Friday, August 26, 2016

RUMAH KOSONG DI UJUNG JALAN



Alex hanya dapat terdiam, tanpa ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Ia merasa bahwa pertanyaan temannya itu terlalu sulit untuk ia jawab, bukan karena ia tidak mempunyai jawaban, tapi lebih karena ragu.
“Biar kutanya lagi.” Ucap Nick sedetik kemudian. “Bagaimana kita akan memulai permainan untuk anak baru itu?”
Alex benar-benar tidak mengerti dengan apa yang Nick rencanakan bersama dengan Jonas. Kedua remaja itu berniat untuk melakukan sesuatu yang menyebalkan pada anak baru yang datang seminggu yang lalu. Alex sebenarnya tidak menyetujui rencana untuk mengusili anak baru itu. Alex tahu bagaimana rasanya menjadi anak baru. Dan ia memang pernah diusili oleh murid lama dan murid senior saat ia datang setahun yang lalu. Tapi hal itu tidak menjadi alasan untuk dapat melakukan hal yang sama pada orang lain.
“Kita tidak perlu melakukan ini, kalian tahu itu, ‘kan?” ucap Alex, yang pada akhirnya dapat mengucapkan apa yang ia pikirkan. Nick dan Jonas menatapnya dengan heran sambil tersenyum kecil.
“Ayolah, Alex!” ucap Nick. “Kau juga pernah merasakannya, ‘kan? Kami berdua juga pernah dijahili saat masuk ke sma ini. Oleh murid-murid senior.”
“Bukan berarti kita juga harus melakukan hal yang sama pada orang lain.” Bantah Alex. “Apa yang kalian pikirkan?”
Nick mendengus, kecewa dengan sikap teman baiknya itu. Ia memandang ke arah Jonas, meminta pendapat.
“Kita tidak akan melakukan suatu hal yang berbahaya.” Ucap Jonas beberapa detik kemudian. “Jika kau pikir kami akan melakukan sesuatu yang berbahaya dan membahayakan nyawa, kau salah besar.”
“Ya.” Timpal Nick. “Hanya permainan kecil, Alex. Sebagai suatu…, err…, inisiasi.”
“Dia belum punya banyak teman.” Ucap Alex. “Dan seharusnya kita membantunya, bukan untuk…”
“Itu yang kami maksudkan.” Potong Nick. “Kita akan menjadi teman baiknya. Itu pasti. Tapi dia harus membuktikan diirinya pada kita, bahwa ia pantas menjadi salah satu dari kita.”
Alex mendesah pelan tanpa tahu apa lagi yang harus ia ucapkan untuk membuat kedua temannya itu membatalkan rencana usil mereka. Alex benar-benar tidak suka dengan rencana itu.
“Jadi?” ucapnya kemudian. “Apa yang kalian rencanakan?”
“Kau setuju?” balas Nick.
“Apa aku bisa menghentikan kalian berdua?”
Nick tertawa sambil menepuk pelan pundak Alex. Wajahnya terlihat begitu sumringah saat ia mendapatkan, seolah, mendapatkan ijin dari Alex untuk melakukan rencana kecil itu.
“Aku akan memikirkannya dengan Jonas. Jangan khawatir! Bukan sesuatu yang berbahaya. Dan…, Oh! Ini akan menyenangkan.”
Alex tidak memikirkan lagi mengenai rencana konyol itu saat pelajaran dimulai. Selama beberapa jam, Alex dapat fokus pada apa yang ia kerjakan. Namun saat jam istirahat tiba, ia kembali merasakan rasa was-was dengan apa yang Nick rencanakan.
Alex duduk sendirian di meja kantin, memandang ke sekitar sambil menikmati roti lapisnya. Sedetik kemudian ia sadari bahwa orang yang sedang ia pikirkan muncul di kantin itu. Siapa? Anak baru itu.
Anak itu bernama Eric. Seorang anak lelaki berusia lima belas tahun dengan postur tubuh yang langsing, kecil, dan terlihat begitu lemah di mata orang lain, terutama di mata anak-anak yang memang suka membuat ulah. Sejauh dari apa yang dapat Alex ketahui, Eric adalah murid pindahan dari sebuah kota di utara, yang datang seminggu yang lalu.
Alex sudah berkali-kali melihat anak itu. Namun setiap kali, Alex menemukan bahwa Eric belum mendapatkan teman. Anak itu selalu makan sendirian saat jam istirahat. Dan tidak pernah mendapatkan teman saat menonton pertandingan di lapangan. Hal ini sebenarnya membuat Alex ingin menghampiri anak itu dan mengajaknya berteman. Hanya saja, ia belum mempunyai waktu karena ia masuk terlalu sibuk dengan tugasnya.
Eric sepertinya anak baik-baik. Itu yang dapat Alex lihat dari anak itu. Memang ia belum mengetahui banyak hal mengenai Eric. Tapi ia rasa Eric bisa menjadi seorang teman yang menyenangkan.
Perhatian Alex terganggu saat satu tepukan mendarat di pundaknya. Sedetik kemudian, Nick dan Jonas duduk di dekatnya. Keduanya menunjuk ke arah Eric yang duduk sendirian di ujung kantin.
