinya ia dapat mendengar dengan jelas suara di kaki tempat tidurnya itu. Bukan berasal dari mimpinya.
Kedua mata Jane seketika terbuka, dan Jane sadari bahwa nafasnya tersengal. Ia seperti baru saja berlari. Keringan membasahi dahi dan lehernya. Hal yang aneh, mengingat malam itu cuaca begitu dingin. Jane seketika mengarahkan pandangannya pada kaki tempat tidurnya. Tidak ada apapun di tempat itu kecuali tv yang sudah padam sejak beberapa jam yang lalu.
Jane melirik ke arah jam yang terletak di meja sisi tempat tidur. Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Ia baru tidur selama tiga puluh menit, namun rasanya sudah cukup lama. Entah kenapa keinginannya untuk tidur hilang seketika.
Jane mencoba untuk menutup kedua matanya lagi. Namun lagi-lagi, suara gesekan di permukaan lantai itu terdengar lagi. Jane dengan cpat membuka kedua matanya, berharap menemukan sesuatu di kaki tempat tidurnya. Tapi…, tidak. Masih tidak ada apapun disana.
Jane nyaris tertidur lagi saat tiba-tiba sajaia dikagetkan dengan sebuah suara air yang datangnya dari arah shower kamar mandi. Hal yang tentu saja aneh, mengingat Jane hanya tinggal sendirian di dalam kamar itu. Jane, dengan perasaan ragu, bergerak ke arah kamar mandi kecil yang terletak di sudut kamar itu. Ketika ia menghidupkan lampunya…
“TIDAK!!”
Jane berteriak seketika saat kedua matanya melihat genangan kental berwarna merah memenuhi lantai kamar mandinya. Dan siraman cairan merah itu berasal dari shower. Jane tanpa sadar bergerak mundur, dan tersandung pada kaku tempat tidur. Ia terjatuh, tergeletak di lantai selama beberapa detik, hingga akhirnya ia kembali bangkit berdiri lagi. Ia arahkan kedua matanya pada kamar mandi, tapi…
Hilang.
Kedua mata Jane membelalak seketika. Apa yang baru saja ia lihat? Sedetik yang lalu ada darah yang menggenangi kamar mandinya. Namun detik berikutnya darah itu hilang. Dan yang ada hanyalah semprotan air dari shower, yang entah kenapa bisa menyala dengan sendirinya.
Jane bergidik ketika ia membayangkan kembali apa yang ia lihat. Mungkinkah ia berhalusinasi? Mungkin karena ia terlalu lama tenggelam dalam artikel-artikel yang ia tulis mengenai kematian aneh di kamar itu? Tapi ia tidak dapat mengelak dengan kenyataan yang hadir di depan kedua matanya. Darah dari shower…, lalu suara sandal di kaki tempat tidurnya…
“Apa yang terjadi?” gumam Jane. Jane tidak dapat memejamkan lagi kedua matanya hingga pagi menjelang.
Selama seharian Jane memutsukan untuk tidak keluar dari kamar 206. Ia sibuk meneliti kembali catatatn-catatan yang ia buat mengenai investigasinya atas akamr yang tengah ia tempat itu. Segala sesuatu yang ia dengar dari orang-orang, segala hal yang diceritakan seolah seperti sebuah dongeng. Namun ada bukit jelas yang mengatakan bahwa apa yang terjadi bukanlah dongeng semata. Korban sudah berjatuhan. Dan kutukan dari kamar 206 itu sepertinya memang benar-benar nyata. Jika saja Jane tidak mengalami hal aneh semalam, mungkin ia akan terus berpikir bahwa kematian di kamar 206 hanyalah suatu skandal yang ditutupi.
Salju turun dengan deras hari itu. Tanggal 24 Desember, malam natal. Seharusnya menjadi suatu hari yang amat ia nantikan dalam tahun-tahun biasanya. Tapi ia kini terkurung di kamar 206, dengan segala pertanyaan mengenai keanehan kamar itu berputar di dalam kepalanya.
Jarum jam menunjukkan pukudl dua siang saat Jane melempar buku catatannya ke meja. Ia hembuskan satu nafas kesal sambil mengucap kepalanya sendiri. Ia masih tidak mengerti dengan apa yang ia hadapi. Pagi tadi ia sudah menemui pemilik apartemen dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan soal kematian di kamar 206. Hal yang nyata. Yang lagi-lagi membuat Jane ragu dengan teori skandal yang ada di otaknya. Jadi, kutukan itu benar ada?
Jane sudah mencoba untuk menyisir kamar yang ia tempati. Mencari, sesuatu yang tidak ia ketahui. Apa yang menyebabkan suara sandal semalam? Apa yang membuat mangkuk diatas meja bisa terjatuh dan pecah berhamburan? Dan apa yang membuat air keran shower bisa menyala dengan sendirinya? Selain itu, darah yang ia lihat semalam benar-benar nyata. Ia tidak dapat menyingkir dari kenyataan itu.
Jane tidak dapat menemukan satu hal pun yang rasional mengenai kamar itu hingga malam akhirnya menjelang. Langit masing begitu gelap ketika Jane menyalakan lampu ruang apartement itu. Bayang-bayang dari furnitur seolah bergerak mengejek pikirannya yang terus memikirkan soal kutukan kamar itu. Jane merasa ada sebuah ganjalan di dalam dirinya, di dalam dadanya, yang rasanya begitu menyesakkan. Malam itu adalah malam Natal. Ia ingatkan dirinya lagi akan hal itu. Tetapi…, entah kenapa ia merasa begitu merana dan kesepian.
Jarum jam baru menunjukkan pukul sepuluh malam saat Jane memutuskan untuk naik ke tempat tidur dan mencoba untuk memejamkan matanya. Kamarnya sudah dalam keadaan gelap, dan dari jendela Jane dapat melihat kemerlap lampu-lampu natal di tepi jalan. Salju sudah tidak turun lagi kala itu. Suasananya begitu tenang. Dan untuk yang pertama kali sejak pagi tadi, Jane merasa begitu damai.
Jane tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur saat ia kembali dikagetkan oleh suara sandal yang bergesekan dengan lantai kamar itu. Seketika Jane membuka kedua matanya. Yang ada di hadapannya adalah langit-langit kamar 602 yang terlihat sudah tua dengan cat mengelupas. Ia arahkan kedua matanya pada kaki tempat tidur, namun ia tidak melihat apapun di sana selain sebuah tv yang tidak menyala.
Jane berjingkat, saat sebuah gelas tiba-tiba jatuh dari rak yang ada di dapur. Jane meremas selimutnya. Keringat dingin tidak ia sadari telah membasahi baju yang ia kenakan. Kedua matanya bergerak jalang ke setiap sudut, mencoba untuk mencari sebuah penjelasan soal sesuatu yang menurutnya aneh dan tidak masuk akal.
Jane merintih pelan saat ia seperti merasakan ada sesuatu yang terlempar ke arah wajahnya. Sesuatu yang dingin, dan tiba-tiba saja rasa perih hadir di wajahnya. Jane raba wajahnya, dan ia menemukan setetes darah keluar dari satu guratan yang hadir di wajahnya dengan misterius. Apa yang terjadi?
Jane menurunkan kakinya dari tempat tidur. Namun ketika ia akan bergerak, seolah ada sebuah tangan dingin yang mencengkeram pergelangan kakinya dari arah bawah tempat tidur. Jane terjerempab ke lantai, hidungnya menghantam lantai dengan keras dan ia rasakan darah yang hangat merembes keluar dari lubang hidungnya. Jane kemudian sadar bahwa mungkin kutukan dari kamar 602 itu mulai menyerangkan. Dengan satu insting yang tiba-tiba muncul, Jane berlari ke arah pintu kamar. Ia genggam knob pintu itu erat-erat sambil memutar, tapi…,
Tidak!
Pintu tidak dapat dibuka. Jane dengan kekuatan penuh mencoba untuk menarik pintu itu, namun pintu itu tak bergeming. Jane mulai merintih, merasa putus asa dengan apa yang ia lakukan. Disaat yang bersamaan, ia dapat merasakan kehadiran sebuah sosok miteris di dalam kamarnya. Ia merasakan bulu kuduknya berdiri dengan seketika. Ada sesuatu, yang berdiri di belakangnya.
“TIDAK!!!!”
Jane menjerit saat sebuah tangan kurus keriput mendarat di pundaknya. Ia mencoba untuk melepaskan diri dengan kekuatan yang masih tersisa yang ada di dalam dirinya. Namun apa yang terjadi? Ia malah terlempar jauh ke belakang dan mendarat diatas lantai dengan keras. Jane merasakan hidungnya terasa begitu panas saat darah terus mengucur tak berhenti. Wajahnya yang putih pucat, terlihat kontras dengan darah merah segar yang membasahi sebagian wajahnya.
Jane tidak dapat menggerakkan tubuhnya, seolah is dipaku ke lantai. Kedua matanya bergerak tak beraturan, mengikuti gerak segumpalan asal yang tiba-tiba saja muncul dan bergabung menjadi segumpalan asap besar tepat di depan wajahnya.
“Tidak!!!! Jangan!!!!” Rintih Jane. Namun usahanya terlambat. Dari dalam gumpalan asap itu, munculah sebuah wajah membusuk yang menyeringai ke arahnya. Dan hal terakhir yang Jane ingat adalah saat sosok itu membenamkan giginya ke arah wajahnya.

