Daniel bertanya, “Apakah aku pernah bercerita tentang kisah
si tua Williamson?”
Kebiasaan lama Daniel itu
dimulai lagi. Remaja berusia tujuh belas tahun yang saat ini duduk di tahun
terakhir sma itu memiliki hobi yang sedikit aneh bila dibandingkan dengan
teman-teman sebayanya. Ia senang mendengar cerita-cerita aneh dan misterius,
bahkan yang berkesan horor. Ia gemar dengan hal-hal yang menjijikkan dan yang
bagi sebagian besar orang mengerikan. Tapi hal-hal itulah yang membuat Daniel
berbeda dan disenangi oleh kawan-kawannya. Terutama kedua temannya yang saat
itu ikut duduk di kantin bersamanya.
Travis, teman Daniel si
penyuka sepak bola itu mendengarkan pertanyaan Daniel sambil lalu. Ia terlalu
sibuk menyedot es jeruknya dan sama sekali tidak mau menjawab apa yang baru
saja Daniel tanyakan.
Kecuali gadis di sebelah
Travis, Chloe. Yang sepertinya menyimpan perasaan suka pada Daniel, dan karena
itulah ia lebih sering menanggapi ucapan-ucapan Daniel daripada teman-teman
yang lain. Ia memandang Daniel dengan tatapan penuh keingintahuan.
“Belum.” Ucap Chloe menjawab
pertanyaan Daniel tadi. “Siapa si tua Williamson?”
“Dia adalah orang misterius
yang tinggal di dekat pemakaman Blackwood. Kau tahu? Rumah besar yang angker
itu?”
“Oh! Tidak lagi!”
Travis menguap, bosan dengan
cerita-cerita seram yang selalu saja menjadi agenda rutin Daniel setiap kali jam
istirahat. Ya. Hobi Daniel adalah mencoba menceritakan cerita-cerita seram
dengan harapan teman-temannya ketakutan. Namun kemampuan berceritanya yang
sudah bisa dianggap terlalu mahir dan meyakinkan itu sepertinya tidak mempan
lagi pada Travis.
“Dengar! Ini masalah serius.”
“Seserius apa? Tidak lebih
penting dari pertandiangan…”
“Lupakan sepak bola, Travis!
Untuk sementara.”
“Kau tidak menjawab
pertanyaanku.” Ucap Chloe. “Si tua Williamson. Kau perlu menjelaskannya, Dan.
Siapa dia, dan kenapa kau begitu tertarik untuk menceritakannya?”
“Kau tidak tahu tentang pria
itu?” Daniel mengernyit. “Oke. Dia adalah pria yang sudah cukup terkenal di
kota ini. Tentu saja, bukan berarti harus berhubungan dengan hal yang baik.”
“Maksudmu dia kriminal?”
tanya Travis.
“Bukan.” Jawab Daniel. “Dia
adalah orang gila misterius yang sepertinya selalu memiliki niat jahat setiap
harinya.”
“Oh! Ceritamu membosankan.”
“Dengar, Travis! Si tua
Williamson bukan orang biasa. Ada yang pernah bercerita bahwa si tua itu kerap
melakukan hal-hal aneh yang diluar kewajaran. Sesuatu, yang membuat warga
Blackwood menjauhinya. Seorang antisosial, mungkin juga psikopat.”
“Memangnya apa yang sudah ia
lakukan?”
“Kau tidak akan percaya.”
Ucap Dan. “Dia pernah terlihat sedang menggali kuburan disamping rumahnya pada
malam hari. Lalu beberapa orang pernah mendapatinya berjalan di tepian sungai
pada malam hari. Apa yang ia lakukan malam-malam di sungai? Dia gila. Dan yang
terakhir, mengenai kucing-kucing yang menghilang…”
“Tunggu dulu!” sergah
Travis. “Kucing?”
“Ya. Kucing. Kucing-kucing
liar yang biasanya berkeliaran di sekitar rumah pria itu menghilang. Kau tahu
apa yang ia lakukan? Ia mungkin telah memakan kucing-kucing itu.”
“Eww, Dan! Menjijikkan!” Chloe
membuat wajah jijik. Sebaliknya, Travis langsung terbahak setelah mendengar
ucapan temannya itu.
“Daniel, caramu bercanda
sudah keterlaluan. Dia memakan kucing? Yang benar saja!”
“Silahkan tidak percaya!”
ucap Daniel. “Tapi aku yakin benar bahwa si tua Williamson itu memang
benar-benar mencurigakan.”
Daniel merasa sedikit kesal karena
kini ceritanya tidak didengar dengan sungguh-sungguh. Oh! Paling tidak masih
ada Chloe yang sepertinya tertarik mendengar cerita tentang si tua Williamson
itu.
“Lalu bagaimana?” tanya
Chloe. “Kau hanya akan bercerita, atau kau akan datang ke sana untuk
membukitkannya?”
“Membuk…”
“Ya, Dan!” sahut Travis. Ia
mendekatkan wajahnya ke arah Daniel, lalu berbicara dengan nada suara rendah.
“Kita sebaiknya kesana, dan
membuktikannya.” Ucapnya. “Bagaimana, Dan? Kau takut?”
“Takut?” Daniel mendengus
sambil menyeringai. “Tentu saja tidak. Oke. Kita akan kesana malam ini.”
