Lauren tersenyum senang. Ia bangga dengan pena baru yang ada
di tangannya. Sebuah pena antik merah dengan ornamen berwarna emas, yang sudah
berhasil merebut perhatian sebagian besar temannya.
“Darimana kau membeli pena
itu?” tanya salah seorang teman Lauren yang duduk di bangku depannya.
“Aku tidak membelinya.”
Jawab Lauren. “Ini adalah pena yang kutemukan di rumah lama kakekku yang
tinggal di Cherwood.”
“Kau punya kakek disana?”
“Ya.” Jawab Lauren.
Ceritanya itu memang benar.
Seminggu yang lalu ia pergi bersama dengan kedua orang tuanya ke Cherwood untuk
mengunjungi rumah lama peninggalan mendiang kakeknya. Rumah tua yang besar itu
menyimpan begitu banyak kenangan mengenai kehidupan kakeknya semasa ia masih
hidup. Kakek Lauren adalah seorang kolektor barang-barang antik. Tidak aneh
rasanya jika Lauren kini mempunyai pena antik, yang mungkin adalah salah satu
dari koleksi kakeknya.
“Tapi rasanya pena itu
aneh.” Ucap Mandy yang duduk di sebelah Lauren. Lauren seketika mengarahkan
pandangan matanya pada teman sebayanya itu, dan meminta penjelasan.
“Aku tidak tahu bagaimana
menjelaskannya.” Ucap Mandy. “Aku merasa bahwa pena itu mempunyai…, kisah yang
sedikit menyeramkan.”
“Apa maksudmu? Ini pena
bagus.” Ucap Lauren. Ia mengangkat pena tuanya itu ke udara. Cahaya matahari
pagi yang masuk dari jendela menyiram permukaan merah dan emas pena itu, yang
membuatnya seolah bersinar. Lauren semakin tersenyum lebar dan merasa bangga
dengan apa yang ia punya.
“Kau serius, mandy?” tanya
Lauren sedetik kemudian seraya menurunkan kembali tangannya. “Aku tahu kau
penggemar misteri. Tapi kau selalu berpikir aneh-aneh pada setiap hal.”
“Firasatku selalu benar.”
Ucap Mandy bersikukuh dengan pendapatnya. “Kurasa ada cerita besar dibalik pena
itu. Apa kau tidak pernah bertanya pada ayah atau ibumu mengenai benda itu?”
“Mereka tidak tahu aku
mempunyai pena ini.”
“Apa?”
“Aku mengambilnya
diam-diam.”
Ya. Lauren akui bahwa
dirinya memang sedikit kelewatan. Namun mau bagaimana lagi? Ayah dan ibunya
berencana untuk menjual setiap barang antik yang ada di dalam rumah tua itu.
Dan Lauren memutuskan mengambil pena itu sebagai kenang-kenangan.
Lauren bersenandung lirih,
mengabaikan tatapan tajam Mandy. Lauren tidak peduli dengan apa yang dikatakan
oleh temannya itu. Mungkin Mandy hanya iri padanya karena memiliki benda antik
seperti itu.
Lauren berusaha untuk fokus
pada pena antik yang ia putar-putar di jarinya itu. Namun ia masih sadar bahwa
kedua mata coklat temannya itu masih menatap ke arahnya dengan pandangan yang
sedikit aneh. Pada akhirnya, Lauren merasa tidak betah mendapat tatapan seperti
itu.
“Mandy!” ucapnya. “Kenapa
denganmu? Kau tidak suka aku memiliki benda seperti ini?”
“Bukan begitu.” Balas Mandy.
“Aku hanya khawatir padamu, Lauren. Mungkin pena itu akan mengundang bahaya.”
“Yang benar saja!”
Lauren hanya dapat mendesah
pelan mengenai ucapan-ucapan temannya itu. Ia akui bahwa Mandy memang sedikit
aneh. Gadis itu adalah gadis yang dulunya tinggal di Blackwood, sebuah kota
yang memang terkenal dengan hal-hal supranaturalnya. Ia tahu bahwa Mandy suka
dengan hal-hal yang berbau supranatural. Namun Lauren tidak pernah menyangkan
bahwa Mandy memang benar-benar percaya dengan hal-hal seperti itu.
“Jangan khawatir!” ucap
Lauren seraya memasukkan pena itu ke dalam kotak pensilnya. “Pena ini tidak
akan membunuhku.”
Perbincangan mengenai pena
antik itu terhenti seketika saat Tn. Ford, guru biologi masuk ke dalam kelas.
