John dan Lucy sudah menghabiskan berjam-jam di dalam mobil yang
mengarah ke bagian barat Sherland. Langit sudah gelap ketika mereka masuk ke
jalur 86, sebuah jalur bebas hambatan yang akan mengantarkan keduanya lebih
cepat ke Blackwood. Mereka pikir mereka akan cepat sampai jika melalui jalur
itu. Namun, ada beberapa orang yang sudah memperingatkan keduanya untuk tidak
mengambil jalur 86, karena sebuah alasan yang sebenarnya tidak cukup
meyakinkan.
“Hati-hati!” ucap salah satu
teman John sebelum mereka berangkat. “Jalur 86 sangat berbahaya. Di
tengah-tengah hutan, dan jauh dari pom bensin. Ada satu pon bensin yang
jaraknya puluhan kilo dari jalur itu. Namun sebaiknya kau mengambil jalur
memutar. Sedikit lama, tapi aman.”
“Kami harus sampai di
Blackwood besok pagi.” Ucap John. “Melewati jalur itu adalah jalan tercepat.
Kami tidak ingin ketinggalan resepsi pernikahan teman kami.”
“Jika itu maumu, maka
seperti kataku tadi, kau harus berhati-hati. Sudah ada banyak kejadian aneh
yang terjadi di jalur itu. Kecelakaan, dan sebagainya. Mungkin hanya mitos.
Tapi bisa saja hal itu benar.”
Josh hanya mendengar sambil
lalu ucapan temanya itu. Ia dan Lucy sudah siap untuk menghadapi apapun ketika
mereka memutuskan untuk melaju di jalanan sepi jalur 86.
Seperti kata teman John,
jalur 86 adalah jalur yang sepi, dimana tidak ada mobil lain melintas. John dan
Lucy sudah berkendara selama satu jam dari gerbang masuk jalur itu. Dan yang
mereka lihat hanyalah kegelapan total yang disebabkan oleh rimbunnya kawasan
hutan yang ada di sekeliling tempat itu.
John melirik jam tangannya,
yang menunjukan pukul sepuluh malam. Dia merasa mengantuk, namun ia buka kedua
matanya lebar-lebar, dan mencoba untuk tidak tertidur. Ia tidak mungkin
berisitirahat di tengah hutan seperti itu. Dan sayanganya, Lucy tidak dapat
menyetir mobil. Hal ini membuat tubuh dan mata John nyaris hancur berantakan.
Satu hal yang tidak John
senangi hadir beberapa menit kemudian. Hujan mulai turun dengan deras, dan
sedikit mustahil untuk melihat jalur gelap itu. Namun John tetap memilih
berhati-hati dengan jalur yang sedang ia tempuh.
John menoleh ke arah Lucy
yang tertidur di sampingnya. Wanita itu baru saja bangung, dan memandang ke
sekitar. Yang dapat ia lihat tentu saja hanyalah kegelapan total dari sebuah
hutan.
Nyala lampu kuning mobil
John menembus kepekatan malam. Dan mobil itu adalah satu-satunya mobil yang
berjalan di jalur 86 itu. Untuk sesaat, John mulai memikirkan ucapan temannya
siang tadi.
“Jangan pernah berhenti!”
ucap temannya. “Kau mungkin akan selamat jika tidak berhenti di manapun di
jalur itu.”
Jujur saja, John tidak
begitu mengerti dengan ucapan temannya itu. Apa yang sebenarnya begitu
dikhawatirkan? Sejauh ini, John tidak mendapat kesulitan dalam menyetir. Dan
jalannya pun halus tanpa lubang. Jika ia memacu kendaraannya, mungkin ia akan
sampai di Blackwood saat fajar tiba.
“Dingin.” Ucal Lucy sambil
merangkul tubuhnya sendiri. Ia melirik ke arah jendela mobil, yang terkena
hempasan air hujan.
“Tidurlah lagi!” ucap John.
“Perjalanan sepertinya masih panjang.”
“Bagaimana denganmu?” tanya
Lucy mengkhawatirkan keadaan John. “Kau sudah menyetir beberapa jam, mungkin
kau lelah.”
“Ya. Lelah.” Balas John
sambil tersenyum kecil. “Tapi kita tidak bisa berhenti. Mungkin setelah
melewati hutan ini akan ada penginapan atau kedai.”
