Sunday, October 11, 2015

KISAH SI TUA WILLIAMSON



Daniel bertanya, “Apakah aku pernah bercerita tentang kisah si tua Williamson?”
Kebiasaan lama Daniel itu dimulai lagi. Remaja berusia tujuh belas tahun yang saat ini duduk di tahun terakhir sma itu memiliki hobi yang sedikit aneh bila dibandingkan dengan teman-teman sebayanya. Ia senang mendengar cerita-cerita aneh dan misterius, bahkan yang berkesan horor. Ia gemar dengan hal-hal yang menjijikkan dan yang bagi sebagian besar orang mengerikan. Tapi hal-hal itulah yang membuat Daniel berbeda dan disenangi oleh kawan-kawannya. Terutama kedua temannya yang saat itu ikut duduk di kantin bersamanya.
Travis, teman Daniel si penyuka sepak bola itu mendengarkan pertanyaan Daniel sambil lalu. Ia terlalu sibuk menyedot es jeruknya dan sama sekali tidak mau menjawab apa yang baru saja Daniel tanyakan.
Kecuali gadis di sebelah Travis, Chloe. Yang sepertinya menyimpan perasaan suka pada Daniel, dan karena itulah ia lebih sering menanggapi ucapan-ucapan Daniel daripada teman-teman yang lain. Ia memandang Daniel dengan tatapan penuh keingintahuan.
“Belum.” Ucap Chloe menjawab pertanyaan Daniel tadi. “Siapa si tua Williamson?”
“Dia adalah orang misterius yang tinggal di dekat pemakaman Blackwood. Kau tahu? Rumah besar yang angker itu?”
“Oh! Tidak lagi!”
Travis menguap, bosan dengan cerita-cerita seram yang selalu saja menjadi agenda rutin Daniel setiap kali jam istirahat. Ya. Hobi Daniel adalah mencoba menceritakan cerita-cerita seram dengan harapan teman-temannya ketakutan. Namun kemampuan berceritanya yang sudah bisa dianggap terlalu mahir dan meyakinkan itu sepertinya tidak mempan lagi pada Travis.
“Dengar! Ini masalah serius.”
“Seserius apa? Tidak lebih penting dari pertandiangan…”
“Lupakan sepak bola, Travis! Untuk sementara.”
“Kau tidak menjawab pertanyaanku.” Ucap Chloe. “Si tua Williamson. Kau perlu menjelaskannya, Dan. Siapa dia, dan kenapa kau begitu tertarik untuk menceritakannya?”
“Kau tidak tahu tentang pria itu?” Daniel mengernyit. “Oke. Dia adalah pria yang sudah cukup terkenal di kota ini. Tentu saja, bukan berarti harus berhubungan dengan hal yang baik.”
“Maksudmu dia kriminal?” tanya Travis.
“Bukan.” Jawab Daniel. “Dia adalah orang gila misterius yang sepertinya selalu memiliki niat jahat setiap harinya.”
“Oh! Ceritamu membosankan.”
“Dengar, Travis! Si tua Williamson bukan orang biasa. Ada yang pernah bercerita bahwa si tua itu kerap melakukan hal-hal aneh yang diluar kewajaran. Sesuatu, yang membuat warga Blackwood menjauhinya. Seorang antisosial, mungkin juga psikopat.”
“Memangnya apa yang sudah ia lakukan?”
“Kau tidak akan percaya.” Ucap Dan. “Dia pernah terlihat sedang menggali kuburan disamping rumahnya pada malam hari. Lalu beberapa orang pernah mendapatinya berjalan di tepian sungai pada malam hari. Apa yang ia lakukan malam-malam di sungai? Dia gila. Dan yang terakhir, mengenai kucing-kucing yang menghilang…”
“Tunggu dulu!” sergah Travis. “Kucing?”
“Ya. Kucing. Kucing-kucing liar yang biasanya berkeliaran di sekitar rumah pria itu menghilang. Kau tahu apa yang ia lakukan? Ia mungkin telah memakan kucing-kucing itu.”
“Eww, Dan! Menjijikkan!” Chloe membuat wajah jijik. Sebaliknya, Travis langsung terbahak setelah mendengar ucapan temannya itu.
“Daniel, caramu bercanda sudah keterlaluan. Dia memakan kucing? Yang benar saja!”
“Silahkan tidak percaya!” ucap Daniel. “Tapi aku yakin benar bahwa si tua Williamson itu memang benar-benar mencurigakan.”
Daniel merasa sedikit kesal karena kini ceritanya tidak didengar dengan sungguh-sungguh. Oh! Paling tidak masih ada Chloe yang sepertinya tertarik mendengar cerita tentang si tua Williamson itu.
“Lalu bagaimana?” tanya Chloe. “Kau hanya akan bercerita, atau kau akan datang ke sana untuk membukitkannya?”
“Membuk…”
“Ya, Dan!” sahut Travis. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Daniel, lalu berbicara dengan nada suara rendah.
“Kita sebaiknya kesana, dan membuktikannya.” Ucapnya. “Bagaimana, Dan? Kau takut?”