“Itu!” ucap Nick sambil tertawa kecil. “Anak itu. Kita akan melakukan sesuatu. Sesuatu yang menyenangkan.”
“Apa yang kalian rencanakan?” tanya Alex. Nick dan Jonas hanya terkikik geli tanpa alasan jelas.
“Kasihan. Dia sendirian. Bagaimana jika kita kesana?”
“Tunggu, kita…”
Alex tidak dapat menyelesaikan kalimatnya saat ia ditarik begitu saja oleh kedua temannya, dan bergerak mendekati anak baru itu. Sekilas pandang, Alex dapat melihat adanya ketakutan di wajah bocah yang berusia satu tahun dibawahnya itu. Eric tidak terlihat begitu tangguh, dan terlihar lemah. Seketika ia menghentikan usahanya untuk makan, dan dengan mata bergetar, ia memandang ke arah Nick dan Jonas yang bergerak mendekatinya.
Siapapun yang melihat Nick dan Jonas pasti akan sedikit merasa takut. Bukan wajah mereka, tapi tubuh mereka. Tidak seperti Alex, kedua remaja itu adalah atlit sepak bola sekolah. Tubuh mereka yang selalu dilatih itu tentu saja terlihat lebih besar dari anak lain, dan terlihat sedikit mengintimidasi. Namun, Nick dan Jonas samasekali tidak menunjukkan wajah jahat atau sinis pada Eric. Mereka melepas tawa mereka, dan mencoba untuk membuat Eric merasa nyaman. Setidaknya, Alex senang hal itu terjadi.
“Oh, hai!” sapa Jonas begitu dekat dengan Eric. Ia ikut duduk di meja, dan bersikap seolah sudah kenal lama dengan anak baru itu.
“Ini Nick, dan Jonas.” Ucap Alex memperkenalkan diri. “Kuharap kami tidak mengganggumu.”
“Tidak.” Jawab Eric terlihat ragu. Alex dengan jelas masih dapat melihat adanya rasa takut itu.
“Hei! Santai saja kawan!” ucap Nick. “Sepertinya kau butuh teman. Dan kami…”
Ya. Begitulah. Dengan penuh kehati-hatian Nick mencoba untuk membuat remaja baru itu untuk tertawa. Memang terlihat sulit. Eric sepertinya belum mau terbuka. Mungkin mereka perlu waktu berhari-hari untuk dapat membuat Eric terbuka. Dan hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah.
Untuk hari itu, paling tidak Alex dan kedua temannya sudah mencoba untuk membuka diri pada Eric. Entah Eric akan menerima pertemanan mereka atau tidak, itu belum pasti. Jam sekolah selesai pukul tiga sore. Dan Eric sudah tidak terlihat lagi.
“Kalian harus mengatakan padaku, apa yang akan kalian lakukan pada Eric.” Ucap Alex di koridor saat bertemu lagi dengan Nick dan Jonas.
“Kami sudah memikirkannya.” Jawab Nick. “Oh! Permainan ini akan sangat menyenangkan. Kau akan menyukainya.”
“Katakan!”
“Kau yakin mau mendengarnya?”
“Nick!”
“Oke, oke.” Ucap Nick cepat. “Ini bukan permainan yang berbahaya. Hanya satu tes kecil untuk membuktikan bahwa dia memang pantas menjadi salah satu dari kita. Dan…, membuktikan bahwa dia bukan seorang penakut…, mungkin seperti itu.”
“Bukan sesuatu yang berbahaya, ‘kan?” ucap Alex. “Tahun lalu aku diminta untuk mengambil tropi di ruang guru diam-diam. Hal seperti itu yang tidak kuinginkan. Kau bisa membuat anak itu jatuh dalam masalah besar.”
“Bukan seperti itu.” Bantah Nick. “Kita lebih baik daripada para senior keparat itu. Tidak. Bukan seperti itu. Dan tidak akan ada masalah untuk hal ini.”
“Jadi?” ucap Alex. “Katakan!”
Nick melirik ke arah Jonas sebelum memulai penjelasannya. Dari cara Nick berbisik pada Jonas, Alex tahu bahwa apa yang mereka rencanakan mungkin tidak akan ia sukai.
“APA?!” sentak Alex kaget setelah mendengar rencana itu. Kedua matanya membalak ke arah kedua temannya, sedikit tidak percaya.
“Katakan aku salah mendengarnya!”
“Tenang, Alex! Ini normal.”
“Normal?!”
Nick baru saja mengatakan padanya bahwa ia akan meminta Eric untuk menghabiskan malam di sebuah rumah kosong yang ada di ujung jalan. Alex tahu bahwa rumah itu kosong, dan mungkin tidak akan ada apapun yang terjadi, atau bahkan mencelakakan Eric. Namun Alex merasa bahwa hal seperti itu keterlaluan.
“Tidak, Nick. Jangan lakukan itu!”
“Kenapa?” balas Nick. “Hanya rumah kosong, Alex. Tidak ada hal berbahaya. Hanya semalam. Dan dia setuju.”
“Apa?!, kau sudah meminta anak itu untuk…”
“Ya.” Jawab Jonas. “Dia benar-benar ingin menjadi teman kita. Dan dia akan melakukannya.”