Ya. Jika saja hal itu
memungkinkan. John ragu apakah ada penginapan di tengah antah berantah ini.
Yang pasti, John memacu laju kendaraannya begitu cepat.
“Hujan ini menyebalkan.”
Gumam John. Meski begitu, ia cukup mahir mengendalikan kendaraannya.
Alunan musik dari radio
masih terdengar. Lagu-lagu rock klasik menemani malam yang terbilang dingin
itu. John kadang mengangguk-angguk menikmati alunan musiknya. Dan ia sesekali
menghidupkan lampu jarak jauhnya, untuk melihat jalur yang tertutup oleh hujan
deras.
“Menurutmu…” tanya Lucy.
“Apa yang diucapkan temannya tadi akan benar-benar terjadi? Akan ada musibah,
kecelakaan, tau semacamnya.”
“Mungkin saja.” Balas John.
“Tentunya karena fenomena alam yang biasa. Hujan deras di tengah hutan pekat,
jika aku tidak pandai mengendalikan mobil ini, mungkin kita sudah terperosok
sejak tadi.”
“Tapi aku memiliki firasat
buruk. Rasa tidak enak di perutku.”
“Tenang saja!” balas John.
“Tidak ada apa-apa.”
Waktu mungkin telah bergerak
selama tiga puluh menit sejak John mengucapkan kata-kata itu. Dan tiba-tiba
saja ia melihat ada sosok yang berdiri di tepi jalan tak jauh di depan. Cahaya
lampu mobilnya sempat menyorot pria yang berdiri di tengah hujan itu. Pria itu
melambai, mencoba menghentikan mobil John.
“Ada seseorang dalam
kesulitan.” Ucap John. “Haruskah kita berhenti?”
“Ingat kata-kata temanmu
tadi! Jangan pernah berhenti.”
“Tapi dia butuh bantuan.”
Ketika John mulai semakin
dekat dengan sosok lelaki itu, ia melihat sebuah sedan tua terparki tak jauh
darinya. Pria itu masih berdiri di bawah siraman air hujan, dan sepertinya
merasa lega ketika John menghentikan mobilnya tepat di hadapan pria itu.
“Oh! Aku beruntung.” Ucap
sosok itu. Ia melongok ke dalam kabin mobil, dan melihat adanya John dan Lucy.
“Maaf!” ucapnya. “Mobilku
tiba-tiba saja mogok, dan aku terjebak disini. Boleh aku menumpang hingga kota
kecil di ujung? Mereka akan menderek mobiku.”
John sempat ragu untuk
mempersilahkan pria itu untuk masuk, karena ia mendapatkan tatapan peringatan
dari Lucy.
“Tidak apa-apa. Kurasa dia
orang yang baik.” Bisik Lucy.
John pun akhirnya
mempersilahkan pria itu untuk masuk ke dalam kabin. Pria itu terlihat senang
dengan bantuan kecil itu.
“Maaf, bajuku basah.”
“Kau sedang sial rupanya,
kawan?” ucap John.
“Ya.” Balas pria itu. “Mobil
tua itu tiba-tiba saja mogok, dan tidak mau menyala. Kukira aku akan terjebak
semalaman di hutan ini. Untuk kalian datang.”
“Tidak banyak mobil yang
lewat jalur 86 ini.”
“Itu benar.” Balas sang pria
yang duduk di bagian belakang. “Jalur ini terkutuk, itu yang sering disebutkan
orang. Entah kenapa.”
“Siapa namamu?”
“Oh! Maaf! Aku Matt.” Ucap
pria itu memperkenalkan diri. John mengucapkan namanya dan juga Lucy.
“Aku benar-benar berterima
kasih atas hal ini.” Ucap pria itu. “Kalian datang di saat yang tepat.”
“Mungkin begitu.” Balas
John.
Mobil itu melesat kembali di
jalanan sepi jalur 86. Hutan semakin pekat, dan hujan masih belum juga
berhenti. John yang awalnya mengantuk kini terlihat bersemangat lagi karena ia
punya teman bicara.
Pria itu, Matt, menderitakan
segala hal yang ganjil berkaitan dengan jalur yang mereka tempuh itu. Ia
mengatakan bahwa sering terjadi kecelakaan, orang-orang yang menghilang, dan
tidak pernah ditemukan lagi.
