Saturday, November 19, 2016

ROTTIE, SI ANJING MISTERIUS



Patricia selalu mengatakan, “Aku tidak mau punya hewan peliharaan. Terutama anjing.” Namun sepertinya ucapan itu harus bertentangan dengan apa yang ia rasakan.
Sudah ada dua minggu lebih Patricia dan keluarganya menempati rumah baru di kawasan selatan itu. Kota kecil, dengan pemandangan gunung dan hutan yang sejuk membuat tempat itu nyaman untuk ditinggali. Lingkungan tempat rumah itu berda pun terlihat nyaman dan asri. Patricia tidak menyesali kedatangan ke kota itu.
Bagaimana dengan soal anjing itu?
Ya. Sudah ada beberapa hari ini Patricia selalu melihat kelebatan seekor anjing di halaman rumahnya. Ia yang tidak begitu menyukai anjing tidak tahu menahu mengenai jenis anjing apa yang sering berkeliaran di sekitar rumahnya itu. Yang ia tahu, anjing itu tergolong besar, berbulu pendek, dengan warna hitam bercampur dengan jingga di sekitar leher. Wajah anjing itu berwarna hitam, dengan moncong jingga kecoklatan.
“Rottweiler.” Ucap Frank, suaminya suatu pagi saat Patricia lagi-lagi melihat sekelebatan ajing itu di samping rumah. Patricia mengarahkan tatapan matanya pada Frank, menunjukkan ketidaksukaan.
“Aku tidak suka.” Ucap Patricia. “Anjing itu terus mengitari rumah ini tanpa alasan. Anjing liar? Bagaimana jika anjing itu berani masuk rumah?”
“Kau tidak perlau khawatir.” Ucap Frank seraya melipat koran pagi yang selesai ia baca. “Rottweiler itu sepertinya tidak galak. Aku sudah mencoba untuk mendekatinya beberapa hari yang lalu.”
“Kau serius?”
“Kenapa?”
“Frank…” Patricia menggelengkan kepalanya pelan. “Bagaimana jika anjing itu punya penyakit menular? Bagaimana jika…”
“Cukup dengan kata-kata ‘jika’ itu, Pat.” Potong Frank seraya bangkit dari kursi yang ia duduki. Ia bergerak ke arah istrinya, lalu memandang dengan penuh pengertian.
“Aku mengerti dengan perasaanmu. Kau tidak pernah suka dengan anjing. Dan aku tidak akan memaksa. Tapi lakukan satu hal untukku.”
“Apa?”
“Lupakan soal anjing itu, oke?” ucap Frank. “Biarkan anjing itu bebas berkeliaran. Lagipula, belum ada yang dirusak, ‘kan?”
Patricia mendesah pasrah. Ia tahu bahwa tidak ada yang dapat ia lakukan terhadap anjing besar berwarna hitam itu. Rottweiler? Nama yang sedikit asing di telinganya, namun ia sudha pernah membaca soal anjing seperti itu di internet.
Patricia membenci anjing bukan tanpa alasan. Pada saat ia masih kecil, ia hampir saja tewas saat seekor anjing liar menyerangnya sepulang sekolah. Ia harus dirawat di rumah sakit selama sebulan karena luka yang ia derita. Dan sejak saat itu, kedua orang tuanya membenci anjing. Hal itu menurun padanya. Ia tidak suka dengan anjing. Meski saat beranjak dewasa ia akui bahwa tidak semua anjing akan menyerang manusia seperti itu. Ia hanya terlalu takut.
“Ibu, lihat! Anjing itu lagi!” seru Tim, putranya yang baru berusia enam tahun di jendela. Patricia melongok dari jendela, dan ia melihat anjing hitam itu lagi. Duduk di halaman samping rumah dengan tatapan mata ke arah Tim. Patricia mulai kahwatir lagi.
“Jangan mendekatinya, sayang!” ucap Patricia. Ia terlalu khawatir. Kenapa anjing itu tidak mau pergi? Apakah anjing itu tidak punya majikan? Namun dari bulunya yang bersih, anjing itu sepertinya terawat dengan baik. Sudah pasti anjing itu milik salah satu tetangga.
“Aneh.” Pikir Patricia beberapa hari kemudian.
Ia sudah menceritakan soal anjing besar itu pada tetangga sekitar rumahnya, namun tidak ada satupun dari mereka yang mengenal anjing besar itu. Bahkan mereka tidak pernah melihat adanya anjing hitam, terutama yang berjenis Rottweiler.
“Ny. Hick punya satu…” ucap salah seorang teman Patricia. “Kalau tidak salah seekor retriever. Dan tidak berbulu hitam.”
“Aku punya anjing. Tapi seekor pug, kecil. Jelas bukan anjingku.”
Patricia tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk menyingkirkan anjing hitam itu dari pekarangan rumahnya. Ia pernah mencoba menyiram anjing itu dengan air. Anjing itu berlari pergi. Namun kembali setengah jam kemudian.
Anjing itu tidak hanya datang di siang hari. Di malam hari, anjing itu pun dengan tenangnya tidur-tiduran di halaman rumah. Patricia mencoba untuk meyakinkan Frank bahwa ia sudah mulai terganggu dengan adanya anjing itu, tapi…, Frank hanya mengucapkan kata-kata seperti biasanya.
Saat malam tiba, gonggongan anjing itu tidak pernah berhenti. Patricia mulai terganggu, dan nyaris tidak bisa tidur. Ia mengarah ke jendela dan mencoba mengusir anjing itu. Anjing itu malah menyalak ke arahnya.
“Ini sudah keterlaluan.” Ucap Patricia dengan wajah merona merah karena menahan emosi yang meluap-luap. “Bagaimana aku bisa hidup tenang jika…”
“Patricia, kau terlalu berlebihan.”
“Aku? Berlebihan?” Patricia menaikkan nada bicaranya. “Kau membela anjing itu daripada aku?”
“Bukan begitu…, kutunjukkan saja.”
Frank bangkit dari kursinya lalu mengarah ke pintu samping rumah, dimana anjing itu berada.
“Frank?”
“Kemari!” teriak Frank. Dengan ragu, Patricia mengarahkan kakinya mengikuti gerak langkah suaminya. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Frank terlihat tengah mengelus anjing besar itu. Dan anjing itu terlihat begitu senang.
“Lihat?” ucap Frank. “Anjing ini baik. Dia tidak galak seperti yang kau kira. Kemari!”
“Tidak!”
“Tidak apa-apa.”
Patricia tidak mau mendekat. Seketika, ia memutar tubuhnya dan bergerak kembali ke dalam rumah.
