Thursday, November 10, 2016

KISAH JOANNA RIDDLE



Gadis berusia 28 tahun dengan rambut coklat kemerahan itu masih duduk di dalam pos polisi dengan tubuh bergetar. Bukan hanya karena hawa dingin hujan malam itu. Tetapi ia masih merasa ngeri dengan tragedi yang baru saja terjadi padanya, tak lebih dari dua jam yang lalu. Ia saat ini sudah berada di dalam kantor polisi, mendapatkan selimut dan coklat panas. Namun bayang-bayang mengerikan masih bertahan di dalam kepalanya.
“Nn. Riddle!” panggil salah seorang anggota polisi yang bertugas malam itu. Wanita dalam balutan seragam kepolsian itu mencoba untuk menenangkan Joanna Riddle, yang terus bergetar dan menggumamkan kata-kata tidak jelas. Tatapan kedua mata hazel itu terpaku pada satu titik, dan kadang bergerak jalang ke setiap tempat. Opsir wanita itu menarik satu kursi, dan duduk tepat dihadapan Joanna. Dengan sikap penuh pengertian, polisi itu mengelus pundak Joanna.
“Tidak apa-apa.” Ucap polisi itu dengan nada lembut. “Kau sudah aman sekarang. Tidak perlu ada yang kau takutkan lagi.”
“Dia datang…” gumam Joanna dengan nada bergetar. “Dia membawa pisau, dan… darah di segala tempat. Wanita itu…”
“Tenang, Nn. Riddle! Boleh kupanggil dengan sebutan Joanna?” gadis berambut coklat itu mengangguk kecil.
Polisi wanita itu bangkit dari kursinya lalu mengarah pada meja kecil yang ada di sudut ruangan. Ia mengambil sebuah clipboard, dimana data dari Joanna Riddle sudah tertulis dengan rapi.
Joanna Riddle, berdasarkan dari keterangan yang ada di kertas itu, adalah seorang pegawai bank di Silvestone. Gadis itu melakukan perjalanan ke selatan melewati Albatros, untuk mencapai Santa Monica. Namun beberapa jam yang lalu, gadis itu mampir di sebuah kedai yang terletak di persimpangan 37, yang jaraknya sekitar enam kilometer dari pos polisi. Yang mengherankan adalah cerita dari gadis itu. Ia mengatakan bahwa ia baru saja berada dalam kamp kanibal.
Polisi wanita itu masih belum dapat mempercayai kebenaran cerita Joanna. Namun ia dengan sabar mencoba untuk mengajak bicara gadis itu, dan mencoba untuk menarik informasi sebanyak mungkin mengenai tempat itu.
“Bisa kau ceritakan lagi mengenai tempat itu?” pinta sang polisi setelah kembali ke kursinya. Wajah Joanna masih tertunduk dengan rambut basah menutupi wajahnya.
“Joanna?”
Gadis itu tiba-tiba mengangkat wajahnya. Kedua matanya memerah, karena terlalu lama menangis. Terlihat jelas raut penuh teror di wajah yang pucat pasi itu. Polisi itu mengelus lagi pundak Joanna, mencoba menenangkan gadis itu.
“Seperti mimpi buruk.” Ucap Joanna pelan. “Aku tidak…”
“Tidak apa-apa.” Potong polisi wanita itu. “Ceritakan pelan-pelan.”
Segalanya bermula dari sebuah surat yang datang dari salah satu saudara Joanna yang tinggal di Santa Monica. Sebuah surat undangan pernikahan, yang harus ia hadiri besok pagi. Joannya tahu bahwa ia bisa saja naik pesawat untuk tiba di Santa Monica dengan cepat. Namun entah kenapa hari itu ia memilih untuk menyetir. Perjalanan panjang dari Silverstone, ke arah selatan, melewati Albatros. Namun hal yang tak ia inginkan datang sore itu. Hujan deras, yang memaksa Joanna untuk mampir ke sebuah tempat dan menunggu hingga hujan reda. Sebab ia tahu bahwa jalan yang akan ia tempuh tergolong licin dan berbahaya saat hujan deras.