“Jalur ini bukan segitiga
bermuda.” Ucap John. “Aku perlu banyak bukti untuk meyakinkan cerita itu.”
“Ini bukan main-main.” Ucap
Matt. “Semoga saja kita tidak jatuh ke dalam masalah.”
Pria bernama Matt itu
menceritakan berbagai macam keanehan yang terjadi di sekitar jalur 86 itu. John
hanya terdiam, entah percaya atau tidak. Yang pasti,karena ada Matt rasa
kantuknya menghilang. Dan yang lebih menyenangkan lagi, hujan sudah mulai reda.
John kini dapat melihat jalan di depannya dengan jelas.
“Seberapa jauh hingga kota
berikutnya?” tanya John. “Kau mengatakan ada kota di sekitar sini.”
“Mungkin bukan sebuah kota.
Hanya sekumpulan trailer, dan ada satu bengkel. Aku pernah lewat sini
sebelumnya.”
“Kau yakin mereka mau
membantu?”
“Kenapa tidak?” balas Matt.
“Oh! Dari mereka juga punya kedai kecil disana, jika kalian lapar dan butuh
beristirahat.”
John hanya
mengangguk-angguk. Jika ucapan Matt benar, maka ia akan merasa sedikit lega.
Dia memang sudah lelah menyetir sejak beberapa jam yang lalu. Tak dipungkiri
pula bahwa perutnya sudha keroncongan meminta jatah makan. Mungkin Lucy juga
merasakan hal yang sama.
Setelah beberapa menit
berkendara, John akhirnya dapat melihat sebuah cahaya neon di kejauhan. Matt
yang duduk di kursi belakang langsung mengatakan bahwa mereka sudah sampai.
“Ini tempatnya?” tanya John.
“Kau yakin? Kenapa ada tempat aneh di tengah hutan seperti ini?”
“Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan.” Ucap Matt. Kita berhenti saja, oke?”
Tidak ada pilihan lain bagi
John. Mobilnya kini masuk ke dalam sebuah kawasan perkemahan trailer yang terlihat
berantakan. Ada satu trailer dengan tulisan neon besar di body-nya, yang
bertuliskan nama kedai tersebut.
“Ini tidak benar.” Ucap Lucy
lirih. Ia menatap pada John, seolah memohon agar mereka tidak perlu mampir.
“Tidak apa-apa. Hanya
sebentar saja.”
Mobil John terparkir tepat
di depan trailer restoran itu. Ia kemudian turun bersama kedua temannya, dan
masuk ke dalam kedai yang rasanya lebih hangat daripada hawa di luar. Mereka
disambut oleh seorang wanita gemuk begitu mereka masuk.
Tak perlu waktu lama,
makanan dan minuman hangat telah tersaji di depan mereka. Mereka tidak perlu
berbicara, saat mereka melahap makanan mereka. John merasa bahwa makanan di
tempat itu tidak buruk, meski tempatnya sedikit kotor. Mungkin setelah ini ia
akan segera melanjutkan perjalanan ke Blackwood.
“Oh! Aku permisi sebentar.”
Ucap Matt seraya bangkit dari tempat duduknya. “Aku harus menemui mekanik.”
Pria itu menghilang beberapa
detik kemudian. Kini tinggal John, Lucy, dan juga wanita gemuk itu. John dan
Lucy hanya terdiam, hingga akhirnya wanita itu pergi meninggalkan konter.
“Kita harus segera keluar
dari tempat ini. Aku memiliki firasat yang buruk, John.” Ucap Lucy.
“Kenapa? Tentu saja kita
akan segera keluar. Setelah menghabiskan makanan ini.”
“Apa dia akan ikut lagi?”
“Maksudmu Matt? Kurasa
tidak.”
John menyeruput kopinya.
Rasa panas meluncur turun ke perutnya, dan membuatnya merasa hangat dan
bersemangat untuk sesaat. Ia lihat Lucy juga tengah menikmati kopinya.
John melirik jam tangannya.
Waktu sudah cukup malam. John tidak ingin menghabiskan waktu lama di tempat
itu, dan ingin segera pergi. Tapi…, ia merasakan ada keanehan detik berikutnya.
