Seminggu telah berlalu sejak kepindahan Elizabeth bersama
dengan putrinya, Hana, ke rumah baru mereka yang ada di Blackwood. Memang tidak
mudah untuk masuk ke dalam komunitas baru. Namun bagi Elizabeth, hal ini adalah
hal terbaik yang bisa ia dapatkan setelah keluarganya dipaksa pindah dari rumah
mereka yang lama karena suaminya dipindah tugaskan ke kota lain.
Kenapa Blackwood? Itulah pertanyaan yang masuk ke
dalam pikiran Elizabeth saat suaminya mengusulkan tempat itu. Sejauh apa yang
ia ketahui, Blackwood terkenal dengan cerita-cerita misteriusnya. Keangkeran,
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan supranatural. Memang sedikit aneh
bagi Elizabeth, yang dikenal sebagai wanita yang rasional, untuk dapat
mempercayai hal-hal seperti itu. Dan John, suaminya pun telah mengatakan
padanya bahwa cerita-cerita buruk mengenai Blackwood hanyalah karangan belaka.
Tidak ada yang perlu ditakuti.
Menang benar. Semenjak kedatangannya seminggu yang
lalu, Elziabeth akui bahwa Blackwood merupakan kota yang tenang dan sama sekali
berbeda dengan cerita-cerita seram yang pernah ia dengar. Kota itu memang
kecil, namun memberikan banyak kesempatan baginya untuk dapat memulai karir
baru.
Elizabeth adalah seorang penulis lepas untuk sebuah
surat kabar. Dan dalam kurun waktu satu minggu, ia telah mendapatkan kontrak
kerja sama dengan sebuah redaksi majalah di Blackwood. Awal yang bagus. Dan
pikiran-pikiran buruknya mengenai Blackwood telah hilang sepenuhnya.
Ia tinggal di sebuah rumah kecil dua lantai di tepian
kota. Sebuah rumah tua, yang ukurannya lebih kecil dari rumahnya yang lama,
namun terasa nyaman untuk ditempati. Lokasi rumahnya itu tidak jauh dari kantor
majalah dimana ia bekerja, dan tidak jauh pula dari minimarket terdekat.
Lokasinya cukup strategis, dan menurutnya tidak ada yang lebih sempurna dari
hal-hal itu.
Elizabeth duduk di depan layar komputernya di suatu
malam yang dingin di bulan November. Seperti biasa, ia bekerja hingga larut
malam. Saat itu jarum jam telah menunjukkan pukul sebelas.
Ia yang sebelumnya fokus pada pekerjaannya tiba-tiba
saja harus berhenti saat ia mendengar sebuah suara ganjil yang datang dari arah
atas. Lantai dua. Ia mendengar putrinya, hana, tengah berbicara dengan
seseorang. Tapi siapa? Penghuni rumah itu hanya dirinya dan putrinya. John
hanya pulang seminggu sekali.
“Hana?” panggil Elziabeth. Tidak ada jawaban yang ia
dengar.
Elizabeth kembali fokus pada tulisannya. Namun
beberapa detik kemudian, ia harus menghentikan pergerakan jarinya saat ia
mendengar lagi suara aneh itu. Kali ini sebuah suara tawa anak kecil. Suara
putrinya?
Keadaan aneh yang membuatnya penasaran itu memaksanya
untuk meninggalkan pekerjaannya dan bergerak naik untuk memeriksa putrinya. Ia
bergerak mneyusuri lorong remang di lantai dua itu, hingga akhirnya sampai di
sebuah pintu terbuka yang ada di sebelah kanan, yaitu kamar putrinya.
“Hana?”
Elizabeth heran dengan putrinya. Malam sudah begitu
larut, namun Hana masih bermain dengan satu set peralatan dapur mainannya, dan
tengah menyajikan minuman di meja kecil yang ada di tengah.
