Hujan belum berhenti. Kepekatan hutan dan kelamnya malam
membuat suasana kala itu menjadi satu suasana yang tak mungkin untuk dilupakan.
Langit sepertinya sedang murka. Sesekali terdengar petir menyambar, menciptakan
sebuah kilatan terang di langit malam.
Joel dengan sekuat tenaga
menahan rasa kantuk di tengah dinginnya suasana itu. Kedua tangannya mencengkeram
roda kemudi dengan erat, sementara kedua matanya memicing, memilih jalan yang
basah tergenang air. Di sisinya, Jane, tertidur dengan pulas. Mereka telah
melakukan perjalanan kurang lebih lima jam tanpa henti. Joel merasa begitu
lelah. Tapi ia tidak bisa menghentikan mobilnya di tengah hutan begitu saja.
Tapi ia tahu bahwa dalam beberapa menit mereka akan keluar dari kawasan hutan.
Jane terbangun seketika,
terganggu oleh mimpi buruk. Ia menegakkan tubuhnya, lalu memandang ke arah Joel
sambil memberikan satu senyuman. Joel membalas senyuman itu dengan deretan gigi
putihnya. Untuk sesaat, rasa kantuk dan lelah itu hilang saat ia dapat melihat
senyum di wajah istrinya.
“Apa masih jauh?” tanya Jane
beberapa saat kemudian.
“Tidak. Beberapa jam lagi.”
“Kau mau terus menyetir?”
Joel hanya tersenyum.
Sepertinya memang tidak ada pilihan lain selain terus menyetir di tengah
kelamnya malam. Suara radio mungkin bisa membantunya melewati rasa sepi. Namun
ia rasa hal itu tidak cukup.
“Kau tidak boleh memaksa.”
Ucap Jane. “Kita harus beristirahat.”
“Tapi kita ada di tengah
hutan.” Balas Joel. “Jika saja ada sebuah penginapan, aku akan mampir.”
Kemungkinan akan hal itu sepertinya
kecil. Joel tahu benar dengan rute yang ia ambil ini. Rute yang membelah hutan
ini akan mengantarkannya ke Blackwood, kota yang akan ia tuju. Namun ia tahu
bahwa jarak kota itu masih begitu jauh dari posisinya sekarang. Dan setahunya,
tidak ada satupun penginapan di sepanjang jalan 68 itu.
Hujan masih terus mengguyur
dengan deras. Air yang jatuh ke kaca mobil kadang menghalangi pandangan Joel.
Sialnya, wiper dari mobil tuanya itu tidak cukup cepat untuk membersihkan air
yang mengalir di kaca depan. Jika saja Joel tidak lihai dalam mengendarai
mobilnya, mungkin ia sudah terperosok ke tepi jalan sejak tadi.
“Aku tahu kau lelah.” Ucap
Jane. “Lima jam sudah berlalu sejak kota terakhir.”
“Dan hanya ada hutan ini.”
Balas Joel.
“Kenapa kau memilih rute
ini? Rute ini sama sekali tidak tergambar dalam peta. Dan ada kemungkinan kita
akan mengalami hal yang tak terduga. Kehabisan bensin, ban kempes, atau yang
lain. Ke mana kita akan mencari pertolongan?”
“Hanya ini jalur tercepat
untuk mencapai Balckwood.” Balas Joel. “Lagipula, sudah terlanjur. Kita tidak
bisa berputar balik.”
Joel memandangai wajah
istrinya. Tergambar sebuah kecemasan di wajah cantik itu, yang alasannya tidak
ia ketahui. Mungkin istrinya juga sudah lelah duduk selama lima jam. Mungkin mereka
memang perlu tempat istirahat untuk meluruskan kaki.