Patricia tidak tahu apa yang sedang Frank pikirkan. Kenapa ia malah mengelus annjing liar itu? Anjing itu kini malah semakin betah tinggal di pekarangan rumahnya. Pagi, siang, malam, anjing itu sellau berada di lokasi yang sama. Di halaman samping rumah di dekat pot bunga. Entah apa yang ada disana. Anjing itu seolah tengah menjaga sesuatu.
Patricia merasa semakin gila saat Frank sengaja memperkenalkan anjing itu pada Tim. Ya. Tim kecil yang berusia enam tahun. Patricia nyaris jatuh pingsan saat putra kecilnya itu dengan tawa lebar memainkan wajah si anjing. Di dekat mulut anjing. Yang dapat Patricia bayangkan hanyalah hal buruk.
“Frank!” teriak Patricia marah. Tapi seperti apa yang dapat ia duga, Frank terlalu santai menanggapinya.
Patricia duduk termenung di atas tempat tidurnya suatu malam. Pikirannya tidak bisa terlepas dari anjing hitam itu.
“Sudahlah!” ucap Frank. “Lihat dirimu! Kau jarang makan, dan kau semakin kurus. Kau bisa jatuh sakit, Pat.”
“Jika saja anjing itu mau pergi.”
“Bukan salah anjing itu…”
“Begitu?” potong Patricia cepat. “Aku takut anjing, Frank.”
Tidak ada yang dapat merubah keadaan itu selain Patricia sendiri. Ketakutannya sejak serangan anjing saat ia kecil masih membayanginya. Ia akui bahwa Rottweiler itu tidak sama mengerikan dengan anjing yang menyerangnya belasan tahun lalu itu. Tapi tetap saja, Patricia tidak dapat menghilangkan ketakutannya pada anjing.
Patricia tengah tertidur lelap, saat tiba-tiba saja ia dikejutkan dengan sebuah suara meraung di luar rumahnya. Anjing itu melolong sambil sesekali menggonggong. Jam menunjukkan pukul dua malam. Apa yang sebenarnya anjing itu lakukan?
“Frank, anjing itu…” ucap Patricia. Namun Frank tertidur pulas. Patricia mulai naik pitam. Ia akan turun dan mencoba mengusir anjing itu.
Ia bergerak menuruni tangga yang mengarah ke lantai satu di dalam kegelapan, dengan satu ide di otaknya untuk mengusri anjing itu. Ia mungkin akan melempar barang pada anjing itu. Mungkin anjing itu akan ketakutan dan pergi. Itu harapannya. Namun begitu ia tiba di runag tamu, satu hal tak terkira muncul di hadapannya.
Sesosok bayangan gelap terlihat berada di luar jendela rumahnya. Dan terdengar suara berkelotak saat sosok itu ingin membobol masuk ke dalam rumah. Tanpa Patricia sadari, ia menjerit sekuat yang ia mampu.
Hingga pagi tiba, Patricia tidak bisa tidur. Ia tidak mengira bahwa akan ada pencuri yang mencoba untuk membobol masuk rumahnya. Pencuri itu kabur sesaat setelah Patricia berteriak.
“Bagaimana kau tahu?” tanya Frank. “Dan apa yang kau lakukan malam-malam di ruang bawah?”
“Anjing itu!” ucap Patricia. “Anjing itu menggonggong tanpa henti. Dan aku berusaha untuk mengusirnya, saat pencuri itu…”
Cerita itu terdengar tidak masuk akal sedikitpun. Dan Frank menyadari kejanggalan itu.
“Anjing itu terus menggonggong, seharusnya pencuri itu tahu. Anjing itu terus berada di halaman kita. Bagaimana mungkin pencuri itu bisa sampai di teras? Ia seharusnya lari. Ia seharusnya tahu bahwa anjing itu akan membuat pemilik rumah bangun.”
Jawaban atas misteri itu tidak muncul. Bahkan Frank kini mulai menganggap bahwa anjing itu mungkin bukan anjing sungguhan. Mungkin anjing hantu? Pencuri tidak dapat melihatnya? Frank menggelengkan kepalanya. Itu tidak mungkin.
Beberapa hari setelah kejadian itu, anjing besar itu masih terus berada di halaman rumah Patricia. Patricia kini setidaknya mulai bersikap lebih tenang dalam menghadapi anjing itu. Tidak disangkal, bahwa karena anjing itu, rumahnya tidak jadi kebobolan maling. Bahkan kini Patricia mulai berani mendekati anjing itu untuk memberikan makanan. Meski Patricia masih tetap menjaga jarak.
Frank dan putranya Tim sepertinya tidak memiliki perasan takut seperti Patricia. Pria dan anak itu sering bermain di halaman rumah dengan Rottweiler itu. Anjing itu terlihat begitu bersahabat. Dan mungkin akan memutuskan untuk tinggal di tempat itu untuk selamanya.
Patricia bertanya pada dirinya sendiri, apa ruginya memiliki anjing? Anjing itu sudah membantunya. Dan Patricia tidak memiliki alasan lain untuk mengusri anjing itu, yang pada dasarnya tidak nakal dan berbuat aneh. Dan mungkin, dengan adanya anjing itu, Patricia dapat mengobati rasa takutnya terhadap anjing. Ia sadar bahwa anjing itu bukan anjing liar. Tapi ia masih belum tahu siapa yang punya anjing itu sebenarnya.
“Kemari!” ucap Patricia dengan sedikit keraguan beberapa hari kemudian. Ia menyerahkan satu piring sandwich pada anjing hitam itu. Yang langsung saja dilalap habis, dan menggonggong meminta tambahan.
“Kau mau lagi? oke. Tunggu disitu!”
Frank yang mengawasi dari dalam rumah hanya dapat tersenyum kecil. Ia senang pada akhirnya Patricia mau berkawan dengan anjing itu. Dan anjing itu, kini betah berada di halamannya.
Persahabatan antara Patricia dan anjing itu sepertinya sudah cukup kuat. Patricia kerap mengelus anjing itu, dan sepertinya berhasil mengatasi ketakutannya terhadap anjing. Patricia sudah membicarakan mengenai anjing itu dengan Frank. Mereka ingin memelihara anjing itu. Tapi…, tentu saja tidak akan mudah. Anjing itu mungkin milik orang lain.
Minggu-minggu berikutnya Patricia dan Frank sama-sama mencari tahu siapa pemilik Rottweiler hitam itu. Mereka bahkan memasang beberapa brosur, yang mengatakan bahwa Rottweiler hitam itu ada di rumah mereka. Namun setelah menunggu sekian lama, tidak ada yang menelepon untuk mengabil anjing itu.