“Hana, kenapa kau tidak tidur? Ibu kira kau…”
“Dia masih mau bermain denganku.” Jawab gadis kecil
berusia lima tahun itu. Sebuah kepolosan muncul di wajah putri kecilnya itu.
“Temanmu?” tanya Elizabeth sambil tersenyum. Ia sudah
tidak heran lagi dengan hal itu. Tidak aneh rasanya bagi seorang anak kecil
memiliki teman khayalan.
“Tapi sudah malam, sayang. Kau harus tidur.” Ucapnya.
Hana, dengan berat hati meninggalkan set mainannya itu dan naik ke atas tempat
tidur. Elizabeth menarik selimut menutupi tubuh putrinya, dan memberikan
kecupan selamat malam.
“Mimpi yang indah.” Ucapnya kemudian. Ia bergerak
keluar dari kamar seraya mematikan lampu. Namun langkahnya terhenti saat Hana
memanggilnya kembali.
“Nyalakan lampunya!” ucap gadis itu. “Dia tidak suka
tempat yang gelap.”
“Dia?” Elizabeth mengerutkan keningnya. Apakah ucapan
putrinya itu mengacu pada teman khayalannya itu? Ia kemudian melihat putrinya
itu memberikan sebuah anggukan.
“Oke.” Ucap Elizabeth. Ia menyalakan lagi lampu kamar
itu. “Berjanjilah kau akan tidur setelah ini, oke?”
Elizabeth kembali turun untuk melanjutkan pekerjaan
yang ia tinggalkan tadi. Namun keanehan terjadi di depan kedua matanya. Lampu
ruang tengah yang sebelumnya menyala kini telah padam. Bagiamana mungkin bisa
terjadi? Apakah dirinya yang mematikan lampu sebelum mengarah ke lantai dua
tadi? Namun Elizabeth tidak ingat bahwa ia mematikan lampu.
Ia kembali menghadap laptopnya setelah menyalakan
kembali lampu ruangan itu. Akan tetapi, dahinya kembali berkerut saat menemukan
laptopnya dalam keadaan mati. Ia menekan sembarang tombol, untuk menghidupkan
kembali layarnya. Mungkin laptopnya hanya masuk dalam modus tidur. Tapi…
Tidak.
Laptopnya tidak mau menyala. Ia tekan tombol power
berkali-kali, namun tetap saja komputernya itu tidak mau menyala. Rusak?
Mustahil. Elizabeth selalu merawat komputernya itu dengan baik dan selama ini
belum pernah mengalami kerusakan. Setelah mencoba berkali-kali namun gagal,
akhirnya Elizabeth menyerah. Ia berencana membawa laptopnya itu ke reparasi
besok pagi.
Elizabeth memutuskan untuk pergi tidur. Namun malam
itu tidurnya dipenuhi dengan mimpi buruk. Ia seperti mendengar saura-suara
pelan di samping tempat tidurnya, seperti suara bisikan, desis angin, dan
suara-suara lain yang memaksanya untuk membuka kedua matanya dalam ketakutan.
Apa yang terjadi?
Keadaan kamar begitu tenang. Sepi, gelap, namun tidak
ada satupun keanehan. Elizabeth berkeringat, seperti baru saja berlari. Karena
mimpi buruknya itu, yang ia rasa begitu nyata.
Pikiran Elizabeth tanpa sadar mulai menghubungkan
keanehan-keanehan yang terjadi dalam beberapa jam terakhir. Tingkah putrinya,
lalu lampu ruangan yang tiba-tiba padam, lalu laptopnya yang tiba-tiba rusak,
lalu suara bisikan itu…
Cerita-cerita mengerikan mengenai Blackwood yang
pernah ia dengar dari teman-temannya mulai merasuki pikiran Elizabeth. Apakah
cerita-cerita itu benar? Elizabeth mencoba untuk menolaknya dan berkata bahwa
tidak ada satupun keanehan yang terjadi pada dirinya selama seminggu terakhir.
Kenapa baru sekarang keanehan itu terjadi?