Joel memaku pandangannya ke
depan, sambil mendengarkan musik yang keluar dari radio mobilnya. Namun
konsentrasinya buyar seketika saat ia melihat ada cahaya di kejauhan. Ia
mencoba memicingkan matanya, mencoba menerka cahaya apa yang timbul di tengah
hutan itu. Dan tak disangka…
“Astaga!”
Jane yang hampir tertidur
membuka kedua matanya lagi saat mendengar seruan suaminya itu. Dengan rasa
penasaran yang tinggi ia memandang ke arah suaminya.
“Itu!” ucap Joel sambil
menunjuk ke depan, ke arah cahaya yang menggantung di langit itu.
“Penginapan.”
Cahaya kebiruan itu terlihat
semakin jelas saat mobil Joel bergerak semakin dekat. Cahaya neon berwarna biru
itu terlihat kontras dengan keadaan pekat hutan dan langit. Dan Joel dapat
membaca dengan jelas nama dari penginapan itu.
“Baker Motel.”
Joel tanpa sadar telah
menghentikan mobilnya di tepi jalan. Ia memandang ragu ke arah papan nama itu,
dan juga ke arah bangunan satu lantai yang ada di sebelahnya. Motel itu
terlihat sepi.
“Kenapa?” tanya Jane.
“Bukankah kau seharusnya merasa senang? Kita bisa beristirahat sejenak malam
ini.”
“Ya, tapi…”
Joel tidak tahu kenapa, tapi
ia merasa bahwa ada yang tidak beres dengan motel yang ada di tengah hutan itu.
Seingatnya, memang tidak ada satupun penginapan di jalur 68 itu. Apa ia salah
ingat? Tapi kini bangunan motel itu terlihat dengan jelas. Neon biru itu
terlihat begitu menggoda bagi pengendara yang kelelahan seperti dirinya. Namun
Joel sedikit ragu untuk masuk ke dalam halaman motel itu.
“Joel?”
“Aku tahu.” Balas Joel
cepat. “Baiklah. Kita masuk.”
Joel mencoba untuk tidak
menghiraukan perasaan cemasnya itu. Mungkin ia terlalu banyak berpikir yang
tidak-tidak. Yang pasti, ia membutuhkan waktu untuk beristirahat malam itu. Ia
sudah tidak sanggup untuk berkendara lagi.
Joel membawa mobilnya masuk
ke dalam pekarangan motel itu yang terlihat begitu kotor dan tidak terawat.
Terlihat begitu banyak rumput liar memenuhi lapangan parkir itu. Untuk sesaat,
Joel berpikir bahwa motel itu mungkin sudah tidak dipakai lagi. Namun
pikirannya itu sirna seketika saat ia juga melihat mobil-mobil lain terparkir
di halaman itu.
“Motel ini terlihat bobrok.”
Ucap Joel sesaat setelah ia mematikan mesin mobil. Ia melirik ke arah istrinya,
yang terlihat sudah begitu kelelahan.
“Tidak ada pilihan lain
lagi.” Ucap Jane.
Keduanya turun dari mobil,
lalu berlari kecil ke arah teras penginapan untuk menghindari air hujan.
Keduanya lalu masuk ke dalam salah satu ruangan yang terang, yang kemungkinan adalah
ruang resepsionis dari motel itu.
Ruangan itu hanyalah sebuah
ruangan kecil dengan satu meja di ujung ruangan. Tidak ada yang menunggu
ruangan itu. Joel mencoba menekan bel yang ada di meja resepsionis, namun tidak
ada yang datang.
“Ini aneh. Aku tidak suka
dengan suasananya.” Ucap Joel. Perasaan cemasnya datang lagi. Namun jane
sepertinya sama sekali tidak peduli.
“Tekan lagi tombolnya!” ucap
Jane.
Joel menekan tombol di meja
itu keras-keras dan berkali-kali. Hingga akhirnya terdengar satu suara dibelakang
mereka.
“Aku mendengarnya.”