Kepala terasa begitu berat dan anggota tubuhnya sulit untuk digerakkan. Karena
apa? Ia pandang wajah Lucy. Wanita itu sepertinya juga mengalami hal yang sama.
Keduanya sama-sama pusing, dan tidak enak badan. John kemudian teriangat dengan
cangkir kopinya. Mungkin karena itu? John merasa yakin bahwa ada sesuatu yang
dimasukkan ke dalam kopinya.
“Kau!” ucapnya dengan nada
lemah saat wanita gemuk itu masuk lagi dan berdiri di belakang konter.
“Kau…” John tidak dapat
mengontrol suaranya. “Apa yang kau masukkkan…”
John melihat dengan jelas
saat tubuh Lucy ambruk ke atas lantai. John ingin membantu, namun tubuhnya
sendiri tidak dapat dikontrol. Hingga pada akhirnya…, ia pun terjatuh dan tak
sadarkan diri.
**
Kepala John rasanya berputar
dengan begitu cepat. Darah seolah mengumpul di kepalanya, membuatnya pusing dan
tidak dapat berpikir jernih mengenai apa yang baru saja terjadi. Detik berikutnya,
ketika ia dapat membuka matanya, ia telah terbangun di dalam sebuah ruangan
yang penuh barang rongsokkan. Parahnya lagi, ia dalam keadaan terikat di sebuah
kursi kayu.
Cahaya dari bola lampu
kuning itu menyilaukan kedua matanya. Setelah ia pikir-pikir, mungkin ia
pingsan karena apa yang ia minum. Ya. Kopi itu. Seseroang telah memberikan obat
tidur atau semacamnya ke dalam kopi yang ia minum.
Otot-otot di tubuh John
menegang seketika saat ia teringat dengan Lucy. Apa yang terjadi dengan wanita
yang ia cintai itu? John mengerang, berteriak, mencoba untuk menggerakkan
setiap inci dari tubuhnya untuk dapat bebas, namun rasanya mustahil. Apa yang
sebenarnya tengah terjadi? Kini ia dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa
kawsan trailer di tengah antah berantah ini memang aneh dan tidak wajar.
“TOLONG AKU!!!” teriak John.
Suaranya berkumandang, namun tidak ada balasan. Derik suara jangkrik terdengar
di kelamnya suasana. Selain itu, suara rintik hujan masih terdengar dengan
begitu jelas di luar ruangan yang ia tempati.
“LUCY!! MATT!!”
John menghentikan gerakannya
seketika saat lampu di ruangan itu berkedip, seolah menanadakan akan datangnya
bahaya. Dan benar saja. John mendengar langkah-langkah berat bergerak mendekati
ruangan itu, dan ia juga mendengar suara beso yang di seret di tanah. Apa yang
akan terjadi?
Keringat John keluar begitu
cepat, meski udara sedang dingin-dinginnya. Ini tidak wajar. Rasa ketakutan
John mulai melumpuhkan setiap saraf yang ada pada tubuhnya. John mencoba
menggerakkan lengannya yang terikat erat dengan tali, namun usahanya itu
sia-sia saja.
Jantung John melompat
seketika saat pintu ruangan itu digedor dari luar. Detik berikutnya, pintu itu
terhempas terbuka, dan menampilkan satu sosok aneh yang membuat John nyaris
pingsan.
Sesosok pria gemuk setinggi
dua meter berdiri di depannya. Pria itu terlihat begitu besar bila dibandingkan
dengan tubuh John. Pria itu memakai pakaian lusuh, sebuah apron putih yang
dipenuhi dengan noda darah, dan anehnya, ada semacam topeng kulit yang menutupi
wajah pria itu. Di tangannya terdapat sebuah tangkai kayu panjang, dimana
sebilah kapak berada di ujungnya. Dari apa yang terlihat pada permukaan kapak
itu, pria itu mungkin baru saja menebas daging hewan. Mungkin hewan…., atau hal
lain yang tidak ingin John bayangkan.
“Kumohon!!” ucap John dengan
nada bergetar. Ia masih mencoba bebas dari kursi itu, namun sia-sia.
Pria besar itu hanya
menggeram sambil memainkan kapak yang terseret di lantai. John tidak tahu apa
yang tengah pria besar itu pikirkan. Mungkin kapak itu akan menembus tubuhnya
dalam beberapa detik? John benar-benar sudah pasrah dengan keadaan yang ia
alami.
