Kedua mata Brian terpaku pada sebuah benda yang terletak
tepat di depan kedua matanya. Bukan hanya dia saja, tetapi juga istrinya,
Karen, menatap heran pada sebuah benda yang secara misterius muncul dalam kotak
surat rumah mereka.
“Oke.” Ucap Brian sambil
mengangguk-angukan kepalanya, meski sebenarnya ia tidak mengerti dengan apa
yang ia pikirkan. Ia arahkan matanya pada Karen. Dan Karen hanya memberikannya
satu desahan panjang.
“Aneh.” Ucapnya kemudian.
“Menurutmu benda ini seharusnya tidak tiba disini? Mungkin salah alamat.”
“Mungkin begitu.” Balas
Brian sambil terus mengamati benda kecil seukuran telapak tangan itu.
Benda itu terbuat dari kayu
berwarna coklat gelap, berbentuk sedikit lonjong dan terdapat ukiran-ukiran
pada permukaannya, melingkari benda itu. Sekilas, benda itu tidak memiliki
nilai seni sama sekali. Namun ketika diperhatikan dengan lekat-lekat, mereka
dapat memahami bahwa sebenarnya desain dan ukiran pada benda kecil itu rumit,
dan membutuhkan seorang pemahat profesional untuk membuatnya.
“Aku belum pernah melihat
benda semacam ini.” Ucap Brian. “Apakah ini patung? Atau…, hiasan meja?”
“Tidak penting, Brian.” Ucap
Karen dengan tidak sabar. Dengan gerak cepat ia menyahut benda bulat itu lalu
memasukkannya kembali ke dalam box yang terbuka di sebelahnya.
“Kau harus mengirimkannya
kembali!”
“Kemana?” tanya Brian. “Nama
pengirimnya tidak tertulis di kotaknya. Bagaimana kita bisa tahu…”
“Yang penting jauhkan benda
itu dari rumah ini.”
“Karen, aku tidak…”
“Kumohon, Brian!” ucap Karen
meminta dengan sungguh-sungguh. Dari raut wajah yang ia keluarkan, Brian tahu
bahwa istrinya itu tidak bercanda saat itu.
“Baiklah.” Ucap Brian seraya
membungkus kembali patung itu dengan sehelai kertas, dan menguncinya
rapat-rapat pada kotak kardus kecil itu.
Brian dan Karen dapat merasa
sedikit lega setelah mengirimkan paket itu kembali pada kantor pos. mereka
harus menjelaskan bahwa paket itu tidak seharusnya tiba di rumah mereka. Entah
kenapa, mereka merasa aneh saat ada kehadiran benda kecil itu. Satu hal aneh, yang
tidak dapat mereka jelaskan.
Brian dan Karen kemudian
sama-sama melonjak kaget saat keesokan harinya, paket itu kembali muncul di
depan pintu rumah mereka. Tidak lagi di dalam kotak pos, tapi tepat diatas
karpet di depan pintu. Brian dan Karen hanya dapat menggelengkan kepalanya.
“Ini tidak masuk akal! Pasti
ulah salah satu temanku.” Ucap Brian dengan penuh kekesalan. Keisengan seperti
ini menurutnya sudah kelewatan. Dan jika benar ini hanyalah keisengan, yang
sempat membuat Karen takut, Brian tidak tahu apa yang harus ia lakukan pada
temannya yang jahil itu.
“Kau punya teman dengan
selera humor murahan seperti ini?” tanya Karen beberapa saat setelah Brian
membuka kembali paket berisi benda dari kayu itu.
“Ya.” Jawab Brian. “Aku
punya seorang teman yang usdah sering jahil sejak sma. Namun sudah lama kami
tidak berhubungan. Mungkin ini adalah salah satu keisengannya.”
“Lalu bagaimana?”
“Aku akan meneleponnya.”
Ucap Brian dengan sungguh-sungguh.