Kelas dimulai seperti biasa. Salah satu hal yang menarik dari kelas biologi
adalah cara Tn. Ford mengajar. Guru itu selalu menyelipkan lelucon dalam setiap
bahasan yang ia ucapkan di depan kelas. Dan Lauren berharap dapat terhibur pagi
itu, namun harus kecewa saat Tn. Ford dengan tiba-tiba mengatakan ada ulangan
mendadak. Desahan keluh kesah terdengar memenuhi ruangan kecil itu. Tidak ada
yang mengharapkan adanya ulangan. Termasuk Lauren.
Lauren merasa sedikit cemas
untuk sesaat. Ia tahu bahwa hari itu memang akan ada jadwal biologi. Namun ia
tidak belajar semalam, karena ia berharap pagi itu ia akan mendapatkan lelucon
segar dari Tn. Ford. Sejauh apa yang ia ketahui, Tn. Ford tidak pernah
mengadakan ulangan mendadak seperti itu. Dan ini adalah pertama kalinya.
Wajah-wajah cemas terlihat
memenuhi ruangan kecil itu. Wajah dari murid-murid menjadi semakin tidak karuan
saat Tn. Ford menyerahkan lembaran soal. Hanya terdapat sepuluh pertanyaan
essay dalam lembaran itu. Tapi setiap murid sadar bahwa tidak ada satupun
pertanyaan dalam lembar soal itu yang bisa masuk dalam kategori mudah.
Ketegangan mulai merayapi
wajah lauren ketika ia mulai membaca soal di tangannya satu persatu. Semakin
lama, ia menjadi sadar bahwa belajar sebelum memulai pelajaran mungkin adalah
hal yang penting. Kini hal itu sudah terlambat dilakukan. Lalu apa yang akan ia
lakukan? Ia sama sekali tidak ingat dengan materi soal yang diberikan.
Lauren menulis nama dan
nomor absen pada lembar soal itu ketika tiba-tiba saja ia sadari tinta penanya
habis. Tidak ada pilihan lain selain menggunakan pena antiknya, yang entah
kenapa masih bisa digunakan meski sudah terbilang barang antik.
“Ini benar-benar sulit.”
Keluh Mandy sambil berbisik di sebelahnya. Lauren memandang ke wajah Mandy, dan
raut wajahnya sama dengan raut wajah semua murid di kelas itu.
“Ini konyol! Tn. Ford tidak
seharusnya…”
“Tapi ini benar-benar
terjadi.” Potong Lauren. “Senang atau tidak, kita harus mengerjakan soal-soal
ini. Dan…, ya. Memang konyol.”
Lauren tidak tahu apakah ia
akan mendapatkan nilai bagus atau tidak. Sebagian besar dari soal-soal itu…,
tidak. Bahkan semua soal yang diberikan adalah soal tersulit yang pernah Lauren
temui dalam kelas Tn. Ford. Dan Lauren mulai ragu dengan ucapannya tadi.
Lauren mencoba mencari soal
yang menurutnya paling mudah. Soal pertama ia lewatkan. Begitu juga dengan soal
kedua dan ketiga. Soal keempat…, hmmm. Lumayan sulit.
Lauren memiliki kebiasaan
menggerakkan mulutnya ketika membaca, meski sama sekali tidak mengeluarkan
suara. Ia mulai membaca soal keempat saat tiba-tiba saja ia merasakan ada angin
kecil yang menyentuh telinganya. Lauren dengan cepat memutar tubuhnya, berharap
akan ada seseroang yang jahil berada di belakangnya. Namun…, tidak. Teman di
belakangnya masih tertunduk menghandap pada lembar soalnya sendiri.
“Ad apa Nn. Zimmer?” tanya
Tn. Ford dengan lantang, mengarahkan pertanyaannya pada Lauren yang bertingkah
aneh. Lauren cepat-cepat memutar tubuhnya kembali sambil menggeleng pelan.
Aneh.
Tidak. Sepertinya bukan
hanya hal itu saja yang aneh. Ketika Lauren mencoba membaca kembali pertanyaan
keempat, ia mendengar ada yang berbisik di telinganya. Bukan bisikan biasa. Ia
mendengar sebuah suara gadis yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Dan yang
lebih mengejutkan lagi, suara itu membisikkan jawaban atas soal yang baru saja
ia baca.
Benarkah terjadi? Lauren
sendiri hampir tidak mempercayainya. Ia mengira suara itu adalah suara Mandy.