“Kumohon!!” teriaknya lagi.
“Jangan lakukan!”
Pria itu menggeram, dan
mulai mengangkat kapaknya. Cahaya dari lampu menerpa pada permukaan kapak yang
licin, dengan noda darah itu. John mungkin sudah ada di ambang kematian. Tapi…
“Tolong!!”
Suara teriakan permintaan
tolong itu terdengar dari arah luar, bercampur dengan suara rintik hujan. Pria
besar itu menghentikan aksinya, menolen, dan sepertinya lupa sejenak dengan
keadaan John. Kapak itu turun lagi, dan pria besar itu memutar tubuhnya.
“Tidak! Tidak!” teriak John.
Jika teriakan wanita itu adalah Lucy, maka akan ada kemungkinan ia akan
dihabisi oleh pria berkapak itu. John tidak mau hal itu terjadi. Jika ada yang
harus mati, mungkin hanya dirinya.
“Kemarik keparat!!”
teriaknya mencoba memprovokasi pria besar itu. Namun usahanya sia-sia. Pria
besar itu keluar dari ruangan, mungkin mencoba untuk menemukan wanita itu.
“Sialan!!” umpat John.
Dengan keras ia menggerakkan setiap inci dari bagian tubuhnya yang dapat ia
gerakkan. Pergelangan tangannya mungkin sudah berdarah karena terus bergesekan
dengan tali tua yang mengikat erat itu.
“Ayolah! John, kau harus
keluar dari sini!” ucap John pada dirinya sendiri.
Apakah ia masih memiliki
keyakinan bahwa ia akan keluar? Apakah masih ada jalan yang akan terbuka dalam
keadaan yang ganjil ini? Jika saja John bukan orang beriman, mungkin ia akan
menyerah. Namun ia tahu bahwa setiap usaha pasti ada hasil yang akan di dapat.
Meski John akui, kini ia sedikit ragu dengan hal itu.
John menghentikan gerakannya
seketika saat iamendengar suara bergemerisik di luar ruangan, diserati dengan
suara langkah-langkah cepat. Apakah pria besar itu lagi? Bukan. Sepertinya ada
orang lain yang akan memperkenalkan dirinya pada John.
John menunggu dalam rasa
panik yang tidak biasa. Mungkin kali ini ia akan benar-benar mati. John mulai
memikirkan kembali apa yang iducapkan oleh teman-temannya mengenai jalur 86.
Ya. Jalur terkutuk ini telah merenggut harapan John untuk bisa sampai ke
Blackwood.
Pintu kayu itu bergetar saat
seseorang mencoba mendobraknya. John menatap pintu itu dengan mata nanar, dan
seketika…
Pintu itu terbanting,
terbuka lebar, dan menampilkan sesosok pria yang terlihat begitu kacau dengan
pakaian yang sobek disana-sini dan penuh dengan lumpur juga darah. Wajah pria
itu mengarah pada John, dengan tatapan tak percaya.
“Matt!” seru John seketika.
Matt langsung menghampiri John dan membantunya membuka semua ikatakan yang ada
di tubuhnya. Dalam beberapa detik, John telah terbebas dari semua ikatan
menyakitkan, yang memberikan bekas luka pada pergelangan tangannya.
“Matt! Ini buruk. Tempat
ini…”
“Aku tahu.” Potong Matt
dengan nada tergesa. “Kita ahrus segera pergi dari sini, John. Tempat ini
terkutuk. Kau tidak akan percaya dengan apa yang kulihat. Kepala terpenggal,
kerangka manusia, daging-daging itu, di dapur… pria besar…”
“Tempat apa ini sebenarnya?”
“Kita tidak akan pernah
tahu.” Balas Matt. “Yang jelas, kita akan mati jika terus berada disini.”
John mengusap wajahnya. Ia
sadari bahwa wajahnya telah basah sepenuhnya dengan keringat yang tidak ia
sadari keluar dengan sendirianya.
“Aku melihat ada satu mobil
yang bisa kita tumpangi.”
“Mobilku?”
“Mereka menghancurkannya.”
“Mereka, siapa?”
“Orang-orang gila penghuni
tempat ini!” ucap Matt. “Mereka gila, John. Mereka kanibal!”