“Kurasa kita mendpat anjing baru.” Ucap Frank senang. Masih ada sedikit kekhawatiran di wajah Patricia, namun tidak separah beberapa minggu yang lalu.
Setiap sore, Frank dan Tim bermain dengan anjing itu di belakang rumah. Dan anjing itu terlihat semakin bersahabat. Tapi ada satu dua hal yang tetangga tanyakan padanya, yang membuat kening Patricia berkerut.
“Frank dan Tom bermain di halaman belakang.” Ucap salah satu teman Patricia. “Mereka punya mainan baru?”
“Hewan peliharaan baru.” Jawab Patricia. “Kau ingat dengan Rotweiler yang aku sebutkan saat itu? Tidak ada pemilik. Dan kami mengadopsinya.”
“Tapi aneh.” Ucap salah satu wanita yang tinggal di sebelah rumah Patricia. “Aku melihat Frank dan Tim bermain, tapi aku tidak melihat adanya anjing.”
“Mungkin sedang bersembunyi.” Ucap Patricia. “Tidak mungkin anjing itu menghilang begitu saja, ‘kan?”
“Kau yakin benar-ebanr ada anjing di rumahmu? Kami tidak pernah melihat anjing itu.”
Ucapan-ucapan itu sempat membuat Patricia khawatir. Kenapa orang-orang tidak dapat melihat anjingnya? Padahal Rottie, itu nama panggilannya, selalu berkeliaran di sekitar rumah. Dan ia sering menggonggong.
“Sama seperti pencuri itu, ‘kan?” ucap Frank malam harinya ketika Patricia menjelaskan mengenai ucapan warga.
“Pencuri itu sama sekali tidak menyadari adanya anjing. Padahal Rottie menggonggong tidak diam, ‘kan?”
Misteri kembali muncul. Siapa sebenarnya Rottweiler itu? Darimana datangnya, dan apa tujuannya berdiam di halaman rumah mereka. Mereka pergi tidur dengan sejuta pertanyaa. Dan beberapa jam kemudian, ia dibangunkan oleh sebuah suara yang datangnya dari kamar Tim. Lelaki kecil itu terdengar tertawa dan berbicara. Dengan siapa?
Frank dan Patricia memutuskan untuk memeriksa kamar Tim. Dan betapa kagetnya mereka saat menemukan Rottie sudah berada di dalam kamar Tim, bermain dengan anak itu.
“Bagaimana dia bisa masuk?” tanya Frank, yang sama sekali tak terjawab.
Frank kembali merenung keesokan harinya di meja makan. Kini segala sesuatu yang berkaitan dengan Rottie menjadi sedikit aneh, dan menakutkan. Siapa anjing itu sebenarnya?
“Aku mau pergi ke supermarket pagi ini.” Ucap Patricia. “Persediaan menipis.”
“Mau kuantar?”
“Aku bisa jalan kaki. Lebih enak begitu.”
Seperti biasa, Patricia berjalan melalui trotoar jalan yang membentang di depan rumahnya. Hari itu adalah akhir pekan, dimana jalanan dipadati oleh mobil-mobil yang baru saja masuk ke kota itu. Patricia sedikit kebingungan saat akan menyeberang, karena deretan mobil tidak pernah berhenti. Dan ketika Patricia melihat ada kesempatan, ia tidak dapat melngkah. Sebab ada sesuatu yang menarik roknya dari belakang.
“Rottie!” seru Patricia geram. Anjing itu masih menarik-narik rok Patricia. Patricia mencoba untuk menarik roknya kembali, namun gigitan anjing itu terlalu kuat. Keadaaan ini sungguh janggal. Bagaimana jika sampai orang melihat?
Patiricia melayangkan pandangan ke sekitarnya, tapi…, tidak ada. Tidak ada seorang pun yang menyadari apa yang tengah terjadi. Seolah apa yang Patricia alami adalah suatu hal yang wajar. Bahkan ada seseorang yang lewat di depannya tanpa menoleh sedikitpun. Patricia merasa bahwa ia seolah tembus pandang.
“Rottie, hentikan!” teriak Patricia dengan kesal. Hingga ia hilang kesabarannya dan mulai memukuli kepala anjing itu dengan tas kecil yang ia bawa. Namun…, Rottweiler itu tidak melepaskan gigitannya. Hingga pada akhirnya terdengar sebuah jeritan keras dari seberang jalan…
BRAK!!
Patricia melompat, terkejut dengan apa yang tengah terjadi. Warga berteriak di tepi jalan lain saat melihat dua mobil saling bertabrakan, tepat di depan Patricia berdiri. Ya. Kedua mobil itu bisa saja merenggut nyawa Patricia, seandainya saja…
Patricia mengarahkan pandangannya pada anjing hitam itu, yang sudah melepaskan gigitannya. Anjing itu menggonggong ke arahnya, dengan wajah yang seolah tersenyum. Anjing itu…, telah menyelamatkan Patricia dari maut.
“Sudah kukatakan berkali-kali bahwa anjing itu aneh.” Ucap Patricia sore harinya saat Frank sudah pulang dari kerja.
“Mengenai pencuri itu, lalu bagaimana anjing itu bisa masuk ke dalam kamar Tim, dan anjing itu yang menyelamatkanku dari tabrakan. Apakah anjing itu…, normal?”
Patricia dan Frank tidak menemukan jawaban pasti atas hal itu. Namun yang jelas, kehadiran Rottie di rumah mereka membawa semacam berkah. Pencuri tidak jadi membobol rumah mereka, Tim mendapat teman baru, dan anjing itu juga telah menyelamatkan Patricia, si pemilik rumah. Beberapa hari selanjutnya, hubungan Patricia dengan anjing itu semakin erat. Bahkan Patricia rela memandikan anjing itu, dan menganggap anjing itu hewan peliharaannya yang baru. Namun…, segala yang menyenangkan tidak akan pernah berlangsung lama.
Patricia dan Frank mulai merasa kehilangan sosok anjing itu saat Rottie secara tiba-tiba menghilang. Ya. Tidak ada lagi gonggongan anjing, atau kelebatan tubuh hitam anjing itu. Patricia sudah berkali-kali mencoba mencari Rottie di sekitar rumah, tapi hasilnya nihil. Rottie telah menghilang.
Rottie telah menyelesaikan tugasnya. Sebagai seekor anjing hantu, terbukti ia dapat membantu mereka yang masih hidup. Rottie berhasil mengembalikan kepercayaan diri Patricia terhadap hewan peliharaan, terutama anjing.
