Thursday, May 5, 2016

PENA ANTIK LAUREN



Lauren tersenyum senang. Ia bangga dengan pena baru yang ada di tangannya. Sebuah pena antik merah dengan ornamen berwarna emas, yang sudah berhasil merebut perhatian sebagian besar temannya.
“Darimana kau membeli pena itu?” tanya salah seorang teman Lauren yang duduk di bangku depannya.
“Aku tidak membelinya.” Jawab Lauren. “Ini adalah pena yang kutemukan di rumah lama kakekku yang tinggal di Cherwood.”
“Kau punya kakek disana?”
“Ya.” Jawab Lauren.
Ceritanya itu memang benar. Seminggu yang lalu ia pergi bersama dengan kedua orang tuanya ke Cherwood untuk mengunjungi rumah lama peninggalan mendiang kakeknya. Rumah tua yang besar itu menyimpan begitu banyak kenangan mengenai kehidupan kakeknya semasa ia masih hidup. Kakek Lauren adalah seorang kolektor barang-barang antik. Tidak aneh rasanya jika Lauren kini mempunyai pena antik, yang mungkin adalah salah satu dari koleksi kakeknya.
“Tapi rasanya pena itu aneh.” Ucap Mandy yang duduk di sebelah Lauren. Lauren seketika mengarahkan pandangan matanya pada teman sebayanya itu, dan meminta penjelasan.
“Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.” Ucap Mandy. “Aku merasa bahwa pena itu mempunyai…, kisah yang sedikit menyeramkan.”
“Apa maksudmu? Ini pena bagus.” Ucap Lauren. Ia mengangkat pena tuanya itu ke udara. Cahaya matahari pagi yang masuk dari jendela menyiram permukaan merah dan emas pena itu, yang membuatnya seolah bersinar. Lauren semakin tersenyum lebar dan merasa bangga dengan apa yang ia punya.
“Kau serius, mandy?” tanya Lauren sedetik kemudian seraya menurunkan kembali tangannya. “Aku tahu kau penggemar misteri. Tapi kau selalu berpikir aneh-aneh pada setiap hal.”
“Firasatku selalu benar.” Ucap Mandy bersikukuh dengan pendapatnya. “Kurasa ada cerita besar dibalik pena itu. Apa kau tidak pernah bertanya pada ayah atau ibumu mengenai benda itu?”
“Mereka tidak tahu aku mempunyai pena ini.”
“Apa?”
“Aku mengambilnya diam-diam.”
Ya. Lauren akui bahwa dirinya memang sedikit kelewatan. Namun mau bagaimana lagi? Ayah dan ibunya berencana untuk menjual setiap barang antik yang ada di dalam rumah tua itu. Dan Lauren memutuskan mengambil pena itu sebagai kenang-kenangan.
Lauren bersenandung lirih, mengabaikan tatapan tajam Mandy. Lauren tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh temannya itu. Mungkin Mandy hanya iri padanya karena memiliki benda antik seperti itu.
Lauren berusaha untuk fokus pada pena antik yang ia putar-putar di jarinya itu. Namun ia masih sadar bahwa kedua mata coklat temannya itu masih menatap ke arahnya dengan pandangan yang sedikit aneh. Pada akhirnya, Lauren merasa tidak betah mendapat tatapan seperti itu.
“Mandy!” ucapnya. “Kenapa denganmu? Kau tidak suka aku memiliki benda seperti ini?”
“Bukan begitu.” Balas Mandy. “Aku hanya khawatir padamu, Lauren. Mungkin pena itu akan mengundang bahaya.”
“Yang benar saja!”
Lauren hanya dapat mendesah pelan mengenai ucapan-ucapan temannya itu. Ia akui bahwa Mandy memang sedikit aneh. Gadis itu adalah gadis yang dulunya tinggal di Blackwood, sebuah kota yang memang terkenal dengan hal-hal supranaturalnya. Ia tahu bahwa Mandy suka dengan hal-hal yang berbau supranatural. Namun Lauren tidak pernah menyangkan bahwa Mandy memang benar-benar percaya dengan hal-hal seperti itu.
“Jangan khawatir!” ucap Lauren seraya memasukkan pena itu ke dalam kotak pensilnya. “Pena ini tidak akan membunuhku.”
Perbincangan mengenai pena antik itu terhenti seketika saat Tn. Ford, guru biologi masuk ke dalam kelas. Kelas dimulai seperti biasa. Salah satu hal yang menarik dari kelas biologi adalah cara Tn. Ford mengajar. Guru itu selalu menyelipkan lelucon dalam setiap bahasan yang ia ucapkan di depan kelas. Dan Lauren berharap dapat terhibur pagi itu, namun harus kecewa saat Tn. Ford dengan tiba-tiba mengatakan ada ulangan mendadak. Desahan keluh kesah terdengar memenuhi ruangan kecil itu. Tidak ada yang mengharapkan adanya ulangan. Termasuk Lauren.