“Takut?” Daniel mendengus sambil menyeringai. “Tentu saja tidak. Oke. Kita akan kesana malam ini.”

*

Ketiga remaja itu bertemu pada malam harinya di depan sebuah taman yang letaknya tidak jauh dari sekolahan mereka. Malam sudah cukup larut dan keadaan mulai sedikit sepi. Daniel terlihat begitu bersemangat. Begitu juga dengan gadis itu, Chloe. Sebaliknya, Travis terlihat ogah-ogahan karena ia kesal harus meninggalkan tontonan sepak bola yang ia sukai.
“Jadi, apa yang kalian bawa?” tanya Daniel. “Kalian tidak datang dengan tangan kosong, ‘kan?”
“Memangnya apa yang hari kami bawa?” Travis balik bertanya. “Kita hanya akan mengintai, bukan menerobos masuk ke dalam rumah orang itu, ‘kan?”
“Mungkin.” Jawab Daniel. “Aku bawa senter. Dan…, Oh! Chloe juga bawa senter. Kau, Travis?”
“Aku membawa otakku.”
Tanpa perbincangan tambahan, ketiga remaja itu akhirnya melangkah pergi. Menysuri jalanan Blackwood yang gelap, di tengah hawa dingin, dengan lolongan anjing di kejauhan. Udara malam itu terasa begitu berat. Travis mendapatkan perasaan yang tidak menyenangkan.
Untuk mencapai rumah milik si tua Williamson, ketiga remaja itu harus berjalan melewati sebuah areal pemakaman tua yang usdah ada di Blackwood sejak puluhan tahun yang lalu. Keadaan pemakaman yang gelap membuat suasana menjadi sedikit mengerikan, terutama bagi Chloe.
“Dia tidak disini.” Ucap Daniel sambil menyorotkan senternya ke arah pemakaman. Cahaya senternya memantul pada batu-batu nisan yang sebagin besar sudah rusak oleh cuaca.
Rumah besar bergaya tua yang terlihat gelap dan mencekam itu akhrinya terlihat beberapa detik kemudian. Jika digambarkan, rumah itu mirip rumah-rumah hantu yang ada di film-film. Pagar dari jeruji besi bercat hitam yang telah ditumbuhi tanaman jalar membuat keadaan rumah itu semakin tidak menyenangkan. Ketiga remaja itu berdiri terpaku tepat did epan gerbang besar rumah tua itu. Mereka bingung dengan apa yang akan mereka lakukan.
“Rumah tua.” Gumam Travis. “Cocok sebagai tempat untuk membuat film horor.”
“Memang ada horor di dalamnya.” Balas Daniel. “Aku yakin ada yang tidak beres.”
“Bagaimana kau tahu?” tanya Travis cepat. Daniel hanya mengerling padanya, lalu melepas satu dengusan nafas.
“Aku hanya menduganya.”
Ketiga pasang mata remaja-remaja itu terpaku ke arah tingginya bangunan di depan mereka itu. Hanya terlihat satu cahaya jingga dari sebuah ruangan di lantai atas. Sebagian besar dari rumah itu berada dalam kegelapan. Langit yang menghitam di belakang rumah besar itu membuat suasananya semakin tidak mengenakkan.
“Jadi?” tanya Chloe. Ia menyorotkan senternya ke arah halaman rumah itu, yang dipenuhi dengan tanaman dan rumput liar. Benar-benar sebuah rumah yang tidak terawat.
“Tentu saja kita akan masuk.” Ucap Daniel. “Bukankan itu tujuan utama kita?”
Daniel begitu bersemangat untuk menghadapi teror yang ada di depan kedua matanya. Chloe merasakan hal yang sama. Sementara Travis…, ia sepertinya hanya ikut-ikutan dan tidak begitu tertarik.
Dalam beberapa detik, ketiga remaja itu sudah berada di halaman rumah si tua Williamson setelah menerobos melalui sebuah celah pagar yang rusak. Ketiganya bergerak perlahan, mengarah ke samping rumah sambil sesekali melihat ke arah jendela.
Steven mengarahkan cahaya senternya ke arah jendela-jendela yang gelap itu. Tiba-tiba saja ia melonjak kaget saat ia, sepertinya, melihat sepasang mata dari balik tirai, mengamatinya.
“Kau tidak apa-apa, Dan?” tanya Travis setelah melihat kekakuan dalam wajah temannya itu.
Daniel cepat-cepat membuang wajah ketetagangan yang bercampur dengan ketakutan itu. Lalu dengan santainya, ia tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.
“Kita lanjutkan.”
Ketiga remaja itu bertingkah layaknya seorang pencuri yang tengah mengincar sebuah rumah untuk dirampok. Tapi jika saja saat itu ada yang melihat ketiganya berkeliaran malam-malam, mungkin pemikiran seperti itu tidak ada salahnya. Ketiga remaja itu sudah bertindak nekat, dengan masuk tanpa ijin ke tanah milik orang.
Travis berkali-kali menoleh kebelakang. Ia sendiri kini merasa bahwa ada sesuatu yang bergerak dibelakangnya. Rerumputan tingga yang ada di halaman rumah tua itu benar-benar membuat situasinya mencemaskan. Bagaimana jika tiba-tiba saja ada ular yang keluar dari arah rerumputan itu?