Semakin lama Elizabeth menolak pemikiran supranatural
yang masuk ke dalam otaknya, semakin besar pula rasa penasaran yang timbul
dalam hatinya. Apa yang sebenarnya terjadi? Ia mencoba untuk tidur lagi, namun
matanya itu tidak mau terpejam. Seolah saat ia memejamkan kedua matanya, ia
mendengar lagi suara bisikan-bisikan itu.
Tubuh Elizabeth tiba-tiba saja membeku saat telinga
mendengar dengan jelas suara aneh yang datang dari arah luar kamarnya. Sebuah
tawa kecil, terdengar samar. Siapa? Ia yakin bahwa putrinya telah tidur. Apakah
ia hanya salah dengar?
Suara tawa itu semakin jelas terdengar saat Elizabeth
mencoba untuk mengabaikannya. Elizabeth kini yakin bahwa suara itu nyata
terdengar, dan bukan karena imajinasinya. Rasa penasaran yang besar timbul
dalam hatinya. Yang membuatnya bangkit dari tempat tidur, mengambil senter yang
ada di laci kemudian keluar dari kamarnya.
Elizabeth berdiri selama beberapa detik di dalam
kegelapan rumahnya. Selama ini ia tidak pernah menyadari bahwa keadaan rumahnya
di malam hari bisa dibilang sedikit menyeramkan. Cahaya remang masuk dari arah
luar, melalui jendela-jendela yang ada di ruang tengah.
Elizabeth menyorotkan senternya, lalu bergerak pelan
menuju tangga yang mengarah ke lantai dua. Ia yakin bahwa suara-suara yang ia
dengar mungkin berasal dari kamar putrinya. Apakah putrinya bangung di tengah
malam hanya untuk bermain? Aneh.
Ternyata, dugaan Elizabeth salah. Hana masih tertidur
di atas tempat tidurnya dengan tenang, dan tidak ada tanda-tanda bahwa gadis
itu baru saja bermain. Tapi Elizabeth masih bertanya-tanya mengenai suara-suara
tawa itu.
Elizabeth menghentikan langkahnya seketika saat
telinga mendengar hal itu lagi. Suara itu. Suara aneh, tawa kecil dari seorang
gadis yang entah tidak diketahui darimana asalnya. Elizabeth mulai merasakan
perasaan aneh merayap di dalam tubuhnya. Perasaan takut, akan hal-hal ganjil
yang baru saja ia alami.
Cahaya senter yang ia pegang tanpa sengaja mengarah ke
bagian ujung koridor, dimana di tempat itu terdapat sebuah pintu yang
menghubungkan koridor dengan tangga yang mengarah ke loteng. Elizabeth merasa
bahwa ada sesuatu yang harus ia periksa. Hatinya mengatakan bahwa ada hal yang
ganjil dari dalam loteng rumahnya.
Keadaan yang gelap, pengap penuh dengan debu menjadi
satu-satunya hal yang dapat ia temukan di loteng rumahnya itu. Tumpukan barang-barang
bekas terlihat bertumpuk di beberapa tempat. Elizabeth menyorotkan cahaya
senternya ke beberpa sudut loteng, namun ia tidak menemukan sesuatu yang
ganjil.
Tepat saat ia akan turun kembali ke arah koridor, ada
sebuah sekelebatan bayangan yang bergerak cepat diantara kardus-kardus bekas.
Elizabeth menyadarinya, namun tidak terlalu cepat untuk mengarahkan senternya. Apa
yang baru saja ia lihat?
Elizabeth mengurungkan niatnya untuk kembali ke
koridor sebelum ia dapat mengatahui dengan pasti apa yang baru saja ia lihat. Mungkin
hanya bayangan seekor tikus?
