Thursday, August 11, 2016

PAKET MISTERIUS



Kedua mata Brian terpaku pada sebuah benda yang terletak tepat di depan kedua matanya. Bukan hanya dia saja, tetapi juga istrinya, Karen, menatap heran pada sebuah benda yang secara misterius muncul dalam kotak surat rumah mereka.
“Oke.” Ucap Brian sambil mengangguk-angukan kepalanya, meski sebenarnya ia tidak mengerti dengan apa yang ia pikirkan. Ia arahkan matanya pada Karen. Dan Karen hanya memberikannya satu desahan panjang.
“Aneh.” Ucapnya kemudian. “Menurutmu benda ini seharusnya tidak tiba disini? Mungkin salah alamat.”
“Mungkin begitu.” Balas Brian sambil terus mengamati benda kecil seukuran telapak tangan itu.
Benda itu terbuat dari kayu berwarna coklat gelap, berbentuk sedikit lonjong dan terdapat ukiran-ukiran pada permukaannya, melingkari benda itu. Sekilas, benda itu tidak memiliki nilai seni sama sekali. Namun ketika diperhatikan dengan lekat-lekat, mereka dapat memahami bahwa sebenarnya desain dan ukiran pada benda kecil itu rumit, dan membutuhkan seorang pemahat profesional untuk membuatnya.
“Aku belum pernah melihat benda semacam ini.” Ucap Brian. “Apakah ini patung? Atau…, hiasan meja?”
“Tidak penting, Brian.” Ucap Karen dengan tidak sabar. Dengan gerak cepat ia menyahut benda bulat itu lalu memasukkannya kembali ke dalam box yang terbuka di sebelahnya.
“Kau harus mengirimkannya kembali!”
“Kemana?” tanya Brian. “Nama pengirimnya tidak tertulis di kotaknya. Bagaimana kita bisa tahu…”
“Yang penting jauhkan benda itu dari rumah ini.”
“Karen, aku tidak…”
“Kumohon, Brian!” ucap Karen meminta dengan sungguh-sungguh. Dari raut wajah yang ia keluarkan, Brian tahu bahwa istrinya itu tidak bercanda saat itu.
“Baiklah.” Ucap Brian seraya membungkus kembali patung itu dengan sehelai kertas, dan menguncinya rapat-rapat pada kotak kardus kecil itu.
Brian dan Karen dapat merasa sedikit lega setelah mengirimkan paket itu kembali pada kantor pos. mereka harus menjelaskan bahwa paket itu tidak seharusnya tiba di rumah mereka. Entah kenapa, mereka merasa aneh saat ada kehadiran benda kecil itu. Satu hal aneh, yang tidak dapat mereka jelaskan.
Brian dan Karen kemudian sama-sama melonjak kaget saat keesokan harinya, paket itu kembali muncul di depan pintu rumah mereka. Tidak lagi di dalam kotak pos, tapi tepat diatas karpet di depan pintu. Brian dan Karen hanya dapat menggelengkan kepalanya.
“Ini tidak masuk akal! Pasti ulah salah satu temanku.” Ucap Brian dengan penuh kekesalan. Keisengan seperti ini menurutnya sudah kelewatan. Dan jika benar ini hanyalah keisengan, yang sempat membuat Karen takut, Brian tidak tahu apa yang harus ia lakukan pada temannya yang jahil itu.
“Kau punya teman dengan selera humor murahan seperti ini?” tanya Karen beberapa saat setelah Brian membuka kembali paket berisi benda dari kayu itu.
“Ya.” Jawab Brian. “Aku punya seorang teman yang usdah sering jahil sejak sma. Namun sudah lama kami tidak berhubungan. Mungkin ini adalah salah satu keisengannya.”
“Lalu bagaimana?”
“Aku akan meneleponnya.” Ucap Brian dengan sungguh-sungguh.