Alex hanya dapat menggeleng pelan. Rencana itu terdengar sedikit bodoh. Kenapa Nick dan Jonas tidak memikirkan satu cara yang lebih rasional? Mereka meminta Eric untuk berdiam di dalam rumah tua itu?
“Aku tidak tahu apakah ini ide bagus atau bukan.” Ucap Alex. “Kau sudah dengar apa yang orang-orang ucapkanmengenai rumah itu?”
“Mengenai rumah yang katanya berhantu, yang katanya dulu menjadi tempat pembunuhan, dan ada orang gila yang tinggal disana? Pfftt!! Itu hanya omong kosong, Alex. Kau tidak mempercayainya, ‘kan? Hanya rumah kosong. Kudengar pemiliknya sudah meninggal.”
“Kau yakin? Aku tidak terlalu yakin.”
“Sudahlah!” ucap Jonas sambil menepuk punggung Alex. “Kau diam saja, dan biarkan kami mengurus Eric. Dalam dua hari, dia akan makan siang dengan kita.”
Rumah kosong yang akan menjadi tempat inisiasi itu letaknya tak jauh dari rumah Alex. Dan ia sudah sering berjalan lewat depan rumah tua itu. Sore itu, untuk sejenak ia hentikan langkahnya, dan memandang ke arah sebuah rumah besar tua yang berada di balik pahar tinggi. Rumah yang terbilang cukup mewah, namun kini usdah tertelan oleh debu dan sarang laba-laba. Alex tidak tahu sudah berapa lama rumah itu ditinggalkan. Dengan melihatnya saja, Alex sudah dapat merasakan seperti apa keadaan di dalam sana.
Rencana itu pun akhirnya diadakan hari Sabtu malam. Alex, Nick, dan Jonas sudah berdiri di seberang jalan dari rumah tua itu saat jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Keadaan yang dingin, ditambah dengan adanya bayangan rumah besar itu, membuat Alex menggigil. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi.
“Itu dia.” Ucap Nick saat ia dan kedua temannya melihat sesosok remaja bergerak ke arah mereka. Eric terlihat masih sama dengan biasanya. Terlihat lemah, dan mudah untuk dijahili. Mungkin anak itu sudah benar-benar ingin memiliki teman, dan rela untuk melakukan hal mengerikan ini.
“Aku tidak yakin.” Ucap Alex. “Bagaimana jika orang tuanya sampai tahu? Kita akan mendapat masalah.”
“Kami merubah sedikit rencananya.” Ucap Jonas. “Kami tidak meminta anak itu untuk tinggal sampai pagi.”
“Lalu?” tanya Alex.
Nick mengeluarkan sebuah kamera dari dalam tas yang ia bawa. Ia menunjukkan kamera itu pada Alex.
“Kita hanya akan membuatnya merekam isi dari rumah itu. Kau tahu? Membuatnya menjelajah.”
“Hanya itu?” tanya Alex. “Tidak lebih.”
“Ya.”
Wajah Eric terlihat pucat saat ia sudah berada bersama ketiga kakak kelasnya itu. Sesekali, ia melirik ke arah rumah kosong itu. Terlihat jelas ketakutan di wajah anak itu.
“Eric, kau siap?”
“Ya.” Jawab Eric ragu. “Ehm…, peraturannya masih sama, ‘kan?”
“Ya.” Jawab Jonas. “Kau masuk kesana, rekam semua ruangan, dan…, itu saja. Kau yakin kau bisa melakukannya?”
“Ya. Tentu.” Jawab Eric. Jawabannya terdengar cepat. Namun Alex tahu bahwa ada keraguan besar di dalam dada anak itu.
“Eric, ini tidak main-main.” Ucap Alex. “Kau yakin kau mau melakukannya? Maksudku…, tidak perlu melakukan hal ini dan kau sudah…”
“Alex!” potong Nick sambil memberikannya tatapan tajam.
“Ya. Aku yakin.” Jawab Eric seraya meraih kamera yang diulurkan oleh Nick. “Tidak akan ada apa-apa. ‘Kan?”
“Teriak saja!” ucap Alex. “Kami akan berlari kesana.”
Ketiga remaja itu hanya dapat berdiri sambil memandang kepergian Eric. Dan dalam sekejap, tubuh Eric telah tertelan oleh kelamnya malam. Harus Alex akui, Eric memang mempunyai nyali. Ia sendiri tidak tahu apakah ia sanggup melakukan hal itu seorang diri.
Detik berlalu menjadi menit. Dan sudah ada tiga puluh menit sejak Eric pergi. Ketiga remaja itu kini mulai was-was. Mereka mulai membayangkan hal yang tidak-tidak dalam kepala mereka.
“Ehm…, dia seharusnya sudah kembali.” Ucap Jonas. “Mungkin kita harus…”
“Sebentar lagi.” Potong Nick. “Tunggu sebentar lagi.”
Mereka kembali menunggu. Hingga lima menit kemudian, ada sosok yang muncul dari antara semak-semak di pagar. Dan mereka melihat anak itu muncul dalam cahaya perak sinar bulan. Wajahnya masih terlihat pucat seperti tadi. Namun juga terlihat adanya rasa lega dalam sorot matanya. Perlahan, ia serahkan kamera yang ia bawa pada Nick.
“Lihat, ‘kan?” ucap Nick. “Tidak ada yang terjadi. Kalian terlalu banyak berimajinasi.”