“Lihat! Apa-apa’an ini?!”
Daniel menunjuk ke arah sebuah benda yang tergeletak tak jauh darinya. Cahaya senternya menerpa benda itu, dan membuatnya terlihat jelas. Sebuah ember bekas. Namun apa yang membuat ketiga remaja itu mengernyit adalah apa yang ada di dalam ember itu.
“Tulang?” Ucap Chloe.
Jelas-jelas apa yang dilihatnya itu memang tulang. Bukan hanya satu, tapi puluhan tulang yang bertumpuk menjadi satu layaknya barang bekas yang sudah tidak terpakai. Steve bergerak mendekat, lalu memeriksa tulang-tulang itu. Tulang yang ia lihat terlalu kecil jika dibandingkan dengan tulang manusia. Lalu tulang apa itu?
“Ceritamu mengenai kucing itu…”
“Sssttt!!!”
Ketiga remaja itu bergerak cepat ke arah kegelapan dan bersembunyi saat tiba-tiba saja terdengar suara sebuah pintu berderak terbuka. Ketiganya menunggu dengan was-was, lalu melihat sesosok pria kurus muncul dari dalam rumah dengan membawa sebuah sekop.
Ketiga remaja itu tidak dapat melihat jelas wajah pria itu. Si tua Williamson yang mencurigakan. Saat itu pun pria itu melakukan suatu hal yang aneh dan tidak wajar.
Di bawah cahaya langit malam, ketiga pemuda itu hanya dapat bayangan sosok misterius itu menggali tanah di halaman belakang rumahnya. Tapi untuk apa? Apa mungkin pria itu berkebun malam-malam?
“Apa yang ia lakukan?” bisik Travis. Daniel yang ada di sampingnya hanya dapat mengangkat kedua bahunya.
Pria tua itu meletakkan sekopnya beberapa saat setelah ia menggali cukup dalam sebuah lubang. Lalu dari balik jaketnya, ia mengeluarkan sebuah bungkusan besar yang kemudian ia letakkan di tanah. Daniel, Travis, dan Chloe hanya dapat menebak bahwa mungkin pria itu akan mengubur bungkusan mencurigakan itu. Tapi apa isinya?”
Ketiga remaja itu terkejut saat secara tiba-tiba terdengar suara gonggongan anjing yang asalnya dari dalam rumah. Pria tua itu mengerang, kemudiam meninggalkan pekerjaannya dan masuk ke dalam rumah. Mungkin untuk memeriksa anjingnya yang terus menggonggong.
“Ini kesempatan kita.” Ucap Daniel. “Kita lihat apa isi bungkusan itu.”
“Jangan! Sebaiknya kita pergi.” Ucap Travis. “Pria itu mungkin…”
“Tenang saja!”
Sebelum Travis sempat menghentikan Daniel, remaja itu sudah melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan bergerak ke arah lubang yang digali oleh pria tua itu. Travis dan Chloe hanya dapat menunggu dengan cemas. Mereka takut jika pria itu muncul secara tiba-tiba.
Travis melihat dengan jelas saat Daniel mencoba untuk membuka bungkusan misterius itu. Namun tiba-tiba saja…
Daniel berteriak. Tubuhnya terjerembab ke tanah sesaat setelah ia membuka bungkusan misterius itu. Sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Travis mendengar dengan jelas langkah-langkah kaki bergerak dari dala rumah, kemudian…
“Hei, kau!”
Pria tua itu berang. Daniel yang berada tepat di hadapan pria tua itu dengan cepat bangkit lalu berlari sambil berteriak ke arah kedua temannya.
“LARI!”
Seperti pencuri yang ketahuan oleh sang pemilik rumah, ketiga remaja itu berlari tunggang langgang di sepanjang halaman berumput tinggi itu. Rasa takut akan sosok pria tua itu telah menjalar ke dalam tubuh ketiganya. Dan tanpa sadari, mereka telah keluar dari halaman rumah pria tua itu. Dan baru berhenti berlari ketika mereka sadari bahwa sebenarnya tidak ada yang mengejar mereka.
“Oh! Sialan!”
“Apa yang terjadi? Kenapa kau berteriak?”
“Kau melihat isi dalam bungkusan itu?” tanya Chloe dengfan nafas tersengal-sengal.
“Ya.” Jawab Daniel. “Dan kalian boleh tidak mempercayaiku, tapi apa yang aku lihat adalah sebuah kenyataan bahwa…”
“Apa? Bahwa apa?”
“Bahwa apa yang dikatakan oleh orang-orang mengenai sosok si tua Williamson itu benar.”
“Kenapa? Karena apa yang telah kau lihat? Dari bungkusan itu tadi?”
Daniel membungkuk saat merasakan perutnya mengencang setelah berlari. Nafasnya masih tersengal dan belum kembali seperti semula. Di saat yang bersamaan, bayang-bayang dari benda yang baru saja ia lihat dalam bungkusan tadi menghantuinya. Ia benar-benar mual jika mengingatnya.
“Daniel!”