*
Ketiga remaja itu bertemu
pada malam harinya di depan sebuah taman yang letaknya tidak jauh dari
sekolahan mereka. Malam sudah cukup larut dan keadaan mulai sedikit sepi.
Daniel terlihat begitu bersemangat. Begitu juga dengan gadis itu, Chloe.
Sebaliknya, Travis terlihat ogah-ogahan karena ia kesal harus meninggalkan
tontonan sepak bola yang ia sukai.
“Jadi, apa yang kalian
bawa?” tanya Daniel. “Kalian tidak datang dengan tangan kosong, ‘kan?”
“Memangnya apa yang hari
kami bawa?” Travis balik bertanya. “Kita hanya akan mengintai, bukan menerobos
masuk ke dalam rumah orang itu, ‘kan?”
“Mungkin.” Jawab Daniel.
“Aku bawa senter. Dan…, Oh! Chloe juga bawa senter. Kau, Travis?”
“Aku membawa otakku.”
Tanpa perbincangan tambahan,
ketiga remaja itu akhirnya melangkah pergi. Menysuri jalanan Blackwood yang
gelap, di tengah hawa dingin, dengan lolongan anjing di kejauhan. Udara malam
itu terasa begitu berat. Travis mendapatkan perasaan yang tidak menyenangkan.
Untuk mencapai rumah milik
si tua Williamson, ketiga remaja itu harus berjalan melewati sebuah areal
pemakaman tua yang usdah ada di Blackwood sejak puluhan tahun yang lalu.
Keadaan pemakaman yang gelap membuat suasana menjadi sedikit mengerikan,
terutama bagi Chloe.
“Dia tidak disini.” Ucap
Daniel sambil menyorotkan senternya ke arah pemakaman. Cahaya senternya
memantul pada batu-batu nisan yang sebagin besar sudah rusak oleh cuaca.
Rumah besar bergaya tua yang
terlihat gelap dan mencekam itu akhrinya terlihat beberapa detik kemudian. Jika
digambarkan, rumah itu mirip rumah-rumah hantu yang ada di film-film. Pagar
dari jeruji besi bercat hitam yang telah ditumbuhi tanaman jalar membuat
keadaan rumah itu semakin tidak menyenangkan. Ketiga remaja itu berdiri terpaku
tepat did epan gerbang besar rumah tua itu. Mereka bingung dengan apa yang akan
mereka lakukan.
“Rumah tua.” Gumam Travis.
“Cocok sebagai tempat untuk membuat film horor.”
“Memang ada horor di
dalamnya.” Balas Daniel. “Aku yakin ada yang tidak beres.”
“Bagaimana kau tahu?” tanya
Travis cepat. Daniel hanya mengerling padanya, lalu melepas satu dengusan
nafas.
“Aku hanya menduganya.”
Ketiga pasang mata
remaja-remaja itu terpaku ke arah tingginya bangunan di depan mereka itu. Hanya
terlihat satu cahaya jingga dari sebuah ruangan di lantai atas. Sebagian besar
dari rumah itu berada dalam kegelapan. Langit yang menghitam di belakang rumah
besar itu membuat suasananya semakin tidak mengenakkan.
“Jadi?” tanya Chloe. Ia menyorotkan
senternya ke arah halaman rumah itu, yang dipenuhi dengan tanaman dan rumput
liar. Benar-benar sebuah rumah yang tidak terawat.
“Tentu saja kita akan
masuk.” Ucap Daniel. “Bukankan itu tujuan utama kita?”
Daniel begitu bersemangat
untuk menghadapi teror yang ada di depan kedua matanya. Chloe merasakan hal
yang sama. Sementara Travis…, ia sepertinya hanya ikut-ikutan dan tidak begitu
tertarik.
Dalam beberapa detik, ketiga
remaja itu sudah berada di halaman rumah si tua Williamson setelah menerobos
melalui sebuah celah pagar yang rusak. Ketiganya bergerak perlahan, mengarah ke
samping rumah sambil sesekali melihat ke arah jendela.
Steven mengarahkan cahaya
senternya ke arah jendela-jendela yang gelap itu. Tiba-tiba saja ia melonjak
kaget saat ia, sepertinya, melihat sepasang mata dari balik tirai,
mengamatinya.
“Kau tidak apa-apa, Dan?”
tanya Travis setelah melihat kekakuan dalam wajah temannya itu.
Daniel cepat-cepat membuang
wajah ketetagangan yang bercampur dengan ketakutan itu. Lalu dengan santainya,
ia tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.
“Kita lanjutkan.”
Ketiga remaja itu bertingkah
layaknya seorang pencuri yang tengah mengincar sebuah rumah untuk dirampok.
Tapi jika saja saat itu ada yang melihat ketiganya berkeliaran malam-malam, mungkin
pemikiran seperti itu tidak ada salahnya. Ketiga remaja itu sudah bertindak
nekat, dengan masuk tanpa ijin ke tanah milik orang.
Travis berkali-kali menoleh
kebelakang. Ia sendiri kini merasa bahwa ada sesuatu yang bergerak
dibelakangnya. Rerumputan tingga yang ada di halaman rumah tua itu benar-benar
membuat situasinya mencemaskan. Bagaimana jika tiba-tiba saja ada ular yang
keluar dari arah rerumputan itu?