Tidak mudah bagi Brian untuk
melacak keberadaan David, temannya itu, yang sudah tidak berhubungan dengannya
selama kurang lebih sepuluh tahun. Brian harus bertanya sana-sini, menelepon ke
berbagai tempat dimana David pernah bekerja, lalu masih harus melakukan
penelusuran lain yang memakan banyak waktu. Tanpa Brian sadari, pekerjaannya
itu belum selesai hingga matahari terbenam.
“Ketemu!” teriak Brian
seketika. Karen bergerak menghampirinya sambil membawa secangkir teh panas.
“Kau mendapatkan nomornya?”
tanya Karen. Pertanyaannya itu dijawab dengan sebuah anggukan singkat.
“Mungkin besok saja…”
“Harus sekarang.” Potong
Brian. “David benar-benar keterlaluan.”
“Kau yakin pelakunya David?”
“Kenapa tidak? Ya. Tentu
saja.” Balas Brian. “Hanya dia yang rela melakukan hal seperti ini untuk sebuah
lelucon.”
Brian berpikir akan mendengar
tawa senang dari teman lamanya itu, karena sudah berhasil membuatnya ketakutan
dengan benda aneh itu. Namun ketika Brian menjelaskan segalanya, ada
kontradiksi antara teorinya dan kenyataan yang ia dengar.
“Patung kecil, dari kayu,
dan berukir. Kau yang mengirimkannya, ‘kan? Tanpa nama pengirim?”
“Aku tidak tahu apa yang kau
bciarakan, Brian.” Balas Dave di seberang sambungan telepon. “Kenapa kau
menuduhku?”
“Kau yang biasanya berbuat
jahil seperti ini. Sudah sejak dulu, Dave. Dan kini kau…”
“Bukan aku.” Potong David
seketika. “Aku mengerti dengan apa yang kau rasakan, tapi percayalah, bahwa aku
tidak tahu menahu mengenai patung kecil itu.”
Terdapat jeda selama satu
menit. Sebelum akhirnya Brian menjelaskan segala sesuatunya mengenai benda itu
pada David.
“Kedengarannya menarik.”
Ucap Dave. “Apa patung itu dibuat dari kayu hitam? Ehmm…., coklat?”
“Ya.” Jawab Brian. “Kau tahu
sesuatu mengenai benda seperti itu? Bukankah kau mempelajari benda-benda seni
dan antik di perguruan tinggi?”
“Ya. Sedikit.” Jawab Dave.
“Aku mungkin memiliki arsip mengenai benda itu…, tunggu sebentar!”
“Dave?” panggil Brian
setelah hampir tiga menit tidak mendengar suara teman lamanya itu.
“Ah! Aku tidak menemukannya.
Mengenai berkas itu.”
“Tapi kau kenal dengan benda
ini, ‘kan?” ucap Brian. “Tolong jelaskan! Karen, istriku, tidak tenang dengan
adanya benda itu di rumah. Dan anehnya, benda itu kembali pada kami setelah
kami mencoba membuangnya.”
“Aku akan berusaha
membantu.” Ucap Dave. “Tapi tidak saat ini. Aku masih banyak urusan. Kau
sebaiknya juga mencoba untuk mencari informasinya di internet. Mengenai idol
itu, patung itu maksudku. Kurasa…, ada kaitannya dengan kalangan etnik.”
“Oke.” Ucap Brian. “Terima
kasih, Dave. Dan maaf aku sudah menuduhmu tadi.”
Brian dan Karen serasa
menabrak tembok dan menemukan jalan buntu, saat tidak ada jawaban yang pasti
mengenai patung kecil dari kayu itu. Patung itu kini berdiri diatas meja,
terlihat kecil dan tak berdaya. Namun kedua orang itu tetap merasa bahwa ada
yang tidak beres dengan patung kecil itu.
Brian dan Karen mencoba
untuk tidur malam itu. Pekerjaan mereka seharian membuat keduanya tertidur
begitu cepat dan pulas. Mereka tidak ingat apa-apa lagi, saat tiba-tiba saja
terdengar sebuah suara keras dari lantai bawah.
