Friday, October 30, 2015

EMAIL MAUT DARI NERAKA



Jika kita berbicara mengenai anak-anak muda, apa yang pertama hadir di dalam kepala kita? Gaya berpakaian mereka, atau cara mereka berbicara, cara mereka melihat sesuatu melalui perspektif mereka, gaya rambut, dan cara mereka berpesta? Tapi ada satu hal yang selalu dapat kita lihat dari kehidupan anak-anak muda tersebut, yang sama sekali tidak dapat terlupakan. Yaitu kegemaran mereka terhadap sesuatu yang berbau sosialitas. Smartphone, dan situs-situs sosial network, adalah beberapa hal yang selalu kita lihat. Ya. Tidak ada satupun pemuda yang rela menghabiskan waktu mereka tanpa adanya smartphone. Smartphone, sudah seperti kehidupan kedua mereka. Tapi diantara hal-hal itu, ada kalanya seseorang dapat merasa begitu takut untuk menyentuh ponsel mereka. Salah satunya, adalah seorang gadis belia bernama Haiden.
Alasannya, mungkin bukan karena ia terlalu takut untuk melihat status pertemanannya di Facebook, atau melihat jumlah followernya di twitter. Tapi karena suatu alasan yang sebenarnya bisa dianggap sedikit tidak masuk akal dan terbilang cukup aneh.
Sudah beberapa hari ini Haiden tidak menyentuh ponsel berwarna pink-nya itu. Ia terlalu takut. Kenapa? Karena ia selalu mendapatkan email aneh dari seseorang di luar sana yang sepertinya selalu dapat mengetahui apa yang ia lakukan. Stalker? Mungkin. Tapi Haiden tidak pernah mendapatkan hal-hal semacam itu sebelumnya. Kejadiannya baru bermula ketika ia pindah ke kamar asrama barunya yang terletak dekat dengan kampus tempatnya kuliah. Semenjak hari itu, ia selalu mendapatkan pesan-pesan aneh dari seseorang dengan nama Hell. Entah itu lewat emailnya, atau lewat beberapa sosial media yang ia miliki. Pesan-pesan yang ditulisakan selalu terdengar aneh dan sedikit mengerikan. Seperti…
“Hai!” sepertinya tidak aneh. Namun bagaimana jika pesan yang sama selalu dikirimkan setiap menit dengan kata yang sama? Itulah yang membuat Haiden kini sedikit menghindari sosial media.
Hal-hal serupa terjadi setiap harinya. Pesan-pesan yang masuk, dari user bernama Hell, terus memenuhi inbox miliknya. Beberapa pesan yang dapat Haiden ingat, diantara…
“Senang bisa bertemu.” Atau, “Kau sendirian?” dan ada lagi yang berbunyi, “Jangan tinggalkan aku.”
Haiden takut, namun disaat yang bersamaan juga merasa penasaran dengan username Hell ini. Ia sudah mencoba menceritakan hal ini pada beberapa temannya. Pendapat mereka, mungkin Haiden memiliki penggemar rahasia. Memang kelihatannya begitu. Tapi haiden yakin bahwa ada maksud tertentu dari orang bernama Hell ini.
Haiden pernah mencoba membalas pesan dari Hell yang masuk ke dalam inbox emailnya.
“Siapa kau?” tulis Haiden. Haiden menunggu, namun tidak ada balasan saat itu. Hingga akhirnya ponsel miliknya berbunyi di tengah malam, saat ada sebuah pesan masuk. Ketika Haiden membuka email itu, ia mendapatkan pesan balasan yang berbunyi,
“Aku temanmu. Yang menemanimu saat kau tidur, seperti saat ini.”
Pesan yang singkat namun mengandung arti yang mengerikan itu tentu saja membuat Haiden kesal. Ia sudah mencoba meminta baik-baik agar Hell tidak mengganggunya lagi. Namun pesan-pesan aneh selalu masuk setiap harinya.
“Sarapan?” atau. “Jangan lupa sepatu barumu.”
Yang membuat aneh adalah kenyataan bahwa Hell dapat mengethaui hal-hal yang seharusnya tidak diketahui. Haiden membeli sepatu baru tanpa sepengetahuan siapapun. Tapi kenapa Hell bisa tahu? Seolah Hall sudah tinggal bersamanya selama ia tinggal di asrama barunya itu.
Pesan terakhir dari Hell yang membuat Haiden semakin ketakutan masuk beberapa hari yang lalu. Pesan itu berbunyi,
“Aku menyukaimu.” Yang dikirim sebanyak 20 kali. Hal ini sudah cukup bagi Haiden untuk memutus hubungan telekomunikasi di posnelnya. Ia matikan ponselnya itu dan ia masukkan ke dalam laci. Jika ponselnya mati, berarti Hell tidak akan bisa mengiriminya pesan, ‘kan? Tapi apakah hal itu berhasil?
Selama beberapa hari Haiden tidak menyentuh ponselnya. Ia memang tidak mendapatkan gangguan lagi dari Hell. Namun ia juga tidak bisa berkomunikasi dengan temannya jika tidak menggunakan ponsel. Dan hal itu membuatnya stress.
Haiden menghidupkan kembali ponselnya dengan hati berdebar. Ia mengira ia akan langsung mendapatkan pesan dari Hell. Tapi…, tidak. Apakah ini berarti ia sudah terlepas dari gangguan orang itu?
Tidak. Beberapa jam setelah Haiden menghidupkan ponselnya, ia mendapatkan satu pesan lagi. Hanya satu kalimat dari Hell, yang berbunyi…
“Kau tidak bisa lari dariku, Haiden.”
Haiden kini sudah merasa cukup muak dan ketakutan dengan adanya pesan-pesan aneh itu. Ia memutuskan untuk mengganti alamat emailnya, membuat akun baru di Facebook dan Twitter, dan berharap Hell tidak akan bisa menghubunginya lagi. Segalanya berjalan sempurna. Selama beberapa hari Haiden tidak mendapatkan pesan-pesan lagi. Ia kira starteginya itu berhasil. Namun disuatu malam, ia mendapatkan satu telepon dari nomor yang tak dikenal. Ketika ia angkat telepon itu, sebuah suara seorang pria dengan nada rendah menyapanya dari seberang sambungan. Pria itu berkata…
“Selamat malam, Haiden. Selamat tidur.”
Haiden seketika melempar ponselnya ke seberang ruangan. Ia merasakan aura yang tidak biasa. Keadaan di sekitarnya terlihat terlalu mencekam. Ia bahkan tidak bisa tidur malam itu.
“Kau harus menyelesaikan masalah ini.” Ucap salah seorang teman Haiden memebrikan solusi.
“Ajak dia untuk bertemu, dengan satu syarat. Dia tidak boleh mengirimimu pesan-pesan lagi.”
Ya. Haiden setuju dengan hal itu. Haiden membuka email lamanya, dan berharap ia akan mendapatkan pesan lagi dari Hell. Dan apa yang dinantikannya tiba. Pesan dari Hell, berbunyi…
“Kau rindu padaku?”
“Siapa sebenarnya dirimu?” balas Haiden. “Sebaiknya kita bertemu. Dan berjanjilah kau tidak akan menggangguku lagi.”
“Ok.” Balas Hell.
“Jadi dimana kau mau bertemu denganku?”
“Tidak perlu jauh-jauh.” Balas Hell. “Karena aku…, sudah ada di belakangmu.”
Haiden seketika memutar tubuhnya, dan di depannya hadir sebuah wajah pria berambut kumal dengan darah memenuhi wajahnya. Wajah itu menyeringai, sambil berkata…
“Hai, Haiden!” dan Haiden pun jatuh tak sadarkan diri.