“Lihat! Apa-apa’an ini?!”
Daniel menunjuk ke arah
sebuah benda yang tergeletak tak jauh darinya. Cahaya senternya menerpa benda
itu, dan membuatnya terlihat jelas. Sebuah ember bekas. Namun apa yang membuat
ketiga remaja itu mengernyit adalah apa yang ada di dalam ember itu.
“Tulang?” Ucap Chloe.
Jelas-jelas apa yang
dilihatnya itu memang tulang. Bukan hanya satu, tapi puluhan tulang yang
bertumpuk menjadi satu layaknya barang bekas yang sudah tidak terpakai. Steve
bergerak mendekat, lalu memeriksa tulang-tulang itu. Tulang yang ia lihat
terlalu kecil jika dibandingkan dengan tulang manusia. Lalu tulang apa itu?
“Ceritamu mengenai kucing
itu…”
“Sssttt!!!”
Ketiga remaja itu bergerak
cepat ke arah kegelapan dan bersembunyi saat tiba-tiba saja terdengar suara
sebuah pintu berderak terbuka. Ketiganya menunggu dengan was-was, lalu melihat
sesosok pria kurus muncul dari dalam rumah dengan membawa sebuah sekop.
Ketiga remaja itu tidak
dapat melihat jelas wajah pria itu. Si tua Williamson yang mencurigakan. Saat
itu pun pria itu melakukan suatu hal yang aneh dan tidak wajar.
Di bawah cahaya langit
malam, ketiga pemuda itu hanya dapat bayangan sosok misterius itu menggali
tanah di halaman belakang rumahnya. Tapi untuk apa? Apa mungkin pria itu
berkebun malam-malam?
“Apa yang ia lakukan?” bisik
Travis. Daniel yang ada di sampingnya hanya dapat mengangkat kedua bahunya.
Pria tua itu meletakkan
sekopnya beberapa saat setelah ia menggali cukup dalam sebuah lubang. Lalu dari
balik jaketnya, ia mengeluarkan sebuah bungkusan besar yang kemudian ia
letakkan di tanah. Daniel, Travis, dan Chloe hanya dapat menebak bahwa mungkin
pria itu akan mengubur bungkusan mencurigakan itu. Tapi apa isinya?”
Ketiga remaja itu terkejut
saat secara tiba-tiba terdengar suara gonggongan anjing yang asalnya dari dalam
rumah. Pria tua itu mengerang, kemudiam meninggalkan pekerjaannya dan masuk ke
dalam rumah. Mungkin untuk memeriksa anjingnya yang terus menggonggong.
“Ini kesempatan kita.” Ucap
Daniel. “Kita lihat apa isi bungkusan itu.”
“Jangan! Sebaiknya kita
pergi.” Ucap Travis. “Pria itu mungkin…”
“Tenang saja!”
Sebelum Travis sempat menghentikan
Daniel, remaja itu sudah melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan
bergerak ke arah lubang yang digali oleh pria tua itu. Travis dan Chloe hanya
dapat menunggu dengan cemas. Mereka takut jika pria itu muncul secara
tiba-tiba.
Travis melihat dengan jelas
saat Daniel mencoba untuk membuka bungkusan misterius itu. Namun tiba-tiba
saja…
Daniel berteriak. Tubuhnya
terjerembab ke tanah sesaat setelah ia membuka bungkusan misterius itu. Sesuatu
yang buruk akan segera terjadi. Travis mendengar dengan jelas langkah-langkah
kaki bergerak dari dala rumah, kemudian…
“Hei, kau!”
Pria tua itu berang. Daniel
yang berada tepat di hadapan pria tua itu dengan cepat bangkit lalu berlari
sambil berteriak ke arah kedua temannya.
“LARI!”
Seperti pencuri yang ketahuan
oleh sang pemilik rumah, ketiga remaja itu berlari tunggang langgang di
sepanjang halaman berumput tinggi itu. Rasa takut akan sosok pria tua itu telah
menjalar ke dalam tubuh ketiganya. Dan tanpa sadari, mereka telah keluar dari
halaman rumah pria tua itu. Dan baru berhenti berlari ketika mereka sadari
bahwa sebenarnya tidak ada yang mengejar mereka.
“Oh! Sialan!”
“Apa yang terjadi? Kenapa
kau berteriak?”
“Kau melihat isi dalam
bungkusan itu?” tanya Chloe dengfan nafas tersengal-sengal.
“Ya.” Jawab Daniel. “Dan
kalian boleh tidak mempercayaiku, tapi apa yang aku lihat adalah sebuah
kenyataan bahwa…”
“Apa? Bahwa apa?”
“Bahwa apa yang dikatakan
oleh orang-orang mengenai sosok si tua Williamson itu benar.”
“Kenapa? Karena apa yang
telah kau lihat? Dari bungkusan itu tadi?”
Daniel membungkuk saat
merasakan perutnya mengencang setelah berlari. Nafasnya masih tersengal dan
belum kembali seperti semula. Di saat yang bersamaan, bayang-bayang dari benda
yang baru saja ia lihat dalam bungkusan tadi menghantuinya. Ia benar-benar mual
jika mengingatnya.
“Daniel!”
