Thursday, October 15, 2015

KISAH TRAGIS THEATER DORSET



John Summer tidak pernah sedikitpun menyukai yang namanya adegan drama atau pagelaran teatrikal. Namun entah kenapa ia, selama beberapa minggu terakhir, selalu mengunjungi teater tua yang ada di jalan Dorset itu. Teater yang dibangun puluhan tahun yang lalu itu sudah tidak bisa lagi mengundang penonton. Paling-paling, jika ada pertunjukan besar, penonton yang masuk tidak akan lebih dari lima puluh orang.
Gedung itu sudah begitu tua dengan cat yang sudah mengelupas. Deretan bangku penonton berwarna merahnya pun sudah banyak yang berlubang, lepas, atau bahkan sama sekali tidak layak untuk diduduki. Namun apakah semua itu bisa menghentikan semangat seni yang ada di dalam setiap pemain operanya?
Jawabannya, tidak. Opera tua yang ada di jalan Dorset itu selalu rutin menggelar pertunjukan setiap hari Sabtu. Entah itu drama, drama musikal, atau bahkan hanya sebuah pertunjukan kecil, seperti yang tengah John saksikan.
Hari itu hari Kamis, dimana para pemain teater sedang dalam proses latihan yang akan mereka pertunjukkan di hari Sabtu nanti. John menikmati pertunjukan latihan drama yang dilakukan oleh para artis itu dari bangku paling jauh. Sambil menghisap rokoknya, pikirannya kadang melayang-layang. Mengenang sebuah peristiwa yang begitu membekas di hatinya.
Apa yang membuatnya kini suka dengan pertunjukan drama? Jawabannya mungkin terletak pada kejadian beberapa tahun yang lalu. John memiliki seorang istri yang begitu gemar dengan pertunjukan teatrikal. Di kotanya yang lama, John selalu rajin mengajak istrinya itu untuk menonton sebuah pertunjukan di teater terdekat. Hal itu sudah menjadi semacam jadwal rutin dalam kehidupan rumah tangganya. Namun rupanya jadwal rutin itu harus terhenti saat sebuah peristiwa terjadi.
Sebuah kecelakaan menimpanya saat tengah dalam perjalanan pulang dari teater. Mobilnya ringsek, berguling di pinggir jalan setelah tertabrak oleh sebuah truk dengan pengemudi yang mengantuk. John berhasil keluar dari mobil yang ringsek itu dengan luka yang tidak seberapa. Namun istrinya…
Tidak. John tidak ingin mengingat hal itu lagi. Kata-kata yang keluar dari mulut istrinya itu kini masih terus terngiang di telinganya.
“Terima kasih.” Ucap istrinya dengan nafas terakhirnya. “Pertunjukan yang bagus. Kita akan menonton lagi minggu depan?”
John tidak pernah mengira bahwa hari itu, hari dimana ia bisa berbahagia menonton pertunjukan drama dengan istrinya, menjadi hari terakhir ia bisa melihat senyum di wajah istrinya itu. Dan kini, untuk mengenang masa-masa menyenangkan itu, ia selalu hadir di teater Dorset.
Kedua mata John terpaku pada sosok seorang wanita yang berdiri di ujung panggung. Seorang artis muda, yang mungkin, belum begitu berpengalaman dalam dunia akting dan hanya menjadi figuran dalam drama yang akan dipentaskan. Terlihat ia tidak banyak melakukan adegan. Dan ia juga tidak banyak mendapatkan teriakan dari sang sutradara.
John berpikir, mungkin dalam beberapa tahun kedepan, gadis itu akan menjadi aktris teater yang luar biasa. Entah kenapa, ia dapat merasakan aura yang menyenangkan saat ia memandangi sosok gadis itu. Ia seperti…, melihat istrinya kembali.
“Menyenangkan, bukan?” ucap seorang pria tua yang tiba-tiba saja sudah ahdir di kursi sebelah John. Pria itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, melipat lengannya di depan dada, lalu memandang lurus ke depan ke arah kerumunan artis yang tengah berlatih.
“Aku sering melihatmu disini.” Ucap pria itu lagi. “Kau suka dengan tempat ini?”
“Ya.” Jawab John. “Aku…, suka dengan apa yang mereka lakukan.”
“Para artis belia itu…, yah. Mereka tidak tahu.”
“Tidak tahu apa?”
“Tempat ini akan segera ditutup.”
“Apa?!”
Pria itu menoleh ke arah John. Pria tua, dengan rambut tipis di atas kepalanya itu, terlihat begitu sedih. Terlihat jelas dari sorot kedua mata cekungnya itu.