***

Sunday, October 25, 2015

JERITAN TENGAH MALAM



Jane tersentak, terbangun dengan seketika saat ia mendengar suara itu. Sebuah suara yang tidak dapat ia ingat darimana asalnya. Mungkin hanya dari mimpinya. Itu harapannya. Tetapi ia sudah terlanjur ketakutan. Nafasnya memburu, dengan keringat dingin bercucuran. Ia tidak tahu apakah ia bisa kembali tidur malam itu.
Jane meremang seketika saat ia mendengar suara itu lagi. Ya. Suara misterius yang datangnya dari kamar sebelah. Ia menggambarkan suara itu seperti sebuah suara kematian yang begitu mengerikan. Sebuah jeritan tertahan, desah nafas berat, dan erangan. Apakah semua itu nyata? Atau memang hanya dalam kepalanya saja?
“Mary! Mary!” Jane dengan cepat mengguncang lengan temannya yang masih tertidur lelap di sampingnya. Mary sepertinya tidak akan bisa bangun dari mimpinya.
Oh! Kenapa dengan dirinya? Kenapa ia bisa merasa begitu ketakutan sementara hobinya adalah menonton film horor? Atau mungkin memang karena hobinya itu, jadi kini ia berpikiran amcam-macam? Tapi bagaimana jika suara di kamar sebelah itu memang benar terjadi?
Jane begitu kesal dengan dirinya. Ia geram terhadap apa yang terjadi pada dirinya saat itu. Kenapa ia bisa berada di tempat itu?
Sejauh apa yang dapat ia ingat, kemarin ia berkendara bersama Mary dalam perjalanan pulang dari melihat konser di kota sebelah. Saat melewati sebuah kota kecil, tanpa diduga mobil yang ia kendarai mogok di tengah jalan, dan terpaksa harus masuk bengkel kota kecil itu. Mobilnya tidak akan bisa dipakai saat itu juga. Terpaksa, saat hari sudah sore dan hujan mulai turun, tidak ada pilihan lain lagi selain menyewa sebuah kamar di sebuah motel yang namanya tidak ia ingat.
Motel itu bukanlah sebuah motel yang terlalu bagus. Mungkin begitu cara menjelaskannya. Dari apa yang dapat Jane nilai, bangunan itu sudah berumur cukup tua. Mungkin sudah ada puluhan tahun, dan tidak pernah sekalipun di renovasi. Dari cat tembok putihnya yang sudah mulai terkelupas, dan dari lantainya yang begitu kotor, tidak ada cara lain untuk menjelaskan bahwa motel itu adalah motel terburuk yang pernah ia sewa selama hidupnya. Dan kini, ia mendengar suara-suara itu. Apakah motel itu terkutuk?
“Jane! Apa yang kau pikirkan?” Jane memukuli kepalanya sendiri saat ia mulai merasa tidak tenang dan terlalu banyak berspekulasi. Ia kini hanya dapat berharap agar waktu cepat berlalu. Ia kembali masuk ke dalam selimutnya, dan mencoba untuk tidak mendengarkan suara-suara itu lagi. Tanpa ia sadari, ia masuk lagi ke dalam alam mimpi.

