Saturday, August 15, 2015

MISTERI GADIS DI LOTENG



Seminggu telah berlalu sejak kepindahan Elizabeth bersama dengan putrinya, Hana, ke rumah baru mereka yang ada di Blackwood. Memang tidak mudah untuk masuk ke dalam komunitas baru. Namun bagi Elizabeth, hal ini adalah hal terbaik yang bisa ia dapatkan setelah keluarganya dipaksa pindah dari rumah mereka yang lama karena suaminya dipindah tugaskan ke kota lain.
Kenapa Blackwood? Itulah pertanyaan yang masuk ke dalam pikiran Elizabeth saat suaminya mengusulkan tempat itu. Sejauh apa yang ia ketahui, Blackwood terkenal dengan cerita-cerita misteriusnya. Keangkeran, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan supranatural. Memang sedikit aneh bagi Elizabeth, yang dikenal sebagai wanita yang rasional, untuk dapat mempercayai hal-hal seperti itu. Dan John, suaminya pun telah mengatakan padanya bahwa cerita-cerita buruk mengenai Blackwood hanyalah karangan belaka. Tidak ada yang perlu ditakuti.
Menang benar. Semenjak kedatangannya seminggu yang lalu, Elziabeth akui bahwa Blackwood merupakan kota yang tenang dan sama sekali berbeda dengan cerita-cerita seram yang pernah ia dengar. Kota itu memang kecil, namun memberikan banyak kesempatan baginya untuk dapat memulai karir baru.
Elizabeth adalah seorang penulis lepas untuk sebuah surat kabar. Dan dalam kurun waktu satu minggu, ia telah mendapatkan kontrak kerja sama dengan sebuah redaksi majalah di Blackwood. Awal yang bagus. Dan pikiran-pikiran buruknya mengenai Blackwood telah hilang sepenuhnya.
Ia tinggal di sebuah rumah kecil dua lantai di tepian kota. Sebuah rumah tua, yang ukurannya lebih kecil dari rumahnya yang lama, namun terasa nyaman untuk ditempati. Lokasi rumahnya itu tidak jauh dari kantor majalah dimana ia bekerja, dan tidak jauh pula dari minimarket terdekat. Lokasinya cukup strategis, dan menurutnya tidak ada yang lebih sempurna dari hal-hal itu.
Elizabeth duduk di depan layar komputernya di suatu malam yang dingin di bulan November. Seperti biasa, ia bekerja hingga larut malam. Saat itu jarum jam telah menunjukkan pukul sebelas.
Ia yang sebelumnya fokus pada pekerjaannya tiba-tiba saja harus berhenti saat ia mendengar sebuah suara ganjil yang datang dari arah atas. Lantai dua. Ia mendengar putrinya, hana, tengah berbicara dengan seseorang. Tapi siapa? Penghuni rumah itu hanya dirinya dan putrinya. John hanya pulang seminggu sekali.
“Hana?” panggil Elziabeth. Tidak ada jawaban yang ia dengar.
Elizabeth kembali fokus pada tulisannya. Namun beberapa detik kemudian, ia harus menghentikan pergerakan jarinya saat ia mendengar lagi suara aneh itu. Kali ini sebuah suara tawa anak kecil. Suara putrinya?
Keadaan aneh yang membuatnya penasaran itu memaksanya untuk meninggalkan pekerjaannya dan bergerak naik untuk memeriksa putrinya. Ia bergerak mneyusuri lorong remang di lantai dua itu, hingga akhirnya sampai di sebuah pintu terbuka yang ada di sebelah kanan, yaitu kamar putrinya.
“Hana?”
Elizabeth heran dengan putrinya. Malam sudah begitu larut, namun Hana masih bermain dengan satu set peralatan dapur mainannya, dan tengah menyajikan minuman di meja kecil yang ada di tengah.
“Hana, kenapa kau tidak tidur? Ibu kira kau…”
“Dia masih mau bermain denganku.” Jawab gadis kecil berusia lima tahun itu. Sebuah kepolosan muncul di wajah putri kecilnya itu.
“Temanmu?” tanya Elizabeth sambil tersenyum. Ia sudah tidak heran lagi dengan hal itu. Tidak aneh rasanya bagi seorang anak kecil memiliki teman khayalan.
“Tapi sudah malam, sayang. Kau harus tidur.” Ucapnya. Hana, dengan berat hati meninggalkan set mainannya itu dan naik ke atas tempat tidur. Elizabeth menarik selimut menutupi tubuh putrinya, dan memberikan kecupan selamat malam.
