Thursday, November 5, 2015

PERJALANAN MAUT TRAVIS DENT



Ucapan orang-orang tua dari generasi lama kadang ada benarnya kadang juga tidak. Dengan majunya teknologi, ucapan-ucapan para orang tua yang berbau spiritual dan tabu sudah tidak dapat dipercaya lagi. Apakah hantu dan kutukan itu benar ada? Melihat kini manusia sudah dapat terbang ke luar angkasa, sepertinya cerita-cerita mengerikan seperti itu hanya ada dalam film dan video game. Ada banyak sekali alasan dan teori untuk tidak mempercayai hal-hal spiritual seperti. Salah satunya, adalah Travis Dent.
Travis bukanlah seorang pakar dalam dunia teknologi atau seseorang yang memiliki pemikiran dan teori jauh mengenai ada atau tidaknya hal-hal yang berbau spiritual seperti itu. Dia memiliki agama, dan percaya pada adanya Tuhan. Namun sebagian besar waktunya ia gunakan untuk mencari fakta-fakta yang membuktikan bahwa hal-hal semacam itu hanyalah omong kosong belaka. Jadi dapat dikatakan, ia tidak benar-benar orang yang religius.
“Jangan berkata kotor di tempat sakral!” ucap seseorang pada Travis. Namun Travis hanya tertawa, dan mengangap hal itu sebuah lelucon. Ia sudah sering melanggar aturan-aturan seperti itu, dan hingga detik ini ia masih hidup dan tidak mendapatkan kutukan. Adakah alasan yang cukup rasional untuk mempercayai kutukan?
Travis tengah berkendara sendirian ke arah barat Sherland, menembus pekatnya hutan Bokoye saat ia mendapatkan telepon dari seseorang. Dengan satu tangan berpegangan pada kemudi, ia mengangkat ponselnya.
“Ah!  Walker. Ada apa?”
“Kudengar kau sedang menuju Silvermount.” Ucap kawannya dari seberang sambungan telepon. “Kau berkendara lagi?”
“Ya.” Jawab Travis. “Aku kini sedang melewati Bokoye. Mungkin aku akan menginap di salah satu tempat di kota berikutnya.”
“Kau dekat dengan Blackwood?”
“Mungkin.” Jawab Travis. “Mungkin aku akan melewatinya.”
“Hati-hati, Travis!”
Travis tertawa seketika. Ia sudah hafal dengan beberapa orang yang sering mengatakan hal-hal buruk mengenai Blackwood. Hal-hal misterius, supranatural, kutukan, dan segala hal yang sama sekali tidak mendapatkan perhatian khusu dari Travis.
“Jangan katakan…”
“Rumornya benar.” Potong temannya. “Jika kau tidak membunyikan klakson tiga kali saat melewati persimpangan Blackwood, kau akan celaka.”
“Kau sudah kenal aku, ‘kan, Walker?” ucap Travis. “Kau kira aku akan percaya dengan hal-hal seperti itu?”
“Terserah apa katammu, Travis. Kau sudah kuperingatkan.”
Travis menutup sambungan telepon dengan satu tawa keluar dari mulutnya. Ya. Lagi-lagi ia mendapatkan bualan mengenai kutukan. Apakah hantu peduli dengan klakson mobil? Hal itu membuat Travis terkikik geli. Hal-hal spiritual yang sama sekali tidak masuk akal. Seperti ritual yang mengharuskan seseorang memberikan makanan pada arwah tak terlihat. Jika dipikir-pikir, bagaimana cara hantu makan?
Travis menginjak lebih dalam pedal gas mobilnya. Ia ingin cepat sampai di Silvermount sebelum matahari terbit. Untuk itu, ia harus mengambil jalan pintas, melalui sebuah kota yang sudah dianggap sakral dan penuh kutukan oleh sebagian besar warga Sherland, Blackwood. Seangker apa sebenarnya kota itu? Travis ingin mengetahuinya.
Jarum jam di dashboard mobilnya menunjukkan pukul sebelas malam. Keadan hutan yang gelap, ditambah dengan turunnya hujan membuat pandangan Travis sedikit kabur. Tapi, pria dengan tipe nekat seperti Travis tidak akan gentar dengan hal-hal seperti itu. Jalanan yang licin mungkin akan sedikit menghambatnya. Namun ia sama sekali tidak menurunkan kecepatannya.