Joanna dengan santai duduk di belakang kemudi sore itu. Langit sudah gelap, padahal jam baru menunjukkan pukul lima sore. Dan secara tak terduga, hujan mulai turun. Saat itu ia baru seperempat perjalanan menuju Santa Monica. Namun sudah terlalu jauh dari pemukiman, karena ia mengambil jalan yang sepi membelah hutan.
Hanya suara radio yang menemaninya saat itu. Menyetir dalam keadaan hujan di tengah hutan bisa sangat berbahaya. Joanna tahu akibatnya. Dan ia memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanannya.
Ada sebuah pemukiman kecil yang terletak diantara Silverstone dan Albatros. Sebuah kota kecil yang dikenal dengan sebutan Oak Falls. Hanya pemukiman yang sepertinya jarang diambah manusia, melihat dari gedung-gedungnya yang usdah tua dengan cat mengelupas. Tidak ada yang menarik dari kota itu. Dan Joanna bisa saja tidak mampir, seandainya tidak hujan.
Ia memutuskan untuk menghentikan mobilnya di lapangan parkir di depan sebuah restoran kecil. Satu-satunya toko yang masih buka saat itu. Joanna sama sekali tidak memiliki firasat bahwa hal buruk akan terjadi. Ia melenggang dengan santai memasuki restoran itu, yang sepi, dan hanya ditunggu oleh seorang pria bertubuh besar yang berdiri di belakang meja bar.
Satu senyum ramah dilepaskan oleh sang pemilik kedai saat Joanna bergerak masuk. Tidak ada yang aneh. Restoran itu cukup bersih, jauh dari apa yang Joanna pikirkan.
“Kau bepergian jauh?” tanya pria bertubuh besar itu setelah Joanna duduk di depan meja bar dan memesan kopi panas.
“Ya.” Jawab Joanna dengan ringan. “Ke Santa Monica. Aku harus tiba tepat waktu besok pagi.”
“Untuk acara apa? Pekerjaan?”
“Acara pernikahan.” Jawab Joanna cepat.
Gerak-gerik dari pemilik kedai itu sama sekali tidak mencurigakan. Bahkan menurut Joanna, pemilik kedai itu terlihat begitu ramah padanya. Kadang pria itu bergurau, mengucapkan homur kecilnya. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Meski Joanna sempat berpikir, kota itu terlihat lebih sepi dari apa yang ia bayangkan. Sama sekali tidak terlihat adanya cahaya di gedung-gedung yang berderet di depan restoran itu. Semuanya terlihat kosong dan terbengkalai.
“Ada berapa banyak orang yang tinggal di kota ini?” tanya Joanna setelah menyadari keanehan gedung-gedung itu.
“Tidak banyak.” Jawab pria besar itu. “Sebagian besar penduduk memilih untuk pergi meninggalkan Oak Falls sepuluh tahun yang lalu. Aku tidak tahu alasannya. Kini, hanya ada segelintir orang yang tinggal.”
“Kau tidak ikut pergi?”
“Untuk apa?” balas pria itu. “Aku sudah hidup terlalu lama di kota ini. Dan rasanya, tidak ada alasan untuk pergi. Aku suka dengan pemandangan kota ini.”
Joanna merasa tidak begitu yakin soal hal itu. Oak Falls tergolong sebagai kota kecil yang menurutnya sedikit menyeramkan. Bukan seperti kota kecil yang digambarkan di tv-tv, dimana kota itu terletak di tengah hutan yang asri dengan pemandangan menakjubkan. Sebaliknya, Oak Falls terlihat seperti kota kecil dalam beberapa film horor. Kosong, dengan pohon-pohon besar tua yang mengerikan. Bisa tinggal di tempat seperti itu seolah adalah sebuah keajaiban. Joanna sendiri tidak mau jika diminta untuk tinggal di kota seperti itu.