**

“Aku tidak berbohong!” bisik Jane dengan nada kesal saat temannya itu, Mary, tidak mau mempercayai apa yang dikatakannya. Temannya itu malah tersenyum meledek ketakutannya. Saat itu mereka sedang sarapan di rumah makan yang terletak tak jauh dari penginapan yang mereka tempati.
“Kau terlalu banyak menonton film, Jane. Lupakan…”
“Tidak! Apa yang kudengar semalam bukanlah halusinasi.” Tegas Jane. Ia, untuk sesaat, melupakan makanan yang tersaji di hadapannya. Dengan mata tajam ia tatap wajah temannya itu.
“Ada sebuah jeritan, lalu desahan, lalu ada juga…, aku tidak tahu cara menjelaskannya. Aku tidak mau memikirkannya lagi.”
“Kau yakin dengan apa yang kau dengar?”
“Mary!”
“Oke, oke. Kau benar. Mungkin aku harus mendengarnya malam nanti.”
“Tidak!” bantah Jane. “Kita harus pergi hari ini. Aku tidak mau…”
“Jika saja bisa begitu.” Potong Jane. “Sepertinya memang kita ahrus menginap semalam lagi.”
“Kenapa?”
“Aku baru saja mendapat telepon dari bengkel tempat kta memperbaiki mobil, dan katanya mereka harus mencari satu onderdil langka untuk mobil tuamu itu. Dan mereka mungkin baru akan menyelesaikannya besok.”
“Tidak! Tidak! Tidak mungkin!”
“Jane!” Mary meraih tangan gadis itu dan mencoba menenangkannya. Ia tatapan kedua mata Jane, dan ia ucapkan dengan sungguh-sungguh.
“Tidak ada yang perlu ditakutkan.” Ucap Mary. “Aku ada disampingmu.”
Benarkah begitu? Mungkinkah suara itu akan menghilang begitu saja setelah Mary berucap demikian? Jane sendiri merasa tidak yakin. Selama berjam-jam ia menghabiskan waktunya duduk di lobi, membaca majalah, dan belum mau kembali ke dalam kamarnya. Ia takut jika ia mendengar suara-suara itu lagi.
“Jane! Ayolah!”
“Tidak.” Balas Jane cepat sambil terus membaca majalahnya. “Aku tidak mau kembali ke dalam kamar seorang diri.”
“Tidak ada apa-apa disana. Aku bisa membuktikannya.”
“Bagaimana caranya?”
Dalam beberapa menit, Jane dan Mary sudah berada di depan kamarnya. Tidak. Sebenarnya mereka berada di depan sebuah kamar yang berada tepat di samping kamar yang ia tempati. Seorang petugas motel kini tengah sibuk membuka kunci dari kamar itu.
“Tidak ada apa-apa disini. Apa yang sebenarnya kalian cari?”
Pintu kamar itu terbuka, dan nampaklah isi dari kamar yang menurut Jane misterius itu. Bagian dalamnya tentu saja sama dengan kamar-kamar lain. Terdapat satu tempat tidur, sebuah meja kecil, dan ada juga sebuah lemari di samping pintu yang menuju kamar mandi. Tidak ada yang aneh. Hanya saja, memang semua bendanya terlihat begitu tua dan usang.
“Lihat, ‘kan?” ucap Mary. “Tidak ada apa-apa disini. Lihat!”
Mary bergerak memasuki kamar itu, lalu membuka pintu lemari. Lemari itu kosong, tentu saja. Ia lalu bergerak ke kamar mandi, menyalakan kran, lalu menutupnya lagi. Kemudian ia bergerak kembali ke arah Jane.
“Tidak ada yang perlu kau takutkan, Jane.” Ucap Mary. “Percaya padaku. Mungkin kau hanya berhalusinasi.”
Tidak. Jane yakin bahwa apa yang ia dengar semalam memang benar-benar terdengar. Suara-suara menyedihkan itu terdengar dengam begitu jelas. Jaritan itu…, desahan itu…,
