Wednesday, December 14, 2016

RITUAL PEMBAWA MAUT



Rumah di ujung jalan Whisper Street sudah terkenal dengan keangkerannya. Sebuah remah besar dan mewah, yang mungkin terlihat begitu menawan saat masih dihuni itu, kini berubah menjadi sarang dari segala macam teori, kisah horor, dan kegiatan spiritual yang sudah menyebar hingga ke ujung kota kecil Blackwood.
Mungkin akan terdengar gila. Namun keempat remaja usia sma itu memiliki ide yang bisa dikatakan ‘ekstrem’, yang bisa disebut sebagai suatu kegiatan yang sia-sia dan tidak dapat dikatakan akan mendatangkan hal bagus pada akhirnya.
Apa yang sebenarnya mereka rencanakan?
Tobi, Nick, Jennifer, dan Ashley sudah mempersiapkan acara yang akan mereka lakukan malam nanti. Hari jumat malam, pukul sepuluh, mereka akan masuk ke dalam rumah besar itu dan melakukan satu hal yang bisa dianggap cukup berbahaya, meski belum terbukti kebenarannya.
Ouija board, adalah sebuah instrumen yang kerap digunakan oleh kalangan remaja saat mereka melakukan pesta piyama atau pada saat perkumpulan tertentu. Tulisan yang ditunjukkan oleh potongan kayu kecil yang dipegangi oleh empat orang itu katanya adalah dorongan dari alam gaib. Namun masih banyak yang percaya bahwa kegiatan berbicara dengan arwah menggunakan papan ouija itu hanyalah sebuah rekaan dan tidak nyata.
“Kau, tidak benar-benar mempercayainya, ‘kan?” ucap Jennifer saat mereka makan siang di kantin sekolahan. Mereka terus membicarakan mengenai rencana mereka malam nanti.
“Semua orang tahu papan ouija hanyalah omong kosong. Seseorang dari antara pemegang papan kecil sengaja menggerakkan pointer itu pada huruf-huruf yang dapat membuat teman-temannya berteriak ketakutan.”
“Kalau begitu, Jenn, kau tidak percaya dengan arwah?” tanya Ashley. Ashley adalah tipe gadis yang mudah takut, dan dapat berteriak histeris saat mendengar satu suara aneh. Dialah yang paling kecil diantara kelompok remaja itu.
“Aku percaya dengan arwah.” Jawab Jenn. “Tapi mengenai ouija…”
“Hanya ada satu cara untuk membuktikannya.” Sahut Tony yang duduk di hadapan Jennifer. Pandangan matanya berapi-api.
“Oh, tidak dengan rumah hantu itu lagi!” ucap Jenn.
“Itu ide utamanya.” Balas Nick. “Kita akan masuk ke sana, melakukan ritual, dan mungkin kita bisa bicara dengan arwah yang menghuni rumah mengerikan itu. Kau tahu kenapa rumah itu ditinggalkan?”
“Kenapa?” tanya Ashley. “Karena ada han…”
“Bukan!” sahut Jenn cepat. “Mereka pergi karena ada masalah dengan keluarga mereka. Tidak ada hubungannya dengan hantu, Ash.”
“Tapi..tapi…” Ashley mulai melakukan aksi ketakutannya, meski saat itu hari masih siang dan penuh dengan orang.
“Ayolah!” ucap Tony sambil nyengir lebar. “Ini akan menjadi satu hal meanarik. Sebentar lagi kita akan ujian. Anggap saja acara malam nanti sebagai sebuah…, er…, inisiasi, atau ritual agar tes kita berjalan dengan lancar.”
“Dengan meminta bantuan pada hantu?” Jenn terdengar sedikit skeptis soal apa yang mereka bicarakan. Ia adalah tipe orang yang tidak begitu percaya dengan superstisi, terutama dengan papan ouija. Dengan malas, ia menjilati french-friesnya.
“Pokoknya kita harus lakukan malam nanti.” Ucap Nick sambil mengetuk permukaan meja. Ia mengangguk-angguk sambil nyengir, mencoba untuk meyakinkan ketiga temannya.
“Hal ini akan aman, ‘kan?” ucap Ashley. “Maksudku…, bagaimana jika kita malah membuat arwah atau hantu disana marah?”
“Mudah.” Sahut Tony sambil terkikik. “Kita tinggal minta maaf dan lari dari rumah itu.”