Elizabeth bergerak diantara kardus-kardus yang
bertumpuk, hingga akhirnya ia menemukan sebuah benda aneh berdiri di ujung
lotengnya. Sebuah lemari tua dengan kayu berwarna hitam. Elizabeth bergerak
mendekat, namun seketika menghentikan langkahnya saat sebuah guncangan terjadi
dari lemari tua itu. Seperti ada sesuatu yang bergerak dari dalamnya. Hanya beberapa
detik, lalu keadaan menjadi tenang kembali.
Elizabeth merasakan perasaan yang tidak nyaman di
perutnya. Perasaan aneh, yang membuatnya merinding tak jelas. Ia bergerak
mendekati lemari tua itu, kemudian menggenggap kenopnya, dan mencoba membuknya.
Tidak.
Lemari tua itu tidak bisa terbuka. Terkunci sepenuhnya.
Sekuat apapun Elizabeth menarik kenopnya, pintu lemari itu tetap tak bergeming.
Elizabeth menyerah beberapa detik kemudian. Ia rasa tidak ada lagi yang bisa ia
lakukan, dan ia sama sekali tidak menemukan keanehan di loteng. Akan tetapi,
sesaat sebelum ia keluar dari loteng itu, sebuah suara berkelotak kembali terdengar
dari dalam lemari. Elizabeth menunggu selama beberapa detik, kemudian
terdengarlah suara itu. Sebuah suara nyaring dari tawa seorang gadis yang
dengan jelas terdengar dari dalam lemari itu. Elizabeth merasakan bulu kuduknya
berdiri seketika, dan detik berikutnya, ia berlari keluar dari loteng itu.
*
Elizabeth masih belum bisa menjelaskan
keanehan-keanehan yang terjadi di rumah barunya itu. Lampu yang padam,
laptopnya yang rusak seketika, dan juga mengenai tawa gadis yang ia dengar.
Elizabeth mencoba mengabaikan suara tawa itu. Ia mengatakan
pada dirinya sendiri bahwa mungkin ia hanya berhalusinasi. Tapi mengenai lampu
yang tiba-tiba padam, dan laptopnya yang rusak, ia tidak bisa menjelaskannya.
Elizabeth telah bertanya pada pengelola perumahan
mengenai listrik yang ada di rumahnya. Pengelola itu mengatakan bahwa tidak ada
yang tak normal dengan tegangan listrik di rumahnya yang bisa menyebabkan lampu
padam dengan sendirinya. Dan kondisi lampu di ruang tengah itu sendiri pun
masih dalam keadan baru.
Yang lebih aneh adalah mengenai laptopnya. Ketika Elizabeth
membawa laptop kecilnya itu ke reparasi, laptopnya dapat dinyalakan tanpa ada
masalah. Tidak ada satupun kerusakan yang terdeteksi dari laptopnya.
Elizabeth mencoba menghubungi suaminya dan mulai
menjelaskan segala keanehan yang terjadi.
“Aneh,’kan?” ucapnya begitu ia selesai dengan
penjelasannya. “Kurasa ada hubungannya dengan rumah ini. Entahlah. Aku mulai
merasakan hal-hal ganjil.”
“Tapi tidak ada masalah sebelumnya, ‘kan?”
“Ya.” Jawab Elizabeth. “Tetap saja…, dan Hana…, dia
mulai bertingkah aneh.”
“Kenapa dengannya?”
“Kau tahu bahwa ia sering bermain sendirian bersama
dengan teman khayalannya. Tapi kurasa kali ini berbeda.”
“Aku tidak mengerti.”
“Kumohon! Pulanglah! Aku mulai merasa takut.”
Elizabeth mengalami kejadian yang sama dalam hari-hari
berikutnya. Tawa-tawa itu masih belum juga mau berhenti, dan ia merasa ia bisa
gila jika ia terus mendengar suara-suara aneh seperti itu. Kejadian aneh
lainnya juga terjadi. Mesin cucinya tiba-tiba berhenti, lalu lampu di dapur
tidak dapat dinyalakan, dan masih banyak kejanggalan lain, yang tanpa diduga
hilang di hari berikutnya. Mesin cucinya kembali normal, dan lapu di dapur juga
tidak mengalami masalah.
