Friday, May 27, 2016

TEMAN SEKAMAR JENNA



Jenna mendengus kesal sambil melihat ke arah luar jendela dimana air hujan turun dengan deras. Ia merasa kesal karena di kamar asrama barunya ini, ia harus tinggal sendirian. Teman-temannya yang lain sudah mendapatkan teman sekamar, setidaknya satu. Tapi ia sendirian. Ia tidak terus terang marah karena hal itu. Tapi yang ia rasakan adalah rasa kesepian yang tidak biasa.
Sudah seminggu ini Jenna tingal di kamar asrama itu. Kesendiriannya mulai dapat terobati dengan adanya radio yang memutar musik kesayangannya. Ia menata bajunya sendiri, melakukan pekerjaan rumahnya sendiri, dan tidur, tentu saja sendirian. Ia mulai merasa betah dengan keadaan itu. Ia memang tidak mempunyai teman setelah pelajaran sekolah usai. Namun besok pagi, ia akan kembali berkumpul bersama dengan teman-temannya.
Satu hal yang tak terduga terjadi pada sebuah Minggu sore saat Jenna sedang bersantai sambil mendengarkan radio. Pintunya kamarnya diketuk dari luar. Jenna tidak tahu siapa yang datang. Ia merasa tidak pernah mengundang siapapun untuk ke kamarnya.
Jenna dengan segera bangkit dari tempat tidurnya dan mengarah ke pintu. Ia putar kenopnya, lalu menariknya terbuka. Kedua matanya langsung menatap pada sosok seorang gadis berambut hitam yang tersenyum ke arahnya. Siapa gadis itu?
“Oh! Hai!” sapa Jenna ketika gadis berambut hitam itu tersenyum tanpa mengatakan apapun.
“Ada yang bisa kubantu?” tanya Jenna. Ia masih belum membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
“Sebenarnya…” balas gadis itu dengan suara lirih. “Aku yang akan menjadi teman sekamarmu. Aku murid baru.”
Hal ini tentu saja tak terduga bagi Jenna yang begitu mengharapkan seorang teman. Ia tidak tahu kenapa hal ini terjadi, dan tidak banyak bertanya lagi. Ia langsung mempersilahkan gadis itu masuk dan membantunya membawa beberapa tas.
“Aku Rose.” Ucap gadis berambut hitam itu sambil menawarkan tangannya. Jenna dengan hangat menyambut tangan itu, yang anehnya terasa dingin. Jenna tersenyum dan memperkenalkan namanya.
Gadis itu segera duduk di atas tempat tidur yang ada di seberang tempat tidur Jenna. Seolah gadis itu sudah tahu dimana ia harus tidur. Ia lalu terlihat mengeluarkan barang-barangnya, yang kebanyakan adalah buku-buku tebal, yang sama sekali tidak menarik bagi Jenna.
“Kapan kau datang? Aku tidak tahu kalau ada murid baru.”
“Baru saja.” Jawab gadis itu. “Aku sebenarnya pindah sekolah. Aku merasa tidak nyaman dengan sekolahku yang lama.”
“Kau akan menemukan banyak kesenangan disini.” Ucap Jenna dengan nada riang. “Kita akan menjadi teman yang baik.”
Masih belum ada begitu banyak hal yang Jenna tahu mengenai gadis bernama Rose itu. Yang dapat ia lihat adalah, kenyataan bahwa kulit gadis itu begitu putih dan pucat, seolah tidak ada darah yang mengalir di dalamnya. Rambutnya hitam, bergelombang, cantik dan menawan. Jika dibandingkan, Rambut Jenna terlihat lebih berantakan dari rambut gadis itu.
Jenna menghabiskan Minggu malam itu dengan mengobrol bersama Rose. Rose ternyata adalah tipe gadis pendiam yang tidak banyak bicara. Ia hanya mengucapkan beberapa kata sambil terus tersenyum, sementara Jenna bercerita panjang lebar mengenai hari-harinya. Ia juga menceritakan rasanya tidur sendirian.
“Kau tidak akan sendirian lagi. Ada aku disini.” Ucap Rose dengan satu senyum yang memikat. Jenna hanya dapat mengangguk.
Malam itu merupakan malam pertama Jenna tidur dengan seorang teman. Ketika jarum jam menginjak pukul satu dinihari, Jenna terbangun dari tidurnya saat ia merasa seperti mendengar sebuah suara tangisan. Apa benar begitu? Ia coba dengarkan kembali, namun suara tangisan itu menghilang.
Ia arahkan pandangannya ke seberang ruangan, dimana terdapat gundukan selimut di atas tempat tidur. Jenna tersenyum senang. Ia mendapatkan teman. Kini, ia tidak perlu merasa takut lagi saat ada badai datang di malam hari. Jenna kembali tidur lagi, merasa lebih damai dari sebelumnya.
Hari Senin datang dengan kejutan baru. Jenna kini pergi kemana-mana bersama dengan gadis itu, Rose. Mereka duduk berdekatan di kelas, dan makan bersama di kantin. Sama seperti sebelumnya, Rose tidak banyak bicara, sementara Jenna membeberkan segalanya.
