Thursday, June 16, 2016

ROUTE 86



John dan Lucy sudah menghabiskan berjam-jam di dalam mobil yang mengarah ke bagian barat Sherland. Langit sudah gelap ketika mereka masuk ke jalur 86, sebuah jalur bebas hambatan yang akan mengantarkan keduanya lebih cepat ke Blackwood. Mereka pikir mereka akan cepat sampai jika melalui jalur itu. Namun, ada beberapa orang yang sudah memperingatkan keduanya untuk tidak mengambil jalur 86, karena sebuah alasan yang sebenarnya tidak cukup meyakinkan.
“Hati-hati!” ucap salah satu teman John sebelum mereka berangkat. “Jalur 86 sangat berbahaya. Di tengah-tengah hutan, dan jauh dari pom bensin. Ada satu pon bensin yang jaraknya puluhan kilo dari jalur itu. Namun sebaiknya kau mengambil jalur memutar. Sedikit lama, tapi aman.”
“Kami harus sampai di Blackwood besok pagi.” Ucap John. “Melewati jalur itu adalah jalan tercepat. Kami tidak ingin ketinggalan resepsi pernikahan teman kami.”
“Jika itu maumu, maka seperti kataku tadi, kau harus berhati-hati. Sudah ada banyak kejadian aneh yang terjadi di jalur itu. Kecelakaan, dan sebagainya. Mungkin hanya mitos. Tapi bisa saja hal itu benar.”
Josh hanya mendengar sambil lalu ucapan temanya itu. Ia dan Lucy sudah siap untuk menghadapi apapun ketika mereka memutuskan untuk melaju di jalanan sepi jalur 86.
Seperti kata teman John, jalur 86 adalah jalur yang sepi, dimana tidak ada mobil lain melintas. John dan Lucy sudah berkendara selama satu jam dari gerbang masuk jalur itu. Dan yang mereka lihat hanyalah kegelapan total yang disebabkan oleh rimbunnya kawasan hutan yang ada di sekeliling tempat itu.
John melirik jam tangannya, yang menunjukan pukul sepuluh malam. Dia merasa mengantuk, namun ia buka kedua matanya lebar-lebar, dan mencoba untuk tidak tertidur. Ia tidak mungkin berisitirahat di tengah hutan seperti itu. Dan sayanganya, Lucy tidak dapat menyetir mobil. Hal ini membuat tubuh dan mata John nyaris hancur berantakan.
Satu hal yang tidak John senangi hadir beberapa menit kemudian. Hujan mulai turun dengan deras, dan sedikit mustahil untuk melihat jalur gelap itu. Namun John tetap memilih berhati-hati dengan jalur yang sedang ia tempuh.
John menoleh ke arah Lucy yang tertidur di sampingnya. Wanita itu baru saja bangung, dan memandang ke sekitar. Yang dapat ia lihat tentu saja hanyalah kegelapan total dari sebuah hutan.
Nyala lampu kuning mobil John menembus kepekatan malam. Dan mobil itu adalah satu-satunya mobil yang berjalan di jalur 86 itu. Untuk sesaat, John mulai memikirkan ucapan temannya siang tadi.
“Jangan pernah berhenti!” ucap temannya. “Kau mungkin akan selamat jika tidak berhenti di manapun di jalur itu.”
Jujur saja, John tidak begitu mengerti dengan ucapan temannya itu. Apa yang sebenarnya begitu dikhawatirkan? Sejauh ini, John tidak mendapat kesulitan dalam menyetir. Dan jalannya pun halus tanpa lubang. Jika ia memacu kendaraannya, mungkin ia akan sampai di Blackwood saat fajar tiba.
“Dingin.” Ucal Lucy sambil merangkul tubuhnya sendiri. Ia melirik ke arah jendela mobil, yang terkena hempasan air hujan.
“Tidurlah lagi!” ucap John. “Perjalanan sepertinya masih panjang.”
“Bagaimana denganmu?” tanya Lucy mengkhawatirkan keadaan John. “Kau sudah menyetir beberapa jam, mungkin kau lelah.”