“Mimpi yang indah.” Ucapnya kemudian. Ia bergerak keluar dari kamar seraya mematikan lampu. Namun langkahnya terhenti saat Hana memanggilnya kembali.
“Nyalakan lampunya!” ucap gadis itu. “Dia tidak suka tempat yang gelap.”
“Dia?” Elizabeth mengerutkan keningnya. Apakah ucapan putrinya itu mengacu pada teman khayalannya itu? Ia kemudian melihat putrinya itu memberikan sebuah anggukan.
“Oke.” Ucap Elizabeth. Ia menyalakan lagi lampu kamar itu. “Berjanjilah kau akan tidur setelah ini, oke?”
Elizabeth kembali turun untuk melanjutkan pekerjaan yang ia tinggalkan tadi. Namun keanehan terjadi di depan kedua matanya. Lampu ruang tengah yang sebelumnya menyala kini telah padam. Bagiamana mungkin bisa terjadi? Apakah dirinya yang mematikan lampu sebelum mengarah ke lantai dua tadi? Namun Elizabeth tidak ingat bahwa ia mematikan lampu.
Ia kembali menghadap laptopnya setelah menyalakan kembali lampu ruangan itu. Akan tetapi, dahinya kembali berkerut saat menemukan laptopnya dalam keadaan mati. Ia menekan sembarang tombol, untuk menghidupkan kembali layarnya. Mungkin laptopnya hanya masuk dalam modus tidur. Tapi…
Tidak.
Laptopnya tidak mau menyala. Ia tekan tombol power berkali-kali, namun tetap saja komputernya itu tidak mau menyala. Rusak? Mustahil. Elizabeth selalu merawat komputernya itu dengan baik dan selama ini belum pernah mengalami kerusakan. Setelah mencoba berkali-kali namun gagal, akhirnya Elizabeth menyerah. Ia berencana membawa laptopnya itu ke reparasi besok pagi.
Elizabeth memutuskan untuk pergi tidur. Namun malam itu tidurnya dipenuhi dengan mimpi buruk. Ia seperti mendengar saura-suara pelan di samping tempat tidurnya, seperti suara bisikan, desis angin, dan suara-suara lain yang memaksanya untuk membuka kedua matanya dalam ketakutan. Apa yang terjadi?
Keadaan kamar begitu tenang. Sepi, gelap, namun tidak ada satupun keanehan. Elizabeth berkeringat, seperti baru saja berlari. Karena mimpi buruknya itu, yang ia rasa begitu nyata.
Pikiran Elizabeth tanpa sadar mulai menghubungkan keanehan-keanehan yang terjadi dalam beberapa jam terakhir. Tingkah putrinya, lalu lampu ruangan yang tiba-tiba padam, lalu laptopnya yang tiba-tiba rusak, lalu suara bisikan itu…
Cerita-cerita mengerikan mengenai Blackwood yang pernah ia dengar dari teman-temannya mulai merasuki pikiran Elizabeth. Apakah cerita-cerita itu benar? Elizabeth mencoba untuk menolaknya dan berkata bahwa tidak ada satupun keanehan yang terjadi pada dirinya selama seminggu terakhir. Kenapa baru sekarang keanehan itu terjadi?
Semakin lama Elizabeth menolak pemikiran supranatural yang masuk ke dalam otaknya, semakin besar pula rasa penasaran yang timbul dalam hatinya. Apa yang sebenarnya terjadi? Ia mencoba untuk tidur lagi, namun matanya itu tidak mau terpejam. Seolah saat ia memejamkan kedua matanya, ia mendengar lagi suara bisikan-bisikan itu.
Tubuh Elizabeth tiba-tiba saja membeku saat telinga mendengar dengan jelas suara aneh yang datang dari arah luar kamarnya. Sebuah tawa kecil, terdengar samar. Siapa? Ia yakin bahwa putrinya telah tidur. Apakah ia hanya salah dengar?
Suara tawa itu semakin jelas terdengar saat Elizabeth mencoba untuk mengabaikannya. Elizabeth kini yakin bahwa suara itu nyata terdengar, dan bukan karena imajinasinya. Rasa penasaran yang besar timbul dalam hatinya. Yang membuatnya bangkit dari tempat tidur, mengambil senter yang ada di laci kemudian keluar dari kamarnya.