“Kau tidak apa-apa?” tanya Alex. “Kau penuh sarang laba-laba.”
“Oke.” Ucap Jonas. “Sekarang kita pulang.”

**

“Harus kita akui, bahwa dia memang punya nyali.” Ucap Jonas keesokan harinya di kantin sekolah. “Maksudku…, siapa yang berani masuk ke dalam rumah itu sendirian, tengah malam?”
“Aku bisa melakukannya.” Ucap Nick dengan sikap congkaknya. “Tidak ada yang namanya hantu, atau hal-hal supranaturan seperti itu. Hanya rumah kosong, yang sudha ditinggal penunggunya. Aku malah lebih takut pada debu yang ada di dalam sana.”
“Aku belum melihat Eric sejak kemarin malam.” Ucap Alex. “Apa dia tidak masuk? Mungkin apa yang ia lakukan semalam…”
“Aku yakin dia tidak apa-apa.” Ucap Nick. “Percaya padaku!”
Nick terlihat sibuk mengamati kamera yang ada di depannya. Ia memutar kembali rekaman Eric semalam, dan mengamati isinya dengan jelas. Satu hal yang ia ketahui dari rumah itu, yaitu keadaan yang berantakan di dalam sana.
“Itu saja.” Ucap Nick sedetik kemudian seraya menutup kameranya dan bangkit berdiri. “Aku ada urusan sebentar.”
“Kau kembali?”
“Mungkin tidak.” Jawab Nick. “Kita ketemu sepulang sekolah, oke?”
Alex dan Jonas tidak tahu apa yang terjadi dengan Nick. Tidak biasanya anak itu pergi meninggalkan mereka berdua.
“Kau sudah melihat rekaman itu tadi?” tanya Alex. “Mengerikan, bukan? Keadaan di dalam rumah itu, dan keadaan gelapnya…”
“Ya.” Balas Jonas. “Kurasa kita memang harus memberikan tepuk tangan pada anak itu. Eric. Dia pantas menjadi salah satu dari kita.”
Tingkah aneh Nick rupanya tidak hanya terjadi untuk hari itu. Dalam beberapa hari berikutnya, Nick tetap menunjukkan sikap anehnya itu pada Alex dan Jonas. Ia sudah jarang mampir ke kantin, dan selalu menyendiri. Entah apa yang terjadi. Alex dan Jonas sudah mencoba untuk menanyakan masalah itu pada Nick, tapi Nick hanya menggeleng sambil berkata,
“Tidak ada yang perlu kalian khawatirkan.”
Alex dan Jonas tidak habis-habisnya membahas mengenai tingkah aneh anak itu. Mereka ingat, bahwa Nick mulai bertingkah aneh sejak malam inisiasi itu. Dan beberapa hari sudah lewat, namun keanehan Nick semakin bertambah.
Eric kini sudah menjadi salah satu dari kawan Alex. Siang itu, Eric makan bersama dengan Alex dan Jonas untuk yang pertama kali. Dia masih terlihat begitu canggung. Namun sikap Alex dan Jonas yang ramah dan terbuka membuat anak itu mulai dapat menunjukkan dirinya yang asli.
“Aku ingin menanyakan satu hal padamu.” Ucap Alex. Ia mengarahkan padandangan matanya pada Eric.
“Malam itu…” lanjut Alex. “Saat kau ada di dalam rumah kosong itu, apa yang kau rasakan? Apa yang hadir di dalam kepalamu, dan apa yang kau rasakan dalam hatimu? Kau tidak takut masuk sendirian? Kuakui, kau memang punya nyali.”
“Aku takut.” Jawab Eric. “Siapa yang tidak takut masuk ke dalam rumah seperti itu seorang diri? Tapi aku harus melakukannya. Dan aku senang sudah melakukannya. Kini aku menajdi salah satu dari kalian.”
“Ya. Kau benar.” Ucap Jonas. “Apa yang kau lihat?”
“Tidak ada.” Jawab Eric ringan. Jawaban itu membuat Alex dan Jonas mengernyit.
“Rumah itu kosong, berdebu, dan tidak ada banyak perabot di dalam rumah itu. Mengerikan memang. Dan aku seperti…”
“Seperti apa?” sahut Alex cepat.
“Entahlah.” Lanjut Eric. “Seperti ada seseorang yang mengawasiku di dalam rumah tua itu. Aku tidak tahu kenapa. Dari lantai dua…”
“Ada apa di lantai dua?” tanya Jonas cepat. “Tunggu dulu! Di rekamanmu, kau tidak naik ke lantai dua.”
“Ya.” Jawab Eric. “Ada sesuatu disana, Jonas. Aku bisa merasakannya. Sesuatu yang…, entahlah.”
“Kau yakin dengan apa yang kau rasakan, Eric?” tanya Alex. “Kau tidak mengada-ada, ‘kan?”
Eric terdiam untuk sesaat dan terus memakan roti lapisnya. Namun detik berikutnya, ia memandang serius ke arah Alex dan Jonas.
“Kalian tahu kenapa aku pindah sekolah?”
Alex dan Jonas menggeleng secara bersamaan. Keduanya saling melempar pandang, mengernyit, dan benar-benar bingung.