Lauren merasa sedikit cemas untuk sesaat. Ia tahu bahwa hari itu memang akan ada jadwal biologi. Namun ia tidak belajar semalam, karena ia berharap pagi itu ia akan mendapatkan lelucon segar dari Tn. Ford. Sejauh apa yang ia ketahui, Tn. Ford tidak pernah mengadakan ulangan mendadak seperti itu. Dan ini adalah pertama kalinya.
Wajah-wajah cemas terlihat memenuhi ruangan kecil itu. Wajah dari murid-murid menjadi semakin tidak karuan saat Tn. Ford menyerahkan lembaran soal. Hanya terdapat sepuluh pertanyaan essay dalam lembaran itu. Tapi setiap murid sadar bahwa tidak ada satupun pertanyaan dalam lembar soal itu yang bisa masuk dalam kategori mudah.
Ketegangan mulai merayapi wajah lauren ketika ia mulai membaca soal di tangannya satu persatu. Semakin lama, ia menjadi sadar bahwa belajar sebelum memulai pelajaran mungkin adalah hal yang penting. Kini hal itu sudah terlambat dilakukan. Lalu apa yang akan ia lakukan? Ia sama sekali tidak ingat dengan materi soal yang diberikan.
Lauren menulis nama dan nomor absen pada lembar soal itu ketika tiba-tiba saja ia sadari tinta penanya habis. Tidak ada pilihan lain selain menggunakan pena antiknya, yang entah kenapa masih bisa digunakan meski sudah terbilang barang antik.
“Ini benar-benar sulit.” Keluh Mandy sambil berbisik di sebelahnya. Lauren memandang ke wajah Mandy, dan raut wajahnya sama dengan raut wajah semua murid di kelas itu.
“Ini konyol! Tn. Ford tidak seharusnya…”
“Tapi ini benar-benar terjadi.” Potong Lauren. “Senang atau tidak, kita harus mengerjakan soal-soal ini. Dan…, ya. Memang konyol.”
Lauren tidak tahu apakah ia akan mendapatkan nilai bagus atau tidak. Sebagian besar dari soal-soal itu…, tidak. Bahkan semua soal yang diberikan adalah soal tersulit yang pernah Lauren temui dalam kelas Tn. Ford. Dan Lauren mulai ragu dengan ucapannya tadi.
Lauren mencoba mencari soal yang menurutnya paling mudah. Soal pertama ia lewatkan. Begitu juga dengan soal kedua dan ketiga. Soal keempat…, hmmm. Lumayan sulit.
Lauren memiliki kebiasaan menggerakkan mulutnya ketika membaca, meski sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia mulai membaca soal keempat saat tiba-tiba saja ia merasakan ada angin kecil yang menyentuh telinganya. Lauren dengan cepat memutar tubuhnya, berharap akan ada seseroang yang jahil berada di belakangnya. Namun…, tidak. Teman di belakangnya masih tertunduk menghandap pada lembar soalnya sendiri.
“Ad apa Nn. Zimmer?” tanya Tn. Ford dengan lantang, mengarahkan pertanyaannya pada Lauren yang bertingkah aneh. Lauren cepat-cepat memutar tubuhnya kembali sambil menggeleng pelan. Aneh.
Tidak. Sepertinya bukan hanya hal itu saja yang aneh. Ketika Lauren mencoba membaca kembali pertanyaan keempat, ia mendengar ada yang berbisik di telinganya. Bukan bisikan biasa. Ia mendengar sebuah suara gadis yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, suara itu membisikkan jawaban atas soal yang baru saja ia baca.
Benarkah terjadi? Lauren sendiri hampir tidak mempercayainya. Ia mengira suara itu adalah suara Mandy. Namun Mandy terlihat diam saja, dan sepertinya masih kesulitan dengan soal ulangannya sendiri.
Lauren membaca lagi soalnya. Dan bisikan itu terdengar lagi dengan begitu jelas. Dan Lauren sadar, ucapan dari bisikan itu memang berkaitan dengan soal yang sedang ia baca. Kenapa hal itu bisa terjadi? Siapa yang sebenarnya berbisik padanya?
Lauren tengah menatap heran pada lembar soalnya, saat tiba-tiba saja ia sadar dengan apa yang ada di tangan kanannya. Ya. Pena antik merah itu. Lauren tiba-tiba saja teringat akan ucapan Mandy beberapa saat yang lalu mengenai pena itu. Benarkah pena itu…, memiliki kisah tersendiri?
Lauren mencoba membaca pertanyaan itu berkali-kali. Dan bisikan yang hadir di telingan terdengar sama. Ya. Bisikan itu menjawab soal yang ia baca. Lalu apa yang akan ia lakukan? Tidak mengisi lembar kerjanya juga sebuah kesalahan, ‘kan? Lauren tidak punya pilihan lain selain mencoba mengikuti suara misterius yang berbisik di telinganya itu. Satu demi satu ia baca pertanyaan di lembar kerjanya. Dan…