Tidak mudah bagi Brian untuk melacak keberadaan David, temannya itu, yang sudah tidak berhubungan dengannya selama kurang lebih sepuluh tahun. Brian harus bertanya sana-sini, menelepon ke berbagai tempat dimana David pernah bekerja, lalu masih harus melakukan penelusuran lain yang memakan banyak waktu. Tanpa Brian sadari, pekerjaannya itu belum selesai hingga matahari terbenam.
“Ketemu!” teriak Brian seketika. Karen bergerak menghampirinya sambil membawa secangkir teh panas.
“Kau mendapatkan nomornya?” tanya Karen. Pertanyaannya itu dijawab dengan sebuah anggukan singkat.
“Mungkin besok saja…”
“Harus sekarang.” Potong Brian. “David benar-benar keterlaluan.”
“Kau yakin pelakunya David?”
“Kenapa tidak? Ya. Tentu saja.” Balas Brian. “Hanya dia yang rela melakukan hal seperti ini untuk sebuah lelucon.”
Brian berpikir akan mendengar tawa senang dari teman lamanya itu, karena sudah berhasil membuatnya ketakutan dengan benda aneh itu. Namun ketika Brian menjelaskan segalanya, ada kontradiksi antara teorinya dan kenyataan yang ia dengar.
“Patung kecil, dari kayu, dan berukir. Kau yang mengirimkannya, ‘kan? Tanpa nama pengirim?”
“Aku tidak tahu apa yang kau bciarakan, Brian.” Balas Dave di seberang sambungan telepon. “Kenapa kau menuduhku?”
“Kau yang biasanya berbuat jahil seperti ini. Sudah sejak dulu, Dave. Dan kini kau…”
“Bukan aku.” Potong David seketika. “Aku mengerti dengan apa yang kau rasakan, tapi percayalah, bahwa aku tidak tahu menahu mengenai patung kecil itu.”
Terdapat jeda selama satu menit. Sebelum akhirnya Brian menjelaskan segala sesuatunya mengenai benda itu pada David.
“Kedengarannya menarik.” Ucap Dave. “Apa patung itu dibuat dari kayu hitam? Ehmm…., coklat?”
“Ya.” Jawab Brian. “Kau tahu sesuatu mengenai benda seperti itu? Bukankah kau mempelajari benda-benda seni dan antik di perguruan tinggi?”
“Ya. Sedikit.” Jawab Dave. “Aku mungkin memiliki arsip mengenai benda itu…, tunggu sebentar!”
“Dave?” panggil Brian setelah hampir tiga menit tidak mendengar suara teman lamanya itu.
“Ah! Aku tidak menemukannya. Mengenai berkas itu.”
“Tapi kau kenal dengan benda ini, ‘kan?” ucap Brian. “Tolong jelaskan! Karen, istriku, tidak tenang dengan adanya benda itu di rumah. Dan anehnya, benda itu kembali pada kami setelah kami mencoba membuangnya.”
“Aku akan berusaha membantu.” Ucap Dave. “Tapi tidak saat ini. Aku masih banyak urusan. Kau sebaiknya juga mencoba untuk mencari informasinya di internet. Mengenai idol itu, patung itu maksudku. Kurasa…, ada kaitannya dengan kalangan etnik.”
“Oke.” Ucap Brian. “Terima kasih, Dave. Dan maaf aku sudah menuduhmu tadi.”
Brian dan Karen serasa menabrak tembok dan menemukan jalan buntu, saat tidak ada jawaban yang pasti mengenai patung kecil dari kayu itu. Patung itu kini berdiri diatas meja, terlihat kecil dan tak berdaya. Namun kedua orang itu tetap merasa bahwa ada yang tidak beres dengan patung kecil itu.
Brian dan Karen mencoba untuk tidur malam itu. Pekerjaan mereka seharian membuat keduanya tertidur begitu cepat dan pulas. Mereka tidak ingat apa-apa lagi, saat tiba-tiba saja terdengar sebuah suara keras dari lantai bawah.