Saat malam tiba, Elizabeth serasa menjalani sebuah
penyiksaan. Suara-suara bisikan di samping tempat tidurnya terus ia dengar. Juga
dengan suara berkelotak yang berasal dari loteng itu. Ia baru bisa tidur saat
ia memutuskan untuk memakai headphone dan mendengarkan musik dari ponselnya.
John, suaminya, akhirnya pualng saat akhir pekan tiba.
Elizabeth pun tak kuasa menahan keinginannya untuk segera menceritakan segala
sesuatunya, segala hal yang menurutnya aneh itu pada John. Ia ceritakan
mengenai malam pertama saat ia mulai merasa hal ganjil itu, lalu
kejadian-kejadian mengenai lampu, laptop, suara-suara di loteng, dan juga
bisikan-bisikan yang ia dengar di samping tempat tidurnya. John hanya duduk
sambil mendengarkan sederet cerita istrinya itu sambil sesekali mengusap lengan
Elizabeth.
“Kau yakin?” tanya John begitu cerita istrinya
selesai.
“Kau kira aku berbohong?” Elizabeth sedikit menaikkan
nada bicaranya. “John! Aku…, aku bukan tipe orang yang percaya dengan hal-hal
klenik semacam itu. Tapi semua hal ini…, ah! Aku tidak tahu bagaimana harus
menjelaskannya.”
“Kau mungkin hanya lelah, Liz. Kau terus bekerja di
depan komputer?”
“Tidak ada hubungannya dengan hal itu, oke?” ucap Liz.
“Lalu mengenai putri kita, Hana. Mengenai teman khayalannya itu…”
Malam itu John memutuskan untuk melakukan pendekatan
pada putrinya, dan mulai bertanya mengenai teman yang selama ini Hana ajak
bicara.
“Kau tahu siapa dia?” tanya John sambil memangku Hana.
“Namanya Elizabeth. Dia teman baikku.”
“Namanya seperti nama ibumu.”
“Ya.” Hana mengangguk. “Tapi dia sedang dalam
kesulitan, ayah. Aku harus membantunya.”
“Kesulitan apa?”
“Dia ingin pulang.” Jawab Hana. “Dia tidak tahu jalan
pulang.”
“Dimana dia tinggal?” tanya John lebih lanjut, terus
memancing cerita putrinya.
“Aku tidak tahu.” Jawab Hana. “Dia kesepian, dan
selalu berada di tempat gelap. Dia meminta tolong padaku.”
John mengernyit. Ia tidak tahu apakah Hana tengah
membicarakan teman khayalannya atau teman yang lain. Mustahil bagi Hana untuk
mempunyai teman lain mengingat Hana tidak pernah keluar dari rumah. Namun John
juga tidak menganggap apa yang Hana ceritakan adalah kebohongan. Berdasarkan apa
yang pernah ia pelajari, anak kecil tidak pernah bisa berbohong.
Elizabeth yang duduk di depan suaminya memberikan
tatapan bertanya pada John. Apa yang harus mereka lakukan? John hanya
mengangkat dua bahunya.
“Mengenai Elizabeth…” ucap John kemudian. “Kapan kau
mulai berkenalan dengannya?”
“Sejak kita datang.” Jawab Hana.
Hal-hal yang Hana ucapkan semakin membuat John dan
Elizabeth penasaran. Siapa sebenarnya gadis kecil yang mengajak berbicara putri
kecilnya ini? Siapa sebenarnya Elizabeth itu?
Malam itu Elizabeth memutuskan untuk mengajak putrinya
tidur bersama di kamarnya. Ia tidak mau meninggalkan putrinya sendirian berada
dekat dengan loteng yang mengerikan itu.
Hana sudah tertidur. Namun tidak dengan kedua pasangan
suami istri itu. Mereka masih belum selesai membicarakan mengenai
keanehan-keanehan yang terjadi di rumah baru mereka.