Namun Mandy terlihat diam saja, dan sepertinya masih kesulitan dengan soal
ulangannya sendiri.
Lauren membaca lagi soalnya.
Dan bisikan itu terdengar lagi dengan begitu jelas. Dan Lauren sadar, ucapan
dari bisikan itu memang berkaitan dengan soal yang sedang ia baca. Kenapa hal
itu bisa terjadi? Siapa yang sebenarnya berbisik padanya?
Lauren tengah menatap heran
pada lembar soalnya, saat tiba-tiba saja ia sadar dengan apa yang ada di tangan
kanannya. Ya. Pena antik merah itu. Lauren tiba-tiba saja teringat akan ucapan
Mandy beberapa saat yang lalu mengenai pena itu. Benarkah pena itu…, memiliki
kisah tersendiri?
Lauren mencoba membaca
pertanyaan itu berkali-kali. Dan bisikan yang hadir di telingan terdengar sama.
Ya. Bisikan itu menjawab soal yang ia baca. Lalu apa yang akan ia lakukan?
Tidak mengisi lembar kerjanya juga sebuah kesalahan, ‘kan? Lauren tidak punya
pilihan lain selain mencoba mengikuti suara misterius yang berbisik di
telinganya itu. Satu demi satu ia baca pertanyaan di lembar kerjanya. Dan…
**
“Bagaimana mungkin?” tanya
Mandy dengan heran ketika melihat lembar kerja Lauren yang dihiasi dengan nilai
A. Lauren hanya tersenyum-senyum kecil, bangga dengan apa yang sudah ia lakukan,
meski hal itu tidak murni hasil kerja kerasnya.
“Entahlah.” Jawab Lauren
berpura-pura tidak tahu. “Aku tidak tahu akan ada ulangan, tapi…, kau tahu? Aku
sudah bersiap.”
“Kau tidak pernah sebagus
ini sebelumnya.”
“Kau iri padaku?” tanya
Lauren. “Karena aku mendapatkan nilai sempurna?”
Sisa hari itu menjadi lebih
menyenangkan bagi Lauren. Ia menyimpan rahasia kecil itu pada dirinya sendiri.
Pena yang ia gunakan memang memiliki kekuatan supranatural yang sama sekali
tidak ia mengerti. Lauren mencoba membaca soal di buku sejarah, mendengar
bisikan itu, lalu mencocokkannya dengan kunci jawaban yang ada di belakang
buku. Jawabannya tepat 100 persen. Ia tidak tahu bagaimana hal itu bisa
terjadi.
“Mungkin pena itu…”
“Apa?” potong Lauren pada
ucapan Mandy. “Kau pikir pena ini membisikkan jawabannya padaku atas soal yang
kubaca? Yang benar saja, Mandy! Hal itu tidak mungkin terjadi.”
Kobohongan demi kebohongan
mulai Lauren ucapkan untuk menutupi rahasia kecil yang ia punya. Dan Lauren
menjadi sedikit terlalu percaya diri dengan kemampuan pena barunya itu. Ia…,
mungkin akan menjadi murid terpintar di sekolahnya.
Lauren tidak tahu apa yang
harus ia lakukan selanjutnya. Bersama dengan pena itu, ia sudah merasa diatas
angin. Dan sepertinya tidak perlu lagi belajar susah-susah, karena pena itu
akan memberikan jawabannya dengan cuma-cuma.
“Kenapa kau tersenyum-senyum
sendiri?” tanya ibu Lauren ketika Lauren sudah berada di rumah sore harinya.
“Bukan apa-apa. Aku hanya
merasa sedikit senang.” Ucap Lauren. Ia kemudian menyerahkan lembar kerja
biologinya yang bernilai A itu pada ibunya. Wajah ibunya seketika berkerut,
heran dengan pekerjaan putrinya.
“Kau melakukannya ini
sendiri?” tanya ibunya.
“Tentu saja.” Jawab Lauren
dengan penuh kebanggaan. “Kau pikir aku mencontek?”
Lauren merasa terlalu
bahagia. Ketika ia masuk ke kamarnya malam itu, ia mencoba sesuatu yang ia rasa
akan menyenangkan. Ia mengambil buku-buku pelajarannya, dan dengan senang hati
mulai membaca setiap pertanyaan yang ada di dalam buku-buku itu. Bahkan sampai
bagian dimana guru belum menjelaskan. Dan apa yang terjadi? Pena itu kembali
membisikkan jawaban-jawabannya pada Lauren. Lauren lupa diri. Dan tanpa sadar,
ia telah memenuhi buku tulisnya dengan jawaban-jawaban yang rumit, yang tidak
akan dapat ia lakukan dengan kemampuannya sendiri.