“PRANG!!”
Brian membuka kedua matanya seketika di dalam kegelapan kamar tidurnya. Ia berada diantara dunia nyata dan mimpi. Dan tidak dapat menjelaskan mengenai suara kaca pecah itu.
Karen ikut bangun saat Brian duduk sambil menyalakan lampu meja. Kedua matanya memandang ke arah istrinya itu.
“Ada yang pecah.”
“Apa?”
“Aku mendengarnya. Dari lantai bawah.”
“Pencuri?”
“Entahlah.”
Brian bangkit dari tempat tidurnya, memakai sandal lantai, dan meraih sebuah tongkat baseball dari lemari yang ada di koridor lantai dua. Perlahan, dalam kegelapan suasana malam, keduanya bergerak menuju lantai satu. Brian tahu bahwa suara pecahan itu berasal dari ruang tamu. Tapi ketika ia dan Karen tiba sampai di ruangan itu, tidak ada yang berubah dari tatanan ruang tamu mereka. Semua benda masih di tempatnya. Atau…., tidak.
“Patung itu!” ucap Brian dengan mata terbelalak. Karen mengikuti arah telunjuk suaminya, dan mendapati kotak kardus itu sudah kosong. Tanpa adanya patung kecil itu.
“Tidak mungkin!” pekik Karen sambil mencoba menutup mulutnya. Dan nyata di depan kedua mata mereka, patung yang mereka biarkan diatas meja sore tadi kini menghilang.
“Kau yakin meletakkannya disini?”
“Kau melihatnya sendiri.” Balas Karen.
Brian mengamati keadaan sekitar ruang tamu itu. Sejauh dari apa yang dapat ia lihat, tidak ada benda pecah. Kaca jendelanya pun masih utuh, tertutup oleh tirai.
Brian bergerak ke ruang tengah. Begitu lampu menyala, terlihat sebuah vas hiasan diatas meja telah hancur berkeping diatas lantai. Suara pecahan itu pasti berasal dari vas itu. Tapi bagaimana mungkin? Vas itu sudah bertahun-tahun duduk diatas meja tanpa pernah bergeser. Dan kini jatuh? Bahkan tidak ada gempa bumi.
Kedua mata Brian membelalak seketika saat ia dapati sebuah benda tergeletak tak jauh dari vas bunga itu. Sebuah benda kecil, dari kayu, dan berukir.
“Kau tidak akan mempercayai hal ini.” Ucap Brian seraya mengangkat benda kecil itu, dan memperlihatkannya pada Karen. Karen terbelalak, memandang dengan tatapan penuh ketidakpercayaan.
“Bagaimana mungkin?” ucapnya.
“Benda ini memecahkan vas kita. Ini mulai tidak wajar.” Ucap Brian. “Aku tidak tahu cerita dibalik benda ini, dan aku sudah tidak mau melihatnya lagi.”
Brian bergerak cepat kembali ke ruang tamu. Ia masukkan benda kayu itu ke dalam box putihnya, lalu menggunakan plester untuk menahan agar box-nya tidak terbuka.
“Aku akan membuangnya.” Ucap Brian cepat seraya meraih jaketnya.
Keadaan malam begitu sunyi. Langit terlihat tenang, cerah, dengan rembulan sedikit tersembunyi dibalik sejumput awan. Cahaya keperakannya menemani langkah Brian saat pria itu bergerak ke arah tempat penimbunan sampah yang berjarak tidak begitu jauh dari rumahnya.
Keadaan di tempat sampah itu tentu saja sepi di jam-jam seperti itu. Brian tidak mendapatkan gangguan sedikitpun saat ia mulai melempar box putih itu jauh-jauh ke tengah tumpukan sampah. Terdengar suara berkelontang saat box itu mengenai rongoskan lain, lalu keadaannya kembali tenang.