Travis tengah mendengarkan sebuah lagu di radio mobilnya ketika ia sadari ia telah sampai di tempat yang disebutkan oleh temannya tadi. Sebuah persimpangan jalan yang mengarah ke Blackwood. Apakah ia kini harus membunyikan klaksonnya tiga kali?
Travis tertawa. Alih-alih melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, ia malah memutar kenob volume radionya hingga menggelegar, mengalahkan suara rintik hujan diluar mobilnya. Dengan satu acungan ajri tengah ke arah perempatan itu, Travis menginjak dalam-dalam pedal gasnya.
Travis menunggu seandainya ada hal mistis yang akan terjadi. Ia sadar bahwa ia baru saja melanggar sebuah aturan tabu. Apakah akan ada kepala setan yang muncul dari langit dan menghadang jalannya? Konyol. Sama sekali tidak masuk akal.
“Ah! Blackwood.” Gumam Travis senang saat ia melihat siluet kota yang berada di puncak bukit itu. Travis mulai memelankan lajunya ketika ia melintasi sebuah papan nama yang bertuliskan, ‘Selamat datang di Blackwood’. Apa yang harus ditakuti?
Travis menyalakan sebatang rokok sembari melihat pemandangan kota Blackwood di malam hari. Kota kecil itu terlihat begitu sepi. Tidak ada satupun kendaraan yang lewat semenjak Travis memasuki kota itu. Ia sadari pula bahwa hujan telah berhenti, dan kini tergantikan oleh adanya kabut tebal yang menghalangi pandangannya.
Travis merasa benar-benar kesal dengan adanya asap tipis berwarna kelabu itu, karena kini ia tidak bisa memacu kendaraannya. Sorot lampu mobilnya itu tidak dapat menembus pekatnya kabut. Ia berkendara dengan buta. Hingga akhirnya, Travis terpaksa harus menginjak pedal remnya dalam-dalam saat tiba-tiba saja muncul sesosok pria tua tepat di depan mobilnya. Pria tua dengan punggung membungkuk itu menatap tajam ke arah Travis selama beberapa detik, sebelum akhirnya bergerak pergi.
“Sialan!”
Travis menginjak pedal gasnya lagi. Namun kini ia sadari bahwa ada yang tidak beres dengan mobilnya. Ia merasakan getaran luar biasa pada roda kemudinya, dan ia tidak dapat memasukkan gir dengan benar.
“Sialan. Kini apa lagi?”
Travis terpaksa menghentikan mobilnya, mematikan mesin, dan menyalakannya lagi. Dan…, berhasil. Suara mesinya telah kembali seperti semula. Perjalanan melewati kota Blackwood yang sepi dan penuh dengan kabut seperti itu memang sedikit membuat Travis merinding.
“Kota yang menyeramkan.” Gumam Travis sambil terkikik geli. Ia membayangkan bahwa akan ada seekor makhluk yang melompat keluar dari kegelapan ke arah mobilnya. Namun…, tidak. Itu tidak mungkin terjadi.
Travis menyadari bahwa perjalanannya menuju Silvermount masih cukup panjang. Dan adanya kabut yang membuat pandangannya sedikit terbatas membuat berpikir bahwa mungkin ia perlu beristirahat sejenak sambil menunggu kabut menghilang. Ia mengarahkan mobilnya ke arah sebuah rumah makan yang entah kenapa masih buka selarut itu. Travis yang merasa terlalu lapar tidak menggubris lagi pemikirannya.
Rumah makan kecil itu terlihat kosong, dan hanya ditunggu oleh seorang pria gemuk yang berdiri diam di belakang konter. Pria itu mengangguk ke arah Travis.
“Kau mau pesan sesuatu?” tanya pria itu dengan suara berat. Kedua mata pria itu entah kenapa selalu menatap curiga pada Travis.
“Ya.” Jawab Travis. Ia memasan satu menu yang tersedia, lalu menunggu di salah satu meja. Pesanan makanannya datang beberapa menit kemudian.
Pria gemuk itu yang mengantar makanannya. Raut wajah aneh, tanpa senyum, membuat Travis mulai berpikir yang tidak-tidak mengenai pria itu. Travis sempat bertanya kenapa ia masih buka selarut itu, tapi ia tidak mendapatkan jawaban.