Jane yakin bahwa apa yang ia dengar semalam tentu memiliki arti tersendiri. Ia belum begitu yakin. Apakah kini ia ingin mencari tahu kebenarannya? Ia ingin mendengar cerita tentang kamar yang berada di sebelah kamarnya itu.
“Kamar itu sudah lama tidak ditempati.” Ucap Mary saat ia tengah menikmati santap malam bersama Jane di restoran yang sama dengan yang mereka tempati pagi tadi.
“Jane?”
Jane terdiam. Perhatiannya kini terpaku ke arah gedung motel yang ada di seberang jalan. Ia melihat sesuatu bergerak di bagian depan motel. Ada serombongan orang…, tidak. Ia hanya melihat empat orang. Dua orang dewasa dan dua anak-anak. Mereka bergerak memasuki motel.
“Jane!”
Jane tersentak. Seketika ia kembalikan perhatiannya pada Mary, yang terlihat kebingungan dengan sikapnya barusan.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Mary.
“Ya.” Jawab Jane singkat. Jane mengembalikan pandangan matanya ke arah motel, dan ia sadari bahwa orang-orang tadi telah menghilang dari pandangan.
“Jane, kau dengar ceritaku?”
“Ya.” Sahut Jane. “Jadi kamar itu memang tidak pernah dipakai? Kenapa?”
“Entahlah.” Jawab Mary sambil memainkan sedotan di gelas minumannya. “Kudengar karena suatu kejadian, dan orang-orang mulai takut untuk menggunakan kamar itu lagi.”
“Mungkin malam ini kita akan mendengarnya.” Ucap Jane. Kini, ia yang sudah merasa terlalu takut dan sadar bahwa ia tidak punya pilihan lain lagi selain mengharapkan hal mengerikan itu untuk terjadi. Ia memang harus menghadapinya.
Jane menarik nafasnya dalam-dalam sebelum ia bergerak masuk ke dalam kamarnya sendiri. Mary yang ada di depannya menarik tangannya.
“Lihat? Tidak ada apa-apa.”
Kamar yang kecil itu terlihat sedikit suram meski sudah ada lampu penerangan. Mungkin dikarenakan dindingnya yang sudah penuh dengan noda dan catnya yang sudah mengelupas. Jane merasakan suatu hal yang tidak biasa ketika ia mulai mencoba untuk tidur. Keadaan terlalu sunyi.
“Mary?” ucap Jane dari balik selimutnya. Ia lirik temannya itu, yang memunggunginya. Ia mengguncang pelan bahu Mary.
“Aku belum tidur.” Ucap Mary pelan. “Tenang saja.”
“Kau mendengarnya?” tanya Jane cepat.
“Mendengar apa?”
“Suara itu.”
Jane dan Mary terdiam, mencoba untuk mendengarkan suasana dari ruangan yang mereka tempati. Terlalu hening. Namun beberapa detik kemudian mereka mendengar suara percakapan darir uang sebelah. Tepat berada di ruangan dimana Jane mendengar jeritan kemarin malam.
“Sepertinya kamar itu kini ditempati.” Ucap Mary. “Tidak ada yang perlu kau takutkan, Jane. Kamar itu kini sudah ada penunggunya. Tidak akan ada suara aneh lagi.”
“Kau yakin?”
“Percaya padaku.”
Untuk sesaat, Jane mempercayai kata-kata temannya itu. Apakah mungkin ia akan mendengar jeritan memilukan dari kamar yang kini sudah ditempati itu? Ia merasa sedikit lega bahwasanya kini yang dapat ia dengar adalah tawa anak kecil dan gumaman orang dewasa dari kamar sebelah. Ia berpikir, mungkin penghuni kmar itu kini adalah serombongan keluarga yang ialihat tadi sore. Dengan pikiran yang cukup tenang, Jane kembali menarik selimutnya.
“Jangan takut, Jane.” Ucapnya dalam hati. “Besok kau akan pergi dari tempat ini.”