“Aku sudah bertanya pada pengelola perumahan, dan
katanya tidak ada yang salah dengan rumah ini. Rumah ini seharusnya aman.”
“Tapi…” bantah Liz. “Suara-suara itu…, aku terus
mendengarnya. Dan mengenai cerita Hana tadi…, mungkin…”
“Kau berpikir terlalu jauh.” Ucap John. “Tidak mungkin
apa yang pernah kau lihat dalam film menjadi kenyataan, ‘kan?”
“Tapi film kadang dibuat berdasarkan kisah nyata.”
John mengusap wajah istrinya, dan meminta agar
istrinya tenang. John berjanji bahwa besok pagi ia akan memeriksa loteng itu.
Pukul dua dini hari, John harus memaksa kedua matanya
untuk terbuka saat ia merasakan guncangan pada lengannya. Ia lihat Liz telah
duduk, dengan wajah begitu cemas, penuh dengan ketakutan.
“Liz, apa yang…”
“Suara itu!” bisik Liz. “Kau dengar?”
John mencoba untuk menajamkan pendengarannya. Namun ia
sama sekali tidak mendengar apapun. Yang ada hanyalah keheningan dari suasana
malam yang mencekam.
“Kau mungkin bermim…”
“Tidak!” bantah Liz. “Dengar! Itu…”
John tidak mendengar apapun pada awalnya. Namun beberapa
detik kemudian, seluruh otot di tubuhnya menegang. Ia tidak bisa mempercayai
apa yang didengar oleh telinganya. Suara itu…
“Oh, tidak.”
Suara itu terdengar pelan, begitu halus, namun begitu
jelas. Suara seorang anak kecil yang menyebutkan nama putri mereka, Hana. Suara
itu kadang berhenti, kadang timbul lagi. Namun John kini sudah merasa yakin
bahwa apa yang didengar oleh istrinya bukanlah bualan atau imajinasi belaka.
“John!” keluh Elizabeth. “Apa yang harus kita lakukan?”
Kedua suami istri itu terlonajk kaget saat sebuah
suara berdebum keras terdengar dari arah loteng. Ya. Suara yang begitu jelas
mereak dengar.
“Apa itu?”
BRAK!! BUM!!
Suara-suara keras itu terdengar berkali-kali, lalu
berhenti. Namun detik berikutnya terdengar kembali. John kali ini yakin bahwa
ada yang tidak beres dengan loteng rumahnya itu.
“Tidak ada cara lain.” Ucap John seraya turun dari
tempat tidur.
“John!” seru Elizabeth dengan penuh kekhawatiran. Ia
ikut turun dari tempat tidur, lalu meraih Hana dan menggendongnya.
“Lemari itu.” Ucap John. “Ada yang tidak beres.”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Kita akan memeriksanya, Liz. Kali ini, untuk
membuktikannya.”
Elizabeth tidak tahu apakah hal itu adalah ide yang
bagus untuk dilakukan. Namun ia tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan. Ia hanya
bisa mengiktui langkah John.
John membawa sebuah senter, dan juga sebuah linggis
yang sudah ia ambil dari dalam gudang. Dengan gerak perlahan ia mulai berjalan
naik ke lantai dua, menyusuri lorong remang itu, kemudian berhenti tepat di
depan pintu yang mengarah ke loteng. Suara berdebum itu sudah berhenti sejak
beberapa menit yang lalu.
John membuka pintu itu dengan perlahan, lalu
menyorotkan cahaya senter yang ia pegang ke setiap sudut dari loteng tua
berdebu itu. Sama seperti yang Elizabeth lihat pada saat itu, tidak ada yang
aneh dengan loteng itu. Namun, detik berikutnya…
BRAK!!!