Brian tidak tahu apa yang harus ia rasakan saat itu. Perasaannya sedikit melayang, dan merasa belum puas dengan apa yang ia lakukan. Namun memang hanya itu yang dapat ia lakukan.
“Barang itu tidak mungkin kembali.” Ucap Brian saat ia bergerak masuk kembali ke dalam rumah. “Besok pagi, benda itu akan terbakar bersama sampah lain.”
“Aku merasa aneh, Brian.”
“Sama.” Balas Brian. “Benda itu…., terkutuk. Aku bahkan tidak menyukai kata itu. Dan mengenai hal supranatural…”
“Kita bicarakan ini besok pagi.” Potong Karen seraya mendorong tubuh suaminya. “Kita kembali tidur.”

**

“Bagaimana kabar mengenai benda itu?” tanya Dave keesokan harinya di telepon. Brian saat itu sedang menghadapi sarapan paginya. Karen terlihat sibuk di dapur.
“Aku membuangnya.” Ucap Brian. “Benda itu…, ah! Aku tidak tahu harus bagaimana menceritakannya.”
“Kau sudah mempelajari mengenai benda itu?”
“Benda itu terkutuk.” Tegas Brian. “Dan aku tidak perlu banyak tahu soal itu. Sekarang, benda itu mungkin sudah terbakar bersama sampah lainnya.”
“Sayang aku tidak bisa membantu banyak.” Ucap Dave. “Aku sempat mencari tahu soal patung kecil itu, yang kelihatannya berasal dari Norlandia.”
“Norlandia?”
“Salah satu suku primitif di negara itu. Kurasa…, aku tidak yakin.”
“Terima kasih, Dave.” Ucap Brian. “Kapan-kapan kita harus bertemu. Sudah terlalu lama kita berpisah, ‘kan?”
“Ide yang bagus.”
Meskipun Brian sudah membuang benda itu, namun ia masih meraa bahwa mungkin benda itu akan kembali. Sebelum ia berangkat bekerja, ia periksa kotak suratnya, dan memastikan tidak ada lagi box putih itu.
“Sepertinya aman.” Ucapnya pada Karen yang mengantarnya sampai pintu depan. “Aku berangkat.”
Untuk sejenak, Brian tidak memikirkan mengenai patung misterius itu selama ia bekerja. Pekerjaannya yang menumpuk membuatnya lupa. Dan sepertinya hal yang bagus. Namun satu hal yang ia takutkan terjadi begitu ia pulang sore harinya. Karen sudah menunggunya di ruang tamu, dan terdapat box putih itu lagi diatas meja. Lengkap dengan patung kayu kecil itu.

**

“Ini mustahil! Tidak mungkin!”
Brian berteriak penuh emosi, tentu saja karena keberadaan patung kecil yang terus kembali ke rumahnya itu. Kotak yang ada di atas meja adalah kotak dengan plester, kotak yang sama dengan kotak yang ia buang semalam. Tidak mungkin ada orang lain yang jahil padanya soal hal itu. Dan kini, Brian sudah hampir kehilangan akal sehatnya.
“Kenapa tidak tanyakan lagi pada David?” tanya Karen. Ia pun tidak tahu ahrus berbuat bagaimana lagi.
“Ya.” Balas Brian. “Aku akan mencari tahu soal benda ini. Dan mungkin…, mungkin satu cara untuk menghancurkannya. Benda ini benar-benar benda terkutuk.”
Brian berusaha sebisa mungkin untuk dapat menemukan segala informasi mengenai benda kayu tersebut. Namun hari itu ia sudah kelelahan, dan ia berniat untuk melakukan pencarian besok pagi. Namun malam itu terjadi satu kejadian janggal yang benar-benar membuat Brian nyaris gila.