“PRANG!!”
Brian membuka kedua matanya
seketika di dalam kegelapan kamar tidurnya. Ia berada diantara dunia nyata dan
mimpi. Dan tidak dapat menjelaskan mengenai suara kaca pecah itu.
Karen ikut bangun saat Brian
duduk sambil menyalakan lampu meja. Kedua matanya memandang ke arah istrinya
itu.
“Ada yang pecah.”
“Apa?”
“Aku mendengarnya. Dari
lantai bawah.”
“Pencuri?”
“Entahlah.”
Brian bangkit dari tempat
tidurnya, memakai sandal lantai, dan meraih sebuah tongkat baseball dari lemari
yang ada di koridor lantai dua. Perlahan, dalam kegelapan suasana malam,
keduanya bergerak menuju lantai satu. Brian tahu bahwa suara pecahan itu
berasal dari ruang tamu. Tapi ketika ia dan Karen tiba sampai di ruangan itu,
tidak ada yang berubah dari tatanan ruang tamu mereka. Semua benda masih di
tempatnya. Atau…., tidak.
“Patung itu!” ucap Brian
dengan mata terbelalak. Karen mengikuti arah telunjuk suaminya, dan mendapati
kotak kardus itu sudah kosong. Tanpa adanya patung kecil itu.
“Tidak mungkin!” pekik Karen
sambil mencoba menutup mulutnya. Dan nyata di depan kedua mata mereka, patung
yang mereka biarkan diatas meja sore tadi kini menghilang.
“Kau yakin meletakkannya
disini?”
“Kau melihatnya sendiri.”
Balas Karen.
Brian mengamati keadaan
sekitar ruang tamu itu. Sejauh dari apa yang dapat ia lihat, tidak ada benda
pecah. Kaca jendelanya pun masih utuh, tertutup oleh tirai.
Brian bergerak ke ruang
tengah. Begitu lampu menyala, terlihat sebuah vas hiasan diatas meja telah
hancur berkeping diatas lantai. Suara pecahan itu pasti berasal dari vas itu.
Tapi bagaimana mungkin? Vas itu sudah bertahun-tahun duduk diatas meja tanpa
pernah bergeser. Dan kini jatuh? Bahkan tidak ada gempa bumi.
Kedua mata Brian membelalak
seketika saat ia dapati sebuah benda tergeletak tak jauh dari vas bunga itu.
Sebuah benda kecil, dari kayu, dan berukir.
“Kau tidak akan mempercayai
hal ini.” Ucap Brian seraya mengangkat benda kecil itu, dan memperlihatkannya
pada Karen. Karen terbelalak, memandang dengan tatapan penuh ketidakpercayaan.
“Bagaimana mungkin?”
ucapnya.
“Benda ini memecahkan vas
kita. Ini mulai tidak wajar.” Ucap Brian. “Aku tidak tahu cerita dibalik benda
ini, dan aku sudah tidak mau melihatnya lagi.”
Brian bergerak cepat kembali
ke ruang tamu. Ia masukkan benda kayu itu ke dalam box putihnya, lalu menggunakan
plester untuk menahan agar box-nya tidak terbuka.
“Aku akan membuangnya.” Ucap
Brian cepat seraya meraih jaketnya.
Keadaan malam begitu sunyi.
Langit terlihat tenang, cerah, dengan rembulan sedikit tersembunyi dibalik
sejumput awan. Cahaya keperakannya menemani langkah Brian saat pria itu
bergerak ke arah tempat penimbunan sampah yang berjarak tidak begitu jauh dari
rumahnya.
Keadaan di tempat sampah itu
tentu saja sepi di jam-jam seperti itu. Brian tidak mendapatkan gangguan
sedikitpun saat ia mulai melempar box putih itu jauh-jauh ke tengah tumpukan
sampah. Terdengar suara berkelontang saat box itu mengenai rongoskan lain, lalu
keadaannya kembali tenang.