“Ya. Lelah.” Balas John sambil tersenyum kecil. “Tapi kita tidak bisa berhenti. Mungkin setelah melewati hutan ini akan ada penginapan atau kedai.”
Ya. Jika saja hal itu memungkinkan. John ragu apakah ada penginapan di tengah antah berantah ini. Yang pasti, John memacu laju kendaraannya begitu cepat.
“Hujan ini menyebalkan.” Gumam John. Meski begitu, ia cukup mahir mengendalikan kendaraannya.
Alunan musik dari radio masih terdengar. Lagu-lagu rock klasik menemani malam yang terbilang dingin itu. John kadang mengangguk-angguk menikmati alunan musiknya. Dan ia sesekali menghidupkan lampu jarak jauhnya, untuk melihat jalur yang tertutup oleh hujan deras.
“Menurutmu…” tanya Lucy. “Apa yang diucapkan temannya tadi akan benar-benar terjadi? Akan ada musibah, kecelakaan, tau semacamnya.”
“Mungkin saja.” Balas John. “Tentunya karena fenomena alam yang biasa. Hujan deras di tengah hutan pekat, jika aku tidak pandai mengendalikan mobil ini, mungkin kita sudah terperosok sejak tadi.”
“Tapi aku memiliki firasat buruk. Rasa tidak enak di perutku.”
“Tenang saja!” balas John. “Tidak ada apa-apa.”
Waktu mungkin telah bergerak selama tiga puluh menit sejak John mengucapkan kata-kata itu. Dan tiba-tiba saja ia melihat ada sosok yang berdiri di tepi jalan tak jauh di depan. Cahaya lampu mobilnya sempat menyorot pria yang berdiri di tengah hujan itu. Pria itu melambai, mencoba menghentikan mobil John.
“Ada seseorang dalam kesulitan.” Ucap John. “Haruskah kita berhenti?”
“Ingat kata-kata temanmu tadi! Jangan pernah berhenti.”
“Tapi dia butuh bantuan.”
Ketika John mulai semakin dekat dengan sosok lelaki itu, ia melihat sebuah sedan tua terparki tak jauh darinya. Pria itu masih berdiri di bawah siraman air hujan, dan sepertinya merasa lega ketika John menghentikan mobilnya tepat di hadapan pria itu.
“Oh! Aku beruntung.” Ucap sosok itu. Ia melongok ke dalam kabin mobil, dan melihat adanya John dan Lucy.
“Maaf!” ucapnya. “Mobilku tiba-tiba saja mogok, dan aku terjebak disini. Boleh aku menumpang hingga kota kecil di ujung? Mereka akan menderek mobiku.”
John sempat ragu untuk mempersilahkan pria itu untuk masuk, karena ia mendapatkan tatapan peringatan dari Lucy.
“Tidak apa-apa. Kurasa dia orang yang baik.” Bisik Lucy.
John pun akhirnya mempersilahkan pria itu untuk masuk ke dalam kabin. Pria itu terlihat senang dengan bantuan kecil itu.
“Maaf, bajuku basah.”
“Kau sedang sial rupanya, kawan?” ucap John.
“Ya.” Balas pria itu. “Mobil tua itu tiba-tiba saja mogok, dan tidak mau menyala. Kukira aku akan terjebak semalaman di hutan ini. Untuk kalian datang.”
“Tidak banyak mobil yang lewat jalur 86 ini.”
“Itu benar.” Balas sang pria yang duduk di bagian belakang. “Jalur ini terkutuk, itu yang sering disebutkan orang. Entah kenapa.”
“Siapa namamu?”
“Oh! Maaf! Aku Matt.” Ucap pria itu memperkenalkan diri. John mengucapkan namanya dan juga Lucy.
“Aku benar-benar berterima kasih atas hal ini.” Ucap pria itu. “Kalian datang di saat yang tepat.”
“Mungkin begitu.” Balas John.
Mobil itu melesat kembali di jalanan sepi jalur 86. Hutan semakin pekat, dan hujan masih belum juga berhenti. John yang awalnya mengantuk kini terlihat bersemangat lagi karena ia punya teman bicara.
Pria itu, Matt, menderitakan segala hal yang ganjil berkaitan dengan jalur yang mereka tempuh itu. Ia mengatakan bahwa sering terjadi kecelakaan, orang-orang yang menghilang, dan tidak pernah ditemukan lagi.