Karen tiba-tiba saja berteriak di tengah malam, dengan suara tercekik. Wajah wanita itu berbah pucat, dan tangannya mencoba menggapai-gapai ke arah lehernya, seolah ada benang tidak terlihat yang mencekiknya. Brian panik untuk sesaat melihat istrinya menggila seperti itu. Belum sempat ia bertindak, istrinya dapat bernafas kembali. Wajah wanita itu memerah, dengan mata berair. Seolah baru saja benar-benar tercekik.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Brian. “Apa yang…”
“Patung itu!” ucap Karen dengan nada serak. “Aku melihat patung itu di dalam mimpiku, dan tiba-tiba saja ada sesuatu yang keluar dari patung itu. Menyerangku dan…”
Brian tidak perlu menunggu penjelasan istrinya lebih lanjut. Sejak awal ia sudah menduga bahwa patung itu akan bermasalah. Dan kini sudah diluar batas. Benar-benar sudah keterlaluan.
Brian bergerak turun, lalu mengarah ke ruang tamu dimana patung kecil itu berada. Ia temukan patung itu tergeletak diatas meja. Namun ketika ia meraihnya, Brian seperti menyentuh barang yang panas, dan menarik tangannya seketika.
“Sekarang apa lagi?” ucapnya kesal. Patung itu terlihat normal dan sama sekali tidak terbakar. Namun rasanya panas.
Brian membiarkan patung itu diatas meja, lalu kembali lagi ke kamarnya. Ia lirik jarum jam menunjukkan pukul satu dinihari. Masih terlalu malam untuk menelepon Dave meminta bantuan. Namun Brian sudah tidak tahan lagi, dan ingin segera menyingkirkan benda terkutuk itu.
Internet adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan informasi kala itu. Karen bertanya padanya, apa yang akan ia cari?
“Sesuatu mengenai etnik di Norlandia.” Ucap Brian seraya mengetik cepat di keyboard. “Dave mengatakan sesuatu mengenai suku di negara itu, yang mungkin berkaitan dengan patung itu. Aku berusaha mencari jawabannya.”
Karen hanya dapat menemani suaminya itu. Jam-jam berlalu, namun sepertinya Brian belum menemukan satupun jawaban atas patung misterius itu. Brian terlihat cukup berantakan, dan memaksa kedua matanya untuk terus terbuka. Sudah ada puluhan halaman situs yang ia kunjungi, namun hanya sedikit yang membahas mengenai suku di Norlandia. Kebanyakan dari suku yang dikenal sudah tidak lagi mempraktekkan ilmu hitam. Tapi beberapa suku dalam, mungkin masih menggunakan praktek ilmu hitam seperti itu.
Brian berpikir, jika memang patung itu ada kaitannya dengan ilmu hitam, dan seseorang mencoba untuk mencelakainya, lalu apa alasannya? Brian merasa ia tidak pernah membuat marah orang lain, dan ia tidak punya musuh. Mungkin di kantor ia memang memiliki beberapa saingan. Namun kekesalan orang-orang itu tidak bisa dihubungkan dengan benda gaib seperti ini.
Jarum jam menunjukkan pukul empat pagi, ketika pada akhirnya Brian menemukan satu artikel kecil yang terletak begitu tersembunyi, yang membahas mengenai ilmu hitam dalam salah satu suku di Norlandia.
“Kau menemukannya?” tanya Karen seraya bergerak mendekat. Brian menunjuk dengan jarinya ke arah monitor, dan menunjukkan sebuah foto benda kayu kecil, yang terlihat sama persis dengan benda kayu yang saat itu ada di ruang tamu mereka.
“Astaga!”
“Benda ini benar-benar terkutuk.” Ucap Brian. “Suku Nomar, di Norlandia, adalah salah satu suku yang belum tersentuh oleh peradaban modern. Suku ini terkenal dengan ilmu hitam mereka, seperti vodoo, atau semacamnya. Namun yang paling mematikan adalah praktek benda gaib itu. Patung ini. Yang disini disebut sebagai ‘Idol of Death’.”