John secara reflek mengarahkan senternya ke arah
sumber suara. Suara itu berasal dari balik tumpukan kardus, yang kemudian ia
lewati, dan berakhir pada sebuah lemari tua berwarna hitam itu. John melihat
dengan mata kepalanya sendiri saat lemari itu berguncang. Suara-suara keras
terus bermunculan dari dalam lemari tua itu.
“John!” seru Elizabeth khawatir dengan apa yang akan
dilakukan suaminya. John bergerak maju, menggenggam erat-erat kenop dari pintu
lemari, dan menariknya dengan kuat.
Usahanya itu sia-sia. Pintu lemari itu terkunci, dan
seolah ada sebuah kekuatan jahat yang mencegah pintu itu terbuka. Tapi John,
yang ingin membongkar misteri dari lemari itu tidak kekurangan akal. Ia gunakan
linggis yang ia pegang, dan menghujamkannya ke pintu lemari.
KRAK!
Sebuah celah terbuka. John kemudian mengerahkan
kekuatannya yang lain untuk menjebol pintu lemari itu, hingga akhirnya…
Elizabeth dengen seketika memalingkan wajahnya dan
rasa mual mulai mengusik perutnya setelah melihat apa yang ada di dalam lemari
tua itu. Bahkan John pun sempat berteriak, lalu mengumpat tiada habisnya.
Jasad seorang gadis kecil terlihat telah mengering di
bagian dalam lemari tua itu. Sebuah kerangka, yang dibalut dengan sebuah gaun
berwarna biru muda, terlihat lebih mengerikan dan menjijikkan dari apapun.
Elizabeth. Mungkin itu adalah nama gadis yang tewas di dalam lemari itu. John
dan Elizabeth tidak tahu apa yang terjadi dengan gadis itu, dan kenapa jasad
gadis itu bisa berada di dalam loteng rumahnya. Yang jelas, cerita dari Hana mengenai
Elizabeth yang meminta untuk pulang itu kini menjadi jelas. Mungkin arwah
Elziabeth meminta pada Hana agar jasadnya ditemukan, dan dikuburkan dengan
benar.
*
Dua hari telah berlalu sejak John dan Elizabeth
menemukan jasad gadis kecil itu. Mereka telah melaporkan penemuan aneh mereka
pada pihak kepolisian Blackwood, dan kini masalahnya tengah diurus. Jasad gadis
itu pun telah dikuburkan di seuah pemakaman yang ada di belakang gereja.
Lalu bagaimana dengan keluarga itu? Apakah John dan
istrinya mau tinggal lebih lama di dalam rumah itu?
Jawabannya, tidak.
John melirik ke arah spion mobil yang tengah ia
kendarai, dan melihat rumah itu semakin menjauh. Ya. Ia memutuskan untuk pindah
dari Blackwood setelah apa yang terjadi.
“Dia sudah pulang.” Ucap Hana dengan raut wajah
senang. Elizabeth memandang John, dan tersenyum. Ya. Merekalah yang membebaskan
arwah gadis itu dari penjaranya. Kini, Elizabeth, gadis kecil itu, dapat
beristirahat dengan tenang.
“Semoga rumah baru yang akan kita tempati nanti tidak
memberikan mimpi buruk seperti rumah itu.” Ucap Elizabeth. Suaminya itu
tersenyum.
“Aku akan memeriksa lotengnya terlebih dahulu.”
John dan Elizabeth tidak akan pernah tahu cerita
sebenarnya dari apa yang terjadi pada gadis kecil itu. Mereka sempat mendengar
bahwa beberapa tahun yang lalu pernah terjadi sebuah tragedi di rumah yang ia tempati
itu, namun mereka mencoba untuk tidak menggali cerita itu lebih dalam. Mereka merasa
sudah tenang saat mengetahui bahwa arwah gadis itu bisa terbebas dari
penyiksaan dunia ini. Gadis kecil itu, mungkin akan mengucapkan terima pada
keluarga itu karena telah membebaskannya. Jika hal itu memungkinkan.
****
No comments:
Post a Comment