“Persetan denganmu.” Gumam Travis sebelum akhirnya ia memutuskan untuk memakan hamburgernya. Travis memandangi sekitarnya, yang terlihat cukup berantakan. Kata higienis sepertinya tidak cocok disematkan pada rumah makan yang ia kunjungi itu. Ia melihat bungkus-bungkus makanan berserakan di lantai, dan masih ada gelas-gelas kotor di beberapa meja.
Travis mengunyah gigitan keduanya saat ia merasakan ada yang aneh dengan apa yang ada di dalam mulutnya. Sesuatu yang mengganjal, terasa licin, dan ketika ia gerakkan lidahnya, ia merasakan sesuatu bergerak di dalam mulutnya. Ketika ia coba merogoh ke dalam mulutnya, ia menarik sesuatu berwarna hitam mengkilat, yang seketika membuat Travis mual dan ingin muntah.
Seekor kecoak, berada di dalam hamburger yang ia makan. Travis menyemburkan makanan di dalam mulutnya ke lantai, dengan jantung berdebar karena amarah yang mulai memuncak. Restoran yang kotor, pelayan yang tidak ramah, dan seekor kecoak? Adakah hal lain yang dapat membuat Travis lebih marah?
Travis bangkit dari kursinya seketika, lalu bergerak ke bagian belakang dari rumah makan itu. Ia ingin memberikan pelajaran, atau paling tidak teguran keras pada si pemilik rumah makan. Pria gendut itu? Pria itu mungkin akan marah. Tapi Travis bukanlah tipe pria yang akan pergi begitu saja.
“Hei!” teriak Travis. Pria gendut itu sudah tidak ada di belakang konter. Travis bergerak masuk lebih dalam, dan membuka sebuah pintu ganda yang mengantarkannya ke dapur. Tapi, sebuah pemadangan yang cukup menjijikkan tersaji di depan kedua matanya.
Dapur itu memiliki penerangan yang buruk. Dan apa yang membuat Travis lebih mual adalah adanya seonggok daging diatas sebuah meja yang terlihat seperti tumpukan usus atau bagian orgasn dalam dari hewan. Tak jauh dari meja itu, Travis melihat kait-kait daging yang penuh dengan darah. Dan di bagian ujung, Travis melihat sebuah kepala anjing yang terpotong, dan masih mengucurkan darah segar.
Travis memutar tubuhnya dan berlari ke arah pintu depan. Persetan dengan tempat itu. Ia tidak akan membayar atas apa yang baru saja ia makan, karena kenyataannya ia malah tidak makan apapun. Apa yang sebenarnya baru saja ia lihat? Kegilaan sebuah restoran? Travis hampir tidak memeprcayai bahwa tempat seperti ini ada.
Travis mengarah ke mobilnya dan berniat untuk pergi dari tempat itu. Tapi, kejutan lain telah menunggunya. Ia lihat keempat ban mobilnya itu kempes tanpa alasan yang jelas. Hal ini semakin membuat Tarvis ingin mengutuk kota kecil itu.
Travis memutar kepalanya saat ia mendengar suara benda diseret dari arah samping rumah makan itu. Ia sempat melihat sekelebatan pria gendut dengan apron putih bergerak ke arah belakang rumah makan. Pria gendut itu?
Travis bergerak cepat menghampiri arah asal suara itu, dan memang ia menemukan pria gendut itu. Pria itu terlihat tengah membungkuk ke arah sebuah tumpukan benda yang tidak dapat terlihat jelas.
“Kau, keparat!” teriak Travis. “Kau yang mengempeskan roda mobilku?”
Travis semakin marah saat pria gendut itu sama sekali tak menjawabnya dan terus melakukan pekerjaannya. Travis bergerak maju, dengan kepalan tangan siap ia luncurkan. Akan tetapi, beberapa langkah kemudian ia harus menghentikan langkahnya saat pria gendut itu memutar tubuhnya. Kedua mata pria gendut itu menatap tajam ke arahnya. Tapi bukan itu yang membuat Travis terkejut. Sebuah benda, yang ada di tangan pria gendut itulah yang membuat Travis berpikir bahwa ia kini tengah berada di sebuah kota yang gila.
Sebuah kepala manusia dengan wajah terkoyak terlihat menggantung di tangan kiri pria gendut itu. Di tangan kanannya, terdapat sebuah pisau daging yang berlumuran darah.
“Tidak mungkin.”