Apakah aneh rasanya jika membicarakan lelaki yang ia cintai pada teman sekamar? Pertanyaan itulah yang muncul dalam benak Jenna ketika ia sedang duduk di taman bersama Rose di sore hari. Ia menceritakan rasa sukanya pada salah seorang teman lelakinya di kelas.
“Bagaimana denganmu?” tanya Jenna. “Kau pasti punya seseorang yang kau sukai, ‘kan?”
“Aku belum lama disini.”
“Maksudku di sekolahmu yang lama.” Ucap Jenna. “Kau mungkin tidak mau mengakuinya karena ada aku disini, ‘kan?”
“Bukan begitu.” Balas Rose. “Bisa bersekolah dengan normal saja aku sudah dapat merasa senang.”
Kening Jenna berkerut. Apa sebenarnya maksud dari ucapan itu tadi? Jenna tidak mengerti, namun ia juga tak mau banyak bertanya. Obrolan mereka terbilang cukup lama. Ketika hari sudah senja, mereka baru kembali ke kamar mereka.
Keduanya mengerjakan pekerjaan rumah bersama malam itu. Udara sedikit dingin, dan mungkin akan ada badai malam nanti. Tapi Jenna tidak merasa khawatir lagi dengan hal itu. Ia memiliki Rose.
Rose ternyata lebih pandai dari apa yang Jenna pikirkan. Gadis itu mampu mengerjakan soal-soal matematika tersulit yang pernah Lauren temui, tanpa sedikitpun berpikir. Seolah soal seperti itu layaknya sebuah soal umum. Jenna tidak mengerti. Rose sudah mencoba menjelaskan cara mengerjakannya. Namun ternyata otak Jenna tidak mampu menampung segala informasi.
Keduanya belajar selama berjam-jam, hingga tak sadari mereka tertidur. Jenna bangkit dari lantai sekitar pukul sebelas malam, dan Rose terlihat tertidur diatas tempat tidurnya setelah membaca buku sejarah tebal. Rupanya keduanya sama-sama kelelahan.
Saat Jenna bangkit dari lantai, ia sempat melihat sebuah buku kecil bersampul coklat yang tergeletak di dekat buku pelajaran. Buku Rose. Jenna memungutnya tanpa berpikir dan membuka halaman pertama. Disana tertulis nama Rose Sanchez. Itukah nama lengkap Rose? Jenna tidak memikirkannya lagi. Ia segera membereskan buku-buku yang berserakan, lalu tidur setelah mematikan lampu.
Jenna tidak tahu sudah berapa lama ia tidur, saat sebuah suara petir membangunkannya. Ia lihat hujan deras menerpa keras jendela kaca kamar asrama itu, dan suasananya benar-benar tidak menyenangkan. Jenna melihat ke seberang tempat tidurnya, dimana Rose terlihat masih tertidur pulas. Bagaimana mungkin Rose tidak terbangun setelah petir menggelegar itu?
Jenna ingin kembali meringkuk ke dalam selimutnya saat dengan samar ia dapat mendengar satu rintihan tangis. Ya. Tangis seorang gadis yang terdengar jauh. Siapa yang menangis malam-malam begini? Jenna kemudian ingat bahwa kemarin malam ia juga mendengar tangis yang sama. Siapa? Jenna membawa pertanyaan itu ke dalam mimpinya.

**

Seminggu telah berlalu sejak kedatangan Rose ke dalam asrama Jenna. Keduanya kini sudah dapat dikatakan sebagai teman baik, dan mengetahui rahasia satu sama lain. Wajah Rose terlihat lebih bersinar lebih terang dari biasanya. Rona merah itu pun hadir di kedua pipi gadis itu. Jenna merasa lebih bahagia dari sebelumnya. Meski ia juga punya teman lain, namun berteman dengan Rose adalah segalanya.
Minggu-minggu berlalu sejak kedatangan Rose. Dan sudah banyak kejadian yang mereka lakukan bersama. Seperti belajar bersama, berbelanja bersama, dan melakukan aktivitas lainnya. Akan tetapi, sebuah perubahan yang tidak Jenna harapkan terjadi. Kini, entah kenapa, teman-temannya yang dulu mulai menjauh darinya. Apakaha karena Rose? Pemikiran seperti itu adalah kesalahan. Jenna tidak mau menyalahkan Rose.
Hal aneh ini terus saja terjadi setiap harinya. Saat Jenna bergerak ke kantin untuk sarapan, banyak tatapan mata yang memandang aneh ke arahnya. Ia pun mendengar kasak-kusuk mengenai dirinya yang tidak jelas. Jenna muak dengan semua itu. Dan Rose, mengerti dengan apa yang Jenna rasakan.
“Jangan pikirkan mereka!” ucap Rose sambil mengelus pundak teman sekamarnya itu.
“Mereka jadi aneh.” Ucap Jenna mengutarakan apa yang ada di dalam pikirannya. “Tidakkah aneh?”