**

Rasanya Jane belum tidur terlalu lama ketika ia harus dibangunkan lagi oleh sebuah suara yang ia dengar kemarin malam. Sebuah jeritan memilukan, disertai desahan-desahan berat dan erangan. Jane yakin betul dengan apa yang ia dengar. Tidak mungkin ia salah mendengar. Suara-suara itu berasal dari kamar sebelah. Tapi…, bukankah kamar sebelah sedang ditempati?
“Mary! Bangun, Mary!” Jane mengguncang tubuh temannya.
Mary terbangun dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka. Wajah penuh ketakutan Jane langsung menjadi perhatiannya.
“Jane?”
“Suara itu lagi!” ucap Jane cepat. “Dengar!”
Jane dan Mary terdiam ketika suara jeritan itu kembali terdengar. Melengking-lengking, lalu ada sebuah desahan disertai sebuah suara bergedebuk ke lantai.
“Kau dengar itu?”
Mary tidak punya pilihan lain selain mempercayai kata-kata temannya. Ya. Kini ia pun dapat mendengarnya sendiri.
“Tapi bukankah kamar sebelah ditempati?”
“Itu masalahnya, ‘kan?” ucap Jane. “Kenapa…”
Mary tiba-tiba saja bangkit dari tempat tidurnya. Ia kemudian menarik tubuh Jane berdiri.
“Kita harus menghadapinya, Jane. Kita harus…”
“Tidak!”
Mary menarik Jane keluar dari kamar lalu bergerak ke arah kamar sebelah. Jane, dengan penuh kekuatan, menggedor pintu kamar itu, berharap akan ada seseorang yang keluar dan berteriak marah karena telah mengganggu tidur malam mereka. Tapi…, tidak. Tidak ada balasan sama sekali dari dalam kamar.
“Katamu kamar ini ditempati.” Ucap Jane.
“Memang kurasa begitu.”
Mary kembali menggedor pintu kamar itu. Dan lagi-lagi, ia tidak mendapatkan jawaban dari dalam. Ia melirik ke arah Jane, dengan tatapan yang tidak Jane mengerti.
“Apa?”
Terlambat bagi Jane untuk dapat mencegah apa yang Mary lakukan. Temannya itu mengulurkan tangannya ke kenop pintu, lalu dengan cepat membuka pintunya. Tapi ketika pintu itu terbuka….,
“TIDAK!!!!!”
Jane dan Mary terhempas ke belakang dan terjatuh ke lantai oleh sebuah kekuatan yang tidak terlihat. Namun bukan itu yang membuat mereka berteriak. Kedua mata mereka melihat dengan jelas sesosok wanita tergantung di langit-langit kamar yang berwarna merah, penuh dengan darah. Dan yang membuat mereka semakin menjerit, adalah saat wanita itu memandang ke arah mereka dengan sorot mata semerah darah, dan dengan satu seringai lebar.
Jane dan Mary tidak sadar bahwa selama mereka berteriak, mereka juga telah lari dari tempat mereka, bergerak menurni tangga hingga sampai di lobi. Jeritan mereka tak ayal membuat penghuni-penghuni kamar lain bangun. Beberapa petugas motel menghampiri kedua dan bertanya apa yang terjadi.
“Di sana!” ucap Jane dengan nafas memburu. “Ada wanita gantung diri. Di sebelah kamar kami.”
Jane dan Mary dapat bersumpah mengenai apa yang baru saja mereka lihat. Selama beberapa menit, keduanya masih terguncang dengan adanya penampakan sosok wanita gantung diri di dalam kamar penuh darah itu. Tapi apakah itu nyata? Ketika petugas memeriksa kamar bermasalah itu, mereka tidak menemukan apapun.
“Bukankah kamar itu ditempati?” tanya Jane. “Sore tadi aku melihat serombongan keluarga masuk ke gedung ini. Sore tadi kami mendengar mereka menempati kamar sebelah kami.”
“Tidak ada pengunjung yang menempati kamar itu.” Ucap sang petugas. Ia pun terlihat bingung dengan cerita Jane.
Tidak mudah untuk meyakinkan kedua gadis itu bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa di kamar sebelah kamar mereka. Kedua gadis itu terlalu takut untuk kembali ke kamar mereka.
“Aku tidak mau kesana lagi. Kita harus pergi, Mary.”
“Tapi barang-barang kita masih ada di kamar.” Ucap Mary. “Kita harus mengambilnya.”
Ya. Kedua gadis itu mencoba untuk keluar dari motel itu secepatnya. Mereka diantarkan oleh seorang petugas motel kembali ke kamar mereka, dan mengambil barang-barang mereka. Mereka sempat melirik ke kamar bermasalah itu, yang terbuka, dan tidak menampakkan sesuatu yang aneh. Sosok wanita yang tergantung itu sudah hilang. Begitu juga dengan darah yang memenuhi ruangan itu. Mereka kini yakin bahwa motel yang mereka tempati itu berhantu.
Jane dan Mary pada pada akhirnya harus pergi dari motel itu meski keadaan masih terlalu gelap. Pukul tiga pagi, mereka berjalan di sebuah jalan yang sepi, mengarah ke bengkel mobil tempat dimana mereka memeprbaiki mobil mereka. Mereka tahu bahwa mungkin mereka harus menunggu sampai pagi di bengkel, hingga bengkel itu buka. Paling tidak, mereka tidka harus menghabiskan hari di dalam motel yang penuh dengan hal-hal aneh itu.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi.” Ucap Jane dengan suara bergetar. Dinginnya hawa malam membuat tubuh keduanya menggigil. Namun hawa yang mereka rasakan serasa tidak biasa.
“Mengenai cerita dari kamar itu...” lanjut Jane. “Kau sempat bertanya pada orang-orang mengenai tempat itu, ‘kan?”
“Ya. Motel itu.” Jawab Jane. “Kudengar dulu gedungnya pernah digunakan sebagai rumah sakit darurat saat perang beberapa puluh tahun yang lalu. Terlalu banyak nyawa melayang di dalam gedung itu. Mungkin, suara-suara yang kita dengar ada suara mereka.”
“Lalu wanita itu?”
“Mungkin salah satunya.” Ucap Mary.
Motel itu kini sudah menghilang dari pandangan. Jane dan Mary sampai di sebuah perempatan jalan yang remang, ketika tiba-tiba saja lampu jalan mati, dan membuat mereka berdiri dalam kegelapan malam. Hembusan angin dingin menyapu rambut mereka. Dan mereka merasa bahwa ada sesuatu yang bergerak mendekati mereka.
“Mary!” Jane memegang lengan temannya itu. Keadaan di tempat itu cukup gelap, dan mereka tidak dapat melihat apapun. Namun beberapa detik kemudian lampu jalan menyala, dan apa yang menjadi sumber dari ketakutan mereka datang tepat dihadapan mereka. Wanita berlumuran darah itu berdiri tepat di depan keduanya, dengan seringai jahat. Jane dan Mary tidak dapat berteriak lagi, saat wanita itu dengan cepat mencengkeram leher keduanya.