“Besok!” ucap Daniel. “Aku
akan menceritakannya besok di sekolah.”
**
“Kucing?!” Travis mengernyit
heran sesaat setelah Daniel menceritakan apa yang ia lihat semalam. Remaja itu
bertukar pandang dengan Chloe, yang sepertinya juga merasakan rasa heran yang
sama. Keduanya mengembalikan pandangan mata mereka pada Daniel.
“Ya. Kucing mati. Dia akan
menguburkannya.” Ucap Daniel. “Kini jelas, ‘kan? Apa yang sering diceritakan
orang mengenai si tua Williamson itu benar. Dia suka memakan kucing.”
“Tapi…”
“Tulang-tulang itu!” lanjut
Daniel tak mengiraukan ucapan Travis. “Tulang-tulang itu kurasa adalah
tulang-tulang dari kucing-kucing liar yang ia tangkap. Kecurigaan terbukti,
‘kan?”
“Belum tentu begitu, Daniel.”
Ucap Travis menolak pernyaataan kawannya itu.
“Kita tidak tahu.”
Lanjutnya. “Kenapa kau yakin bahwa tulang-tulang itu adalah tulang-tulang
kucing? Jika memang benar, belum tentu ia memakannya.”
“Ya.” Tambah Chloe.
“Menjijikkan. Tidak ada orang yang…”
“Terserah apa kata kalian.”
Potong Daniel. Ia kemudian berdiri dari bangku yang ia duduki sambil mencangklong
kembali tasnya.
“Aku akan mencari bukti
bahwa apa yang kita dengar mengenai Williamson itu benar.”
“Bagaimana caranya?”
“Aku belum tahu. Tapi aku
akan melakukannya.”
Daniel sepertinya hanya
menggertak saja pada teman-temannya. Kenyatan yang ia hadapi, sebenarnya
sedikit sulit. Dimana ia bisa mendapatkan bukti bahwa si tua Williamson memang
benar-benar melakukan hal-hal yang aneh? Atau, apa yang bisa ia bukitkan
mengenai tulang-tulang kucing itu?
Daniel menghabiskan beberapa
hari untuk bertanya sana dan sini. Ia mulai menyusun sebuah catatan, yang isinya
adalah komentar-komentar dari beberapa warga mengenai keanehan si tua itu.
“Anda tahu si tua Williamson?”
tanya Daniel pada seorang pria dalam balutan kaos polo berwarna biru yang saat
itu tengah duduk di bangku halte.
“Anda sudah pernah
mendengarnya, ‘kan? Si tua Williamson, pria yang aneh yang tinggal di dekat
pemakaman tua. Anda tahu?”
Pria itu melepas satu
tawanya sambil terus bersikap santai di atas bangku yang ia duduki. Selama
beberapa detik, wajah pria itu memandang ke arah Daniel.
“Kenapa?” tanya pria itu.
“Aku hanya bertanya. Anda
tahu?”
“Ya. Tentu saja aku tahu.
Seorang pria tua yang…”
“Dianggap aneh di kota ini.”
Sahut Daniel. Ia kemudian memperlihatkan buku catatannya, dimana di dalamnya
tertulis berlembar-lembar kata yang menyatakan bahwa si tua Williamson itu
memang sudah benar gila. Pria itu terlihat memandangi tulisan yang ada di dalam
catatan Daniel, kemudian mendengus sambil tertawa kecil. Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kau berimajinasi terlalu
tinggi, nak. Sebaiknya kau…”
“Tidak!” bantah Daniel. Ia
menutup kembali catatan yang menjadi bahan tertawaan pria itu, lalu bangkit
dari tempatnya duduk.
“Aku tahu bahwa ada yang
tidak beres dengan si tua Williamson. Dan aku akan membuktikannya.”
Lagi-lagi kata yang sama
keluar dari mulut remaja itu. Ia ingin membuktikannya, tapi hingga detik itu ia
belum menemukan satupun bukti kecuali cerita-cerita yang ia kumpulkan di dalam
buku catatannya. Daniel kemudian merencanakan sesuatu yang nekat. Terlalu
nekat, bahkan untuk ukuran dirinya.
Malam itu ia memutuskan
untuk mengunjungi rumah tua itu. Sendirian, tanpa teman. Memang apa yang akan
ia lakukan terdengar sedikit berlebihan. Namun dimana ia akan bisa menemukan
bukti untuk semua cerita aneh Williamson selain di rumah tua itu?
Keadaan di sekita rumah tua
itu sama seperti sebelumnya. Gelap, terlihat begitu menyeramkan saat tersiram
cahaya bulan. Belum lagi, rumah itu terletak persis di sebelah sebuah pemakaman
tua yang katanya memang angker.
Daniel mencoba membuang
semua pikiran konyolnya mengenai apa yang akan terjadi. Dengan langkah berani ia
mulai bergerak ke arah halaman rumah pria tua itu, dan menyelinap masuk seperti
yang ia lakkan beberapa hari yang lalu. Ia bergerak di sepanjang halaman
samping rumah tua itu, bergerak diantara rerumputan setinggi lutut. Cahaya
bulan malam itu sedikit membantu pergerakannya, hingga akhirnya ia sampai di
halaman belakang rumah pria tua. Ia sadari, bahwa lubang yang dibuat oleh pria
tua itu beberapa hari yang lalu telah tertutup. Mungkin pria tua itu sudah
berhasil menguburkan kucing mati itu.
