Saturday, June 4, 2016

RAHASIA MOTEL BAKER



Hujan belum berhenti. Kepekatan hutan dan kelamnya malam membuat suasana kala itu menjadi satu suasana yang tak mungkin untuk dilupakan. Langit sepertinya sedang murka. Sesekali terdengar petir menyambar, menciptakan sebuah kilatan terang di langit malam.
Joel dengan sekuat tenaga menahan rasa kantuk di tengah dinginnya suasana itu. Kedua tangannya mencengkeram roda kemudi dengan erat, sementara kedua matanya memicing, memilih jalan yang basah tergenang air. Di sisinya, Jane, tertidur dengan pulas. Mereka telah melakukan perjalanan kurang lebih lima jam tanpa henti. Joel merasa begitu lelah. Tapi ia tidak bisa menghentikan mobilnya di tengah hutan begitu saja. Tapi ia tahu bahwa dalam beberapa menit mereka akan keluar dari kawasan hutan.
Jane terbangun seketika, terganggu oleh mimpi buruk. Ia menegakkan tubuhnya, lalu memandang ke arah Joel sambil memberikan satu senyuman. Joel membalas senyuman itu dengan deretan gigi putihnya. Untuk sesaat, rasa kantuk dan lelah itu hilang saat ia dapat melihat senyum di wajah istrinya.
“Apa masih jauh?” tanya Jane beberapa saat kemudian.
“Tidak. Beberapa jam lagi.”
“Kau mau terus menyetir?”
Joel hanya tersenyum. Sepertinya memang tidak ada pilihan lain selain terus menyetir di tengah kelamnya malam. Suara radio mungkin bisa membantunya melewati rasa sepi. Namun ia rasa hal itu tidak cukup.
“Kau tidak boleh memaksa.” Ucap Jane. “Kita harus beristirahat.”
“Tapi kita ada di tengah hutan.” Balas Joel. “Jika saja ada sebuah penginapan, aku akan mampir.”
Kemungkinan akan hal itu sepertinya kecil. Joel tahu benar dengan rute yang ia ambil ini. Rute yang membelah hutan ini akan mengantarkannya ke Blackwood, kota yang akan ia tuju. Namun ia tahu bahwa jarak kota itu masih begitu jauh dari posisinya sekarang. Dan setahunya, tidak ada satupun penginapan di sepanjang jalan 68 itu.
Hujan masih terus mengguyur dengan deras. Air yang jatuh ke kaca mobil kadang menghalangi pandangan Joel. Sialnya, wiper dari mobil tuanya itu tidak cukup cepat untuk membersihkan air yang mengalir di kaca depan. Jika saja Joel tidak lihai dalam mengendarai mobilnya, mungkin ia sudah terperosok ke tepi jalan sejak tadi.
“Aku tahu kau lelah.” Ucap Jane. “Lima jam sudah berlalu sejak kota terakhir.”
“Dan hanya ada hutan ini.” Balas Joel.
“Kenapa kau memilih rute ini? Rute ini sama sekali tidak tergambar dalam peta. Dan ada kemungkinan kita akan mengalami hal yang tak terduga. Kehabisan bensin, ban kempes, atau yang lain. Ke mana kita akan mencari pertolongan?”
“Hanya ini jalur tercepat untuk mencapai Balckwood.” Balas Joel. “Lagipula, sudah terlanjur. Kita tidak bisa berputar balik.”
Joel memandangai wajah istrinya. Tergambar sebuah kecemasan di wajah cantik itu, yang alasannya tidak ia ketahui. Mungkin istrinya juga sudah lelah duduk selama lima jam. Mungkin mereka memang perlu tempat istirahat untuk meluruskan kaki.
Joel memaku pandangannya ke depan, sambil mendengarkan musik yang keluar dari radio mobilnya. Namun konsentrasinya buyar seketika saat ia melihat ada cahaya di kejauhan. Ia mencoba memicingkan matanya, mencoba menerka cahaya apa yang timbul di tengah hutan itu. Dan tak disangka…
“Astaga!”
Jane yang hampir tertidur membuka kedua matanya lagi saat mendengar seruan suaminya itu. Dengan rasa penasaran yang tinggi ia memandang ke arah suaminya.
“Itu!” ucap Joel sambil menunjuk ke depan, ke arah cahaya yang menggantung di langit itu.