“Besok!” ucap Daniel. “Aku akan menceritakannya besok di sekolah.”

**

“Kucing?!” Travis mengernyit heran sesaat setelah Daniel menceritakan apa yang ia lihat semalam. Remaja itu bertukar pandang dengan Chloe, yang sepertinya juga merasakan rasa heran yang sama. Keduanya mengembalikan pandangan mata mereka pada Daniel.
“Ya. Kucing mati. Dia akan menguburkannya.” Ucap Daniel. “Kini jelas, ‘kan? Apa yang sering diceritakan orang mengenai si tua Williamson itu benar. Dia suka memakan kucing.”
“Tapi…”
“Tulang-tulang itu!” lanjut Daniel tak mengiraukan ucapan Travis. “Tulang-tulang itu kurasa adalah tulang-tulang dari kucing-kucing liar yang ia tangkap. Kecurigaan terbukti, ‘kan?”
“Belum tentu begitu, Daniel.” Ucap Travis menolak pernyaataan kawannya itu.
“Kita tidak tahu.” Lanjutnya. “Kenapa kau yakin bahwa tulang-tulang itu adalah tulang-tulang kucing? Jika memang benar, belum tentu ia memakannya.”
“Ya.” Tambah Chloe. “Menjijikkan. Tidak ada orang yang…”
“Terserah apa kata kalian.” Potong Daniel. Ia kemudian berdiri dari bangku yang ia duduki sambil mencangklong kembali tasnya.
“Aku akan mencari bukti bahwa apa yang kita dengar mengenai Williamson itu benar.”
“Bagaimana caranya?”
“Aku belum tahu. Tapi aku akan melakukannya.”
Daniel sepertinya hanya menggertak saja pada teman-temannya. Kenyatan yang ia hadapi, sebenarnya sedikit sulit. Dimana ia bisa mendapatkan bukti bahwa si tua Williamson memang benar-benar melakukan hal-hal yang aneh? Atau, apa yang bisa ia bukitkan mengenai tulang-tulang kucing itu?
Daniel menghabiskan beberapa hari untuk bertanya sana dan sini. Ia mulai menyusun sebuah catatan, yang isinya adalah komentar-komentar dari beberapa warga mengenai keanehan si tua itu.
“Anda tahu si tua Williamson?” tanya Daniel pada seorang pria dalam balutan kaos polo berwarna biru yang saat itu tengah duduk di bangku halte.
“Anda sudah pernah mendengarnya, ‘kan? Si tua Williamson, pria yang aneh yang tinggal di dekat pemakaman tua. Anda tahu?”
Pria itu melepas satu tawanya sambil terus bersikap santai di atas bangku yang ia duduki. Selama beberapa detik, wajah pria itu memandang ke arah Daniel.
“Kenapa?” tanya pria itu.
“Aku hanya bertanya. Anda tahu?”
“Ya. Tentu saja aku tahu. Seorang pria tua yang…”
“Dianggap aneh di kota ini.” Sahut Daniel. Ia kemudian memperlihatkan buku catatannya, dimana di dalamnya tertulis berlembar-lembar kata yang menyatakan bahwa si tua Williamson itu memang sudah benar gila. Pria itu terlihat memandangi tulisan yang ada di dalam catatan Daniel, kemudian mendengus sambil tertawa kecil. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kau berimajinasi terlalu tinggi, nak. Sebaiknya kau…”
“Tidak!” bantah Daniel. Ia menutup kembali catatan yang menjadi bahan tertawaan pria itu, lalu bangkit dari tempatnya duduk.
“Aku tahu bahwa ada yang tidak beres dengan si tua Williamson. Dan aku akan membuktikannya.”
Lagi-lagi kata yang sama keluar dari mulut remaja itu. Ia ingin membuktikannya, tapi hingga detik itu ia belum menemukan satupun bukti kecuali cerita-cerita yang ia kumpulkan di dalam buku catatannya. Daniel kemudian merencanakan sesuatu yang nekat. Terlalu nekat, bahkan untuk ukuran dirinya.
Malam itu ia memutuskan untuk mengunjungi rumah tua itu. Sendirian, tanpa teman. Memang apa yang akan ia lakukan terdengar sedikit berlebihan. Namun dimana ia akan bisa menemukan bukti untuk semua cerita aneh Williamson selain di rumah tua itu?
Keadaan di sekita rumah tua itu sama seperti sebelumnya. Gelap, terlihat begitu menyeramkan saat tersiram cahaya bulan. Belum lagi, rumah itu terletak persis di sebelah sebuah pemakaman tua yang katanya memang angker.
Daniel mencoba membuang semua pikiran konyolnya mengenai apa yang akan terjadi. Dengan langkah berani ia mulai bergerak ke arah halaman rumah pria tua itu, dan menyelinap masuk seperti yang ia lakkan beberapa hari yang lalu. Ia bergerak di sepanjang halaman samping rumah tua itu, bergerak diantara rerumputan setinggi lutut. Cahaya bulan malam itu sedikit membantu pergerakannya, hingga akhirnya ia sampai di halaman belakang rumah pria tua. Ia sadari, bahwa lubang yang dibuat oleh pria tua itu beberapa hari yang lalu telah tertutup. Mungkin pria tua itu sudah berhasil menguburkan kucing mati itu.