Travis seketika memutar tubuhnya dan berlari. Ia tidak peduli lagi dengan mobilnya dan terus menggerakkan kakinya menembus tebalnya kabut, mencoba untuk menyelamatkan dirinya dari si pria gendut itu tadi. Siapa dia sebenarnya? Pembunuh?
Travis tidak percaya bahwa apa yang baru saja ia lihat adalah kenyataan. Tapi…, memang itu kenyataannya. Hal tergila yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Hamburger dari daging anjing, atau mungkin…, manusia?
Travis menghentikan langkahnya ketika dadanya terasa sesak dan seolah terbakar. Ia berhenti di depan sebuah gedung besar, yang sepertinya adalah gedung balai kota. Di bagian depan gedungnya, terdapat tulisan ‘BALAI KOTA LUCASVILLE’
“Apa?!”
Travis mencoba membaca ulang tulisan yang ada di bagian depan gedung besar itu. Dan memang, ia membaca tulisan ‘Balai Kota Lucasville’.
Lucasville? Travis ingat bahwa ia pernah mendengar legenda mengenai kota itu dari salah satu temannya. Lucasville adalah sebuah kota hantu yang penuh dengan hal-hal gaib, dan yang peling terkenal dari Lucasville adalah bahwa kota itu sebenarnya tidak pernah ada. Lucasville seperti sebuah kota yang berada di dimensi yang berbeda dengan dimensi yang ditinggali manusia. Lalu, kenapa Tarvis bisa berada di tempat itu?
“Ini bukan Blackwood.” Gumam Travis dengan nafas yang mulai memburu. Jantungnya berdegup kencang, saat ia sadari bahwa ia kini berada di dunia yang benar-benar berbeda. Dunia hantu yang sesungguhnya. Apa yang selama ini tidak ia percayai, kini hadir di depan kedua matanya. Satu hal nyata yang tidak akan pernah Travis lupakan.
Tubuh Travis menegang seketika saat ia sadari kenyataan pahit itu. Apa yang dapat ia lakukan di dunia yang aneh dan penuh kegilaan itu? Suara bergemerisik di pepohonan dan semak-semak kini semakin membuat Travis bergetar. Akankah ada sesuatu yang akan melompat keluar dari semak-semak dan menerkamnya?
Keadaan yang dingin menusuk tulang baru Travis rasakan beberapa detik kemudian. Ia rasakan bahwa kabut semakin tebal dan membuatnya tidak dapat melihat dengan jelas. Kedua matanya kini buta, dan telinganya terasa semakin peka. Ia dengar langkah-langkah itu, suara bergemerisik di semak-semak, dan lengkingan suara anjing di kejauhan. Travis sadari bahwa ia tidak bisa hanya berdiam diri. Cepat atau lambat keanehan-keanehan dari kota ini akan mendatanginya. Ia harus lari.
Travis tidak tahu kemana ia harus bergerak. Yang ia sadari kemudian, bahwa ia telah bergerak jauh memasuki pemukiman di Lucasville. Kabut tebal menghalangi pandangannya. Dan ia rasakan bahaya mulai bergerak mendekat.
Ya. Seketika, tanpa diduga, sesuatu melompat keluar dari tepi jalan yang gelap dan hampir saja menyambar tubuhnya. Travis tidak tahu apa yang baru saja menyerangnya. Tapi ia yakin bahwa apapun itu, pasti bisa membunuhnya. Anjing? Ya. Ia rasa yang baru saja melompat keluar adalah seekor anjing. Ia masih dapat mendengar desahan dari hewan itu, yang kini bergerak cepat di belakangnya.
Travis berlari sekuat tenaga menyusuri jalanan yang gelap, hingga akhirnya ia tiba di sebuah persimpangan yang hanya diterangi oleh sebuah lampu jalan yang terlihat redup. Mungkin karena tebalnya kabut, cahaya dari lampu itu tidak benar-benar dapat menerangi jalanan. Tapi paling tidak Travis dapat merasa lebih tenang. Ia berdiri di bawah lampu itu untuk beberapa detik, sambil mengawasi sekitarnya. Tidak. Anjing itu sudah pergi.
Travis merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya. Tidak. Tidak ada jaringan sama sekali di kota yang hanya hadir dalam khayalan ini. Lalu bagaimana cara ia bisa keluar dari tempat terkutuk itu?