“Penginapan.”
Cahaya kebiruan itu terlihat semakin jelas saat mobil Joel bergerak semakin dekat. Cahaya neon berwarna biru itu terlihat kontras dengan keadaan pekat hutan dan langit. Dan Joel dapat membaca dengan jelas nama dari penginapan itu.
“Baker Motel.”
Joel tanpa sadar telah menghentikan mobilnya di tepi jalan. Ia memandang ragu ke arah papan nama itu, dan juga ke arah bangunan satu lantai yang ada di sebelahnya. Motel itu terlihat sepi.
“Kenapa?” tanya Jane. “Bukankah kau seharusnya merasa senang? Kita bisa beristirahat sejenak malam ini.”
“Ya, tapi…”
Joel tidak tahu kenapa, tapi ia merasa bahwa ada yang tidak beres dengan motel yang ada di tengah hutan itu. Seingatnya, memang tidak ada satupun penginapan di jalur 68 itu. Apa ia salah ingat? Tapi kini bangunan motel itu terlihat dengan jelas. Neon biru itu terlihat begitu menggoda bagi pengendara yang kelelahan seperti dirinya. Namun Joel sedikit ragu untuk masuk ke dalam halaman motel itu.
“Joel?”
“Aku tahu.” Balas Joel cepat. “Baiklah. Kita masuk.”
Joel mencoba untuk tidak menghiraukan perasaan cemasnya itu. Mungkin ia terlalu banyak berpikir yang tidak-tidak. Yang pasti, ia membutuhkan waktu untuk beristirahat malam itu. Ia sudah tidak sanggup untuk berkendara lagi.
Joel membawa mobilnya masuk ke dalam pekarangan motel itu yang terlihat begitu kotor dan tidak terawat. Terlihat begitu banyak rumput liar memenuhi lapangan parkir itu. Untuk sesaat, Joel berpikir bahwa motel itu mungkin sudah tidak dipakai lagi. Namun pikirannya itu sirna seketika saat ia juga melihat mobil-mobil lain terparkir di halaman itu.
“Motel ini terlihat bobrok.” Ucap Joel sesaat setelah ia mematikan mesin mobil. Ia melirik ke arah istrinya, yang terlihat sudah begitu kelelahan.
“Tidak ada pilihan lain lagi.” Ucap Jane.
Keduanya turun dari mobil, lalu berlari kecil ke arah teras penginapan untuk menghindari air hujan. Keduanya lalu masuk ke dalam salah satu ruangan yang terang, yang kemungkinan adalah ruang resepsionis dari motel itu.
Ruangan itu hanyalah sebuah ruangan kecil dengan satu meja di ujung ruangan. Tidak ada yang menunggu ruangan itu. Joel mencoba menekan bel yang ada di meja resepsionis, namun tidak ada yang datang.
“Ini aneh. Aku tidak suka dengan suasananya.” Ucap Joel. Perasaan cemasnya datang lagi. Namun jane sepertinya sama sekali tidak peduli.
“Tekan lagi tombolnya!” ucap Jane.
Joel menekan tombol di meja itu keras-keras dan berkali-kali. Hingga akhirnya terdengar satu suara dibelakang mereka.
“Aku mendengarnya.”
Joel dan Jane memutar tubuh mereka seketika, dan mendapati sesosok pria dalam balutan kemeja biru tengah memandangi mereka. Wajahnya pria itu terlihat begitu pucat. Pandangan kedua matanya terlihat tajam, seperti elang yang tengah mengincar mangsa. Tidak ada satupun senyum yang muncul dari pria itu, selain tatapan lurus ke arah Joel dan Jane.
“Emm…, maaf!” ucap Joel. “Kau yang menjaga…”
“Ya. Aku.” Sahut pria itu dengan cara bicara yang sama sekali tidak menyenangkan. Ia terdengar sedikit arogan dan pemarah.
Pria itu berjalan pelan menyeberangi ruangan, lalu masuk ke area kecil di belakang meja resepsionis. Ia membungkuk, mengambil sebuah buku, lalu menyerahkannya pada Joel.
“Isi nama kalian!” ucapnya.
Joel merasa benar-benar tidak nyaman dengan sikap pria yang ada di depannya itu. Dengan sikap ragu, ia meraih pena yang diulurkan oleh pria berwajah pucat itu.
