Friday, May 27, 2016

TEMAN SEKAMAR JENNA



Jenna mendengus kesal sambil melihat ke arah luar jendela dimana air hujan turun dengan deras. Ia merasa kesal karena di kamar asrama barunya ini, ia harus tinggal sendirian. Teman-temannya yang lain sudah mendapatkan teman sekamar, setidaknya satu. Tapi ia sendirian. Ia tidak terus terang marah karena hal itu. Tapi yang ia rasakan adalah rasa kesepian yang tidak biasa.
Sudah seminggu ini Jenna tingal di kamar asrama itu. Kesendiriannya mulai dapat terobati dengan adanya radio yang memutar musik kesayangannya. Ia menata bajunya sendiri, melakukan pekerjaan rumahnya sendiri, dan tidur, tentu saja sendirian. Ia mulai merasa betah dengan keadaan itu. Ia memang tidak mempunyai teman setelah pelajaran sekolah usai. Namun besok pagi, ia akan kembali berkumpul bersama dengan teman-temannya.
Satu hal yang tak terduga terjadi pada sebuah Minggu sore saat Jenna sedang bersantai sambil mendengarkan radio. Pintunya kamarnya diketuk dari luar. Jenna tidak tahu siapa yang datang. Ia merasa tidak pernah mengundang siapapun untuk ke kamarnya.
Jenna dengan segera bangkit dari tempat tidurnya dan mengarah ke pintu. Ia putar kenopnya, lalu menariknya terbuka. Kedua matanya langsung menatap pada sosok seorang gadis berambut hitam yang tersenyum ke arahnya. Siapa gadis itu?
“Oh! Hai!” sapa Jenna ketika gadis berambut hitam itu tersenyum tanpa mengatakan apapun.
“Ada yang bisa kubantu?” tanya Jenna. Ia masih belum membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
“Sebenarnya…” balas gadis itu dengan suara lirih. “Aku yang akan menjadi teman sekamarmu. Aku murid baru.”
Hal ini tentu saja tak terduga bagi Jenna yang begitu mengharapkan seorang teman. Ia tidak tahu kenapa hal ini terjadi, dan tidak banyak bertanya lagi. Ia langsung mempersilahkan gadis itu masuk dan membantunya membawa beberapa tas.
“Aku Rose.” Ucap gadis berambut hitam itu sambil menawarkan tangannya. Jenna dengan hangat menyambut tangan itu, yang anehnya terasa dingin. Jenna tersenyum dan memperkenalkan namanya.
Gadis itu segera duduk di atas tempat tidur yang ada di seberang tempat tidur Jenna. Seolah gadis itu sudah tahu dimana ia harus tidur. Ia lalu terlihat mengeluarkan barang-barangnya, yang kebanyakan adalah buku-buku tebal, yang sama sekali tidak menarik bagi Jenna.
“Kapan kau datang? Aku tidak tahu kalau ada murid baru.”
“Baru saja.” Jawab gadis itu. “Aku sebenarnya pindah sekolah. Aku merasa tidak nyaman dengan sekolahku yang lama.”
“Kau akan menemukan banyak kesenangan disini.” Ucap Jenna dengan nada riang. “Kita akan menjadi teman yang baik.”
Masih belum ada begitu banyak hal yang Jenna tahu mengenai gadis bernama Rose itu. Yang dapat ia lihat adalah, kenyataan bahwa kulit gadis itu begitu putih dan pucat, seolah tidak ada darah yang mengalir di dalamnya. Rambutnya hitam, bergelombang, cantik dan menawan. Jika dibandingkan, Rambut Jenna terlihat lebih berantakan dari rambut gadis itu.
Jenna menghabiskan Minggu malam itu dengan mengobrol bersama Rose. Rose ternyata adalah tipe gadis pendiam yang tidak banyak bicara. Ia hanya mengucapkan beberapa kata sambil terus tersenyum, sementara Jenna bercerita panjang lebar mengenai hari-harinya. Ia juga menceritakan rasanya tidur sendirian.
“Kau tidak akan sendirian lagi. Ada aku disini.” Ucap Rose dengan satu senyum yang memikat. Jenna hanya dapat mengangguk.