Benar-benar sebuah ide yang sudah kelewat akal. Jika mereka melakukan ritual di rumah mereka sendiri, sepertinya tidka begitu buruk. Namun mereka mau melakukannya di dalam rumah yang usdah kosong selama bertahun-tahun itu. Mengesampingkan soal hantu, mereka bisa saja jatuh ke dalam masalah karena menerobos masuk pekarangan orang lain tanpa ijin. Dan itu sudah merupakan sebuah pelanggaran.
Pukul sepuluh kurang lima belas menit malam itu, keempat remaja itu sudah berdiri di perempatan jalan yang terletak tak jauh dari rumah besar itu. Jenn terlihat malas seperti biasa. Di lain sisi, Ashley terlihat seperti tikus di ujung got yang nyaris terendam air. Wajahnya menunjukkan rasa takut yang berlebihan. Tony dan Nick terlihat begitu ‘normal’, dalan skala yang mereka buat sendiri. Sudah menjadi tugas keduanya untuk menjaga para gadis jika hal buruk terjadi.
“Aku bawa senter, dan korek api.” Ucap Tony. “Siapa tahu kita bisa menyalakan perapiannya.”
“Dan aku…” ucap Nick. Ia meraih sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah papan kayu dengan abjad alfabet di permukaannya. Papan ouija itu.
“Oh, aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan.” Ucap Ashley dengan tangan gemetar. Sedari tadi ia selalu bersembunyi di belakang punggung Jenn.
“Tenang, Ash!” ucap Nick. “Mungkin hantunya hantu ganteng yang akan tertarik padamu.”
“Diam, Nick!” sentak Ashley dengan wajah memerah seperti tomat. Kedua matanya bergerak tidak tenang.
“Apa yang kita tunggu?” tanya Tony. Ia bergerak di depan, memimpin ketiga kawannya.
Rumah besar itu terlihat begitu megah diantara rumah-rumah lainnya. Gaya eropa, dengan dua sayap bangunan yang sudah porak-poranda. Akibat dari cuaca dan angin, dan juga hujan, rumah itu terlihat begitu berantakan.
Gerbang besi di depan rumah sudah cukup berkarat dan sulit untuk dibuka. Tony hanya dapat menyelip di celah yang terbuka, diikuti oleh ketiga kawannya. Tony bergerak melewati halaman yang dipenuhi dengan sampah dan langsung mengarah ke pintu besar yang ada di depan. Ia memutar kenob pintunya, tapi…
“Tentu saja!” ucapnya sambil mengumpat. “Kita harus cari jalan lain.”
Keempat remaja itu bergerak mengeliling rumah besar itu. Cahaya bulan menciptakan bayangan yang mengerikan, saat mereka melewati sebuah pohon besar di halaman samping. Keempat remaja itu bergerak perlahan, mencoba untuk tidak tersandung pada barang-barang yang berserakan di sekitar rumah itu.
“Itu!” ucap Tony sambil menunjuk pada sebuah pintu yang mengarah ke ruang bawah tanah. Dengan satu tenaga ekstra, Tony dan Nick membuka pintu yang mengarah ke basement rumah besar itu. Tidak terkunci. Sepertinya mereka beruntung.
Cahaya senter Tony membelah kegelapan yang ada di dalam ruang bawah tanah. Ia memimpin ketiga temannya seperti tadi. Ia melihat sekeliling ruang bawah tanah, yang dipenuhi dengan barang-barang rongsokan yang sudah dipenuhi dengan debu dan sarang laba-laba.
“Lewat sini!” ucapnya, sambil bergerak ke arah tangga yang akan mengantarkan mereka ke lantai satu rumah besar itu.
Ada semacam kekaguman dari empat remaja itu saat mereka sudah sampai di dalam rumah. Meski terlihat tak terawat, namun kemegahan dari panel dinding dan segalanya membuat keempat remaja itu menggelngkan kepalanya mereka. Ada terlalu banyak barang seni kelas tinggi di rumah itu, yang dibiarkan berdebu begitu saja. Sarang laba-lana berada di setiap tempat.
“Kenapa belum ada pencuri yang membobol rumah ini?” gumam Nick saat melihat sebuah vas cantik di tangga.
“Mereka takut hantu.” Ucap Ashley. Ia masih terus bersembunyi di balakng punggung Jenn. wajahnya terlihat lebih cemas dari ketiga temannya.
“Oke. Kita sudah di dalam.” Ucap Tony. Saat itu mereka berada di tengah bangunan, menghadap pada satu tangga besar yangmengarah ke lantai dua.