**

“Bagaimana mungkin?” tanya Mandy dengan heran ketika melihat lembar kerja Lauren yang dihiasi dengan nilai A. Lauren hanya tersenyum-senyum kecil, bangga dengan apa yang sudah ia lakukan, meski hal itu tidak murni hasil kerja kerasnya.
“Entahlah.” Jawab Lauren berpura-pura tidak tahu. “Aku tidak tahu akan ada ulangan, tapi…, kau tahu? Aku sudah bersiap.”
“Kau tidak pernah sebagus ini sebelumnya.”
“Kau iri padaku?” tanya Lauren. “Karena aku mendapatkan nilai sempurna?”
Sisa hari itu menjadi lebih menyenangkan bagi Lauren. Ia menyimpan rahasia kecil itu pada dirinya sendiri. Pena yang ia gunakan memang memiliki kekuatan supranatural yang sama sekali tidak ia mengerti. Lauren mencoba membaca soal di buku sejarah, mendengar bisikan itu, lalu mencocokkannya dengan kunci jawaban yang ada di belakang buku. Jawabannya tepat 100 persen. Ia tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.
“Mungkin pena itu…”
“Apa?” potong Lauren pada ucapan Mandy. “Kau pikir pena ini membisikkan jawabannya padaku atas soal yang kubaca? Yang benar saja, Mandy! Hal itu tidak mungkin terjadi.”
Kobohongan demi kebohongan mulai Lauren ucapkan untuk menutupi rahasia kecil yang ia punya. Dan Lauren menjadi sedikit terlalu percaya diri dengan kemampuan pena barunya itu. Ia…, mungkin akan menjadi murid terpintar di sekolahnya.
Lauren tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Bersama dengan pena itu, ia sudah merasa diatas angin. Dan sepertinya tidak perlu lagi belajar susah-susah, karena pena itu akan memberikan jawabannya dengan cuma-cuma.
“Kenapa kau tersenyum-senyum sendiri?” tanya ibu Lauren ketika Lauren sudah berada di rumah sore harinya.
“Bukan apa-apa. Aku hanya merasa sedikit senang.” Ucap Lauren. Ia kemudian menyerahkan lembar kerja biologinya yang bernilai A itu pada ibunya. Wajah ibunya seketika berkerut, heran dengan pekerjaan putrinya.
“Kau melakukannya ini sendiri?” tanya ibunya.
“Tentu saja.” Jawab Lauren dengan penuh kebanggaan. “Kau pikir aku mencontek?”
Lauren merasa terlalu bahagia. Ketika ia masuk ke kamarnya malam itu, ia mencoba sesuatu yang ia rasa akan menyenangkan. Ia mengambil buku-buku pelajarannya, dan dengan senang hati mulai membaca setiap pertanyaan yang ada di dalam buku-buku itu. Bahkan sampai bagian dimana guru belum menjelaskan. Dan apa yang terjadi? Pena itu kembali membisikkan jawaban-jawabannya pada Lauren. Lauren lupa diri. Dan tanpa sadar, ia telah memenuhi buku tulisnya dengan jawaban-jawaban yang rumit, yang tidak akan dapat ia lakukan dengan kemampuannya sendiri.
“Ini luar biasa!” seru Lauren bangga pada dirinya sendiri.
Lauren memandangi kembali pena merah yang ada di tangannya. Ya. Benda keberuntungan baru baginya. Dan dengan pena itu, ia merasa sudah menang. Ia akan menjadi murid terpandai di sekolahnya.