“Bagaimana dengan bisnis?” tanya Joanna beberapa saat kemudian. “Kedai ini sepertinya…, baik-baik saja. Mengingat tidak banyak orang yang tinggal di kota…, maksudku…”
“Ya, ya. Baik-baik saja.” Jawab pria besar itu. “Kebanyakan dari pelanggan adalah orang-orang sepertimu. Orang yang bepergian. Untuk penduduk disini, mereka kadang datang, kadang tidak. Bukan masalah bagiku. Aku membuka kedai ini hanya sebagai hobi.”
“Kau punya pekerjaan lain?” tanya Joanna.
“Ya.” Jawab pria itu. Dan seketika Joanna seperti melihat seringai dingin di wajah pria itu saat pria itu mengucapkan kalimat berikutnya yang berbunyi,
“Aku jagal sapi.”
Joanna hanya mengangguk. Entah kenapa kata-kata itu terdengar sedikit aneh dan menyeramkan. Jagal sapi, bukanlah hal yang aneh. Namun dalam konteks yang lebih dalam, mungkin kata ‘jagal sapi’ memiliki arti tersendiri.
Hujan semakin deras diluar sana, dan kegelapan mulai menyelimuti kota kecil itu. Joanna sadar bahwa perjalanannya akan tertunda. Ia mencoba untuk menelepon saudaranya yang ada di Santa Monica, berusaha mengatakan bahwa mungkin ia akan datang terlambat. Sayangnya, tidak ada sinyal di kota kecil itu.
“Ada telepon kabel.” Ucap sang pemilik kedai sambil menunjuk pada telepon yang ada di ujung bar. Joanna bergerak ke arah telepon itu dan membuat panggilan.
Anehnya, Joanna merasa seperti sedang diawasi. Ketika ia menunduk, seolah ada sepasang mata yang memperhatikannya. Apakah pria itu? Bukan. Pria itu masih terlihat sibuk dengan gelas-gelas di wastafel. Lalu siapa? Joanna merasa tidak begitu nyaman.
“Sepertinya kau harus tinggal lebih lama, Nona.” Ucap pria besar itu ketika hujan semakin deras. Kini terlihat seperti badai, dan beberapa kali kilat menyambar.
“Hari yang luar biasa.” Gerutu Joanna sambil mengarah kembali ke kursinya. Kopi panasnya hampir habis. Dan tidak ia sangkal bahwa ia merasa sedikit lapar.
“Burger. Siap!” ucap pria itu setelah Joanna memesan.
Joanna sebenarnya tidak terlalu lapar saat itu. Tapi apa lagi yang harus ia lakukan di tengah hujan seperti itu? Memakan burger itu ia lakukan hanya untuk mengisi waktu longgar. Tapi ada yang aneh dari burger itu. Aromanya biasa saja, namun tekstur dari dagingnya sedikit aneh. Pria besar itu sepertinya sadar dengan raut wajah aneh Joanna.
“Bagaimana burgernya?”
“Lumayan.” Jawab Joanna. Meski ia sebenarnya tidak begitu menyukai burger yang ada di tangannya itu. Namun, ia paksakan untuk memakannya lagi. Rasanya benar-benar aneh.
Jarum jam bergerak cepat, menunjukkan pukul tujuh malam. Tapi, hujan diluar belum juga berhenti. Joanna hampir mengambil keputusan untuk berkendara dalam badai. Namun pria besar itu melarangnya pergi.
“Jalue ke Albatros melewati jalan sepi dan berbahaya. Terutama dalam kondisi badai seperti ini. Tunggu beberapa jam! Hujan tidak akan turun terus menerus, kurasa.”
Mungkin ucapan itu ada benarnya. Joanna tidak mau mengambil resiko. Lagipula, ia sudah menelepon ke Santa Monica. Mengatakan bahwa ia mungkin akan terlambat.
Joanna bangkit dari kursinya sambil membawa cangkir, yang kemudian ia bawa ke deretan kursi sofa. Ia memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak, karena ia sudah merasa terlalu letih. Tak ia sangka bahwa ia bisa ketiduran cukup lama. Ketika ia bangun, hujan sudah berhenti. Bagus!