“Jalur ini bukan segitiga bermuda.” Ucap John. “Aku perlu banyak bukti untuk meyakinkan cerita itu.”
“Ini bukan main-main.” Ucap Matt. “Semoga saja kita tidak jatuh ke dalam masalah.”
Pria bernama Matt itu menceritakan berbagai macam keanehan yang terjadi di sekitar jalur 86 itu. John hanya terdiam, entah percaya atau tidak. Yang pasti,karena ada Matt rasa kantuknya menghilang. Dan yang lebih menyenangkan lagi, hujan sudah mulai reda. John kini dapat melihat jalan di depannya dengan jelas.
“Seberapa jauh hingga kota berikutnya?” tanya John. “Kau mengatakan ada kota di sekitar sini.”
“Mungkin bukan sebuah kota. Hanya sekumpulan trailer, dan ada satu bengkel. Aku pernah lewat sini sebelumnya.”
“Kau yakin mereka mau membantu?”
“Kenapa tidak?” balas Matt. “Oh! Dari mereka juga punya kedai kecil disana, jika kalian lapar dan butuh beristirahat.”
John hanya mengangguk-angguk. Jika ucapan Matt benar, maka ia akan merasa sedikit lega. Dia memang sudah lelah menyetir sejak beberapa jam yang lalu. Tak dipungkiri pula bahwa perutnya sudha keroncongan meminta jatah makan. Mungkin Lucy juga merasakan hal yang sama.
Setelah beberapa menit berkendara, John akhirnya dapat melihat sebuah cahaya neon di kejauhan. Matt yang duduk di kursi belakang langsung mengatakan bahwa mereka sudah sampai.
“Ini tempatnya?” tanya John. “Kau yakin? Kenapa ada tempat aneh di tengah hutan seperti ini?”
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Ucap Matt. Kita berhenti saja, oke?”
Tidak ada pilihan lain bagi John. Mobilnya kini masuk ke dalam sebuah kawasan perkemahan trailer yang terlihat berantakan. Ada satu trailer dengan tulisan neon besar di body-nya, yang bertuliskan nama kedai tersebut.
“Ini tidak benar.” Ucap Lucy lirih. Ia menatap pada John, seolah memohon agar mereka tidak perlu mampir.
“Tidak apa-apa. Hanya sebentar saja.”
Mobil John terparkir tepat di depan trailer restoran itu. Ia kemudian turun bersama kedua temannya, dan masuk ke dalam kedai yang rasanya lebih hangat daripada hawa di luar. Mereka disambut oleh seorang wanita gemuk begitu mereka masuk.
Tak perlu waktu lama, makanan dan minuman hangat telah tersaji di depan mereka. Mereka tidak perlu berbicara, saat mereka melahap makanan mereka. John merasa bahwa makanan di tempat itu tidak buruk, meski tempatnya sedikit kotor. Mungkin setelah ini ia akan segera melanjutkan perjalanan ke Blackwood.
“Oh! Aku permisi sebentar.” Ucap Matt seraya bangkit dari tempat duduknya. “Aku harus menemui mekanik.”
Pria itu menghilang beberapa detik kemudian. Kini tinggal John, Lucy, dan juga wanita gemuk itu. John dan Lucy hanya terdiam, hingga akhirnya wanita itu pergi meninggalkan konter.
“Kita harus segera keluar dari tempat ini. Aku memiliki firasat yang buruk, John.” Ucap Lucy.
“Kenapa? Tentu saja kita akan segera keluar. Setelah menghabiskan makanan ini.”
“Apa dia akan ikut lagi?”
“Maksudmu Matt? Kurasa tidak.”
John menyeruput kopinya. Rasa panas meluncur turun ke perutnya, dan membuatnya merasa hangat dan bersemangat untuk sesaat. Ia lihat Lucy juga tengah menikmati kopinya.
