Thursday, August 27, 2015

KERETA HANTU DARI BLACKWOOD



Jika bukan karena pekerjaannya, maka Rachel tidak perlu menghabiskan waktu tujuh hari untuk berdiam di sebuah kota kecil di tengah antah berantah itu.
Blackwood.
Ya. Siapapun yang mendengar nama kota itu akan bergidik ngeri, dikarenakan sejarah dan julukan yang diberikan pada kota tua di sebelah selatan Sherland itu.
Blackwood sudah dikenal sebagai rumah dari berbagai hal spiritual yang tak dapat dijelaskan oleh akal sehat. Telah banyak kejadian yang terekam, kematian-kematian ganjil, dan hal-hal aneh lain yang terus saja mengundang rasa penasaran penduduk dari kota lain. Rachel adalah salah satunya.
Rachel adalah seorang penulis untuk sebuah majalah misteri di kotanya, Arcadia, dan kali ini ia ditugaskan untuk menulis kejadian-kejadian aneh yang ada di Blackwood. Tidak mudah. Rachel sudah tak dapat menghitung lagi berapa banyak tetua yang ia wawancara di kota kecil itu. Namun satu dari mereka tidak pernah ada yang mengatakan sesuatu yang rasional. Semuanya diambang imajinasi dan takhayul.
Bagaimana dengan ia sendiri? Apakah Rachel sudah mengalami hal-hal aneh selama ia tinggal tujuh hari di Blackwood. Jawabannya, tidak. Ia bukanlah wanita penakut. Dan ia sudah bersiap seandainya ada hal-hal gaib yang terjadi di sekitarnya. Namun selama tujuh hari, ia tidak mendapatkan apapun.
Di hari terakhirnya, Rachel menyimpulkan bahwa memang ada begitu banyak misteri yang melingkupi Blackwood. Ada yang terjelaskan, ada pula yang tidak. Semuanya cerita yang berkembang di Blackwood berakar pada kehidupan masyarakat Blackwood di masa lampau. Ritual-ritual aneh, adanya ajaran sesat di kota itu, dan hal-hal lain yang kadang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Rachel telah mendapatkan cerita yang ia inginkan, meski rasa tidak begitu memuaskan. Tapi ia lega bahwasanya ia akan sgera meninggalkan kota yang selalu terlihat suram itu. Matahari memang bersinar. Namun seolah kehidupan di kota ini terselimuti oleh sesuatu hal. Sesuatu yang jahat dan diluar nalar.
“Kau yakin tidak ingin tinggal lebih lama?” tanya seorang pria, pemilik penginapan, pada Rachel yang mengembalikan kunci.
“Kurasa tidak.” Jawab Rachel. “Sebenarnya…, masih ada banyak hal yang ingin kulihat. Tapi jadwal pekerjaanku mengharuskanku kembali hari Senin.”
“Aku mengerti.” Balas pria di balik meja reception sambil tersenyum.
“Terima aksih atas segala bantuanmu selama aku disini, Jeff.” Ucap Rachel. “Tanpa panduanmu, aku buta dengan tempat ini.”
“Ada banyak cerita aneh jika kau mau tinggal lebih lama.” Balas Jeff sambil tertawa kecil. “Oh! Atau kau kini sudah mulai ketakutan?”
“Aku banyak mendapat cerita yang menarik.” Jawab Rachel. “Kau tahu? Aku besar di kota besar, dimana pengetahuan tentang hal-hal gaib masih dalam skala minim. Dengan kata lain, aku tidak terlalu menaruh kepercayaan pada hal-hal seperti itu. Aku menuliskannya, hanya untuk mengisi lembaran kosong di edisi misteri bulan depan.”
“Bersiaplah, Rachel.” Ucap Jeff. “Mereka mengawasinya.”
Rachel hanya dapat tertawa mendengar ucapan Jeff yang terkahir, yang menurutnya terlalu dibuat dramatis. Jeff pun tak bisa menahan tawa atas leluconnya sendiri.
“Jika suatu saat kau kembali…” ucap Jeff sebelum Rachel pergi. “Mungkin aku bisa lebih banyak membantu.”
“Terima kasih.” Rachel memberikan satu senyum terakhirnya, lalu melangkah pergi dari motel kecil itu.
Hari sudah mulai senja saat Rachel keluar dari motel. Ia menghentikan satu taksi, dan meminta sang supir untuk mengantarkannya ke Blackwood Station, dimana ia akan naik kereta untuk pulang.
Ya. Kereta. Seandainya saja ia bawa mobil, mungkin ia tidak harus menaiki kereta tua itu. Blackwood, selain terkenal dengan cerita misterinya, juga terkenal dengan satu-satunya kota yang masih mengoperasikan kereta uap dari jalam lampau. Tapi kereta itu malah menjadi daya tarik tersendiri bagi turis yang tidak pernah naik kereta uap.  Itu pula yang Rachel ingin rasakan. Ia harus menolak tawaran jemputan oleh kawannya, karena ia ingin naik kereta itu.
Taksi yang ia tumpangi membawanya sampai ke depan stasiun tua itu. Stasiun Blackwood, berdasarkan cerita yang ia dengar, telah berdiri sejak akhir abad 19. Dahulu stasiun ini hanya digunakan oleh para pedagang untuk mengantarkan barang-barang dagangan mereka dari kota ini, menuju Caden, sebuah kota di timur Blackwood. Kereta tua itu menjadi kereta komersil saat perang dunia dua berakhir. Sekitar tahun 1950, kereta uap sempat berhenti beroperasi. Namun kembali dijalankan saat ulang tahun kota Blackwood lima tahun kemudian. Hingga detik ini, kereta itu masih terlihal begitu kokoh.
Dengan gerak santai dan tak terburu-buru, Rachel masuk ke peron stasiun yang tidak begitu banyak dipadati para calon penumpang. Kedua matanya langsung melihat begitu banyak hal yang menunjukkan usia sebenarnya dari stasiun itu.
Rel selusur tangan yang ada di peron terlihat sudah berkarat dan tak terurus, meski bagian lain dari stasiun terlihat bersih. Bangunan stasiunnya sendiri pun sudah terlihat begitu tua dengan cat putih kusam, dengan bekas tambalan disana-sini.
Kereta yang akan menjadi alat transportasinya nampak di depan mata. Lokomotiv hitam yang mengepulkan asap dari cerobongnya itu terlihat seperti monster dari jaman batu. Besar, kokoh, dan terlihat begitu menantang. Lokomotiv itu memiliki empat bauh gerbang di belakangnya. Yang anehnya, terlihat lebih baru dari usia lokomotivnya.
“Memang baru.” Ucap salah seorang pria tua yang duduk disamping Rachel saat Rachel menanyakan tentang usia gerbong-gerbong itu.
“Kenapa dengan gerbong yang lama?” tanya Rachel. “Rusak? Seharusnya mereka tetap menggunakan…”
“Ya. Rusak.” Jawab pria tua itu. “Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi. Atau seseorang terlalu pintar memutar cerita mengenai apa yang terjadi.”