Rottie hanya dapat memandang keluarga itu dari seberang jalan saat Patricia dan Frank mendapatkan anak anjing baru. Seekor Rottweiler, yang hampir mirip dengannya. Mungkin mereka masih merindukannya. Rottie merasa senang.
“Tugas kita selesai sampai disini, Rottie sayang.” Ucap seorang pria tua dengan tubuh transparan yang berdiri di sisinya. Pria itu tersenyum senang ke arah Rottie.
“Kau berhasil, Rottie.” Ucapnya. “Kini saatnya kita pergi. Masih ada perjalanan yang cukup jauh untuk mencapai keabadian.”
Dan begitulah. Rottie, si anjing hantu, berhasil merubah sikap seorang wanita dengan kekuatan misteriusnya. Rottie menoleh untuk yang terakhir kali ke arah rumah Patricia dan Frank, mencoba untuk mengucapkan selamat tinggal. Dan detik berikutnya, ia menghilang dari pandangan.

****

Thursday, November 10, 2016

KISAH JOANNA RIDDLE



Gadis berusia 28 tahun dengan rambut coklat kemerahan itu masih duduk di dalam pos polisi dengan tubuh bergetar. Bukan hanya karena hawa dingin hujan malam itu. Tetapi ia masih merasa ngeri dengan tragedi yang baru saja terjadi padanya, tak lebih dari dua jam yang lalu. Ia saat ini sudah berada di dalam kantor polisi, mendapatkan selimut dan coklat panas. Namun bayang-bayang mengerikan masih bertahan di dalam kepalanya.
“Nn. Riddle!” panggil salah seorang anggota polisi yang bertugas malam itu. Wanita dalam balutan seragam kepolsian itu mencoba untuk menenangkan Joanna Riddle, yang terus bergetar dan menggumamkan kata-kata tidak jelas. Tatapan kedua mata hazel itu terpaku pada satu titik, dan kadang bergerak jalang ke setiap tempat. Opsir wanita itu menarik satu kursi, dan duduk tepat dihadapan Joanna. Dengan sikap penuh pengertian, polisi itu mengelus pundak Joanna.
“Tidak apa-apa.” Ucap polisi itu dengan nada lembut. “Kau sudah aman sekarang. Tidak perlu ada yang kau takutkan lagi.”
“Dia datang…” gumam Joanna dengan nada bergetar. “Dia membawa pisau, dan… darah di segala tempat. Wanita itu…”
“Tenang, Nn. Riddle! Boleh kupanggil dengan sebutan Joanna?” gadis berambut coklat itu mengangguk kecil.
Polisi wanita itu bangkit dari kursinya lalu mengarah pada meja kecil yang ada di sudut ruangan. Ia mengambil sebuah clipboard, dimana data dari Joanna Riddle sudah tertulis dengan rapi.
Joanna Riddle, berdasarkan dari keterangan yang ada di kertas itu, adalah seorang pegawai bank di Silvestone. Gadis itu melakukan perjalanan ke selatan melewati Albatros, untuk mencapai Santa Monica. Namun beberapa jam yang lalu, gadis itu mampir di sebuah kedai yang terletak di persimpangan 37, yang jaraknya sekitar enam kilometer dari pos polisi. Yang mengherankan adalah cerita dari gadis itu. Ia mengatakan bahwa ia baru saja berada dalam kamp kanibal.
Polisi wanita itu masih belum dapat mempercayai kebenaran cerita Joanna. Namun ia dengan sabar mencoba untuk mengajak bicara gadis itu, dan mencoba untuk menarik informasi sebanyak mungkin mengenai tempat itu.
“Bisa kau ceritakan lagi mengenai tempat itu?” pinta sang polisi setelah kembali ke kursinya. Wajah Joanna masih tertunduk dengan rambut basah menutupi wajahnya.
“Joanna?”
Gadis itu tiba-tiba mengangkat wajahnya. Kedua matanya memerah, karena terlalu lama menangis. Terlihat jelas raut penuh teror di wajah yang pucat pasi itu. Polisi itu mengelus lagi pundak Joanna, mencoba menenangkan gadis itu.
“Seperti mimpi buruk.” Ucap Joanna pelan. “Aku tidak…”
“Tidak apa-apa.” Potong polisi wanita itu. “Ceritakan pelan-pelan.”
Segalanya bermula dari sebuah surat yang datang dari salah satu saudara Joanna yang tinggal di Santa Monica. Sebuah surat undangan pernikahan, yang harus ia hadiri besok pagi. Joannya tahu bahwa ia bisa saja naik pesawat untuk tiba di Santa Monica dengan cepat. Namun entah kenapa hari itu ia memilih untuk menyetir. Perjalanan panjang dari Silverstone, ke arah selatan, melewati Albatros. Namun hal yang tak ia inginkan datang sore itu. Hujan deras, yang memaksa Joanna untuk mampir ke sebuah tempat dan menunggu hingga hujan reda. Sebab ia tahu bahwa jalan yang akan ia tempuh tergolong licin dan berbahaya saat hujan deras.
Joanna dengan santai duduk di belakang kemudi sore itu. Langit sudah gelap, padahal jam baru menunjukkan pukul lima sore. Dan secara tak terduga, hujan mulai turun. Saat itu ia baru seperempat perjalanan menuju Santa Monica. Namun sudah terlalu jauh dari pemukiman, karena ia mengambil jalan yang sepi membelah hutan.
Hanya suara radio yang menemaninya saat itu. Menyetir dalam keadaan hujan di tengah hutan bisa sangat berbahaya. Joanna tahu akibatnya. Dan ia memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanannya.
Ada sebuah pemukiman kecil yang terletak diantara Silverstone dan Albatros. Sebuah kota kecil yang dikenal dengan sebutan Oak Falls. Hanya pemukiman yang sepertinya jarang diambah manusia, melihat dari gedung-gedungnya yang usdah tua dengan cat mengelupas. Tidak ada yang menarik dari kota itu. Dan Joanna bisa saja tidak mampir, seandainya tidak hujan.
Ia memutuskan untuk menghentikan mobilnya di lapangan parkir di depan sebuah restoran kecil. Satu-satunya toko yang masih buka saat itu. Joanna sama sekali tidak memiliki firasat bahwa hal buruk akan terjadi. Ia melenggang dengan santai memasuki restoran itu, yang sepi, dan hanya ditunggu oleh seorang pria bertubuh besar yang berdiri di belakang meja bar.
Satu senyum ramah dilepaskan oleh sang pemilik kedai saat Joanna bergerak masuk. Tidak ada yang aneh. Restoran itu cukup bersih, jauh dari apa yang Joanna pikirkan.
