Steve hanya bisa marah-marah dengan mobilnya yang mogok tanpa terkira. Akibat
dari hal itu, rencananya untuk menonton konser band kesayangannya pun gagal
berantakan. Bukan hanya ia saja yang rugi, tetapi juga ketiga teman yang datang
bersamanya.
Samantha, Elena, dan Nick hanya dapat memandangi
kawannya yang sedari tadi menendangi mobilnya sendiri itu. Mereka pun kecewa.
Namun rasa kekecewan itu tergantikan dengan perasaan kekhawatiran mengingat
hari sudah mulai gelap, dan mereka berada di tengah hutan.
“Seharusnya kita tidak melewati jalan ini.” Ucap Elena
dengan sebuah desahan. Ucapannya itu tak disangka membangkitkan amarah Steve,
yang merasa bahwa keputusannya-lah yang salah.
“Oh, ya. Salahkan aku!” ucapnya dengan marah.
Nick, sebagai lelaki lain dalam grup itu mencoba untuk
menangkan Steve yang sedari tadi mengomel tanpa henti. Steve mengucapkan
kata-kata yang kasar, mencaci maki, bahkan mengutuk pemilik mobil yang ia
tumpangi itu.
Mobil itu sebenarnya belum terlalu tua. Namun paman
Steve yang memilikinya memang jarang menggunakan mobil itu, sehingga keadaannya
cukup tak terawat. Steve seharusnya bersyukur mengingat mobil itu masih bisa berjalan belasan
kilometer sebelum akhirnya mogok.
“Oh, ini buruk!” keluh Samantha. Ia mengeluh bukan
karena ia tak jadi menonton band kesayangannya, namun karena ia dan ketiga
temannya itu kini terjebak di tengah hutan yang sepi tanpa ada tanda-tanda
pertolongan. Mereka bahkan sepertinya tak tahu mereka ada dimana.
“Tempat ini tak terpetakan.” Ucap Nick. “Tapi kurasa
kita sudah berada di kawasan Blackwood.”
“Blackwood?!” pekik Elena. Ketiga temannya dengan
seketika memandang ke arahnya. Kenapa ia harus berteriak seperti itu?
“Kenapa?” tanya Samantha heran. “Kau tidak
seharusnya…”
“Kalian tidak tahu?” potong Elena cepat. “Blackwood
terkenal sebagai kota yang angker. Banyak sekali cerita mengenai…”
“Oh, diam Elena! Kau membuatku semakin pusing!”
Steve tidak tahan lagi dengan situasi yang tengah ia
hadapi. Dengan keras ia banting pintu mobil dan berjalan dengan cepat meninggalkan
ketiga temannya. Nick berseru memanggilnya, namun lelaki itu terus saja
berjalan.
“Hentikan dia!” pinta Samantha pada Nick. Ia yang
begitu peduli pada Steve tak mau melihat Steve celaka karena berjalan terlalu
jauh di dalam hutan. Nick mengangguk, lalu berlari menyusul Steve.
Samantha hanya bisa mendesah. Ia membuka ponselnya,
mencoba untuk meminta bantuan. Sayangnya, tidak ada sinyal sama sekali di
tempat itu. Tidak aneh, mengingat mereka ada di antah berantah.
“Tidak ada sinyal.” Keluhnya.
“Lalu sekarang bagaimana?” tanya Elena yang berdiri
disisinya. “Sebentar lagi gelap. Apa kita akan tidur dimobil? Oh, tidak!”
“Ucapanmu tadi…” ucap Samantha cepat. “Blackwood. Kau
tahu tentang kota itu?”
“Aku hanya pernah mendengarnya.” Jawab Elena. “Kota
itu terkutuk. Banyak hal-hal misterius yang terjadi. Entahlah. Itu hanya cerita
yang kudengar dari orang-orang.”
“Tapi jika kita memang sudah dekat dengan Blackwood,
kita bisa mencari bantuan.”
“Ke kota itu?! Tidak!”
“Kenapa tidak?” tanya Samantha. “Jangan katakan kau
takut karena hanya mendengar hal-hal buruk mengenai hal itu!”
“Aku memang takut, oke?” ucap Elena. Gadis itu
menggerutu tidak jelas, lalu masuk ke dalam mobil.
Beberapa detik kemudian Samantha mendongakkan
kepalanya saat ia melihat Nick sudah kembali dengan Steve berjalan di
belakangnya. Raut wajah Steve masih terlihat kusut, namun nada bicaranya sudah
kembali normal. Sepertinya ia sudah berhasil mengatasi amarahnya.
