Gadis berusia 28 tahun dengan rambut coklat kemerahan itu
masih duduk di dalam pos polisi dengan tubuh bergetar. Bukan hanya karena hawa
dingin hujan malam itu. Tetapi ia masih merasa ngeri dengan tragedi yang baru
saja terjadi padanya, tak lebih dari dua jam yang lalu. Ia saat ini sudah
berada di dalam kantor polisi, mendapatkan selimut dan coklat panas. Namun
bayang-bayang mengerikan masih bertahan di dalam kepalanya.
“Nn. Riddle!” panggil salah
seorang anggota polisi yang bertugas malam itu. Wanita dalam balutan seragam
kepolsian itu mencoba untuk menenangkan Joanna Riddle, yang terus bergetar dan
menggumamkan kata-kata tidak jelas. Tatapan kedua mata hazel itu terpaku pada
satu titik, dan kadang bergerak jalang ke setiap tempat. Opsir wanita itu
menarik satu kursi, dan duduk tepat dihadapan Joanna. Dengan sikap penuh
pengertian, polisi itu mengelus pundak Joanna.
“Tidak apa-apa.” Ucap polisi
itu dengan nada lembut. “Kau sudah aman sekarang. Tidak perlu ada yang kau
takutkan lagi.”
“Dia datang…” gumam Joanna
dengan nada bergetar. “Dia membawa pisau, dan… darah di segala tempat. Wanita
itu…”
“Tenang, Nn. Riddle! Boleh
kupanggil dengan sebutan Joanna?” gadis berambut coklat itu mengangguk kecil.
Polisi wanita itu bangkit
dari kursinya lalu mengarah pada meja kecil yang ada di sudut ruangan. Ia
mengambil sebuah clipboard, dimana data dari Joanna Riddle sudah tertulis
dengan rapi.
Joanna Riddle, berdasarkan
dari keterangan yang ada di kertas itu, adalah seorang pegawai bank di
Silvestone. Gadis itu melakukan perjalanan ke selatan melewati Albatros, untuk
mencapai Santa Monica. Namun beberapa jam yang lalu, gadis itu mampir di sebuah
kedai yang terletak di persimpangan 37, yang jaraknya sekitar enam kilometer
dari pos polisi. Yang mengherankan adalah cerita dari gadis itu. Ia mengatakan
bahwa ia baru saja berada dalam kamp kanibal.
Polisi wanita itu masih
belum dapat mempercayai kebenaran cerita Joanna. Namun ia dengan sabar mencoba
untuk mengajak bicara gadis itu, dan mencoba untuk menarik informasi sebanyak
mungkin mengenai tempat itu.
“Bisa kau ceritakan lagi
mengenai tempat itu?” pinta sang polisi setelah kembali ke kursinya. Wajah
Joanna masih tertunduk dengan rambut basah menutupi wajahnya.
“Joanna?”
Gadis itu tiba-tiba mengangkat
wajahnya. Kedua matanya memerah, karena terlalu lama menangis. Terlihat jelas
raut penuh teror di wajah yang pucat pasi itu. Polisi itu mengelus lagi pundak
Joanna, mencoba menenangkan gadis itu.
“Seperti mimpi buruk.” Ucap
Joanna pelan. “Aku tidak…”
“Tidak apa-apa.” Potong
polisi wanita itu. “Ceritakan pelan-pelan.”
Segalanya bermula dari
sebuah surat yang datang dari salah satu saudara Joanna yang tinggal di Santa
Monica. Sebuah surat undangan pernikahan, yang harus ia hadiri besok pagi.
Joannya tahu bahwa ia bisa saja naik pesawat untuk tiba di Santa Monica dengan
cepat. Namun entah kenapa hari itu ia memilih untuk menyetir. Perjalanan
panjang dari Silverstone, ke arah selatan, melewati Albatros. Namun hal yang
tak ia inginkan datang sore itu. Hujan deras, yang memaksa Joanna untuk mampir
ke sebuah tempat dan menunggu hingga hujan reda. Sebab ia tahu bahwa jalan yang
akan ia tempuh tergolong licin dan berbahaya saat hujan deras.