“Aku mengalami hal yang sama di sekolahku yang dulu.” Ucap Rose. “Mereka tidak berarti. Apa yang kau lakukan, adalah hal yang diperhitungkan. Tidak masalah jika kau tidak mempunya kawan sekalipun. Hal itu tidak akan berpengaruh pada hasil akademis, ‘kan? Dan kabar baiknya, aku akan selalu berada di sisimu.”
Jenna tersenyum lebar mendengar ucapan Rose. Ya. Kenapa ia harus memikirkan apa yang mereka pikirkan? Semua itu tidak berarti. Dan Rose terbukti telah menjadi teman terbaik baginya.
Persahabatan antara dua gadis itu mulai terjalin begitu erat. Jenna kemudian mengetahui bahwa Rose ternyata begitu pintar dalam bidang sains. Gadis itu sepertinya tidak mempunyai kesulitan untuk menginat nama-nama ilmiah dan latin. Dan Rose terbukti banyak membantu Jenna dalam pelajaran.
“Kenapa tidak ikut kompetisi sains saja?” tanya Jenna di suatu sore, saat keduanya tengah bersantai di kamar.
“Tidak.” Balas Rose sambil tersenyum. “Aku pernah mencobanya di sekolahku yang lama. Tapi tidak…”
“Tidak kenapa?”
Rose hanya tersenyum sambil menggeleng. Sepertinya ia tidak mau lagi bercerita tentang hal itu. Sore itu mereka habiskan untuk belajar bersama, hingga larut malam. Pukul sebelas, mereka memutuskan untuk pergi tidur.
Tidur Jenna tidak dapat dikatakan nyenyak. Tengah malam, ia kembali dibangunkan oleh sebuah suara tangisan yang asalnya tidak ia ketahui. Jenna duduk dalam gelap, mencoba untuk menelisih, dan mencari darimana tangisan itu berasal. Namun…, dia tetap tidak dapat menemukannya.
“Kau tidak mendengar suara tangisan itu?” tanya Jenna pada Rose keesokan harinya. Rose hanya menggeleng sebagai jawaban.
Selama pelajaan berlangsung, Jenna tidak dapat melupakan apa yang terjadi semalam. Bahkan tangisan itu sudah ia dengar berkali-kali, dan selalu pada jam yang sama. Siapa yang sebenarnya menangis? Jenna sudah bertanya pada teman-teman yang lain, namun mereka tetap tidak dapat memberikan jawaban.
Siang itu pelajaran bahasa Inggris sedikit membosankan. Jenna duduk di kursi paling belakang, bersanding dengan seorang gadis yang juga sudha menjadi teman dekat Jenna. Namanya Tori. Gadis itu berkali-kali menolahkan kepalanya ke arah Jenna, dengan sikap ingin tahu.
“Ada apa, Tori?” tanya Jenna. “Kau sepertinya ingin mengucapkan sesuatu.”
“Sebenarnya…” ucap Tori. “Aku mengkhawatirkan keadaanmu, Jenna. Bukan hanya aku. Teman-teman yang lain, dan guru-guru.”
“Aku tidak mengerti apa maksudmu.” Balas Jenna sambil mengerutkan dahinya. “Apa yang kau…”
“Tingkah anehmu selama beberapa minggu terakhir.” Ucap Tori. “Kau sering menyendiri, dan menggumamkan kata-kata tidak jelas. Bahkan kau sering duduk di kamar sendirian.”
“Apa?!”
“Bukan hanya itu.” Lanjut Tori. “Temanmu yang ada di kamar sebelahmu mengatakan kau sering berbicara sendirian di dalam kamar. Kau tertawa, bercanda,…, ada apa, Jenn? kau sedang dalam masalah?”
“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.” Ucap Jenna dengan nada keras karena merasa sedikit tersinggung.
“Jika kau iri karena aku memiliki teman baru…”
“Teman baru? Siapa?”
“Rose.” Jawab Jenna tanpa ragu. “Di murid baru yang datang beberapa minggu yang lalu. Bukankah aku sudah mengenalkannya padamu?”
Jenna tidak mendapat jawaban yang cukup memuaskan. Temannya itu malah menghela nafas, seolah tengah menghadapi sesuatu yang berat. Jenna berpikir, apakah ucapannya terlalu berbelit-belit?
Tori bukanlah satu-satunya orang yang menganggap Jenna aneh. Saat dikantin, mata-mata curiga memandang ke arahnya. Bahkan ada yang bertanya, apakah Jenna sudah gila. Yang besar saja! Jenna semakin muak dengan keadaan yang ia hadapi. Ada apa sebenarnya?
“Sudah kukatakan untuk tidak memikirkannya.” Ucap Rose sore harinya saat Jenna bersantai di atas kasur sambil mendengarkan musik dari ponselnya. Ia merasa benar-benar kesal.
“Semua membenciku.” Ucap Jenna. “Apa aku melakukan kesalahan?”
Jenna tidak bisa tidur karena terus memikirkan hal-hal aneh yang terjadi disekitarnya. Apa maksud dari perkataan Tori siang tadi? Dan kenapa semua orang memandangnya curiga?
