Dane Tyler mengucapkan syukur dalam hati. Jika bukan karena
kebiasaannya mengemudi di tengah cuaca yang kurang bersahabat, mungkin ia sudah
terperosok masuk jurang sejak hujan deras turun sejam yang lalu.
Ia duduk sendiri, di dalam sedan tuanya yang meraung
menembus kegelapan malam sebuah hutan yang sepi. Tujuannya adalah kota Earling,
yang terletak di sebelah timur, ratusan kilo jauhnya. Pekerjaannya memang
mengharuskannya untuk selalu bepergian. Karena itulah ia sudah tidak kaget lagi
dengan perubahan cuaca yang ekstrim, dimana ia diharuskan untuk dapat menangani
segala kondisi yang datang, seperti hujan yang tengah ia lawan saat itu.
Dane mencoba untuk bertahan dari rasa kantuknya
setelah berkendara selama kurang lebih tiga jam. Ia lelah, dan mulai merasa
bahwa ia sudah tidak sanggup untuk berkendara lagi untuk hari itu. Ia harus
mencari penginapan. Masalahnya, ia sama sekali tidak melihat adanya kota.
Harapan Dane tidak sepenuhnya punah. Beberapa kilo setelah
ia melewati hutan, ia masuk ke dalam kawasan pemukiman yang begitu tenang dan
terlihat damai. Kegelapan masih menyelimuti setiap sudut yang dapat ia lihat,
dan hujan masih mengeluarkan amarahnya.
Blackwood.
Dane tidak pernah mendengar nama kota itu sebelumnya,
meski ia sudah begitu hafal dengan kota-kota kecil karena ia sering bepergian.
Namun kota yang ia lewati malam itu benar-benar diluar pengetahuannya. Apakah
hal itu menjadi masalah? Tidak. Dane merasa beruntung dapat menemukan adanya
kota di tengah hujan deras seperti saat itu. Ia harus berhenti dan
mengistirahatkan tubuhnya untuk sementara waktu.
Dane memelankan laju kendaraannya. Kedua matanya
dengan tajam mengawasi setiap persimpangan, memandang ke arah papan-papan
reklame tua yang masih berdiri di kota itu. Hingga akhirnya, setelah ia
melewati sebuah sekolahan, ia melihat ada papan nama berpendar dalam gelap,
bertuliskan ‘penginapan’. Sebuah kata yang tepat, dan begitu ia idam-idamkan
untuk saat itu.
Baskerville Motel. Itulah nama penginapan kecil yang
ia singgahi. Dane tertawa kecil setelah membaca papan nama motel itu. Namanya,
mengingatkanya akan novel Arthur Conan Doyle, dengan nama yang hampir sama.
Mungkin pemilik motel itu memiliki hobi membaca novel misteri, dan pengagum
berat Sherlock Holmes? Mungkin saja.
Sedan Dane menjadi satu-satunya kendaraan yang
menempati lapangan parkir motel kecil itu. Sesaat sebelum ia turun dari mobil,
ia mengamati keadaan sekitarnya. Yang terlihat begitu sepi, sama sekali tidak
ada tanda-tanda kehidupan. Tapi ia yakin akan bisa menemukan sesorang yang
dapat ia ajak bicara malam itu.
Baskerville Motel merupakan sebuah gedung panjang dua
lantai, dengan deretan pintu-pintu kamar terlihat dari area parkir dimana Dane
menghentikan mobilnya. Di ujung bangunan, terdapat sebuah kantor kecil, yang
kemungkinan adalah bagian reception dari penginapan kecil itu.
Dane menutupi kepalanya dengan koper kulit yang ia
bawa, sambil berlari-lari kecil, bergerak cepat menuju beranda, lalu berjalan
lurus ke arah kantor kecil itu. Di sepanjang perjalanannya, ia melewati beberapa
kamar yang terlihat gelap, kosong. Ia mulai berpikir, bahwa mungkin dia-lah
yang akan menjadi satu-satunya pengunjung malam itu.