Joanna dengan santai duduk
di belakang kemudi sore itu. Langit sudah gelap, padahal jam baru menunjukkan
pukul lima sore. Dan secara tak terduga, hujan mulai turun. Saat itu ia baru
seperempat perjalanan menuju Santa Monica. Namun sudah terlalu jauh dari
pemukiman, karena ia mengambil jalan yang sepi membelah hutan.
Hanya suara radio yang
menemaninya saat itu. Menyetir dalam keadaan hujan di tengah hutan bisa sangat
berbahaya. Joanna tahu akibatnya. Dan ia memutuskan untuk tidak melanjutkan
perjalanannya.
Ada sebuah pemukiman kecil
yang terletak diantara Silverstone dan Albatros. Sebuah kota kecil yang dikenal
dengan sebutan Oak Falls. Hanya pemukiman yang sepertinya jarang diambah
manusia, melihat dari gedung-gedungnya yang usdah tua dengan cat mengelupas.
Tidak ada yang menarik dari kota itu. Dan Joanna bisa saja tidak mampir, seandainya
tidak hujan.
Ia memutuskan untuk
menghentikan mobilnya di lapangan parkir di depan sebuah restoran kecil.
Satu-satunya toko yang masih buka saat itu. Joanna sama sekali tidak memiliki
firasat bahwa hal buruk akan terjadi. Ia melenggang dengan santai memasuki
restoran itu, yang sepi, dan hanya ditunggu oleh seorang pria bertubuh besar
yang berdiri di belakang meja bar.
Satu senyum ramah dilepaskan
oleh sang pemilik kedai saat Joanna bergerak masuk. Tidak ada yang aneh.
Restoran itu cukup bersih, jauh dari apa yang Joanna pikirkan.
“Kau bepergian jauh?” tanya
pria bertubuh besar itu setelah Joanna duduk di depan meja bar dan memesan kopi
panas.
“Ya.” Jawab Joanna dengan
ringan. “Ke Santa Monica. Aku harus tiba tepat waktu besok pagi.”
“Untuk acara apa?
Pekerjaan?”
“Acara pernikahan.” Jawab
Joanna cepat.
Gerak-gerik dari pemilik
kedai itu sama sekali tidak mencurigakan. Bahkan menurut Joanna, pemilik kedai
itu terlihat begitu ramah padanya. Kadang pria itu bergurau, mengucapkan homur
kecilnya. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Meski Joanna sempat berpikir,
kota itu terlihat lebih sepi dari apa yang ia bayangkan. Sama sekali tidak
terlihat adanya cahaya di gedung-gedung yang berderet di depan restoran itu.
Semuanya terlihat kosong dan terbengkalai.
“Ada berapa banyak orang
yang tinggal di kota ini?” tanya Joanna setelah menyadari keanehan
gedung-gedung itu.
“Tidak banyak.” Jawab pria
besar itu. “Sebagian besar penduduk memilih untuk pergi meninggalkan Oak Falls
sepuluh tahun yang lalu. Aku tidak tahu alasannya. Kini, hanya ada segelintir
orang yang tinggal.”
“Kau tidak ikut pergi?”
“Untuk apa?” balas pria itu.
“Aku sudah hidup terlalu lama di kota ini. Dan rasanya, tidak ada alasan untuk
pergi. Aku suka dengan pemandangan kota ini.”
Joanna merasa tidak begitu
yakin soal hal itu. Oak Falls tergolong sebagai kota kecil yang menurutnya
sedikit menyeramkan. Bukan seperti kota kecil yang digambarkan di tv-tv, dimana
kota itu terletak di tengah hutan yang asri dengan pemandangan menakjubkan.
Sebaliknya, Oak Falls terlihat seperti kota kecil dalam beberapa film horor.
Kosong, dengan pohon-pohon besar tua yang mengerikan. Bisa tinggal di tempat
seperti itu seolah adalah sebuah keajaiban. Joanna sendiri tidak mau jika
diminta untuk tinggal di kota seperti itu.
“Bagaimana dengan bisnis?”
tanya Joanna beberapa saat kemudian. “Kedai ini sepertinya…, baik-baik saja.