“Apa maskdu Anda?”
“Tragedi, nak. Tragedi.”
Rachel, untuk sesaat, merasakan rasa dingin sedingin es mengalir uturn di tulang belakangnya. Sebuah perasaan aneh, yang membuat bulu kuduknya meremang terjadi. Tapi Rachel tidak tahu apa penyebabnya. Apakah karena ucapan pria tua itu?
“Tragedi?” Rachel mencoba untuk mengorek keterangan lebih lanjut. Namun ia mendapat tatapan serius dari pria tua itu.
“Tragedi, tentang apa?”
“Bukan sesuatu yang perlu kuceritakan, kurasa.”
“Tapi Anda yang memulainya.
“Maafkan aku!” ucap pria tua itu seraya bangkit dari tempat duduknya. “Kurasa aku sudah terlalu banyak bicara. Tidak seharusnya aku…, lupakan saja, oke?”
“Tapi…”
Sia-sia saja Rachel memaksa. Pria tua itu benar-benar tidak mau membuka mulutnya atas apa yang terjadi. Atas ‘Tragedi’ yang ia sebutkan tadi. Ada apa sebenarnya dibalik kereta uap tua itu? Adakah cerita lain yang tabu untuk dibicarakan?
Rachel melirik jam tangannya, yang menunjukkan bahwa masih ada jeda sekitar satu jam sebelum keretanya berangkat. Masih ada waktu untuk berkeliaran di peron, menemui seseorang yang mungkin mau bercerita mengenai legenda kereta tua itu.
“Tragedi? Benarkah?” seorang pemuda yang Rachel tanyai sepertinya tidak tahu banyak mengenai kereta tua itu. Bahkan, meski pemuda itu sudah berkali-kali naik kertea tua itu, ia belum tahu bahwa ada sebuah cerita terpendam yang dirahasiakan.
“Aku tidak tahu banyak. Mungkin kau bisa tanya orang lain?
Rachel memutuskan untuk makan di sebuah kedai. Disaat kesempatan datang, ia mencoba bertanya lagi mengenai legenda kereta tua itu pada sang pemilik kedai. Tapi seperti yang telah ia duga,
“Aku tidak tahu.” Ucap sang pemilik kedai. Seorang wanita tambun dengan wajah maskulin, potongan rambut pendek, dan sepertinya bukan tipe wanita yang enak untuk diajak bicara. Rachel memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut.
Hari sudah benar-benar gelap begitu ia keluar dari kedai. Stasiun tua itu kini sepenuhnya telah diselimuti dengan kegelapan. Anehnya, disaat yang bersamaan, kabut mulai muncul di sekitar area itu. Yang membuat barisan peohonan yang ada di hutan sekitar stasiun menjadi tidak terlihat, kabur dan tak jelas.
Rachel merasakan sebuah aura tak menyenangkan saat ia melihat sekelompok orang berdiri tegak tak bergerak di depan salah satu gerbong. Seolah mereka tengah mengantri untuk naik, meski kereta belum mau berangkat. Anehnya, kerumunan orang-orang itu saling diam dan tak membuat gerakan sama sekali. Terlihat seperti sekumpulan patung semen yang sengaja dijejer disana.
Rachel duduk kembali di bangku peron. Ia lirik jam tangannya, dan ia sadari bahwa keretanya akan segera berangkat. Pukul 8.15 adalah waktu keberangkatan kereta itu, yang akan membawanya ke Caden. Dan dari sana nanti ia akan naik bus menuju Arcadia. Rumahnya.
Rachel tengah menenggak isi botol minumannya saat tiba-tiba saja ada sesuatu yang menyentuh lehernya dari arah samping. Sesuatu yang terasa bbegiu dingin, sedingin es. Seketika ia putar kepalanya, namun ia tidak menemukan siapapun berdiri di belakangnya.
Ia berharap Jeff akan muncul dengan tawa konyolnya. Ia berharap Jeff akan mengatakan, ‘Maaf mengangetkanmu!’. Tapi nyatanya, tidak ada siapapun yang berdiri di belakangnya. Yang ia lihat hanyalah segerombolan orang-orang yang keluar masuk stasiun, tanpa ada yang aneh kecuali sederet orang yang berdiri kaku di depan gerbong itu. Lalu benda apa yang menyentuh lehernya tadi?
Rachel bergidik, menghempaskan pikiran konyol dari kepalanya. Ia katakan pada dirinya sendiri, bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan. Mungkin pikirannya menjadi sedikit kacau karena selama tujuh hari terkahir ia selalu mendengar cerita-cerita mistis. Mungkin ia mulai terpengaruh. Namun ia tetap katakan pada dirinya sendiri, bahwa ada penjelasan untuk setiap hal yang dianggap abnormal. Dan ia yakini akan hal itu.
Peluit berbunyi beberapa detik kemudian, menandakan bahwa kereta itu akan segera berangkat. Rachel segera mengangkut tasnya, dan ebrgerak ke arah gerbong keempat. Ia sadari sedetik kemudian bahwa segerombolan orang yang berdiri kaku tadi sudah tidak ada lagi. Mungkin mereka sudah naik ke dalam gerbong?
Rachel disambut oleh seorang petugas dalam seragam berwarna biru saat naik ke gerbong. Pria itu kemudian mengantar Rachel masuk ke dalam kompartemen yang berada di bagian tengah gerbong. Tidak ada yang aneh dengan kompartemen itu, selain satu fakta bahwa kompartemennya terlihat begitu tua, begitu klasik, dan remang. Petugas dalam seragam biru itu segera meninggalkan Rachel begitu Rachel duduk.
Apa ada yang aneh dengan kereta yang ia tumpangi? Rachel tersenyum, menertawai kekhawatirannya itu. Kenapa ia kini selalu berpikir negatif? Apakah karena ucapan pria tua tadi mengenai sebuah tragedi itu?
Selalu ada sebuah cerita. Itu yang Rachel katakan pada dirinya sendiri. Kereta tua yang ia tumpangi ini mungkin memiliki cerita yang unik, mistik, mengerikan, namun tidak akan menghilangkan kenyataan bahwa inilah kereta yang akan membawanya pulang. Tidak ada yang perlu ia takuti.
Dengan hentakan yang cukup terasa, kereta tua itu akhirnya berjalan. Perlahan, meninggalkan stasiun Blackwood yang mulai tenggelam oleh kabut kelabu. Rachel menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, dan tiba-tiba saja merasakan sebuah rasa kantuk yang luar biasa. Mungkin ia kelelahan karena selama seharian tadi ia tidak pernah berhenti mengotari Blackwood untuk mencari cerita.
Rachel menguap, lalu memasang earphone pada kedua telinganya untuk mendengarkan musik dari mp3 playernya. Dengan lagu mengalun pelan, Rachel pun seperti dibuai ke dalam alam mimpi. Perlahan, ia pun jatuh ke dalam alam tidurnya.