Malam itu merupakan malam pertama Jenna tidur dengan seorang teman. Ketika jarum jam menginjak pukul satu dinihari, Jenna terbangun dari tidurnya saat ia merasa seperti mendengar sebuah suara tangisan. Apa benar begitu? Ia coba dengarkan kembali, namun suara tangisan itu menghilang.
Ia arahkan pandangannya ke seberang ruangan, dimana terdapat gundukan selimut di atas tempat tidur. Jenna tersenyum senang. Ia mendapatkan teman. Kini, ia tidak perlu merasa takut lagi saat ada badai datang di malam hari. Jenna kembali tidur lagi, merasa lebih damai dari sebelumnya.
Hari Senin datang dengan kejutan baru. Jenna kini pergi kemana-mana bersama dengan gadis itu, Rose. Mereka duduk berdekatan di kelas, dan makan bersama di kantin. Sama seperti sebelumnya, Rose tidak banyak bicara, sementara Jenna membeberkan segalanya.
Apakah aneh rasanya jika membicarakan lelaki yang ia cintai pada teman sekamar? Pertanyaan itulah yang muncul dalam benak Jenna ketika ia sedang duduk di taman bersama Rose di sore hari. Ia menceritakan rasa sukanya pada salah seorang teman lelakinya di kelas.
“Bagaimana denganmu?” tanya Jenna. “Kau pasti punya seseorang yang kau sukai, ‘kan?”
“Aku belum lama disini.”
“Maksudku di sekolahmu yang lama.” Ucap Jenna. “Kau mungkin tidak mau mengakuinya karena ada aku disini, ‘kan?”
“Bukan begitu.” Balas Rose. “Bisa bersekolah dengan normal saja aku sudah dapat merasa senang.”
Kening Jenna berkerut. Apa sebenarnya maksud dari ucapan itu tadi? Jenna tidak mengerti, namun ia juga tak mau banyak bertanya. Obrolan mereka terbilang cukup lama. Ketika hari sudah senja, mereka baru kembali ke kamar mereka.
Keduanya mengerjakan pekerjaan rumah bersama malam itu. Udara sedikit dingin, dan mungkin akan ada badai malam nanti. Tapi Jenna tidak merasa khawatir lagi dengan hal itu. Ia memiliki Rose.
Rose ternyata lebih pandai dari apa yang Jenna pikirkan. Gadis itu mampu mengerjakan soal-soal matematika tersulit yang pernah Lauren temui, tanpa sedikitpun berpikir. Seolah soal seperti itu layaknya sebuah soal umum. Jenna tidak mengerti. Rose sudah mencoba menjelaskan cara mengerjakannya. Namun ternyata otak Jenna tidak mampu menampung segala informasi.
Keduanya belajar selama berjam-jam, hingga tak sadari mereka tertidur. Jenna bangkit dari lantai sekitar pukul sebelas malam, dan Rose terlihat tertidur diatas tempat tidurnya setelah membaca buku sejarah tebal. Rupanya keduanya sama-sama kelelahan.
Saat Jenna bangkit dari lantai, ia sempat melihat sebuah buku kecil bersampul coklat yang tergeletak di dekat buku pelajaran. Buku Rose. Jenna memungutnya tanpa berpikir dan membuka halaman pertama. Disana tertulis nama Rose Sanchez. Itukah nama lengkap Rose? Jenna tidak memikirkannya lagi. Ia segera membereskan buku-buku yang berserakan, lalu tidur setelah mematikan lampu.
Jenna tidak tahu sudah berapa lama ia tidur, saat sebuah suara petir membangunkannya. Ia lihat hujan deras menerpa keras jendela kaca kamar asrama itu, dan suasananya benar-benar tidak menyenangkan. Jenna melihat ke seberang tempat tidurnya, dimana Rose terlihat masih tertidur pulas. Bagaimana mungkin Rose tidak terbangun setelah petir menggelegar itu?
Jenna ingin kembali meringkuk ke dalam selimutnya saat dengan samar ia dapat mendengar satu rintihan tangis. Ya. Tangis seorang gadis yang terdengar jauh. Siapa yang menangis malam-malam begini? Jenna kemudian ingat bahwa kemarin malam ia juga mendengar tangis yang sama. Siapa? Jenna membawa pertanyaan itu ke dalam mimpinya.