Mengingat tidak banyak orang yang tinggal di kota…, maksudku…”
“Ya, ya. Baik-baik saja.” Jawab
pria besar itu. “Kebanyakan dari pelanggan adalah orang-orang sepertimu. Orang
yang bepergian. Untuk penduduk disini, mereka kadang datang, kadang tidak.
Bukan masalah bagiku. Aku membuka kedai ini hanya sebagai hobi.”
“Kau punya pekerjaan lain?”
tanya Joanna.
“Ya.” Jawab pria itu. Dan
seketika Joanna seperti melihat seringai dingin di wajah pria itu saat pria itu
mengucapkan kalimat berikutnya yang berbunyi,
“Aku jagal sapi.”
Joanna hanya mengangguk.
Entah kenapa kata-kata itu terdengar sedikit aneh dan menyeramkan. Jagal sapi,
bukanlah hal yang aneh. Namun dalam konteks yang lebih dalam, mungkin kata
‘jagal sapi’ memiliki arti tersendiri.
Hujan semakin deras diluar
sana, dan kegelapan mulai menyelimuti kota kecil itu. Joanna sadar bahwa
perjalanannya akan tertunda. Ia mencoba untuk menelepon saudaranya yang ada di
Santa Monica, berusaha mengatakan bahwa mungkin ia akan datang terlambat.
Sayangnya, tidak ada sinyal di kota kecil itu.
“Ada telepon kabel.” Ucap
sang pemilik kedai sambil menunjuk pada telepon yang ada di ujung bar. Joanna
bergerak ke arah telepon itu dan membuat panggilan.
Anehnya, Joanna merasa
seperti sedang diawasi. Ketika ia menunduk, seolah ada sepasang mata yang
memperhatikannya. Apakah pria itu? Bukan. Pria itu masih terlihat sibuk dengan
gelas-gelas di wastafel. Lalu siapa? Joanna merasa tidak begitu nyaman.
“Sepertinya kau harus
tinggal lebih lama, Nona.” Ucap pria besar itu ketika hujan semakin deras. Kini
terlihat seperti badai, dan beberapa kali kilat menyambar.
“Hari yang luar biasa.”
Gerutu Joanna sambil mengarah kembali ke kursinya. Kopi panasnya hampir habis.
Dan tidak ia sangkal bahwa ia merasa sedikit lapar.
“Burger. Siap!” ucap pria
itu setelah Joanna memesan.
Joanna sebenarnya tidak
terlalu lapar saat itu. Tapi apa lagi yang harus ia lakukan di tengah hujan
seperti itu? Memakan burger itu ia lakukan hanya untuk mengisi waktu longgar.
Tapi ada yang aneh dari burger itu. Aromanya biasa saja, namun tekstur dari
dagingnya sedikit aneh. Pria besar itu sepertinya sadar dengan raut wajah aneh
Joanna.
“Bagaimana burgernya?”
“Lumayan.” Jawab Joanna.
Meski ia sebenarnya tidak begitu menyukai burger yang ada di tangannya itu.
Namun, ia paksakan untuk memakannya lagi. Rasanya benar-benar aneh.
Jarum jam bergerak cepat,
menunjukkan pukul tujuh malam. Tapi, hujan diluar belum juga berhenti. Joanna
hampir mengambil keputusan untuk berkendara dalam badai. Namun pria besar itu
melarangnya pergi.
“Jalue ke Albatros melewati
jalan sepi dan berbahaya. Terutama dalam kondisi badai seperti ini. Tunggu
beberapa jam! Hujan tidak akan turun terus menerus, kurasa.”
Mungkin ucapan itu ada
benarnya. Joanna tidak mau mengambil resiko. Lagipula, ia sudah menelepon ke
Santa Monica. Mengatakan bahwa ia mungkin akan terlambat.
Joanna bangkit dari kursinya
sambil membawa cangkir, yang kemudian ia bawa ke deretan kursi sofa. Ia
memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak, karena ia sudah merasa terlalu
letih. Tak ia sangka bahwa ia bisa ketiduran cukup lama. Ketika ia bangun,
hujan sudah berhenti. Bagus!
Joanna mengarah ke meja baru
untuk membayar minuman dan burgernya tadi, tapi…, pria itu menghilang. Ya.