Elizabeth berdiri selama beberapa detik di dalam kegelapan rumahnya. Selama ini ia tidak pernah menyadari bahwa keadaan rumahnya di malam hari bisa dibilang sedikit menyeramkan. Cahaya remang masuk dari arah luar, melalui jendela-jendela yang ada di ruang tengah.
Elizabeth menyorotkan senternya, lalu bergerak pelan menuju tangga yang mengarah ke lantai dua. Ia yakin bahwa suara-suara yang ia dengar mungkin berasal dari kamar putrinya. Apakah putrinya bangung di tengah malam hanya untuk bermain? Aneh.
Ternyata, dugaan Elizabeth salah. Hana masih tertidur di atas tempat tidurnya dengan tenang, dan tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu baru saja bermain. Tapi Elizabeth masih bertanya-tanya mengenai suara-suara tawa itu.
Elizabeth menghentikan langkahnya seketika saat telinga mendengar hal itu lagi. Suara itu. Suara aneh, tawa kecil dari seorang gadis yang entah tidak diketahui darimana asalnya. Elizabeth mulai merasakan perasaan aneh merayap di dalam tubuhnya. Perasaan takut, akan hal-hal ganjil yang baru saja ia alami.
Cahaya senter yang ia pegang tanpa sengaja mengarah ke bagian ujung koridor, dimana di tempat itu terdapat sebuah pintu yang menghubungkan koridor dengan tangga yang mengarah ke loteng. Elizabeth merasa bahwa ada sesuatu yang harus ia periksa. Hatinya mengatakan bahwa ada hal yang ganjil dari dalam loteng rumahnya.
Keadaan yang gelap, pengap penuh dengan debu menjadi satu-satunya hal yang dapat ia temukan di loteng rumahnya itu. Tumpukan barang-barang bekas terlihat bertumpuk di beberapa tempat. Elizabeth menyorotkan cahaya senternya ke beberpa sudut loteng, namun ia tidak menemukan sesuatu yang ganjil.
Tepat saat ia akan turun kembali ke arah koridor, ada sebuah sekelebatan bayangan yang bergerak cepat diantara kardus-kardus bekas. Elizabeth menyadarinya, namun tidak terlalu cepat untuk mengarahkan senternya. Apa yang baru saja ia lihat?
Elizabeth mengurungkan niatnya untuk kembali ke koridor sebelum ia dapat mengatahui dengan pasti apa yang baru saja ia lihat. Mungkin hanya bayangan seekor tikus?
Elizabeth bergerak diantara kardus-kardus yang bertumpuk, hingga akhirnya ia menemukan sebuah benda aneh berdiri di ujung lotengnya. Sebuah lemari tua dengan kayu berwarna hitam. Elizabeth bergerak mendekat, namun seketika menghentikan langkahnya saat sebuah guncangan terjadi dari lemari tua itu. Seperti ada sesuatu yang bergerak dari dalamnya. Hanya beberapa detik, lalu keadaan menjadi tenang kembali.
Elizabeth merasakan perasaan yang tidak nyaman di perutnya. Perasaan aneh, yang membuatnya merinding tak jelas. Ia bergerak mendekati lemari tua itu, kemudian menggenggap kenopnya, dan mencoba membuknya.
Tidak.
Lemari tua itu tidak bisa terbuka. Terkunci sepenuhnya. Sekuat apapun Elizabeth menarik kenopnya, pintu lemari itu tetap tak bergeming. Elizabeth menyerah beberapa detik kemudian. Ia rasa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan, dan ia sama sekali tidak menemukan keanehan di loteng. Akan tetapi, sesaat sebelum ia keluar dari loteng itu, sebuah suara berkelotak kembali terdengar dari dalam lemari. Elizabeth menunggu selama beberapa detik, kemudian terdengarlah suara itu. Sebuah suara nyaring dari tawa seorang gadis yang dengan jelas terdengar dari dalam lemari itu. Elizabeth merasakan bulu kuduknya berdiri seketika, dan detik berikutnya, ia berlari keluar dari loteng itu.

*
Elizabeth masih belum bisa menjelaskan keanehan-keanehan yang terjadi di rumah barunya itu. Lampu yang padam, laptopnya yang rusak seketika, dan juga mengenai tawa gadis yang ia dengar.
Elizabeth mencoba mengabaikan suara tawa itu. Ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa mungkin ia hanya berhalusinasi. Tapi mengenai lampu yang tiba-tiba padam, dan laptopnya yang rusak, ia tidak bisa menjelaskannya.