**

Sebuah guncangan pada kereta membangunkan Rachel. Rachel membuka kedua matanya, dan menemukan dirinya sudah berada dalam kegelapan total. Lampu di kompartemennya padam. Dan satu-satunya cahaya adalah cahaya keperakan dari bulan yang bersinar di luar.
Earphone mp3 playernya telah jatuh entah kemana. Rachel menegakkan posisi tubuhnya, dan mulai mereka-reka dimana sebenarnya kereta itu berada. Apakah ia sudah sampai dekat dengan Caden?
Tidak. Caden adalah sebuah kawasan pertanian. Namun ketika Rachel melihat keluar kereta melalui jendela, yang dapat ia lihat hanyalah sederet pepohonan yang berlarian cepat melewati gerbongnya. Kereta itu mungkin sedang dalam tengah perjalanan menuju Caden.
Rachel merasakan hawa dingin yang tidak biasa. Aneh, mengingat kereta yang ia tumpangi adalah sebuah kereta lama dimana tidak ada satupun pendingin udara. Kemampuan otak Rachel untuk berpikir mengatakan bahwa mungkin angin masuk dari arah luar kereta melalui sebuah celah.
Hawa dingin bukanlah satu-satunya hal yang menggau ketenangan wanita itu. Tapi juga dengan kegelapan yang terjadi di kereta itu. Bukan berarti ia takut dengan gelap. Hanya saja ia merasa aneh dengan lampu kereta yang pada.
Ia bangkit dari tempat duduknya dan membuka pintu kompartemen yang menghubungkan ruangannya dengan lorong gerbong. Lagi-lagi, memang aneh. Keadaan begitu gelap dan tak normal. Apakah kereta tua itu memang selalu mematikan lampu ketika sudah berjalan?
Rachel memutuskan untuk keluar dari kompartemennya dan bergerak di sepanjang lorong gerbong. Ternyata semakin jauh ia melangkah, hal-hal janggal lainnya pun ia temukan. Ternyata yang menempati gerbong keempat hanya ia seorang. Komparteman-kompartemen yang ia lewati sama sekali tak berpenghuni. Oh! Itukah sebabnya gerbong miliknya berada dalam kegelapan? Mungkin petugas tidak sadar bahwa ada penumpang di gerbong itu dan mematikan lampunya?
Rachel sepertinya setuju dengan pemikiran tersebut. Ia berniat untuk memberi tahu petugas yang mungkin ada di gerbong lain untuk menyalakan kembali lampu di kompartemennya.
Rachel bergerak melewati sekat diantara gerbong, lalu masuk ke gerbong tiga. Keadaan di gerbong itu ternyata sama dengan gerbong miliknya. Gelap, dan sepi. Hanya suara mesin dan derak roda kereta yang ia dengar. Sama sekali tidak ada aktivitas yang terjadi. Kenapa?
Langkah Rachel tiba-tiba saja terhenti saat telinganya menangkap sebuah suara yang aneh keluar dari kegelapan. Seperti suara geraman rendah, yang berasal dari salah satu kompartemen. Apa yang terjadi? Mungkin ada sesorang yang membutuhkan pertolongan?
Rachel mengikuti arah suara geraman, atau rintih kesakitan itu. Berasal dari sebuah kompartemen di ujung koridor. Pintu kompartemen itu terbuka, dan memperlihatkan seorang pria tengah duduk sambil membungkuk. Suara geraman, dan rintih itu terus keluar dari arah pria itu. Rachel yang merasa khawatir bergerak mendekat.
“Permisi, Tuan?” ucap Rachel. Ia tidak mendapatkan jawaban dari pria itu. Tubuh pria itu berguncang kedepan dan kebelakang, seolah tengah menahan rasa sakit.
“Tuan, Anda baik-baik saja?”
“Pergi…”
“Maaf?”
Rachel tersentak kaget saat wajah pria itu menoleh ke arahnya. Sebuah wajah yang pucat pasi, dengan dua mata memerah seperti baru menangis menatapnya. Mulut pria itu bergerak lambat, mengeluarkan kata yang sama setiap kalinya.
“Pergi…, pergi…”
“Anda sakit?” tanya Rachel lagi. Ia semakin khawatir, dan disaat yang bersamaan merasa takut. Keanehan yang terjadi pada pria itu benar-benar tidak normal.
“Aku akan memanggil petugas, oke?” ucap Rachel.
Rachel bergerak pergi sambil bergidik. Ia tidak tahu apa yang tengah terjadi pada pria itu, namun ia yakin bahwa pria itu sedang tidak sehat. Rachel bergerak maju ke gerbong dua, dimana keadaannya tidak berbeda jauh dengan gerbong-gerbong yang sudah ia lewati.
“Halo!” teriak Rachel. Suaranya menggema di sepanjang koridor, tanpa ada balasan.
“Permisi! Ada seseorang? Aku butuh pertolongan!”
Keanehan-keanehan yang tidak wajar itu mulai membuat Rachel berpikir bahwa memang ada yang tidak beres. Tapi apa? Selain kegelapan dan tidak adanya orang, apa lagi yang bisa terjadi?
Rachel melonjak kaget saat ia bergerak melewati sbeuah kompartemen yang terbuka. Di dalam kompartemen itu terdepat beberapa orang yang berdiri, kaku, seperti yang pernah ia lihat di peron stasiun. Keempat orang yang ada di dalam kompartemen itu terlihat sama persis dengan sebuah patung. Berdiri tak bergerak, pucat, dan sama sekali tidak berbicara. Rachel tahu bahwa mereka bukan orang-orang biasa. Dan anehnya, pakaian yang dikenakan oleh orang-orang itu seperti bukan dari jamannya berada saat itu.
Rachel nyaris berteriak histeris saat keempat orang itu memutar kepala mereka ke arahnya. Wajah yang pucat pasi, dengan mata memerah, dan mereka berucap dalam waktu yang bersaman,
“Pergi…”
Rachel kini benar-benar kehilangan kepercayaan dirinya. Ia merasa terlalu takut untuk dapat berpikir normal. Ia berlari di sepanajng koridor, melewati kompartemen-kompartemen yang terbuka dengan orang-orang yang pucat pasi di dalamnya dengan kata-kata yang sama.
“Pergi…, pergi…”
Rachel terus berlari. Gerbong dua, lalu gerbong pertama. Sama sekali tidak ada tanda-tanda adanya petuga di kedua gerbang itu.
“Seseorang!” teriaknya. “Tolong, kumohon!”
Rachel berteriak keras saat suara geraman dengan kata ‘pergi’ itu terdengar di seisi gerbong yang ia tempati. Ketakutan mulai merayapi tubuhnya, jantungnya, dan segala yang ia punya. Tubuhnya bergetar, dengan kedua telapak tangan menutupi telinga. Suara-suara itu terdengar semakin keras, semakin jelas, hingga ia tidak tahan lagi. Rachel berteriak meminta tolong sambil menutup matanya. Namun ketika ia buka kedua matanya, di depannya telah hadir puluhan wajah pucat pasi dengan mata merah,dengan tajam menatapnya.