Tidak ada tanda-tanda keberadaan pria bertubuh besar itu.
“Halo!” seru Joanna. Namun
tidak ada jawaban. Joanna sempat melihat pintu di belakang bar, yang mungkin
mengarah ke dapur. Mungkinkah pria besar itu disana? Joanna tidak ingin mencari
tahu. Ia memutuskan untuk menaruh lembaran uang di meja, dan bergerak keluar
dari restoran kecil itu.
Jarum jam sudah menunjukkan
pukul sepuluh malam. Memang sudah benar-benar larut. Joanna menyalahkan dirinya
sendiri karena ketiduran.
Joanna bergerak menuju
mobilnya yang terparkir di halaman restoran
itu. Namun satu hal tak terkira ia temukan pada mobilnya. Roda depannya
kempes. Tidak mungkin! Joanna yakin bahwa pagi tadi ia sudah melakukan pemeriksaan
pada mobilnya. Dan ban kempes itu sepertinya tidak normal.
Hal ini memaksa Joanna untuk
kembali masuk ke dalam restoran, mencoba untuk meminta bantuan. Ia dikagetkan
oleh kedatangan pria besar itu, yang tiba-tiba saja sudah muncul di belakang
bar.
“Kau sudha mau pergi?”
“Sebenarnya, ya.” Jawab
Joanna. “Tapi ada hal lain yang sepertinya akan menunda keberangkatanku.”
“Hal besar?”
“Ban mobilku kempes.”
“Oh!”
“Ada montir di sekitar
sini?” tanya Joanna cepat. Pria besar itu terlihat berpikir sejenak, sebelum
membuka mulutnya kembali.
“Ada.” Jawabnya. Untuk
sesaat, Joanna merasa senang. Tapi…
“Tidak untuk saat ini.”
Lanjut pria itu. “Ini sudah jam sepuluh malam. Bengkelnya sudah tutup. Mungkin
besok pagi…”
“Aku tidak bisa tinggal
hingga besok pagi. Aku ahrus sampai di Santa Monica paling tidak besok siang.
Tidak ada waktu lagi.”
“Kau tidak membawa ban
serep?”
“Tidak.” Jawab Joanna.
Seketika ia merasa sedikit cemas. Apa yang akan ia lakukan dalam situasi
seperti ini.
“Aku bisa membantumu.” Ucap
pria besar itu. Joanna memandangnya dengan tatapan serius.
“Oh, ya?”
“Aku punya mobil tidak
dipakai. Kau bisa memakainya jika kau mau.”
“Kau yakin?”
Pria besar itu tersenyum.
Entah karena apa. Mungkin ia hanya merasa senang dapat membantu seorang wanita
seperti Joanna. Dan Joanna, merasa sedikit beruntung, meskipun tawaran itu
terdengar sedikit aneh.
“Kau mau mampir ke rumahku?
Aku mau menutup toko ini. Mobilku ada di rumah.”
“Ya.” Jawab Joanna.
“Sebelumnya, boleh aku meminjam toiletnya?”
“Di belakang.”
Joanna segera bergerak masuk
melalui pintu yang ada di belakang meja bar. Dan seketika, ia masuk ke dalam
area dapur yang entah kenapa terlihat sedikit menyeramkan baginya. Terdapat
begitu banyak pisau bergantungan, dan ada pisau besar pemotong daging yang
tergeletak di meja, penuh dengan darah. Ia bahkan melihat beberapa onggokan
daging di meja. Daging sapi? Ya. Apa lagi jika bukan daging sapi?
Tetap saja, aura dari
ruangan itu terlihat sedikit tidak menyenangkan. Joanna dengan cepat bergerak
melalui onggokan daging dan darah itu dan masuk ke dalam toilet. Ia
menghabiskan waktu sekitar lima menit di dalam toilet. Dan dalam perjalanannya
kembali ke depan, perhatiannya terebut oleh air yang mengalir dari salah satu
wastafel yang ada di dapur itu. Joanna melangkah ke wastafel itu, tapi…
“AAHH!!”