Daniel menghentikan langkahnya saat tiba-tiba saja lampu dari sebuah ruangan di bagian belakang rumah pria tua itu menyala. Dan Daniel melihat, dari sebuah jendela, sosok pria tua itu bergerak di dalam ruangan. Daniel tidak tahu apakah pria tua itu akan keluar rumah atau tidak. Namun jika hal itu memang benar terjadi, ia harus cepat-cepat mencari tempat bersembunyi.
Tidak. Pria tua itu ternyata tidak keluar dari rumah. Daniel memberanikan diri untuk mendekati jendela, lalu dari sebuah celah yang terbuka ia mengintip ke dalam ruangan.
Sebuah ruang makan yang terlihat tenang terlihat jelas di depan kedua matanya. Tidak ada yang aneh dari keadaan di dalam rumah tua itu, kecuali hadirnya sosok pria tua itu yang terlihat duduk di salah satu meja makan. Seekor anjing besar terlihat duduk di sampingnya, dengan manja meletakkan kepalanya di pangkuan pria tua itu.
Daniel menunggu seandainya pria tua akan melakukan sesuatu yang aneh, yang mungkin akan menjadi bukti atas cerita-cerita aneh yang pernah ia dengar. Namun…, tidak. Semuanya terlihat normal. Bahkan pria tua itu terlihat terkekeh saat melihat aksi konyol anjing besarnya. Apakah tawa itu terdengar normal? Ya. Daniel dapat bersumpah bahwa pria tua itu terlihat begitu normal.
Daniel berencana untuk mundur dari jendela tempatnya mengintip itu, saat tiba-tiba saja terdengar sebuah suara pria lain dari bagian dalam rumah. Daniel menghentikan langkahnya dan kembali mengintip ke dalam ruang makan itu. Siapa? Siapa yang tinggal bersama pria tua itu? Bukankah pria tua itu tinggal sendirian?
Kenyataan bahwa kini ada sosok lain yang tinggal di dalam rumah tua membuat Daniel menjadi sedikit bersemangat. Namun disaat yang bersamaan, ia juga sedikit was-was. Bagaimana jika sampai orang yang ada di dalam rumah itu tahu bahwa ia sedang mengintip?
“Huh! Cerita konyol.” Ucap suara tanpa sosok itu. Suara itu terdengar dari ruangan di sebelah ruang makan yang pria tua itu tempati. Sebuah suara pria, yang sepertinya familiar di telinga Daniel.
“Oh! Anak-anak itu. Mereka tidak tahu kenyataannya. Tapi, kurasa bukan masalah, ‘kan John?”
Pria tua itu menyebutkan nama John. Apakah itu nama dari pria yang saat itu sedang bersamanya? Terdengar lagi jawaban dari ruang sebelah, ang diikuti dengan sebuah dengusan dan tawa. Ya. Daniel kini yakin bahwa ia pernah mendengar suara pria itu. Rasanya belum begitu lama sejak ia terakhir kali mendengarnya. Tapi siapa?
“Mereka mengganggumu?” tanya pria tanpa sosok itu. “Jika memang begitu, kita harus bertindak. Aku punya rencana unik untuk mereka.”
“Kau yakin?” tanya pria tua itu. Lalu, beberapa detik kemudian, sesosok pria muncul dari balik pintu. Seorang pria dalam balutan kaos polo berwarna biru, terlihat menyeringai ke arah si tua Williamson. Ia berkata,
“Besok mereka akan tahu.”
Pria itu, tak salah lagi. Daniel nyaris pingsan saat melihat sosok pria itu. Pria berkaos polo yang ia temui di halte siang tadi.

**

Daniel tidak dapat melupakan apa yang ia lihat. Pria berkaos biru, yang ia temui di halte, hadir di depan kedua matanya di dalam kediaman si tua Williamson. Apakah hanya kebetulan saat ia bertanya mengenai si tua Williamson pada pria berkaos biru itu, lalu kemudian pria itu muncul di dalam kediaman si tua Williamson?
Yang lebih membuat Daniel tidak dapat tidur malam itu adalah perkataan yang diucapkan oleh kedua sosok yang ada di dalam rumah tua itu. Percakapan aneh yang dilakukan oleh si tua Williamson dan pria berkaos biru itu.
“Mereka akan beritndak.” Ucap Daniel dalam hati. Apa yang akan mereka lakukan? Si tua Williamson sudah tahu bahwa ada tiga remaja yang berani menyusup masuk ke dalam halamannya seperti pencuri. Pria tua itu mungkin berpikir bahwa ia harus segera melakukan tindakan jika ada usaha yang sama dari remaja-remaja itu. Dan itulah pertanyaannya.
Daniel pergi ke sekolah keesokan harinya pun masih tidak dapat melupakan apa yang terjadi. Dan mungkin, ia juga merasa khawatir dengan apa yang akan terjadi pada dirinya, Travis, dan Chloe. Apakah pria berkaos biru itu akan…
“Tidak!” Daniel berteriak sambil menendang sebuah bang taman yang ada di halaman sekolah. Di bawah siraman sinar mathari pagi, Daniel tidak seharusnya bercucuran keringat seperti itu. Apakah karena rasa takutnya yang membuatnya berkeringat dingin seperti itu?