“Murid-murid lain berkata bahwa aku aneh.” Ucap Eric. “Mereka mengatakan bahwa aku aneh, dan tidak biasa. Mereka menjauhiku.”
“Apa maksud dari perkataan  itu?” tanya Alex. “Apanya yang aneh?”
“Aku. Diriku.” Jawab Eric. Namun jawaban itu sama sekali tidak memberikan pencerahan pada apa yang tengah ia bicarakan.
“Aku memiliki indera keenam.” Ucap Eric sedetik kemudian. Yang membuat Alex dan Jonas nyaris berjingkat dari kursi yang mereka duduki. Dan Eric menangkap keterkejutan dua teman barunya itu.
“Ya. Kau tidak salah dengar.”
“Benarkah?” tanya Jonas sambil melepas satu tawa kecil. Namun detik berikutnya ia tahu bahwa ia tidak seharusnya tertawa.
“Aku bisa membaca masa depan. Aku tahu apa yang akan terjadi. Dan hal itu sudah terbukti di kotaku yang lama. Di tempatku dulu sekolah. Mereka mulai menjauhiku, karena mengira aku adalah pembawa sial.”
Alex dan Jonas menggelengkan kepala mereka. Penjelasan itu terdengar sama sekali tidak masuk akal, dan mereka masih belum benar-benar mengerti.
“Apa hubungannya dengan Nick?”
“Aku melihat dalam mimpiku.” Ucap anak itu. “Malam sebelum malam inisiasi itu, aku melihat Nick akan membuat satu tindakan yang mungkin akan menjadi akhir dari hidupnya.”
“Apa?!”
“Aku tidak tahu bagaimana.” Lanjut Eric. “Tapi kurasa ada kaitannya dengan rumah itu. Aku melihat rumah itu dalam mimpiku, dan juga Nick.”
Apakah Alex dan Jonas dapat mempercayai semua perkataan Eric? Memang terdengar seperti omong kosong. Lalu bagaimana mereka menjelaskan mengenai keanehan tingkah Nick? Mereka pulang dari sekolah hari itu tanpa mendapatkan satupun jawaban.
Alex berbaring diaas tempat tidurnya, menerawang ke arah langit-langit sambil terus memikirkan apa yang Eric ucapkan tadi. Entah kenapa, ia merasa sedikit ngeri. Apakah memang ada hubungannya dengan Nick?
Alex dan Jonas dikagetkan dengan satu kejadian yang terjadi keesokan harinya. Nick tidak masuk sekolah, dan orang tuanya mengatakan bahwa Nick sudah dua hari menghilang. Keadaan ini tentu membuat panik siapapun yang mengenai Nick. Termasuk Alex dan Jonas.
“Eric.” Ucap Jonas sambil bergerak cepat di koridor. “Aku mulai memikirkan apa yang anak itu ucapkan.”
“Mengenai rumah itu…” balas Alex. “Kau pikir Nick masuk ke dalam urmah itu? Untuk apa?”
Jawaban atas hal itu mereka dapatkan beberapa saat kemudian saat keduanya bertemu kembali dengan Eric sepulang sekolah.
“Dia tidak mengatakannya pada kalian?” ucap Eric. Alex dan Jonas lagi-lagi dibuat kebingungan.
“Apa yang dia katakan?” tanya Alex.
“Dia berpendapat bahwa ada suatu hal besar yang harus ia ungkap dari urmah kosong itu.”
“Apa maksudnya?”
“Aku tidak tahu.” Jawab Eric. “Beberapa hari yang lalu ia mengatakan hal itu padaku. Ia mengatakan, bahwa ia ingin membuktikan sesuatu. Sesuatu yang besar…, yang berkaitan dengan rumah itu. Oh! Dan dia juga terus memandangi kameranya itu.”
Alex dan Jonas memiliki pendapat yang sama. Mungkin jawabannya ada dalam kamera milik Nick itu. Keduanya beruntung saat mereka datang ke kediaman Nick, dan menemukan kenyataan bahwa Nick tidak membawa kameranya. Ketiga remaja itu langsung berkumpul sambil melihat kembali video rekaman malam inisiasi itu. Namun mereka sama sekali tidak mendapatkan petunjuk.
“Sial! Aku tidak mengerti.”
“Pasti ada di dalam rekaman ini.” Ucap Alex. “Ia memutar video itu berkali-kali, dan mencoba untuk menemukan satu hal yang mungkin dapat dikatakan aneh.
“Apa yang ia pikirkan?”
“Dia menanyakan satu hal aneh padaku.” Ucap Eric. “Dia bertanya, apakah rumah itu benar-benar kosong?”
“Itu yang ia tanyakan?” ucap Jonas. Ia memandang ke arah Alex.
“Itu berarti…” ucap Alex. “Ada satu hal atau bagian di dalam video ini yang membuatnya yakin bahwa rumah itu dihuni oleh seseorang. Dan dia pergi, ingin membuktikan akan hal…, tunggu dulu!”
Ketiga remaja itu dengan cepat memandang ke arah vido yang ada di kamera itu. Alex kemudian menekan tombol pause tepat pada satu bagian yang menurutnya sedikit aneh.
“Lihat!” ucap Alex. “Kalian melihat pantulan dalam cermin ini? Tidak begitu jelas, tapi lihat cahaya yang terpantul itu!”