Brian tidak tahu apa yang
harus ia rasakan saat itu. Perasaannya sedikit melayang, dan merasa belum puas
dengan apa yang ia lakukan. Namun memang hanya itu yang dapat ia lakukan.
“Barang itu tidak mungkin
kembali.” Ucap Brian saat ia bergerak masuk kembali ke dalam rumah. “Besok
pagi, benda itu akan terbakar bersama sampah lain.”
“Aku merasa aneh, Brian.”
“Sama.” Balas Brian. “Benda
itu…., terkutuk. Aku bahkan tidak menyukai kata itu. Dan mengenai hal
supranatural…”
“Kita bicarakan ini besok
pagi.” Potong Karen seraya mendorong tubuh suaminya. “Kita kembali tidur.”
**
“Bagaimana kabar mengenai
benda itu?” tanya Dave keesokan harinya di telepon. Brian saat itu sedang
menghadapi sarapan paginya. Karen terlihat sibuk di dapur.
“Aku membuangnya.” Ucap
Brian. “Benda itu…, ah! Aku tidak tahu harus bagaimana menceritakannya.”
“Kau sudah mempelajari
mengenai benda itu?”
“Benda itu terkutuk.” Tegas
Brian. “Dan aku tidak perlu banyak tahu soal itu. Sekarang, benda itu mungkin
sudah terbakar bersama sampah lainnya.”
“Sayang aku tidak bisa
membantu banyak.” Ucap Dave. “Aku sempat mencari tahu soal patung kecil itu, yang
kelihatannya berasal dari Norlandia.”
“Norlandia?”
“Salah satu suku primitif di
negara itu. Kurasa…, aku tidak yakin.”
“Terima kasih, Dave.” Ucap
Brian. “Kapan-kapan kita harus bertemu. Sudah terlalu lama kita berpisah,
‘kan?”
“Ide yang bagus.”
Meskipun Brian sudah
membuang benda itu, namun ia masih meraa bahwa mungkin benda itu akan kembali.
Sebelum ia berangkat bekerja, ia periksa kotak suratnya, dan memastikan tidak
ada lagi box putih itu.
“Sepertinya aman.” Ucapnya
pada Karen yang mengantarnya sampai pintu depan. “Aku berangkat.”
Untuk sejenak, Brian tidak
memikirkan mengenai patung misterius itu selama ia bekerja. Pekerjaannya yang
menumpuk membuatnya lupa. Dan sepertinya hal yang bagus. Namun satu hal yang ia
takutkan terjadi begitu ia pulang sore harinya. Karen sudah menunggunya di
ruang tamu, dan terdapat box putih itu lagi diatas meja. Lengkap dengan patung
kayu kecil itu.
**
“Ini mustahil! Tidak
mungkin!”
Brian berteriak penuh emosi,
tentu saja karena keberadaan patung kecil yang terus kembali ke rumahnya itu.
Kotak yang ada di atas meja adalah kotak dengan plester, kotak yang sama dengan
kotak yang ia buang semalam. Tidak mungkin ada orang lain yang jahil padanya
soal hal itu. Dan kini, Brian sudah hampir kehilangan akal sehatnya.
“Kenapa tidak tanyakan lagi
pada David?” tanya Karen. Ia pun tidak tahu ahrus berbuat bagaimana lagi.
“Ya.” Balas Brian. “Aku akan
mencari tahu soal benda ini. Dan mungkin…, mungkin satu cara untuk
menghancurkannya. Benda ini benar-benar benda terkutuk.”
Brian berusaha sebisa
mungkin untuk dapat menemukan segala informasi mengenai benda kayu tersebut.
Namun hari itu ia sudah kelelahan, dan ia berniat untuk melakukan pencarian
besok pagi. Namun malam itu terjadi satu kejadian janggal yang benar-benar
membuat Brian nyaris gila.