“Kita lakukan disini saja.” Ucap Nick. Ia menari sebuah meja kecil ke tengah ruangan, dan meletakkan empat kursi di sisinya. Ia mengeluarkan beberapa batang lilin dari dalam tas yang ia bawa, dan mulai menyalakannya, meletakkan di beberapa tempat. Rumah besar itu terlihat sedikit lebih terang dengan adanya cahaya lilin. Namun bayangan yang bergoyang dari api lilin itu membuat seolah ada yang selelu bergerak di dalam rumah itu. Ashley bersumpah, bahwa ia sempat melihat sekelebatan bayangan hitam.
“Hanya bayangan lilin, Ash. Tenang!”
Keempat remaja itu mulai duduk diatas kursi, menghadap pada papan ouija yang sudah terbuka di depan mereka. Satu pointer diletakkan di tengah, dan keempat remaja itu mulai menempelkan ujung jari mereka pada pionter tersebut.
Tony dan Nick tersenyum lebar, merasa begitu bersemangat melakukan hal yang berbahaya ini. Di lain sisi, Jenn dan Ashley terlihat cemas.
“Tenang saja!” ucap Nick. “Jika hantu memang ada, mereka tembus pandang dan tidak padat. Mereka tidak bisa membunuh kita.”
“Jangan bercanda!” sentak Ashley. “Jangan membuat mereka marah.”
“Mereka, siapa?”
“Siapapun yang ada di tempat ini.” Jawab Ashley lirih.
Keempat remaja itu saling pandang, bingung dengan apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Belum ada satupun dari remaja itu yang pernah melakukan ritual ouija.
“Apakah harus ada mantra untuk memulai hal ini?” tanya Nick. Ia arahkan pandangan matanya pada Tony yang duduk di depannya.
“Entahlah.” Jawab Tony. “Kurasa kita harus mencobanya.”
Keempat remaja itu diam, berkonsentrasi pada pointer kecil yang ada di tengah papan ouija. Ashley bergetar, terlalu takut untuk melakukannya.
“Aku akan mulai.” Ucap Tony. Ia berdehem melonggarkan tenggorokannya.
“Halo?” ucapnya dengan suara keras. “Ada yang menunggu tempat ini?”
Keempat remaja itu masih menunggu. Namun pointer yang ada di tangan mereka sama sekali tak bergeming.
“Ulangi lagi!” bisik Nick.
“HALO!” Tony berseru. “JIKA ADA SESEORANG…”
“Oh!!!” Ashley nyaris berteriak saat pointer yang ada di tangannya mulai bergetar, dan sedikit bergeser dari posisinya semula. Ketiga remaja lainnya sadar akan perubahan itu.
“Berhasil!” ucap Nick. “Lakukan lagi!”
“Boleh kami berbicara?” tanya Tony, dengan nada bicara yang ia buat sejelas mungkin. Ia memberikan penekanan dalam setiap kata yang ia ucapkan.
Pointer itu tiba-tiba saja bergerak, mengarah pada kata ‘YES’. Untuk sesaat, keempat remaja itu terdima. Mereka saling pandang.
“Bukan salah satu dari kalian yang menggerakkannya, ‘kan?” tanya Tony sedikit ragu. Ia curiga ada yang curang dalam permainan itu.
“Ehm…, kau masih tinggal disini?” tanya Tony lagi. Pointer itu bergerak memutari papan untuk sesaat, dan kembali pada kata ‘YES’.
“Ini nyata.” Bisik Nick. “Ada sesuatu…”
“Siapa namamu?” tanya Tony lagi. Pointer kayu itu mulai bergerak pada huruf-huruf yang ada di papan itu. Membentuk sebuah nama.
“Mary.” Gumam Nick. Ia memandang lagi pada Tony.
“Kami ingin tahu…, bagaimana kau meninggal?”
Tony seketika mendapatkan tatapan tajam dari ketiga temannya. Ia sadar kemudian, bahwa pertanyaan itu terlalu ekstrim.
“Maafkan aku!” ucapnya. “Boleh kami tahu, tentang siapa dirimu sebenarnya, Mary?”
Pointer itu bergerak lagi. kali ini menunjukkan kata ‘NO’.
“Oke.” Ucap Tony. Ia menghela nafasnya, dan siap untuk melakukan percakapan lagi.
“Kau sendiri disini, atau ada yang lain?”
Keempat remaja itu menunggu selama beberapa detik. Namun pointer itu sama sekali tidak bergerak. Satu menit, menjadi lima menit, dan begitulah.
“Hanya itu? Payah!” keluh Nick. Keempat remaja itu melepaskan tangan mereka dari pointer. Namun tiba-tiba saja pointer itu bergerak dengan sendirinya. Membuat sebuah kata ‘PERGI’.