**

Rachel berteriak dengan sekuat nafas dan tenaganya. Namun gumpalan kegelapan itu terus merasuki tubuhnya. Membelenggunya, hingga ia tidak bisa lagi menggerakkan kedua tangan dan kakinya. Rachel telah kehilangan kesadarannya.
Secercah cahaya tiba-tiba saja nampak di kejauhan. Rachel mencoba mendekat, dengan kaki dan tangan terbelenggu, ia berhasil merangkak. Semakin dekat, dekat, dan terbukalah tabir.
Gumpalan benda berwarna hijau dengan latar belakang biru hadir di hadapan kedua matanya. Rachel berteriak, dengan nafas tersengal-sengal. Ia telah sadar. Dinginnya udara di sekitarnya membangunkan otaknya yang setengah sadar. Dimana dia?
Hutan. Ya. Rachel tidak mungkin salah akan lokasinya saat itu. Ia berada di tengah hutan yang cukup lebat, dengan pohon-pohon besar mengelilinginya. Sinar matahari yang berhasil menembus lebatnya dedaunan menyorot kedia matanya, membuatnya buta untuk sesaat.
Apa yang terjadi?
Rachel tidak mengetahui kebenaran atas apa yang baru saja menimpa dirinya. Kereta yang ia naiki, kemudian wajah-wajah menyedihkan, pucat pasi sekaligus mengerikan itu…
Semuanya telah hilang.
Rachel tersentak saat mendegar suara langkah kaki mendekat. Derap langkah berat yang menembus semak-semak membuatnya khawatir. Apa yang akan datang kepadanya?
Rachel terdiam kaku saat kedua matanya bertemu dengan laras sebuah senapan. Dan dibalik senapan itu, muncul seorang pria berjambang dengan kedua mata membelalak melihat ada wanita secantik Rachel berkeliaran di tengah hutan.
“Kukira kau babi hutan.” Ucap pria itu seraya menurunkan senapannya.
Perhatian pria itu terpaku pada Rachel. Rachel, yang tidak terlihat seperti manusia beradab dengan wajah tercoreng tanah, dan pakaian serba kotor. Rachel sendiri tidak dapat menjelaskan apa yang tengah terjadi padanya.
“Keretanya…” gumam Rachel dengan nada bergetar. Jiwanya yang terguncang tidak dapat dikendalikan lagi.
“Keretanya menghilang.”
Sepuluh menit kemudian, Rachel telah duduk di depan perapian dengan secangkir kopi panas berada di tangannya. Pria itu membawa Rachel ke pondok perburuannya, dan menawari wanita itu makan. Tapi Rachel telah kehilangan nafsu makannya.
“Aku tidak tahu apa yang kau lakukan disana.” Ucap pria itu. “Dan aku tidak mengerti dengan ucapanmu mengenai kereta itu.”
“Kereta malam dari Blackwood.” Ucap Rachel.
“Blackwood?” pria itu mengrnyit. Namun sesaat kemudian ia mengangguk-angguk sambil mendesah. Ia berkata,
“Terjadi lagi.”
Rachel membutuhkan sebuah penjelasan yang rasioanl atas hal tak rasional yang baru saja ia alami. Apa yang terjadi?
“Kau tidak akan percaya dengan perkataanku.” Ucap pria itu. “Tapi kereta dari Blackwood tidak jadi berangkat kemarin malam.”
“Apa?”
“Putriku.” Ucap pria itu lagi. “Dia bekerja di stasiun itu. Dan ia baru saja meneleponku bahwa ia tidak bisa pulang karena kereta Blackwood mengalami kerusakan, dan harus menunggu satu hari.”
“Tapi aku abru saja menaikinya.” Ucap Rachel. Ia menaikkan nada bicaranya, karena tidak ingin dianggal pembohong dan gila.
“Aku mengerti.”
“Bagaimana mungkin?” tanya Rachel. “Lalu kereta apa yang aku naiki semalam? Lalu orang-orang itu…”
“Kini aku mempercayai apa kata orang.”
“Tentang apa?”
“Kereta hantu itu.”
Rachel, yang sudah terbiasa dengan hal-hal normal dan tidak spiritual, hanya dapat menahan tawanya. Apa yang pria itu bicarakan?
“Yang kau naiki semalam adalah kereta hantu.”
“Omong kosong!”
“Kau boleh tidak percaya.” Ucap pria itu. “Tapi bisakah kau menjelaskan kenapa kau berakhir di tengah hutan?”
Rachel terdiam. Jika saja ucapan pria itu benar, maka apa yang baru saja ia alami masuk akal. Tapi…, apa kini ia sudah kehilangan pikiran rasionalnya dan percaya dengan bualan mengenai hantu? Tapi apa yang baru saja ia alami adalah nyata.
“Kereta Blackwood dari tahun 1940.” Ucap pria itu. “Perjalanan yang seharusnya membawa para pedagang ke Caden harus mengalami sebuah kecelakaan yang tragis saat melewati tikungan Baker. Tikungan tu berada tepat dimana kau bangun tadi. Ada jurang seratus meter dari sana. Dan kereta itu terjatuh ke dalam jurang puluhan tahun yang lalu. Menewaskan setidaknya empat puluh orang, termasuk ternak yang mereka bawa.
“Awalnya aku tidak mempercayai saat orang-orang berkta bahwa arwah dari para penumpang kereta itu masih menghantui tikungan Baker hingga detik ini. Tapi melihat apa yang baru saja terjadi padamu, aku mulai bisa mengerti. Kereta itu terjatuh pada hari ini, 20 Oktober, lebih dari lima puluh tanuh yang lalu. Sudah banyak cerita mengenai kereta hantu itu. Yang katanya memakan jiwa-jiwa orang yang secata tidak sengaja menaikinya. Tapi kau beruntung, kau bisa bangun dengan keadaan yang cukup waras. Orang lain akan gila.”
“Kurasa aku mulai gila.” Ucap Rachel. “Mempercayai ceritamu seperti ini…”
“Terserah kau berkata apa.” Ucap pria tua itu. “Tapi itu yang terjadi. Itulah salah satu misteri yang melingkupi Blackwood sejak ratusan tahun yang lalu.”
Rachel tidak tahu apakah ia harus percaya atau tidak. Tapi perkataan pria tua itu sepertinya bukanlah kebohongan semata. Ia masih hidup. Ya. Itu adalah sebuah keberuntungan baginya.
“Kenapa aku?” tanya Rachel. “Dari sekian banyak calon penumpang di stasiun…”
“Karena kau bukan itpe orang yang mudah percaya dengan cerita seperti itu, benar bukan?”
Rachel menunduk. Ya. Dan apa yang telah ia alami menunjukkan bahwa kekuatan spiritual di dunia ini nyata, dan bukan hanya bualan semata. Ia mulai berpikir bahwa orang-orang yang tidak mau mengakui adanya kekuatan gaib adalah orang-orang yang sebenarnya takut untuk menghadapinya. Rachel mengakui bahwa ia adalah salah satu dari orang-orang itu.
Pria itu mengambil kembali senapannya, lalu bergerak ke arah pintu. Ia memandang sesaat ke arah Rachel sebelum pergi.