Travis bergetar seketika saat ia lihat siluet-siluet besar mulai berdatangan menghampiri posisinya. Ia rasa, itu adalah sekumplan orang yang bergerak ke arahnya. Apa yang akan terjadi? Travis menunggu dalam kengerian. Ia persipakan kepalan tangannya, bersiap untuk melawan apapun yang datang ke arahnya. Tapi…
Mustahil! Yang datang ke arahnya adalah sekumpulan tubuh-tubuh manusia yang tercabik-cabik. Sebagian dari tubuh itu telah kehilangan beberapa bagian tubuh mereka. Satu makhluk yang datang ke arahnya menyeringai, dengan tubuh penuh luka bakar. Satu mata dari makhluk itu telah hilang, menyisakan sebuah lubang hitam menganga.
Travis seketika berlari menghindari sekelompok mayat hidup itu, dan bergerak lebih dalam ke dalam pekatnya kabut. Travis sudah benar-benar kehilangan akal sehatnya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, saat tubuhnya mulai terasa begitu lelah karena terus berlari. Namun makhluk-makhluk itu terus mengejarnya, menggapai-gapai ingin melukai tubuh Travis.
“TIDAK!!!” Travis berteriak dengan sekuat tenang hingga akhirnya ia benar-benar kehilangan kekuatannya. Ia pasrah, terbaring di atas aspal dingin. Makhluk-makhluk itu mulai mendekat, dan semakin dekat. Travis tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi pada dirinya. Jika ia harus mati, ia sudah siap. Tapi…, kerumunan mayat hidup itu berhenti seketika, tanpa melakukan apapun. Sedetik kemudian, dari arah tengah kerumunan, munculah pria gendut pemilik restoran itu, yang datang dengan pisau daging di tangan. Pria itu menyeringai, lalu dengan satu aksi, melemparkan pisau itu ke arah kepala Travis. Travis tergeletak seketika saat tengkoraknya hancur oleh pisau daging itu.

**

Travis tersentak seketika saat ia sadari tajamnya pisau daging itu membelah kepalanya. Namun…
Travis memandang dengan kebingungan saat ia sadari bahwa ia telah berada tempat yang berbeda. Kedua matanya terbutakan oleh cerahnya sinar matahari. Ia memandang ke sekitarnya, dan ia dapati ia telah terbaring di atas sebuah bangku taman, tepat di depan sebuah gedung besar, yang merupakan sebuah balai kota. Travis kembali membaca tulisan besar di gedung tersebut, yang kini bertuliskan ‘Balai Kota Blackwood.”
“Blackwood?” gumamnya dengan penuh tanda tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ia kini bisa kembali ke dunianya?
Bayangan mengenai pisau daging yang melayang tepat ke arah wajahnya itu masih menghantui Travis. Ia seolah masih dapat merasakan tajamnya pisau dagng itu, perlahan membelah daging di kepalanya. Namun kini…, semuanya hilang.
“Kau tidak apa, nak?”
Seorang pria tua bertubuh bungkuk, ia ia lihat semalam di tengah kabut, kini hadir lagi di depan kedua matanya. Pandangan mata pria tua itu tajam memandang Travis, namun tidak ada niat jahat dibalik ketajaman sorot mata itu. Pria itu tersenyum beberapa detik kemudian.
“Kau…” ucap Travis kebungungan. “Apa yang…”
“Kau pingsan.” Ucap pria tua itu. “Kau hampir menabrakku semalam, dan tiba-tiba saja kau langsung jatuh tak sadarkan diri di atas kemudi. Orang-orang berdatangan, dan membantumu keluar dari mobil. Dan meninggalkanmu diatas bangku ini semalaman. Seharusnya mereka membawamu ke rumah sakit.”
“Mobilku?”
“Maksudmu mobil itu?”
Travis melihat mobilnya masih dalam keadaan utuh di tepi jalan. Keempat rodanya masih dalam keadaan utuh, dan tidak kempes seperti yang ia lihat semalam. Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Dia hanya bermimpi?
“Kau sebaiknya segera pergi, anak muda.” Ucap pria tua itu sembari memutar tubuhnya, dan bergerak pergi.
“Tunggu!” teriak Travis. “Kau tahu apa yang terjadi denganku?”
Pria tua itu memutar kepalanya, lalu memberikan satu seringai aneh pada Travis. Perlahan ia ucapkan,
“Kau beruntung masih bisa keluar dari Lucasville. Jika tidak, mungkin kini kau sudah ada di neraka. Bersama mereka.”

****