Daniel menghentikan
langkahnya saat tiba-tiba saja lampu dari sebuah ruangan di bagian belakang
rumah pria tua itu menyala. Dan Daniel melihat, dari sebuah jendela, sosok pria
tua itu bergerak di dalam ruangan. Daniel tidak tahu apakah pria tua itu akan
keluar rumah atau tidak. Namun jika hal itu memang benar terjadi, ia harus
cepat-cepat mencari tempat bersembunyi.
Tidak. Pria tua itu ternyata
tidak keluar dari rumah. Daniel memberanikan diri untuk mendekati jendela, lalu
dari sebuah celah yang terbuka ia mengintip ke dalam ruangan.
Sebuah ruang makan yang
terlihat tenang terlihat jelas di depan kedua matanya. Tidak ada yang aneh dari
keadaan di dalam rumah tua itu, kecuali hadirnya sosok pria tua itu yang
terlihat duduk di salah satu meja makan. Seekor anjing besar terlihat duduk di
sampingnya, dengan manja meletakkan kepalanya di pangkuan pria tua itu.
Daniel menunggu seandainya
pria tua akan melakukan sesuatu yang aneh, yang mungkin akan menjadi bukti atas
cerita-cerita aneh yang pernah ia dengar. Namun…, tidak. Semuanya terlihat
normal. Bahkan pria tua itu terlihat terkekeh saat melihat aksi konyol anjing
besarnya. Apakah tawa itu terdengar normal? Ya. Daniel dapat bersumpah bahwa
pria tua itu terlihat begitu normal.
Daniel berencana untuk
mundur dari jendela tempatnya mengintip itu, saat tiba-tiba saja terdengar
sebuah suara pria lain dari bagian dalam rumah. Daniel menghentikan langkahnya
dan kembali mengintip ke dalam ruang makan itu. Siapa? Siapa yang tinggal
bersama pria tua itu? Bukankah pria tua itu tinggal sendirian?
Kenyataan bahwa kini ada
sosok lain yang tinggal di dalam rumah tua membuat Daniel menjadi sedikit
bersemangat. Namun disaat yang bersamaan, ia juga sedikit was-was. Bagaimana
jika sampai orang yang ada di dalam rumah itu tahu bahwa ia sedang mengintip?
“Huh! Cerita konyol.” Ucap
suara tanpa sosok itu. Suara itu terdengar dari ruangan di sebelah ruang makan
yang pria tua itu tempati. Sebuah suara pria, yang sepertinya familiar di
telinga Daniel.
“Oh! Anak-anak itu. Mereka
tidak tahu kenyataannya. Tapi, kurasa bukan masalah, ‘kan John?”
Pria tua itu menyebutkan
nama John. Apakah itu nama dari pria yang saat itu sedang bersamanya? Terdengar
lagi jawaban dari ruang sebelah, ang diikuti dengan sebuah dengusan dan tawa.
Ya. Daniel kini yakin bahwa ia pernah mendengar suara pria itu. Rasanya belum
begitu lama sejak ia terakhir kali mendengarnya. Tapi siapa?
“Mereka mengganggumu?” tanya
pria tanpa sosok itu. “Jika memang begitu, kita harus bertindak. Aku punya
rencana unik untuk mereka.”
“Kau yakin?” tanya pria tua
itu. Lalu, beberapa detik kemudian, sesosok pria muncul dari balik pintu.
Seorang pria dalam balutan kaos polo berwarna biru, terlihat menyeringai ke
arah si tua Williamson. Ia berkata,
“Besok mereka akan tahu.”
Pria itu, tak salah lagi.
Daniel nyaris pingsan saat melihat sosok pria itu. Pria berkaos polo yang ia
temui di halte siang tadi.
**
Daniel tidak dapat melupakan
apa yang ia lihat. Pria berkaos biru, yang ia temui di halte, hadir di depan
kedua matanya di dalam kediaman si tua Williamson. Apakah hanya kebetulan saat
ia bertanya mengenai si tua Williamson pada pria berkaos biru itu, lalu
kemudian pria itu muncul di dalam kediaman si tua Williamson?
Yang lebih membuat Daniel
tidak dapat tidur malam itu adalah perkataan yang diucapkan oleh kedua sosok
yang ada di dalam rumah tua itu. Percakapan aneh yang dilakukan oleh si tua
Williamson dan pria berkaos biru itu.
“Mereka akan beritndak.”
Ucap Daniel dalam hati. Apa yang akan mereka lakukan? Si tua Williamson sudah
tahu bahwa ada tiga remaja yang berani menyusup masuk ke dalam halamannya
seperti pencuri. Pria tua itu mungkin berpikir bahwa ia harus segera melakukan
tindakan jika ada usaha yang sama dari remaja-remaja itu. Dan itulah
pertanyaannya.
Daniel pergi ke sekolah
keesokan harinya pun masih tidak dapat melupakan apa yang terjadi. Dan mungkin,
ia juga merasa khawatir dengan apa yang akan terjadi pada dirinya, Travis, dan
Chloe. Apakah pria berkaos biru itu akan…
“Tidak!” Daniel berteriak
sambil menendang sebuah bang taman yang ada di halaman sekolah. Di bawah
siraman sinar mathari pagi, Daniel tidak seharusnya bercucuran keringat seperti
itu. Apakah karena rasa takutnya yang membuatnya berkeringat dingin seperti
itu?