“Tunggu aku disini.” Ucapnya. “Aku akan mengantarkanmu ke kota terdekat.”
Rachel hanya dapat mengangguk. Saat pria itu pergi, ia rogoh saku celananya, dan menemukan selembar karcis kumal, yang saat ia periksa dengan teliti, tertulis tanggal 20 Oktober 1940. Rachel hanya dapat menertawai dirinya sendiri. Ia yang tidak percaya dengan hantu, baru saja menaiki sebuah kereta hantu.
Lalu bagaimana sekarang? Apakah ia masih akan menuliskan artikel mengenai misteri Blackwood? Jika begitu, mungkin ia juga harus menuliskan pengalamannya saat menaiki kereta hantu Blackwood itu.

****



Thursday, August 20, 2015

PENGHUNI KAMAR MOTEL NO. 14



Dane Tyler mengucapkan syukur dalam hati. Jika bukan karena kebiasaannya mengemudi di tengah cuaca yang kurang bersahabat, mungkin ia sudah terperosok masuk jurang sejak hujan deras turun sejam yang lalu.
Ia duduk sendiri, di dalam sedan tuanya yang meraung menembus kegelapan malam sebuah hutan yang sepi. Tujuannya adalah kota Earling, yang terletak di sebelah timur, ratusan kilo jauhnya. Pekerjaannya memang mengharuskannya untuk selalu bepergian. Karena itulah ia sudah tidak kaget lagi dengan perubahan cuaca yang ekstrim, dimana ia diharuskan untuk dapat menangani segala kondisi yang datang, seperti hujan yang tengah ia lawan saat itu.
Dane mencoba untuk bertahan dari rasa kantuknya setelah berkendara selama kurang lebih tiga jam. Ia lelah, dan mulai merasa bahwa ia sudah tidak sanggup untuk berkendara lagi untuk hari itu. Ia harus mencari penginapan. Masalahnya, ia sama sekali tidak melihat adanya kota.
Harapan Dane tidak sepenuhnya punah. Beberapa kilo setelah ia melewati hutan, ia masuk ke dalam kawasan pemukiman yang begitu tenang dan terlihat damai. Kegelapan masih menyelimuti setiap sudut yang dapat ia lihat, dan hujan masih mengeluarkan amarahnya.
Blackwood.
Dane tidak pernah mendengar nama kota itu sebelumnya, meski ia sudah begitu hafal dengan kota-kota kecil karena ia sering bepergian. Namun kota yang ia lewati malam itu benar-benar diluar pengetahuannya. Apakah hal itu menjadi masalah? Tidak. Dane merasa beruntung dapat menemukan adanya kota di tengah hujan deras seperti saat itu. Ia harus berhenti dan mengistirahatkan tubuhnya untuk sementara waktu.
Dane memelankan laju kendaraannya. Kedua matanya dengan tajam mengawasi setiap persimpangan, memandang ke arah papan-papan reklame tua yang masih berdiri di kota itu. Hingga akhirnya, setelah ia melewati sebuah sekolahan, ia melihat ada papan nama berpendar dalam gelap, bertuliskan ‘penginapan’. Sebuah kata yang tepat, dan begitu ia idam-idamkan untuk saat itu.
Baskerville Motel. Itulah nama penginapan kecil yang ia singgahi. Dane tertawa kecil setelah membaca papan nama motel itu. Namanya, mengingatkanya akan novel Arthur Conan Doyle, dengan nama yang hampir sama. Mungkin pemilik motel itu memiliki hobi membaca novel misteri, dan pengagum berat Sherlock Holmes? Mungkin saja.
Sedan Dane menjadi satu-satunya kendaraan yang menempati lapangan parkir motel kecil itu. Sesaat sebelum ia turun dari mobil, ia mengamati keadaan sekitarnya. Yang terlihat begitu sepi, sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tapi ia yakin akan bisa menemukan sesorang yang dapat ia ajak bicara malam itu.
Baskerville Motel merupakan sebuah gedung panjang dua lantai, dengan deretan pintu-pintu kamar terlihat dari area parkir dimana Dane menghentikan mobilnya. Di ujung bangunan, terdapat sebuah kantor kecil, yang kemungkinan adalah bagian reception dari penginapan kecil itu.
Dane menutupi kepalanya dengan koper kulit yang ia bawa, sambil berlari-lari kecil, bergerak cepat menuju beranda, lalu berjalan lurus ke arah kantor kecil itu. Di sepanjang perjalanannya, ia melewati beberapa kamar yang terlihat gelap, kosong. Ia mulai berpikir, bahwa mungkin dia-lah yang akan menjadi satu-satunya pengunjung malam itu.
Sebuah lonceng kecil berbunyi ketika ia membuka pintu kantor kecil itu. Di dalamnya terdapat sebuah meja panjang, khas meja sebuah reception, dengan sebuah papan berada di belakang meja itu, dimana terdapat banyak kunci tergantung. Dane bergerak ke arah meja, lalu membunyikan bel yang ada di atas meja ketika ia tidak melihat adanya penunggu di dalam ruangan itu.
Dane memukul bel untuk yang kedua kali, sebelum akhirnya datang seorang pria yang berusia kira-kira 30-an tahun, dengan tatanan rambut klimis ke arah belakang kepalanya. Pria itu terlihat rapi dengan kemeja biru yang ia kenakan. Pria itu tersenyum, lalu dengan ramah menyambut tamunya malam itu.
“Maafkan aku! Aku sedang ada kepentingan di belakang. Anda mau memesan kamar?”
“Ya.” Jawab Dane. Ia kemudian menerima buku tamu, dimana ia harus menuliskan nama pada daftar tamunya.
“Hujan yang menyebalkan, bukan begitu?” ucap pria berkemeja biru itu.
“Ya. Menyebalkan.” Balas Dane sambil menulis pada buku tamu di hadapannya.
“Kau bukan dari sini?”
“Aku pendatang.” Jawab Dane. “Hanya lewat. Besok mungkin aku sudah pergi dari sini.”
“Kau sendirian?”
“Ya.” Jawab Dane. Ia kemudian meneyrahkan kembali buku tamu itu. Sementara ia menunggu pria berkemja biru itu menyiapkan kunci kamarnya, iseng-iseng Dane menarik sebuah koran yang ada di tumpukan majalah. Di headline-nya tertulis ‘TRAGEDI’. Namun sebelum Dane sempat membaca lebih lanjut, kunci kamarnya sudah siap.
“Kamar nomor 7.” Ucap pria berbaju biru itu. “Aku memberikanmu keberuntungan, kawan.”
“Terima kasih.” Ucap Dane. “Oh! Sebaiknya kau berikan keberuntungan pada motelmu ini, kawan. Kau sepertinya sedang butuh pengunjung.”
“Ya, memang sepi akhir-akhir ini.” Ucap pria berbaju biru itu sambil tertawa. Dane melambai, lalu pergi meninggalkan kantor kecil itu.