“Ini luar biasa!” seru
Lauren bangga pada dirinya sendiri.
Lauren memandangi kembali
pena merah yang ada di tangannya. Ya. Benda keberuntungan baru baginya. Dan
dengan pena itu, ia merasa sudah menang. Ia akan menjadi murid terpandai di
sekolahnya.
**
Lauren seharusnya dapat
tidur nyenyak malam itu karena ia sudah tidak perlu lagi bingung memikirkan
pelajaran di sekolah besok pagi. Namun ia tiba-tiba saja terbangun saat angin
dingin seolah baru saja berhembus ke wajahnya. Mungkinkah hal itu terjadi?
Lauren ingat dengan jelas bahwa ia sudah menutup jendela kamarnya. Dan tidak
mungkin angin bisa berhembus masuk. Lalu…, apa yang baru saja ia rasakan?
Lauren terduduk diatas
tempat tidurnya, di dalam kamar yang gelap. Sedikit cahaya bulan menerobos
masuk melalui celah lubang udara diatas jendelanya, yang membuat kamarnya
berwarna sedikit keperakan. Lauren merasakan sebuah kecemasan yang tidak biasa,
dan ia tidak tahu darimana asalnya. Ia merasa bahwa ada yang mengawasinya.
Lauren coba sapukan
pandangan matanya ke setiap sudut kamar yang ia tempati, dan tetap tidak
menemukan adanya keanehan. Ia bangkit dari tempat tidurnya, dan tiba-tiba saja
merasakan keanehan pada lengan kanannya.
Lengannya terasa begitu
berat dan panas, terutama di area sekitar pergelangan tangannya. Lauren amati
tangannya, namun tidak ada yang aneh. Tidak ada bagian yang bengkak ata
terluka. Tapi Lauren dengan jelas dapat merasakan rasa sakit di pergelangan
tangannya. Mungkin karena ia terlalu banyak menulis sore tadi? Itu yang Lauren
pikirkan.
Lauren mengoleskan sedikit
balsam pada pergelangan tangannya untuk mengurangsi rasa sakit yang ia rasakan.
Ia tidak tahu apakah rasa sakit itu akan hilang besok pagi, atau tidak. Atau ia
perlu memebritahu ibunya tentang hal ini?
Tidak. Ucap Lauren dengan
sikap teguh. Ia merasa bahwa tidak ada yang perlu ia khawatirkan mengenai
lengannya. Mungkin hanya lelah, dan akan hilang dengan sendirinya. Ya. Lauren
pergi tidur lagi dengan pemikiran seperti itu di kepalanya.
Apakah rasa sakit itu benar
hilang keesokan harinya? Jawabannya, tidak. Lauren malah merasakan rasa sakit
yang luar biasa pada pergelangan di sikunya. Ia merasa tidak nyaman, namun
tidak mau berkata apa-apa pada ibunya. Entah kenapa ia mencoba menyembunyikan hal
itu.
Di sekolah, Lauren sama
sekali tidak dapat memfokuskan pikirannya pada pelajaran yang ia terima. Rasa
sakit itu benar-benar mengganggu. Mandy, teman yang duduk di sebelahnya, sadar
dengan raut wajah aneh temannya itu.
“Kau tidak apa-apa, Lauren?”
tanya Mandy dengan sikap peduli seperti biasa. “Kau tidak…”
“Tidak apa-apa.” Jawab
Lauren sambil tersenyum.
Pelajaran dilanjutkan
kembali. Kini tiba saatnya untuk mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh
gurunya. Lauren berpikir akan beruntung seperti kemarin. Pena merah antik itu
sudah berada di tangan kanannya, dan ia mulai membaca pertanyaan demi
pertanyaan.
Bisikan jawaban kembali ia
dengar. Dan ketika ia mencoba menulis dengan penanya, tiba-tiba saja…
“Ah!!”
Lauren memekik seketika saat
ia rasakan rasa perih muncul di lengan tangan kirinya. Ia tidak tahu apa yang
terjadi. Beberapa pasang mata memandang ke arahnya.
“Ada apa Nn. Zimmer? Kau
memekik kesakitan.” Ucap sang guru yang berada di depan kelas.