Joanna menjerit seketika
saat melihat apa yang ada di wastafel itu. Terdapat sepotong tangan manusia di
wastafel itu, yang terlihat pucat pasi, saat darah sudah sirna tersiram air
yang mengalir dari wastafel. Joanna ambruk ke lantai, dan masih mencoba untuk
menenangkan dirinya.
“Ada apa?” pria besar itu
berlari menghampiri Joanna.
“Di wastafel!” seru Joanna.
“Ada tangan…”
Pria besar itu bergerak ke
arah wastafel, lalu mematikan aliran air. Tidak ada ekspresi berlebihan dari
pria besar itu, yang tentu saja membuat Joanna mengerutkan keningnya. Apakah
sebuah tangan di wastafel adalah hal yang normal?
“Tangan apa maksudmu?” tanya
pria itu dengan dahi berkerut.
“Tangan it…” Joanna melongok
ke arah wastafel, dan…, ia tidak menemukan tangan itu lagi. seolah menghilang
begitu saja dari pandangan. Tapi Joanna seratus persen merasa yakin bahwa
beberapa detik yang lalu terdapat sebuah tangan, sepertinya tangan wanita,
tergeletak di dalam wastafel. Kini…
Hilang. Yang ada hanyalah
permukaan keramik wastafel yang putih bersih, tanpa ada tanda-tanda dari
keberadaan tangan sebelumnya.
“Aku tadi…”
“Kau mungkin kelelahan,
Nona.” Ucap pria itu. “Sepertinya kau tidak akan bisa menyetir sampai…”
“Aku baik-baik saja.” Potong
Joanna cepat. “Mungkin aku hanya…, lupakan saja. Bagaimana dengan mobil yang
kau tawarkan itu?”
“Oh, ya. Tentu saja.” Jawab
pria itu. “Ada di rumah. Kita pergi sekarang?”
Joanna mengikuti gerak
langkah pria besar itu, keluar dari pintu belakang restoran. Dalam perjalanan
itu, Joanna masih terus memikirkan soal tangan itu. Yang entah kenapa tiba-tiba
saja menghilang. Apa ia berhalusinasi? Hal itu tidak pernah terjadi pada Joanna
sebelumnya.
“Siapa namamu?” tanya pria
itu sambil terus bergerak menyusuri gang.
“Joanna.” Jawab Joanna
ringan.
“Aku Pedro.” Ucap pria itu
memperkenalkan dirinya.
Keduanya terus berjalan
mnyusuri gang yang sepi itu, hingga pada akhirnya mereka muncul di seberang
blok. Keadaan di sekitar tempat itu tak jauh berbeda dengan keadaan di depan
kedai. Deretan rumah penduduk terlihat kosong, dengan pekarangan terlantar.
Joanna ingat bahwa Pedro mengatakan bahwa masih ada segelintir orang yang
tinggal di kota itu. Namun sejauh apa yang dapat Joanna tangkap, tidak ada
satupun cahaya dari rumah-rumah yang ia lewati.
“Disana!” seru Pedro sambil
mengangkat tangannya. Ia menunjuk ke arah sebuah rumah yang berada di ujung
jalan. Tidak seperti yang lain, rumah itu memancarkan cahaya kuning yang terasa
hangat.
“Itu rumahku.”
“Kau yakin?” tanya Joanna
cepat. “Maksudku…, kau yakin mau meminjamkan mobilmu padaku? Kita bahkan belum
lama kenal.”
“Hanya itu kebaikan yang
bisa kulakukan.” Jawab Pedro tanpa memandang ke arah Joannya. “Hanya itu.”
Rumah Pedro tidak dapat
dikatakan layak untuk ditempati. Beberapa papan dindingnya sudah lepas, bahkan
ada tembelan disana-sini. Lantai kayunya pun terlihat sudah begitu tua dan
kotor. Tangga depan, berderak saat Joanna menapakinya.
Pedro membawa Joanna masuk
kedalam ruang tamu yang terlihat berantakan. Banyak kotak bekas makanan
disana-sini, kardus-kardus, botol kosong, dan segalanya. Sepertinya Pedro sama
sekali tidak peduli dengan kebersihan. Aneh jika memikirkan bahwa restorannya
terlihat begtu bersih. Berbanding terbalik dengan keadaan rumah itu.