Joel dan Jane memutar tubuh
mereka seketika, dan mendapati sesosok pria dalam balutan kemeja biru tengah
memandangi mereka. Wajahnya pria itu terlihat begitu pucat. Pandangan kedua
matanya terlihat tajam, seperti elang yang tengah mengincar mangsa. Tidak ada
satupun senyum yang muncul dari pria itu, selain tatapan lurus ke arah Joel dan
Jane.
“Emm…, maaf!” ucap Joel.
“Kau yang menjaga…”
“Ya. Aku.” Sahut pria itu
dengan cara bicara yang sama sekali tidak menyenangkan. Ia terdengar sedikit
arogan dan pemarah.
Pria itu berjalan pelan
menyeberangi ruangan, lalu masuk ke area kecil di belakang meja resepsionis. Ia
membungkuk, mengambil sebuah buku, lalu menyerahkannya pada Joel.
“Isi nama kalian!” ucapnya.
Joel merasa benar-benar
tidak nyaman dengan sikap pria yang ada di depannya itu. Dengan sikap ragu, ia
meraih pena yang diulurkan oleh pria berwajah pucat itu.
Buku besar itu terbuka
sedetik kemudian. Joel memeriksanya singkat, dan melihat bahwa selain mereka,
memang ada tamu lain hari itu.
“Aku tidak punya banyak
waktu, Tuan.” Ucap pria itu ketika Joel tidak segera menuliskan namanya di buku
tamu itu. Joel mendengus pelan, lalu menuliskan namanya dengan cepat. Ia
kembalikan buku dan pena itu pada si pria wajah pucat.
“Biayanya 120 Shiv untuk
semalam.” Ucap pria itu. “Kuharap kau mau membayarnya di muka, dan tunai. Aku
tidak menerima kartu kredit.”
Joel merasa sedikit kesal.
Namun ia tidak mau lagi berutusan dengan pria menyebalkan seperti itu. Yang ia
butuhkan hanyalah waktu istirahat yang cukup. Sepertinya apa yang ia pikirkan
mengenai motel itu memang benar. Memang motel itu tidak beres. Tapi apa ia
punya pilihan lagi? Hujan masih terus mengguyur kawasan itu. Dan berkendara di
tengah hujan dalam keadaan mengantuk sangatlah berbahaya. Joel tidak punya
pilihan lain lagi, selain menginap di motel itu untuk semalam.
“Terima kasih.” Ucap Joel
setelah ia membayar dan menerima kunci dari pria berwajah pucat dengan
kepribadian yang buruk itu. Joel memutar tubuhnya, lalu pergi dari ruangan
kecil itu, diikuti oleh Jane.
Motel itu memiliki kamar
yang berjejer. Joel, mendapatkan kamar di ujung deretan, nomor 9. Ia berjalan
bersama istrinya melewati deretan kamar-kamar lain, yang anehnya, terlihat
gelap tak berpenghuni. Kemana orang-orang? Joel yakin bahwa ada tamu selain
dirinya, jika ia melihat dari adanya mobil di tempat parkir. Namun ia sama
sekali tidak melihat adanya orang lain.
Joel tiba di kamar nomor 9,
yang kecil, dan hanya dilengkapi dengan peralatan sederhana. Sebuah tempat
tidur, kamar mandi, dan sebuah tv kecil. Keadaan motel itu memang benar-benar
memprihatinkan. Cat dindingnya banyak yang mengelupas. Cahaya kekuningan dari
lampu kamar memberikan kesan yang tidak menyenangkan saat cahayanya menyiram
permukaan dinding kotor itu.
“Aku tidak suka dengan orang
itu.” Ucap Joel sesaat kemudian setelah meletakkan barang-barang yang ia bawa.
Istrinya hanya mendesan, sambil menepuk pundaknya.
“Mungkin dia sedang lelah.”
Ucap Jane. “Jangan pikirkan tentang orang itu, oke? Sebaiknya kau cepat tidur.
Kau terlihat berantakan.”