Joanna mengarah ke meja baru untuk membayar minuman dan burgernya tadi, tapi…, pria itu menghilang. Ya. Tidak ada tanda-tanda keberadaan pria bertubuh besar itu.
“Halo!” seru Joanna. Namun tidak ada jawaban. Joanna sempat melihat pintu di belakang bar, yang mungkin mengarah ke dapur. Mungkinkah pria besar itu disana? Joanna tidak ingin mencari tahu. Ia memutuskan untuk menaruh lembaran uang di meja, dan bergerak keluar dari restoran kecil itu.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Memang sudah benar-benar larut. Joanna menyalahkan dirinya sendiri karena ketiduran.
Joanna bergerak menuju mobilnya yang terparkir di halaman restoran   itu. Namun satu hal tak terkira ia temukan pada mobilnya. Roda depannya kempes. Tidak mungkin! Joanna yakin bahwa pagi tadi ia sudah melakukan pemeriksaan pada mobilnya. Dan ban kempes itu sepertinya tidak normal.
Hal ini memaksa Joanna untuk kembali masuk ke dalam restoran, mencoba untuk meminta bantuan. Ia dikagetkan oleh kedatangan pria besar itu, yang tiba-tiba saja sudah muncul di belakang bar.
“Kau sudha mau pergi?”
“Sebenarnya, ya.” Jawab Joanna. “Tapi ada hal lain yang sepertinya akan menunda keberangkatanku.”
“Hal besar?”
“Ban mobilku kempes.”
“Oh!”
“Ada montir di sekitar sini?” tanya Joanna cepat. Pria besar itu terlihat berpikir sejenak, sebelum membuka mulutnya kembali.
“Ada.” Jawabnya. Untuk sesaat, Joanna merasa senang. Tapi…
“Tidak untuk saat ini.” Lanjut pria itu. “Ini sudah jam sepuluh malam. Bengkelnya sudah tutup. Mungkin besok pagi…”
“Aku tidak bisa tinggal hingga besok pagi. Aku ahrus sampai di Santa Monica paling tidak besok siang. Tidak ada waktu lagi.”
“Kau tidak membawa ban serep?”
“Tidak.” Jawab Joanna. Seketika ia merasa sedikit cemas. Apa yang akan ia lakukan dalam situasi seperti ini.
“Aku bisa membantumu.” Ucap pria besar itu. Joanna memandangnya dengan tatapan serius.
“Oh, ya?”
“Aku punya mobil tidak dipakai. Kau bisa memakainya jika kau mau.”
“Kau yakin?”
Pria besar itu tersenyum. Entah karena apa. Mungkin ia hanya merasa senang dapat membantu seorang wanita seperti Joanna. Dan Joanna, merasa sedikit beruntung, meskipun tawaran itu terdengar sedikit aneh.
“Kau mau mampir ke rumahku? Aku mau menutup toko ini. Mobilku ada di rumah.”
“Ya.” Jawab Joanna. “Sebelumnya, boleh aku meminjam toiletnya?”
“Di belakang.”
Joanna segera bergerak masuk melalui pintu yang ada di belakang meja bar. Dan seketika, ia masuk ke dalam area dapur yang entah kenapa terlihat sedikit menyeramkan baginya. Terdapat begitu banyak pisau bergantungan, dan ada pisau besar pemotong daging yang tergeletak di meja, penuh dengan darah. Ia bahkan melihat beberapa onggokan daging di meja. Daging sapi? Ya. Apa lagi jika bukan daging sapi?
Tetap saja, aura dari ruangan itu terlihat sedikit tidak menyenangkan. Joanna dengan cepat bergerak melalui onggokan daging dan darah itu dan masuk ke dalam toilet. Ia menghabiskan waktu sekitar lima menit di dalam toilet. Dan dalam perjalanannya kembali ke depan, perhatiannya terebut oleh air yang mengalir dari salah satu wastafel yang ada di dapur itu. Joanna melangkah ke wastafel itu, tapi…
“AAHH!!”