Sebuah lonceng kecil berbunyi ketika ia membuka pintu
kantor kecil itu. Di dalamnya terdapat sebuah meja panjang, khas meja sebuah
reception, dengan sebuah papan berada di belakang meja itu, dimana terdapat
banyak kunci tergantung. Dane bergerak ke arah meja, lalu membunyikan bel yang
ada di atas meja ketika ia tidak melihat adanya penunggu di dalam ruangan itu.
Dane memukul bel untuk yang kedua kali, sebelum
akhirnya datang seorang pria yang berusia kira-kira 30-an tahun, dengan tatanan
rambut klimis ke arah belakang kepalanya. Pria itu terlihat rapi dengan kemeja
biru yang ia kenakan. Pria itu tersenyum, lalu dengan ramah menyambut tamunya
malam itu.
“Maafkan aku! Aku sedang ada kepentingan di belakang.
Anda mau memesan kamar?”
“Ya.” Jawab Dane. Ia kemudian menerima buku tamu,
dimana ia harus menuliskan nama pada daftar tamunya.
“Hujan yang menyebalkan, bukan begitu?” ucap pria
berkemeja biru itu.
“Ya. Menyebalkan.” Balas Dane sambil menulis pada buku
tamu di hadapannya.
“Kau bukan dari sini?”
“Aku pendatang.” Jawab Dane. “Hanya lewat. Besok
mungkin aku sudah pergi dari sini.”
“Kau sendirian?”
“Ya.” Jawab Dane. Ia kemudian meneyrahkan kembali buku
tamu itu. Sementara ia menunggu pria berkemja biru itu menyiapkan kunci
kamarnya, iseng-iseng Dane menarik sebuah koran yang ada di tumpukan majalah.
Di headline-nya tertulis ‘TRAGEDI’. Namun sebelum Dane sempat membaca lebih
lanjut, kunci kamarnya sudah siap.
“Kamar nomor 7.” Ucap pria berbaju biru itu. “Aku
memberikanmu keberuntungan, kawan.”
“Terima kasih.” Ucap Dane. “Oh! Sebaiknya kau berikan
keberuntungan pada motelmu ini, kawan. Kau sepertinya sedang butuh pengunjung.”
“Ya, memang sepi akhir-akhir ini.” Ucap pria berbaju
biru itu sambil tertawa. Dane melambai, lalu pergi meninggalkan kantor kecil
itu.
Hujan masih mengamuk diluar. Keadaan yang sebenarnya
benar-benar tidak Dane inginkan, namun mau bagaimana lagi? Yang dapat ia lakukan
malam itu mungkin hanya memeriksa sekali lagi pekerjaannya, lalu tidur. Dan
berharap agar hujan sudah reda begitu ia bangun keesokan harinya.
Dane masuk ke dalam kamarnya. Kamar nomor 7, yang
terletak tidak begitu jauh dari tempat parkir, dan juga dari kantor kecil itu
tadi. Jika ia membutuhkan sesuatu, mungkin ia bisa berteriak?
Cahaya remang yang hangat melingkupi kamar itu begitu
Dane menyalakan lampunya. Sebuah tempat tidur, yang terlihat hangat, menjadi
satu-satunya furnitur besar yang ada di kamar itu, selain satu meja di sudut
dengan sebuah tv 14 inci. Di sebelahnya, terdapat pintu yang mengarah ke kamar
mandi.
Dane menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, lalu
melepas jaket dan sepatunya. Ia melirik ke arah jam yang terletak di atas meja,
yang baru menunjukkan pukul delapan malam. Sepertinya masih terlalu sore untuk
pergi tidur. Kenapa ia tidak mulai memeriksa pekerjaannya saja?
Dane mengumpat pelan saat ia sadari bahwa kopor
kulitnya tidak berada di kamar. Pikirannya langsung mengarah pada kantor kecil
itu. Kemungkinan ia secara tak sengaja meninggalkan tasnya disana. Dane baru
akan mengambil kembali jaketnya saat tiba-tiba saja ia dengar tiga ketukan pada
pintu kamarnya. Dane bergerak cepat, lalu membuka pintu kamarnya.