**

Lauren seharusnya dapat tidur nyenyak malam itu karena ia sudah tidak perlu lagi bingung memikirkan pelajaran di sekolah besok pagi. Namun ia tiba-tiba saja terbangun saat angin dingin seolah baru saja berhembus ke wajahnya. Mungkinkah hal itu terjadi? Lauren ingat dengan jelas bahwa ia sudah menutup jendela kamarnya. Dan tidak mungkin angin bisa berhembus masuk. Lalu…, apa yang baru saja ia rasakan?
Lauren terduduk diatas tempat tidurnya, di dalam kamar yang gelap. Sedikit cahaya bulan menerobos masuk melalui celah lubang udara diatas jendelanya, yang membuat kamarnya berwarna sedikit keperakan. Lauren merasakan sebuah kecemasan yang tidak biasa, dan ia tidak tahu darimana asalnya. Ia merasa bahwa ada yang mengawasinya.
Lauren coba sapukan pandangan matanya ke setiap sudut kamar yang ia tempati, dan tetap tidak menemukan adanya keanehan. Ia bangkit dari tempat tidurnya, dan tiba-tiba saja merasakan keanehan pada lengan kanannya.
Lengannya terasa begitu berat dan panas, terutama di area sekitar pergelangan tangannya. Lauren amati tangannya, namun tidak ada yang aneh. Tidak ada bagian yang bengkak ata terluka. Tapi Lauren dengan jelas dapat merasakan rasa sakit di pergelangan tangannya. Mungkin karena ia terlalu banyak menulis sore tadi? Itu yang Lauren pikirkan.
Lauren mengoleskan sedikit balsam pada pergelangan tangannya untuk mengurangsi rasa sakit yang ia rasakan. Ia tidak tahu apakah rasa sakit itu akan hilang besok pagi, atau tidak. Atau ia perlu memebritahu ibunya tentang hal ini?
Tidak. Ucap Lauren dengan sikap teguh. Ia merasa bahwa tidak ada yang perlu ia khawatirkan mengenai lengannya. Mungkin hanya lelah, dan akan hilang dengan sendirinya. Ya. Lauren pergi tidur lagi dengan pemikiran seperti itu di kepalanya.
Apakah rasa sakit itu benar hilang keesokan harinya? Jawabannya, tidak. Lauren malah merasakan rasa sakit yang luar biasa pada pergelangan di sikunya. Ia merasa tidak nyaman, namun tidak mau berkata apa-apa pada ibunya. Entah kenapa ia mencoba menyembunyikan hal itu.
Di sekolah, Lauren sama sekali tidak dapat memfokuskan pikirannya pada pelajaran yang ia terima. Rasa sakit itu benar-benar mengganggu. Mandy, teman yang duduk di sebelahnya, sadar dengan raut wajah aneh temannya itu.
“Kau tidak apa-apa, Lauren?” tanya Mandy dengan sikap peduli seperti biasa. “Kau tidak…”
“Tidak apa-apa.” Jawab Lauren sambil tersenyum.
Pelajaran dilanjutkan kembali. Kini tiba saatnya untuk mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh gurunya. Lauren berpikir akan beruntung seperti kemarin. Pena merah antik itu sudah berada di tangan kanannya, dan ia mulai membaca pertanyaan demi pertanyaan.
Bisikan jawaban kembali ia dengar. Dan ketika ia mencoba menulis dengan penanya, tiba-tiba saja…
“Ah!!”
Lauren memekik seketika saat ia rasakan rasa perih muncul di lengan tangan kirinya. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Beberapa pasang mata memandang ke arahnya.
“Ada apa Nn. Zimmer? Kau memekik kesakitan.” Ucap sang guru yang berada di depan kelas.
“Bukan apa-apa, Ny. Platz.” Jawab Lauren berbohong. Mandy berbeisik ke arahnya.
“Kau yakin tidak apa-apa, Lauren?” tanyanya. “Jangan berbohong! Kau memekik kesakitan.”
“Ya. Bukan apa-apa. Tenang saja.” Ucap Lauren sambil memaksakan satu senyum.
Lauren kembali mencoba menulis di bukunya. Namun ketika ia berhasil menulis satu kalimat jawaban, tiba-tiba saja ia terpekik lagi saat rasa perih hadir dengan dahsyat di lengan kirinya. Dan ketika ia menolah ke arah lengan itu, disana terdapat sayatan-sayatan kecil, seperti sayatan pisau, memenuhi lengannya. Darah segar merembes keluar dari goresan-goresan itu. Lauren tidak dapat menyembunyikan lagi apa yang terjadi. Semua mata memandang ke arahnya.
“Oh, Tuhan! Lauren! Apa yang terjadi?”
“Kenapa dengan…
“Lauren?”
Lauren kebingungan. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Ia baru saja merasakan sebuah pengalaman yang aneh. Saat ia mulai menulis, goresan muncul di lengannya. Ia merasa seperti Harry Potter dalam buku kelima.
“Nn. Zimmer, sebaiknya kau ke klinik!” ucap Ny. Platz memberikan instruksi. Lauren tidak punya pilihan lagi. Luka-luka yang berada di tangannya benar-benar nyata, dan memerlukan pertolongan medis secepatnya. Mandy bangkit dan mengikuti gerak langkah Lauren, mengantarkan gadis itu pergi ke klinik.