**

Seminggu telah berlalu sejak kedatangan Rose ke dalam asrama Jenna. Keduanya kini sudah dapat dikatakan sebagai teman baik, dan mengetahui rahasia satu sama lain. Wajah Rose terlihat lebih bersinar lebih terang dari biasanya. Rona merah itu pun hadir di kedua pipi gadis itu. Jenna merasa lebih bahagia dari sebelumnya. Meski ia juga punya teman lain, namun berteman dengan Rose adalah segalanya.
Minggu-minggu berlalu sejak kedatangan Rose. Dan sudah banyak kejadian yang mereka lakukan bersama. Seperti belajar bersama, berbelanja bersama, dan melakukan aktivitas lainnya. Akan tetapi, sebuah perubahan yang tidak Jenna harapkan terjadi. Kini, entah kenapa, teman-temannya yang dulu mulai menjauh darinya. Apakaha karena Rose? Pemikiran seperti itu adalah kesalahan. Jenna tidak mau menyalahkan Rose.
Hal aneh ini terus saja terjadi setiap harinya. Saat Jenna bergerak ke kantin untuk sarapan, banyak tatapan mata yang memandang aneh ke arahnya. Ia pun mendengar kasak-kusuk mengenai dirinya yang tidak jelas. Jenna muak dengan semua itu. Dan Rose, mengerti dengan apa yang Jenna rasakan.
“Jangan pikirkan mereka!” ucap Rose sambil mengelus pundak teman sekamarnya itu.
“Mereka jadi aneh.” Ucap Jenna mengutarakan apa yang ada di dalam pikirannya. “Tidakkah aneh?”
“Aku mengalami hal yang sama di sekolahku yang dulu.” Ucap Rose. “Mereka tidak berarti. Apa yang kau lakukan, adalah hal yang diperhitungkan. Tidak masalah jika kau tidak mempunya kawan sekalipun. Hal itu tidak akan berpengaruh pada hasil akademis, ‘kan? Dan kabar baiknya, aku akan selalu berada di sisimu.”
Jenna tersenyum lebar mendengar ucapan Rose. Ya. Kenapa ia harus memikirkan apa yang mereka pikirkan? Semua itu tidak berarti. Dan Rose terbukti telah menjadi teman terbaik baginya.
Persahabatan antara dua gadis itu mulai terjalin begitu erat. Jenna kemudian mengetahui bahwa Rose ternyata begitu pintar dalam bidang sains. Gadis itu sepertinya tidak mempunyai kesulitan untuk menginat nama-nama ilmiah dan latin. Dan Rose terbukti banyak membantu Jenna dalam pelajaran.
“Kenapa tidak ikut kompetisi sains saja?” tanya Jenna di suatu sore, saat keduanya tengah bersantai di kamar.
“Tidak.” Balas Rose sambil tersenyum. “Aku pernah mencobanya di sekolahku yang lama. Tapi tidak…”
“Tidak kenapa?”
Rose hanya tersenyum sambil menggeleng. Sepertinya ia tidak mau lagi bercerita tentang hal itu. Sore itu mereka habiskan untuk belajar bersama, hingga larut malam. Pukul sebelas, mereka memutuskan untuk pergi tidur.
Tidur Jenna tidak dapat dikatakan nyenyak. Tengah malam, ia kembali dibangunkan oleh sebuah suara tangisan yang asalnya tidak ia ketahui. Jenna duduk dalam gelap, mencoba untuk menelisih, dan mencari darimana tangisan itu berasal. Namun…, dia tetap tidak dapat menemukannya.
“Kau tidak mendengar suara tangisan itu?” tanya Jenna pada Rose keesokan harinya. Rose hanya menggeleng sebagai jawaban.
Selama pelajaan berlangsung, Jenna tidak dapat melupakan apa yang terjadi semalam. Bahkan tangisan itu sudah ia dengar berkali-kali, dan selalu pada jam yang sama. Siapa yang sebenarnya menangis? Jenna sudah bertanya pada teman-teman yang lain, namun mereka tetap tidak dapat memberikan jawaban.
Siang itu pelajaran bahasa Inggris sedikit membosankan. Jenna duduk di kursi paling belakang, bersanding dengan seorang gadis yang juga sudha menjadi teman dekat Jenna. Namanya Tori. Gadis itu berkali-kali menolahkan kepalanya ke arah Jenna, dengan sikap ingin tahu.