Buku besar itu terbuka sedetik kemudian. Joel memeriksanya singkat, dan melihat bahwa selain mereka, memang ada tamu lain hari itu.
“Aku tidak punya banyak waktu, Tuan.” Ucap pria itu ketika Joel tidak segera menuliskan namanya di buku tamu itu. Joel mendengus pelan, lalu menuliskan namanya dengan cepat. Ia kembalikan buku dan pena itu pada si pria wajah pucat.
“Biayanya 120 Shiv untuk semalam.” Ucap pria itu. “Kuharap kau mau membayarnya di muka, dan tunai. Aku tidak menerima kartu kredit.”
Joel merasa sedikit kesal. Namun ia tidak mau lagi berutusan dengan pria menyebalkan seperti itu. Yang ia butuhkan hanyalah waktu istirahat yang cukup. Sepertinya apa yang ia pikirkan mengenai motel itu memang benar. Memang motel itu tidak beres. Tapi apa ia punya pilihan lagi? Hujan masih terus mengguyur kawasan itu. Dan berkendara di tengah hujan dalam keadaan mengantuk sangatlah berbahaya. Joel tidak punya pilihan lain lagi, selain menginap di motel itu untuk semalam.
“Terima kasih.” Ucap Joel setelah ia membayar dan menerima kunci dari pria berwajah pucat dengan kepribadian yang buruk itu. Joel memutar tubuhnya, lalu pergi dari ruangan kecil itu, diikuti oleh Jane.
Motel itu memiliki kamar yang berjejer. Joel, mendapatkan kamar di ujung deretan, nomor 9. Ia berjalan bersama istrinya melewati deretan kamar-kamar lain, yang anehnya, terlihat gelap tak berpenghuni. Kemana orang-orang? Joel yakin bahwa ada tamu selain dirinya, jika ia melihat dari adanya mobil di tempat parkir. Namun ia sama sekali tidak melihat adanya orang lain.
Joel tiba di kamar nomor 9, yang kecil, dan hanya dilengkapi dengan peralatan sederhana. Sebuah tempat tidur, kamar mandi, dan sebuah tv kecil. Keadaan motel itu memang benar-benar memprihatinkan. Cat dindingnya banyak yang mengelupas. Cahaya kekuningan dari lampu kamar memberikan kesan yang tidak menyenangkan saat cahayanya menyiram permukaan dinding kotor itu.
“Aku tidak suka dengan orang itu.” Ucap Joel sesaat kemudian setelah meletakkan barang-barang yang ia bawa. Istrinya hanya mendesan, sambil menepuk pundaknya.
“Mungkin dia sedang lelah.” Ucap Jane. “Jangan pikirkan tentang orang itu, oke? Sebaiknya kau cepat tidur. Kau terlihat berantakan.”
Ya. Ide untuk segera tidur memang sepertinya sebuah ide yang bagus. Tapi Joel tidak bisa tidur jika tubuhnya terasa lengket oleh keringat.
“Aku mau mandi dulu.”
“Di udara sedingin ini?”
Joel hanya meringis. Ia melepaskan bajunya, lalu mengarah ke kamar mandi. Namun hal aneh terjadi saat ia menghidupkan keran air. Air berwarna hitam pekat keluar dari kerannya, yang membuat Joel langsung mengumpat tak jelas.
“Apa-apa’an ini?” sentaknya. “Airnya kotor.”
“Apa?”
“Airnya kotor. Tidak bisa digunakan.”
Jane berdiri di ambang pintu kamar mandi, melihat ke arah apa yang terjadi. Seperti apa kata suaminya, air yang keluar dari keran kamar mandi terlihat hitam. Memang tidak bisa digunakan.
“Aku akan komplain soal hal ini.” Ucap Joel seraya bergerak keluar dari kamar mandi.
“Sudahlah, Joel! Tidak ada yang perlu…”
“Kita membayar terlalu mahal.” Potong Joel. “Dan fasilitas motel ini begitu buruk. Dan pria itu…”
Joel meraih kemejanya dan memakainya lagi. Jane mencoba untuk mencegah suaminya itu untuk pergi, namun Joel sudah membulatkan tekadnya.
“Kau tunggu disini!”