Jarum jam menyentuh pukul satu dinihari saat Jenna mulai benar-benar mengantuk. Sesaat, ia dapat terlelap dalam tidurnya. Namun beberapa detik kemudian, ia mendengar suara itu lagi. Suara tangisan seorang gadis yang rasanya seperti dari kamar sebelah. Jenna mencoba untuk mengabaikannya. Hal aneh ini sudah sering terjadi, dan Jenna sudah merasa bahwa ia tidak bisa takut lagi.
Cahaya sinar matahari pagi yang menerobos melalui kisi jendela membutakan mata Jenna. Hari sudah pagi. Ketika ia bangun dari tempat tidurnya, ia temukan satu keadaan aneh yang tidak ia pikirkan sebelumnya. Tempat tidur di seberang tempat tidurnya terlihat kosong dan rapi. Apakah Rose sudah bangun sejak tadi?
Bukan hanya itu saja yang membuat Jenna merasa aneh. Semua barang milik Rose juga sudah menghilang, termasuk baju-baju yang ada di dalam lemari. Kenapa? Kenapa Rose pergi begitu saja tanpa berpamitan padanya? Dan kemana gadis itu pergi?
Jenna mencoba untuk bertanya pada salah satpam yang ada di gerbang depan. Ia bertanya apakah ada gadis berambut hitam yang keluar dari area sekolah. Tapi satpam itu hanya menggeleng.
“Siapa nama temanmu itu? Mungkin aku bisa membantu mencarinya.”
“Rose.” Jawab Jenna. “Rose Sanchez.”
Kening Jenna langsung berkerut ketika ia melihat ada perubahan yang signifikan dalam raut wajah satpam itu. Seolah satpam itu baru saja melihat hantu, atau sesuatu yang mengerikan.
“Jangan bercanda, Nona!” ucap satpam itu. “Kau hanya mendengar cerita itu dari temanmu, ‘kan?”
“Cerita apa?”
“Mengenai Rose Sanchez.” Ucap satpam itu. “Gadis yang bunuh diri tiga tahun lalu.”

**

Tidak mungkin!
Jenna terus meneriakkan kata-kata itu di dalam kepalanya. Tidak mungkin gadis yang tidur sekamar dengannya itu adalah Rose yang sudah meninggal sejak tiga tahun lalu. Tidak mungkin.
“Kau boleh untuk tidak mempercayainya.” Ucap Ny. Turner, sang kepala sekolah kepada Jenna siang harinya.
“Rose Sanchez, benar itu nama temanmu? Dan dia menghilang pagi ini?”
“Ya.” Jawab Jenna. “Dia nyata. Dia bukan hantu. Mungkin hanya namanya saja yang sama. Dia sudah bersekolah disini selama beberapa minggu. Anak-anak yang lain pasti sudah melihatnya.”
“Itu yang kukhawatirkan, Jenna.” Ucap wanita itu. “Teman-temanmu sudah bercerita padaku, bahwa kau sering berbicara sendirian di taman, dan kau tertawa sendirian di dalam kamarmu.”
“Tidak mungkin!”
“Itulah kenyataannya.” Ucap Ny. Turner. “Kau mau percaya atau tidak, itu pilihanmu. Tapi kurasa kau baru saja menjadi seorang teman dari gadis yang kesepian itu.”
Jenn tidak tahu harus berkata apa. Apakah benar yang berada di sisinya selama ini adalah hantu dari gadis yang meninggal tiga tahun yang lalu itu?
Jenn kemudian mendapat cerita selengkapnya dari salah satu penjaga sekolah yang usdah tahunan bekerja di sekolah itu. Pria tua itu mengatakan bahwa seorang gadis bernama Rose meninggal di ruang olahraga, gantung diri. Dialah Rose Sanchez, yang terkenal karena kejeniusannya dalam bidang sains. Namun hal itu menjadi bumerang bagi kehidupan Rose. Gadis itu mendapatkan bullying dari teman-teman sebayanya, dan tidak kuat lagi menerima siksaan. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk bunuh diri.
“Aku masih sulit untuk mempercayainya.” Ucap Jenna pada Tori sore harinya dalam perlajanan menuju gedung asrama. “Kalian semua melihatku berbicara sendirian?”
“Lupakan masalah itu, Jenna!” ucap Tori. “Dia sudah pergi. Kurasa dia bisa pergi dengan tenang sekarang.”
Jenna berdiri kaku di depan pintu kamarnya. Apa yang akan ia temukan ketika membuka pintu itu? Apakah mungkin sosok Rose akan muncul lagi, mungkin dengan satu senyum? Perlahan, Jenna mendorong pintu kamarnya sampai terbuka. Dan yang terlihat hanyalah satu ruangan kosong.
Jenna menghembuskan nafasnya. Sepertinya cerita itu benar. Dan ia baru saja mengalami kejadian supranatural yang sesungguhnya. Rose. Seandainya saja dia bisa bersekolah dengan Rose, mungkin Rose tidak perlu merasa kesepian dan harus bunuh diri. Tapi…, tidak ada yang dapat Jenna lakukan.
Jenna bergerak ke arah jendela, tepat ketika satu buku tebal jauh dari meja. Buku itu membuka sebuah halaman, dimana di dalamnya tersisip selembar kertas yang terlipat. Rose membuka lipatan kertas itu, dan kedua matanya langsung melebar.