John melirik jam tangannya. Waktu sudah cukup malam. John tidak ingin menghabiskan waktu lama di tempat itu, dan ingin segera pergi. Tapi…, ia merasakan ada keanehan detik berikutnya. Kepala terasa begitu berat dan anggota tubuhnya sulit untuk digerakkan. Karena apa? Ia pandang wajah Lucy. Wanita itu sepertinya juga mengalami hal yang sama. Keduanya sama-sama pusing, dan tidak enak badan. John kemudian teriangat dengan cangkir kopinya. Mungkin karena itu? John merasa yakin bahwa ada sesuatu yang dimasukkan ke dalam kopinya.
“Kau!” ucapnya dengan nada lemah saat wanita gemuk itu masuk lagi dan berdiri di belakang konter.
“Kau…” John tidak dapat mengontrol suaranya. “Apa yang kau masukkkan…”
John melihat dengan jelas saat tubuh Lucy ambruk ke atas lantai. John ingin membantu, namun tubuhnya sendiri tidak dapat dikontrol. Hingga pada akhirnya…, ia pun terjatuh dan tak sadarkan diri.

**

Kepala John rasanya berputar dengan begitu cepat. Darah seolah mengumpul di kepalanya, membuatnya pusing dan tidak dapat berpikir jernih mengenai apa yang baru saja terjadi. Detik berikutnya, ketika ia dapat membuka matanya, ia telah terbangun di dalam sebuah ruangan yang penuh barang rongsokkan. Parahnya lagi, ia dalam keadaan terikat di sebuah kursi kayu.
Cahaya dari bola lampu kuning itu menyilaukan kedua matanya. Setelah ia pikir-pikir, mungkin ia pingsan karena apa yang ia minum. Ya. Kopi itu. Seseroang telah memberikan obat tidur atau semacamnya ke dalam kopi yang ia minum.
Otot-otot di tubuh John menegang seketika saat ia teringat dengan Lucy. Apa yang terjadi dengan wanita yang ia cintai itu? John mengerang, berteriak, mencoba untuk menggerakkan setiap inci dari tubuhnya untuk dapat bebas, namun rasanya mustahil. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Kini ia dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa kawsan trailer di tengah antah berantah ini memang aneh dan tidak wajar.
“TOLONG AKU!!!” teriak John. Suaranya berkumandang, namun tidak ada balasan. Derik suara jangkrik terdengar di kelamnya suasana. Selain itu, suara rintik hujan masih terdengar dengan begitu jelas di luar ruangan yang ia tempati.
“LUCY!! MATT!!”
John menghentikan gerakannya seketika saat lampu di ruangan itu berkedip, seolah menanadakan akan datangnya bahaya. Dan benar saja. John mendengar langkah-langkah berat bergerak mendekati ruangan itu, dan ia juga mendengar suara beso yang di seret di tanah. Apa yang akan terjadi?
Keringat John keluar begitu cepat, meski udara sedang dingin-dinginnya. Ini tidak wajar. Rasa ketakutan John mulai melumpuhkan setiap saraf yang ada pada tubuhnya. John mencoba menggerakkan lengannya yang terikat erat dengan tali, namun usahanya itu sia-sia saja.
Jantung John melompat seketika saat pintu ruangan itu digedor dari luar. Detik berikutnya, pintu itu terhempas terbuka, dan menampilkan satu sosok aneh yang membuat John nyaris pingsan.
Sesosok pria gemuk setinggi dua meter berdiri di depannya. Pria itu terlihat begitu besar bila dibandingkan dengan tubuh John. Pria itu memakai pakaian lusuh, sebuah apron putih yang dipenuhi dengan noda darah, dan anehnya, ada semacam topeng kulit yang menutupi wajah pria itu. Di tangannya terdapat sebuah tangkai kayu panjang, dimana sebilah kapak berada di ujungnya. Dari apa yang terlihat pada permukaan kapak itu, pria itu mungkin baru saja menebas daging hewan. Mungkin hewan…., atau hal lain yang tidak ingin John bayangkan.
“Kumohon!!” ucap John dengan nada bergetar. Ia masih mencoba bebas dari kursi itu, namun sia-sia.
Pria besar itu hanya menggeram sambil memainkan kapak yang terseret di lantai. John tidak tahu apa yang tengah pria besar itu pikirkan. Mungkin kapak itu akan menembus tubuhnya dalam beberapa detik? John benar-benar sudah pasrah dengan keadaan yang ia alami.