**

“Katakan apa yang sebenarnya terjadi!” pinta Mandy ketika Lauren sudah mendapatkan pertolongan untuk lengannya yang penuh dengan goresan. Perban kini memenuhi sepanjang lengannya.
“Aku tidak tahu.” Jawab Lauren. “Tangan kananku juga rasanya sakit, dan berat.”
“Ada sesuatu, Lauren. Sepertinya…”
“Pena itu? Mustahil!”
“Tapi pikirkanlah!” ucap Mandy. “Apa yang kau alami semenjak kau menggunakan pena itu? Dan kemarin, tidak kusangka kau akan mendapatkan nilai terbaik, padalah aku tahu kau tidak…, maksudku…, kita tidak siap dengan soal-soal sulit itu.”
Lauren menyadari bahwa mungkin keajaiban yang sudah ditunjukkan oleh Pena itu mempunyai harga yang tidak biasa. Ia memang terbantu dengan adanya pena itu. Tapi sebagai akibatnya, tangannya kini terluka. Apakah mungkin hal itu bisa terjadi? Hal-hal supranatural memang sulit untuk dipercaya. Namun hal itu sudah terjadi padanya.
“Aku ingin jujur mengenai pena itu, Mandy.” Ucap Lauren beberapa detik kemudian. “Sebenarnya…, aku mendapatkan jawaban-jawabannya karena pena itu.”
“Sungguh?”
“Kau tidak merasa aneh?” tanya Lauren. “Pena itu seolah membisikkan jawabannya padaku. Semua jawaban yang kubaca. Bukankah aneh?”
“Aku dulu pernah tinggal di Blackwood, Lauren.” Ucap Mandy. “Ada begitu banyak hal yang bagi sebagian orang mungkin akan terlihat mustahil. Namun itulah kenyataannya. Benda-benda antik seperti itu biasanya terkutuk. Dan kini apa yang terjadi dengan lenganmu adalah satu bukti yang nyata.”
Ya. Lauren mulai menyadari akan hal itu. Lalu apa yang akan ia lakukan selanjutnya terhadap pena itu?
“Berhenti gunakan pena itu!” pinta Mandy dengan tatapan serius ke arah Lauren. “Tapi mungkin tidak akan semudah itu.”
“Apa maksudmu?”
“Pena itu sudah kau gunakan.” Ucap Mandy. “Kekuatan mistisnya mungkin sudah melekat padamu. Dan kau tidak bisa hanya tidak menggunakannya begitu saja. Pena itu masih mengasaimu.”
“Lalu apa yang harus kulakukan?” Lauren terdengar ketakutan dan putus asa. Mandy adalah satu-satunya orang yang mungkin dapat membantunya.
“Aku akan mencari tahu bagaimana cara menghilangkan kutukan benda seperti itu.” Ucap Mandy. “Ibuku tahu banyak hal mengenai pengusiran setan dan kutukan. Dan ada banyak buku yang bisa membantu di rumahku. Untuk sementara, sebaiknya kau juga mencari tahu mengenai kisah pena itu. Tanyakan pada kedua orang tuamu. Mungkin mereka tahu.”
Lauren tidak punya pilihan lain lagi. Ketika ia sampai di rumah, ia mengundang kedua orang tuanya untuk duduk di meja makan. Kedua orang tuanya mungkin merasa aneh dengan sikap putrinya mereka itu. Tapi mereka mau mendengarkan.
“Kau sudah pernah melihat pena ini?” tanya Lauren sambil menunjukkan pena merah antiknya itu. Kedua orang tuanya saling melempar pandangan.
“Darimana kau mendapatkan pena itu, sayang?” tanya ibunya.
“Dari rumah kakek pada saat itu.” Jawab lauren jujur. “Aku…, mengambilnya.”
“Kenapa kau tidak mengatakannya pada kami?”
“Aku tidak mau kalian tahu. Dan kini, pena itu sepertinya sudah melepas kutukannya padaku.”