“Dimana Travis? Chloe?”
Daniel tidak dapat menemukan kedua temannya itu di sekolah. Dan ia juga sudah bertanya pada orang-orang yang mungkin tahu keberadaan dua temannya itu, tapi tidak ada hasil. Mereka tidak tahu kemana perginya Travis dan Chloe.
Daniel tentu saja merasa bingung. Hanya kedua temannya itulah yang mungkin dapat membantunya untuk melepaskan segala keluh kesah yang ia rasakan sejak semalam. Namun kini…, mereka hilang.
Daniel membelalakkan kedua matanya sedetik kemudian. Ada semacam informasi yang muncul di dalam bagian otaknya, yang mengatakan bahwa mungkin kedua temannya telah berada dalam cengkeraman pria berkaos biru itu. Benarkah?
Daniel tidak dapat mendengar apa yang tengah terjadi di sekeklilingnya saat pikirannya sedang penuh. Namun sedetik kemudian, ia telah kembali ke dunianya lagi. Begitu ia menoleh ke samping, ada seorang gadis, adik kelasnya, yang menyodorkan sebuah amplop putih padanya.
“Untukmu.”
“Dari siapa?” tanya Daniel.
“Seorang pria di gerbang depan memintaku untuk mengantarkan surat ini kepada Daniel. Kau, ‘kan?”
Daniel terperanjat seketika saat mendengar kata pria dari apa yang diucapkan oleh gadis di depannya itu. Ia merebut kembali perhatian gadis itu.
“Pria itu…” ucap Daniel dengan gugup. “Dia memakai kaos biru?”
“Aku tidak tahu.” Jawab gadis di depannya. “Dia memakai jaket. Dan kurasa…”
Daniel sudah tidak bisa berfikir positif lagi setelah mendengar kata-kata mengenai pria berkoas biru, atau apapun yang menyangkat kejadian semalam. Surat itu…, ya. Daniel merobeknya, dan menemukan selembar kertas putih bersih dengan tulisan tangan di bagian tengahnya, yang berbunyi,
“Kedua temanmu ada padaku. Datanglah. Kita bisa berbicang layaknya sahabat. Tidak ada yang perlu ditakuti. Kedua temanmu begitu menyenangi permainan yang kuciptakan untuk mereka. Kau, Daniel, seharusnya juga ikut.”
Di bawah surat itu tertulis kata ‘Williamson’.
Daniel dengan geram meremas surat dan amplop yang ia pegang. Kini ia yakin bahwa temannya sedang dalam bahaya. Dan ia harus segera menyelamtkan mereka sebelum hal-hal lain terjadi.
“Dan!”
Daniel berlari secepat kilat, tidak menggubris panggilan-panggilan yang ditujukan padanya. Ia tidak peduli lagi dengan kegiatan sekolahnya hari itu. Hanya ada satu tujuan di dalam kepalanya. Ya. Teman-temannya.
*
Daniel tidak tahu lagi sudah berapa lama ia berlari. Yang ada di dalam otanya hanyalah keselamatan kedua temannya itu. Tapi, kenapa? Kenapa si tua Williamson melakukan hal itu? Menculik teman-temannya. Mungkin karena pria berkaos biru itu.
Daniel berhenti berlari ketika ia sampai di depan rumah tua di samping pemakaman itu. Rumah yang besar, terlihat tak terawat, dan kotor itu tetap saja terlihat mengerikan meski matahari menyinari area disekitarnya. Daniel ragu untuk beberapa saat. Apakah teman-temannya memang ada di dalam sana?
Daniel membuka kepalan tangannya. Di dalamnya terdapat gumpalan kertas yang ia remas tadi, yang berisi pesan bahwa teman-temannya ada pada pria tua itu. Williamson. Apa yang pria itu inginkan?
Daniel menghela nafasnya. Ya. Ia akan masuk ke dalam rumah tua itu dan menarik keluar kawan-kawannya. Tapi, bagaimana jika ia malah diserang? Tidakkah lebih baik ia meminta pertolongan seseorang terlebih dahulu?
“Tidak!” teriaknya. Tidak ada waktu untuk meminta bantuan. Ia harus masuk ke dalam rumah itu sekarang juga.
Dengan langkah yang pasti Daniel mulai bergerak mendekati rumah tua itu. Ia menelusup melalui celah pagar yang terbuka, dan kini bergerak lagi mengarah pada teras rumah besar itu. Dengan cepat dan keras ia menggedor pintu tua berwarna coklat itu.
“TRAVIS!! CHLOE!!”
Daniel mengintip melalui jendela yang berdebu dari rumah itu, namun tidak dapat dengan jelas memandang ke arah bagian dalam rumah. Rumah itu gelap, dan sepi. Apakah Williamson dan pria berkaos biru itu sedang keluar? Jika memang begitu, ini adalah kesempatan emasnya untuk melepaskan kedua temannya dari tawanan si gila Williamson.