“Kumohon!!” teriaknya lagi. “Jangan lakukan!”
Pria itu menggeram, dan mulai mengangkat kapaknya. Cahaya dari lampu menerpa pada permukaan kapak yang licin, dengan noda darah itu. John mungkin sudah ada di ambang kematian. Tapi…
“Tolong!!”
Suara teriakan permintaan tolong itu terdengar dari arah luar, bercampur dengan suara rintik hujan. Pria besar itu menghentikan aksinya, menolen, dan sepertinya lupa sejenak dengan keadaan John. Kapak itu turun lagi, dan pria besar itu memutar tubuhnya.
“Tidak! Tidak!” teriak John. Jika teriakan wanita itu adalah Lucy, maka akan ada kemungkinan ia akan dihabisi oleh pria berkapak itu. John tidak mau hal itu terjadi. Jika ada yang harus mati, mungkin hanya dirinya.
“Kemarik keparat!!” teriaknya mencoba memprovokasi pria besar itu. Namun usahanya sia-sia. Pria besar itu keluar dari ruangan, mungkin mencoba untuk menemukan wanita itu.
“Sialan!!” umpat John. Dengan keras ia menggerakkan setiap inci dari bagian tubuhnya yang dapat ia gerakkan. Pergelangan tangannya mungkin sudah berdarah karena terus bergesekan dengan tali tua yang mengikat erat itu.
“Ayolah! John, kau harus keluar dari sini!” ucap John pada dirinya sendiri.
Apakah ia masih memiliki keyakinan bahwa ia akan keluar? Apakah masih ada jalan yang akan terbuka dalam keadaan yang ganjil ini? Jika saja John bukan orang beriman, mungkin ia akan menyerah. Namun ia tahu bahwa setiap usaha pasti ada hasil yang akan di dapat. Meski John akui, kini ia sedikit ragu dengan hal itu.
John menghentikan gerakannya seketika saat iamendengar suara bergemerisik di luar ruangan, diserati dengan suara langkah-langkah cepat. Apakah pria besar itu lagi? Bukan. Sepertinya ada orang lain yang akan memperkenalkan dirinya pada John.
John menunggu dalam rasa panik yang tidak biasa. Mungkin kali ini ia akan benar-benar mati. John mulai memikirkan kembali apa yang iducapkan oleh teman-temannya mengenai jalur 86. Ya. Jalur terkutuk ini telah merenggut harapan John untuk bisa sampai ke Blackwood.
Pintu kayu itu bergetar saat seseorang mencoba mendobraknya. John menatap pintu itu dengan mata nanar, dan seketika…
Pintu itu terbanting, terbuka lebar, dan menampilkan sesosok pria yang terlihat begitu kacau dengan pakaian yang sobek disana-sini dan penuh dengan lumpur juga darah. Wajah pria itu mengarah pada John, dengan tatapan tak percaya.
“Matt!” seru John seketika. Matt langsung menghampiri John dan membantunya membuka semua ikatakan yang ada di tubuhnya. Dalam beberapa detik, John telah terbebas dari semua ikatan menyakitkan, yang memberikan bekas luka pada pergelangan tangannya.
“Matt! Ini buruk. Tempat ini…”
“Aku tahu.” Potong Matt dengan nada tergesa. “Kita ahrus segera pergi dari sini, John. Tempat ini terkutuk. Kau tidak akan percaya dengan apa yang kulihat. Kepala terpenggal, kerangka manusia, daging-daging itu, di dapur… pria besar…”
“Tempat apa ini sebenarnya?”
“Kita tidak akan pernah tahu.” Balas Matt. “Yang jelas, kita akan mati jika terus berada disini.”
John mengusap wajahnya. Ia sadari bahwa wajahnya telah basah sepenuhnya dengan keringat yang tidak ia sadari keluar dengan sendirianya.
“Aku melihat ada satu mobil yang bisa kita tumpangi.”
“Mobilku?”
“Mereka menghancurkannya.”
“Mereka, siapa?”
“Orang-orang gila penghuni tempat ini!” ucap Matt. “Mereka gila, John. Mereka kanibal!”