“Jangan lakukan itu lagi, Steve! Kumohon!”
Samantha adalah kekasih lelaki itu. Mereka sudah
berpacaran sejak SMA, hingga kini mereka berada pada tahun kedua di
perkuliahan. Hubungan kedua remaja itu sudah ebgitu erat, dan sulit utnuk
dipisahkan. Kekhawatiran yang disampaikan oleh Samantha membuat Steven harus
mengucapkan maaf pada gadis itu.
“Aku emosi. Itu saja.” Ucapnya. “Maafkan aku!”
Samantha hanya bisa tersenyum, sambil mengelus pipi
lelaki pujaan hatinya itu.
“Oke! Drama percintaannya sampai disini saja.” Potong
Nick. Samantha cepat-cepat menarik tangannya dari wajah Steve.
“Sepertinya kita akan melewati malam di tempat ini.”
“Tidak!!” Elena berteriak dari dalam mobil. Ia
kemudian melompat keluar, dan bertanya bertubi-tubi mengenai solusi untuk
masalah mereka saat itu.
“Tidak ada cara lain.” Ucap Nick. “Ponsel kita tidak
mendapat sinyal, dan Blackwood masih terlalu jauh dari tempat ini.”
“Jadi kita akan tidur di dalam mobil?” tanya Elena.
“Berempat?”
“Tidak.” Balas Steve. “Aku dan Nick menemukan tempat
dimana kita bisa menginap malam ini tanpa kedinginan. Kami melihat sebuah rumah
kosong tak jauh dari sini. Kita bisa…”
“Tidak!!!” Elena lagi-lagi berteriak. Samantha yang
merasa kesal langsung mencubit lengan gadis itu hingga gadis itu diam.
“Sakit! Hentikan!”
“Kau terlalu rewel, Elena.” Ucap Samantha. Sedetik
kemudian ia arahkan matanya kembali pada Steve dan Nick.
“Rumah itu.” Ucapnya. “Menurutmu layak untuk
ditempati?”
“Kurasa akan cukup hangat.” Ucap Steve. “Rumahnya
belum terlalu bobrok. Hanya kosong ditinggalkan. Mungkin belum terlalu lama.”
“Apa kita punya pilihan lain selain rumah itu?” tanya
Samantha. Ia masih berharap bahwa ada rumah disekitar hutan itu. Meski
sebenarnya hatinya telah mengatakan bahwa mustahil ada rumah penduduk di tengah
hutan seperti itu.
“Jika kau mau kedinginan dan digigit nyamuk, kau bisa
tidur disini.” Ucap Nick. Ia sudah terlebih dahulu bergerak ke arah bagasi
mobil dan mengangkut barang-barang. Nick memiliki tubuh atletis yang cukup
besar bila dibandingkan dengan Steve. Jadi tidak heran jika ia menjadi ‘kuli’
bagi teman-temannya.
“Bagaimana?” tanya Steve meminta pendapat. Samantha
yang tak bisa menemukan solusi lain, mau tak mau harus mengangguk menyetujui.
“Kalau begitu, ayo kita kesana!”
“Elena, kau mau tinggal disitu?” teriak Samantha.
“Kami akan meninggalkanmu.”
“Tunggu!” gadis itu kemudian dengan tergesa menyusul
ketiga temannya yang sudah terlebih dahulu bergerak menjauh.
Rumah kosong itu terlihat beberapa menit setelah
mereka berjalan dari tempat mereka meninggalkan mobil. Rumah besar dua lantai
itu terlihat begitu mengerikan dengan adanya pohon-pohon besar berada di sisi
kiri dan kanannya. Atap rumah itu tinggi, dihiasi dengan sebuah cerobong asap
batu berwarna hitam. Teras rumah itu terlihat begitu kotor, dipenuhi dengan
daun-daun dan ranting kering, dan dihiasi pula dengan jejak-jejak kaki hewan
yang mungkin berlindung di tempat itu saat hujan.
Adanya sebuah rumah besar di tengah hutan tentu saja
akan menciptakan sebuah rasa penasaran di hati siapapun yang melihatnya. Tidak
terkecuali keempat remaja itu.
“Orang macam apa yang membangun rumah di tempat seperti
ini?” tanya Nick heran. “Tidakkah aneh?”