Di depannya, berdiri seorang wanita yang kira-kira
seusianya. Akhir dua puluhan, dengan rambut panjang mengombak berwarna
kecoklatan. Kedua mata wanita itu berwarna hijau, cerah, dengan senyum yang
sempat memukau Dane.
“Maaf!” ucap Dane cepat-cepat saat ia sadari bahwa ia
hampir hilang kesadaran karena terpukau dengan wanita di depannya itu.
“Kau, Dane Tyler?” tanya wanita itu. “Pria berbaju
biru itu memintaku untuk mengantarkan ini. Ini milikmu, ‘kan?”
Dane mengamati benda yang wanita itu bawa. Dan, ya.
Itu memang tas coklat kulit miliknya. Seperti dugaannya, tasnya telah
tertinggal secara tidak sengaja di ruang reception. Dan wanita yang baik hati
itu telah mau membawakan tasnya kembali padanya.
“Terima kasih.” Ucap Dane seraya menerima kembali
tasnya. Wanita di depannya itu tersenyum, dan sepertinya tidak terburu-buru
untuk pergi. Dane mengambil kesempatan ini untuk bertanya lebih lanjut.
“Kau…”
“Aku menginap disini.” Ucap wanita itu.
“Oh, ya?” balas Dane. Metodenya untuk mendekati
seorang wanita sepertinya sudah mulai keluar secara sendirinya. Ia tahu bahwa
hujan yang membawa hawa dingin masih terus turun. Namun ia tahu pula bahwa ada
panas membara di dalam dadanya, saat melihat senyum dan cara wanita itu
memandang ke arahnya.
“Aku tidak melihat mobilmu di tempat parkir. Kau…”
“Temanku mengantarku ke sini.” Jawab wanita itu cepat.
“Dan…, Oh! Maaf! Namaku…”
“Aku Dane Tyler.” Ucap Dane. “Sepertinya kau sudah
tahu namaku sejak tadi, dan… ehm! Maaf atas sikapku yang…”
“Tidak apa.” Balas wanita itu cepat sambil tertawa.
Dane dapat melihat deretan gigi rapi dibalik senyuman yang memukau itu.
“Aku Teresa.” Ucap wanita itu. “Aku juga tamu di motel
kecil ini. Diatas. Kamar nomor 14.”
“Senang bertemu denganmu, Teresa.” Ucap Dane.
Dane sebenarnya ingin mengjak wanita itu masuk ke
dalam kamarnya. Mengobrol, sambil meminum kopi, dan bercengkerama. Dan untuk
sementara, Jones ingin melupakan pekerjaannya. Namun ternyata penawarannya itu
ditolak seketika oleh Teresa.
“Sepertinya kau perlu beristirahat.” Ucap wanita itu.
Dane sadari, bahwa dandanannya saat itu bukanlah dandanan yang terbaik. Dan
dapat ditebak dengan jelas, bahwa ia baru saja menjalani sebuah perjalanan yang
panjang.
“Besok, mungkin?” ucap Dane. Teresa hanya melepaskan
satu senyumnya, sambil melangkah pergi. Dane masih berdiri di ambang pintunya,
mengamati wanita itu hingga wanita itu menaiki tangga, dan menghilang dari
pandangan. Dane menggumamkan nama wanita itu dengan pelan, dan
bertanya-bertanya apakah ia masih bisa menemui wanita itu besok pagi sesaat
sebelum ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan?
*
Sudah lebih dari satu jam sejak Dane bertemu dengan
wanita itu, dan ia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya. Namun usahanya untuk
tidak memikirkan wanita itu berakhir sia-sia. Ya. Ia tidak bisa melepaskan
pikirannya begitu saja dari wanita cantik yang ia temui itu. Ia tahu, bahwa ia
harus menunda pekerjaannya untuk sementara, dan keluar menemui wanita itu.
Pukul setengah sepuluh malam, hujan akhirnya berhenti.