Matt bergerak ke segala
tempat di dalam ruangan kecil itu, mencoba mencari satu benda yang mungkin
dapat ia gunakan untuk senjata. Dan ia menemukan sebuah pipa besi dan sebuah
kunci ledeng. Matt meneyrahkan kunci itu pada John.
“Kita harus pergi,
sekarang!”
“Tidak!”
“Apa?!”
“Aku harus menemukan Lucy.”
Ucap John. “Aku mendengarnya berteriak, mungkin dia…, sial! Pria besar itu.”
John dan Matt segera berlari
keluar dari ruangan kecil itu, dan basah kembali oleh air hujan yang terus
mengguyur. Keadaan gelap hutan sekitar membuat keduanya nyaris tidak dapat
menemukan arah yang benar.
“Dengar itu!” bisik Matt.
John mendengarnya dengan
jelas. Suara-suara dari begitu banyak orang yang slaing bersahutan, meneriakkan
kata-kata yang aneh dan janggal. Dan John merasa bahwa keadaannya semakin
buruk.
“Lari!”
Lumpur dan licinnya jalan
membuat keduanya nyaris tidak dapat menahan diri mereka. Mereka terpeleset,
tergelincir, dan tersandung. Luka-luka tidak lagi mereka rasakan. Mungkin jika
tidak begitu, mereka tidak akan bisa lari.
“LUCY!!” teriak John ketika
melihat sosok wanita itu berlari dari arah berlawanan. Lucy berteriak, berlari
menghampiri John. Akan tetapi, di belakang wanita itu munculah sosok si pria
besar. dan tanpa di duga, sebuah kapak melayang seketika. Berputar di udara,
lalu dengan begitu keras membelah kepala wanita itu hingga hancur.
John nyaris pingsan. Ia
tidak sadar betapa keras ia berteriak saat melihat tubuh wanita yang ia cintai
itu jatuh terkapar dengan kepala menganga, dan darah mengucur, bercampur dengan
air hujan dan lumpur.
“John! Cepat! Tidak ada yang
bisa kita lakukan.”
John berlari bersama Matt,
tanpa tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Air mata keluar begitu saja,
bercampur dengan keringat dan air hujan. John serasa kehilangan kekuatan untuk
bertahan hidup. Tanpa Lucy, apa yang akan ia lakukan?
“Itu mobilnya!” teriak Matt
sambil menunjuk pada sebuah sedan biru yang terparki di bawah pohon. Keduanya
dengan cepat bergerak masuk, tepat ketika segerombolan orang keluar dari area
gelap hutan. Orang-orang itu mengacungkan senjata yang ada di tangan mereka.
Pisau, kapak, dan segala macam hal yang cukup mengerikan.
“Ayolah!!” teriak Matt kesal
saat mobil itu tidakmau menyala, sementara gerombolan orang itu bergerak
semakin dekat dengan teriakan-teriakan kemarahan mereka.
“Cepat!” teriak John.
“Matt!”
“Mobil sialan! Tidak mau
menyala!”
Mereka terlambat. Gerombolan
itu kini sepenuhnya telah mengepung mobil. Satu kapak melayang lagi, memecahkan
kaca jendela mobil. John dan Matt kini diteraik keluar dari mobil, dan dipukul
dengan senjata yang mereka bawa.
John tidak lagi merasakan
rasa sakit saat ia sudah mulai tidak peduli lagi apakah ia ahrus hidup atau mati.
Matt berteriak nyaring saat sebuah pisau menembus perutnya. John tidak sanggup
lagi untuk melihat apa yang terjadi.
John nyaris kehilangan
kesadarannya saat ia seperti mendengar sebuah suara. Suara seorang wanita, yang
terdengar begitu dengan dengan telinganya. John tahu siapa wanita itu. Lucy.
“Jangan menyerah! Pergi dari
sini!”
Ucapan itu memang aneh dan
tidak tahu dari mana asalnya. John seketika mendapatkan sebuah kekuatan baru.
Ia meronta melepaskan diri, lalu merebut salah satu pisau daging dari gerombolan
itu. Ia tebaskan pisau itu secara membabi buta, dan ia berhasil terlepas dari
cengekeraman seorang pria.