“Mungkin pemiliknya dulu sedikit gila?” ucap Steve
sambil tertawa mencemooh.
“Tidak.” Bantah Samantha. “Memang ada sebagian orang
yang memilih untuk hidup menyendiri. Dan kurasa rumah ini bukan hanya rumah biasa.”
“Apa maksudmu?” tanya Nick.
“Bisa jadi ini adalah rumah penjaga hutan, atau klub
pemburu hewan, atau semacamnya.”
“Ya. Kurasa itu benar.” Sahut Steve. Tidak ada alasan
lain untuk tidak mempercayai kata-kata kekasihnya itu.
Steve dan ketiga kawannya tanpa ragu naik ke teras
rumah tua itu. Lantai kayu tua dibawah sepatu mereka berderak, mengeluarkan
bunyi yang sama sekali tidak menyenangkan.
“Mari kita masuk.”
Keadaan di dalam rumah itu jauh lebih mengerikan dari
penampilan luarnya. Keadaan gelap, berdebu, dan letak perabotan di dalam rumah
tua itu sudah tidak beraturan, seolah ada perampok yang mengacak-acak tempat
itu. Sofa yang ada di ruang tamu terbalik, begitu juga dengan mejanya. Lalu
barang-barang yang ada di kabinet berhamburan di lantai.
“Cukup nyaman.” Ucap Nick sambil terkikik geli. Ia
meletakan barang-barang yang ia bawa, lalu berlari di sepanjang koridor, yang
ternyata menghubungkan ruang depan dan dapur.
Panci-panci terlihat masih ada diatas kompor, dan ada
beberapa piring yang tertata di atas meja. Semuanya terlihat sudah tertutup
dengan debu. Pemandangan yang ganjil itu tak ayal membuat bulu kuduk Nick
berdiri. Melihat situasi di depan matanya, ia hanya dapat membayangkan apa yang
sebenarnya terjadi pada pemilik rumah itu.
Ia melihat sebuah bekas menghitam di lantai, yang
berlanjut pada salah satu dinding di dapur itu. Bekas hangus. Api? Mungkin
pernah terjadi insiden di dapur itu. Namun Nick tidak menemukan adanya
kerusakan lain. Jendela-jendela masih terkunci dengan rapat. Sebuah pintu yang
mengarah ke bagian belakang rumah pun masih terkunci dengan rapat.
Nick kembali bergabung bersama ketiga temannya
beberapa menit kemudian. Sofa yang terbalik di ruang depan sudah dibenarkan ke
posisi semula, dan kini dua gadis duduk diatasnya.
“Dimana Steve?” tanya Nick saat ia tidak melihat kawan
baiknya itu. Samantha menggunakan jarinya untuk mengatakn bahwa Steve ada di
lantai dua.
“Nick! Kemarilah!” teriak Steve dari arah lantai dua.
Nick, tanpa membuang waktu langsung berlari menghampiri temannya itu. Ia
mendapati Steve di dalam sebuah ruangan yang dipenuhi dengan boneka-boneka tua
dan usang. Semuanya sudah dalam keadaan buruk dan tak terawat.
“Astaga! Ini kamar seorang gadis.” Ucapnya kemudian.
“Gadis kecil.” Tambah Steve. Ia mengangkat sebuah boneka
yang terletak di sebuah keranjang. Namun ia segera melempar boneka itu saat
tiba-tiba saja ada seekor laba-laba besar merayap keluar dari lubang pada
boneka tua itu. Nick yang melihat tingkat ketakutan Steve malah menertawainya.
“Kau takut pada serangga, Steve? Konyol sekali.”
“Sudahlah!” ucap Steve seraya mendorong temannya itu
keluar dari kamar. “Kita kembali ke bawah. Gadis-gadis itu tidak boleh
dibiarkan sendirian.”
Saat malam tiba, kengerian yang sebenarnya dari rumah
tua itu mulai terasa. Lorong-lorong gelap yang ada di dalam rumah itu seakan
mengundang maut bagi siapa saja yang berani berjalan melewatinya.
Tak diduga, hujan deras turun mengguyur kawasan itu.
Suara gemuruh dipenuhi dengan kilatan petir terlihat menghiasi langit yang
terlihat begitu gelap, hitam pekat.
Keempat remaja itu duduk di depan perapian yang
menyala. Untung saja Steve dan Nick berhasil mengumpulkan kayu bakar sebelum
hujan datang. Dengan adanya api, keadaan menjadi sedikit hangat. Namun
bayang-bayang hitam bergoyang yang diciptakan oleh lidah-lidah api dari
perapian itu menciptakan kengerian lain.