“Kau bepergian jauh?” tanya pria bertubuh besar itu setelah Joanna duduk di depan meja bar dan memesan kopi panas.
“Ya.” Jawab Joanna dengan ringan. “Ke Santa Monica. Aku harus tiba tepat waktu besok pagi.”
“Untuk acara apa? Pekerjaan?”
“Acara pernikahan.” Jawab Joanna cepat.
Gerak-gerik dari pemilik kedai itu sama sekali tidak mencurigakan. Bahkan menurut Joanna, pemilik kedai itu terlihat begitu ramah padanya. Kadang pria itu bergurau, mengucapkan homur kecilnya. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Meski Joanna sempat berpikir, kota itu terlihat lebih sepi dari apa yang ia bayangkan. Sama sekali tidak terlihat adanya cahaya di gedung-gedung yang berderet di depan restoran itu. Semuanya terlihat kosong dan terbengkalai.
“Ada berapa banyak orang yang tinggal di kota ini?” tanya Joanna setelah menyadari keanehan gedung-gedung itu.
“Tidak banyak.” Jawab pria besar itu. “Sebagian besar penduduk memilih untuk pergi meninggalkan Oak Falls sepuluh tahun yang lalu. Aku tidak tahu alasannya. Kini, hanya ada segelintir orang yang tinggal.”
“Kau tidak ikut pergi?”
“Untuk apa?” balas pria itu. “Aku sudah hidup terlalu lama di kota ini. Dan rasanya, tidak ada alasan untuk pergi. Aku suka dengan pemandangan kota ini.”
Joanna merasa tidak begitu yakin soal hal itu. Oak Falls tergolong sebagai kota kecil yang menurutnya sedikit menyeramkan. Bukan seperti kota kecil yang digambarkan di tv-tv, dimana kota itu terletak di tengah hutan yang asri dengan pemandangan menakjubkan. Sebaliknya, Oak Falls terlihat seperti kota kecil dalam beberapa film horor. Kosong, dengan pohon-pohon besar tua yang mengerikan. Bisa tinggal di tempat seperti itu seolah adalah sebuah keajaiban. Joanna sendiri tidak mau jika diminta untuk tinggal di kota seperti itu.
“Bagaimana dengan bisnis?” tanya Joanna beberapa saat kemudian. “Kedai ini sepertinya…, baik-baik saja. Mengingat tidak banyak orang yang tinggal di kota…, maksudku…”
“Ya, ya. Baik-baik saja.” Jawab pria besar itu. “Kebanyakan dari pelanggan adalah orang-orang sepertimu. Orang yang bepergian. Untuk penduduk disini, mereka kadang datang, kadang tidak. Bukan masalah bagiku. Aku membuka kedai ini hanya sebagai hobi.”
“Kau punya pekerjaan lain?” tanya Joanna.
“Ya.” Jawab pria itu. Dan seketika Joanna seperti melihat seringai dingin di wajah pria itu saat pria itu mengucapkan kalimat berikutnya yang berbunyi,
“Aku jagal sapi.”
Joanna hanya mengangguk. Entah kenapa kata-kata itu terdengar sedikit aneh dan menyeramkan. Jagal sapi, bukanlah hal yang aneh. Namun dalam konteks yang lebih dalam, mungkin kata ‘jagal sapi’ memiliki arti tersendiri.
Hujan semakin deras diluar sana, dan kegelapan mulai menyelimuti kota kecil itu. Joanna sadar bahwa perjalanannya akan tertunda. Ia mencoba untuk menelepon saudaranya yang ada di Santa Monica, berusaha mengatakan bahwa mungkin ia akan datang terlambat. Sayangnya, tidak ada sinyal di kota kecil itu.
“Ada telepon kabel.” Ucap sang pemilik kedai sambil menunjuk pada telepon yang ada di ujung bar. Joanna bergerak ke arah telepon itu dan membuat panggilan.
Anehnya, Joanna merasa seperti sedang diawasi. Ketika ia menunduk, seolah ada sepasang mata yang memperhatikannya. Apakah pria itu? Bukan. Pria itu masih terlihat sibuk dengan gelas-gelas di wastafel. Lalu siapa? Joanna merasa tidak begitu nyaman.
“Sepertinya kau harus tinggal lebih lama, Nona.” Ucap pria besar itu ketika hujan semakin deras. Kini terlihat seperti badai, dan beberapa kali kilat menyambar.
“Hari yang luar biasa.” Gerutu Joanna sambil mengarah kembali ke kursinya. Kopi panasnya hampir habis. Dan tidak ia sangkal bahwa ia merasa sedikit lapar.
“Burger. Siap!” ucap pria itu setelah Joanna memesan.
Joanna sebenarnya tidak terlalu lapar saat itu. Tapi apa lagi yang harus ia lakukan di tengah hujan seperti itu? Memakan burger itu ia lakukan hanya untuk mengisi waktu longgar. Tapi ada yang aneh dari burger itu. Aromanya biasa saja, namun tekstur dari dagingnya sedikit aneh. Pria besar itu sepertinya sadar dengan raut wajah aneh Joanna.
“Bagaimana burgernya?”
“Lumayan.” Jawab Joanna. Meski ia sebenarnya tidak begitu menyukai burger yang ada di tangannya itu. Namun, ia paksakan untuk memakannya lagi. Rasanya benar-benar aneh.
Jarum jam bergerak cepat, menunjukkan pukul tujuh malam. Tapi, hujan diluar belum juga berhenti. Joanna hampir mengambil keputusan untuk berkendara dalam badai. Namun pria besar itu melarangnya pergi.
“Jalue ke Albatros melewati jalan sepi dan berbahaya. Terutama dalam kondisi badai seperti ini. Tunggu beberapa jam! Hujan tidak akan turun terus menerus, kurasa.”
Mungkin ucapan itu ada benarnya. Joanna tidak mau mengambil resiko. Lagipula, ia sudah menelepon ke Santa Monica. Mengatakan bahwa ia mungkin akan terlambat.
Joanna bangkit dari kursinya sambil membawa cangkir, yang kemudian ia bawa ke deretan kursi sofa. Ia memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak, karena ia sudah merasa terlalu letih. Tak ia sangka bahwa ia bisa ketiduran cukup lama. Ketika ia bangun, hujan sudah berhenti. Bagus!
Joanna mengarah ke meja baru untuk membayar minuman dan burgernya tadi, tapi…, pria itu menghilang. Ya. Tidak ada tanda-tanda keberadaan pria bertubuh besar itu.