“Bukan apa-apa, Ny. Platz.”
Jawab Lauren berbohong. Mandy berbeisik ke arahnya.
“Kau yakin tidak apa-apa,
Lauren?” tanyanya. “Jangan berbohong! Kau memekik kesakitan.”
“Ya. Bukan apa-apa. Tenang
saja.” Ucap Lauren sambil memaksakan satu senyum.
Lauren kembali mencoba
menulis di bukunya. Namun ketika ia berhasil menulis satu kalimat jawaban,
tiba-tiba saja ia terpekik lagi saat rasa perih hadir dengan dahsyat di lengan
kirinya. Dan ketika ia menolah ke arah lengan itu, disana terdapat
sayatan-sayatan kecil, seperti sayatan pisau, memenuhi lengannya. Darah segar
merembes keluar dari goresan-goresan itu. Lauren tidak dapat menyembunyikan
lagi apa yang terjadi. Semua mata memandang ke arahnya.
“Oh, Tuhan! Lauren! Apa yang
terjadi?”
“Kenapa dengan…
“Lauren?”
Lauren kebingungan. Ia tidak
tahu apa yang terjadi. Ia baru saja merasakan sebuah pengalaman yang aneh. Saat
ia mulai menulis, goresan muncul di lengannya. Ia merasa seperti Harry Potter
dalam buku kelima.
“Nn. Zimmer, sebaiknya kau
ke klinik!” ucap Ny. Platz memberikan instruksi. Lauren tidak punya pilihan
lagi. Luka-luka yang berada di tangannya benar-benar nyata, dan memerlukan
pertolongan medis secepatnya. Mandy bangkit dan mengikuti gerak langkah Lauren,
mengantarkan gadis itu pergi ke klinik.
**
“Katakan apa yang sebenarnya
terjadi!” pinta Mandy ketika Lauren sudah mendapatkan pertolongan untuk
lengannya yang penuh dengan goresan. Perban kini memenuhi sepanjang lengannya.
“Aku tidak tahu.” Jawab
Lauren. “Tangan kananku juga rasanya sakit, dan berat.”
“Ada sesuatu, Lauren.
Sepertinya…”
“Pena itu? Mustahil!”
“Tapi pikirkanlah!” ucap
Mandy. “Apa yang kau alami semenjak kau menggunakan pena itu? Dan kemarin,
tidak kusangka kau akan mendapatkan nilai terbaik, padalah aku tahu kau tidak…,
maksudku…, kita tidak siap dengan soal-soal sulit itu.”
Lauren menyadari bahwa
mungkin keajaiban yang sudah ditunjukkan oleh Pena itu mempunyai harga yang
tidak biasa. Ia memang terbantu dengan adanya pena itu. Tapi sebagai akibatnya,
tangannya kini terluka. Apakah mungkin hal itu bisa terjadi? Hal-hal
supranatural memang sulit untuk dipercaya. Namun hal itu sudah terjadi padanya.
“Aku ingin jujur mengenai
pena itu, Mandy.” Ucap Lauren beberapa detik kemudian. “Sebenarnya…, aku
mendapatkan jawaban-jawabannya karena pena itu.”
“Sungguh?”
“Kau tidak merasa aneh?”
tanya Lauren. “Pena itu seolah membisikkan jawabannya padaku. Semua jawaban
yang kubaca. Bukankah aneh?”
“Aku dulu pernah tinggal di
Blackwood, Lauren.” Ucap Mandy. “Ada begitu banyak hal yang bagi sebagian orang
mungkin akan terlihat mustahil. Namun itulah kenyataannya. Benda-benda antik
seperti itu biasanya terkutuk. Dan kini apa yang terjadi dengan lenganmu adalah
satu bukti yang nyata.”
Ya. Lauren mulai menyadari
akan hal itu. Lalu apa yang akan ia lakukan selanjutnya terhadap pena itu?
“Berhenti gunakan pena itu!”
pinta Mandy dengan tatapan serius ke arah Lauren. “Tapi mungkin tidak akan
semudah itu.”
“Apa maksudmu?”
“Pena itu sudah kau
gunakan.” Ucap Mandy. “Kekuatan mistisnya mungkin sudah melekat padamu. Dan kau
tidak bisa hanya tidak menggunakannya begitu saja. Pena itu masih mengasaimu.”
“Lalu apa yang harus
kulakukan?” Lauren terdengar ketakutan dan putus asa. Mandy adalah satu-satunya
orang yang mungkin dapat membantunya.