“Terima kasih telah menjadi teman baik bagiku.”
Hanya itu yang tertulis di selembar kertas kosong itu. Namun Jenna tahu pasti, bahwa tulisan tangan itu adalah tulisan tangan Rose. Rose, mengucapkan terima kasih padanya.
Jenna tersenyum. Segala ketakutan di dalam dirinya sirna seketika ketika ia menyadari bahwa ia telah membantu seseorang mencapai sesuatu yang benar-benar diharapkan. Rose hanya membutuhkan seorang teman. Dan Jenna berhasil menjadi teman yang baik. Jenna kemudian menatap langit sambil berkata,
“Selamat jalan, Rose.”

****

Thursday, May 12, 2016

CABIN IN THE WOODS



Jane Miller kembali terbangun dari tidurnya saat ia lagi-lagi merasakan ada benda dingin yang menempel di kakinya. Ia menegakan tubuhnya, menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, dan melihat kakinya. Ada apa disana? Tidak ada apapun. Kakinya masih utuh, dan tidak ada bekas apapun yang menempel di kakinya. Tapi ia tahu dengan apa yang ia rasakan. Rasa dingin seperti es, yang seolah mencengkeram tungkainya. Apa ia hanya bermimpi?
Matt, suaminya, masih tertidur pulas di sisinya. Ia sebenarnya ingin mengatakan apa yang ia rasakan. Tapi ia tidak mau mengganggu tidur suaminya, karena tahu bahwa Matt sangat kelelahan setelah seharian bekerja.
Jane melirik ke arah jam digital yang ada di samping tempat tidur, yang baru menunjukkan pukul satu dini hari. Suasana kabin di tengah hutan yang ia tempati tidak dapat dikatakan nyaman dan damai. Bayang-bayang dari pepohonan tinggi di luar yang bergerak tersapu angin menciptakan sebuah kesan yang tidak menyenangkan baginya. Derak ranting pohon, dan desiran udara yang masuk melalui celah papan dinding membuatnya tidak dapat kembali tidur.
Jane sebenarnya tidak begitu menyetujui usul suaminya untuk tinggal beberapa hari di kabin tengah hutan ini. Ia sudah mengatakan alasan ketakutannya, namun Matt tidak mau peduli dan terus mengatakan,
“Kabin itu aman. Tidak akan ada yang terjadi.”
Ya. Jane awalnya mungkin dapat merasa tenang setelah suaminya berkata seperti itu. Tapi ketika ia sampai di kabin, dan melihat keadaan kabin yang berantakan, penuh dengan dedaunan kering, Jane langsung menyesal karena setuju untuk diajak ke tempat itu. Kabin yang berdiri sendirian di tengah hutan itu memang kokoh. Namun Jane merasa bahwa bahaya dapat menyerangnya kapan saja.
Cahaya perak bulan berhasil menerobos kisi-kisi yang berada diatas jendela. Cahayanya menyiram tepat ke tempat tidur dimana Jane berada. Ia masih tidak dapat melepaskan pikirannya dari apa yang ia rasakan. Rasa dingin seperti es itu, yang membebat kakinya. Apa yang terjadi? Apakah hanya karena ketakutannya?
“Ya. Hanya karena kau terlalu takut.” Ucap Matt keesokan harinya saat Jane memberanikan diri untuk menceritakan apa yang terjadi semalam, dan malam-malam sebelumnya. Matt terlihat seolah tak peduli dan terus memakan sandwich buatannya.
“Matt, aku serius.” Ucap Jane. “Mungkin aku memang ketakutan. Tapi apa yang kurasakan terlalu nyata.”
“Mungkin hanya angin dingin yang masuk…”
“Bukan!” bantah Jane. “Rasanya seperti tangan yang mencengekram pergelangan kakiku. Kurasa dari…, dari…”
“Dari bawah tempat tidur?” Matt tertawa seketika. Hal ini tentu saja membuat Jane kecewa setelah menceritakan segala hal yang ia takuti. Untuk sesaat, ia begitu membenci suaminya yang tidak mau mengerti itu.
“Ok! Maaf karena sudah menertawaimu.” Ucap Matt. Ia kemudian bangkit berdiri, dan mengarah pada tempat tidur yang terletak di sudut ruangandekat jendela. Dengan satu gerakan, Matt menyingkap seprai yang menutupi bagian bawah tempat tidur. Dan terlihatlah….
Kosong.
Tidak ada apapun di bawah tempat tidur itu. Yang terlihat hanyalah setumpuk debu yang bercampur dengan sarang laba-laba. Matt tersenyum, lalu bergerak ke arah istrinya yang masih berdiri menahan rasa takut.
“Jane, kumohon!” ucap Matt. “Dua hari lagi pekerjaanku akan selesai. Setelah itu kita bisa pergi dari kabin ini.”
“Tapi kita masih harus melewati dua malam.” Ucap Jane. “Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya. Aku mungkin bisa gila.”
“Percaya padaku!” ucap Matt seraya mendaratkan satu kecupan di pipi istrinya. “Itu hanya ketakutanmu saja.”
