Thursday, June 23, 2016

34B, EAST HOSPITAL WING



Nadia membuka kedua matanya. Lagi-lagi ia mendengar suara parau itu dari seberang ruangan dimana ia berada. Suara yang terdengar begitu gelap, penuh dengan kesengsaraan, jeritan kesakitan atau rintihan kematian. Nadia tidak pernah dapat mengerti dengan jeritan yang selalu terjadi itu.
Suara itu berasal dari kamar 34B di sayap timur rumah sakit tempatnya bekerja. Suara itu sudah beberapa kali terdengar selama beberapa minggu terakhir. Penghuni kamar itu adalah seorang pria tua berusia 70-an tahun dengan penyakit parah, yang membuatnya tidak dapat bergerak dari tempat tidur. Nadia pernah mencoba menanyakan keadaan pasian kamar 34B itu pada temannya, namun ia tidak pernah mendapatkan jawaban yang pasti mengenai suara teriakan penuh ketakutan itu.
Seminggu telah berlalu sejak kepindahan tugasnya dari sayap barat ke sayap timur. Tidak ada yang berbeda selain menjadi seorang perawat yang setiap hari selalu berurusan dengan pasien yang kadang menjengkelkan. Namun pasien di kamar 34B itu adalah pasien yang selalu menjadi kekhawatiran Nadia. Ketika ia melihat pria tua itu terbaring diatas tempat tidur dengan berbagai alat penopang kehidupan itu, Nadia seperti merasakan aura yang tidak biasa. Keadaan dingin yang membekukan kulitnya, ketika ia melihat tatapan kosong dari pria tua itu.
Nadia sudah meminta untuk dipindah tugaskan lagi. Namun permintaannya itu ditolak mentah-mentah oleh atasan di rumah sakit itu, sebab sayap timur sedang kekurangan staf. Dan Nadia harus rela dengan apa yang harus ia kerjakan jika ia masih mau terus bekerja di rumah sakit itu. Tidak ada yang menyebalkan, kecuali harus mendengar jeritan itu setiap malam.
Nadia melirik kembali jam tangannya, dimana waktu rasanya bergerak begitu lambat. Jarum jam menyentuh pukul satu dinihari, dan tugas malamnya baru saja dimulai.
Nadia duduk sendirian di sebuah ruangan di ujung koridor sayap timur itu, berjaga seandainya ada pasien yang membutuhkannya. Ia sebenarnya berjaga dengan Debra, temannya, namun temannya sedang memriksa sesuatu di gudang dan belum kembali sejak tiga puluh menit terakhir.
Nadia hanya dapat memandang ke arah koriodor kosong yang terlihat sunyi itu. Tidak ada satupun suara lain, kecuali desis kipas angin yang terletak di ujung ruangan tempatnya berada. Nadia masih dengan jelas mengingat suara jeritan itu di kepalanya. Terjadi, hanya beberapa detik yang lalu.
Nadia menunggu lagi seandainya suara itu akan muncul untuk yang kedua kali. Dari tempatnya duduk, ia dapat melihat pintu kamar 34B yang terletak tepat di ujung koridor. Nadia seperti melihat sesuatu yang tidak biasa hari itu mengenai kamar 34B itu. Seperti ada sebuah kekuatan jahat yang menyelebungi kamar itu, meski Nadia sendiri ragu dengan apa yang ia rasakan.
Detak jarum jam terdengar dengan jelas di tengah kekelaman suasana. Nadia bergetar, merasa kedinginan, sekaligus takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan ia tiba-tiba saja berteriak saat ada sebuah benda dingin menyentuh pipinya.
“Jangan berteriak seperti itu!” ucap Debra, yang sudah berdiri di sisinya sambil mengacungkan sekaleng minuman dingin pada Nadia. Nadia menerimanya dengan ragu.
“Kau membuatku kaget.” Ucap Nadia. “Dan kenapa memberiku minuman dingin di tengah dinginnya suasana?”
“Bukankah malah tepat?” balas Debra. Wanita itu hanya melengos, dan tidak memperhatikan raut wajah kesal Nadia. Debra duduk di sebuah kursi yang berseberangan dengan Nadia, dan terlihat melirik jam dinding.