“Cahaya…, lilin? Tidak mungkin!”
“Ini yang membuat Nick yakin bahwa…”
“Oh, sialan!” umpat Jonas panik. “Rumah itu memang benar-benar dihuni oleh seseorang. Dan Nick…”
“Dia pergi ke rumah itu seorang diri.”
Kepanikan mulai melanda ketiga remaja itu. Ketiganya lalu menjelaskan segalanya pada kedua orang tua Nick, dan meminta mereka untuk segera menghubungi polisi. Lalu, apa yang akan ketiga remaja itu lakukan?
Memang terdengar sedikit gila dan nekat, saat ketiga remaja itu berusaha untuk mendatangi urmah kosong sore itu. Apa yang mereka pikirkan? Tidak. Mereka bahkan tidak dapat berpikir hal lain selain keselamatan Nick.
Ketiganya berhenti saat tiba di depan rumah besar itu. Cahaya sore mulai menghilang, dan kengerian dari tempat itu mulai terasa dengan begitu jelas. Pohon besar yang ada di depan rumah itu menciptakan satu bayang-bayang yang cukup menantang.
“Kau yakin dengan ini?” tanya Jonas. “Kita bisa menunggu polisi, atau…”
“Tidak ada waktu.” Potong Alex. “Nick butuh bantuan kita.”
Ketiganya tidak dapat berunding lebih lama, karena mereka tahu bahwa nyawa Nick mungkin ada dalam bahaya. Dengan langkah perlahan, ketiganya mulai masuk ke dalam halaman rumah besar itu melalui celah di pagar.
Sampah dan dedaunan kering sudah memenuhi halaman rumah tua itu. Alex baru merasakan kengerian yang sesungguhnya saat ia sudah berada cukup dekat dengan dinding rumah tua itu. Beberapa jendelanya terlihat dipalang dari dalam, dan penuh dengan debu.
“Darimana kau masuk saat itu Eric?” tanya Alex.
“Pintu belakang.” Jawab Eric. “Saat itu tidak dikunci.”
Ketiganya mengendap hingga sampai di halaman belakang. Keadaan di bagian belakang rumah itu terlihat sama saja dengan bagian lain halaman. Terlihat kotor, penuh dengan sampah dan rumput setinggi lutut. Ketiganya segera mengarah pada sebuah pintu bercat putih yang terlihat sedikit terbuka. Alex memegang handel pintu itu, dan menahan nafasnya. Apa yang akan ia temukan di dalam rumah besar itu?
Debu dan udara yang lembab segera memenuhi paru-paru ketiga remaja itu saat mereka bergerak masuk. Mereka berada di dapur yang kotor dan tak terawat. Seperti dugaan mereka, debu telah memenuhi segala tempat. Wallpaper di dinding terlihat sudah kacau, terkelupas dan tidak layak. Barang-barang lain terlihat dibiarkan begitu saja. Alex masih dapat melihat adanya cangkir-cangkir kosong di meja makan, yang mungkin sudah ditinggalkan selama bertahun-tahun.
Alex menyadari bahwa memang ada seseorang di dalam rumah itu, saat ia melihat adanya bekas kaki di lantai yang berdebu. Bekas kaki tanpa sepatu, yang mengisyaratkan kembali bahwa keadaan saat itu cukup berbahaya. Mungkin mereka akan menemukan orang yng cukup berbahaya.
Apa yang Nick pikirkan? Hal itu yang masih menjadi pertanyaan di dalam kepala Alex. Jika Nick menyadari bahwa ada orang yang tinggal di dalam rumah itu, kenapa ia tidak membicarakannya? Kenapa dia menyimpan sendiri hal itu, dan memutuskan untuk mengunjungi rumah ini seorang diri?
“Rumah ini mengerikan.” Ucap Jonas saat ketiganya tiba di ruang tengah. Mereka menghadapi satu tangga besar yang mengarah ke lantai dua. Dan lagi-lagi, mereka dapat melihat jejak kaki di lantai.
“Ini mungkin berbahaya.” Ucap Jonas. “Alex…”
“Ssstt!!”
Ketiganya terdiam saat terdengar pintu belakang tertutup. Dan mereka mendengar langkah kaki. Ada orang yang masuk. Alex dan kedua temannya segera bergerak pergi, dan bersembunyi di salah satu ruangan. Dari sana, mereka mengawasi bagian depan tangga. Dan beberapa detik kemudian, munculah sosok tinggi besar yang tidak begitu jelas terlihat karena keadaan yang gelap. Namun dugaan mereka benar, bahwa memang ada orang yang tinggal di rumah kosong itu. Siapa orang itu?
“Alex, apa yang akan kita lakukan?” tanya Jonas. “Orang itu…”
“Kita cari Nick.” Ucap Alex. “Dan segera pergi dari tempat ini.”
Namun mereka tidak tahu harus darimana memulai. Dengan adanya orang lain di rumah itu, pergerakan mereka sedikit terbatas. Mereka harus bergerak perlahan, dan mencoba untuk tidak membuat suara. Mereka mulai memeriksa setiap ruangan yang ada di lantai satu. Namun mereka tidak melihat adanya tanda-tanda keberadaan Nick.