Elizabeth telah bertanya pada pengelola perumahan mengenai listrik yang ada di rumahnya. Pengelola itu mengatakan bahwa tidak ada yang tak normal dengan tegangan listrik di rumahnya yang bisa menyebabkan lampu padam dengan sendirinya. Dan kondisi lampu di ruang tengah itu sendiri pun masih dalam keadan baru.
Yang lebih aneh adalah mengenai laptopnya. Ketika Elizabeth membawa laptop kecilnya itu ke reparasi, laptopnya dapat dinyalakan tanpa ada masalah. Tidak ada satupun kerusakan yang terdeteksi dari laptopnya.
Elizabeth mencoba menghubungi suaminya dan mulai menjelaskan segala keanehan yang terjadi.
“Aneh,’kan?” ucapnya begitu ia selesai dengan penjelasannya. “Kurasa ada hubungannya dengan rumah ini. Entahlah. Aku mulai merasakan hal-hal ganjil.”
“Tapi tidak ada masalah sebelumnya, ‘kan?”
“Ya.” Jawab Elizabeth. “Tetap saja…, dan Hana…, dia mulai bertingkah aneh.”
“Kenapa dengannya?”
“Kau tahu bahwa ia sering bermain sendirian bersama dengan teman khayalannya. Tapi kurasa kali ini berbeda.”
“Aku tidak mengerti.”
“Kumohon! Pulanglah! Aku mulai merasa takut.”
Elizabeth mengalami kejadian yang sama dalam hari-hari berikutnya. Tawa-tawa itu masih belum juga mau berhenti, dan ia merasa ia bisa gila jika ia terus mendengar suara-suara aneh seperti itu. Kejadian aneh lainnya juga terjadi. Mesin cucinya tiba-tiba berhenti, lalu lampu di dapur tidak dapat dinyalakan, dan masih banyak kejanggalan lain, yang tanpa diduga hilang di hari berikutnya. Mesin cucinya kembali normal, dan lapu di dapur juga tidak mengalami masalah.
Saat malam tiba, Elizabeth serasa menjalani sebuah penyiksaan. Suara-suara bisikan di samping tempat tidurnya terus ia dengar. Juga dengan suara berkelotak yang berasal dari loteng itu. Ia baru bisa tidur saat ia memutuskan untuk memakai headphone dan mendengarkan musik dari ponselnya.
John, suaminya, akhirnya pualng saat akhir pekan tiba. Elizabeth pun tak kuasa menahan keinginannya untuk segera menceritakan segala sesuatunya, segala hal yang menurutnya aneh itu pada John. Ia ceritakan mengenai malam pertama saat ia mulai merasa hal ganjil itu, lalu kejadian-kejadian mengenai lampu, laptop, suara-suara di loteng, dan juga bisikan-bisikan yang ia dengar di samping tempat tidurnya. John hanya duduk sambil mendengarkan sederet cerita istrinya itu sambil sesekali mengusap lengan Elizabeth.
“Kau yakin?” tanya John begitu cerita istrinya selesai.
“Kau kira aku berbohong?” Elizabeth sedikit menaikkan nada bicaranya. “John! Aku…, aku bukan tipe orang yang percaya dengan hal-hal klenik semacam itu. Tapi semua hal ini…, ah! Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya.”
“Kau mungkin hanya lelah, Liz. Kau terus bekerja di depan komputer?”
“Tidak ada hubungannya dengan hal itu, oke?” ucap Liz. “Lalu mengenai putri kita, Hana. Mengenai teman khayalannya itu…”
Malam itu John memutuskan untuk melakukan pendekatan pada putrinya, dan mulai bertanya mengenai teman yang selama ini Hana ajak bicara.
“Kau tahu siapa dia?” tanya John sambil memangku Hana.
“Namanya Elizabeth. Dia teman baikku.”
“Namanya seperti nama ibumu.”
“Ya.” Hana mengangguk. “Tapi dia sedang dalam kesulitan, ayah. Aku harus membantunya.”
“Kesulitan apa?”
“Dia ingin pulang.” Jawab Hana. “Dia tidak tahu jalan pulang.”
“Dimana dia tinggal?” tanya John lebih lanjut, terus memancing cerita putrinya.
“Aku tidak tahu.” Jawab Hana. “Dia kesepian, dan selalu berada di tempat gelap. Dia meminta tolong padaku.”