Hujan masih mengamuk diluar. Keadaan yang sebenarnya benar-benar tidak Dane inginkan, namun mau bagaimana lagi? Yang dapat ia lakukan malam itu mungkin hanya memeriksa sekali lagi pekerjaannya, lalu tidur. Dan berharap agar hujan sudah reda begitu ia bangun keesokan harinya.
Dane masuk ke dalam kamarnya. Kamar nomor 7, yang terletak tidak begitu jauh dari tempat parkir, dan juga dari kantor kecil itu tadi. Jika ia membutuhkan sesuatu, mungkin ia bisa berteriak?
Cahaya remang yang hangat melingkupi kamar itu begitu Dane menyalakan lampunya. Sebuah tempat tidur, yang terlihat hangat, menjadi satu-satunya furnitur besar yang ada di kamar itu, selain satu meja di sudut dengan sebuah tv 14 inci. Di sebelahnya, terdapat pintu yang mengarah ke kamar mandi.
Dane menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, lalu melepas jaket dan sepatunya. Ia melirik ke arah jam yang terletak di atas meja, yang baru menunjukkan pukul delapan malam. Sepertinya masih terlalu sore untuk pergi tidur. Kenapa ia tidak mulai memeriksa pekerjaannya saja?
Dane mengumpat pelan saat ia sadari bahwa kopor kulitnya tidak berada di kamar. Pikirannya langsung mengarah pada kantor kecil itu. Kemungkinan ia secara tak sengaja meninggalkan tasnya disana. Dane baru akan mengambil kembali jaketnya saat tiba-tiba saja ia dengar tiga ketukan pada pintu kamarnya. Dane bergerak cepat, lalu membuka pintu kamarnya.
Di depannya, berdiri seorang wanita yang kira-kira seusianya. Akhir dua puluhan, dengan rambut panjang mengombak berwarna kecoklatan. Kedua mata wanita itu berwarna hijau, cerah, dengan senyum yang sempat memukau Dane.
“Maaf!” ucap Dane cepat-cepat saat ia sadari bahwa ia hampir hilang kesadaran karena terpukau dengan wanita di depannya itu.
“Kau, Dane Tyler?” tanya wanita itu. “Pria berbaju biru itu memintaku untuk mengantarkan ini. Ini milikmu, ‘kan?”
Dane mengamati benda yang wanita itu bawa. Dan, ya. Itu memang tas coklat kulit miliknya. Seperti dugaannya, tasnya telah tertinggal secara tidak sengaja di ruang reception. Dan wanita yang baik hati itu telah mau membawakan tasnya kembali padanya.
“Terima kasih.” Ucap Dane seraya menerima kembali tasnya. Wanita di depannya itu tersenyum, dan sepertinya tidak terburu-buru untuk pergi. Dane mengambil kesempatan ini untuk bertanya lebih lanjut.
“Kau…”
“Aku menginap disini.” Ucap wanita itu.
“Oh, ya?” balas Dane. Metodenya untuk mendekati seorang wanita sepertinya sudah mulai keluar secara sendirinya. Ia tahu bahwa hujan yang membawa hawa dingin masih terus turun. Namun ia tahu pula bahwa ada panas membara di dalam dadanya, saat melihat senyum dan cara wanita itu memandang ke arahnya.
“Aku tidak melihat mobilmu di tempat parkir. Kau…”
“Temanku mengantarku ke sini.” Jawab wanita itu cepat. “Dan…, Oh! Maaf! Namaku…”
“Aku Dane Tyler.” Ucap Dane. “Sepertinya kau sudah tahu namaku sejak tadi, dan… ehm! Maaf atas sikapku yang…”
“Tidak apa.” Balas wanita itu cepat sambil tertawa. Dane dapat melihat deretan gigi rapi dibalik senyuman yang memukau itu.
“Aku Teresa.” Ucap wanita itu. “Aku juga tamu di motel kecil ini. Diatas. Kamar nomor 14.”
“Senang bertemu denganmu, Teresa.” Ucap Dane.
Dane sebenarnya ingin mengjak wanita itu masuk ke dalam kamarnya. Mengobrol, sambil meminum kopi, dan bercengkerama. Dan untuk sementara, Jones ingin melupakan pekerjaannya. Namun ternyata penawarannya itu ditolak seketika oleh Teresa.
“Sepertinya kau perlu beristirahat.” Ucap wanita itu. Dane sadari, bahwa dandanannya saat itu bukanlah dandanan yang terbaik. Dan dapat ditebak dengan jelas, bahwa ia baru saja menjalani sebuah perjalanan yang panjang.
“Besok, mungkin?” ucap Dane. Teresa hanya melepaskan satu senyumnya, sambil melangkah pergi. Dane masih berdiri di ambang pintunya, mengamati wanita itu hingga wanita itu menaiki tangga, dan menghilang dari pandangan. Dane menggumamkan nama wanita itu dengan pelan, dan bertanya-bertanya apakah ia masih bisa menemui wanita itu besok pagi sesaat sebelum ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan?

*

Sudah lebih dari satu jam sejak Dane bertemu dengan wanita itu, dan ia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya. Namun usahanya untuk tidak memikirkan wanita itu berakhir sia-sia. Ya. Ia tidak bisa melepaskan pikirannya begitu saja dari wanita cantik yang ia temui itu. Ia tahu, bahwa ia harus menunda pekerjaannya untuk sementara, dan keluar menemui wanita itu.
Pukul setengah sepuluh malam, hujan akhirnya berhenti. Dane keluar dari kamar nomor tujuh lengkap dengan memakai jaketnya. Ia bergerak menaiki tangga, kemudian mengarah pada sebuah kamar dengan nomor 14. Ia lihat cahaya kekuningan masih terpancar dari jendela kamar itu. Teresa mungkin belum tidur.
“Tn. Tyler!” ucap wanita itu terkejut saat membuka pintu kamarnya. Dane hanya berdiri, sambil melepas senyum.
“Hujan sudah berhenti.” Ucap Dane. “Kau mau menemaniku berkeliling?”
“Tapi…, kurasa…”
“Kau sibuk?” tanya Dane cepat. Ia sempat melirik ke arah bagian dalam kamar wanita itu, dan tidak menemukan satupun hal yang dapat menunjukkan bahwa wanita itu sedang sibuk. Mungkin Terasa sedang menonton tv.
“Tidak.” Jawab Teresa sedetik kemudian.
“Ayolah!” pinta Dane. “Malam belum begitu larut. Lebih baik keluar bersamaku daripada berdiam di dalam kamar.”
Teresa terlihat sedikit ragu. Namun beberapa detik kemudian, ia mengangguk sambil melepas satu senyum menawan itu.
“Kuambil jaketku telebih dahulu.”
Malam itu mungkin merupakan malam yang paling membahagiakan bagi Dane, mengingat sudah lebih dari dua tahun ia tidak mencoba untuk mendekati wanita sejak kepergian kekasihnya yang dulu. Dane terlalu takut untuk menjalin sebuah hubungan. Tapi Teresa, seolah memberikan nafas baru bagi Dane. Entah bagaimana Dane dapat mengetahuinya. Ia merasa bahwa Teresa mungkin akan menjadi seseorang baginya.