Daniel berlari memutari rumah tua itu dan mencoba setiap pintu. Namun usahanya selalu gagal. Pintu-pintu dikunci dengan rapat, dan sepertinya memang tidak ada jalan masuk ke dalam rumah tua itu. Atau…
“Oh! Itu dia!”
Daniel melihat sebuah jendela di lantai dua yang terbuka. Di depan jendela itu terdapat dahan pohon dari pohon besar yang tumbuh dihalaman. Daniel dengan cepat, penuh kesusahan, memanjat pohon besar itu, lalu bergerak di dahan yang mengarah ke jendela, lalu…
Hup! Ia berhasil melompat ke jendela dan kini sudah ada di dalam kediaman Williamson, keadaan begitu gelap, remang, sepi, dan sedikit berdebu. Daniel bahkan bisa mendengar langkah kakinya sendiri.
“Travis! Chloe! Kalian disini?”
Sama sekali tidak ada jawaban. Daniel, tanpa sadar, terus bergerak mengikuti langkah kakinya. Dia tidak tahu harus mencari kemana. Hingga akhirnya ia bergerak menuruni sebuah tangga, dan tibalah ia di ruang makan dimana kemarin malam ia melihat si tua Williamson berbincang dengan pria berkaos biru itu.
“TRAVIS!! CHLOE!!”
“Ohh…, kau datang rupanya.”
Daniel dengan egrak cepat memutar tubuhnya. Kedua matanya membelalak ketika ia melihat dua sosok manusia telah hadir di depan kedua matanya. Sosok si pria berkaos polo biru, dan juga si tua Williamson. Keduanya menyeringai ke arahnya, seperti singa yang telah memojokkan mangsanya. Yang lebih mengerikan lagi, si tua Williamson terlihat membawa sebilah pisau. Apa yang akan ia lakukan dengan benda itu?
“Kau cukup berani menginjakkan kaki disini, nak.” Ucap pria berkaos biru. “Setelah apa yang kau dengar dari warga mengenai si tua Williamson.”
Pria tua itu terkekeh. Giginya yang tidak begitu rata itu terlihat jelas, menyeringai, penuh dengan maksud jahat.
“D-dimana temanku?” tanya Daniel dengan nada bicara bergetar, penuh dengan rasa takut. “Travis…”
“Travis dan Chloe.” Ucap pria berkaos biru. “Hmmm…, apa yang terjadi pada mereka? Kurasa mereka sudah…, selesai.”
“KAU MEMBUNUH MEREKA?!!”
Daniel tidak tahu apakah aksi yang akan ia lakukan itu adalah sebuah keputusan yang tepat. Ia berniat menerjang maju, akan tetapi kekautan tubuhnya tentu kalah dengan kekuatan tubuh pria berkaos biru itu.
“Jika kau tidak bisa diam, maka kau akan ikut dengan mereka.”
“Tidak!”
“Kau takut, Daniel?” pria berkaos biru itu menyeringai saat melihat ketakutan di wajah remaja di depannya itu. Si tua Williamson kemudian membungkuk ke arahnya, lalu membuka mulutnya.
“Kami memakan keduanya.”

**

Daniel menjerit sekuat tenaganya. Ia tidak akan bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya beberapa saat lagi, saat kedua orang paling kejam dan mengerikan di dunia itu mulai mengulurkan tangan ke arahnya. Tepat ketika Daniel measa bahwa ajalnya akan datang, tiba-tiba saja terasa dua cengerakam erat pada kedua pergelangan tangannya, dan tubuhnya bangkit berdiri. Ia membuka matanya dan melihat kedua orang itu masih berdiri disana. Terpaku, memandang ke arahnya. Kenapa? Mereka tidak jadi membunuhnya?
“Oh! Kau berteriak seperti anak perempuan!”
Suara itu! Daniel mendongakkan wajahnya, dan melihat dua sosok remaja bergerak turun dari arah lantai atas. Travis dan Chloe. Mereka terlihat…, begitu normal.
Tawa pecah diantara si tua Williamson dan si pria berkaos biru itu. Keduanya terkekeh melihat apa yang baru saja terjadi. Akan tetapi, awan rasa bingung masih menyelimuti otak Daniel. Apa yang terjadi?
“Kau tidak apa-apa?” tanya Travis sambil menyeringai. Tersenyum lebar, sambil berkacak pinggang.
“Ehm…”
“Bangun, anak muda!” si pria berkaos biru menjentikkan jari di depan matanya sambil tersenyum.
“Apa yang terjadi?” tanya Daniel dengan suara sedikit serak karena tadi terlalu kencang berteriak.
“Kenapa kalian…, kenapa kalian tidak…”
“Tidak apa?” sahut Chloe. “Kau aneh, Dan.”
“Kalian, maksudku… kedua orang ini…”
Si pria berkaos biru itu masih belum bisa menghentikan tawanya. Sementara si tua Williamson kemudian membimbing Daniel untuk duduk di salah satu kursi. Ia pun menyajikan segelas es jeruk padanya.