Ya. Ide untuk segera tidur
memang sepertinya sebuah ide yang bagus. Tapi Joel tidak bisa tidur jika
tubuhnya terasa lengket oleh keringat.
“Aku mau mandi dulu.”
“Di udara sedingin ini?”
Joel hanya meringis. Ia
melepaskan bajunya, lalu mengarah ke kamar mandi. Namun hal aneh terjadi saat
ia menghidupkan keran air. Air berwarna hitam pekat keluar dari kerannya, yang
membuat Joel langsung mengumpat tak jelas.
“Apa-apa’an ini?” sentaknya.
“Airnya kotor.”
“Apa?”
“Airnya kotor. Tidak bisa
digunakan.”
Jane berdiri di ambang pintu
kamar mandi, melihat ke arah apa yang terjadi. Seperti apa kata suaminya, air
yang keluar dari keran kamar mandi terlihat hitam. Memang tidak bisa digunakan.
“Aku akan komplain soal hal
ini.” Ucap Joel seraya bergerak keluar dari kamar mandi.
“Sudahlah, Joel! Tidak ada
yang perlu…”
“Kita membayar terlalu
mahal.” Potong Joel. “Dan fasilitas motel ini begitu buruk. Dan pria itu…”
Joel meraih kemejanya dan
memakainya lagi. Jane mencoba untuk mencegah suaminya itu untuk pergi, namun
Joel sudah membulatkan tekadnya.
“Kau tunggu disini!”
Joel bergerak cepat,
melewati deretan kamar-kamar yang terlihat gelap dan sepi, hingga akhirnya ia
tiba di ruangan kecil itu lagi. Namun…, tidak ada siapapun di dalam. Sama seperti
keadaan tadi, ruang resepsionis itu ditinggalkan begitu saja.
“Halo?” teriak Joel, mencoba
untuk memanggil pria berwajah pucat itu, meski sebenarnya ia tidak mau lagi
berurusan dengan pria arogan itu.
“Halo!”
Sama sekali tidak ada
jawaban. Joel bergerak keluar dari ruangan kecil itu lalu melihat ke samping
bangunan. Disana ia melihat adanya bangunan lain yang terpisah dari bangunan
motel. Terdapat seperti rumah kecil dibagian belakang motel itu. Apa mungkin
pria itu ada disana?
Hujan masih mengguyur, namun
Joel tidak peduli lagi. Ia berlari kecil melewati sebuah jalan sempit, hingga
akhirnya tiba di bangunan kecil di belakang motel itu. Ia menghadap ke arah
sebuah pintu berjendela. Ia mengintip ke dalam, namun tidak ada siapapun di
dalam ruangan itu.
“Halo!” Joel mencoba
mengetok pintu itu dengan harapan akan mendapat sentakan amarah dari pria
berwajah pucat itu tadi. Namun…, tidak ada jawaban sama sekali.
“Kemana pria itu?” gumam
Joel kesal. Untuk sesaat, ia berpikir bahwa mungkin ucapan istrinya benar. Ia
tidak perlu komplain atas air kotor itu. Namun ia sudah terlanjur basah.
Joel mempunyai ide yang
sedikit kelewatan. Ia putar kenop pintu itu dan membuka. Detik berikutnya, ia
sudah berada di dalam ruangan yang sepertinya adalah sebuah dapur. Ada sebuah ruangan
lain di bagian belakang dari dapur itu. Sebuah ruangan yang mengeluarkan bau
amis yang luar biasa. Dari tempatnya berdiri, Joel dapat melihat daging-daging
tergantung pada gantungan di ruangan kecil itu. Mungkin disanalah daging-daging
disimpan.
“Halo!!” teriak Joel lebih
keras. Dan tak ia duga, sebuah suara hadir di belakang kepalanya, yang
membuatnya melonjak seketika. Ketika ia memutar tubuhnya, ia lihat pria
berwajah pucat itu sudah berdiri di ambang pintu. Baju yang ia kenakan basah
kuyup, dan tangan pria itu dipenuhi dengan lumpur. Kedua matanya menatap pada
Joel.