“Aku akan mencari tahu
bagaimana cara menghilangkan kutukan benda seperti itu.” Ucap Mandy. “Ibuku
tahu banyak hal mengenai pengusiran setan dan kutukan. Dan ada banyak buku yang
bisa membantu di rumahku. Untuk sementara, sebaiknya kau juga mencari tahu
mengenai kisah pena itu. Tanyakan pada kedua orang tuamu. Mungkin mereka tahu.”
Lauren tidak punya pilihan
lain lagi. Ketika ia sampai di rumah, ia mengundang kedua orang tuanya untuk
duduk di meja makan. Kedua orang tuanya mungkin merasa aneh dengan sikap
putrinya mereka itu. Tapi mereka mau mendengarkan.
“Kau sudah pernah melihat pena
ini?” tanya Lauren sambil menunjukkan pena merah antiknya itu. Kedua orang
tuanya saling melempar pandangan.
“Darimana kau mendapatkan
pena itu, sayang?” tanya ibunya.
“Dari rumah kakek pada saat
itu.” Jawab lauren jujur. “Aku…, mengambilnya.”
“Kenapa kau tidak
mengatakannya pada kami?”
“Aku tidak mau kalian tahu.
Dan kini, pena itu sepertinya sudah melepas kutukannya padaku.”
“Apa?!”
Lauren kemudian menjelaskan
segala hal yang sudah terjadi pada dirinya semenjak ia menggunakan pena itu. Ia
menjelaskan bagaimana pena itu membisikkan jawaban soal padanya di sekolah dan
juga ketika ia mengerjakan pr di rumah. Ibu Lauren terlihat memelototkan
matanya, terkejut dengan apa yang putrinya ceritakan. Tapi berbeda dengan
ayahnya.
“Ayah, kau tahu tentang pena
ini?”
“Kakek pernah bercerita
padaku mengenai pena itu saat ia masih hidup.” Ucap ayah Lauren. “Pena itu ia
dapatkan dari seseorang dari kota jauh. Kota yang katanya…, penuh dengan
misteri.”
“Darimana?”
“Kalau tidak salah…,
Blackwood.”
Lauren terperanjat seketika
saat mendengar ucapan itu. Ya. Blackwood. Kini tidak aneh jika pena itu memang
terkutuk. Dan kini ia sadar bahwa ia harus segera memutus rantai kutukan itu,
meski ia belum tahu caranya.
Lauren menelepon Mandy
sesaat kemudian. Ia menanyakan apa temannya itu sudah mendapatkan cara untuk
menghilangkan kutukan.
“Bagaimana?” tanya Lauren di
telepon.
“Aku sedang membaca buku
tentang hal itu. Ibuku membantku saat ini.”
“Aku takut, Mandy.” Ucap
Lauren. “Luka-luka yang kudapatkan mungkin hanya awalan saja. Mungkin bisa
lebih buruk.”
“Tenangkan dirimu, Lauren!”
balas Mandy. “Aku berjanji akan segera menemukan solusinya.”
Lauren tetap memegang
kepercayaan pada temannya itu. Untuk malam itu, sepertinya ia harus menahan
rasa sakit di tangan kanannya yang semakin menjadi-jadi. Ia bahkan tidak dapat
tidur hingga larut malam karena rasa sakit di pergelangan tangan kananya
semakin menjadi-jadi. Ia sudah mencoba meminum pain-killer untuk meredakan rasa
sakitnya. Namun obat itu tidak benar-benar membantu.
Tidur Lauren malam harinya
sedikit terganggu. Ia terbangun berkali-kali saat mendapatkan serangan mimpi
buruk yang rasanya lebih buruk dari mimpi-mipi buruk yang sudah pernah ia alami
sebelumnya. Lebih parahnya lagi, rasa sakit di tangannya sudah tidak
tertahankan lagi. Dan yang dapat ia lakukan, hanyalah menangis meratapi rasa
sakitnya itu. Ia ingin segera dapat terlepas dari kutukan itu.
Lauren dengan cepat berusaha
menemukan Mandy ketika ia sudah sampai di sekolah keesokan harinya. Ia ingin
segera mendengar solusi dari gadis itu.
“Tenang! Aku sudah menemukan
caranya.” Ucap Mandy. “Barang-barang terkutuk sepertinya akan kehilangan
kekuatannya jika kita bacakan mantra.”
“Mantra?”
“Tapi sayangnya aku tidak
menemukan mantra yang tepat.”