“Dimana Travis? Chloe?”
Daniel tidak dapat menemukan
kedua temannya itu di sekolah. Dan ia juga sudah bertanya pada orang-orang yang
mungkin tahu keberadaan dua temannya itu, tapi tidak ada hasil. Mereka tidak
tahu kemana perginya Travis dan Chloe.
Daniel tentu saja merasa
bingung. Hanya kedua temannya itulah yang mungkin dapat membantunya untuk
melepaskan segala keluh kesah yang ia rasakan sejak semalam. Namun kini…,
mereka hilang.
Daniel membelalakkan kedua
matanya sedetik kemudian. Ada semacam informasi yang muncul di dalam bagian
otaknya, yang mengatakan bahwa mungkin kedua temannya telah berada dalam
cengkeraman pria berkaos biru itu. Benarkah?
Daniel tidak dapat mendengar
apa yang tengah terjadi di sekeklilingnya saat pikirannya sedang penuh. Namun
sedetik kemudian, ia telah kembali ke dunianya lagi. Begitu ia menoleh ke
samping, ada seorang gadis, adik kelasnya, yang menyodorkan sebuah amplop putih
padanya.
“Untukmu.”
“Dari siapa?” tanya Daniel.
“Seorang pria di gerbang
depan memintaku untuk mengantarkan surat ini kepada Daniel. Kau, ‘kan?”
Daniel terperanjat seketika
saat mendengar kata pria dari apa yang diucapkan oleh gadis di depannya itu. Ia
merebut kembali perhatian gadis itu.
“Pria itu…” ucap Daniel
dengan gugup. “Dia memakai kaos biru?”
“Aku tidak tahu.” Jawab
gadis di depannya. “Dia memakai jaket. Dan kurasa…”
Daniel sudah tidak bisa
berfikir positif lagi setelah mendengar kata-kata mengenai pria berkoas biru,
atau apapun yang menyangkat kejadian semalam. Surat itu…, ya. Daniel
merobeknya, dan menemukan selembar kertas putih bersih dengan tulisan tangan di
bagian tengahnya, yang berbunyi,
“Kedua temanmu ada padaku.
Datanglah. Kita bisa berbicang layaknya sahabat. Tidak ada yang perlu ditakuti.
Kedua temanmu begitu menyenangi permainan yang kuciptakan untuk mereka. Kau,
Daniel, seharusnya juga ikut.”
Di bawah surat itu tertulis
kata ‘Williamson’.
Daniel dengan geram meremas
surat dan amplop yang ia pegang. Kini ia yakin bahwa temannya sedang dalam
bahaya. Dan ia harus segera menyelamtkan mereka sebelum hal-hal lain terjadi.
“Dan!”
Daniel berlari secepat kilat,
tidak menggubris panggilan-panggilan yang ditujukan padanya. Ia tidak peduli
lagi dengan kegiatan sekolahnya hari itu. Hanya ada satu tujuan di dalam
kepalanya. Ya. Teman-temannya.
*
Daniel tidak tahu lagi sudah
berapa lama ia berlari. Yang ada di dalam otanya hanyalah keselamatan kedua
temannya itu. Tapi, kenapa? Kenapa si tua Williamson melakukan hal itu?
Menculik teman-temannya. Mungkin karena pria berkaos biru itu.
Daniel berhenti berlari
ketika ia sampai di depan rumah tua di samping pemakaman itu. Rumah yang besar,
terlihat tak terawat, dan kotor itu tetap saja terlihat mengerikan meski
matahari menyinari area disekitarnya. Daniel ragu untuk beberapa saat. Apakah
teman-temannya memang ada di dalam sana?
Daniel membuka kepalan
tangannya. Di dalamnya terdapat gumpalan kertas yang ia remas tadi, yang berisi
pesan bahwa teman-temannya ada pada pria tua itu. Williamson. Apa yang pria itu
inginkan?
Daniel menghela nafasnya.
Ya. Ia akan masuk ke dalam rumah tua itu dan menarik keluar kawan-kawannya. Tapi,
bagaimana jika ia malah diserang? Tidakkah lebih baik ia meminta pertolongan
seseorang terlebih dahulu?
“Tidak!” teriaknya. Tidak
ada waktu untuk meminta bantuan. Ia harus masuk ke dalam rumah itu sekarang
juga.
Dengan langkah yang pasti
Daniel mulai bergerak mendekati rumah tua itu. Ia menelusup melalui celah pagar
yang terbuka, dan kini bergerak lagi mengarah pada teras rumah besar itu.
Dengan cepat dan keras ia menggedor pintu tua berwarna coklat itu.
“TRAVIS!! CHLOE!!”
Daniel mengintip melalui
jendela yang berdebu dari rumah itu, namun tidak dapat dengan jelas memandang
ke arah bagian dalam rumah. Rumah itu gelap, dan sepi. Apakah Williamson dan
pria berkaos biru itu sedang keluar? Jika memang begitu, ini adalah kesempatan
emasnya untuk melepaskan kedua temannya dari tawanan si gila Williamson.