Hawa yang dingin, basah oleh bekas hujan sesore tadi tidak menyurutkan semangat Dane. Apalagi saat ia ditemani oleh seorang wanita cantik. Teresa mengenakan jaket coklat, yang sewarna dengan warna rambutnya. Ia tersenyum manis. Lebih manis dari senyuman manapun yang pernah Dane lihat.
Sedan tua itu melaju di tengah sepinya kota Blackwood. Berputar-putar di jalanan, menjelajahi setiap lingkungan. Baik yang ramai maupun sepi. Selama dalam perjalanan, Dane-lah yang paling banyak bercerita mengenai dirinya. Sementara Teresa terdiam, terlihat serius mendengarkan.
“Lalu bagaimana denganmu?” tanya Dane beberapa saat kemudian sesaat setelah ia selesai menjelaskan mengenai pekerjaannya sebagai penulis lepas.
“Aku?” balas Teresa. “Tidak banyak yang dapat kuceritakan dari hidupku.”
“Oh, ya?”
“Selain mimpi besarku.”
“Apa mimpimu?” tanya Dane. “Ayolah! Semua orang punya mimpi. Kau tidak perlu malu untuk menceritakannya.”
“Kurasa mimpiku dimiliki oleh sebagian besar orang.” Ucap Teresa. “Menjadi seseorang yang bisa diakui.”
“Menjadi terkenal?”
“Bukan.” Bantah Teresa. “Aku hanya ingin diakui. Di dalam pergaulan, dalam masyaraka. Kau tahu? Aku tidak sering terlihat.”
“Apa maksudmu?”
“Aku tipe orang yang tertutup.” Ucap Teresa. “Bisa berbicara bebas seperti ini, rasanya sungguh menyenangkan. Aku tidak mengira akan bertemu dengan orang sepertimu hari ini.”
“Aku juga begitu.” Balas Dane.
Dane membawa Teresa masuk ke sebuah kedai. Sebuah restoran kecil yang terletak di samping sebuah pom bensin, dengan nama Waylonn. Tidak ada banyak orang di dalam kedai pada malam itu. Dane dan Teresa dapat mengobrol sesuka hati mereka.
“Ceritakan padaku!” pinta Dane sesaat setelah secangkir kopi tersaji di depannya. “Apa mimpimu?”
“Bukankah sudah kukatakan bahwa aku…”
“Kau bohong.” Potong Dane. “Gadis sepertimu, cantik, menarik, tapi tidak punya impian?”
Teresa tersenyum sesaat. Senyuman yang begitu singkat, namun ada daya pikat dalam setiap gerakannya. Yang membuat Dane nyaris kehilangan dirinya.
“Aku ingin menjadi aktris.” Ucap Teresa dengan sedikit malu.
“Bagus!” ucap Dane. “Sepertinya kau tidak akan menemui banyak kesulitan untuk mencapainya. Aku serius. Kau memiliki segala hal yang dibutuhkan untuk menjadi seorang…, aktris.”
“Tapi mimpi itu sepertinya begitu jauh bagiku.” Ucap Teresa kemudian. “Entahlah. Ada terlalu banyak masalah yang menimpaku. Hal ini, hal itu, dan hal apa lagi.”
“Kau menyerah?” canda Dane. “Jangan bercanda! Kau…”
“Kau belum tahu siapa aku, Dane.” Potong Teresa. Nada keseriusan tersirat dari cara bicara wanita itu. Kedua mata hijaunya memandang tajam ke arah Dane, yang sempat memberikan Dane sebuah gejolak di dalam hatinya. Satu gejolak, atau perasaan yang tidak menyenangkan.
“Jika saja kita bertemu lebih awal…” ucap Teresa. “Aku yakin mimpiku akan terwujud.”
“Kenapa kini terlambat?” tanya Dane.
Teresa tidak memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Bahkan hingga Dane mengajak Teresa untuk keluar dari kedai itu, Terasa tidak banyak berbicara. Wajahnya terlihat begitu pucat, tanpa semangat. Seolah darah telah mengering dari tubuh wanita itu. Apa mungkin karena cuaca dingin di kota sepi ini?
“Katakan masalahmu padaku, Teresa.” Ucap Dane begitu ia dan wanita itu sudah masuk kembali ke dalam mobil. Dane memandangi wajah pucat Teresa. Namun wanita itu sama sekali tak mau memandangnya.
“Ada yang salah dengan kata-kataku?” tanya Dane. “Kau…, marah padaku?”
“Tidak.” Jawab Teresa lirih. “Bukan kau.”
“Teresa, ada apa sebenarnya?”
“Terlambat, Dane.” Ucap Teresa. “Semuanya sudah terlambat. Aku tidak akan bisa mengejar mimpi itu lagi.”
Dane menggelengkan kepalanya. Ia tidak mengerti dengan apa yang Teresa bicarakan, dan kemana arah pembicaraan. Tiba-tiba saja kepalanya tersa begitu sakit. Kedua matanya berkunang.
“Sebaiknya kita kembali ke motel.” Ucap Teresa.
Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam saat Dane dan Teresa kembali ke motel. Dane memarkir mobilnya di tempat semula. Tangannya kemudian bergerak cepat, menarik tangan Teresa yang hendak keluar dari mobil. Anehnya, ia rasakan perasaan dingin saat memegang lengan gadis itu.
“Teresa…” ucap Dane.
Dane ingin melihat sekali lagi, senyuman itu. Senyuman yang dapat membakar asmara di dalam dadanya. Senyuman yang begitu menarik, bagi hati dan jiwanya.
“Dane…” ucap Teresa kemudian. “Apa kita bisa bertemu lagi? Bukan disini. Mungkin di tempat yang lebih menyenangkan?”
“Tentu saja.” Jawab Dane.
Dane mengernyit saat Teresa kemudian memberikannya sesuatu. Teresa memasukkan benda itu ke dalam telapak tangannya. Sebuah cincin, dengan tulisan Teresa.
“Kau mau menyimpannya untukku?” tanya Teresa. “Hingga kita bisa bertemu lagi. Suatu saat nanti.”
Dane hanya bisa mengangguk tanpa dapat berkata apapun. Mulutnya terkunci rapat, meski sebenarnya ia ingin mengatakan sesuatu apda Teresa. Wanita itu hanya tersenyum singkat, lalu pergi meninggalkan Dane duduk sendirian di dalam mobilnya. Dane bertanya-tanya, apakah besok pagi ia masih bisa menemui Teresa lagi?
*
Dane terbangun dari tidurnya keesokan harinya dengan kepala serasa dipukuli. Ia mendapatkan sakit kepala yang tak tertahankan, bahkan ia nyaris tak bisa bangkit dari tempat tidurnya. Tiga puluh menit kemudian, saat ia sudah dapat menangani rasa sakit di kepalaya, ia mulai mengepak semua barangnya dan siap pergi dari motel itu.