“Sungguh…” ucapnya. “Aku tidak percaya hal ini akan terjadi. Sudah puluhan tahun aku mengelola tempat ini. Tempat yang menyenangkan, dimana aku bisa melihat tawa canda di wajah mereka. Tempat ini, seperti sebuah pabrik mimpi bagiku. Tapi tidak akan lama lagi.”
“Apa yang terjadi?” tanya John.
“Mereka akan membangun sebuah gedung lain di tempat ini. Hanya itu yang kudengar.”
“Kenapa kau tidak menolaknya?”
“Kau pikir aku bisa mempengaruhi banyak orang?” balas pria tua itu. “Jika saja tidak ada kejadian itu, mungkin orang-orang tidak akan berpikiran buruk mengenai teater ini.”
“Kejadian apa?”
John sama sekali tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu. Pria itu hanya terkekeh, sambil menggeleng pelan.
“Kurasa aku tidak perlu menceritakannya.”
John kembali mengarahkan pandangannya pada kerumunan yang ada di panggung. Ia melihat gadis itu lagi. Gadis yang membuatnya merasa bahwa ia tengah memandangi istrinya itu. Gadis itu kini sudah berpindah tempat. Namun sama seperti tadi, gadis itu tidak banyak bicara. Sebenarnya, peran apa yang ia mainkan?
Pria yang duduk di sebelah John itu akhirnya pergi entah kemana. Sementara John melanjutkan kembali aktivitas menontonnya, hingga latihan akhirnya selesai. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam. John berniat keluar dari teater saat secara tidak sengaja ia bertemu dengan gadis yang selalu dipandangnya tadi.
Gadis itu…, bukan. Wanita muda itu memang terlihat terlalu mirip dengan mendiang istrinya. Warna rambut coklat keemasan, dengan sepasang mata biru langit yang mencerahkan. Senyum di bibir merah wanita itu terlihat begitu manis, persis dengan apa yang pernah John ingat tentang istrinya.
“Maaf!” ucap wanita itu ketika ia secara tidak sengaja menabrak John. John tersenyum, menggeleng, lalu tanpa sadar memberikan namanya.
“Aku Emmy.” Ucap wanita itu. “Emmy Roswell. Aku selalu melihatmu disini setiap Kamis dan Sabtu. Kau penggemar pergelaran teater?”
“Ya.” Jawab John cepat tanpa berpikir. Sungguh! Senyum yang ditunjukkan oleh wanita itu benar-benar membiusnya.
“Kau luar biasa.” Ucap John. “Maksudku…, apa yang kau lakukan diatas panggung tadi. Aku bukan profesional dalam menilai tapi…, yah. Kau tahu? Kau layak menjadi pemeran utama.”
“Terima kasih.” Bala Emmy dibarengi dengan sebuah senyum. “Aku harus pergi. Kau akan menonton Sabtu nanti?”
“Tentu.” Jawab John sesaat sebelum ia melihat kepergian wanita itu.
John kini mulai sering mendatangi teater setelah berkenalan dengan Emmy. Apakah ia jatuh cinta lagi? Jika memang begitu, kenapa tidak? Emmy sepertinya juga tertarik dengannya. Hari Sabtu itu John menonton pertunjukannya, yang terbilang cukup sukses meski penontonnya sedikit. Hari Kamis ia datang lagi untuk menonton latihan. Setelah latihan, ia mengobrol banyak dengan Emmy.
Kini dapat dikatakan bahwa John sudah kenal betul dengan sosok wanita muda itu. Ia senang berbicara dengan Emmy bukan karena ia terlihat mirip dengan mendiang istrinya. Namun Emmy memang enak untuk diajak bicara. Seolah mereka memang sengaja dipertemukan dengan adanya teater Dorset itu.
Pada hari Minggu, seperti biasa, John duduk di bangku paling atas untuk melihat pergelaran drama di teater tua itu. Tema drama pada malam hari itu terdengar cukup unik dan sedikit konyol. Namun apa yang ia tonton bukanlah sebuah komedi.
Setiap pasang mata memandang dengan serius dan penuh rasa takjub ke arah para artis yang dengan baik dapat memerankan peran yang mereka bawa. Ada tangis, tawa, dan juga emosi di dalamnya. John harus mengakui, bahwa sutradara dari para artis ini memiliki tangan dingin.
John tengah menikmati sebuah adegan yang sedikit monoton saat tiba-tiba saja ia merasakan sebuah hawa dingin mengalir di belakang kepalanya. Detik berikutnya, matanya menjadi kabur, dan untuk sepersekian detik ia seperti melihat sosok hitam terpampang di hadapanannya. Sosok yang tidak jelas, yang menghalangi pandangan kedua matanya.