“Ada apa, Tori?” tanya Jenna. “Kau sepertinya ingin mengucapkan sesuatu.”
“Sebenarnya…” ucap Tori. “Aku mengkhawatirkan keadaanmu, Jenna. Bukan hanya aku. Teman-teman yang lain, dan guru-guru.”
“Aku tidak mengerti apa maksudmu.” Balas Jenna sambil mengerutkan dahinya. “Apa yang kau…”
“Tingkah anehmu selama beberapa minggu terakhir.” Ucap Tori. “Kau sering menyendiri, dan menggumamkan kata-kata tidak jelas. Bahkan kau sering duduk di kamar sendirian.”
“Apa?!”
“Bukan hanya itu.” Lanjut Tori. “Temanmu yang ada di kamar sebelahmu mengatakan kau sering berbicara sendirian di dalam kamar. Kau tertawa, bercanda,…, ada apa, Jenn? kau sedang dalam masalah?”
“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.” Ucap Jenna dengan nada keras karena merasa sedikit tersinggung.
“Jika kau iri karena aku memiliki teman baru…”
“Teman baru? Siapa?”
“Rose.” Jawab Jenna tanpa ragu. “Di murid baru yang datang beberapa minggu yang lalu. Bukankah aku sudah mengenalkannya padamu?”
Jenna tidak mendapat jawaban yang cukup memuaskan. Temannya itu malah menghela nafas, seolah tengah menghadapi sesuatu yang berat. Jenna berpikir, apakah ucapannya terlalu berbelit-belit?
Tori bukanlah satu-satunya orang yang menganggap Jenna aneh. Saat dikantin, mata-mata curiga memandang ke arahnya. Bahkan ada yang bertanya, apakah Jenna sudah gila. Yang besar saja! Jenna semakin muak dengan keadaan yang ia hadapi. Ada apa sebenarnya?
“Sudah kukatakan untuk tidak memikirkannya.” Ucap Rose sore harinya saat Jenna bersantai di atas kasur sambil mendengarkan musik dari ponselnya. Ia merasa benar-benar kesal.
“Semua membenciku.” Ucap Jenna. “Apa aku melakukan kesalahan?”
Jenna tidak bisa tidur karena terus memikirkan hal-hal aneh yang terjadi disekitarnya. Apa maksud dari perkataan Tori siang tadi? Dan kenapa semua orang memandangnya curiga?
Jarum jam menyentuh pukul satu dinihari saat Jenna mulai benar-benar mengantuk. Sesaat, ia dapat terlelap dalam tidurnya. Namun beberapa detik kemudian, ia mendengar suara itu lagi. Suara tangisan seorang gadis yang rasanya seperti dari kamar sebelah. Jenna mencoba untuk mengabaikannya. Hal aneh ini sudah sering terjadi, dan Jenna sudah merasa bahwa ia tidak bisa takut lagi.
Cahaya sinar matahari pagi yang menerobos melalui kisi jendela membutakan mata Jenna. Hari sudah pagi. Ketika ia bangun dari tempat tidurnya, ia temukan satu keadaan aneh yang tidak ia pikirkan sebelumnya. Tempat tidur di seberang tempat tidurnya terlihat kosong dan rapi. Apakah Rose sudah bangun sejak tadi?
Bukan hanya itu saja yang membuat Jenna merasa aneh. Semua barang milik Rose juga sudah menghilang, termasuk baju-baju yang ada di dalam lemari. Kenapa? Kenapa Rose pergi begitu saja tanpa berpamitan padanya? Dan kemana gadis itu pergi?
Jenna mencoba untuk bertanya pada salah satpam yang ada di gerbang depan. Ia bertanya apakah ada gadis berambut hitam yang keluar dari area sekolah. Tapi satpam itu hanya menggeleng.
“Siapa nama temanmu itu? Mungkin aku bisa membantu mencarinya.”
“Rose.” Jawab Jenna. “Rose Sanchez.”
Kening Jenna langsung berkerut ketika ia melihat ada perubahan yang signifikan dalam raut wajah satpam itu. Seolah satpam itu baru saja melihat hantu, atau sesuatu yang mengerikan.
“Jangan bercanda, Nona!” ucap satpam itu. “Kau hanya mendengar cerita itu dari temanmu, ‘kan?”
“Cerita apa?”
“Mengenai Rose Sanchez.” Ucap satpam itu. “Gadis yang bunuh diri tiga tahun lalu.”