Matt bergerak ke segala tempat di dalam ruangan kecil itu, mencoba mencari satu benda yang mungkin dapat ia gunakan untuk senjata. Dan ia menemukan sebuah pipa besi dan sebuah kunci ledeng. Matt meneyrahkan kunci itu pada John.
“Kita harus pergi, sekarang!”
“Tidak!”
“Apa?!”
“Aku harus menemukan Lucy.” Ucap John. “Aku mendengarnya berteriak, mungkin dia…, sial! Pria besar itu.”
John dan Matt segera berlari keluar dari ruangan kecil itu, dan basah kembali oleh air hujan yang terus mengguyur. Keadaan gelap hutan sekitar membuat keduanya nyaris tidak dapat menemukan arah yang benar.
“Dengar itu!” bisik Matt.
John mendengarnya dengan jelas. Suara-suara dari begitu banyak orang yang slaing bersahutan, meneriakkan kata-kata yang aneh dan janggal. Dan John merasa bahwa keadaannya semakin buruk.
“Lari!”
Lumpur dan licinnya jalan membuat keduanya nyaris tidak dapat menahan diri mereka. Mereka terpeleset, tergelincir, dan tersandung. Luka-luka tidak lagi mereka rasakan. Mungkin jika tidak begitu, mereka tidak akan bisa lari.
“LUCY!!” teriak John ketika melihat sosok wanita itu berlari dari arah berlawanan. Lucy berteriak, berlari menghampiri John. Akan tetapi, di belakang wanita itu munculah sosok si pria besar. dan tanpa di duga, sebuah kapak melayang seketika. Berputar di udara, lalu dengan begitu keras membelah kepala wanita itu hingga hancur.
John nyaris pingsan. Ia tidak sadar betapa keras ia berteriak saat melihat tubuh wanita yang ia cintai itu jatuh terkapar dengan kepala menganga, dan darah mengucur, bercampur dengan air hujan dan lumpur.
“John! Cepat! Tidak ada yang bisa kita lakukan.”
John berlari bersama Matt, tanpa tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Air mata keluar begitu saja, bercampur dengan keringat dan air hujan. John serasa kehilangan kekuatan untuk bertahan hidup. Tanpa Lucy, apa yang akan ia lakukan?
“Itu mobilnya!” teriak Matt sambil menunjuk pada sebuah sedan biru yang terparki di bawah pohon. Keduanya dengan cepat bergerak masuk, tepat ketika segerombolan orang keluar dari area gelap hutan. Orang-orang itu mengacungkan senjata yang ada di tangan mereka. Pisau, kapak, dan segala macam hal yang cukup mengerikan.
“Ayolah!!” teriak Matt kesal saat mobil itu tidakmau menyala, sementara gerombolan orang itu bergerak semakin dekat dengan teriakan-teriakan kemarahan mereka.
“Cepat!” teriak John. “Matt!”
“Mobil sialan! Tidak mau menyala!”
Mereka terlambat. Gerombolan itu kini sepenuhnya telah mengepung mobil. Satu kapak melayang lagi, memecahkan kaca jendela mobil. John dan Matt kini diteraik keluar dari mobil, dan dipukul dengan senjata yang mereka bawa.
John tidak lagi merasakan rasa sakit saat ia sudah mulai tidak peduli lagi apakah ia ahrus hidup atau mati. Matt berteriak nyaring saat sebuah pisau menembus perutnya. John tidak sanggup lagi untuk melihat apa yang terjadi.
John nyaris kehilangan kesadarannya saat ia seperti mendengar sebuah suara. Suara seorang wanita, yang terdengar begitu dengan dengan telinganya. John tahu siapa wanita itu. Lucy.
“Jangan menyerah! Pergi dari sini!”
Ucapan itu memang aneh dan tidak tahu dari mana asalnya. John seketika mendapatkan sebuah kekuatan baru. Ia meronta melepaskan diri, lalu merebut salah satu pisau daging dari gerombolan itu. Ia tebaskan pisau itu secara membabi buta, dan ia berhasil terlepas dari cengekeraman seorang pria.