John mengerjap, berusaha menghilangkan gambaran hitam di depan matanya itu. Dan ternyata berhasil. Hilang. Apa itu tadi?
Ternyata kedua mata John mengalami hal yang sama beberapa menit kemudian. Sebuah kilatan cahaya kini membutakannya, memaksanya untuk memejamkan kedua matanya. Tapi apa yang terjadi ketika ia membuka matanya? Keadaan di panggung terlihat mengerikan. Ia melihat sesosok tubuh tergantung tepat di tengah-tengah panggung. Benarkah apa yang ia lihat itu? John mengerjap, lalu sosok itu hilang. Kini segalanya kembali seperti semula.
John terus mendapatkan gambaran-gambaran aneh itu hingga pertunjukan selesai. Dan ia tidak tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya. Ia keluar dari teater dengan perasaan bingung, disertai pertanyaan yang terus berputar di dalam kepalanya. Apa yang terjadi padanya? Mungkin…, ia hanya kelelahan?
Jawaban itu ternyata salah. John mengalami sebuah mimpi yang tidak biasa malam itu. Ia seperti tengah berada di tengah-tengah bangku teater Dorset, memandang lurus ke arah bagian tengah panggung dimana ia melihat ada dua sosok pria dan wanita disana. Ia tidak tahu siapa pria itu, tapi ia tahu dengan jelas siapa wanita itu. Emmy. Ia terlihat tengah berdebat dengan sang pria. John tidak tahu apa yang tengah mereka perdebatkan. Mimpinya itu terlihat lebih aneh ketika ia tidak dapat mendengarkan apapun dan hanya dapat melihat.
Ia melihat Emmy menangis. Apa karena apa yang telah pria itu ucapkan? John bersumpah di dalam hati bahwa jika ia melihat pria itu lagi, ia mungkin akan mmeberikan pelajaran padanya karena telah membuat Emmy menangis. Tapi…, bukankan ini hanya mimpi?
John membuka kedua matanya dengan nafas terengah-engah seolah ia baru saja berlari. Keringat dingin membasahi kaos yang ia pakai. Apa maksud dari mimpinya itu?
Hari Kamis, John datang lagi ke teater. Ia berniat untuk bertemu dengan Emmy dan mungkin akan menceritakan sedikit mengenai mimpinya. Namun sayangnya, Emmy tidak hadir hari itu. Ia sudah bertanya pada beberapa artis lain, namun mereka tidak tahu. Mereka malah memberikan tatapan aneh padanya ketika ia menyebutkan nama Emmy Roswell.
Hari Minggu John datang lagi untuk menonton pertunjukan. Pertunjukan kali itu terbilang cukup singkat karena ceritanya sendiri terbilang cukup pendek. Namun ada hal lain yang terjadi pada John, yang mungkin tidak akan ia percayai seandainya ia tidak sadar bahwa ia masih hidup. Atau…, apakah ia hanya berhalusinasi?
Kedua matanya kembali disilaukan oleh sebuah cahaya terang yang datangnya dari arah tengah panggung. Dan ketika ia membuka matanya kembali, keadaan dan atmosfir di sekelilingnya telah berubah. Teater Dorset terlihat lebih bagus dari biasanya. Cat-catnya masih baru, dan deretan kursinya masih terlihat bersih. Anehnya lagi, para penonton yang sebelumnya berada di depannya kini telah menghilang. Panggung terlihat kosong. Tidak ada orang sama sekali. Tapi…
Ia mendengar derap langkah dari arah depannya. Dari arah panggung. Beberapa detik kemudian, munculah Emmy diikuti oleh seorang pria yang John lihat dalam mimpinya. Mereka berdebat, seperti apa yang terjadi di dalam mimpinya.
“Emmy!” panggil John. Anehnya, ia tidak dapat mendengar suaranya sendiri. Emmy pun sepertinya tidak sadar dengan kehadirannya. John mencoba bergerak mendekat, namun seperti ada jerat di kakinya yang memaksanya untuk tetap berada di tempat.
“Emmy!” teriak John lagi. Tapi teriakannya itu sia-sia. Warna dari ruangan yang ia tempati itu tiba-tiba saja berubah menajdi sedikit kelabu, suram, lalu berubah lagi menjadi warna sepia yang menyedihkan. John, seperti saat sedang menonton film, hanya dapat menyaksikan pertengkaran hebat antara Emmy dan pria itu. Ia tidak dapat melakukan apapun. Ketika ia mulai terbenam dalam perasaan sedihnya, tiba-tiba saja lantai yang ada di bawah kakinya begetar. Bergetar begitu hebat, seperti ada gempa dalam skala besar. Lalu…
Penglihat yang John terima begitu menyiksa hatinya. Emmy dan pria itu menghilang. Namun digantikan dengan sebuah pemandangan yang begitu menyiksa, begitu memilukan, dan John tidak akan bisa bertahan melihat pemandangan seperti itu. Ia berteriak keras, saat melihat tubuh Emmy tergantung di langit-langit gedung opera.