Dane keluar dari kamar nomor tujuh lengkap dengan memakai jaketnya. Ia bergerak
menaiki tangga, kemudian mengarah pada sebuah kamar dengan nomor 14. Ia lihat
cahaya kekuningan masih terpancar dari jendela kamar itu. Teresa mungkin belum
tidur.
“Tn. Tyler!” ucap wanita itu terkejut saat membuka
pintu kamarnya. Dane hanya berdiri, sambil melepas senyum.
“Hujan sudah berhenti.” Ucap Dane. “Kau mau menemaniku
berkeliling?”
“Tapi…, kurasa…”
“Kau sibuk?” tanya Dane cepat. Ia sempat melirik ke
arah bagian dalam kamar wanita itu, dan tidak menemukan satupun hal yang dapat
menunjukkan bahwa wanita itu sedang sibuk. Mungkin Terasa sedang menonton tv.
“Tidak.” Jawab Teresa sedetik kemudian.
“Ayolah!” pinta Dane. “Malam belum begitu larut. Lebih
baik keluar bersamaku daripada berdiam di dalam kamar.”
Teresa terlihat sedikit ragu. Namun beberapa detik
kemudian, ia mengangguk sambil melepas satu senyum menawan itu.
“Kuambil jaketku telebih dahulu.”
Malam itu mungkin merupakan malam yang paling
membahagiakan bagi Dane, mengingat sudah lebih dari dua tahun ia tidak mencoba
untuk mendekati wanita sejak kepergian kekasihnya yang dulu. Dane terlalu takut
untuk menjalin sebuah hubungan. Tapi Teresa, seolah memberikan nafas baru bagi
Dane. Entah bagaimana Dane dapat mengetahuinya. Ia merasa bahwa Teresa mungkin
akan menjadi seseorang baginya.
Hawa yang dingin, basah oleh bekas hujan sesore tadi
tidak menyurutkan semangat Dane. Apalagi saat ia ditemani oleh seorang wanita
cantik. Teresa mengenakan jaket coklat, yang sewarna dengan warna rambutnya. Ia
tersenyum manis. Lebih manis dari senyuman manapun yang pernah Dane lihat.
Sedan tua itu melaju di tengah sepinya kota Blackwood.
Berputar-putar di jalanan, menjelajahi setiap lingkungan. Baik yang ramai
maupun sepi. Selama dalam perjalanan, Dane-lah yang paling banyak bercerita
mengenai dirinya. Sementara Teresa terdiam, terlihat serius mendengarkan.
“Lalu bagaimana denganmu?” tanya Dane beberapa saat
kemudian sesaat setelah ia selesai menjelaskan mengenai pekerjaannya sebagai
penulis lepas.
“Aku?” balas Teresa. “Tidak banyak yang dapat
kuceritakan dari hidupku.”
“Oh, ya?”
“Selain mimpi besarku.”
“Apa mimpimu?” tanya Dane. “Ayolah! Semua orang punya
mimpi. Kau tidak perlu malu untuk menceritakannya.”
“Kurasa mimpiku dimiliki oleh sebagian besar orang.”
Ucap Teresa. “Menjadi seseorang yang bisa diakui.”
“Menjadi terkenal?”
“Bukan.” Bantah Teresa. “Aku hanya ingin diakui. Di
dalam pergaulan, dalam masyaraka. Kau tahu? Aku tidak sering terlihat.”
“Apa maksudmu?”
“Aku tipe orang yang tertutup.” Ucap Teresa. “Bisa
berbicara bebas seperti ini, rasanya sungguh menyenangkan. Aku tidak mengira
akan bertemu dengan orang sepertimu hari ini.”
“Aku juga begitu.” Balas Dane.
Dane membawa Teresa masuk ke sebuah kedai. Sebuah
restoran kecil yang terletak di samping sebuah pom bensin, dengan nama Waylonn.
Tidak ada banyak orang di dalam kedai pada malam itu. Dane dan Teresa dapat
mengobrol sesuka hati mereka.
“Ceritakan padaku!” pinta Dane sesaat setelah
secangkir kopi tersaji di depannya. “Apa mimpimu?”