****

Thursday, October 15, 2015

KISAH TRAGIS THEATER DORSET



John Summer tidak pernah sedikitpun menyukai yang namanya adegan drama atau pagelaran teatrikal. Namun entah kenapa ia, selama beberapa minggu terakhir, selalu mengunjungi teater tua yang ada di jalan Dorset itu. Teater yang dibangun puluhan tahun yang lalu itu sudah tidak bisa lagi mengundang penonton. Paling-paling, jika ada pertunjukan besar, penonton yang masuk tidak akan lebih dari lima puluh orang.
Gedung itu sudah begitu tua dengan cat yang sudah mengelupas. Deretan bangku penonton berwarna merahnya pun sudah banyak yang berlubang, lepas, atau bahkan sama sekali tidak layak untuk diduduki. Namun apakah semua itu bisa menghentikan semangat seni yang ada di dalam setiap pemain operanya?
Jawabannya, tidak. Opera tua yang ada di jalan Dorset itu selalu rutin menggelar pertunjukan setiap hari Sabtu. Entah itu drama, drama musikal, atau bahkan hanya sebuah pertunjukan kecil, seperti yang tengah John saksikan.
Hari itu hari Kamis, dimana para pemain teater sedang dalam proses latihan yang akan mereka pertunjukkan di hari Sabtu nanti. John menikmati pertunjukan latihan drama yang dilakukan oleh para artis itu dari bangku paling jauh. Sambil menghisap rokoknya, pikirannya kadang melayang-layang. Mengenang sebuah peristiwa yang begitu membekas di hatinya.
Apa yang membuatnya kini suka dengan pertunjukan drama? Jawabannya mungkin terletak pada kejadian beberapa tahun yang lalu. John memiliki seorang istri yang begitu gemar dengan pertunjukan teatrikal. Di kotanya yang lama, John selalu rajin mengajak istrinya itu untuk menonton sebuah pertunjukan di teater terdekat. Hal itu sudah menjadi semacam jadwal rutin dalam kehidupan rumah tangganya. Namun rupanya jadwal rutin itu harus terhenti saat sebuah peristiwa terjadi.
Sebuah kecelakaan menimpanya saat tengah dalam perjalanan pulang dari teater. Mobilnya ringsek, berguling di pinggir jalan setelah tertabrak oleh sebuah truk dengan pengemudi yang mengantuk. John berhasil keluar dari mobil yang ringsek itu dengan luka yang tidak seberapa. Namun istrinya…
Tidak. John tidak ingin mengingat hal itu lagi. Kata-kata yang keluar dari mulut istrinya itu kini masih terus terngiang di telinganya.
“Terima kasih.” Ucap istrinya dengan nafas terakhirnya. “Pertunjukan yang bagus. Kita akan menonton lagi minggu depan?”
John tidak pernah mengira bahwa hari itu, hari dimana ia bisa berbahagia menonton pertunjukan drama dengan istrinya, menjadi hari terakhir ia bisa melihat senyum di wajah istrinya itu. Dan kini, untuk mengenang masa-masa menyenangkan itu, ia selalu hadir di teater Dorset.
Kedua mata John terpaku pada sosok seorang wanita yang berdiri di ujung panggung. Seorang artis muda, yang mungkin, belum begitu berpengalaman dalam dunia akting dan hanya menjadi figuran dalam drama yang akan dipentaskan. Terlihat ia tidak banyak melakukan adegan. Dan ia juga tidak banyak mendapatkan teriakan dari sang sutradara.
John berpikir, mungkin dalam beberapa tahun kedepan, gadis itu akan menjadi aktris teater yang luar biasa. Entah kenapa, ia dapat merasakan aura yang menyenangkan saat ia memandangi sosok gadis itu. Ia seperti…, melihat istrinya kembali.
“Menyenangkan, bukan?” ucap seorang pria tua yang tiba-tiba saja sudah ahdir di kursi sebelah John. Pria itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, melipat lengannya di depan dada, lalu memandang lurus ke depan ke arah kerumunan artis yang tengah berlatih.
“Aku sering melihatmu disini.” Ucap pria itu lagi. “Kau suka dengan tempat ini?”
“Ya.” Jawab John. “Aku…, suka dengan apa yang mereka lakukan.”
“Para artis belia itu…, yah. Mereka tidak tahu.”
“Tidak tahu apa?”
“Tempat ini akan segera ditutup.”
“Apa?!”
Pria itu menoleh ke arah John. Pria tua, dengan rambut tipis di atas kepalanya itu, terlihat begitu sedih. Terlihat jelas dari sorot kedua mata cekungnya itu.
“Sungguh…” ucapnya. “Aku tidak percaya hal ini akan terjadi. Sudah puluhan tahun aku mengelola tempat ini. Tempat yang menyenangkan, dimana aku bisa melihat tawa canda di wajah mereka. Tempat ini, seperti sebuah pabrik mimpi bagiku. Tapi tidak akan lama lagi.”
“Apa yang terjadi?” tanya John.
“Mereka akan membangun sebuah gedung lain di tempat ini. Hanya itu yang kudengar.”
“Kenapa kau tidak menolaknya?”
“Kau pikir aku bisa mempengaruhi banyak orang?” balas pria tua itu. “Jika saja tidak ada kejadian itu, mungkin orang-orang tidak akan berpikiran buruk mengenai teater ini.”
“Kejadian apa?”
John sama sekali tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu. Pria itu hanya terkekeh, sambil menggeleng pelan.
“Kurasa aku tidak perlu menceritakannya.”
John kembali mengarahkan pandangannya pada kerumunan yang ada di panggung. Ia melihat gadis itu lagi. Gadis yang membuatnya merasa bahwa ia tengah memandangi istrinya itu. Gadis itu kini sudah berpindah tempat. Namun sama seperti tadi, gadis itu tidak banyak bicara. Sebenarnya, peran apa yang ia mainkan?
Pria yang duduk di sebelah John itu akhirnya pergi entah kemana. Sementara John melanjutkan kembali aktivitas menontonnya, hingga latihan akhirnya selesai. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam. John berniat keluar dari teater saat secara tidak sengaja ia bertemu dengan gadis yang selalu dipandangnya tadi.