Daniel berlari memutari
rumah tua itu dan mencoba setiap pintu. Namun usahanya selalu gagal.
Pintu-pintu dikunci dengan rapat, dan sepertinya memang tidak ada jalan masuk
ke dalam rumah tua itu. Atau…
“Oh! Itu dia!”
Daniel melihat sebuah
jendela di lantai dua yang terbuka. Di depan jendela itu terdapat dahan pohon
dari pohon besar yang tumbuh dihalaman. Daniel dengan cepat, penuh kesusahan,
memanjat pohon besar itu, lalu bergerak di dahan yang mengarah ke jendela,
lalu…
Hup! Ia berhasil melompat ke
jendela dan kini sudah ada di dalam kediaman Williamson, keadaan begitu gelap,
remang, sepi, dan sedikit berdebu. Daniel bahkan bisa mendengar langkah kakinya
sendiri.
“Travis! Chloe! Kalian
disini?”
Sama sekali tidak ada
jawaban. Daniel, tanpa sadar, terus bergerak mengikuti langkah kakinya. Dia
tidak tahu harus mencari kemana. Hingga akhirnya ia bergerak menuruni sebuah
tangga, dan tibalah ia di ruang makan dimana kemarin malam ia melihat si tua
Williamson berbincang dengan pria berkaos biru itu.
“TRAVIS!! CHLOE!!”
“Ohh…, kau datang rupanya.”
Daniel dengan egrak cepat
memutar tubuhnya. Kedua matanya membelalak ketika ia melihat dua sosok manusia
telah hadir di depan kedua matanya. Sosok si pria berkaos polo biru, dan juga
si tua Williamson. Keduanya menyeringai ke arahnya, seperti singa yang telah
memojokkan mangsanya. Yang lebih mengerikan lagi, si tua Williamson terlihat
membawa sebilah pisau. Apa yang akan ia lakukan dengan benda itu?
“Kau cukup berani
menginjakkan kaki disini, nak.” Ucap pria berkaos biru. “Setelah apa yang kau
dengar dari warga mengenai si tua Williamson.”
Pria tua itu terkekeh.
Giginya yang tidak begitu rata itu terlihat jelas, menyeringai, penuh dengan
maksud jahat.
“D-dimana temanku?” tanya
Daniel dengan nada bicara bergetar, penuh dengan rasa takut. “Travis…”
“Travis dan Chloe.” Ucap
pria berkaos biru. “Hmmm…, apa yang terjadi pada mereka? Kurasa mereka sudah…,
selesai.”
“KAU MEMBUNUH MEREKA?!!”
Daniel tidak tahu apakah
aksi yang akan ia lakukan itu adalah sebuah keputusan yang tepat. Ia berniat
menerjang maju, akan tetapi kekautan tubuhnya tentu kalah dengan kekuatan tubuh
pria berkaos biru itu.
“Jika kau tidak bisa diam,
maka kau akan ikut dengan mereka.”
“Tidak!”
“Kau takut, Daniel?” pria
berkaos biru itu menyeringai saat melihat ketakutan di wajah remaja di depannya
itu. Si tua Williamson kemudian membungkuk ke arahnya, lalu membuka mulutnya.
“Kami memakan keduanya.”
**
Daniel menjerit sekuat
tenaganya. Ia tidak akan bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya
beberapa saat lagi, saat kedua orang paling kejam dan mengerikan di dunia itu
mulai mengulurkan tangan ke arahnya. Tepat ketika Daniel measa bahwa ajalnya
akan datang, tiba-tiba saja terasa dua cengerakam erat pada kedua pergelangan
tangannya, dan tubuhnya bangkit berdiri. Ia membuka matanya dan melihat kedua
orang itu masih berdiri disana. Terpaku, memandang ke arahnya. Kenapa? Mereka
tidak jadi membunuhnya?
“Oh! Kau berteriak seperti
anak perempuan!”
Suara itu! Daniel mendongakkan
wajahnya, dan melihat dua sosok remaja bergerak turun dari arah lantai atas.
Travis dan Chloe. Mereka terlihat…, begitu normal.
Tawa pecah diantara si tua
Williamson dan si pria berkaos biru itu. Keduanya terkekeh melihat apa yang
baru saja terjadi. Akan tetapi, awan rasa bingung masih menyelimuti otak
Daniel. Apa yang terjadi?
“Kau tidak apa-apa?” tanya
Travis sambil menyeringai. Tersenyum lebar, sambil berkacak pinggang.
“Ehm…”
“Bangun, anak muda!” si pria
berkaos biru menjentikkan jari di depan matanya sambil tersenyum.
“Apa yang terjadi?” tanya
Daniel dengan suara sedikit serak karena tadi terlalu kencang berteriak.
“Kenapa kalian…, kenapa
kalian tidak…”
“Tidak apa?” sahut Chloe.
“Kau aneh, Dan.”
“Kalian, maksudku… kedua
orang ini…”
Si pria berkaos biru itu
masih belum bisa menghentikan tawanya. Sementara si tua Williamson kemudian
membimbing Daniel untuk duduk di salah satu kursi. Ia pun menyajikan segelas es
jeruk padanya.