Joel bergerak cepat, melewati deretan kamar-kamar yang terlihat gelap dan sepi, hingga akhirnya ia tiba di ruangan kecil itu lagi. Namun…, tidak ada siapapun di dalam. Sama seperti keadaan tadi, ruang resepsionis itu ditinggalkan begitu saja.
“Halo?” teriak Joel, mencoba untuk memanggil pria berwajah pucat itu, meski sebenarnya ia tidak mau lagi berurusan dengan pria arogan itu.
“Halo!”
Sama sekali tidak ada jawaban. Joel bergerak keluar dari ruangan kecil itu lalu melihat ke samping bangunan. Disana ia melihat adanya bangunan lain yang terpisah dari bangunan motel. Terdapat seperti rumah kecil dibagian belakang motel itu. Apa mungkin pria itu ada disana?
Hujan masih mengguyur, namun Joel tidak peduli lagi. Ia berlari kecil melewati sebuah jalan sempit, hingga akhirnya tiba di bangunan kecil di belakang motel itu. Ia menghadap ke arah sebuah pintu berjendela. Ia mengintip ke dalam, namun tidak ada siapapun di dalam ruangan itu.
“Halo!” Joel mencoba mengetok pintu itu dengan harapan akan mendapat sentakan amarah dari pria berwajah pucat itu tadi. Namun…, tidak ada jawaban sama sekali.
“Kemana pria itu?” gumam Joel kesal. Untuk sesaat, ia berpikir bahwa mungkin ucapan istrinya benar. Ia tidak perlu komplain atas air kotor itu. Namun ia sudah terlanjur basah.
Joel mempunyai ide yang sedikit kelewatan. Ia putar kenop pintu itu dan membuka. Detik berikutnya, ia sudah berada di dalam ruangan yang sepertinya adalah sebuah dapur. Ada sebuah ruangan lain di bagian belakang dari dapur itu. Sebuah ruangan yang mengeluarkan bau amis yang luar biasa. Dari tempatnya berdiri, Joel dapat melihat daging-daging tergantung pada gantungan di ruangan kecil itu. Mungkin disanalah daging-daging disimpan.
“Halo!!” teriak Joel lebih keras. Dan tak ia duga, sebuah suara hadir di belakang kepalanya, yang membuatnya melonjak seketika. Ketika ia memutar tubuhnya, ia lihat pria berwajah pucat itu sudah berdiri di ambang pintu. Baju yang ia kenakan basah kuyup, dan tangan pria itu dipenuhi dengan lumpur. Kedua matanya menatap pada Joel.
“Kau mau menemuiku?” tanya pria itu dengan nada datar.
“Air kerannya.” Ucap Joel. “Air kerannya kotor. Apa memang selalu seperti itu atau…”
“Pasti pipanya bocor lagi.” Jawab pria itu. “Sudah sering terjadi. Saat hujan, pipanya kemasukan lumpur. Dan airnya menjadi kotor.”
“Tidak adakah yang bisa kau lakukan untuk…”
“Memperbaikinya?” pria itu menyeringai sambil mendengus. “Mungkin. Tapi tidak untuk malam ini. Aku sedang melakukan tugas lain.”
Tugas apa? Pertanyaan itu mampir ke dalam kepala Joel sesaat kemudian. Apa yang sebenarnya dilakukan pria itu malam-malam? Dan lumpur di kedua tangannya itu…, Joel benar-benar tidak mengerti.
“Sebaiknya kau kembali ke kamarmu, Tuan.” Ucap pria itu lagi. “Area ini tidak seharusnya kau masuki.”
“Maaf!” ucap Joel seraya bergerak keluar dari dapur itu.
Joel memutar kepalanya saat ia sudah berada di bangunan utaman. Terlihat dari posisinya, pria itu masih memandang ke arahnya dengan tatapan yang aneh, terlihat dingin dan tidak menyenangkan. Kenapa dengan pria itu? Joel, semakin lama ia tinggal di motel itu, rasa penasarannya semakin besar.
“Tidak ada yang bisa dilakukan sola airnya.” Ucap Joel pada Jane sesaat setelah ia kembali ke kamarnya. Ia lepas kemeja basahnya, lalu berganti dengan kaos. Sedetik kemudian, ia hempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.
“Aku ingin segera pergi dari tempat ini.” Ucapnya sesaat sebelum ia mematikan lampu kamar. Dan dalam beberapa menit, ia tertidur.