“Aneh, ‘kan?” ucapnya. “Jam malam rasanya bergerak begitu lambat.”
“Karena kesunyian ini?” ucap Nadia memberikan komentarnya. Seketika ia teringat dengan teriakan yang ia dengar beberapa menit yang lalu. Dan ia tidak bisa terus menyimpan hal itu untuk dirinya sendiri. Ia menceritakan suara jeritan dan raungan yang ia dengar itu pada Debra, yang terlihat tidak begitu serius mendengarkannya.
“Ayolah!” ucap Nadia dengan kesal. “Pasti ada penjelasan mengenai jeritan itu, ‘kan? Kudengar pria tua itu sudah begitu sejak masuk ke rumah sakit ini sebulan yang lalu. Ada apa sebenarnya? Kenapa tidak ada yang mau menjelaskannya padaku?”
“Bukannya tidak mau.” Balas Debra. “Tapi kami memang tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Pria itu memang sudah begitu. Setiap malam, ia selalu menjerit ketakutan, atau mengerang kesakitan. Dan tidak ada yang betah tinggal di dalam ruangan ini lebih dari lima menit.”
“Karena jeritan itu?”
“Apa lagi?”
“Lalu kenapa kau tadi meninggalkanku?” tanya Nadia kesal. Temannya itu hanya tersenyum sambil meminta maaf.
“Tidak akan ada yang terjadi.” Ucap Debra. “Mungkin pria tua itu hanya sering mengalami mimpi buruk mengenai apa yang akan terjadi pada dirinya. Kudengar penyakitnya begitu parah. Dan dokter mengatakan bahwa….”
“Tidak perlu mambahasnya lagi!” potong Nadia.
Keadaan itu memang begitu menyebalkan. Seorang pasien yang sakit parah, bertahan di dalam rumah sakit, ditopang dnegan mesin, yang pada akhirnya hanya akan mati. Apakah tidak ada yang peduli dengan keadaan pria itu sebenarnya?
Nadia sudah mencoba mencari informasi mengenai sosok pria tua itu selama beberapa hari terakhir, namun yang ia dapat hanyalah nama dari pria tua itu. Sebastian Johann, itu namanya. Selain itu, Nadia tidak mendapatkan informasi lain mengenai keluarga pasien atau semacamnya. Dan sejauh dari apa yang ia tahu, sejak Sebastian masuk sebagai pasien di rumah sakit itu, belum ada satupun anggota keluarga yang menjenguknya. Bukankah aneh? Nadia merasakan segala keanehan, dimana ia tidak bisa mendapatkan jawaban yang pasti.
Nadia merasakan matanya menjadi begitu berat saat jarum jam menginjak pukul dua dinihari. Keadaan yang sepi membuatnya kadang lupa dengan tugasnya. Selama ia bekerja di sayap timur rumah sakit, ia malah jarang bekerja berat. Karena sebagian besar dari pasien di sayap timur adalah anak-anak, dimana orang tua mereka dapat mengurus mereka jika mereka membutuhkan sesuatu.
Nadia mencoba untuk terus membuka kedua mata dan telinganya. Ia melirik ke arah Debra, dan ia lihat wanita itu tengah sibuk dengan TTS yang ada di halaman sebuah koran. Nadia mendesah, merasa kesal dengan apa yang harus ia hadapi. Keadaan yang membosankan dan senyui ini suatu saat pasti akan memaksanya untuk pindah tugas lagi. Atau mungkin, ia ingin berhenti menjadi seorang perawat?
Tepat ketika Nadia mendapatkan pemikiran itu, sebuah suara jeritan terdengar dari ujung koridor. Sebuah teriakan kematian yang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat, yang membuat Nadia dan Debra bangkit seketika dari tempat duduk mereka. Mereka saling pandang untuk sedetik, kemudian setuju untuk menghampiri ruangan 34B itu.