John mengerjapkan kedua matanya. Dan tiba-tiba saja, keadaan yang sesungguhnya telah kembali. Gedung tua, dengan sedikit penonton, lalu para artis yang tengah pentas di tengah panggung. Ya. Semuanya telah kembali seperti semula. Namun apa yang baru saja terjadi? Apa dia tertidur?
“Kau bukan yang pertama.” Ucap sebuah suara yang tiba-tiba saja hadir di sisi John. John memutar kepalanya cepat, dan menemukan sosok pria tua pemilik gedung teater itu.
“Apa?”
Pria tua itu menoleh ke arahnya, dengan tatapan tajam yang begitu menakutkan. Namun pria itu sama sekali tidak berniat untuk mengintimidasi John. John tahu itu.
“Apa yang Anda…”
“Penglihatan-penglihatan itu.” Potong si pria tua. “Lalu mimpi yang kau dapatkan di malam hari mengenai seorang gadis yang dulu pernah menjadi primadona gedung ini. Emmy Roswell.”
“Apa?! Bagaiman Anda…”
Mulut John terkatup seketika. Ia tidak menyadari, bahwa apa yang tengah dibicarakan oleh pria tua itu adalah kisah seorang gadis yang dulu pernah menjadi artis di teater ini. Gadis itu…
“Ikut aku, nak!”
John seperti seekor anjing yang bergerak mengikuti majikannya. Pria tua itu membawa John keluar dari gedung, lalu bergerak ke arah bagian belakang gedung teater dimana yang ada di sana hanyalah sepetak halaman kosong yang penuh dengan rumput. John dibawa ke bagian tengah halaman kecil itu. Dan ketika ia melihat sebuah nisan kecil di antara rerumputan kering, tubuhnya melonjak.
“Emmy Roswell.” Ucap pria tua itu. “Sudah bertahun-tahun sejak hal itu terjadi. Kisah tragis, dimana seorang aktris seperti dirinya harus mengakhiri hidup dengan cara yang mengenaskan.”
John kini mengerti dengan apa yang dilihatnya. Pertengkaran Emily dengan pria itu, lalu tubuh yang tergantung itu…
“Siapa pria itu?” tanya John dengan nada bergetar, percampuran antara rasa sedih dan amarah.
“Siapa pria brengsek yang memaksa Emmy untuk gantung diri itu?”
Pria tua itu menoleh ke arah John. Ia menunduk selama beberapa detik, lalu mengarahkan pandangannya kembali pada John.
“Hanya seorang sutradara kecil yang dulu pernah bekerja disini.” Jawab pria tua itu. “Dan dialah yang bertanggung jawab atas kematian Emmy. Pria itu…, membuat Emmy kehilangan kesempatan emas untuk dapat menjajaki karir di New Himpton. Emmy begitu tertekan dengan sikap sang sutradara yang memaksanya, bahkan mengancamnya, untuk tetap tinggal di Dorset. Tapi pada akhirnya…”
“Jadi karena kejadian itu…” ucap John. “Tempat ini kini jarang didatangi pengunjung lagi? Karena kematian Emmy?”
“Bagaimana menurutmu?”
John tidak tahu ia harus berkata apa. Bahkan ia tidak tahu apa yang harus ia pikirkan. Otaknya kini hanya dipenuhi dengan senyum menawan dari wanita itu. Emmy Roswell. John tertawa kecil, ketika menyadari bahwa memorinya kini hanya dipenuhi dengan sosok wanita itu.
“Kurasa ini cara Emmy mengingatkanku.” Ucap John. “Emmy, mirip dengan istriku. Dan aku terus berduka karena kematian istriku. Emmy…, mungkin mencoba untuk menyenangkan hatiku.”
“Apa kau akan terus datang ke tempat ini setelah kini kau mengetahui cerita yang sesungguhnya?” tanya pria tua itu. “Teater ini…, akan segera dirubuhkan.”
“Ya.” Jawab John. “Selama gedung ini masih berdiri, aku akan terus datang. Untuk mengenang istriku…, dan juga… Emmy.”
Itulah keputusan John Summer. Selama masih ada teater, ia akan terus mengunjunginya. Mungkin ia tidak akan bertemu lagi dengan Emmy. Namun, ia akan tetap mengenangnya. Sama seperti saat ia mengenang mendiang istrinya.

****

No comments:

Post a Comment