“Halo!” seru Joanna. Namun tidak ada jawaban. Joanna sempat melihat pintu di belakang bar, yang mungkin mengarah ke dapur. Mungkinkah pria besar itu disana? Joanna tidak ingin mencari tahu. Ia memutuskan untuk menaruh lembaran uang di meja, dan bergerak keluar dari restoran kecil itu.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Memang sudah benar-benar larut. Joanna menyalahkan dirinya sendiri karena ketiduran.
Joanna bergerak menuju mobilnya yang terparkir di halaman restoran   itu. Namun satu hal tak terkira ia temukan pada mobilnya. Roda depannya kempes. Tidak mungkin! Joanna yakin bahwa pagi tadi ia sudah melakukan pemeriksaan pada mobilnya. Dan ban kempes itu sepertinya tidak normal.
Hal ini memaksa Joanna untuk kembali masuk ke dalam restoran, mencoba untuk meminta bantuan. Ia dikagetkan oleh kedatangan pria besar itu, yang tiba-tiba saja sudah muncul di belakang bar.
“Kau sudha mau pergi?”
“Sebenarnya, ya.” Jawab Joanna. “Tapi ada hal lain yang sepertinya akan menunda keberangkatanku.”
“Hal besar?”
“Ban mobilku kempes.”
“Oh!”
“Ada montir di sekitar sini?” tanya Joanna cepat. Pria besar itu terlihat berpikir sejenak, sebelum membuka mulutnya kembali.
“Ada.” Jawabnya. Untuk sesaat, Joanna merasa senang. Tapi…
“Tidak untuk saat ini.” Lanjut pria itu. “Ini sudah jam sepuluh malam. Bengkelnya sudah tutup. Mungkin besok pagi…”
“Aku tidak bisa tinggal hingga besok pagi. Aku ahrus sampai di Santa Monica paling tidak besok siang. Tidak ada waktu lagi.”
“Kau tidak membawa ban serep?”
“Tidak.” Jawab Joanna. Seketika ia merasa sedikit cemas. Apa yang akan ia lakukan dalam situasi seperti ini.
“Aku bisa membantumu.” Ucap pria besar itu. Joanna memandangnya dengan tatapan serius.
“Oh, ya?”
“Aku punya mobil tidak dipakai. Kau bisa memakainya jika kau mau.”
“Kau yakin?”
Pria besar itu tersenyum. Entah karena apa. Mungkin ia hanya merasa senang dapat membantu seorang wanita seperti Joanna. Dan Joanna, merasa sedikit beruntung, meskipun tawaran itu terdengar sedikit aneh.
“Kau mau mampir ke rumahku? Aku mau menutup toko ini. Mobilku ada di rumah.”
“Ya.” Jawab Joanna. “Sebelumnya, boleh aku meminjam toiletnya?”
“Di belakang.”
Joanna segera bergerak masuk melalui pintu yang ada di belakang meja bar. Dan seketika, ia masuk ke dalam area dapur yang entah kenapa terlihat sedikit menyeramkan baginya. Terdapat begitu banyak pisau bergantungan, dan ada pisau besar pemotong daging yang tergeletak di meja, penuh dengan darah. Ia bahkan melihat beberapa onggokan daging di meja. Daging sapi? Ya. Apa lagi jika bukan daging sapi?
Tetap saja, aura dari ruangan itu terlihat sedikit tidak menyenangkan. Joanna dengan cepat bergerak melalui onggokan daging dan darah itu dan masuk ke dalam toilet. Ia menghabiskan waktu sekitar lima menit di dalam toilet. Dan dalam perjalanannya kembali ke depan, perhatiannya terebut oleh air yang mengalir dari salah satu wastafel yang ada di dapur itu. Joanna melangkah ke wastafel itu, tapi…
“AAHH!!”
Joanna menjerit seketika saat melihat apa yang ada di wastafel itu. Terdapat sepotong tangan manusia di wastafel itu, yang terlihat pucat pasi, saat darah sudah sirna tersiram air yang mengalir dari wastafel. Joanna ambruk ke lantai, dan masih mencoba untuk menenangkan dirinya.
“Ada apa?” pria besar itu berlari menghampiri Joanna.
“Di wastafel!” seru Joanna. “Ada tangan…”
Pria besar itu bergerak ke arah wastafel, lalu mematikan aliran air. Tidak ada ekspresi berlebihan dari pria besar itu, yang tentu saja membuat Joanna mengerutkan keningnya. Apakah sebuah tangan di wastafel adalah hal yang normal?
“Tangan apa maksudmu?” tanya pria itu dengan dahi berkerut.
“Tangan it…” Joanna melongok ke arah wastafel, dan…, ia tidak menemukan tangan itu lagi. seolah menghilang begitu saja dari pandangan. Tapi Joanna seratus persen merasa yakin bahwa beberapa detik yang lalu terdapat sebuah tangan, sepertinya tangan wanita, tergeletak di dalam wastafel. Kini…
Hilang. Yang ada hanyalah permukaan keramik wastafel yang putih bersih, tanpa ada tanda-tanda dari keberadaan tangan sebelumnya.
“Aku tadi…”
“Kau mungkin kelelahan, Nona.” Ucap pria itu. “Sepertinya kau tidak akan bisa menyetir sampai…”
“Aku baik-baik saja.” Potong Joanna cepat. “Mungkin aku hanya…, lupakan saja. Bagaimana dengan mobil yang kau tawarkan itu?”
“Oh, ya. Tentu saja.” Jawab pria itu. “Ada di rumah. Kita pergi sekarang?”
Joanna mengikuti gerak langkah pria besar itu, keluar dari pintu belakang restoran. Dalam perjalanan itu, Joanna masih terus memikirkan soal tangan itu. Yang entah kenapa tiba-tiba saja menghilang. Apa ia berhalusinasi? Hal itu tidak pernah terjadi pada Joanna sebelumnya.
“Siapa namamu?” tanya pria itu sambil terus bergerak menyusuri gang.
“Joanna.” Jawab Joanna ringan.
“Aku Pedro.” Ucap pria itu memperkenalkan dirinya.
Keduanya terus berjalan mnyusuri gang yang sepi itu, hingga pada akhirnya mereka muncul di seberang blok. Keadaan di sekitar tempat itu tak jauh berbeda dengan keadaan di depan kedai. Deretan rumah penduduk terlihat kosong, dengan pekarangan terlantar. Joanna ingat bahwa Pedro mengatakan bahwa masih ada segelintir orang yang tinggal di kota itu. Namun sejauh apa yang dapat Joanna tangkap, tidak ada satupun cahaya dari rumah-rumah yang ia lewati.