“Sudah tiba saatnya bagimu untuk tidak terlalu mempercayai cerita orang begitu saja, Daniel.” Ucap pria berkaos biru itu. “Karena kau tahu? Mereka yang ada di luar sana juga hanya mendengar, dan tidak tahu apa-apa.”
“Dan jangan cepat menyimpulkan.” Tambah Travis. Remaja itu kemudian bergerak turun bersama Chloe dan duduk di depan Daniel yang terlihat masih pucat.
“Kami bisa menjelaskan segalanya.” Ucap Travis. “Mengenai permainan kecil yang kami sediakan untukmu.”
“Permainan?!” geram Daniel marah. “Kukira kalian ada dalam bahaya! Aku tidak main-main saat…”
“Kau pikir kami benar-benar memakan kedua temanmu ini?” tanya si pria berkaos biru. “Yang benar saja!”
“Ya, Dan. Kau terlalu mempercayai perkataan orang bahwa Tuan Williamson adalah orang yang aneh, kejam, dan jahat. Padahal, sesungguhnya, dia adalah pria yang baik hati.”
Kepala Daniel terasa berputar-putar. Ia masih belum mengerti dengan cuapan yang baru saja Chloe utarakan.
“Tapi kalian…” ucap Daniel. “Malam itu…, Williamson…”
“Maksudmu kucing itu?” tanya si tua Williamson.
“Tn. Williamson hanya akan mengubur kucing itu.” Ucap Chloe. “Dia menjelaskan, bahwa kucing tersesat itu sudah sekarat saat ia temukan di teras rumah ini. Dan beberapa jam kemudian, kucing itu mati. Tn. Williamson hanya akan menguburkannya.”
“Lalu tulang-tulang itu?” tanya Daniel lagi.
“Kurasa dia yang bertanggung jawab.” Ucap si tua Williamson. Sedetik kemudian, terdengar deru langkah kaki dari arah rumah bagian depan, dan munculah seekor anjing besar yang ia lihat semalam.
“Bruno senang sekali dengan ayam goreng.” Si tua Williamson mengeluarkan seember ayam goreng cepat saji dari dalam lemari es, dan memberikan sepotong penuh paha ayam pada anjingnya itu.
Daniel masih tidak memeprcatai apa yang terjadi, meski kini ia bersyukur dapat melihat kedua temannya lagi. Lalu, siapa sebenarnya pria berkaos biru itu?
“Kau menarik perhatianku kemarin di halte bus, nak.” Ucap pria itu. “Tidak kusangka kau akan membicarakan ayahku.”
“Ayah…, jadi kau…”
“Namaku Tom. Dan ayahku, John Williamson. Dia adalah mantan tentara dari divisi infantri ke 29. Pernah ikut berperang melawan Jerman saat perang dunia kedua. Dan ia memang senang hidup sendiri. Tidak aneh rasanya jika label ‘si tua yang menyeramkan’ terpasang pada dirinya. Dia keras, bahkan padaku, tapi seperti yang kau lihat, dia hanyalah seorang kakek tua biasa yang hidup dengan anjing tercintanya.”
Daniel menundukkan kepalanya, malu atas apa yang telah ia lakukan. Selama ini ia berpikir bahwa apa yang diceritakan orang-orang mengenai si tua Williamson itu benar. Pemakan kucing? Kanibal? Semuanya memang terdengar begitu konyol begitu Daniel tahu akan kebenarannya.
“Lalu…” ucap Daniel. “Apa yang Anda lakukan malam-malam di pemakaman? Orang-orang berkata…”
“Aku menggali kuburan?” sahut pria tua itu. “Tidak. Sebenarnya aku mengembalikan kuburan itu agar tertutup. Ulah anjing-anjing liar disekitar sini memang merusak. Dan kau tahu kbar mengenai menghilangnya kucing-kucing liar itu, kurasa juga karena anjing-anjing itu.”
“Aku… benar-benar minta maaf, atas apa yang aku…”
“Sudahlah!” ucap pria tua itu sambil terkekeh sambil mengelus-elus bulu hewan kesayangannya itu.
“Dan kalian!” ucap Daniel kemudian. “Kenapa kalian ada disini?”
“Kami kesini dengan suka rela.” Jawab Travis. “Kami ingin membuktikan bahwa apa yang selama ini kau pikirkan itu tidak benar. Dan nyatanya, kami malam diminta oleh Tom untuk membantu membersihkan ruang koleksi perang Tn. Williamson.”
“Banyak barang menarik disana.” Tambah Chloe.
Daniel tersenyum. Senang? Tentu saja. Tapi yang lebih membuatnya lega adalah kenyataan bahwa sebenarnya tidak ada yang aneh pada si tua Williamson. Ia kini merasa kasihan. Kenapa penduduk Blackwood selalu mengecap orang dengan label yang aneh dan tak masuk akal?
Dengan ini, maka berakhir pula keingintahuan Daniel mengenai kehidupan di tua Williamson. John Williamson, ternyata adalah salah seorang pejuang dan juga pahlawan bagi negaranya ini. Dan Daniel merasa beruntung akhinya bisa bertemu dengan orang seperti itu.

****




No comments:

Post a Comment