“Lewat sini. Maaf, agak
berantakan.”
Pedro mengarah ke pintu
samping rumah, dan disanalah mobil Pedro berada. Di dalam sebuah garasi kecil
yang tidak kalah berantakannya dengan ruang tamu. Namun, ada satu benda yang
terlihat begitu mengkilat di dalam garasi itu. Sebuah mobil klasik tahun 70-an,
dengan cat berwarna biru muda yang terlihat begitu menarik.
“Ini?” tanya Joanna ragu.
“Ya. Cantik, bukan begitu?”
Joanna memandangi mobil
klasik itu lagi. Rasanya aneh. Joanna tidak yakin bahwa pria itu akan
meminjamkan mobilnya begitu saja. Apalagi, mobil klasik seperti itu.
“Silahkan lihat-lihat!
Jangan sungkan!”
Joanna entah kenapa menuruti
perintah itu. Ia melongok ke dalam bagian dalam mobil, yang terlihat begitu
mewah dan klasik dengan jok kulit berwarna putih, dan roda kemudi yang seolah
dihiasi dengan emas.
“Ini luar biasa.” Ucap
Joanna. Joanna untuk sesaat terpesona dengan kecantikan mobil klasik itu. Tak
sadar, bahwa ada seseorang di belakangnya yang memiliki niat buruk. Tapi
terlambat bagi Joanna untuk menyadari hal itu. Ketika ia memutar kepalanya
kembali, satu pukulan mendarat telak di lehernya. Ia tak sadarkan diri.
**
Joanna merasa seperti
bermimpi. Hanya ada kegelapan yang berputar di dalam otaknya. Dan rasa sakit
menyerang bagian lehernya. Joanna kemudian sadar bahwa ia baru saja pingsan.
Tapi kenapa?
Satu cahaya terang
membutakan kedua mata Joanna saat ia mencoba untuk membuka matanya. Ia gerakkan
tubuhnya tapi…, tidak. Tubuhnya tidak dapat bergerak bebas saat kedua tangannya
terikat di belakang punggung. Joanna meregang. Nafasnya mulai keluar tidak
tenang dari hidungnya. Joanna pada akhirnya dapat membuka kedua matanya, dan ia
sadari bahwa ia berada di dalam sebuah ruangan yang tidak dapat dikatakan
sebagai ruangan yang menyenangkan. Ia seperti berada di dalam gudang kecil,
dengan dinding tembol, dan satu-satunya cahaya berasal dari bola lampu yang
menggantung di tengah ruangan. Di depannya, terdapat sebuah meja, dengan satu
onggokan yang tertutup kain tebal.
Joanna mencoba untuk
melepaskan ikatannya. Namun usahanya itu sia-sia. Ia kini sadar bahwa ia telah terjatuh
dalam persoalan yang cukup menyeramkan. Siapa pelakunya? Pasti Pedro, ‘kan?
Joanna tidak mau memikirkan
hal itu. Satu-satunya hal yang ia inginkan adalah keluar dari ruangan itu
secepatnya dan menyelamatkan diri. Sedikit mustahil, mengingat ia masih terikat.
Ia sadari bahwa kedua kakinya juga terikat, dan ia duduk di sebuah kursi.
“TOLONG!!” teriak Joanna.
Meski ia yakin bahwa tidak akan ada yang dapat mendengar suaranya. Malahan,
teriakannya tadi mungkin akan menarik perhatian dari penculiknya. Pria besar
itu.
Pintu ruangan tiba-tiba saja
terbuka. Dan munculah, seperti dugaan Joanna, pria besar pemilik kedai itu.
Pria itu masih menggunakan pakaian putih yang tadi ia kenakan. Dan kini
ditambah dengan apron kotor dengan bercak noda berwarna merah kecoklatan.
“Oh! Kau sudah bangun.”
“Apa yang kau lakukan?”
tanya Joanna. “Kenapa kau melakukan ini?”
“Aku hanya ingin
bermain-main.” Jawab pedro. “Kau tahu, kota ini sedikit sepi, dan jarang sekali
ada pengunjung. Kau, kebetulan dtang di saat yang tepat.”