**

Joel tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur. Yang jelas, ia terbangun seketika oleh suara petir yang menggelegar. Ia sadari kemudian bahwa ia masih berada di salah satu kamar motel Baker, dan hujan masih belum berhenti. Joel melirik ke arah jam tangannya, dan jarum jam terlihat menunjukkan pukul satu dinihari.
Joel ingin kembali tidur. Namun ketika ia memejamkan kedua matanya, ia mendengar suara aneh yang datangnya dari arah bagian belakang motel. Terdengar seperti suara benda dipukul-pukulkan ke tanah, seperti sekop, atau semacamnya. Joel mencoba untuk menghiraukannya. Namun sedetik kemudian, ia dikagetkan oleh suara jeritan seorang wanita yang datangnya entah dari mana.
Joel menegakkan kepalanya dan mencoba untuk mendengar suara itu lagi. Ya. Jeritan itu terdengar samar, namun Joel yakin bahwa suara itu bukanlah berasal dari halusinasinya. Jeritan itu jelas-jelas terdengar.
Jane masih tertidur pulas di sisinya, dan Joel tidak ingin menganggu tidur istrinya itu. Dengan penuh pertanyaan, Joel bangkit dari tempat tidur dan bergerak ke arah jendela yang mengarah ke bagian belakang bangunan motel.
Joel menyingkap tirainya, dan dapat melihat kepekatan hutan di bagian belakang motel itu. Untuk sesaat ia berpikir, siapa yang berpikiran cukup gila untuk membangun sebuah motel di tengah hutan seperti ini? Ia tidak mendapatkan jawabannya.
Joel hampir menutup tirai itu kembali saat tiba-tiba saja kedua matanya menangkap sebuah cahaya di kejauhan. Sebuah cahaya jingga, yang terlihat kecil, berada jauh di dalam hutan. Jika ia pikir-pikir, cahayanya seperti cahaya sebuah lentera. Tapi kenapa? Kenapa ada lentera di tengah hutan? Jika ada seseorang yang membawanya, kenapa berada di tengah tengah malam?
Semakin lama Joel berada di motel itu, Joel merasa segala sesuatunya semakin aneh. Keadaan motel yang berantakan dan tak terurus itu sudah cukup untuk membuat Joel mengernyitkan dahinya. Ditambah lagi dengan adanya penjaga motel berwajah pucat yang arogan itu. Belum lagi, saat ia teringat akan dapur berantakan yang berisi daging-daging hampir busuk itu. Joel tidak pernah membayangkan untuk makan dari makanan yang disedikan motel itu. Tidak akan pernah memikirkannya.
Joel duduk diatas tempat tidurnya. Ia ingin kembali tidur, namun rasa kantuknya hilang seketika. Hal itu dikarenakan otaknya yang tak berhenti berpikir. Mengenai apa yang ada di sekelilingnya, dan juga mengenai lentera yang ia lihat di tengah hutan itu. Lalu masih ada jeritan wanita itu, yang lagi-lagi Joel dengar dengan jelas.
Jane memutar posisi tubuhnya, dan seketika membuka mata. Keningnya berkerut saat melihat suaminya duduk dengan wajah cemas.
“Ada apa?” tanya Jane. “Kenapa kau tidak tidur?”
“Ada yang aneh.” Balas Joel. “Aku seperti mendengar jeritan seorang wanita.”
“Apa?”
“Ya.” Ucap Joel. “Jeritan seorang wanita. Dari salah satu bagian motel ini. Aku belum yakin tapi…”
“Kau yakin dengan apa yang kau dengar, sayang?” tanya Jane. “Mungkin kau salah dengar. Karena suara hujan ini.”
“Tidak. Aku yakin bahwa…”
Jeritan itu kembali terdengar. Kali ini dengan begitu jelas, diantara suara riuh hujan yang ada di luar. Joel dan Jane sama-sama mendengarnya.
“Kau dengar itu?” tanya Joel. “Ada yang tidak beres dengan motel ini.”
“Apa yang akan kau…”
“Aku akan memeriksanya.” Ucap Joel seraya bangkit dari tempat tidur dan memakai pakaiannya. Jane berusaha untuk mencegah rencana suaminya itu, tapi Joel tidak mau duduk lagi.
“Kau tunggu disini, Jane. Jika perlu, kunci pintunya. Aku segera kembali.”