“Oh sial!” Jonas secara tidak sengaja menyenggol sebuah vas dan menjatuhkannya. Suara keras saat vas itu pecah membuat ketiganya kalang kabut. Dan sedetik kemudian, mereka mendengar suara langkah kaki dari lantai dua. Mereka ketahuan.
“LARI!!” teriak Jonas tanpa berkompromi dengan temannya. Keadaannya sedikit kalang kabut. Jonas berlari pergi bersama dengan Eric. Namun Alex sudah terlambat untuk menyusul keduanya. Saat langkah kaki itu mulai bergerak mendekat, Alex kembali masuk ke dalam satu ruangan kosong dan bersembunyi di sana dengan jantung berdetak kencang.
Dari celah pintu ia dapat melihat sosok tinggi besar itu. Sosok itu membelakanginya. Pakaian yang orang itu kenakan sudah lusuh dan penuh lubang, seperti seorang gelandangan. Yang membuat Alex bergidik adalah benda yang dipegang oleh orang itu. Terlihat seperti sebuah pedang kecil. Dan satu cahaya yang menyorot benda itu membuat Alex yakin bahwa yang ia lihat adalah bekas darah.
Alex mendengar pria itu menggerutu. Langkahnya pelan, bergerak lagi, mulai memeriksa setiap ruangan yang ada di lantai satu. Tinggal menunggu waktu hingga pria itu masuk ke dalam ruangan yang Alex tempati. Dan Alex benar-benar berada dalam kesulitan.
Jantung Alex semakin berdegup kencang saat pria itu tiba di depan ruangan yang ia tempati. Alex dapat mendengar dengan jelas desahan nafas berat pria itu. Dan tiba-tiba saja…
“PRANG!! KLONTANG!!”
Terdengar satu suara gaduh dari arah dapur, yang membatalkan usaha pria itu untuk masuk ke dalam ruangan yang Alex tempati. Dan sedetik kemudian, pria itu bergerak pergi untuk memeriksa suara itu.
Ini adalah kesempatan untuk Alex. Alex segera melesat dari ruangan itu, dan mengarah ke lantai dua. Apa yang ia pikirkan? Kenapa ia tidak segera pergi dari tempat itu?
Ia ingin melakukannya. Namun satu-satunya jalan adalah pintu belakang? Dan pria itu masih ada disana. dan Alex belum mau pergi sebelum ia tahu apa yang terjadi dengan temannya?
Alex melihat ada cahaya jingga dari sebuah ruangan di ujung koridor lantai dua. Kaki Alex bergerak dengan sendirinya, mengarah ke dalam ruangan itu. Ketika ia membuka pintunya, ia menemukan satu keadaan yang benar-benar tidak ia harapkan. Aroma busuk dan anyir bercampur menjadi satu di ruangan yang terlihat merah dipenuhi dengan darah itu. Bangkai-bangkai hewan terlihat tergantung dari langit-langit, dengan isi perut mereka berceceran di lantai. Namun yang benar-benar membuat Alex nyaris berteriak adalah satu sosok yang ada di atas meja.
Tubuh Nick terlihat terkulai tak berdaya, dengan kedua kaki dan lengan tergantung di sisi meja. Ada yang tidak normal dari pemandangan itu. Ya. Kepala Nick sudah terpisah dari tubuhnya.
Alex tidak dapat menahan dirinya untuk tidak memekik ketakutan. Pemandangan di dalam ruangan yang remang oleh cahaya lilin itu benar-benar tidak dapat ia percaya. Darah dan segalanya menjadikan ruangan itu seperti sebuah ruangan dari neraka.
Alex belum dapat terlepas dari keterkejutannya saat ia dengar suara langkah kaki cepat bergerak menuju ruangan itu. Tidak ada waktu bagi Alex untuk bersembunyi lagi. Detik berikutnya, sosok itu bergerak masuk dengan sorot mata dingin yang tajam menatapnya.
Pria itu memiliki rambut panjang kumal yang tergerai hingga pundaknya. Penampilannya begitu kotor, penuh dengan noda darah dan tanah. Wajahnya memiliki karakteristik keras, kejam, dan beanr-benar dapat membuat siapa saja berteriak ketakutan. Pria itu menatap Alex dengan tatapan penuh ambisi untuk membunuh. Di tangan pria itu, terdapat sebilah pedang pendek, yang segera ia ayunkan ke arah Alex disertai dengan satu teriaka keras.
Alex tidak tahu bagaimana ia bisa menghindar tepat waktu. Ia merunduk, dan menyadari bahwa ia sudah tidak aman lagi di dalam ruangan itu. Satu insting yang hadir di dirinya adalah segera keluar. Dengan langkah kaki cepat, Alex berlari menjauhi ruangan kematian itu.
“KEMBALI TIKUS KECIL!!” teriak pria itu.
Alex dipenuhi dengan rasa ketakutan. Setelah menilaht jenasah Nick, ingin rasanya ia berteriak, mungkin menangis. Dan ia tidak dapat berpikir dengan jernih lagi. Ia dapat merasakan aura jahat dari pria itu bergerak di belakangnya. Jika ia sampai tertangkap, mungkin ia akan berakhir seperti Nick.