“Ohh!! Lalu bagaimana? Aku
sudah tidak tahan dengan sakit di lenganku.”
Lauren kini merasa hampir
tidak dapat menggunakan tangan kanannya. Dan hal itu tentu saja mengganggu bagi
kegiatannya.
“Kumohon, Mandy! Aku sudah
tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan.”
“Ada satu hal yang bisa kita
lakukan.” Ucap Mandy beberapa saat kemudian setelah memutar otaknya. Lauren
mengamati Mandy dengan tatapan serius.
“Bagaimana?”
“Kita lakukan sore ini di
belakang sekolah. Temui aku disana, dan kita lihat apa yang dapat kita lakukan.
Dan jangan lupa untuk membawa pena itu.”
**
Lauren kembali ke sekolah
saat matahari sudah terbenam. Ini adalah kali pertama ia menginjakkan kaki di
pekarangan sekolah saat sudah tidak ada lagi sinar matahari. Gedung
sekolahannnya yang tua itu menciptakan bayang-bayang mengerikan yang untuk
sesaat membuat Lauren sedikit gentar, ragu untuk melanjutkan langkah kakinya.
Namun ia meyakinkan dirinya bahwa ia sudah tidak mau lagi merasakan rasa sakit
di lengannya. Ia harus segera menghancurkan pena merah itu.
Lauren bergerak ke arah halaman
belakang sekolah dimana disana terdapat beberapa pepohonan yang menyerupai
sebuah hutan kecil. Ia sudah ditunggu oleh Mandy, yang saat itu terlihat sibuk
mengamati buku besar yang ada di tangannya.
“Kau bawa penanya?” tanya
Mandy.
“Ya. Ini.” Jawab Lauren
sambil menunjukkan pena merah marun dengan ornamen berwarna emas itu.
“Kau tahu apa yang akan kau
lakukan, ‘kan?” tanya Lauren. “Maksudku…, kau yang pandai dalam hal-hal seperti
ini.”
“Aku meminjam buku mantra
ibuku.” Ucap Mandy. “Aku sedang mencoba mencari mantra…, Ah! Ketemu! Ini dia!”
Lauren ikut melihat ke arah
halaman buku tua yang terbuka itu, dan menemukan sebuah artikel yang ditulis
tangan, dengan judul ‘PELEPASAN KUTUKAN PADA BENDA’. Di bawah judul itu
terdapat begitu banyak penjelasan dan gambar. Di bagian akhir, terdapat mantra
yang sepertinya tidak ditulis dalam bahasa manusia.
“Apa yang harus aku
lakukan?” tanya Lauren.
“Kau diam saja.” Jawab
Mandy. “Ulurkan tanganmu ke depan, dan letakkan pena itu di telapak tanganmu.”
Lauren melakukan apa yang
diperintahkan oleh temannya itu. Ia tengadahkan tangan kanannya, dan ia
letakkan pena itu diatas permukaan tangannya.
“Lalu?”
“Diamlah! Aku akan segera
memulainya.”
Angin dingin tiba-tiba saja
berhembus. Menggetarkan pucuk pepohonan yang berada di sekeliling mereka.
Atmosfirnya berubah seketika. Seolah ada kekuatan jahat yang tengah mengawasi
keduanya.
Mandy mulai melakukan ritual
kecilnya. Buku tua itu terbuka lebar di tangannya, dan ia mulai membaca mantra
yang terdengar begitu aneh dan sedikit Demonic.
Mandy terlihat begitu serius. Bibirnya bergerak begitu cepat, mengucapkan
mantra-mantra yang ada di dalam buku itu. Dan seketika, Mandy menjerit.
“Mandy!”
Mandy terlihat tidak
menggubris teriakan Lauren. Wajah Mandy terlihat berkerut, seolah menahan rasa
sakit yang luar biasa pada tubuhnya. Dan hal aneh terjadi pada pena yang berada
di tangan Lauren. Pena itu bergetar dengan sendirinya. Dan Lauren merasakan
rasa panas seperti terbakar, keluar dari pena itu.
“Mandi! Penanya…”
Lauren berusaha untuk menahan
agar pena itu terus berada di telapak tangannya. Penanya terus bergetar. Disaat
yang bersamaa, angin ribut mulai melanda kawasan hutan kecil itu. Angin yang
datang menerbangakan dedauan kering yang menutupi tanah. Keadaannya sudah
kacau, dan suara Mandy melengking tinggi. Hingga akhirnya…
“AH!!” Lauren berteriak
seketika saat pena yang ia pegang tiba-tiba saja terpentak dari tangannya dan
jatuh ke tanah. Tepat sat pena itu menyentuh tanah, Mandy menghentikan ucapan
mantranya. Angin ribut pun berhenti dengan seketika.