Karen tiba-tiba saja
berteriak di tengah malam, dengan suara tercekik. Wajah wanita itu berbah
pucat, dan tangannya mencoba menggapai-gapai ke arah lehernya, seolah ada
benang tidak terlihat yang mencekiknya. Brian panik untuk sesaat melihat
istrinya menggila seperti itu. Belum sempat ia bertindak, istrinya dapat
bernafas kembali. Wajah wanita itu memerah, dengan mata berair. Seolah baru
saja benar-benar tercekik.
“Kau tidak apa-apa?” tanya
Brian. “Apa yang…”
“Patung itu!” ucap Karen
dengan nada serak. “Aku melihat patung itu di dalam mimpiku, dan tiba-tiba saja
ada sesuatu yang keluar dari patung itu. Menyerangku dan…”
Brian tidak perlu menunggu
penjelasan istrinya lebih lanjut. Sejak awal ia sudah menduga bahwa patung itu
akan bermasalah. Dan kini sudah diluar batas. Benar-benar sudah keterlaluan.
Brian bergerak turun, lalu
mengarah ke ruang tamu dimana patung kecil itu berada. Ia temukan patung itu
tergeletak diatas meja. Namun ketika ia meraihnya, Brian seperti menyentuh
barang yang panas, dan menarik tangannya seketika.
“Sekarang apa lagi?” ucapnya
kesal. Patung itu terlihat normal dan sama sekali tidak terbakar. Namun rasanya
panas.
Brian membiarkan patung itu
diatas meja, lalu kembali lagi ke kamarnya. Ia lirik jarum jam menunjukkan
pukul satu dinihari. Masih terlalu malam untuk menelepon Dave meminta bantuan.
Namun Brian sudah tidak tahan lagi, dan ingin segera menyingkirkan benda
terkutuk itu.
Internet adalah satu-satunya
cara untuk mendapatkan informasi kala itu. Karen bertanya padanya, apa yang
akan ia cari?
“Sesuatu mengenai etnik di
Norlandia.” Ucap Brian seraya mengetik cepat di keyboard. “Dave mengatakan
sesuatu mengenai suku di negara itu, yang mungkin berkaitan dengan patung itu.
Aku berusaha mencari jawabannya.”
Karen hanya dapat menemani
suaminya itu. Jam-jam berlalu, namun sepertinya Brian belum menemukan satupun
jawaban atas patung misterius itu. Brian terlihat cukup berantakan, dan memaksa
kedua matanya untuk terus terbuka. Sudah ada puluhan halaman situs yang ia
kunjungi, namun hanya sedikit yang membahas mengenai suku di Norlandia.
Kebanyakan dari suku yang dikenal sudah tidak lagi mempraktekkan ilmu hitam.
Tapi beberapa suku dalam, mungkin masih menggunakan praktek ilmu hitam seperti
itu.
Brian berpikir, jika memang
patung itu ada kaitannya dengan ilmu hitam, dan seseorang mencoba untuk
mencelakainya, lalu apa alasannya? Brian merasa ia tidak pernah membuat marah
orang lain, dan ia tidak punya musuh. Mungkin di kantor ia memang memiliki
beberapa saingan. Namun kekesalan orang-orang itu tidak bisa dihubungkan dengan
benda gaib seperti ini.
Jarum jam menunjukkan pukul
empat pagi, ketika pada akhirnya Brian menemukan satu artikel kecil yang
terletak begitu tersembunyi, yang membahas mengenai ilmu hitam dalam salah satu
suku di Norlandia.
“Kau menemukannya?” tanya
Karen seraya bergerak mendekat. Brian menunjuk dengan jarinya ke arah monitor,
dan menunjukkan sebuah foto benda kayu kecil, yang terlihat sama persis dengan
benda kayu yang saat itu ada di ruang tamu mereka.
“Astaga!”
“Benda ini benar-benar
terkutuk.” Ucap Brian. “Suku Nomar, di Norlandia, adalah salah satu suku yang
belum tersentuh oleh peradaban modern. Suku ini terkenal dengan ilmu hitam
mereka, seperti vodoo, atau semacamnya. Namun yang paling mematikan adalah
praktek benda gaib itu. Patung ini. Yang disini disebut sebagai ‘Idol of
Death’.”