Dane tentu saja masih ingat betul dengan apa yang terjadi semalam. Teresa. Wanita itu. Dane sempat mampir ke kamar nomor 14, namun pintunya sudah terkunci. Tidak ada tanda-tanda orang berada di dalam ruangan itu. Dane yakin benar bahwa wanita itu sudah pergi.
Pria berkemeja biru yang Dane temui keamrin menyambutnya lagi saat Dane masuk ke ruang reception untuk mengembalikan kunci. Dane sempat bertanya pada pria itu mengenai Teresa. Tamu yang tinggal di kamar nomor 14.
“Dia sudah pergi.” Ucap pria itu. “Mungkin tidak akan kembali lagi.”
“Ya, tentu.” Balas Dane. Ia pun tak mau kembali ke motel kecil seperti itu lagi jika tidak terpaksa.
Tepat pukul sembilan, saat matahari telah bersinar terang, Dane pergi meninggalkan motel Baskerville. Dengan harapan bahwa suatu saat ia bisa menemui Teresa lagi. Kapan? Dane tidak tahu.
Dane mampir ke kedai Waylonn. Kedai yang ia datangi semalam bersama teresa. Ia memesan makanan untuk mengganjal perutnya sebelum ia memulai sebuah perjalanan panjang.
“Kau sendirian kawan?” tanya seorang pria dibelakang meja konter. Pria itu memandang sekilas pada Dane, sambil terus mengelapi gelas-gelas yang baru saja ia cuci.
“Ya.” Jawab Dane. “Hanya perasaanku, atau memang kota ini begitu sepi?”
“Sepi.” Ucap pria dibelakang konter itu. “Blackwood selalu sepi di musim-musim seperti ini. Apalagi…, tidak. Lupakan saja!”
Dane melahap semua makanan yang ada di piringnya hingga tak tersisa. Sedetik setelah ia meminum kopinya, kedua matanya itu secara tak sengaja melihat tumpukan koran-koran tua di atas konter. Kedua mata Dante tertuju pada sebuah koran dengan tulisan ‘TRAGEDI’ di headline-nya. Ia teringat bahwa kemarin ia pun melihat koran yang sama di motel Baskerville. Dane dengan cepat menarik koran itu, lalu membaca judulnya,
‘TRAGEDI DI BLACKWOOD.’
Dane yang mulai merasa tertarik dengan kepala berita itu langsung membaca artikel yang tertulis dibawahnya. Namun, semakin lama ia membaca artikel itu, kedua alisnya semakin berkerut. Dane hampir tak mempercayai apa yang ia baca.
Seorang wanita ditemukan tewas di Baskerville Motel, di dalam kamar nomor 14 kemarin malam. Dari kartu identitas korban, korban diketahui bernama Teresa Jones, usia 28 tahun berasal dari Tuscan, Hauldnspring. Korban ditemukan dalam keadaan…
Dane seketika merasakan rasa pening di kepalanya, dan koran yang ia pegang itu jatuh ke lantai. Dane nyaris kehilangan kesadarannya, dan nayris jatuh dari kursi yang ia duduki.
“Hei! Kau tidak apa-apa?”
Dane mengerjap. Nafasnya terasa begitu berat, sementara kepalanya terus terasa berputar. Dane terkejut, dan tak memeprcayai apa yang baru saja ia baca. Apakah hanya halusinasinya saja?
“Kau!” seru sang pemilik kedai. Dane menoleh sekektika, memandang ke arah wajah pria dibalik konter itu.
“Kau tidak apa-apa?”
“Y-Ya. Aku…, baik-baik saja.” Jawab Dane tergagap.
Dane tak berani memandang ke arah koran yang terletak di lantai itu. Ia takut, dengan apa yang ia baca. Takut, dengan apa yang ia alami semalam. Apa yang terjadi? Tidak mungkin ia…
“Baskerville…, motel Baskerville.” Ucap Dane sedetik kemudian. Dane mendongak, memandang ke arah pria di belakang konter itu.
“Kau tahu sesuatu mengenai motel itu?” lanjut Dane.
“Motel itu sudah satu tahun ini tutup.” Jawab pria dibelakang konter itu. “Kenapa? Oh! Kau kenal dengan korban? Teresa Jones, yang katanya ingin pergi ke New Himpton untuk menjadi….”
Suara di sekeliling Dane serasa menghilang seketika saat Dane terhanyut dalam perasaan takutnya. Dane merasakan segalanya tidak normal, berputar cepat, dan ia tak bisa untuk menahan segala gejolak yang ada di dalam dirinya. Hingga akhirnya ia tak sadarkan diri.
Begitu ia tersadar, ia sudah duduk di lantai. Pria pemilik kedai itu memebrikannya segelas air putih, yang segera ia tenggak habis. Dane masih tidak mempercayai apa yang ia dengar. Ia bertanya sekali lagi mengenai tragedi yang tertulis di koran itu pada sang pemilik kedai. Dan berita itu benar. Teresa Jones merupakan korban yang ditemukan kamar Baskerville nomor 14 setahun yang lalu.
Dane tidak dapat menjelaskan apa yang ia alami. Semalam, segalanya terasa begitu normal. Hujan itu nyata. Bahkan ia masih dapat melihat genangan air pagi itu. Lalu apa yang terjadi padanya?
Apakah ia baru saja tidur di motel yang sudah kosong itu?
Dane ingin memastikannya. Ia bawa mobilnya ke depan motel Baskerville, dan ia lihat dengan jelas keadaan bangunan yang sudah tak terawat itu, dengan halaman beton yang sudah dipenuhi dengan rerumputan liar. Keadaan motel itu begitu suram. Jauh berbeda dengan apa yang ia lihat hari sebelumnya.
Ini adalah pertama kalinya Jones berinteraksi dengan dunia supranatural, meski kadang ia tak mempercayainya. Namun kali ini nyata. Motel itu, pria berkemeja biru, lalu Teresa…
Dane kembali mengernyit saat ia secara tak sengaja menemukan sebuah benda di dalam saku celananya. Sebuah cincin, dengan tulisan Teresa di permukaannya. Dane tersenyum janggal. Meski semalam hanyalah sebuah petualangan supranatural, Namun Dane tetap tidak akan bisa melupakan wajah wanita itu. Teresa. Seorang wanita muda yang memiliki impian untuk menjadi seorang aktris.
Kini Dane mengerti dengan apa yang Teresa ceritakan semalam mengenai impiannya yang sudah terlambat, dan tidak bisa dicapai lagi itu. Teresa telah tiada. Tapi Dane mempunyai cincin Teresa. Teresa mengatakan bahwa ia ingin bertemu lagi dengan Dane.
Apakah Dane akan merasa takut jika suatu saat ia bertemu lagi dengan arwah Teresa itu?
Dane rasa, jika ia bisa bertemu dengan wanita itu lagi, ia akan menggunakan kesempatannya dengan sebaik mungkin. Ia mungkin akan membawa Teresa ke New Himpton. Ke tempat impian Teresa saat ia masih hidup. Mungkin dengan begitu, arwahnya akan dapat beristirahat dengan tenang.

****