Joanna menjerit seketika saat melihat apa yang ada di wastafel itu. Terdapat sepotong tangan manusia di wastafel itu, yang terlihat pucat pasi, saat darah sudah sirna tersiram air yang mengalir dari wastafel. Joanna ambruk ke lantai, dan masih mencoba untuk menenangkan dirinya.
“Ada apa?” pria besar itu berlari menghampiri Joanna.
“Di wastafel!” seru Joanna. “Ada tangan…”
Pria besar itu bergerak ke arah wastafel, lalu mematikan aliran air. Tidak ada ekspresi berlebihan dari pria besar itu, yang tentu saja membuat Joanna mengerutkan keningnya. Apakah sebuah tangan di wastafel adalah hal yang normal?
“Tangan apa maksudmu?” tanya pria itu dengan dahi berkerut.
“Tangan it…” Joanna melongok ke arah wastafel, dan…, ia tidak menemukan tangan itu lagi. seolah menghilang begitu saja dari pandangan. Tapi Joanna seratus persen merasa yakin bahwa beberapa detik yang lalu terdapat sebuah tangan, sepertinya tangan wanita, tergeletak di dalam wastafel. Kini…
Hilang. Yang ada hanyalah permukaan keramik wastafel yang putih bersih, tanpa ada tanda-tanda dari keberadaan tangan sebelumnya.
“Aku tadi…”
“Kau mungkin kelelahan, Nona.” Ucap pria itu. “Sepertinya kau tidak akan bisa menyetir sampai…”
“Aku baik-baik saja.” Potong Joanna cepat. “Mungkin aku hanya…, lupakan saja. Bagaimana dengan mobil yang kau tawarkan itu?”
“Oh, ya. Tentu saja.” Jawab pria itu. “Ada di rumah. Kita pergi sekarang?”
Joanna mengikuti gerak langkah pria besar itu, keluar dari pintu belakang restoran. Dalam perjalanan itu, Joanna masih terus memikirkan soal tangan itu. Yang entah kenapa tiba-tiba saja menghilang. Apa ia berhalusinasi? Hal itu tidak pernah terjadi pada Joanna sebelumnya.
“Siapa namamu?” tanya pria itu sambil terus bergerak menyusuri gang.
“Joanna.” Jawab Joanna ringan.
“Aku Pedro.” Ucap pria itu memperkenalkan dirinya.
Keduanya terus berjalan mnyusuri gang yang sepi itu, hingga pada akhirnya mereka muncul di seberang blok. Keadaan di sekitar tempat itu tak jauh berbeda dengan keadaan di depan kedai. Deretan rumah penduduk terlihat kosong, dengan pekarangan terlantar. Joanna ingat bahwa Pedro mengatakan bahwa masih ada segelintir orang yang tinggal di kota itu. Namun sejauh apa yang dapat Joanna tangkap, tidak ada satupun cahaya dari rumah-rumah yang ia lewati.
“Disana!” seru Pedro sambil mengangkat tangannya. Ia menunjuk ke arah sebuah rumah yang berada di ujung jalan. Tidak seperti yang lain, rumah itu memancarkan cahaya kuning yang terasa hangat.
“Itu rumahku.”
“Kau yakin?” tanya Joanna cepat. “Maksudku…, kau yakin mau meminjamkan mobilmu padaku? Kita bahkan belum lama kenal.”
“Hanya itu kebaikan yang bisa kulakukan.” Jawab Pedro tanpa memandang ke arah Joannya. “Hanya itu.”
Rumah Pedro tidak dapat dikatakan layak untuk ditempati. Beberapa papan dindingnya sudah lepas, bahkan ada tembelan disana-sini. Lantai kayunya pun terlihat sudah begitu tua dan kotor. Tangga depan, berderak saat Joanna menapakinya.
Pedro membawa Joanna masuk kedalam ruang tamu yang terlihat berantakan. Banyak kotak bekas makanan disana-sini, kardus-kardus, botol kosong, dan segalanya. Sepertinya Pedro sama sekali tidak peduli dengan kebersihan. Aneh jika memikirkan bahwa restorannya terlihat begtu bersih. Berbanding terbalik dengan keadaan rumah itu.