“Kau mau menemuiku?” tanya
pria itu dengan nada datar.
“Air kerannya.” Ucap Joel.
“Air kerannya kotor. Apa memang selalu seperti itu atau…”
“Pasti pipanya bocor lagi.”
Jawab pria itu. “Sudah sering terjadi. Saat hujan, pipanya kemasukan lumpur.
Dan airnya menjadi kotor.”
“Tidak adakah yang bisa kau
lakukan untuk…”
“Memperbaikinya?” pria itu
menyeringai sambil mendengus. “Mungkin. Tapi tidak untuk malam ini. Aku sedang
melakukan tugas lain.”
Tugas apa? Pertanyaan itu
mampir ke dalam kepala Joel sesaat kemudian. Apa yang sebenarnya dilakukan pria
itu malam-malam? Dan lumpur di kedua tangannya itu…, Joel benar-benar tidak
mengerti.
“Sebaiknya kau kembali ke
kamarmu, Tuan.” Ucap pria itu lagi. “Area ini tidak seharusnya kau masuki.”
“Maaf!” ucap Joel seraya
bergerak keluar dari dapur itu.
Joel memutar kepalanya saat
ia sudah berada di bangunan utaman. Terlihat dari posisinya, pria itu masih
memandang ke arahnya dengan tatapan yang aneh, terlihat dingin dan tidak
menyenangkan. Kenapa dengan pria itu? Joel, semakin lama ia tinggal di motel
itu, rasa penasarannya semakin besar.
“Tidak ada yang bisa
dilakukan sola airnya.” Ucap Joel pada Jane sesaat setelah ia kembali ke
kamarnya. Ia lepas kemeja basahnya, lalu berganti dengan kaos. Sedetik
kemudian, ia hempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.
“Aku ingin segera pergi dari
tempat ini.” Ucapnya sesaat sebelum ia mematikan lampu kamar. Dan dalam
beberapa menit, ia tertidur.
**
Joel tidak tahu sudah berapa
lama ia tertidur. Yang jelas, ia terbangun seketika oleh suara petir yang
menggelegar. Ia sadari kemudian bahwa ia masih berada di salah satu kamar motel
Baker, dan hujan masih belum berhenti. Joel melirik ke arah jam tangannya, dan
jarum jam terlihat menunjukkan pukul satu dinihari.
Joel ingin kembali tidur.
Namun ketika ia memejamkan kedua matanya, ia mendengar suara aneh yang
datangnya dari arah bagian belakang motel. Terdengar seperti suara benda
dipukul-pukulkan ke tanah, seperti sekop, atau semacamnya. Joel mencoba untuk
menghiraukannya. Namun sedetik kemudian, ia dikagetkan oleh suara jeritan
seorang wanita yang datangnya entah dari mana.
Joel menegakkan kepalanya
dan mencoba untuk mendengar suara itu lagi. Ya. Jeritan itu terdengar samar,
namun Joel yakin bahwa suara itu bukanlah berasal dari halusinasinya. Jeritan
itu jelas-jelas terdengar.
Jane masih tertidur pulas di
sisinya, dan Joel tidak ingin menganggu tidur istrinya itu. Dengan penuh
pertanyaan, Joel bangkit dari tempat tidur dan bergerak ke arah jendela yang
mengarah ke bagian belakang bangunan motel.
Joel menyingkap tirainya,
dan dapat melihat kepekatan hutan di bagian belakang motel itu. Untuk sesaat ia
berpikir, siapa yang berpikiran cukup gila untuk membangun sebuah motel di tengah
hutan seperti ini? Ia tidak mendapatkan jawabannya.