Untuk sementara, Jane dapat mempercayai suaminya. Mungkin tidak seratus persen percaya dengan apa yang ia dengar. Namun ia percaya bahwa memang ada sesuatu yang tidak beres dengan kabin yang mereka sewa dengan harga murah itu.
Matt bekerja sebagai seorang pekerja bangunan yang saat itu tengah mengerjakan proyek di sebuah goa yang terletak tak jauh dari kabin yang mereka tempati. Ia pergi pukul sembilan pagi, dan kembali sekitar pukul enam sore. Jane harus bertahan di dalam kabin menyeramkan itu selama seharian seorang diri. Untuk membuang kebosanannya, Jane melakukan banyak hal. Membaca buku, atau kadang mendengarkan musik. Namun setelah ia melakukan dua hal tersebut, ia masih tidak mampu mengusir rasa curiganya terhadap apa yang ada di bawah tempat tidur.
Jane mencoba mengabaikan perasaannya. Ia coba tenggelamkan dirinya ke dalam buku fiksi yang ia baca, dan mencoba untuk tidak mendengarkan suara-suara halus di dalam kepalanya. Apakah usahanya itu berhasil? Mungkin untuk sekitar lima belas menit, ia memang dapat melepaskan rasa takut itu. Namun tiba-tiba saja suara derak ranting pepohonan yang tertiup angin kembali membuat Jane merasa cemas.
Jane dengan kesal meletakkan bukunya. Ia pandangi tempat tidurnya yang berada di sudut itu. Sebuah ranjang besi tua yang sudah reot. Entah bagaimana ia bisa tidur semalam diatas tempat tidur itu.
Jane tengah mencoba memutar musik dari ponselnya saat tiba-tiba ia mendengar suara derak lagi. Kepalanya dengan cepat berputar, mengarah ke sumber suara yang asalnya seperti dari dalam kabin. Benarkah? Mungkin hanya derak ranting lagi. Namun…
“BRAK!!”
Jane melompat dari kursinya seketika. Ya. Ia dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa suara berderak itu berasal dari arah tempat tidurnya. Dari bawah tempat tidurnya. Jantung Jane berdegup kencang saat rasa takut mulai merayapi tubuhnya. Jane ragu dengan apa yang akan ia lakukan. Berlari?
Tidak. Rasanya hal itu konyol untuk dilakukan. Jika ia bisa memeprcayai perkataan Matt pagi tadi, memang seharusnya tidak ada yang perlu ia khawatirkan. Namun suara itu nyata terdengar di telinganya.
Jane meraih tongkat besi dari tungku perapian dan segera bergerak perlahan ke arah tempat tidur bermasalah itu. Ia akan mengayunkan tongkat besi itu jika ada sesuatu yang melompat keluar dari bawa tempat tidurnya.
“BRAK!!” suara itu terdengar lagi. Jantung Jane sudah berdegub kencang sejak tadi, dan kini tidak ada bedanya. Ia harus memberanikan dirinya untuk mengak misteri yang menyelimuti kabin tengah hutan itu.
Jane bergerak perlahan, mendekat sedikit demi sedikit ke arah tempat tidurnya. Ia genggam ujung seprai dengan satu tangan, sementara tangan yang lain mulai mengangkat tongkat besinya. Dan dalam hitungan ketika, ia buka seprainya, dan…
Kosong.
Ya. Lagi-lagi yang terlihat hanyalah debu dan sarang laba-laba. Papan kayu di bawah tempat tidur itu pun sepertinya tidak bermasalah. Jane mencoba mengetuk papan kayu itu dengan tongkat besinya. Dan…, suara itu tidak kembali.
Jane benar-benar merasa gila. Apa yang terjadi dengannya? Apakah rasa takut di dalam dirinya itu mulai membuatnya tidak waras?
Angin tiba-tiba saja berhembus diluar, dan lagi-lagi menyebabkan derak ranting pohon. Sedikit angin bergerak masuk dari arah jendela, dan Jane langsung mengernyitkan wajahnya saat aroma busuk meneyrang hidungnya.
“Astaga! Apa ini?”
Jane mencium aroma busuk itu dengan nyata. Seperti bau bangkai yang sudah berhari-hari terpapar udara luar. Darimana asal bau bangkai itu? Mungkin ada hewan yang mati di sekitar kabin itu? Tapi kenapa ia tidak mencium aroma itu beberapa menit yang lalu?
Jane berlari keluar dari kabinya untuk mencari udara segar. Kepekatan hutan di sekeliling kabin itu membuat perasaannya semakin tidak karuan. Kini ia ragu, apakah aman berada diluar, atau di dalam kabin. Bagaimanapun, ia masih merasa tidak nyaman dengan tempat itu.
Entah bagaimana caranya Jane dapat bertahan di dalam kabin hingga pukuk enam sore. Matt pulang, dan Jane langsung membeberkan segala hal yang sudah ia alami hari itu. Tapi sama seperti sikapnya pagi tadi, Matt meganggap bahwa istrinya itu hanya berkhayal dan ketakutan tanpa alasan. Jane bersikukuh dengan pendiriannya. Ia menceritakan mengenai bau bangkai yang ia cium siang tadi.