“Lewat sini. Maaf, agak berantakan.”
Pedro mengarah ke pintu samping rumah, dan disanalah mobil Pedro berada. Di dalam sebuah garasi kecil yang tidak kalah berantakannya dengan ruang tamu. Namun, ada satu benda yang terlihat begitu mengkilat di dalam garasi itu. Sebuah mobil klasik tahun 70-an, dengan cat berwarna biru muda yang terlihat begitu menarik.
“Ini?” tanya Joanna ragu.
“Ya. Cantik, bukan begitu?”
Joanna memandangi mobil klasik itu lagi. Rasanya aneh. Joanna tidak yakin bahwa pria itu akan meminjamkan mobilnya begitu saja. Apalagi, mobil klasik seperti itu.
“Silahkan lihat-lihat! Jangan sungkan!”
Joanna entah kenapa menuruti perintah itu. Ia melongok ke dalam bagian dalam mobil, yang terlihat begitu mewah dan klasik dengan jok kulit berwarna putih, dan roda kemudi yang seolah dihiasi dengan emas.
“Ini luar biasa.” Ucap Joanna. Joanna untuk sesaat terpesona dengan kecantikan mobil klasik itu. Tak sadar, bahwa ada seseorang di belakangnya yang memiliki niat buruk. Tapi terlambat bagi Joanna untuk menyadari hal itu. Ketika ia memutar kepalanya kembali, satu pukulan mendarat telak di lehernya. Ia tak sadarkan diri.

**

Joanna merasa seperti bermimpi. Hanya ada kegelapan yang berputar di dalam otaknya. Dan rasa sakit menyerang bagian lehernya. Joanna kemudian sadar bahwa ia baru saja pingsan. Tapi kenapa?
Satu cahaya terang membutakan kedua mata Joanna saat ia mencoba untuk membuka matanya. Ia gerakkan tubuhnya tapi…, tidak. Tubuhnya tidak dapat bergerak bebas saat kedua tangannya terikat di belakang punggung. Joanna meregang. Nafasnya mulai keluar tidak tenang dari hidungnya. Joanna pada akhirnya dapat membuka kedua matanya, dan ia sadari bahwa ia berada di dalam sebuah ruangan yang tidak dapat dikatakan sebagai ruangan yang menyenangkan. Ia seperti berada di dalam gudang kecil, dengan dinding tembol, dan satu-satunya cahaya berasal dari bola lampu yang menggantung di tengah ruangan. Di depannya, terdapat sebuah meja, dengan satu onggokan yang tertutup kain tebal.
Joanna mencoba untuk melepaskan ikatannya. Namun usahanya itu sia-sia. Ia kini sadar bahwa ia telah terjatuh dalam persoalan yang cukup menyeramkan. Siapa pelakunya? Pasti Pedro, ‘kan?
Joanna tidak mau memikirkan hal itu. Satu-satunya hal yang ia inginkan adalah keluar dari ruangan itu secepatnya dan menyelamatkan diri. Sedikit mustahil, mengingat ia masih terikat. Ia sadari bahwa kedua kakinya juga terikat, dan ia duduk di sebuah kursi.
“TOLONG!!” teriak Joanna. Meski ia yakin bahwa tidak akan ada yang dapat mendengar suaranya. Malahan, teriakannya tadi mungkin akan menarik perhatian dari penculiknya. Pria besar itu.
Pintu ruangan tiba-tiba saja terbuka. Dan munculah, seperti dugaan Joanna, pria besar pemilik kedai itu. Pria itu masih menggunakan pakaian putih yang tadi ia kenakan. Dan kini ditambah dengan apron kotor dengan bercak noda berwarna merah kecoklatan.
“Oh! Kau sudah bangun.”
“Apa yang kau lakukan?” tanya Joanna. “Kenapa kau melakukan ini?”
“Aku hanya ingin bermain-main.” Jawab pedro. “Kau tahu, kota ini sedikit sepi, dan jarang sekali ada pengunjung. Kau, kebetulan dtang di saat yang tepat.”