Keempat remaja itu tanpa sadar terlelap. Rasa lelah
setelah menempuh perjalanan belasan kilometer dari rumah mereka meruntuhkan
kekuatan tubuh mereka. Keempat remaja itu meringkuk, di depan sofa, mencoba
untuk menahan rasa dingin.
Tepat tengah malam, Samantha tiba-tiba saja terbangun
setelah mengalami mimpi buruk. Ia terengah-engah, seolah baru saja berlari.
Elena yang tidur disebelahnya ikut bangun. Begitu juga dengan kedua lelaki itu.
“Oh! Ini benar-benar menyebalkan.” Keluh Elena. Kedua
matanya terlihat bergerak tak tenang, mengamati setiap sudut ruangan yang
seolah memiliki mata, dan mengawasinya dengan nafsu membunuh.
“Baru jam satu.” Ucap Samantha sesaat setelah
memeriksa jam di pergelangan tangannya.
“Rumah ini benar-benar membuatku takut.” Keluh Elena
lagi. Suara bergetar, seolah ingin menangis.
“Kami ada disini untuk melindungimu.” Ucap Samantha,
sambil mencoba menenangkan temannya itu.
Keempat remaja itu terlonjak kaget saat tiba-tiba saja sebuah
suara keras terdengar. Suara ‘BRAK!!’, yang sepertinya berasal dari lantai dua.
“Apa itu?” Elena menggeser posisi duduknya merapat
pada Samantha. Samantha merasakan ketakutan yang sama dengan gadis itu. Setiap
benda di dalam rumah tua itu seolah memiliki kekuatan jahat.
“Mungkin tikus.” Ucap Steve.
“Tikus? Tidak mungkin tikus bisa menimbulkan suara
seperti itu. Ada sesuatu di dalam rumah ini. Kita harus keluar!”
“Tenang, Elena!” ucap Samantha. Gadis itu melirik ke
arah Steve, mencoba meminta pendapat. Namun lelaki itu hanya mengangkat kedua
pundaknya.
“Oke!” ucap Nick. Sedetik kemudian ia sudah berdiri
dari tempatnya berbaring dan merapatkan kerah jaketnya.
“Aku akan memeriksanya.”
“Oh! Kau gila?”
“Tidak ada yang perlu ditakuti.” Ucap Nick. Ia
bergerak ke arah meja, meraih lilin yang sore tadi mereka temukan, dan
menyalakannya. Steve bertanya apakah ia perlu teman, tapi Nick menolak.
“Tidak ada hantu.” Ucapnya dengan sikap congkak.
Beberapa detik kemudian, Nick telah menghilang dari pandangan.
Steven mencoba menangkan kedua gadis di sampingnya
itu. Ia sadar dengan benar, bahwa ia semua adalah kesalahannya. Jika saja ia
tidak memilih jalan pintas itu, mungkin ia dan ketiga temannya tidak harus
berlindung di dalam rumah tua yang mengerikan seperti ini.
“Aku merasakan hal yang aneh dari rumah ini.” Ucap
Samantha. “Entahlah. Aku bisa merasakannya. Seperti ada sesuatu yang jahat…”
“Sam benar.” Tambah Elena yang masih merapat pada
tubuh Samantha.
“Tinggal beberapa jam lagi.” Ucap Steve. “Kita akan
pergi saat matahri terbit. Kita hanya perlu bertahan….”
“AHHHHH!!!!!!”
Ucapan Steve terpotong saat suara itu terdengar.
Sebuah jeritan yang berasal dari arah lantai dua. Dan ia tahu benar, bahwa
suara barusan adalah suara Nick.
“NICK!” teriak Steve. Tanpa sadar ia telah berdiri
pada kedua kakinya dan berniat untuk berlari menghampiri Nick. Tetapi, ia
kemudian ingat dengan dua gadis itu.
“Kalian disini saja, oke?”
“Tidak!” bantah Samantha. Gadis itu kemudian berdiri,
diikuti oleh Elena. “Kami tidak mau ditinggal sendi…”
“AHHHHHH!!!!! TOLONG !!!”
Suara itu terdengar lagi. Lebih keras, diselingi
dengan suara berdebum seperti ada barang yang jatuh berkali-kali ke lantai.