Teriakan kemarahan dari
gerombolan itu semaki terdengar nyaring di tengah kelamnya malam. John berlari
sekuat tenaga, masuk ke dalam hutan yang gelap. Dengan satu pemikiran, bahwa ia
harus hidup untuk dapat menceritakan apa yang sudah terjadi. Tempat terkutuk
itu harus dimusnahkan. Tapi apakah John akan semudah itu keluar dari jalur 86?
**
John mencoba untuk terus
berlari. Namun otot-otot kakinya ia rasa seperti terbakar. John tidak mungkin
lagi melangkahkan kakinya yang rasanya hancur berantakan itu. Ketika ia memutar
kepalanya, tidak ada lagi yang dapat ia lihat di belakangnya selain kepekatan
hutan itu. Ia telah bergerak begitu jauh dari kamp trailer penuh dengan kanibal
itu. Ia tidak mengira bahwa hingga detik ini jantungnya masih berdetak.
John menyandarkan tubuhnya
pada sebuah btang besar yang basah oleh air hujan. Ia menatap ke langit, murka,
bila mengingat apa yang baru saja terjadi. Ia harus kehilangan Lucy, dan juga
Matt. Sebuah pukulan telak bagi kehidupan John sejauh ini. Namun ia masih
bersyukur karena ia masih bisa bernafas.
John mengerjapkan matanya,
saat ia melihat satu kilasan cahaya di kejauhan. Beberapa detik kemudian ia sadari
bahwa ia berada dekat dengan jalan aspal, dan baru saja melihat sebuah mobil
melintas. John menggerakkan lagi kakinya tanpa berpikir. Meski ia sering
terpeleset oleh lumpur dan tersandung akar pohon, ia terus bergerak maju.
Bertahan hidup untuk menceritakan kisah mengerikan itu adalah tujuan John
selanjutnya.
John merangkak, hingga
akhirnya ia dapat melompati pagar pembatas jalan, dan jatuh seketika ke aspal
yang dingin. John terkekeh sendiri. Terpukau dengan aksi pelariannya yang
nyaris mustahil itu. Ia bangkit berdiri, lalu bergerak menyusuri jalan aspal
itu tanpa tahu kemana. Ia hanya akan menunggu datangnya mobil.
Hujan akhirnya berhenti.
Kini John dapat melihat bagaimana rupa tubuh dan wajahnya, yang penuh dengan
luka dan lumpur. Ia tidak peduli lagi. Ia memutar mengangkat kepalanya saat ia
lihat ada dua cahaya kuning mendekati posisinya. Dengan spontan, John
mengangkat kedua lengannya dan melambai pada mobil itu.
John merasa semakin
beruntung saat ia melihat mobil putih itu dilengkapi dengan lampu di atas
atapnya. Mobil polisi. Sebuah keberuntungan yang tidak ia harapkan. Mobil itu
akhirnya berhenti, dan seorang polisi dalam seragam tugasnya keluar menghampiri
John.
“Apa yang terjadi? Kau tidak
apa-apa?” tanya polisi itu. John mencoba mengatur nafasnya, dan mulai
mengeluarkan kata-kata secara berlebihan yang bahkan tidak dapat dimengerti.
“Tenangkan dirimu! Ceritakan
apa yang terjadi!”
“Mereka!” ucap John.
“Orang-orang yang ada di kamp trailer, semuanya kanibal! Mereka membunuh dua
temanku! Tolong aku!”
“Kau aman bersamaku.” Ucap
polisi itu. “Masuklah ke mobil.”
John tersenyum senang. Ia
pada akhirnya akan mengakhiri mimpi buruk malam itu. Ia digiring oleh polisi
mendekati mobil, dan masuk ke kabin bagian belakang. Namun John harus
mengernyitkan dahinya saat tangannya tiba-tiba saha diborgol pada kisi besi
yang membatasi kabin depan dan belakang. John mengarahkan tatapan penuh
tanyanya pada polisi itu.
John tidak dapat mempercayai
apa yang ia lihat. Polisi itu menyeringai ke arahnya, dengan tatapan licik yang
mengerikan. Sedetik kemudian, bibir polisi itu terbuka, lalu mengucapkan,
“Kanibal?” ucapnya sambil
terkekeh. “Mereka teman-temanku.”
****
No comments:
Post a Comment