“Keparat! Lepaskan aku!”
Pria itu terkekeh sambil
mengelus-elus lengannya sendiri. Ia memandang Joanna, seperti seeokor harimau
yang siap menerkam mangsanya.
“Aku ingin merasakan
dirimu.” Ucap pria itu. Membuat Joanna semakin sibuk mencoba untuk melepaskan
diri dari ikatan yang membelnggu tangannya.
“Apa maumu?” tanya Joanna
dengan nada tinggi. Mungkin ia berteriak saat itu tanpa ia sadari. Pria itu
tidak menjawab pertanyaan Joanna. Ia malah terkekeh, dan menunjuk ke arah
onggokan yang tertutup kain diatas meja.
“Seperti wanita ini.”
Ucapnya. Satu tangannya mengarah pada kain itu, dan dengan satu gerakan,
menarik kain itu terbuka.
“TIDAK!!!”
Joanna menjerit seketika
saat melihat apa yang sebenarnya berada di balik kain itu. Ia tidak dapat
menjelaskannya. Benda itu seperti bukan benda hidup. Tapi ia masih dapat
mengenali bentuk itu. Badan bagian atas seorang wanita yang telanjang, tanpa
kepala. Darah terlihat membanjiri meja kayu itu.
“TIDAK!! TIDAK!!”
Pria itu terkekeh semakin
lebar. Sedetik kemudian ia menarik keluar pisau dagingnya yang sudah berlumuran
darah. Ia memainkan pisau itu di depan wajahnya.
“KEPARAT!!”
“Teruslah menjerit, tikus
kecil!” ucap Pedro. “Tidak akan ada yang mendengarmu.”
Hal aneh terjadi
selanjutnya. Satu hal yang tidak dapat membuat Joanna tenang, malah ia menjerit
semakin keras. Pria itu mengarahkan pisau dagingnya pada satu salah payudara
dari mayat itu, dan memotongnya. Joanna menjerit. Pedro semakin menyukai
keadaan ini.
“Ini yang namanya
kesempurnaan.” Ucap Pedro sambil mengangkat potongan payudara itu ke mulutnya,
lalu…
Joanna menahan dirinya untuk
tidak menjerit, dan seketika menutup kedua matanya. Ia tidak mau melihat pria
itu memakan payudara mayat itu mentah-mentah. Benar-benar menjijikkan. Joanna
semakin kuat mencoba untuk melepaskan diri dari ikatannya.
“Buka matamu, Joanna!” ucap
pria itu. “Aku merasakan apa yang kau rasakan.”
Joanna mengerjap.
“Ya.” Ucap Pedro sambil
terkekeh. “Kau juga telah memakan bagian bawah tubuh wanita ini. Burger itu!”
Joanna merasakan satu
getaran di dalam tubuhnya saat mendengar kata-kata itu. Dan ada satu dorongan
yang cukup kuat mendorong dari arah perutnya, yang memaksa mulutnya terbuka.
Dan seketika, isi perutnya menyembur. Membasahi kedua kakinya.
“Tidak…” keluh Joanna lemah.
“Aku akan mengantarmu ke
Santa Monica, Joanna. Dalam potongan kecil. Kau tidak perlu khawatir.”
Joanna masih menutup
matanya. Ia tidak mau melihat mayat itu. Mayat yang tinggal sebagian, yang
terlalu menjijikkan untuk dilihat.
“TIDAK!!”
“Buka matamu!”
“TIDAK!!!”
Joanna mendengar suara
bergedebuk ke lantai saat mayat wanita itu dijatuhkan dari meja. Sedetik
kemudian, cengeraman tangan yang kuat menarat pada pundaknya saat pria besar
itu menariknya berdiri. Kedua tangannya dilepaskan dari ikatan, dan Joanna dipaksa
untuk naik ke atas meja. Ia ditarik, namun Joanna meronta dengan keras. Satu
kesempatan yang Joanna dapatkan tidak ia sia-siakan. Ia menggigit tangan pria
itu dengan keras. Pria itu mengerang dan melepaskan cengkeramannya dari pundak
Joanna.