“Idol of Death?”
“Ya.” Balas Brian. “Suku Nomar menggunakan benda itu sebagai serangan pada suku lain. Biasanya mereka akan mengubur patungnya di dekat perkampungan suku lain, yang menyebabkan kejadian-kejadian aneh. Salah satu laporan menunjukkan bahwa efek dari patung tersebut sungguh besar pengaruhnya. Kampung yang memiliki patung itu seolah-olah berubah. Penduduknya menggila, dan akan saling membunuh. Ini dalah senjata mematikan yang dimiliki oleh suku Nomar.”
“Tapi bagaimana benda itu bisa keluar dari perkampungan suku?” tanya Karen. “Mungkin seseorang menggunakan jasa mereka untuk…”
“Tepat sekali.” Sahut Brian. “Lihat! Di salah satu komentarnya tertulis bahwa ada beberapa kalangan di Norlandia dan Sherland yang secara diam-diam menggunakan kekuatan dari suku Nomar, untuk melakukan hal buruk pada orang lain. Katakan saja seperti…, saingan kerja, atau bisnis orang lain. Dan benda ini terbukti efektif.”
“Bagaimana dengan kita?” tanya Karen. “Mungkinkan ada seseroang yang ingin menghancurkan kehidupan kita? Maksudku…, ini tidak masuk akal. Kita tidak pernah…”
“Aku juga ingin tahu soal itu. Tapi yang terpenting, kita harus menyingkirkan benda itu sebelum efeknya muncul dalam diri kita.”
“Bagaimana caranya?” tanya Karen. “Apa tertulis di situs itu bagaimana cara…”
“Tidak.” Jawab Brian. Ia terdengar sedikit kecewa. “Tidak dikatakan bagaimana cara menangkap kutukan itu.”
“Oh, sial!”
“Aku akan menghubungi David.”
Sambungan telepon terbuka beberapa menit kemudian. Brian sebenarnya tidak ingin membangunkan orang lain terlalu pagi, jika saja ia tidak punya masalah besar.
“Aku baru akan menghubungimu, Brian.” Ucap Dave cepat sebelum Brian sempat menjelaskan keadaannya saat itu.
“Mengenai patung itu, aku menemukan jawabannya.”
“Suku Nomar, Norlandia, ‘kan?” ucap Brian. Yang tentu saja terdengar begitu mengejutkan bagi temannya itu.
“Bagaimana kau…, sudahlah! Ya. Suku Nomar. Dan benda itu…”
“Benda pembawa kutukan yang digunakan sebagai senjata bagi suku Nomar.”
“Dan sangat berbahaya.” Tambah Dave. “Kau harus segera menyingkirkannya secepat mungkin, Brian.”
“Aku sudah mencoba.” Jawab Brian. “Aku membuangnya jauh, tiba-tiba saja patung itu kembali ke rumahku.”
“Tidak bisa dilakukan dengan cara normal.” Ucap Dave. “Kau tahu? Aku sudah tahu cara menangkal kutukan itu.”

**

Langit masih gelap saat Brian dan Karen bergerak di sepanjang bantaran sungai yang ada di kota itu. Di tangan Brian, terdapat kotak putih itu, yang berisi patung kecil pembawa maut yang akan ia singkirkan dengan benar. Ia sudah mendapatkan pengarahan dari David mengenai cara menangkal kutukan dari patung itu. Cara lama, yang mungkin saja berhasil. Jika tidak, maka Brian dan Karen harus memikirkan cara lain.
Mereka berhenti saat tiba di bawah jembatan. Keadaan yang sedikit gelap membuat Brian sedikit bingung, hingga akhirnya Karen menyalakan korek.
“Disini.” Ucap Brian sambil meletakkan box putih itu, dan membuka tutupnya. Di dalam kotak itu terdapat benda dari kayu tersebut, yang entah kenapa masih terasa panas ketika disentuh. Mungkin ada kaitannya dengan kutukan yang masih berlangsung itu.