“Kau masih menciumnya sekarang?” tanya Matt. Pandangan matanya seolah menghukum ke arah wajah istrinya.
“Tidak.” Jawab Jane lirih. “Tapi siang tadi bau itu benar-benar busuk. Seolah ada bangkai di dalam kabin ini.”
“Tidak mungkin.” Balas Matt seraya melepas jaketnya. “Jika memang ada bangkai, maka baunya tidak akan menghilang begitu saja, kan?”
Jane kini tidak tahu apakah ia harus mempercayai kata-kata suaminya, atau bersikukuh dengan pendapatnya. Bahkan ia sempat berpikir bahwa ia mungkin sudah gila karena suasana kabin di tengah hutan yang tidak menyenangkan itu.
Malam turun dengan begitu cepat. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas saat Jane naik ke atas tempat tidurnya. Ia merasa sedikit ngeri untuk naik ke atas tempat tidur reot itu. Ia takut akan adanya bahaya yang datang, seperti apa yang ia rasakan kemarin. Rasa cengkeraman seperti es itu benar-benar nyata. Dan ia merasa kesal dengan suaminya karena tidak mau mempercayai kata-katanya.
Cahaya keperakan bulan kembali menerobos kisi-kisi diatas jendela, dan menyiram tempat tidur Jane. Jane masih belum dapat menutup kedua matanya, meski rasa kantuk sudah menyerangnya sejak beberapa jam yang lalu. Suasana hening, yang bercampur dengan desir angin dan derak ranting pepohonan membuatnya merinding dan tidak dapat tidur. Ia merasa bahwa ada sesuatu di bawah tempat tidurnya.
Jane melirik kembali jam digital yang ada di samping tempat tidur. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih. Apakah ia akan terjaga sepanjang malam, memikirkan hal yang mungkin hanya ada di dalam kepalanya itu?
Menit demi menit berlalu. Jane yang sudah tidak tahan dengan rasa kantuk berat yang ia rasakan mulai menyerah untuk bertahan. Pada akhirnya, ia jatuh ke dalam alam bawah sadar. Namun sepertinya tidak lama, hingga pada akhirnya ia harus terbangun lagi dengan jantung berdebar, saat suara berderak di lantai itu kembali.
“BRAK!!”
Jane berjingkat diatas tempat tidurnya. Dengan segera ia mengguncang tubuh suaminya untuk membangunkan suaminya itu.
“Bangun! Suara itu datang lagi.” Bisik Jane. Matt dengan terpaksa harus menuruti permintaan istrinya itu. Ia membuka kedua matanya, namun suara itu kebetulan sedang berhenti. Hal ini membuat Jane berada di posisi yang tidak menyenangkan. Ia tidak berbohong. Tapi bagaimana caranya untuk membuat Matt percaya dengan apa yang ia katakan?
“Sayang, yang benar saja! Aku lelah…”
“Maaf! Tapi suara itu benar-benar terdengar. Aku tidak berbohong, Matt!”
Keringat dingin membasahi kening Jane. Rasa takut itu kini mulai membuatnya merasa gila. Apa yang harus ia lakukan untuk mengusir rasa takutnya? Satu-satunya harapan baginya adalah suaminya. Namun suaminya tidak memeprcayai kata-katanya.
Jane kembali membaringkan tubuhnya, dan mencoba untuk kembali tidur. Ia benar-benar tidak suka dengan keadaan saat itu. Namun baru beberapa menit ia memejamkan matanya, tiba-tiba…
“BRAK!! BRAK!!”
Jane kembali berjingkat. Anehnya, bukan hanya ia yang berjingkat. Ia menoleh ke arah suaminya, dan suaminya itu terlihat tengah menegakkan kepalanya sambil memandang ke arahnya.
“Benar, ‘kan?” ucap Jane. “Aku tidak berbohong.”
“BRAK!!” suara itu kembali terdengar dengan begitu keras. Kedua orang itu yakin bahwa suaranya memang berasal dari dalam kabin. Dari lantai kabin?
“Turun dari tempat tidur!” perintah Matt.
Jane langsung melompat turun. Ia dengan cepat mengarah pada saklar lampu dan menghidupkan lampunya. Cahaya terang kini memenuhi kabin. Matt berdiri terpaku di depan tempat tidur yang hingga beberapa saat yang lalu masih ia tempati. Ia menggeleng pelan, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
“Aneh.” Gumamnya pelan.
Jantung Jane berdegub semakin kencang saat Matt bergerak ke arah tempat tidur itu, lalu berjongkok di depannya. Ia sempat menoleh ke arah Jane sesaat sebelum ia mulai mencengkeram tepian seprai tempat tidur itu.
“Matt! Hati-hati!”