**

Tidak mungkin!
Jenna terus meneriakkan kata-kata itu di dalam kepalanya. Tidak mungkin gadis yang tidur sekamar dengannya itu adalah Rose yang sudah meninggal sejak tiga tahun lalu. Tidak mungkin.
“Kau boleh untuk tidak mempercayainya.” Ucap Ny. Turner, sang kepala sekolah kepada Jenna siang harinya.
“Rose Sanchez, benar itu nama temanmu? Dan dia menghilang pagi ini?”
“Ya.” Jawab Jenna. “Dia nyata. Dia bukan hantu. Mungkin hanya namanya saja yang sama. Dia sudah bersekolah disini selama beberapa minggu. Anak-anak yang lain pasti sudah melihatnya.”
“Itu yang kukhawatirkan, Jenna.” Ucap wanita itu. “Teman-temanmu sudah bercerita padaku, bahwa kau sering berbicara sendirian di taman, dan kau tertawa sendirian di dalam kamarmu.”
“Tidak mungkin!”
“Itulah kenyataannya.” Ucap Ny. Turner. “Kau mau percaya atau tidak, itu pilihanmu. Tapi kurasa kau baru saja menjadi seorang teman dari gadis yang kesepian itu.”
Jenn tidak tahu harus berkata apa. Apakah benar yang berada di sisinya selama ini adalah hantu dari gadis yang meninggal tiga tahun yang lalu itu?
Jenn kemudian mendapat cerita selengkapnya dari salah satu penjaga sekolah yang usdah tahunan bekerja di sekolah itu. Pria tua itu mengatakan bahwa seorang gadis bernama Rose meninggal di ruang olahraga, gantung diri. Dialah Rose Sanchez, yang terkenal karena kejeniusannya dalam bidang sains. Namun hal itu menjadi bumerang bagi kehidupan Rose. Gadis itu mendapatkan bullying dari teman-teman sebayanya, dan tidak kuat lagi menerima siksaan. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk bunuh diri.
“Aku masih sulit untuk mempercayainya.” Ucap Jenna pada Tori sore harinya dalam perlajanan menuju gedung asrama. “Kalian semua melihatku berbicara sendirian?”
“Lupakan masalah itu, Jenna!” ucap Tori. “Dia sudah pergi. Kurasa dia bisa pergi dengan tenang sekarang.”
Jenna berdiri kaku di depan pintu kamarnya. Apa yang akan ia temukan ketika membuka pintu itu? Apakah mungkin sosok Rose akan muncul lagi, mungkin dengan satu senyum? Perlahan, Jenna mendorong pintu kamarnya sampai terbuka. Dan yang terlihat hanyalah satu ruangan kosong.
Jenna menghembuskan nafasnya. Sepertinya cerita itu benar. Dan ia baru saja mengalami kejadian supranatural yang sesungguhnya. Rose. Seandainya saja dia bisa bersekolah dengan Rose, mungkin Rose tidak perlu merasa kesepian dan harus bunuh diri. Tapi…, tidak ada yang dapat Jenna lakukan.
Jenna bergerak ke arah jendela, tepat ketika satu buku tebal jauh dari meja. Buku itu membuka sebuah halaman, dimana di dalamnya tersisip selembar kertas yang terlipat. Rose membuka lipatan kertas itu, dan kedua matanya langsung melebar.
“Terima kasih telah menjadi teman baik bagiku.”
Hanya itu yang tertulis di selembar kertas kosong itu. Namun Jenna tahu pasti, bahwa tulisan tangan itu adalah tulisan tangan Rose. Rose, mengucapkan terima kasih padanya.
Jenna tersenyum. Segala ketakutan di dalam dirinya sirna seketika ketika ia menyadari bahwa ia telah membantu seseorang mencapai sesuatu yang benar-benar diharapkan. Rose hanya membutuhkan seorang teman. Dan Jenna berhasil menjadi teman yang baik. Jenna kemudian menatap langit sambil berkata,
“Selamat jalan, Rose.”

****

No comments:

Post a Comment