Joel dengan cepat meninggalkan kamar nomor 9 itu, dan bergerak melewati deretan kamar-kamar kosong. Namun ada satu kamar yang terang di ujung teras, yang anehnya terbuka.
Joel berdiri tepat di depan kamar nomor 1 itu, yang terbuka lebar tanpa penghuni. Di dalamnya terdapat sebuah tas berisi pakaian, dan ada sepatu di kaki tempat tidur. Dari barang-barangnya, Joel dapat menebak bahwa penghuninya adalah seorang wanita. Tapi kemana wanita itu?
Joel bergerak ke arah ruangan resepsionis kecil itu, yang anehnya kini terkunci. Tidak ada tanda-tanda akan kehadiran pria berwajah pucat itu. Kemana dia? Dan Joel masih penasaran dengan suara jeritan itu.
Joel melongok ke arah bagian samping bangunan motel, dan memandang ke arah gedung terpisah yang ia datangi beberapa jam sebelumnya. Entah kenapa, Joel merasakan suatu dorongan untuk masuk ke dalam ruangan itu. Mungkin jeritan wanita itu memang datang dari arah bangunan itu.
Joel tak menghiraukan sapuan air hujan, yang kini membasahi sebagian dari bajunya. Joel mengarah ke dapur itu lagi, membuka pintunya, dan lagi-lagi menghadapi sebuah ruangan yang tak berpenghuni. Aroma anyir kembali menyeruak, menusuk hidung Joel. Joel tidak menghiraukan lagi aroma itu. Rasa penasarannya kini begitu besar.
Ia bergerak diantara meja dan begitu banyak perkakasan dapur yang anehnya terlihat kotor, penuh dengan noda. Meja berlapis keramik yang ada di sisinya terlihat tergenang dengans ebuah cairan berwarna kuning yang sepertinya lengket, dan mengeluarkan aroma yang busuk. Joel hampir mencapai ruang daging itu, saat tiba-tiba saja ia terantuk pada sebuah benda yang nyaris terjatuh. Ia arahkan pandangannya ke kaki, dan melihat adanya sebuah bak kotor yang mencuat dari bawah meja. Dengan rasa penasaran yang tinggi Joel menarik keluar bak itu, yang isisnya adalah belasan dompet yang dipenuhi dengan bekas noda darah. Joel meraih salah satu dompet, dimana isisnya sudah dikosongkan, namun masih ada satu tanda pengenal di dalamnya. Milik seorang wanita.
Isi bak itu sungguh mencurigakan. Kenapa ada begitu banyak dompet di dalam bak itu? Dan kenapa dengan noda-noda darah itu? Apakah darah hewan? Joel tidak berani membayangkan hal lain. Mungkin ada yang lebih gila dari apa yang baru saja ia temui.
Joel bergerak lagi, kali ini masuk ke ruang daging yang berada di belakang. Aroma yang busuk menusuk hidung. Terlihat begitu banyak lalat merbubung sebuah kain kotor di atas meja, dan didekatnya terdapat sebilah pisau daging yang berlumuran dengan darah.
“Ini tidak benar.” Gumam Joel. Apa yang sudah ia lihat dari isi dapur ini sungguh tidak masuk akal? Kotorannya, dan juga begitu banyak noda darah. Tempat itu terlihat seperti tempat jagal.
Joel memandang ke arah sebuah benda yang tergantung pada kait di langit-langit. Benda itu besar, tertutup oleh sebuah kain hitam kumal. Dari aroma yang keluar, Joel dapat menebak bahwa apa yang ia cium adalah bau darah. Anyir, namun sepertinya belum begitu busuk. Dari bagian bawah kain hitam itu terlihat darah segar masih menetes, menggenang di lantai. Joel hanya dapat berpikir bahwa mungkin ada sepotong daging sapi besar di balik tirai itu.
Entah kenapa, Joel tidak mau pergi dari tempat tiu sebelum ia mengetahui segalanya. Apa yang berada di balik kain hitam itu membuatnya penasaran. Apa benar ada daging disana? Joel merasakan aura yang negatif dari apa yang yang ada di depannya. Dan tanpa ia sadari, tangannya sudah terangkat, mencengeram kain hitam itu, kemudian menariknya. Dan disana…
“TIDAK!!!”