“Bukankah sudah kukatakan bahwa aku…”
“Kau bohong.” Potong Dane. “Gadis sepertimu, cantik,
menarik, tapi tidak punya impian?”
Teresa tersenyum sesaat. Senyuman yang begitu singkat,
namun ada daya pikat dalam setiap gerakannya. Yang membuat Dane nyaris
kehilangan dirinya.
“Aku ingin menjadi aktris.” Ucap Teresa dengan sedikit
malu.
“Bagus!” ucap Dane. “Sepertinya kau tidak akan menemui
banyak kesulitan untuk mencapainya. Aku serius. Kau memiliki segala hal yang
dibutuhkan untuk menjadi seorang…, aktris.”
“Tapi mimpi itu sepertinya begitu jauh bagiku.” Ucap
Teresa kemudian. “Entahlah. Ada terlalu banyak masalah yang menimpaku. Hal ini,
hal itu, dan hal apa lagi.”
“Kau menyerah?” canda Dane. “Jangan bercanda! Kau…”
“Kau belum tahu siapa aku, Dane.” Potong Teresa. Nada
keseriusan tersirat dari cara bicara wanita itu. Kedua mata hijaunya memandang
tajam ke arah Dane, yang sempat memberikan Dane sebuah gejolak di dalam
hatinya. Satu gejolak, atau perasaan yang tidak menyenangkan.
“Jika saja kita bertemu lebih awal…” ucap Teresa. “Aku
yakin mimpiku akan terwujud.”
“Kenapa kini terlambat?” tanya Dane.
Teresa tidak memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Bahkan hingga Dane mengajak Teresa untuk keluar dari kedai itu, Terasa tidak
banyak berbicara. Wajahnya terlihat begitu pucat, tanpa semangat. Seolah darah
telah mengering dari tubuh wanita itu. Apa mungkin karena cuaca dingin di kota
sepi ini?
“Katakan masalahmu padaku, Teresa.” Ucap Dane begitu
ia dan wanita itu sudah masuk kembali ke dalam mobil. Dane memandangi wajah
pucat Teresa. Namun wanita itu sama sekali tak mau memandangnya.
“Ada yang salah dengan kata-kataku?” tanya Dane.
“Kau…, marah padaku?”
“Tidak.” Jawab Teresa lirih. “Bukan kau.”
“Teresa, ada apa sebenarnya?”
“Terlambat, Dane.” Ucap Teresa. “Semuanya sudah
terlambat. Aku tidak akan bisa mengejar mimpi itu lagi.”
Dane menggelengkan kepalanya. Ia tidak mengerti dengan
apa yang Teresa bicarakan, dan kemana arah pembicaraan. Tiba-tiba saja kepalanya
tersa begitu sakit. Kedua matanya berkunang.
“Sebaiknya kita kembali ke motel.” Ucap Teresa.
Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam
saat Dane dan Teresa kembali ke motel. Dane memarkir mobilnya di tempat semula.
Tangannya kemudian bergerak cepat, menarik tangan Teresa yang hendak keluar
dari mobil. Anehnya, ia rasakan perasaan dingin saat memegang lengan gadis itu.
“Teresa…” ucap Dane.
Dane ingin melihat sekali lagi, senyuman itu. Senyuman
yang dapat membakar asmara di dalam dadanya. Senyuman yang begitu menarik, bagi
hati dan jiwanya.
“Dane…” ucap Teresa kemudian. “Apa kita bisa bertemu
lagi? Bukan disini. Mungkin di tempat yang lebih menyenangkan?”
“Tentu saja.” Jawab Dane.
Dane mengernyit saat Teresa kemudian memberikannya
sesuatu. Teresa memasukkan benda itu ke dalam telapak tangannya. Sebuah cincin,
dengan tulisan Teresa.
“Kau mau menyimpannya untukku?” tanya Teresa. “Hingga
kita bisa bertemu lagi. Suatu saat nanti.”
Dane hanya bisa mengangguk tanpa dapat berkata apapun.