“Sudah tiba saatnya bagimu
untuk tidak terlalu mempercayai cerita orang begitu saja, Daniel.” Ucap pria
berkaos biru itu. “Karena kau tahu? Mereka yang ada di luar sana juga hanya
mendengar, dan tidak tahu apa-apa.”
“Dan jangan cepat
menyimpulkan.” Tambah Travis. Remaja itu kemudian bergerak turun bersama Chloe
dan duduk di depan Daniel yang terlihat masih pucat.
“Kami bisa menjelaskan
segalanya.” Ucap Travis. “Mengenai permainan kecil yang kami sediakan untukmu.”
“Permainan?!” geram Daniel
marah. “Kukira kalian ada dalam bahaya! Aku tidak main-main saat…”
“Kau pikir kami benar-benar
memakan kedua temanmu ini?” tanya si pria berkaos biru. “Yang benar saja!”
“Ya, Dan. Kau terlalu
mempercayai perkataan orang bahwa Tuan Williamson adalah orang yang aneh,
kejam, dan jahat. Padahal, sesungguhnya, dia adalah pria yang baik hati.”
Kepala Daniel terasa
berputar-putar. Ia masih belum mengerti dengan cuapan yang baru saja Chloe
utarakan.
“Tapi kalian…” ucap Daniel.
“Malam itu…, Williamson…”
“Maksudmu kucing itu?” tanya
si tua Williamson.
“Tn. Williamson hanya akan
mengubur kucing itu.” Ucap Chloe. “Dia menjelaskan, bahwa kucing tersesat itu
sudah sekarat saat ia temukan di teras rumah ini. Dan beberapa jam kemudian,
kucing itu mati. Tn. Williamson hanya akan menguburkannya.”
“Lalu tulang-tulang itu?”
tanya Daniel lagi.
“Kurasa dia yang bertanggung
jawab.” Ucap si tua Williamson. Sedetik kemudian, terdengar deru langkah kaki
dari arah rumah bagian depan, dan munculah seekor anjing besar yang ia lihat
semalam.
“Bruno senang sekali dengan
ayam goreng.” Si tua Williamson mengeluarkan seember ayam goreng cepat saji
dari dalam lemari es, dan memberikan sepotong penuh paha ayam pada anjingnya
itu.
Daniel masih tidak
memeprcatai apa yang terjadi, meski kini ia bersyukur dapat melihat kedua
temannya lagi. Lalu, siapa sebenarnya pria berkaos biru itu?
“Kau menarik perhatianku
kemarin di halte bus, nak.” Ucap pria itu. “Tidak kusangka kau akan
membicarakan ayahku.”
“Ayah…, jadi kau…”
“Namaku Tom. Dan ayahku,
John Williamson. Dia adalah mantan tentara dari divisi infantri ke 29. Pernah ikut
berperang melawan Jerman saat perang dunia kedua. Dan ia memang senang hidup
sendiri. Tidak aneh rasanya jika label ‘si tua yang menyeramkan’ terpasang pada
dirinya. Dia keras, bahkan padaku, tapi seperti yang kau lihat, dia hanyalah
seorang kakek tua biasa yang hidup dengan anjing tercintanya.”
Daniel menundukkan
kepalanya, malu atas apa yang telah ia lakukan. Selama ini ia berpikir bahwa
apa yang diceritakan orang-orang mengenai si tua Williamson itu benar. Pemakan
kucing? Kanibal? Semuanya memang terdengar begitu konyol begitu Daniel tahu
akan kebenarannya.
“Lalu…” ucap Daniel. “Apa
yang Anda lakukan malam-malam di pemakaman? Orang-orang berkata…”
“Aku menggali kuburan?”
sahut pria tua itu. “Tidak. Sebenarnya aku mengembalikan kuburan itu agar
tertutup. Ulah anjing-anjing liar disekitar sini memang merusak. Dan kau tahu
kbar mengenai menghilangnya kucing-kucing liar itu, kurasa juga karena
anjing-anjing itu.”
“Aku… benar-benar minta
maaf, atas apa yang aku…”
“Sudahlah!” ucap pria tua
itu sambil terkekeh sambil mengelus-elus bulu hewan kesayangannya itu.
“Dan kalian!” ucap Daniel
kemudian. “Kenapa kalian ada disini?”
“Kami kesini dengan suka
rela.” Jawab Travis. “Kami ingin membuktikan bahwa apa yang selama ini kau
pikirkan itu tidak benar. Dan nyatanya, kami malam diminta oleh Tom untuk
membantu membersihkan ruang koleksi perang Tn. Williamson.”
“Banyak barang menarik
disana.” Tambah Chloe.
Daniel tersenyum. Senang?
Tentu saja. Tapi yang lebih membuatnya lega adalah kenyataan bahwa sebenarnya
tidak ada yang aneh pada si tua Williamson. Ia kini merasa kasihan. Kenapa
penduduk Blackwood selalu mengecap orang dengan label yang aneh dan tak masuk
akal?
Dengan ini, maka berakhir
pula keingintahuan Daniel mengenai kehidupan di tua Williamson. John
Williamson, ternyata adalah salah seorang pejuang dan juga pahlawan bagi
negaranya ini. Dan Daniel merasa beruntung akhinya bisa bertemu dengan orang
seperti itu.
****
No comments:
Post a Comment