“Idol of Death?”
“Ya.” Balas Brian. “Suku
Nomar menggunakan benda itu sebagai serangan pada suku lain. Biasanya mereka
akan mengubur patungnya di dekat perkampungan suku lain, yang menyebabkan
kejadian-kejadian aneh. Salah satu laporan menunjukkan bahwa efek dari patung
tersebut sungguh besar pengaruhnya. Kampung yang memiliki patung itu
seolah-olah berubah. Penduduknya menggila, dan akan saling membunuh. Ini dalah
senjata mematikan yang dimiliki oleh suku Nomar.”
“Tapi bagaimana benda itu
bisa keluar dari perkampungan suku?” tanya Karen. “Mungkin seseorang
menggunakan jasa mereka untuk…”
“Tepat sekali.” Sahut Brian.
“Lihat! Di salah satu komentarnya tertulis bahwa ada beberapa kalangan di Norlandia
dan Sherland yang secara diam-diam menggunakan kekuatan dari suku Nomar, untuk
melakukan hal buruk pada orang lain. Katakan saja seperti…, saingan kerja, atau
bisnis orang lain. Dan benda ini terbukti efektif.”
“Bagaimana dengan kita?”
tanya Karen. “Mungkinkan ada seseroang yang ingin menghancurkan kehidupan kita?
Maksudku…, ini tidak masuk akal. Kita tidak pernah…”
“Aku juga ingin tahu soal
itu. Tapi yang terpenting, kita harus menyingkirkan benda itu sebelum efeknya
muncul dalam diri kita.”
“Bagaimana caranya?” tanya
Karen. “Apa tertulis di situs itu bagaimana cara…”
“Tidak.” Jawab Brian. Ia
terdengar sedikit kecewa. “Tidak dikatakan bagaimana cara menangkap kutukan
itu.”
“Oh, sial!”
“Aku akan menghubungi
David.”
Sambungan telepon terbuka
beberapa menit kemudian. Brian sebenarnya tidak ingin membangunkan orang lain
terlalu pagi, jika saja ia tidak punya masalah besar.
“Aku baru akan
menghubungimu, Brian.” Ucap Dave cepat sebelum Brian sempat menjelaskan
keadaannya saat itu.
“Mengenai patung itu, aku
menemukan jawabannya.”
“Suku Nomar, Norlandia,
‘kan?” ucap Brian. Yang tentu saja terdengar begitu mengejutkan bagi temannya
itu.
“Bagaimana kau…, sudahlah!
Ya. Suku Nomar. Dan benda itu…”
“Benda pembawa kutukan yang
digunakan sebagai senjata bagi suku Nomar.”
“Dan sangat berbahaya.”
Tambah Dave. “Kau harus segera menyingkirkannya secepat mungkin, Brian.”
“Aku sudah mencoba.” Jawab
Brian. “Aku membuangnya jauh, tiba-tiba saja patung itu kembali ke rumahku.”
“Tidak bisa dilakukan dengan
cara normal.” Ucap Dave. “Kau tahu? Aku sudah tahu cara menangkal kutukan itu.”
**
Langit masih gelap saat
Brian dan Karen bergerak di sepanjang bantaran sungai yang ada di kota itu. Di
tangan Brian, terdapat kotak putih itu, yang berisi patung kecil pembawa maut
yang akan ia singkirkan dengan benar. Ia sudah mendapatkan pengarahan dari David
mengenai cara menangkal kutukan dari patung itu. Cara lama, yang mungkin saja
berhasil. Jika tidak, maka Brian dan Karen harus memikirkan cara lain.
Mereka berhenti saat tiba di
bawah jembatan. Keadaan yang sedikit gelap membuat Brian sedikit bingung,
hingga akhirnya Karen menyalakan korek.
“Disini.” Ucap Brian sambil
meletakkan box putih itu, dan membuka tutupnya. Di dalam kotak itu terdapat
benda dari kayu tersebut, yang entah kenapa masih terasa panas ketika disentuh.