Joel hampir menutup tirai
itu kembali saat tiba-tiba saja kedua matanya menangkap sebuah cahaya di
kejauhan. Sebuah cahaya jingga, yang terlihat kecil, berada jauh di dalam
hutan. Jika ia pikir-pikir, cahayanya seperti cahaya sebuah lentera. Tapi
kenapa? Kenapa ada lentera di tengah hutan? Jika ada seseorang yang membawanya,
kenapa berada di tengah tengah malam?
Semakin lama Joel berada di
motel itu, Joel merasa segala sesuatunya semakin aneh. Keadaan motel yang
berantakan dan tak terurus itu sudah cukup untuk membuat Joel mengernyitkan
dahinya. Ditambah lagi dengan adanya penjaga motel berwajah pucat yang arogan
itu. Belum lagi, saat ia teringat akan dapur berantakan yang berisi
daging-daging hampir busuk itu. Joel tidak pernah membayangkan untuk makan dari
makanan yang disedikan motel itu. Tidak akan pernah memikirkannya.
Joel duduk diatas tempat
tidurnya. Ia ingin kembali tidur, namun rasa kantuknya hilang seketika. Hal itu
dikarenakan otaknya yang tak berhenti berpikir. Mengenai apa yang ada di
sekelilingnya, dan juga mengenai lentera yang ia lihat di tengah hutan itu.
Lalu masih ada jeritan wanita itu, yang lagi-lagi Joel dengar dengan jelas.
Jane memutar posisi
tubuhnya, dan seketika membuka mata. Keningnya berkerut saat melihat suaminya
duduk dengan wajah cemas.
“Ada apa?” tanya Jane.
“Kenapa kau tidak tidur?”
“Ada yang aneh.” Balas Joel.
“Aku seperti mendengar jeritan seorang wanita.”
“Apa?”
“Ya.” Ucap Joel. “Jeritan
seorang wanita. Dari salah satu bagian motel ini. Aku belum yakin tapi…”
“Kau yakin dengan apa yang
kau dengar, sayang?” tanya Jane. “Mungkin kau salah dengar. Karena suara hujan
ini.”
“Tidak. Aku yakin bahwa…”
Jeritan itu kembali
terdengar. Kali ini dengan begitu jelas, diantara suara riuh hujan yang ada di
luar. Joel dan Jane sama-sama mendengarnya.
“Kau dengar itu?” tanya
Joel. “Ada yang tidak beres dengan motel ini.”
“Apa yang akan kau…”
“Aku akan memeriksanya.”
Ucap Joel seraya bangkit dari tempat tidur dan memakai pakaiannya. Jane
berusaha untuk mencegah rencana suaminya itu, tapi Joel tidak mau duduk lagi.
“Kau tunggu disini, Jane.
Jika perlu, kunci pintunya. Aku segera kembali.”
Joel dengan cepat
meninggalkan kamar nomor 9 itu, dan bergerak melewati deretan kamar-kamar
kosong. Namun ada satu kamar yang terang di ujung teras, yang anehnya terbuka.
Joel berdiri tepat di depan
kamar nomor 1 itu, yang terbuka lebar tanpa penghuni. Di dalamnya terdapat
sebuah tas berisi pakaian, dan ada sepatu di kaki tempat tidur. Dari
barang-barangnya, Joel dapat menebak bahwa penghuninya adalah seorang wanita.
Tapi kemana wanita itu?
Joel bergerak ke arah
ruangan resepsionis kecil itu, yang anehnya kini terkunci. Tidak ada
tanda-tanda akan kehadiran pria berwajah pucat itu. Kemana dia? Dan Joel masih
penasaran dengan suara jeritan itu.
Joel melongok ke arah bagian
samping bangunan motel, dan memandang ke arah gedung terpisah yang ia datangi
beberapa jam sebelumnya. Entah kenapa, Joel merasakan suatu dorongan untuk
masuk ke dalam ruangan itu. Mungkin jeritan wanita itu memang datang dari arah
bangunan itu.