Gadis itu…, bukan. Wanita muda itu memang terlihat terlalu mirip dengan mendiang istrinya. Warna rambut coklat keemasan, dengan sepasang mata biru langit yang mencerahkan. Senyum di bibir merah wanita itu terlihat begitu manis, persis dengan apa yang pernah John ingat tentang istrinya.
“Maaf!” ucap wanita itu ketika ia secara tidak sengaja menabrak John. John tersenyum, menggeleng, lalu tanpa sadar memberikan namanya.
“Aku Emmy.” Ucap wanita itu. “Emmy Roswell. Aku selalu melihatmu disini setiap Kamis dan Sabtu. Kau penggemar pergelaran teater?”
“Ya.” Jawab John cepat tanpa berpikir. Sungguh! Senyum yang ditunjukkan oleh wanita itu benar-benar membiusnya.
“Kau luar biasa.” Ucap John. “Maksudku…, apa yang kau lakukan diatas panggung tadi. Aku bukan profesional dalam menilai tapi…, yah. Kau tahu? Kau layak menjadi pemeran utama.”
“Terima kasih.” Bala Emmy dibarengi dengan sebuah senyum. “Aku harus pergi. Kau akan menonton Sabtu nanti?”
“Tentu.” Jawab John sesaat sebelum ia melihat kepergian wanita itu.
John kini mulai sering mendatangi teater setelah berkenalan dengan Emmy. Apakah ia jatuh cinta lagi? Jika memang begitu, kenapa tidak? Emmy sepertinya juga tertarik dengannya. Hari Sabtu itu John menonton pertunjukannya, yang terbilang cukup sukses meski penontonnya sedikit. Hari Kamis ia datang lagi untuk menonton latihan. Setelah latihan, ia mengobrol banyak dengan Emmy.
Kini dapat dikatakan bahwa John sudah kenal betul dengan sosok wanita muda itu. Ia senang berbicara dengan Emmy bukan karena ia terlihat mirip dengan mendiang istrinya. Namun Emmy memang enak untuk diajak bicara. Seolah mereka memang sengaja dipertemukan dengan adanya teater Dorset itu.
Pada hari Minggu, seperti biasa, John duduk di bangku paling atas untuk melihat pergelaran drama di teater tua itu. Tema drama pada malam hari itu terdengar cukup unik dan sedikit konyol. Namun apa yang ia tonton bukanlah sebuah komedi.
Setiap pasang mata memandang dengan serius dan penuh rasa takjub ke arah para artis yang dengan baik dapat memerankan peran yang mereka bawa. Ada tangis, tawa, dan juga emosi di dalamnya. John harus mengakui, bahwa sutradara dari para artis ini memiliki tangan dingin.
John tengah menikmati sebuah adegan yang sedikit monoton saat tiba-tiba saja ia merasakan sebuah hawa dingin mengalir di belakang kepalanya. Detik berikutnya, matanya menjadi kabur, dan untuk sepersekian detik ia seperti melihat sosok hitam terpampang di hadapanannya. Sosok yang tidak jelas, yang menghalangi pandangan kedua matanya.
John mengerjap, berusaha menghilangkan gambaran hitam di depan matanya itu. Dan ternyata berhasil. Hilang. Apa itu tadi?
Ternyata kedua mata John mengalami hal yang sama beberapa menit kemudian. Sebuah kilatan cahaya kini membutakannya, memaksanya untuk memejamkan kedua matanya. Tapi apa yang terjadi ketika ia membuka matanya? Keadaan di panggung terlihat mengerikan. Ia melihat sesosok tubuh tergantung tepat di tengah-tengah panggung. Benarkah apa yang ia lihat itu? John mengerjap, lalu sosok itu hilang. Kini segalanya kembali seperti semula.
John terus mendapatkan gambaran-gambaran aneh itu hingga pertunjukan selesai. Dan ia tidak tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya. Ia keluar dari teater dengan perasaan bingung, disertai pertanyaan yang terus berputar di dalam kepalanya. Apa yang terjadi padanya? Mungkin…, ia hanya kelelahan?
Jawaban itu ternyata salah. John mengalami sebuah mimpi yang tidak biasa malam itu. Ia seperti tengah berada di tengah-tengah bangku teater Dorset, memandang lurus ke arah bagian tengah panggung dimana ia melihat ada dua sosok pria dan wanita disana. Ia tidak tahu siapa pria itu, tapi ia tahu dengan jelas siapa wanita itu. Emmy. Ia terlihat tengah berdebat dengan sang pria. John tidak tahu apa yang tengah mereka perdebatkan. Mimpinya itu terlihat lebih aneh ketika ia tidak dapat mendengarkan apapun dan hanya dapat melihat.
Ia melihat Emmy menangis. Apa karena apa yang telah pria itu ucapkan? John bersumpah di dalam hati bahwa jika ia melihat pria itu lagi, ia mungkin akan mmeberikan pelajaran padanya karena telah membuat Emmy menangis. Tapi…, bukankan ini hanya mimpi?
John membuka kedua matanya dengan nafas terengah-engah seolah ia baru saja berlari. Keringat dingin membasahi kaos yang ia pakai. Apa maksud dari mimpinya itu?
Hari Kamis, John datang lagi ke teater. Ia berniat untuk bertemu dengan Emmy dan mungkin akan menceritakan sedikit mengenai mimpinya. Namun sayangnya, Emmy tidak hadir hari itu. Ia sudah bertanya pada beberapa artis lain, namun mereka tidak tahu. Mereka malah memberikan tatapan aneh padanya ketika ia menyebutkan nama Emmy Roswell.
Hari Minggu John datang lagi untuk menonton pertunjukan. Pertunjukan kali itu terbilang cukup singkat karena ceritanya sendiri terbilang cukup pendek. Namun ada hal lain yang terjadi pada John, yang mungkin tidak akan ia percayai seandainya ia tidak sadar bahwa ia masih hidup. Atau…, apakah ia hanya berhalusinasi?