Keempat remaja itu saling pandang. Apakah hantu di rumah itu tidak ingin diganggu? Dan apa yang akan terjadi jika…
“AHHH!!!” Ashley berteriak nyaring saat papan ouija itu tiba-tiba saja terlempar ke udara. Keempat remaja itu berdiri seketika dari kursi mereka. Dan disaat bersamaan, ada angin kencang bertiup, entah dari mana. Cahaya api lilin kembali bergoyang, dan keadaan semakin mencekam.
“Sudah cukup!” ucap Jennifer. “Kita harus pergi dari tempat ini.”
Tidak ada yang menolak rencana itu. Ya. Mereka sudah mendapatkan apa yang mereka mau, dan mereka sadari bahwa memang ada arwah di dalam rumah tua itu. Namun sesaat ketika mereka akan bergerak, cahaya lilin-lilin yang mereka pasang padam seketika. Membuat mereka berdiri di dalam kegelapan.
“Oh, tidak!!” Ashley berteriak lagi. Dia terdengar nyaris menangis.
“Tenang!” ucap Tony. Ia mengeluarkan senternya, dan menyalakannya. Untuk sesaat, cahaya senter dapat menerangi wajah keempat remaja. Namun detik berikutnya, senter itu mati mendadak.
“Apa yang…”
“Apa itu?” tanya Jenn saat ia seperti mendengar suara langkah kaki di dalam rumah itu. Padahal tidak ada yang bergerak. Langkah kaki itu semakin dekat, dan…
“AARGHHHH!!!”
Nick berteriak keras, melengking, dan terdengar suara bergedebuk tak jauh dari tempat remaja itu berdiri.
“Nick!” teriak Tony. Ia memukul-mukul senternya, dan cahayanya hidup lagi. Dan mereka menemukan Nick tergeletak di lantai. Namun ada yang aneh dengan tubuh Nick.
“Oh, tidak!” teriak Ashley histeris saat melihat kepala Nick sudah berputar 180 derajat, dengan darah mengucur keluar dari mulut dan hidungnya. Nick tewas.
“Kita harus pergi, cepat!”
Ketiga remaja itu segera berlari kembali ke ruang bawah tanah. Namun ketika mereka tiba di lantai, Ashley berteriak. Tony mengarahkan senternya pada Ashley, dan ia melihat ada sebuah tangan hitam kurus dengan kulit keriput memegangi pergelangan kaki Ashley. Ashley meronta, namun kejadiannya begitu cepat, bahkan Tony dan Jenn tidak tahu harus melakukan apa. Ashley diseret naik kembali ke arah lantai satu. Suara jeritannya menggema di dalam rumah besar itu, lalu terdima.
“Kita keluar, Jenn. cepat!”
“Bagaimana dengan Ash, dan Nick, dan…”
“Tidak ada waktu!” ucap Tony seraya menarik lengan Jenn mengarah ke tangga yang mengarah pada halaman luar.
Mereka berhasil keluar dari basement. Namun ketika mereka bergerak melewati halaman samping, keduanya mendengar suara dentingan logam yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Jenn?”
Tony berjingkat saat cahaya senternya menemukan tubuh Jennifer sudah tergeletak di tanah dengan garpu taman menembus perutnya. Jennifer juga mati.
“Astaga!”
Tony berlari sekuat tenaganya, mengarah ke gerbang depan. Ketika ia akan menyelip keluar, ia merasakan ada cengekraman di lengannya, yang mencengkeram begitu kuat, dan rasa panas menjalar di sekujur tubuhnya.
“TIDAK!!!” Tubuh Tony terbang sekitar dua meter ke udara dan terjerembab di kaki tangga depan rumah tua itu. Tony mencoba untuk berdiri lagi, namun ia sadari kemudian bahwa sudah ada sosok besar hitam seperti asap berdiri tepat di depannya. Wajah dari sosok itu turun ke arah wajah Tony, dan Tony melihat kengerian yang sebenarnya. Sebuah wajah tanpa bola mata dan mulut tanpa bibir berada tepat di hadapannya. Sebelum Tony sempat berteriak, jemari dari sosok itu sudah terlebih dahulu menusuk kedua bola matanya. Tony, terkulai lemah, dan menjadi korban terakhir malam petaka itu.
Rumah besar itu masih berdiri dalam kemegahannya yang tertutup oleh misteri. Apa sebenarnya yang membuat rumah itu ditinggalkan? Dan apa sebenarnya yang hidup di dalam rumah itu? Misteri dari rumah besar itu belum terpecahkan. Dan mungkin, tidak akan terpecahkan. Keempat remaja itu menjadi korban dari apa yang hidup di dalam sana. Yang mungkin, menunggu korban selanjutnya.

****

No comments:

Post a Comment