Mulutnya terkunci rapat, meski sebenarnya ia ingin mengatakan sesuatu apda
Teresa. Wanita itu hanya tersenyum singkat, lalu pergi meninggalkan Dane duduk
sendirian di dalam mobilnya. Dane bertanya-tanya, apakah besok pagi ia masih
bisa menemui Teresa lagi?
*
Dane terbangun dari tidurnya keesokan harinya dengan
kepala serasa dipukuli. Ia mendapatkan sakit kepala yang tak tertahankan,
bahkan ia nyaris tak bisa bangkit dari tempat tidurnya. Tiga puluh menit
kemudian, saat ia sudah dapat menangani rasa sakit di kepalaya, ia mulai
mengepak semua barangnya dan siap pergi dari motel itu.
Dane tentu saja masih ingat betul dengan apa yang
terjadi semalam. Teresa. Wanita itu. Dane sempat mampir ke kamar nomor 14,
namun pintunya sudah terkunci. Tidak ada tanda-tanda orang berada di dalam
ruangan itu. Dane yakin benar bahwa wanita itu sudah pergi.
Pria berkemeja biru yang Dane temui keamrin
menyambutnya lagi saat Dane masuk ke ruang reception untuk mengembalikan kunci.
Dane sempat bertanya pada pria itu mengenai Teresa. Tamu yang tinggal di kamar
nomor 14.
“Dia sudah pergi.” Ucap pria itu. “Mungkin tidak akan
kembali lagi.”
“Ya, tentu.” Balas Dane. Ia pun tak mau kembali ke
motel kecil seperti itu lagi jika tidak terpaksa.
Tepat pukul sembilan, saat matahari telah bersinar
terang, Dane pergi meninggalkan motel Baskerville. Dengan harapan bahwa suatu
saat ia bisa menemui Teresa lagi. Kapan? Dane tidak tahu.
Dane mampir ke kedai Waylonn. Kedai yang ia datangi
semalam bersama teresa. Ia memesan makanan untuk mengganjal perutnya sebelum ia
memulai sebuah perjalanan panjang.
“Kau sendirian kawan?” tanya seorang pria dibelakang
meja konter. Pria itu memandang sekilas pada Dane, sambil terus mengelapi
gelas-gelas yang baru saja ia cuci.
“Ya.” Jawab Dane. “Hanya perasaanku, atau memang kota
ini begitu sepi?”
“Sepi.” Ucap pria dibelakang konter itu. “Blackwood
selalu sepi di musim-musim seperti ini. Apalagi…, tidak. Lupakan saja!”
Dane melahap semua makanan yang ada di piringnya
hingga tak tersisa. Sedetik setelah ia meminum kopinya, kedua matanya itu
secara tak sengaja melihat tumpukan koran-koran tua di atas konter. Kedua mata
Dante tertuju pada sebuah koran dengan tulisan ‘TRAGEDI’ di headline-nya. Ia
teringat bahwa kemarin ia pun melihat koran yang sama di motel Baskerville. Dane
dengan cepat menarik koran itu, lalu membaca judulnya,
‘TRAGEDI DI BLACKWOOD.’
Dane yang mulai merasa tertarik dengan kepala berita
itu langsung membaca artikel yang tertulis dibawahnya. Namun, semakin lama ia
membaca artikel itu, kedua alisnya semakin berkerut. Dane hampir tak
mempercayai apa yang ia baca.
“Seorang wanita
ditemukan tewas di Baskerville Motel, di dalam kamar nomor 14 kemarin malam.
Dari kartu identitas korban, korban diketahui bernama Teresa Jones, usia 28
tahun berasal dari Tuscan, Hauldnspring. Korban ditemukan dalam keadaan…”
Dane seketika merasakan rasa pening di kepalanya, dan
koran yang ia pegang itu jatuh ke lantai. Dane nyaris kehilangan kesadarannya,
dan nayris jatuh dari kursi yang ia duduki.
“Hei! Kau tidak apa-apa?”
Dane mengerjap. Nafasnya terasa begitu berat,
sementara kepalanya terus terasa berputar. Dane terkejut, dan tak memeprcayai
apa yang baru saja ia baca. Apakah hanya halusinasinya saja?