Mungkin ada kaitannya dengan kutukan yang masih berlangsung itu.
“Kau yakin cara ini akan
berhasil?” tanya Karen sedikit ragu. Brian pun tidak sepenuhnya yakin. Namun ia
harus melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh David.
“Cara normal tidak akan bisa
menghilangkan kutukan itu.” Ucap Brian. “Seperti kata David, kita harus
melakukan beberapa hal sebelum menghancurkan patung ini.”
“Dengan api?”
“Hanya itu satu-satunya cara
yang ampuh untuk menangkal kutukan. Kita harus membakar benda ini. Tapi itu
saja tidak cukup.”
“Aku sudah membawa segenggam
garam.” Ucap Karen. “Hanya dengan ini?”
“Garam sangat ampuh menampik
kekuatan jahat.” Ucap Brian.
Brian berjongkok tepat di
depan patung kecil itu. Dengan sangat perlahan, ia menaburkan garam pada
permukaan patung kecil. Benda lain yang ia tambahkan adalah sepercik minyak
tanah, untuk mempermudah pembakarannya.
“Ini saatnya.” Ucap Brian.
“Meski aku tidak begitu yakin.”
Dengan satu gerakan Brian
menyulut korek apinya, lalu mendekatkan nyala api kecil itu ke arah patung,
yang tiba-tiba saja menyala dengan kobaran api yang luar biasa. Brian melompat
ke belakang saat lidah api nyaris menyentuh lengannya. Dan sedetik kemudian,
terdengar satu hal yang aneh dan nyaris tidak dapat mereka percaya.
Terdengar suara jeritan dari
dalam benda yang terbakar itu. Seolah mereka tengah membakar seseorang di dalam
patung kecil itu. Jeritannya melengking, becampur dengan suara kayu yang
terbakar. Api yang menyala besar itu pun terlihat tidak normal. Tidak akan ada
api yang dapat menyala sebesar itu untuk benda yang kecil.
Jeritan dari dalam patung
itu semakin lama semakin tinggi. Dan kobaran api semakin besar, hingga pada
akhirnya meledak, membuat Brian dan Karen harus melompat menghindari pecahan
dari kayu itu.
Brian dan Karen menatap
dengan nanar ke arah bara api, yang lama kelamaan mulai mereda. Api menjadi
begitu kecil, dan meninggalkan bara yang menyala diatas permukaan tanah.
Jeritan itu pun berhenti. Mungkin…, ini adalah akhir dari kutukan itu.
“Mungkin memang berhasil.”
Ucap Brian sambil tersenyum kecil. Api yang ada di hadapan kedua matanya itu
akhirnya padam. Dan sebongkah kecil sisa kayu itu kini berubah menjadi arang.
“Aku tidak mau benda ini
kembali.” Ucap Brian seraya menedang arang kecil itu ke arah sungai. Benda itu,
terjatuh, dan menghilang dari pandangan.
Secercah matahari pagi
menandakan akhir dari teror patung kecil itu. Bagi Brian dan Karen, pengalaman
ini tidak akan pernah mereka lupakan, sebagai satu hal dalam kehidupan mereka
yang tergolong tidak masuk akal. Siapa yang mengirimkan patung terkutuk itu,
dan apa tujuannya? Brian dan Karen tidak akan pernah tahu. Mungkin cerita ini
hanya akan berakhir dalam ingatan mereka. Dan mereka tidak mau mendengar lagi
cerita tentang patung terkutuk suku Nomar. Tidak lagi. Tapi…
Keesokan harinya menjadi
hari yang mengguncang lagi bagi pasangan suami istri itu, saat mereka menemukan
bungkusan putih lain di dalam kotak pos mereka. Dan kali ini, terdapat alamat
pengirim, yang bertuliskan ‘DARI NERAKA’. Dan di dalam box putih itu, tentu
saja…, patung terkutuk itu lagi.
****
No comments:
Post a Comment