John mengernyit. Ia tidak tahu apakah Hana tengah membicarakan teman khayalannya atau teman yang lain. Mustahil bagi Hana untuk mempunyai teman lain mengingat Hana tidak pernah keluar dari rumah. Namun John juga tidak menganggap apa yang Hana ceritakan adalah kebohongan. Berdasarkan apa yang pernah ia pelajari, anak kecil tidak pernah bisa berbohong.
Elizabeth yang duduk di depan suaminya memberikan tatapan bertanya pada John. Apa yang harus mereka lakukan? John hanya mengangkat dua bahunya.
“Mengenai Elizabeth…” ucap John kemudian. “Kapan kau mulai berkenalan dengannya?”
“Sejak kita datang.” Jawab Hana.
Hal-hal yang Hana ucapkan semakin membuat John dan Elizabeth penasaran. Siapa sebenarnya gadis kecil yang mengajak berbicara putri kecilnya ini? Siapa sebenarnya Elizabeth itu?
Malam itu Elizabeth memutuskan untuk mengajak putrinya tidur bersama di kamarnya. Ia tidak mau meninggalkan putrinya sendirian berada dekat dengan loteng yang mengerikan itu.
Hana sudah tertidur. Namun tidak dengan kedua pasangan suami istri itu. Mereka masih belum selesai membicarakan mengenai keanehan-keanehan yang terjadi di rumah baru mereka.
“Aku sudah bertanya pada pengelola perumahan, dan katanya tidak ada yang salah dengan rumah ini. Rumah ini seharusnya aman.”
“Tapi…” bantah Liz. “Suara-suara itu…, aku terus mendengarnya. Dan mengenai cerita Hana tadi…, mungkin…”
“Kau berpikir terlalu jauh.” Ucap John. “Tidak mungkin apa yang pernah kau lihat dalam film menjadi kenyataan, ‘kan?”
“Tapi film kadang dibuat berdasarkan kisah nyata.”
John mengusap wajah istrinya, dan meminta agar istrinya tenang. John berjanji bahwa besok pagi ia akan memeriksa loteng itu.
Pukul dua dini hari, John harus memaksa kedua matanya untuk terbuka saat ia merasakan guncangan pada lengannya. Ia lihat Liz telah duduk, dengan wajah begitu cemas, penuh dengan ketakutan.
“Liz, apa yang…”
“Suara itu!” bisik Liz. “Kau dengar?”
John mencoba untuk menajamkan pendengarannya. Namun ia sama sekali tidak mendengar apapun. Yang ada hanyalah keheningan dari suasana malam yang mencekam.
“Kau mungkin bermim…”
“Tidak!” bantah Liz. “Dengar! Itu…”
John tidak mendengar apapun pada awalnya. Namun beberapa detik kemudian, seluruh otot di tubuhnya menegang. Ia tidak bisa mempercayai apa yang didengar oleh telinganya. Suara itu…
“Oh, tidak.”
Suara itu terdengar pelan, begitu halus, namun begitu jelas. Suara seorang anak kecil yang menyebutkan nama putri mereka, Hana. Suara itu kadang berhenti, kadang timbul lagi. Namun John kini sudah merasa yakin bahwa apa yang didengar oleh istrinya bukanlah bualan atau imajinasi belaka.
“John!” keluh Elizabeth. “Apa yang harus kita lakukan?”
Kedua suami istri itu terlonajk kaget saat sebuah suara berdebum keras terdengar dari arah loteng. Ya. Suara yang begitu jelas mereak dengar.
“Apa itu?”
BRAK!! BUM!!
Suara-suara keras itu terdengar berkali-kali, lalu berhenti. Namun detik berikutnya terdengar kembali. John kali ini yakin bahwa ada yang tidak beres dengan loteng rumahnya itu.
“Tidak ada cara lain.” Ucap John seraya turun dari tempat tidur.
“John!” seru Elizabeth dengan penuh kekhawatiran. Ia ikut turun dari tempat tidur, lalu meraih Hana dan menggendongnya.
“Lemari itu.” Ucap John. “Ada yang tidak beres.”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Kita akan memeriksanya, Liz. Kali ini, untuk membuktikannya.”
Elizabeth tidak tahu apakah hal itu adalah ide yang bagus untuk dilakukan. Namun ia tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan. Ia hanya bisa mengiktui langkah John.
John membawa sebuah senter, dan juga sebuah linggis yang sudah ia ambil dari dalam gudang. Dengan gerak perlahan ia mulai berjalan naik ke lantai dua, menyusuri lorong remang itu, kemudian berhenti tepat di depan pintu yang mengarah ke loteng. Suara berdebum itu sudah berhenti sejak beberapa menit yang lalu.