“Disana!” seru Pedro sambil mengangkat tangannya. Ia menunjuk ke arah sebuah rumah yang berada di ujung jalan. Tidak seperti yang lain, rumah itu memancarkan cahaya kuning yang terasa hangat.
“Itu rumahku.”
“Kau yakin?” tanya Joanna cepat. “Maksudku…, kau yakin mau meminjamkan mobilmu padaku? Kita bahkan belum lama kenal.”
“Hanya itu kebaikan yang bisa kulakukan.” Jawab Pedro tanpa memandang ke arah Joannya. “Hanya itu.”
Rumah Pedro tidak dapat dikatakan layak untuk ditempati. Beberapa papan dindingnya sudah lepas, bahkan ada tembelan disana-sini. Lantai kayunya pun terlihat sudah begitu tua dan kotor. Tangga depan, berderak saat Joanna menapakinya.
Pedro membawa Joanna masuk kedalam ruang tamu yang terlihat berantakan. Banyak kotak bekas makanan disana-sini, kardus-kardus, botol kosong, dan segalanya. Sepertinya Pedro sama sekali tidak peduli dengan kebersihan. Aneh jika memikirkan bahwa restorannya terlihat begtu bersih. Berbanding terbalik dengan keadaan rumah itu.
“Lewat sini. Maaf, agak berantakan.”
Pedro mengarah ke pintu samping rumah, dan disanalah mobil Pedro berada. Di dalam sebuah garasi kecil yang tidak kalah berantakannya dengan ruang tamu. Namun, ada satu benda yang terlihat begitu mengkilat di dalam garasi itu. Sebuah mobil klasik tahun 70-an, dengan cat berwarna biru muda yang terlihat begitu menarik.
“Ini?” tanya Joanna ragu.
“Ya. Cantik, bukan begitu?”
Joanna memandangi mobil klasik itu lagi. Rasanya aneh. Joanna tidak yakin bahwa pria itu akan meminjamkan mobilnya begitu saja. Apalagi, mobil klasik seperti itu.
“Silahkan lihat-lihat! Jangan sungkan!”
Joanna entah kenapa menuruti perintah itu. Ia melongok ke dalam bagian dalam mobil, yang terlihat begitu mewah dan klasik dengan jok kulit berwarna putih, dan roda kemudi yang seolah dihiasi dengan emas.
“Ini luar biasa.” Ucap Joanna. Joanna untuk sesaat terpesona dengan kecantikan mobil klasik itu. Tak sadar, bahwa ada seseorang di belakangnya yang memiliki niat buruk. Tapi terlambat bagi Joanna untuk menyadari hal itu. Ketika ia memutar kepalanya kembali, satu pukulan mendarat telak di lehernya. Ia tak sadarkan diri.

**

Joanna merasa seperti bermimpi. Hanya ada kegelapan yang berputar di dalam otaknya. Dan rasa sakit menyerang bagian lehernya. Joanna kemudian sadar bahwa ia baru saja pingsan. Tapi kenapa?
Satu cahaya terang membutakan kedua mata Joanna saat ia mencoba untuk membuka matanya. Ia gerakkan tubuhnya tapi…, tidak. Tubuhnya tidak dapat bergerak bebas saat kedua tangannya terikat di belakang punggung. Joanna meregang. Nafasnya mulai keluar tidak tenang dari hidungnya. Joanna pada akhirnya dapat membuka kedua matanya, dan ia sadari bahwa ia berada di dalam sebuah ruangan yang tidak dapat dikatakan sebagai ruangan yang menyenangkan. Ia seperti berada di dalam gudang kecil, dengan dinding tembol, dan satu-satunya cahaya berasal dari bola lampu yang menggantung di tengah ruangan. Di depannya, terdapat sebuah meja, dengan satu onggokan yang tertutup kain tebal.
Joanna mencoba untuk melepaskan ikatannya. Namun usahanya itu sia-sia. Ia kini sadar bahwa ia telah terjatuh dalam persoalan yang cukup menyeramkan. Siapa pelakunya? Pasti Pedro, ‘kan?
Joanna tidak mau memikirkan hal itu. Satu-satunya hal yang ia inginkan adalah keluar dari ruangan itu secepatnya dan menyelamatkan diri. Sedikit mustahil, mengingat ia masih terikat. Ia sadari bahwa kedua kakinya juga terikat, dan ia duduk di sebuah kursi.
“TOLONG!!” teriak Joanna. Meski ia yakin bahwa tidak akan ada yang dapat mendengar suaranya. Malahan, teriakannya tadi mungkin akan menarik perhatian dari penculiknya. Pria besar itu.
Pintu ruangan tiba-tiba saja terbuka. Dan munculah, seperti dugaan Joanna, pria besar pemilik kedai itu. Pria itu masih menggunakan pakaian putih yang tadi ia kenakan. Dan kini ditambah dengan apron kotor dengan bercak noda berwarna merah kecoklatan.
“Oh! Kau sudah bangun.”
“Apa yang kau lakukan?” tanya Joanna. “Kenapa kau melakukan ini?”
“Aku hanya ingin bermain-main.” Jawab pedro. “Kau tahu, kota ini sedikit sepi, dan jarang sekali ada pengunjung. Kau, kebetulan dtang di saat yang tepat.”
“Keparat! Lepaskan aku!”
Pria itu terkekeh sambil mengelus-elus lengannya sendiri. Ia memandang Joanna, seperti seeokor harimau yang siap menerkam mangsanya.
“Aku ingin merasakan dirimu.” Ucap pria itu. Membuat Joanna semakin sibuk mencoba untuk melepaskan diri dari ikatan yang membelnggu tangannya.
“Apa maumu?” tanya Joanna dengan nada tinggi. Mungkin ia berteriak saat itu tanpa ia sadari. Pria itu tidak menjawab pertanyaan Joanna. Ia malah terkekeh, dan menunjuk ke arah onggokan yang tertutup kain diatas meja.
“Seperti wanita ini.” Ucapnya. Satu tangannya mengarah pada kain itu, dan dengan satu gerakan, menarik kain itu terbuka.
“TIDAK!!!”
Joanna menjerit seketika saat melihat apa yang sebenarnya berada di balik kain itu. Ia tidak dapat menjelaskannya. Benda itu seperti bukan benda hidup. Tapi ia masih dapat mengenali bentuk itu. Badan bagian atas seorang wanita yang telanjang, tanpa kepala. Darah terlihat membanjiri meja kayu itu.
“TIDAK!! TIDAK!!”
Pria itu terkekeh semakin lebar. Sedetik kemudian ia menarik keluar pisau dagingnya yang sudah berlumuran darah. Ia memainkan pisau itu di depan wajahnya.