“Apa?!”
Lauren kemudian menjelaskan segala hal yang sudah terjadi pada dirinya semenjak ia menggunakan pena itu. Ia menjelaskan bagaimana pena itu membisikkan jawaban soal padanya di sekolah dan juga ketika ia mengerjakan pr di rumah. Ibu Lauren terlihat memelototkan matanya, terkejut dengan apa yang putrinya ceritakan. Tapi berbeda dengan ayahnya.
“Ayah, kau tahu tentang pena ini?”
“Kakek pernah bercerita padaku mengenai pena itu saat ia masih hidup.” Ucap ayah Lauren. “Pena itu ia dapatkan dari seseorang dari kota jauh. Kota yang katanya…, penuh dengan misteri.”
“Darimana?”
“Kalau tidak salah…, Blackwood.”
Lauren terperanjat seketika saat mendengar ucapan itu. Ya. Blackwood. Kini tidak aneh jika pena itu memang terkutuk. Dan kini ia sadar bahwa ia harus segera memutus rantai kutukan itu, meski ia belum tahu caranya.
Lauren menelepon Mandy sesaat kemudian. Ia menanyakan apa temannya itu sudah mendapatkan cara untuk menghilangkan kutukan.
“Bagaimana?” tanya Lauren di telepon.
“Aku sedang membaca buku tentang hal itu. Ibuku membantku saat ini.”
“Aku takut, Mandy.” Ucap Lauren. “Luka-luka yang kudapatkan mungkin hanya awalan saja. Mungkin bisa lebih buruk.”
“Tenangkan dirimu, Lauren!” balas Mandy. “Aku berjanji akan segera menemukan solusinya.”
Lauren tetap memegang kepercayaan pada temannya itu. Untuk malam itu, sepertinya ia harus menahan rasa sakit di tangan kanannya yang semakin menjadi-jadi. Ia bahkan tidak dapat tidur hingga larut malam karena rasa sakit di pergelangan tangan kananya semakin menjadi-jadi. Ia sudah mencoba meminum pain-killer untuk meredakan rasa sakitnya. Namun obat itu tidak benar-benar membantu.
Tidur Lauren malam harinya sedikit terganggu. Ia terbangun berkali-kali saat mendapatkan serangan mimpi buruk yang rasanya lebih buruk dari mimpi-mipi buruk yang sudah pernah ia alami sebelumnya. Lebih parahnya lagi, rasa sakit di tangannya sudah tidak tertahankan lagi. Dan yang dapat ia lakukan, hanyalah menangis meratapi rasa sakitnya itu. Ia ingin segera dapat terlepas dari kutukan itu.
Lauren dengan cepat berusaha menemukan Mandy ketika ia sudah sampai di sekolah keesokan harinya. Ia ingin segera mendengar solusi dari gadis itu.
“Tenang! Aku sudah menemukan caranya.” Ucap Mandy. “Barang-barang terkutuk sepertinya akan kehilangan kekuatannya jika kita bacakan mantra.”
“Mantra?”
“Tapi sayangnya aku tidak menemukan mantra yang tepat.”
“Ohh!! Lalu bagaimana? Aku sudah tidak tahan dengan sakit di lenganku.”
Lauren kini merasa hampir tidak dapat menggunakan tangan kanannya. Dan hal itu tentu saja mengganggu bagi kegiatannya.
“Kumohon, Mandy! Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan.”
“Ada satu hal yang bisa kita lakukan.” Ucap Mandy beberapa saat kemudian setelah memutar otaknya. Lauren mengamati Mandy dengan tatapan serius.
“Bagaimana?”
“Kita lakukan sore ini di belakang sekolah. Temui aku disana, dan kita lihat apa yang dapat kita lakukan. Dan jangan lupa untuk membawa pena itu.”