Joel berteriak keras dan terjerembab ke lantai saat kain hitam itu terlepas. Sebuah benda besar nampak di hadapan kedua matanya yang melotot, ngeri melihat apa yang terjadi. Yang berada di balik kain hitam itu bukanlah daging seperti apa yang ia bayangkan. Tetapi ada tubuh seorang wanita yang tergantung pada kait, dengan kait itu menembus bagian pundah dari tubuh wanita itu. Darah dan sebagian daging segar terlihat begitu nyata di hadapan kedua mata Joel. Wanita tanpa pakaian itu terlihat bemandikan darah. Darah segar, masih menetes dari pergelangan tangannya yang buntung terpotong.
Joel bangkit seketika. Ia sadar bahwa motel yang ia tempati ini adalah motel yang tidak beres, dan ia harus pergi secepatnya. Ia memutar tubuhnya, sempat terpeleset oleh genangan darah, lalu berlari sekencang mungkin keluar dari bangunan itu. Ia berlari menembus hujan ke arah bangunan motel, lalu mengarah pada kamar nomor 9. Ia dan istrinya harus segera keluar dari sana.
“JANE!! JANE!!” teriaknya sambil berlari. Ia dobrak pintu kamar nomor sembilan sambil meneriakkan nama istrinya, namun…
Joel melotot saat tempat tidur terlihat kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan istrinya.
“JANE!!” teriak Joel. Ia bergerak masuk, mengarah ke tempat tidur, saat ia sadari bahwa ada noda cipratan darah diatas kasur, yang mengarah ke kamar mandi.
Tubuh Joel meremang seketika. Apa yang mungkin terjadi? Pemikiran yang buruk hadir dalam kepalanya. Tidak mungkin. Tidak mungkin apa yang ia pikirkan terjadi. Joel tidak mau melihat apa yang ada di dalam kamar mandi. Namun, kakinya bergerak sendiri. Sedikit demi sedikit ia semakin mendekati kamar mandi itu. Cipratan darah terlihat dengan jelas mengarah ke dalam kamar mandi. Dan ketika ia tiba di pintu, satu keadaan yang mencengangkan membuatnya nyaris pingsan. Di dalam kamar mandi itu, tubuh jane tergeletak berlumuran darah, dengan luka sayatan di leher yang terlihat masih menyemburkan darah segar. Joel bergetar, tak percaya dengan apa yang ia lihat.
“JANE!!! TIDAK!!!”
Jeritan dan tangisannya sia-sia. Hal itu tidak akan membantunya untuk keluar dari bahaya yang sedang ia hadapi. Motel ini terkutuk. Motel ini adalah motel yang sadis. Joel tahu bahwa tidak ada yang dapat ia lakukan untuk membangkitkan istrinya. Dan ia tahu, bahwa ia ahrus segera pergi.
Petir menyambar, dan gemuruh di langit terdengar. Seolah menjadi jeritan dari dalam hati Joel. Ia telah kehilangan istrinya. Dan ia tidak boleh kehilangan nyawanya. Joel berlari menembus lebatnya hujan, lalu masuk ke dalam mobilnya yang terpakir di halaman. Dengan cepat ia masukkan kunci mobil, memutarnya, tapi…
“AYOLAH!!!”
Mobil itu tidak mau menyala. Joel menggebrak roda kemudi dengan marah, lalu mencoba untuk memutar kuncinya lagi. Mobil itu hanya mengeluarkan suara berdecit tak karuan, dan mesinnya tidak mau menyala. Joel mulai panik. Tubuhnya bergetar tak karuan.
“Tidak mungkin!” keluhnya. “Tidak!!!”
Joel benar-benar putus asa. Hujan di luar semakin deras, dan gemuruh di langit terus terdengar. Tidak akan ada yang dapat mendengar jeritan paniknya. Akan tetapi…
Keduanya tangan Joel behrenti seketika saat satu bayangan terlihat menaungi tubuhnya. Joel merasakan kehadiran orang itu. Pria berwajah pucat itu telah berdiri di sisi mobil Joel dengan kapak berada di tangan. Air hujan bercampur dengan darah, mengotori seringai yang pria itu keluarkan. Dan detik berikutnya, kapak itu menembus kaca mobil Joel. Jeritan Joel pun tak terdengar, tertelan oleh derasnya hujan di kelamnya malam.

****

No comments:

Post a Comment