“KEPARAT!!”
“Teruslah menjerit, tikus kecil!” ucap Pedro. “Tidak akan ada yang mendengarmu.”
Hal aneh terjadi selanjutnya. Satu hal yang tidak dapat membuat Joanna tenang, malah ia menjerit semakin keras. Pria itu mengarahkan pisau dagingnya pada satu salah payudara dari mayat itu, dan memotongnya. Joanna menjerit. Pedro semakin menyukai keadaan ini.
“Ini yang namanya kesempurnaan.” Ucap Pedro sambil mengangkat potongan payudara itu ke mulutnya, lalu…
Joanna menahan dirinya untuk tidak menjerit, dan seketika menutup kedua matanya. Ia tidak mau melihat pria itu memakan payudara mayat itu mentah-mentah. Benar-benar menjijikkan. Joanna semakin kuat mencoba untuk melepaskan diri dari ikatannya.
“Buka matamu, Joanna!” ucap pria itu. “Aku merasakan apa yang kau rasakan.”
Joanna mengerjap.
“Ya.” Ucap Pedro sambil terkekeh. “Kau juga telah memakan bagian bawah tubuh wanita ini. Burger itu!”
Joanna merasakan satu getaran di dalam tubuhnya saat mendengar kata-kata itu. Dan ada satu dorongan yang cukup kuat mendorong dari arah perutnya, yang memaksa mulutnya terbuka. Dan seketika, isi perutnya menyembur. Membasahi kedua kakinya.
“Tidak…” keluh Joanna lemah.
“Aku akan mengantarmu ke Santa Monica, Joanna. Dalam potongan kecil. Kau tidak perlu khawatir.”
Joanna masih menutup matanya. Ia tidak mau melihat mayat itu. Mayat yang tinggal sebagian, yang terlalu menjijikkan untuk dilihat.
“TIDAK!!”
“Buka matamu!”
“TIDAK!!!”
Joanna mendengar suara bergedebuk ke lantai saat mayat wanita itu dijatuhkan dari meja. Sedetik kemudian, cengeraman tangan yang kuat menarat pada pundaknya saat pria besar itu menariknya berdiri. Kedua tangannya dilepaskan dari ikatan, dan Joanna dipaksa untuk naik ke atas meja. Ia ditarik, namun Joanna meronta dengan keras. Satu kesempatan yang Joanna dapatkan tidak ia sia-siakan. Ia menggigit tangan pria itu dengan keras. Pria itu mengerang dan melepaskan cengkeramannya dari pundak Joanna.
Joanna berlari tanpa berpikir. Ia keluar dari ruangan itu, berlari secepat mungkin menaiki tangga. Rupanya ia berada di gudang belakang rumah. Ia berlari keluar dari gudang itu tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Joanna tak sadar bahwa ia menangis. Yang ia pikirkan hanyalah satu. Yaitu keluar dari kota itu secepatnya.
Joanna berlari menyusuri jalanan yang gelap, mencoba kembali ke arah mobilnya yang ia tinggalkan di depan restoran. Sambil berlari, ia berharap agar pria itu tidak mengikutinya. Namun…
Tidak!
Pria itu berlari di belakangnya mencoba untuk menangkapnya kembali. Joanna melangkahkan kakinya dengan begitu cepat, berlari, menyusuri gang, hingga sedan tuanya terlihat lagi. Ia segera masuk ke dalam mobil, tapi sayangnya ia lupa dimana kuncinya berada.
Joanna menjerit saat pria itu mendobrak mobilnya dari arah luar. Tatapan jahat pria itu mengarah padanya. Joanna mengunci mobilnya dari dalam. Dan pria itu mencoba untuk memecahkan kaca jendela.
“KEMBALI!! KEMBALI KAU TIKUS KECIL!!”
“PERGI DARIKU!!” Teriak Joanna sambil merogoh kantongnya. Dan sedetik kemudian….,
Dapat! Kuncinya ia temukan.
Satu putaran, dan mesin mobil itu menyala. Joanna tidak peduli lagi dengan roda depannya yang kempes. Ia segera memasukkan gigi mundur, lalu menekan pedal gas. Pria itu terserempet nyaris jatuh saat mobil Joanna bergerak. Namun pria itu masih dapat bangkit lagi. sorot lampu mobil itu menerangi sosok pria dengan baju penuh darah itu.
“KEMBALI!!”
Joanna mengeratkan pegangan tangannya pada setir kemudi. Dan seketika, menekan kembali pedal gasnya. Membuat mobil itu melaju kencang ke arah depan, dan…
BRAK!! Joanna berhasil menabrak tubuh pria itu. Pria itu tergeletak di halaman restoran, entah pingsan atau mati. Joanna tidak peduli lagi. ia tidak mau berlama-lama di tempat itu. Detik berikutnya, ia melesat pergi.

**

“Dia memakan wanita itu, di depan mataku!” ucap Joanna histeris saat menceritakan kembali teror yang ia alami beberapa jam yang lalu. Polisi wanita itu mendengarkan dengan seksama, dan sepertinya mengerti dengan apa yang Joanna rasakan.
“Kau tidak perlu khawatir lagi.” ucap polisi itu. “Kau aman. Dan kami akan segera menindak lanjuti kasus ini.”
“Dia tid…”
BRAK!! Sebuah hantaman keras terdengar dari arah depan pos polisi itu, menarik perhatian sang polisi wanita. Joanna tiba-tiba bergetar lagi. ia merasakan aura yang sama saat berada di kamp kanibal itu.
“Oh, tidak!”
“Jangan khawatir!” ucap polisi itu. “Biar aku lihat.”
Joanna dan polisi itu mengerjap seketika saat terdengar teriakan dari arah depan pos itu. Rekan sang polisi terdengar berteriak, memerintahkan seseorang untuk diam di tempat. Namun detik berikutnya, terdengar suara tembakan, dan kemudian erangan. Polisi wanita dan Joanna tidak tahu apa yang terjadi. Polisi itu segera menarik keluar pistolnya dan membuka pintu ruangan, tapi…
“TIDAK!!” Joanna berteriak seketika.
Pria itu mendobrak masuk ke dalam ruangan dengan belati di tangannya. Belati itu, tanpa dapat Joanna percaya, telah membabat leher polisi wanita itu tadi.
“MENJAUH DARIKU!!!” teriak Joanna histeris. Tangisannya keluar lagi. Pedro menyeringai ke arahnya sambil mengangkat belati penuh darahnya itu.
“Urusan kita belum selesai, Joanna.”

****