Joel tak menghiraukan sapuan
air hujan, yang kini membasahi sebagian dari bajunya. Joel mengarah ke dapur
itu lagi, membuka pintunya, dan lagi-lagi menghadapi sebuah ruangan yang tak
berpenghuni. Aroma anyir kembali menyeruak, menusuk hidung Joel. Joel tidak
menghiraukan lagi aroma itu. Rasa penasarannya kini begitu besar.
Ia bergerak diantara meja
dan begitu banyak perkakasan dapur yang anehnya terlihat kotor, penuh dengan
noda. Meja berlapis keramik yang ada di sisinya terlihat tergenang dengans
ebuah cairan berwarna kuning yang sepertinya lengket, dan mengeluarkan aroma
yang busuk. Joel hampir mencapai ruang daging itu, saat tiba-tiba saja ia
terantuk pada sebuah benda yang nyaris terjatuh. Ia arahkan pandangannya ke
kaki, dan melihat adanya sebuah bak kotor yang mencuat dari bawah meja. Dengan
rasa penasaran yang tinggi Joel menarik keluar bak itu, yang isisnya adalah
belasan dompet yang dipenuhi dengan bekas noda darah. Joel meraih salah satu
dompet, dimana isisnya sudah dikosongkan, namun masih ada satu tanda pengenal
di dalamnya. Milik seorang wanita.
Isi bak itu sungguh
mencurigakan. Kenapa ada begitu banyak dompet di dalam bak itu? Dan kenapa
dengan noda-noda darah itu? Apakah darah hewan? Joel tidak berani membayangkan
hal lain. Mungkin ada yang lebih gila dari apa yang baru saja ia temui.
Joel bergerak lagi, kali ini
masuk ke ruang daging yang berada di belakang. Aroma yang busuk menusuk hidung.
Terlihat begitu banyak lalat merbubung sebuah kain kotor di atas meja, dan
didekatnya terdapat sebilah pisau daging yang berlumuran dengan darah.
“Ini tidak benar.” Gumam
Joel. Apa yang sudah ia lihat dari isi dapur ini sungguh tidak masuk akal?
Kotorannya, dan juga begitu banyak noda darah. Tempat itu terlihat seperti
tempat jagal.
Joel memandang ke arah sebuah
benda yang tergantung pada kait di langit-langit. Benda itu besar, tertutup
oleh sebuah kain hitam kumal. Dari aroma yang keluar, Joel dapat menebak bahwa
apa yang ia cium adalah bau darah. Anyir, namun sepertinya belum begitu busuk.
Dari bagian bawah kain hitam itu terlihat darah segar masih menetes, menggenang
di lantai. Joel hanya dapat berpikir bahwa mungkin ada sepotong daging sapi
besar di balik tirai itu.
Entah kenapa, Joel tidak mau
pergi dari tempat tiu sebelum ia mengetahui segalanya. Apa yang berada di balik
kain hitam itu membuatnya penasaran. Apa benar ada daging disana? Joel
merasakan aura yang negatif dari apa yang yang ada di depannya. Dan tanpa ia
sadari, tangannya sudah terangkat, mencengeram kain hitam itu, kemudian
menariknya. Dan disana…
“TIDAK!!!”
Joel berteriak keras dan
terjerembab ke lantai saat kain hitam itu terlepas. Sebuah benda besar nampak
di hadapan kedua matanya yang melotot, ngeri melihat apa yang terjadi. Yang
berada di balik kain hitam itu bukanlah daging seperti apa yang ia bayangkan.
Tetapi ada tubuh seorang wanita yang tergantung pada kait, dengan kait itu
menembus bagian pundah dari tubuh wanita itu. Darah dan sebagian daging segar
terlihat begitu nyata di hadapan kedua mata Joel. Wanita tanpa pakaian itu
terlihat bemandikan darah. Darah segar, masih menetes dari pergelangan
tangannya yang buntung terpotong.