Matt menarik nafasnya dalam-dalam. Lalu dalam hitungan ketiga, ia menyingkap seprai itu dengan segera. Dan yang terlihat…
“Astaga!” Matt melompat ke belakang. Apa yang ada di bawah tempat tidur benar-benar tidak dapat ia percaya. Terdapat satu genangan seperti genangan lumpur di atas permukaan papan kayunya. Dan yang lebih parah, lumpur hitam pekat itu mengeluarkan bau yang teramat busuk. Matt menutup hidungnya seraya bergerak mundur dan merangkul tubuh istrinya. Ia memandang ke arah istrinya dengan tatapan tidak percaya.
“Apa itu, Matt?” tanya Jane. “Genangan lumpur?”
“Kurasa, ya.” Jawab Matt. “Bagaimana mungkin? Tidak ada lumpur di sekitar tempat ini. Bagaimana mungkin…”
“Semuanya terjadi dengan aneh, Matt. Kini kau mempercayaiku? Suara berderak itu, kau mendengarnya sendiri, ‘kan? Dan siang tadi ketika kukatakan bahwa aku mencium aroma busuk, mungkin ini.”
“Ini tidak masuk akal.”
“Tapi ini terjadi.”
Jane dan Matt tidak tahan dengan aroma busuk yang dikeluarkan oleh cairan kental hitam yang merembes dari bawah tempat tidurnya itu. Matt dan Jane sempat bergerak ke teras untuk mencari udara segar, namun pikiran mereka tidak dapat terbebas dari apa yang baru saja terjadi.
“Kabin ini ternyata memang aneh.” Gumam Matt.
Matt memutuskan untuk melakukan tindakan atas apa yang terjadi. Jika apa yang ia pikirkan benar, mungkin ada sesuatu dibalik papan lantai itu. Hal-hal aneh yang terjadi mungkin sebagai pertanda atau peringatan. Atau mungkin…, sebuah permintaan tolong.
Matt sebenarnya bukanlah tipe orang yang mudah percaya dengan cerita supranatural. Namun hal aneh yang terjadi sempat membuatnya ragu dengan pikirannya sendiri. Dan tanpa ia sadari, ia telah mengambil kapak. Ia menggeser tempat tidur itu, saat genangan hitam itu mulai merembes secara tak terduga.
Matt menarik nafasnya saat ia mengangkat kapaknya. Detik beriktnya, kapak itu menghujam tajam ke arah papan lantai yang kotor oleh genangan aneh itu. Genangan itu memercik, mengotori dinding saat Matt menarik kapaknya. Kini terdapat lubang di papan kayu itu. Dan Matt tidak berhenti mengayunkan kapaknya hingga ia membuat sebuah lubang besar, dimana di dalamnya terdapat satu genangan lumpur yang begitu tebal.
“Sesuatu ada di dalam lumpur ini.” Gumam Matt. “Ya. Mungkin ini adalah semacam permintaan tolong.”
Matt meletakkan kapaknya, lalu meraih sekop yang sudah ia sediakan. Perlahan ia angkat lumpur-lumpur yang ada di dalam lubang itu. Aroma yang busuk nyaris membuatnya muntah, namun ia dapat menahannya. Tumpukan lumpur mulai memenuhi lantai kabin itu. Dan ketika ia sudah cukup mengeruk lumpur itu, ia menemukan satu hal yang sama sekali tidak ia duga. Ia melihat adanya sebuah tengkorak manusia.

**

Matt dan Jane tidak dapat mengatakan bahwa mereka senang dengan apa yang telah mereka temukan. Jenasah yang terkubur di bawah kabin itu sudah benar-benar menjadi kerangka. Mungkin sudah terkubur selama bertahun-tahun.
Polisi datang ke kabin itu keesokan harinya untuk menyelidiki penemuan jenasah itu. Matt menjelaskan segala hal pada petugas polisi, bahkan hal-hal aneh yang ia dan istrinya rasakan. Tapi ia tidak tahu apakah polisi akan mempercayai cerita mistis mereka. Yang pasti, Jane dan Matt sudah dapat bernafas lega. Hal-hal misterius itu mungkin memang terjadi karena arwah dari jasad itu ingin ditemukan, dan dikuburkan dengan layak.
Matt dan Jane memutuskan untuk pergi hari itu juga. Mereka tidak mau lagi menghabiskan malam di sebuah kabin aneh yang ada di tengah hutan. Lalu bagaimana dengan pekerjaan Matt?
“Aku bisa mencari yang baru.” Ucapnya pada Jane.
Matt pada akhirnya mendapatkan cerita sebenarnya mengenai jenasah itu. Jenasah itu adalah seorang korban penculikan yang terjadi hampir lima tahun yang lalu. Menghilangnya korban membuat repot kepolisian, dan kasus penculikan itu tidak pernah terselesaikan. Mungkin kini setelah jenasah ditemukan, mereka akan membuka kembali kasus lama itu?
Satu hal yang pasti, Jane meminta Matt untuk berjanji bahwa ia tidak akan mengajaknya ke tempat yang aneh lagi. Jangan kabin, dan jangan di tengah hutan. Jane sudah muak dengan apa yang ia alami.
“Berjanjilah!” pinta Jane saat ia berada di dalam sebuah taksi yang membawanya keluar dari kota itu. Matt tersenyum ke arahnya, lalu membuka mulutnya disertai dengan satu senyum.
“Aku berjanji.”

****