“Keparat! Lepaskan aku!”
Pria itu terkekeh sambil mengelus-elus lengannya sendiri. Ia memandang Joanna, seperti seeokor harimau yang siap menerkam mangsanya.
“Aku ingin merasakan dirimu.” Ucap pria itu. Membuat Joanna semakin sibuk mencoba untuk melepaskan diri dari ikatan yang membelnggu tangannya.
“Apa maumu?” tanya Joanna dengan nada tinggi. Mungkin ia berteriak saat itu tanpa ia sadari. Pria itu tidak menjawab pertanyaan Joanna. Ia malah terkekeh, dan menunjuk ke arah onggokan yang tertutup kain diatas meja.
“Seperti wanita ini.” Ucapnya. Satu tangannya mengarah pada kain itu, dan dengan satu gerakan, menarik kain itu terbuka.
“TIDAK!!!”
Joanna menjerit seketika saat melihat apa yang sebenarnya berada di balik kain itu. Ia tidak dapat menjelaskannya. Benda itu seperti bukan benda hidup. Tapi ia masih dapat mengenali bentuk itu. Badan bagian atas seorang wanita yang telanjang, tanpa kepala. Darah terlihat membanjiri meja kayu itu.
“TIDAK!! TIDAK!!”
Pria itu terkekeh semakin lebar. Sedetik kemudian ia menarik keluar pisau dagingnya yang sudah berlumuran darah. Ia memainkan pisau itu di depan wajahnya.
“KEPARAT!!”
“Teruslah menjerit, tikus kecil!” ucap Pedro. “Tidak akan ada yang mendengarmu.”
Hal aneh terjadi selanjutnya. Satu hal yang tidak dapat membuat Joanna tenang, malah ia menjerit semakin keras. Pria itu mengarahkan pisau dagingnya pada satu salah payudara dari mayat itu, dan memotongnya. Joanna menjerit. Pedro semakin menyukai keadaan ini.
“Ini yang namanya kesempurnaan.” Ucap Pedro sambil mengangkat potongan payudara itu ke mulutnya, lalu…
Joanna menahan dirinya untuk tidak menjerit, dan seketika menutup kedua matanya. Ia tidak mau melihat pria itu memakan payudara mayat itu mentah-mentah. Benar-benar menjijikkan. Joanna semakin kuat mencoba untuk melepaskan diri dari ikatannya.
“Buka matamu, Joanna!” ucap pria itu. “Aku merasakan apa yang kau rasakan.”
Joanna mengerjap.
“Ya.” Ucap Pedro sambil terkekeh. “Kau juga telah memakan bagian bawah tubuh wanita ini. Burger itu!”
Joanna merasakan satu getaran di dalam tubuhnya saat mendengar kata-kata itu. Dan ada satu dorongan yang cukup kuat mendorong dari arah perutnya, yang memaksa mulutnya terbuka. Dan seketika, isi perutnya menyembur. Membasahi kedua kakinya.
“Tidak…” keluh Joanna lemah.
“Aku akan mengantarmu ke Santa Monica, Joanna. Dalam potongan kecil. Kau tidak perlu khawatir.”
Joanna masih menutup matanya. Ia tidak mau melihat mayat itu. Mayat yang tinggal sebagian, yang terlalu menjijikkan untuk dilihat.
“TIDAK!!”
“Buka matamu!”
“TIDAK!!!”
Joanna mendengar suara bergedebuk ke lantai saat mayat wanita itu dijatuhkan dari meja. Sedetik kemudian, cengeraman tangan yang kuat menarat pada pundaknya saat pria besar itu menariknya berdiri. Kedua tangannya dilepaskan dari ikatan, dan Joanna dipaksa untuk naik ke atas meja. Ia ditarik, namun Joanna meronta dengan keras. Satu kesempatan yang Joanna dapatkan tidak ia sia-siakan. Ia menggigit tangan pria itu dengan keras. Pria itu mengerang dan melepaskan cengkeramannya dari pundak Joanna.