**

Lauren kembali ke sekolah saat matahari sudah terbenam. Ini adalah kali pertama ia menginjakkan kaki di pekarangan sekolah saat sudah tidak ada lagi sinar matahari. Gedung sekolahannnya yang tua itu menciptakan bayang-bayang mengerikan yang untuk sesaat membuat Lauren sedikit gentar, ragu untuk melanjutkan langkah kakinya. Namun ia meyakinkan dirinya bahwa ia sudah tidak mau lagi merasakan rasa sakit di lengannya. Ia harus segera menghancurkan pena merah itu.
Lauren bergerak ke arah halaman belakang sekolah dimana disana terdapat beberapa pepohonan yang menyerupai sebuah hutan kecil. Ia sudah ditunggu oleh Mandy, yang saat itu terlihat sibuk mengamati buku besar yang ada di tangannya.
“Kau bawa penanya?” tanya Mandy.
“Ya. Ini.” Jawab Lauren sambil menunjukkan pena merah marun dengan ornamen berwarna emas itu.
“Kau tahu apa yang akan kau lakukan, ‘kan?” tanya Lauren. “Maksudku…, kau yang pandai dalam hal-hal seperti ini.”
“Aku meminjam buku mantra ibuku.” Ucap Mandy. “Aku sedang mencoba mencari mantra…, Ah! Ketemu! Ini dia!”
Lauren ikut melihat ke arah halaman buku tua yang terbuka itu, dan menemukan sebuah artikel yang ditulis tangan, dengan judul ‘PELEPASAN KUTUKAN PADA BENDA’. Di bawah judul itu terdapat begitu banyak penjelasan dan gambar. Di bagian akhir, terdapat mantra yang sepertinya tidak ditulis dalam bahasa manusia.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Lauren.
“Kau diam saja.” Jawab Mandy. “Ulurkan tanganmu ke depan, dan letakkan pena itu di telapak tanganmu.”
Lauren melakukan apa yang diperintahkan oleh temannya itu. Ia tengadahkan tangan kanannya, dan ia letakkan pena itu diatas permukaan tangannya.
“Lalu?”
“Diamlah! Aku akan segera memulainya.”
Angin dingin tiba-tiba saja berhembus. Menggetarkan pucuk pepohonan yang berada di sekeliling mereka. Atmosfirnya berubah seketika. Seolah ada kekuatan jahat yang tengah mengawasi keduanya.
Mandy mulai melakukan ritual kecilnya. Buku tua itu terbuka lebar di tangannya, dan ia mulai membaca mantra yang terdengar begitu aneh dan sedikit Demonic. Mandy terlihat begitu serius. Bibirnya bergerak begitu cepat, mengucapkan mantra-mantra yang ada di dalam buku itu. Dan seketika, Mandy menjerit.
“Mandy!”
Mandy terlihat tidak menggubris teriakan Lauren. Wajah Mandy terlihat berkerut, seolah menahan rasa sakit yang luar biasa pada tubuhnya. Dan hal aneh terjadi pada pena yang berada di tangan Lauren. Pena itu bergetar dengan sendirinya. Dan Lauren merasakan rasa panas seperti terbakar, keluar dari pena itu.
“Mandi! Penanya…”
Lauren berusaha untuk menahan agar pena itu terus berada di telapak tangannya. Penanya terus bergetar. Disaat yang bersamaa, angin ribut mulai melanda kawasan hutan kecil itu. Angin yang datang menerbangakan dedauan kering yang menutupi tanah. Keadaannya sudah kacau, dan suara Mandy melengking tinggi. Hingga akhirnya…
“AH!!” Lauren berteriak seketika saat pena yang ia pegang tiba-tiba saja terpentak dari tangannya dan jatuh ke tanah. Tepat sat pena itu menyentuh tanah, Mandy menghentikan ucapan mantranya. Angin ribut pun berhenti dengan seketika.
Lauren menatap nanar pada Mandy, yang terlihat penuh peluh seolah baru saja berlari. Temannya itu tersenyum ke arahnya.
“Sudah selesai?” tanya Lauren ragu. “Hanya begitu saja?”
“Kurasa, memang begitu.” Jawab Mandy. Ia berjongkok, lalu meraih pena antik itu. Ada sedikit bekas bakaran di bagian ujung pena itu. Padahal sama sekali tidak ada api yang menyentuhnya.
“Kurasa kita berhasil.” Ucap Mandy. “Tapi untuk berjaga-jaga…”
Mandy mengambil sebuah botol yang tersembunyi di balik jaketnya. Ia kemudian menuang cairan bening dari dalam botol itu ke arah pena yang ada di tanah.
“Kita harus membakarnya.” Ucap Mandy. “Kau tidak keberatan dengan hal itu, ‘kan?”
Lauren menggeleng. Ia kini mau melakukan segala sesuatu untuk menghentikan kutukan dari pena itu. Dan membakarnya, merupakan ide yang cukup bagus.
Api membubung seketika. Membakar pena, sekaligus dedaunan kering yang berada di tempat itu. Lauren dan Mandy menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri saat pena itu meleleh, membengkok dan hangus karena api. Dan benar atau tidak, mereka seperti mendengar sebuah jeritan dari pena itu. Mungkinkan itu terjadi?
Lauren dan Mandy nyaris terjerembab ke tanah saat ada sebuah asap tipis yang tiba-tiba saja melesat dari dalam pena itu, dan melayang ke udara, lalu lenyap. Menurut Mandy, mungkin asap itu adalah manifestasi dari kutukan jahat yang berada di dalam pena itu.
Keduanya tersenyum puas saat pena itu sudah benar-benar hancur dan hangus. Ketika api padam, mereka tidak menemukan bekas dari pena itu lagi. Dan dengan ini, ceritanya berakhir.
“Terima kasih, Mandy.” Ucap Lauren sambil tersenyum. Rasa berat di tangannya terasa, namun rasanya sudah cukup berkurang.
“Semoga saja apa yang kita lakukan adalah hal yang benar.” Ucap Mandy. “Maaf, kau harus kehilangan benda peninggalan kakekmu.”
“Lebih baik begini.” Balas Luaren. Mandy tersenyum puas ke arahnya, lalu memberikan satu tepukan ringan ke pundak temannya itu.
“Ayo kita pulang!”