“Kau yakin cara ini akan berhasil?” tanya Karen sedikit ragu. Brian pun tidak sepenuhnya yakin. Namun ia harus melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh David.
“Cara normal tidak akan bisa menghilangkan kutukan itu.” Ucap Brian. “Seperti kata David, kita harus melakukan beberapa hal sebelum menghancurkan patung ini.”
“Dengan api?”
“Hanya itu satu-satunya cara yang ampuh untuk menangkal kutukan. Kita harus membakar benda ini. Tapi itu saja tidak cukup.”
“Aku sudah membawa segenggam garam.” Ucap Karen. “Hanya dengan ini?”
“Garam sangat ampuh menampik kekuatan jahat.” Ucap Brian.
Brian berjongkok tepat di depan patung kecil itu. Dengan sangat perlahan, ia menaburkan garam pada permukaan patung kecil. Benda lain yang ia tambahkan adalah sepercik minyak tanah, untuk mempermudah pembakarannya.
“Ini saatnya.” Ucap Brian. “Meski aku tidak begitu yakin.”
Dengan satu gerakan Brian menyulut korek apinya, lalu mendekatkan nyala api kecil itu ke arah patung, yang tiba-tiba saja menyala dengan kobaran api yang luar biasa. Brian melompat ke belakang saat lidah api nyaris menyentuh lengannya. Dan sedetik kemudian, terdengar satu hal yang aneh dan nyaris tidak dapat mereka percaya.
Terdengar suara jeritan dari dalam benda yang terbakar itu. Seolah mereka tengah membakar seseorang di dalam patung kecil itu. Jeritannya melengking, becampur dengan suara kayu yang terbakar. Api yang menyala besar itu pun terlihat tidak normal. Tidak akan ada api yang dapat menyala sebesar itu untuk benda yang kecil.
Jeritan dari dalam patung itu semakin lama semakin tinggi. Dan kobaran api semakin besar, hingga pada akhirnya meledak, membuat Brian dan Karen harus melompat menghindari pecahan dari kayu itu.
Brian dan Karen menatap dengan nanar ke arah bara api, yang lama kelamaan mulai mereda. Api menjadi begitu kecil, dan meninggalkan bara yang menyala diatas permukaan tanah. Jeritan itu pun berhenti. Mungkin…, ini adalah akhir dari kutukan itu.
“Mungkin memang berhasil.” Ucap Brian sambil tersenyum kecil. Api yang ada di hadapan kedua matanya itu akhirnya padam. Dan sebongkah kecil sisa kayu itu kini berubah menjadi arang.
“Aku tidak mau benda ini kembali.” Ucap Brian seraya menedang arang kecil itu ke arah sungai. Benda itu, terjatuh, dan menghilang dari pandangan.
Secercah matahari pagi menandakan akhir dari teror patung kecil itu. Bagi Brian dan Karen, pengalaman ini tidak akan pernah mereka lupakan, sebagai satu hal dalam kehidupan mereka yang tergolong tidak masuk akal. Siapa yang mengirimkan patung terkutuk itu, dan apa tujuannya? Brian dan Karen tidak akan pernah tahu. Mungkin cerita ini hanya akan berakhir dalam ingatan mereka. Dan mereka tidak mau mendengar lagi cerita tentang patung terkutuk suku Nomar. Tidak lagi. Tapi…
Keesokan harinya menjadi hari yang mengguncang lagi bagi pasangan suami istri itu, saat mereka menemukan bungkusan putih lain di dalam kotak pos mereka. Dan kali ini, terdapat alamat pengirim, yang bertuliskan ‘DARI NERAKA’. Dan di dalam box putih itu, tentu saja…, patung terkutuk itu lagi.

****

No comments:

Post a Comment