Steve dan kedua temannya tak punya banyak waktu untuk berpikir. Tanpa sadar
mereka telah berjalan cepat menuju ke lantai dua dengan Steve memimpin. Lilin
yang ada di tangannya bergoyang, nyaris mati saat ia berjalan terlalu cepat.
“NICK! NICK! DIMANA KAU?”
Tidak ada jawaban meski Steve telah berteriak beberapa
kali. Saat ia mencapai koridor lantai dua, instingnya mengatakan bahwa Nick
berada di ruang gadis kecil yang sore tadi ia masuki.
“Oh, astaga! NICK!”
Samantha dan Elena menjerit ngeri melihat tubuh Nick
yang tergeletak diatas lantai dengan darah memenuhi wajah lelaki itu. Wajah Nick
terlihat polos, pucat dibalik darah merah itu, dan kedua matanya memutih,
seolah ada yang merampas nafas kehidupan dari kedua mata itu.
“Oh! Apa yang terjadi? Tidak!!!”
Elena mulai menangis tak terkontrol. Tubuhnya
bergetar, saat ia tak sanggup melihat apa yang terjadi pada temannya itu.
Steve berdiri kaku di tempatnya. Pikirannya kosong
selama beberapa detik, saat ia tak tahu dengan apa yang baru saja terjadi pada
temannya itu. Namun ia sadar, bahwa temannya itu sudah tak bernyawa lagi.
Ketiga remaja itu kembali berjingkat saat sebuah
fenomena tak terjelaskan terjadi di depan kedua mata mereka. Lemari pakaian tua
yang berada di sisi ruangan itu tiba-tiba saja bergetar dengan hebat, seolah
ada seseorang di bagian dalam lemari itu yang mencoba untuk keluar. Keadaan
yang benar-benar ganjil, yang membuat ketiga remaja itu bergerak mundur dengan
cepat. Dan tiba-tiba saja…
“ARHHHHH!!!!!!”
Suara menjerit terdengar dari dalam lemari tua itu.
Lemari itu bergoyang lebih cepat, lebih cepat, semain cepat, menimbulkan
suara-suara berkeriak yang menyayat hati.
“KELUAR!” teriak Steve sedetik kemudian. Hal yang
paling rasional untuk menghadapi situasi tak natural seperti itu adalah
melarikan diri. Ketiga remaja itu berlari cepat menuruni tangga, tak peduli
lagi bahwa lilin yang Steve bawa telah mati, dan kini mereka berada dalam
kegelapan total. Namun entah mengapa, mata mereka seolah dapat melihat dalam
gelap. Dan beberapa detik mereka sudah mencapai pintu depan, memutar kenop
pintunya, tapi…
“TIDAK!!!!”
Steve mengguncang-guncang pintu itu namun pintu itu
tak bergeming. Terkunci. Dan sama sekali tidak dapat ia buka. Hal aneh lainnya
terjadi beberapa detik kemudian. Ruang tamu mulai bergetar seolah ada gempa
bumi. Lukisan-lukisan yang ada di dinding bergetar hebat, lalu berjatuhan.
Lampu yang ada di rumah itu, yang seharusnya sudah tidak bekerja lagi, mulai
berkedip hidup mati.
“Lewat dapur! Cepat!”
Ketiga sampai di dapur dalam beberapa detik. Namun hal
aneh yang terjadi di ruang depan pun terjadi pula dengan perabotan yang ada di
dapur. Perabot-perabot mulai bergoyang, berguncang, menciptakan bebunyian yang
aneh dan mengerikan. Kompor tua dengan dua panci diatasnya itu mulai
menyemburkan api besar.
Elena menjerit-jerit ketakutan. Air mata membasahi
pipinya yang memerah karena darah terlalu cepat terpompa ke kepalanya. Namun
sedetik kemudian….
Samantha menjerit sekuat yang ia bisa saat ia dengan
jelas, dengan kedua matanya sendiri melihat sebuah pisau dapur melayang,
menggorok leher temannya itu. Menyebabkan darah memancar keluar dari arterinya
yang terpotong. Elena dengan jerit yang mulai tenggelam oleh darahnya sendiri
mengapai-gapai ke arah Samantha, seolah meminta pertolongan terakhir. Namun….,
gadis itu kemudian terkulai lemah dan tewas seketika.
“TIDAK!!!”