Joanna berlari tanpa berpikir. Ia keluar dari ruangan itu, berlari secepat mungkin menaiki tangga. Rupanya ia berada di gudang belakang rumah. Ia berlari keluar dari gudang itu tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Joanna tak sadar bahwa ia menangis. Yang ia pikirkan hanyalah satu. Yaitu keluar dari kota itu secepatnya.
Joanna berlari menyusuri jalanan yang gelap, mencoba kembali ke arah mobilnya yang ia tinggalkan di depan restoran. Sambil berlari, ia berharap agar pria itu tidak mengikutinya. Namun…
Tidak!
Pria itu berlari di belakangnya mencoba untuk menangkapnya kembali. Joanna melangkahkan kakinya dengan begitu cepat, berlari, menyusuri gang, hingga sedan tuanya terlihat lagi. Ia segera masuk ke dalam mobil, tapi sayangnya ia lupa dimana kuncinya berada.
Joanna menjerit saat pria itu mendobrak mobilnya dari arah luar. Tatapan jahat pria itu mengarah padanya. Joanna mengunci mobilnya dari dalam. Dan pria itu mencoba untuk memecahkan kaca jendela.
“KEMBALI!! KEMBALI KAU TIKUS KECIL!!”
“PERGI DARIKU!!” Teriak Joanna sambil merogoh kantongnya. Dan sedetik kemudian….,
Dapat! Kuncinya ia temukan.
Satu putaran, dan mesin mobil itu menyala. Joanna tidak peduli lagi dengan roda depannya yang kempes. Ia segera memasukkan gigi mundur, lalu menekan pedal gas. Pria itu terserempet nyaris jatuh saat mobil Joanna bergerak. Namun pria itu masih dapat bangkit lagi. sorot lampu mobil itu menerangi sosok pria dengan baju penuh darah itu.
“KEMBALI!!”
Joanna mengeratkan pegangan tangannya pada setir kemudi. Dan seketika, menekan kembali pedal gasnya. Membuat mobil itu melaju kencang ke arah depan, dan…
BRAK!! Joanna berhasil menabrak tubuh pria itu. Pria itu tergeletak di halaman restoran, entah pingsan atau mati. Joanna tidak peduli lagi. ia tidak mau berlama-lama di tempat itu. Detik berikutnya, ia melesat pergi.

**

“Dia memakan wanita itu, di depan mataku!” ucap Joanna histeris saat menceritakan kembali teror yang ia alami beberapa jam yang lalu. Polisi wanita itu mendengarkan dengan seksama, dan sepertinya mengerti dengan apa yang Joanna rasakan.
“Kau tidak perlu khawatir lagi.” ucap polisi itu. “Kau aman. Dan kami akan segera menindak lanjuti kasus ini.”
“Dia tid…”
BRAK!! Sebuah hantaman keras terdengar dari arah depan pos polisi itu, menarik perhatian sang polisi wanita. Joanna tiba-tiba bergetar lagi. ia merasakan aura yang sama saat berada di kamp kanibal itu.
“Oh, tidak!”
“Jangan khawatir!” ucap polisi itu. “Biar aku lihat.”
Joanna dan polisi itu mengerjap seketika saat terdengar teriakan dari arah depan pos itu. Rekan sang polisi terdengar berteriak, memerintahkan seseorang untuk diam di tempat. Namun detik berikutnya, terdengar suara tembakan, dan kemudian erangan. Polisi wanita dan Joanna tidak tahu apa yang terjadi. Polisi itu segera menarik keluar pistolnya dan membuka pintu ruangan, tapi…
“TIDAK!!” Joanna berteriak seketika.
Pria itu mendobrak masuk ke dalam ruangan dengan belati di tangannya. Belati itu, tanpa dapat Joanna percaya, telah membabat leher polisi wanita itu tadi.
“MENJAUH DARIKU!!!” teriak Joanna histeris. Tangisannya keluar lagi. Pedro menyeringai ke arahnya sambil mengangkat belati penuh darahnya itu.
“Urusan kita belum selesai, Joanna.”

****


No comments:

Post a Comment