John membuka pintu itu dengan perlahan, lalu menyorotkan cahaya senter yang ia pegang ke setiap sudut dari loteng tua berdebu itu. Sama seperti yang Elizabeth lihat pada saat itu, tidak ada yang aneh dengan loteng itu. Namun, detik berikutnya…
BRAK!!!
John secara reflek mengarahkan senternya ke arah sumber suara. Suara itu berasal dari balik tumpukan kardus, yang kemudian ia lewati, dan berakhir pada sebuah lemari tua berwarna hitam itu. John melihat dengan mata kepalanya sendiri saat lemari itu berguncang. Suara-suara keras terus bermunculan dari dalam lemari tua itu.
“John!” seru Elizabeth khawatir dengan apa yang akan dilakukan suaminya. John bergerak maju, menggenggam erat-erat kenop dari pintu lemari, dan menariknya dengan kuat.
Usahanya itu sia-sia. Pintu lemari itu terkunci, dan seolah ada sebuah kekuatan jahat yang mencegah pintu itu terbuka. Tapi John, yang ingin membongkar misteri dari lemari itu tidak kekurangan akal. Ia gunakan linggis yang ia pegang, dan menghujamkannya ke pintu lemari.
KRAK!
Sebuah celah terbuka. John kemudian mengerahkan kekuatannya yang lain untuk menjebol pintu lemari itu, hingga akhirnya…
Elizabeth dengen seketika memalingkan wajahnya dan rasa mual mulai mengusik perutnya setelah melihat apa yang ada di dalam lemari tua itu. Bahkan John pun sempat berteriak, lalu mengumpat tiada habisnya.
Jasad seorang gadis kecil terlihat telah mengering di bagian dalam lemari tua itu. Sebuah kerangka, yang dibalut dengan sebuah gaun berwarna biru muda, terlihat lebih mengerikan dan menjijikkan dari apapun. Elizabeth. Mungkin itu adalah nama gadis yang tewas di dalam lemari itu. John dan Elizabeth tidak tahu apa yang terjadi dengan gadis itu, dan kenapa jasad gadis itu bisa berada di dalam loteng rumahnya. Yang jelas, cerita dari Hana mengenai Elizabeth yang meminta untuk pulang itu kini menjadi jelas. Mungkin arwah Elziabeth meminta pada Hana agar jasadnya ditemukan, dan dikuburkan dengan benar.
*
Dua hari telah berlalu sejak John dan Elizabeth menemukan jasad gadis kecil itu. Mereka telah melaporkan penemuan aneh mereka pada pihak kepolisian Blackwood, dan kini masalahnya tengah diurus. Jasad gadis itu pun telah dikuburkan di seuah pemakaman yang ada di belakang gereja.
Lalu bagaimana dengan keluarga itu? Apakah John dan istrinya mau tinggal lebih lama di dalam rumah itu?
Jawabannya, tidak.
John melirik ke arah spion mobil yang tengah ia kendarai, dan melihat rumah itu semakin menjauh. Ya. Ia memutuskan untuk pindah dari Blackwood setelah apa yang terjadi.
“Dia sudah pulang.” Ucap Hana dengan raut wajah senang. Elizabeth memandang John, dan tersenyum. Ya. Merekalah yang membebaskan arwah gadis itu dari penjaranya. Kini, Elizabeth, gadis kecil itu, dapat beristirahat dengan tenang.
“Semoga rumah baru yang akan kita tempati nanti tidak memberikan mimpi buruk seperti rumah itu.” Ucap Elizabeth. Suaminya itu tersenyum.
“Aku akan memeriksa lotengnya terlebih dahulu.”
John dan Elizabeth tidak akan pernah tahu cerita sebenarnya dari apa yang terjadi pada gadis kecil itu. Mereka sempat mendengar bahwa beberapa tahun yang lalu pernah terjadi sebuah tragedi di rumah yang ia tempati itu, namun mereka mencoba untuk tidak menggali cerita itu lebih dalam. Mereka merasa sudah tenang saat mengetahui bahwa arwah gadis itu bisa terbebas dari penyiksaan dunia ini. Gadis kecil itu, mungkin akan mengucapkan terima pada keluarga itu karena telah membebaskannya. Jika hal itu memungkinkan.

****


No comments:

Post a Comment