**

Lauren mendapatkan pelajaran berharga dari apa yang sudah ia alami. Ia kini sadar, bahwa tidak ada jalan pintas untuk mencapai sesuatu. Jika ia ingin menjadi yang terbaik di sekolah, ia harus giat belajar. Dan bukan bergantung pada benda-benda aneh atau seseorang.
Lauren tersenyum saat ia naik ke tempat tidurnya malam itu. Rasa sakit di pergelangan tangan kanannya sudah menghilang. Ia kini dapat mengucapkan selamat tinggal pada pena antiknya itu. Dan besok, mungkin akan jadi hari yang baru bagi Lauren.
Lauren nayris tertidur saat tiba-tiba saja telinganya menangkap sebuah suara berkelotak yang datang dari arah meja belajarnya. Lauren bangkit, dan mencoba mendengar kembali suara itu.
Ya. Ia dengar jelas suara berkelotak itu berasal dari dalam laci meja belajarnya. Lauren bangkit dari tempat tidurnya, lalu bergerak ke arah laci mejanya yang masih berkelotak itu. Ada apa di dalam sana? Apa yang menyebabkan suara itu?
Jantung Lauren berdegup kencang saat ia menggenggam erat pegangan laci mejanya. Dan ketika ia tarik laci itu, kedua matanya menangkan kehadiran sebuah benda yang seharusnya sudah hancur sejak beberapa jam yang lalu. Pena merah antik itu kembali berada di dalam laci belajaranya. Lauren tidak dapat melakukan hal lain selain berteriak sekuat tenaga, lalu pingsan.

****







No comments:

Post a Comment