Teriakan kemarahan dari gerombolan itu semaki terdengar nyaring di tengah kelamnya malam. John berlari sekuat tenaga, masuk ke dalam hutan yang gelap. Dengan satu pemikiran, bahwa ia harus hidup untuk dapat menceritakan apa yang sudah terjadi. Tempat terkutuk itu harus dimusnahkan. Tapi apakah John akan semudah itu keluar dari jalur 86?

**

John mencoba untuk terus berlari. Namun otot-otot kakinya ia rasa seperti terbakar. John tidak mungkin lagi melangkahkan kakinya yang rasanya hancur berantakan itu. Ketika ia memutar kepalanya, tidak ada lagi yang dapat ia lihat di belakangnya selain kepekatan hutan itu. Ia telah bergerak begitu jauh dari kamp trailer penuh dengan kanibal itu. Ia tidak mengira bahwa hingga detik ini jantungnya masih berdetak.
John menyandarkan tubuhnya pada sebuah btang besar yang basah oleh air hujan. Ia menatap ke langit, murka, bila mengingat apa yang baru saja terjadi. Ia harus kehilangan Lucy, dan juga Matt. Sebuah pukulan telak bagi kehidupan John sejauh ini. Namun ia masih bersyukur karena ia masih bisa bernafas.
John mengerjapkan matanya, saat ia melihat satu kilasan cahaya di kejauhan. Beberapa detik kemudian ia sadari bahwa ia berada dekat dengan jalan aspal, dan baru saja melihat sebuah mobil melintas. John menggerakkan lagi kakinya tanpa berpikir. Meski ia sering terpeleset oleh lumpur dan tersandung akar pohon, ia terus bergerak maju. Bertahan hidup untuk menceritakan kisah mengerikan itu adalah tujuan John selanjutnya.
John merangkak, hingga akhirnya ia dapat melompati pagar pembatas jalan, dan jatuh seketika ke aspal yang dingin. John terkekeh sendiri. Terpukau dengan aksi pelariannya yang nyaris mustahil itu. Ia bangkit berdiri, lalu bergerak menyusuri jalan aspal itu tanpa tahu kemana. Ia hanya akan menunggu datangnya mobil.
Hujan akhirnya berhenti. Kini John dapat melihat bagaimana rupa tubuh dan wajahnya, yang penuh dengan luka dan lumpur. Ia tidak peduli lagi. Ia memutar mengangkat kepalanya saat ia lihat ada dua cahaya kuning mendekati posisinya. Dengan spontan, John mengangkat kedua lengannya dan melambai pada mobil itu.
John merasa semakin beruntung saat ia melihat mobil putih itu dilengkapi dengan lampu di atas atapnya. Mobil polisi. Sebuah keberuntungan yang tidak ia harapkan. Mobil itu akhirnya berhenti, dan seorang polisi dalam seragam tugasnya keluar menghampiri John.
“Apa yang terjadi? Kau tidak apa-apa?” tanya polisi itu. John mencoba mengatur nafasnya, dan mulai mengeluarkan kata-kata secara berlebihan yang bahkan tidak dapat dimengerti.
“Tenangkan dirimu! Ceritakan apa yang terjadi!”
“Mereka!” ucap John. “Orang-orang yang ada di kamp trailer, semuanya kanibal! Mereka membunuh dua temanku! Tolong aku!”
“Kau aman bersamaku.” Ucap polisi itu. “Masuklah ke mobil.”
John tersenyum senang. Ia pada akhirnya akan mengakhiri mimpi buruk malam itu. Ia digiring oleh polisi mendekati mobil, dan masuk ke kabin bagian belakang. Namun John harus mengernyitkan dahinya saat tangannya tiba-tiba saha diborgol pada kisi besi yang membatasi kabin depan dan belakang. John mengarahkan tatapan penuh tanyanya pada polisi itu.
John tidak dapat mempercayai apa yang ia lihat. Polisi itu menyeringai ke arahnya, dengan tatapan licik yang mengerikan. Sedetik kemudian, bibir polisi itu terbuka, lalu mengucapkan,
“Kanibal?” ucapnya sambil terkekeh. “Mereka teman-temanku.”

****

No comments:

Post a Comment