Kedua matanya kembali disilaukan oleh sebuah cahaya terang yang datangnya dari arah tengah panggung. Dan ketika ia membuka matanya kembali, keadaan dan atmosfir di sekelilingnya telah berubah. Teater Dorset terlihat lebih bagus dari biasanya. Cat-catnya masih baru, dan deretan kursinya masih terlihat bersih. Anehnya lagi, para penonton yang sebelumnya berada di depannya kini telah menghilang. Panggung terlihat kosong. Tidak ada orang sama sekali. Tapi…
Ia mendengar derap langkah dari arah depannya. Dari arah panggung. Beberapa detik kemudian, munculah Emmy diikuti oleh seorang pria yang John lihat dalam mimpinya. Mereka berdebat, seperti apa yang terjadi di dalam mimpinya.
“Emmy!” panggil John. Anehnya, ia tidak dapat mendengar suaranya sendiri. Emmy pun sepertinya tidak sadar dengan kehadirannya. John mencoba bergerak mendekat, namun seperti ada jerat di kakinya yang memaksanya untuk tetap berada di tempat.
“Emmy!” teriak John lagi. Tapi teriakannya itu sia-sia. Warna dari ruangan yang ia tempati itu tiba-tiba saja berubah menajdi sedikit kelabu, suram, lalu berubah lagi menjadi warna sepia yang menyedihkan. John, seperti saat sedang menonton film, hanya dapat menyaksikan pertengkaran hebat antara Emmy dan pria itu. Ia tidak dapat melakukan apapun. Ketika ia mulai terbenam dalam perasaan sedihnya, tiba-tiba saja lantai yang ada di bawah kakinya begetar. Bergetar begitu hebat, seperti ada gempa dalam skala besar. Lalu…
Penglihat yang John terima begitu menyiksa hatinya. Emmy dan pria itu menghilang. Namun digantikan dengan sebuah pemandangan yang begitu menyiksa, begitu memilukan, dan John tidak akan bisa bertahan melihat pemandangan seperti itu. Ia berteriak keras, saat melihat tubuh Emmy tergantung di langit-langit gedung opera.
John mengerjapkan kedua matanya. Dan tiba-tiba saja, keadaan yang sesungguhnya telah kembali. Gedung tua, dengan sedikit penonton, lalu para artis yang tengah pentas di tengah panggung. Ya. Semuanya telah kembali seperti semula. Namun apa yang baru saja terjadi? Apa dia tertidur?
“Kau bukan yang pertama.” Ucap sebuah suara yang tiba-tiba saja hadir di sisi John. John memutar kepalanya cepat, dan menemukan sosok pria tua pemilik gedung teater itu.
“Apa?”
Pria tua itu menoleh ke arahnya, dengan tatapan tajam yang begitu menakutkan. Namun pria itu sama sekali tidak berniat untuk mengintimidasi John. John tahu itu.
“Apa yang Anda…”
“Penglihatan-penglihatan itu.” Potong si pria tua. “Lalu mimpi yang kau dapatkan di malam hari mengenai seorang gadis yang dulu pernah menjadi primadona gedung ini. Emmy Roswell.”
“Apa?! Bagaiman Anda…”
Mulut John terkatup seketika. Ia tidak menyadari, bahwa apa yang tengah dibicarakan oleh pria tua itu adalah kisah seorang gadis yang dulu pernah menjadi artis di teater ini. Gadis itu…
“Ikut aku, nak!”
John seperti seekor anjing yang bergerak mengikuti majikannya. Pria tua itu membawa John keluar dari gedung, lalu bergerak ke arah bagian belakang gedung teater dimana yang ada di sana hanyalah sepetak halaman kosong yang penuh dengan rumput. John dibawa ke bagian tengah halaman kecil itu. Dan ketika ia melihat sebuah nisan kecil di antara rerumputan kering, tubuhnya melonjak.
“Emmy Roswell.” Ucap pria tua itu. “Sudah bertahun-tahun sejak hal itu terjadi. Kisah tragis, dimana seorang aktris seperti dirinya harus mengakhiri hidup dengan cara yang mengenaskan.”
John kini mengerti dengan apa yang dilihatnya. Pertengkaran Emily dengan pria itu, lalu tubuh yang tergantung itu…
“Siapa pria itu?” tanya John dengan nada bergetar, percampuran antara rasa sedih dan amarah.
“Siapa pria brengsek yang memaksa Emmy untuk gantung diri itu?”
Pria tua itu menoleh ke arah John. Ia menunduk selama beberapa detik, lalu mengarahkan pandangannya kembali pada John.
“Hanya seorang sutradara kecil yang dulu pernah bekerja disini.” Jawab pria tua itu. “Dan dialah yang bertanggung jawab atas kematian Emmy. Pria itu…, membuat Emmy kehilangan kesempatan emas untuk dapat menjajaki karir di New Himpton. Emmy begitu tertekan dengan sikap sang sutradara yang memaksanya, bahkan mengancamnya, untuk tetap tinggal di Dorset. Tapi pada akhirnya…”
“Jadi karena kejadian itu…” ucap John. “Tempat ini kini jarang didatangi pengunjung lagi? Karena kematian Emmy?”
“Bagaimana menurutmu?”
John tidak tahu ia harus berkata apa. Bahkan ia tidak tahu apa yang harus ia pikirkan. Otaknya kini hanya dipenuhi dengan senyum menawan dari wanita itu. Emmy Roswell. John tertawa kecil, ketika menyadari bahwa memorinya kini hanya dipenuhi dengan sosok wanita itu.
“Kurasa ini cara Emmy mengingatkanku.” Ucap John. “Emmy, mirip dengan istriku. Dan aku terus berduka karena kematian istriku. Emmy…, mungkin mencoba untuk menyenangkan hatiku.”
“Apa kau akan terus datang ke tempat ini setelah kini kau mengetahui cerita yang sesungguhnya?” tanya pria tua itu. “Teater ini…, akan segera dirubuhkan.”
“Ya.” Jawab John. “Selama gedung ini masih berdiri, aku akan terus datang. Untuk mengenang istriku…, dan juga… Emmy.”
Itulah keputusan John Summer. Selama masih ada teater, ia akan terus mengunjunginya. Mungkin ia tidak akan bertemu lagi dengan Emmy. Namun, ia akan tetap mengenangnya. Sama seperti saat ia mengenang mendiang istrinya.

****