“Kau!” seru sang pemilik kedai. Dane menoleh
sekektika, memandang ke arah wajah pria dibalik konter itu.
“Kau tidak apa-apa?”
“Y-Ya. Aku…, baik-baik saja.” Jawab Dane tergagap.
Dane tak berani memandang ke arah koran yang terletak
di lantai itu. Ia takut, dengan apa yang ia baca. Takut, dengan apa yang ia
alami semalam. Apa yang terjadi? Tidak mungkin ia…
“Baskerville…, motel Baskerville.” Ucap Dane sedetik
kemudian. Dane mendongak, memandang ke arah pria di belakang konter itu.
“Kau tahu sesuatu mengenai motel itu?” lanjut Dane.
“Motel itu sudah satu tahun ini tutup.” Jawab pria dibelakang
konter itu. “Kenapa? Oh! Kau kenal dengan korban? Teresa Jones, yang katanya
ingin pergi ke New Himpton untuk menjadi….”
Suara di sekeliling Dane serasa menghilang seketika
saat Dane terhanyut dalam perasaan takutnya. Dane merasakan segalanya tidak
normal, berputar cepat, dan ia tak bisa untuk menahan segala gejolak yang ada
di dalam dirinya. Hingga akhirnya ia tak sadarkan diri.
Begitu ia tersadar, ia sudah duduk di lantai. Pria
pemilik kedai itu memebrikannya segelas air putih, yang segera ia tenggak
habis. Dane masih tidak mempercayai apa yang ia dengar. Ia bertanya sekali lagi
mengenai tragedi yang tertulis di koran itu pada sang pemilik kedai. Dan berita
itu benar. Teresa Jones merupakan korban yang ditemukan kamar Baskerville nomor
14 setahun yang lalu.
Dane tidak dapat menjelaskan apa yang ia alami.
Semalam, segalanya terasa begitu normal. Hujan itu nyata. Bahkan ia masih dapat
melihat genangan air pagi itu. Lalu apa yang terjadi padanya?
Apakah ia baru saja tidur di motel yang sudah kosong itu?
Dane ingin memastikannya. Ia bawa mobilnya ke depan
motel Baskerville, dan ia lihat dengan jelas keadaan bangunan yang sudah tak
terawat itu, dengan halaman beton yang sudah dipenuhi dengan rerumputan liar.
Keadaan motel itu begitu suram. Jauh berbeda dengan apa yang ia lihat hari
sebelumnya.
Ini adalah pertama kalinya Jones berinteraksi dengan
dunia supranatural, meski kadang ia tak mempercayainya. Namun kali ini nyata.
Motel itu, pria berkemeja biru, lalu Teresa…
Dane kembali mengernyit saat ia secara tak sengaja
menemukan sebuah benda di dalam saku celananya. Sebuah cincin, dengan tulisan Teresa
di permukaannya. Dane tersenyum janggal. Meski semalam hanyalah sebuah
petualangan supranatural, Namun Dane tetap tidak akan bisa melupakan wajah
wanita itu. Teresa. Seorang wanita muda yang memiliki impian untuk menjadi
seorang aktris.
Kini Dane mengerti dengan apa yang Teresa ceritakan
semalam mengenai impiannya yang sudah terlambat, dan tidak bisa dicapai lagi
itu. Teresa telah tiada. Tapi Dane mempunyai cincin Teresa. Teresa mengatakan
bahwa ia ingin bertemu lagi dengan Dane.
Apakah Dane akan merasa takut jika suatu saat ia
bertemu lagi dengan arwah Teresa itu?
Dane rasa, jika ia bisa bertemu dengan wanita itu
lagi, ia akan menggunakan kesempatannya dengan sebaik mungkin. Ia mungkin akan
membawa Teresa ke New Himpton. Ke tempat impian Teresa saat ia masih hidup.
Mungkin dengan begitu, arwahnya akan dapat beristirahat dengan tenang.
****
No comments:
Post a Comment