Joel bangkit seketika. Ia
sadar bahwa motel yang ia tempati ini adalah motel yang tidak beres, dan ia
harus pergi secepatnya. Ia memutar tubuhnya, sempat terpeleset oleh genangan
darah, lalu berlari sekencang mungkin keluar dari bangunan itu. Ia berlari
menembus hujan ke arah bangunan motel, lalu mengarah pada kamar nomor 9. Ia dan
istrinya harus segera keluar dari sana.
“JANE!! JANE!!” teriaknya
sambil berlari. Ia dobrak pintu kamar nomor sembilan sambil meneriakkan nama
istrinya, namun…
Joel melotot saat tempat
tidur terlihat kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan istrinya.
“JANE!!” teriak Joel. Ia
bergerak masuk, mengarah ke tempat tidur, saat ia sadari bahwa ada noda
cipratan darah diatas kasur, yang mengarah ke kamar mandi.
Tubuh Joel meremang
seketika. Apa yang mungkin terjadi? Pemikiran yang buruk hadir dalam kepalanya.
Tidak mungkin. Tidak mungkin apa yang ia pikirkan terjadi. Joel tidak mau
melihat apa yang ada di dalam kamar mandi. Namun, kakinya bergerak sendiri.
Sedikit demi sedikit ia semakin mendekati kamar mandi itu. Cipratan darah
terlihat dengan jelas mengarah ke dalam kamar mandi. Dan ketika ia tiba di
pintu, satu keadaan yang mencengangkan membuatnya nyaris pingsan. Di dalam
kamar mandi itu, tubuh jane tergeletak berlumuran darah, dengan luka sayatan di
leher yang terlihat masih menyemburkan darah segar. Joel bergetar, tak percaya
dengan apa yang ia lihat.
“JANE!!! TIDAK!!!”
Jeritan dan tangisannya
sia-sia. Hal itu tidak akan membantunya untuk keluar dari bahaya yang sedang ia
hadapi. Motel ini terkutuk. Motel ini adalah motel yang sadis. Joel tahu bahwa
tidak ada yang dapat ia lakukan untuk membangkitkan istrinya. Dan ia tahu,
bahwa ia ahrus segera pergi.
Petir menyambar, dan gemuruh
di langit terdengar. Seolah menjadi jeritan dari dalam hati Joel. Ia telah
kehilangan istrinya. Dan ia tidak boleh kehilangan nyawanya. Joel berlari
menembus lebatnya hujan, lalu masuk ke dalam mobilnya yang terpakir di halaman.
Dengan cepat ia masukkan kunci mobil, memutarnya, tapi…
“AYOLAH!!!”
Mobil itu tidak mau menyala.
Joel menggebrak roda kemudi dengan marah, lalu mencoba untuk memutar kuncinya
lagi. Mobil itu hanya mengeluarkan suara berdecit tak karuan, dan mesinnya
tidak mau menyala. Joel mulai panik. Tubuhnya bergetar tak karuan.
“Tidak mungkin!” keluhnya.
“Tidak!!!”
Joel benar-benar putus asa.
Hujan di luar semakin deras, dan gemuruh di langit terus terdengar. Tidak akan
ada yang dapat mendengar jeritan paniknya. Akan tetapi…
Keduanya tangan Joel
behrenti seketika saat satu bayangan terlihat menaungi tubuhnya. Joel merasakan
kehadiran orang itu. Pria berwajah pucat itu telah berdiri di sisi mobil Joel
dengan kapak berada di tangan. Air hujan bercampur dengan darah, mengotori
seringai yang pria itu keluarkan. Dan detik berikutnya, kapak itu menembus kaca
mobil Joel. Jeritan Joel pun tak terdengar, tertelan oleh derasnya hujan di
kelamnya malam.
****
No comments:
Post a Comment