Joanna berlari tanpa
berpikir. Ia keluar dari ruangan itu, berlari secepat mungkin menaiki tangga.
Rupanya ia berada di gudang belakang rumah. Ia berlari keluar dari gudang itu
tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Joanna tak sadar bahwa ia menangis. Yang
ia pikirkan hanyalah satu. Yaitu keluar dari kota itu secepatnya.
Joanna berlari menyusuri
jalanan yang gelap, mencoba kembali ke arah mobilnya yang ia tinggalkan di
depan restoran. Sambil berlari, ia berharap agar pria itu tidak mengikutinya.
Namun…
Tidak!
Pria itu berlari di
belakangnya mencoba untuk menangkapnya kembali. Joanna melangkahkan kakinya
dengan begitu cepat, berlari, menyusuri gang, hingga sedan tuanya terlihat
lagi. Ia segera masuk ke dalam mobil, tapi sayangnya ia lupa dimana kuncinya
berada.
Joanna menjerit saat pria
itu mendobrak mobilnya dari arah luar. Tatapan jahat pria itu mengarah padanya.
Joanna mengunci mobilnya dari dalam. Dan pria itu mencoba untuk memecahkan kaca
jendela.
“KEMBALI!! KEMBALI KAU TIKUS
KECIL!!”
“PERGI DARIKU!!” Teriak
Joanna sambil merogoh kantongnya. Dan sedetik kemudian….,
Dapat! Kuncinya ia temukan.
Satu putaran, dan mesin
mobil itu menyala. Joanna tidak peduli lagi dengan roda depannya yang kempes.
Ia segera memasukkan gigi mundur, lalu menekan pedal gas. Pria itu terserempet
nyaris jatuh saat mobil Joanna bergerak. Namun pria itu masih dapat bangkit
lagi. sorot lampu mobil itu menerangi sosok pria dengan baju penuh darah itu.
“KEMBALI!!”
Joanna mengeratkan pegangan
tangannya pada setir kemudi. Dan seketika, menekan kembali pedal gasnya.
Membuat mobil itu melaju kencang ke arah depan, dan…
BRAK!! Joanna berhasil
menabrak tubuh pria itu. Pria itu tergeletak di halaman restoran, entah pingsan
atau mati. Joanna tidak peduli lagi. ia tidak mau berlama-lama di tempat itu.
Detik berikutnya, ia melesat pergi.
**
“Dia memakan wanita itu, di
depan mataku!” ucap Joanna histeris saat menceritakan kembali teror yang ia
alami beberapa jam yang lalu. Polisi wanita itu mendengarkan dengan seksama,
dan sepertinya mengerti dengan apa yang Joanna rasakan.
“Kau tidak perlu khawatir
lagi.” ucap polisi itu. “Kau aman. Dan kami akan segera menindak lanjuti kasus
ini.”
“Dia tid…”
BRAK!! Sebuah hantaman keras
terdengar dari arah depan pos polisi itu, menarik perhatian sang polisi wanita.
Joanna tiba-tiba bergetar lagi. ia merasakan aura yang sama saat berada di kamp
kanibal itu.
“Oh, tidak!”
“Jangan khawatir!” ucap
polisi itu. “Biar aku lihat.”
Joanna dan polisi itu
mengerjap seketika saat terdengar teriakan dari arah depan pos itu. Rekan sang
polisi terdengar berteriak, memerintahkan seseorang untuk diam di tempat. Namun
detik berikutnya, terdengar suara tembakan, dan kemudian erangan. Polisi wanita
dan Joanna tidak tahu apa yang terjadi. Polisi itu segera menarik keluar
pistolnya dan membuka pintu ruangan, tapi…
“TIDAK!!” Joanna berteriak
seketika.
Pria itu mendobrak masuk ke
dalam ruangan dengan belati di tangannya. Belati itu, tanpa dapat Joanna
percaya, telah membabat leher polisi wanita itu tadi.
“MENJAUH DARIKU!!!” teriak
Joanna histeris. Tangisannya keluar lagi. Pedro menyeringai ke arahnya sambil
mengangkat belati penuh darahnya itu.
“Urusan kita belum selesai,
Joanna.”
****
No comments:
Post a Comment