Lauren menatap nanar pada
Mandy, yang terlihat penuh peluh seolah baru saja berlari. Temannya itu
tersenyum ke arahnya.
“Sudah selesai?” tanya
Lauren ragu. “Hanya begitu saja?”
“Kurasa, memang begitu.”
Jawab Mandy. Ia berjongkok, lalu meraih pena antik itu. Ada sedikit bekas
bakaran di bagian ujung pena itu. Padahal sama sekali tidak ada api yang
menyentuhnya.
“Kurasa kita berhasil.” Ucap
Mandy. “Tapi untuk berjaga-jaga…”
Mandy mengambil sebuah botol
yang tersembunyi di balik jaketnya. Ia kemudian menuang cairan bening dari
dalam botol itu ke arah pena yang ada di tanah.
“Kita harus membakarnya.”
Ucap Mandy. “Kau tidak keberatan dengan hal itu, ‘kan?”
Lauren menggeleng. Ia kini
mau melakukan segala sesuatu untuk menghentikan kutukan dari pena itu. Dan
membakarnya, merupakan ide yang cukup bagus.
Api membubung seketika.
Membakar pena, sekaligus dedaunan kering yang berada di tempat itu. Lauren dan
Mandy menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri saat pena itu meleleh,
membengkok dan hangus karena api. Dan benar atau tidak, mereka seperti
mendengar sebuah jeritan dari pena itu. Mungkinkan itu terjadi?
Lauren dan Mandy nyaris
terjerembab ke tanah saat ada sebuah asap tipis yang tiba-tiba saja melesat
dari dalam pena itu, dan melayang ke udara, lalu lenyap. Menurut Mandy, mungkin
asap itu adalah manifestasi dari kutukan jahat yang berada di dalam pena itu.
Keduanya tersenyum puas saat
pena itu sudah benar-benar hancur dan hangus. Ketika api padam, mereka tidak
menemukan bekas dari pena itu lagi. Dan dengan ini, ceritanya berakhir.
“Terima kasih, Mandy.” Ucap
Lauren sambil tersenyum. Rasa berat di tangannya terasa, namun rasanya sudah
cukup berkurang.
“Semoga saja apa yang kita
lakukan adalah hal yang benar.” Ucap Mandy. “Maaf, kau harus kehilangan benda
peninggalan kakekmu.”
“Lebih baik begini.” Balas
Luaren. Mandy tersenyum puas ke arahnya, lalu memberikan satu tepukan ringan ke
pundak temannya itu.
“Ayo kita pulang!”
**
Lauren mendapatkan pelajaran
berharga dari apa yang sudah ia alami. Ia kini sadar, bahwa tidak ada jalan
pintas untuk mencapai sesuatu. Jika ia ingin menjadi yang terbaik di sekolah,
ia harus giat belajar. Dan bukan bergantung pada benda-benda aneh atau
seseorang.
Lauren tersenyum saat ia
naik ke tempat tidurnya malam itu. Rasa sakit di pergelangan tangan kanannya
sudah menghilang. Ia kini dapat mengucapkan selamat tinggal pada pena antiknya
itu. Dan besok, mungkin akan jadi hari yang baru bagi Lauren.
Lauren nayris tertidur saat
tiba-tiba saja telinganya menangkap sebuah suara berkelotak yang datang dari
arah meja belajarnya. Lauren bangkit, dan mencoba mendengar kembali suara itu.
Ya. Ia dengar jelas suara
berkelotak itu berasal dari dalam laci meja belajarnya. Lauren bangkit dari
tempat tidurnya, lalu bergerak ke arah laci mejanya yang masih berkelotak itu.
Ada apa di dalam sana? Apa yang menyebabkan suara itu?
Jantung Lauren berdegup
kencang saat ia menggenggam erat pegangan laci mejanya. Dan ketika ia tarik
laci itu, kedua matanya menangkan kehadiran sebuah benda yang seharusnya sudah
hancur sejak beberapa jam yang lalu. Pena merah antik itu kembali berada di
dalam laci belajaranya. Lauren tidak dapat melakukan hal lain selain berteriak
sekuat tenaga, lalu pingsan.
****
No comments:
Post a Comment