**

Tanggal 25 Desember, hari Natal. Ada yang sedikit berbeda dengan pemandangan di sekitar apartemen Wagner. Beberapa mobil patroli dan ambulan terlihat memenuhi jalan bagian depan dari apartemen tersebut. Beberapa anggota polisi dan koroner terlihat bergerak keluar masuk apartemen. Satu hal yang jelas, kutukan dari kamar 602 itu terjadi lagi.
“Kamar itu harus disegel dengan segera.” Ucap salah seorang perwira polisi yang bertanggung jawab atas laporan mengenai ditemukannya mayat seorang wanita di kamar itu. Jane Porter, 28 tahun, ditemukan tewas pagi tadi oleh penjaga apartemen.
Kemisteriusan yang ada di kamar 602 itu masih belum terjawab hingga detik ini. Pemilik apartemen akhirnya memutuskan untuk menyegel kamar itu sepenuhnya. Tembok didirikan menutup jendela dan pintu kamar itu. Kamar itu, tidak akan tersentuh lagi untuk waktu yang lama. Namun apa yang ada di dalam kamar masih setia tinggal di kamar itu. Sesosok gadis muda, dengan tubuh transparan, dan wajah penuh dengan luka, duduk diatas tempat tidur apartemen 602. Wajahnya terlihat sendu. Ia sepenuhnya berada di kamar yang tersegel, gelap, dan tidak akan ada cahaya matahari lagi untuk tahun-tahun selanjutnya. Kenapa ia tidak pergi? Hanya ada satu penjelasan yang masuk akal. Gadis itu belum bisa pergi meninggalkan kamar 602, sebelum ada yang menemukan jasadnya yang terkubur dalam dinding apartemen 602 itu.

****