Alex melangkah cepat, memutar tubuhnya dan mengarah ke tangga besar. namun dengan pikiran dan perasaan yang kacau, otot-otot di kakinya tidak bekerja sesuai dengan apa yang ia inginkan. Tiba-tiba saja, ia tersandung oleh kakinya sendiri, terjatuh, berguling menuruni tangga dengan rasa sakit menusuk setiap inci dari tubuhnya. Ketika ia tebaring di kaki tangga, yang dapat ia lihat hanyalah pemandangan yang kabur dan tidak jelas. Kedua matanya buram seketika. Namun ia masih dapat melihat sosok itu bergerak ke arahnya, dengan belati diangkat tinggi. Jantung Alex melompat, dan ini menjadi akhir dari apa yang ia sadari. Tanpa dapat ia kontrol, ia berteriak saat belati itu menyun ke arahnya.

**

“Alex!”
Alex mendengar suara itu dengan samar. Apa ia sudah mati? Tidak. Ia masih dapat meraskan hembusan angin dingin di wajahnya. Tapi…
Perlahan Alex membuka matanya, dan menemukan dirinya telah tebaring di halaman rumah besar itu. Jonas dan Eric menaunginya dengan raut wajah khawatir.
“Oh, syukurlah!” ucap Jonas seraya membantu Alex duduk. Alex masih belum mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi. Kepalanya terasa sakit, begitu juga dengan setiap inci tubuhnya. Ya. Kemudian ia ingat bahwa ia jatuh dari tangga. Dan pria itu…
“Kami datang tepat waktu.” Ucap Jonas. “Satu menit terlambat, mungkin kau sudah tercabik-cabik.”
“Kalian yang menyelamatkanku?” tanya Alex. “Bagaimana?”
“Dengan batu bata.” Sahut Eric. “Aku melepar batu bata ke arah pria itu, dan… BUM!! Pria itu terjatuh. Pingsan.”
Alex menghela nafasnya. Ia merasa lega dengan keadaannya saat ini, tapi…, ia masih teringat dengan apa yang terjadi dengan Nick. Mungkin waktunya tidak tepat. Namun ia harus segera memberitahukan kabar tidak menyenangkan itu pada kedua temannya.
“Nick…, dia…”
“Kami tahu.” Ucap Jonas. “Tidak ada yang bisa kita lakukan.”
Suara raungan sirne polisi memenuhi area di sekitar rumah kosong itu. Dan terdapat kerumunan yang penasaran dengan apa yang terjadi. Alex melihat beberapa anggota polisi bergerak keluar masuk rumah tua itu. Pertanyaannya, apa yang terjadi dengan pria itu?
Sore itu menjadi sore yang panjang bagi ketiga remaja itu. Mereka masih harus pergi ke kantor polisi untuk menjelaskan semua yang terjadi. Mengenai inisiasi malam itu, dan Nick yang bergerak kesana seorang diri. Mereka masih belum mengetahui motif Nick mendatangi rumah itu seorang diri. Seolah Nick ingin membuktikan sesuatu pada teman-temannya. Sayangnya, ia tidak hidup untuk menceritakan apa yang ia temukan.
Ketiga remaja itu akhirnya tahu kisah sebenarnya dari pria yang tinggal di rumah itu. Dia adalah seorang squatter, seseorang yang tinggal di banguan kosong. Dari cerita yang mereka dengar, pria itu adalah seorang buronan kepolisian atas kasus yang terjadi setahun yang lalu di kota sebelah. Dan pria itu, mungkin menggunakan rumah tua itu untuk bersembunyi. Selama masa persembunyiannya, ia memakan banyak hewan yang dapat ia tangkap. Hal itu menjelaskan kenapa ada banyak hewan domestik yang hilang dari kawasan itu.
Nick sepertinya datang di saat yang tidak tepat. Pria itu membunuhnya. Sengaja, atau tidak sengaja? Siapa yang tahu. Pria itu mungkin akan dicap sebagai seorang psikopat yang gila. Hal itu terlihat jelas dengan apa yang telah ia lakukan di dalam ruangan merah penuh darah itu.
Alex, Jonas, dan Eric tidak akan pernah tahu apa yang akan polisi lakukan pada orang itu. Yang jelas, itu bukan urusan mereka. Lalu…, apakah ada satu hal yang dapat mereka pelajari dari kasus ini?
“Jangan pernah bertindak nekat.” Ucap Jonas. “Eric beruntung malam itu ia tidak bertemu dengan pria gila itu.”
“Aku benci dengan rumah kosong.” Ucap Alex. “Aku tidak mau pulang lewat jalan depan rumah itu lagi.”
Mereka kehilangan Nick. Dan hal itu adalah satu hal yang sangat sulit untuk diterima. Namun, kekosongan Nick akan terisi, oleh Eric, yang sepertinya sudah cukup membuktikan bahwa ia bisa menjadi teman yang baik. Mereka akan berteman. Namun bukan berarti mereka melupakan Nick begitu saja. Nick tetap hidup dalam ingatan ketiganya.
Langit berubah gelap, saat matahari sepenuhnya tenggelam di ufuk barat. Kota itu kembali diselimuti dengan kegelapan dan hawa yang tidak menyenangkan. Adakah misteri lain di luar sana? Apakah Alex dan kedua kawannya akan melakukan investigasi lagi?
“Mungkin tidak dalam waktu dekat.” Ucap Alex menutup pembicaraan.

****