Jeritan kedua remaja yang tersisa kalah oleh suara
ribut yang ditimbulkan oleh rumah tua itu. Perabotan yang berdenting, lantai
kayu yang berderak, kaca jendela yang bergetar hebat, semua hal aneh terjadi
dalam hitungan detik.
“KELUAR, SAM! CEPAT!”
Pintu dapur, dengan anehnya, terbuka dengan sendirinya
seolah membiarkan kedua remaja itu untuk melarikan diri. Sam berhasil keluar,
akan tetapi ia tidak dapat menemukan Steve disebelahnya. Ketika ia menoleh
kebelakang, pintu dapur telah tertutup kembali dan Steve terjebak di dalamnya.
“STEVEN!!! TIDAK!!!”
Samantha berlari ke arah jendela, dan hanya dapat
melihat Steve yang menggedor-gedor jendela itu. Steve mengangkat sebuah kursi
untuk memecahkan kaca jendela itu, namun kaca itu seolah terbuat dari kaca anti
peluru, dan sama sekali tak tergores.
Rasa putus asa mulai muncul di dalam hati seorang
gadis, Samantha, yang hanya bisa melihat kekasihnya terjebka dalamrumah maut
itu. Air mata tak terbendung lagi, dan ia hanya bisa menjeritkan nama lelaki
itu.
“STEVEN!!!”
Steve berdiri tenang dibalik kaca dimana Samantha
dengan kekuatan penuh menggedor kaca jendela itu. Steve hanya tersenyum, telah
meneyrah dengan keadaan, dan meminta kekasihnya itu untuk lari.
“Lari, Sam! Kumohon! Tinggalkan aku!”
“Tidak…, tidak…, Steven….”
“Lari! LARI!!!”
Dengan kekuatan terakhir, Samantha bergerak
meninggalkan tempat itu. Dengan tangisan yang tak henti, ia mencoba menguatkan
kedua kakinya untuk terus berlari, berlari, dan berlari tanpa henti. Dengan
rasa sakit di dalam hati karena telah meninggalkan kekasihnya tanpa dapat
berbuat apa-apa, ia menjeriakan nama Steven di dalam hatinya.
**
“Nona, kau bisa mendengarku?”
Samantha mendongakkan wajahnya, dan melihat wajah
tampan itu. Steven. Dengan senyum yang menawan, yang selalu memikat hatinya.
“Steve…”
“Steve? Temanmu?”
Senyum di wajah gadis itu menghilang saat raut wajah
Steven sirna, dan digantikan dengan wajah lain yang memandang penuh kepedulian
dan rasa penasaran padanya.
“Nona, kau baik-baik saja? Kau bisa mengingat namamu?”
Samantha duduk di sebuah bangku di tepian sebuah kota
dengan penampilan terburuknya. Rambutnya kusut, pakaian kotor dan robek di
beberapa tempat. Ia sadari bahwa ia telah berhasil keluar dari dalam hutan, dan
kini mobil patroli polisi dan ambulan telah mengelilinginya.
“Dia tidak mau mengatakan sesuatu, inspektur.” Ucap
seorang polisi muda kepada atasannya setelah berusaha mengajak bicara gadis
itu.
“Ada berita lain.” Ucapnya inspektur itu. “Tiga remaja
ditemukan tewas di rumah tua itu. Dua dengan keadaan mengenaskan, dan satu
lelaki tewas di dapur dengan pisau menusuk jantung.”
“Rumah itu lagi?”
“Ya. Sudah yang ketiga kali sejak tiga tahun
terakhir.”
Gambaran-gambaran mengenai wajah ketiga kawannya
membuat Samantha mulai menangis lagi. Ia merasa, bahwa dunia yang ia tempati
telah berputar, gila, segila-gilanya.
“Tidak! Tidak! Steven! Elena! Nick! Tidak!!!”
Paramedis berusaha menangani gadis itu. Keadaan
Crystal yang kacau dan terus memberontak memaksa pihak medis untuk menyuntikkan
obat penenang pada gadis itu untuk membuat gadis itu tertidur. Dan dalam
kesadaran yang mulai memudar, Crystal dapat mendengar sebuah suara di
sampingnya. Suara yang terdengar begitu jelas, seolah dibisikkan kerahanya.
“Samantha. Aku mencitaimu. Kau akan baik-baik saja.”
Samantha tersenyum. Steven. Lelaki itu masih berada di
dalam hatinya. Ia mengucapkan nama itu sedetik sebelum kesadarannya benar-benar
menghilang.
****
No comments:
Post a Comment