Raungan dan jeritan masih terdengar ketika Nadia dan Debra melangkah di koridor, melintasi beberapa orang yang sepertinya juga terganggu dengan suara jeritan itu. Nadia dan Debra tiba di kamar 34B tepat ketika jeritan itu berhenti. Mereka bergerak masuk, dan mendapati sosok pria tua itu terduduk diatas tempat tidurnya, dengan raut wajah yang mengatakan bahwa ia seperti baru melihat hantu. Kedua matanya membelalak, dan keringat dingin membasahi keningnya.
Ini adalah kali pertama Nadia melihat keadaan Sebastian setelah ia berteriak. Selama ini, ia selalu datang terlambat dan sebastian sudah tidur kembali. Namun untuk malam itu, ia dapat melihat wajah penderitaan dan ketakutan di wajah pria tua itu secara nyata. Kedua mata yang membelalak itu seolah dapat menjelaskan lebih daripada teriakannya.
Nadia hanya dapat berdiri kaku di posisinya, sementara rekannya, Debra, mencoba untuk menidurkan kembali sosok pria tua itu. Nadia yang sadar dengan apa yang temannya lakukan langsung mencoba untuk membantu. Namun ia dikagetkan lagi, saat sosok pria tua itu meremas lengannya dengan jari-jari kurus itu. Nadia terbelalak, dan menatap soso pria tua itu.
“Mereka datang!” seru pria tua itu secara bertubi-tubi. Hal-hal aneh terlontar begitu saja dari mulut Sebastian, yang sama sekali tidak dapat Nadia jelaskan dengan akal sehat.
“Siapa yang ia maksud dengan mereka?” tanya Nadia begitu ia sudah kembali ke ruang jaga bersama dengan  Debra. Debra menghela nafasnya, seraya melempar pandangannya pada Nadia.
“Tidak usah kau pikirkan!” ucapnya. Tapi bagaimana tidak? Nadia denganjelas melihat sebuah keadan yang aneh atas pria tua itu. Apa ia hanya akan diam saja?
“Mungkin kita bisa membantu.” Ucap Nadia. “Pria itu benar-benar menderita.”
“Mungkin karena mimpi buruk.” Ucap Debra. “Aneh. Kita membrikan obat tidur dan penenang dengan dosis tinggi. Tapi tetap saja pria itu terbangun setiap malam dan meneriakkan kata yang sama.”
“Mereka datang.” Gumam Nadia tanpa tahu siapa yang dimaksudkan dengan ‘mereka’ dalam ucapan Sebastian.
Jarum jam bergerak, menyentuh pukul tiga dinihari. Nadia dan Debra berjaga seperti tadi, namun mereka tidak diganggu lagi dengan teriakan pria tua itu.

**

Nadia dan Debra harus berjaga malam selama seminggu, baru mereka bisa bertukar tugas dengan perawat lain. Dua hari sudah berlalu sejak Nadia dan Debra mendengar teriakan pria tua itu. Malam sebelumnya, Sebastian kembali berteriak, namun masih dapat tertidur dengan pulas. Malam itu, mereka tidak tahu lagi apa yang akan terjadi.
Jam rasanya bergerak begitu lambat. Pekerjaan yang tidak bisa terbilang sibuk memaksa kedua wanita itu untuk terus berada di ruang jaga mereka, bersiap seandainya dibutuhkan. Namun tidak ada hal yang benar-benar harus mereka lakukan. Keadaannya super tenang, dan tidak ada gangguan sama sekali.
“Kepalaku pusing.” Ucap Nadia karena terlalu lama membaca dalam keadaan lampu remang.
“Kau sudah minum obat?”
“Ya.” Jawab Nadia. Ia melipat koran yang ia baca, lalu menyandarkan punggungnya pada punggung kursi. Ia tarik nafasnya dalam-dalam seraya melempar tatapan matanya pada jam di dinding, yang menunjukkan pukul satu malam.
Nadia berharap tidak mendengar teriakan itu lagi. Ia, entah kenapa, menjadi ngeri ketika mendengar teriak dan erangan Sebastian, yang menurutnya tidak normal. Koridor remang itu terlihat begitu sunyi tanpa ada satupun yang mengganggu. Tidak ada suara lain yang dapat ia dengar selain detak jarum jam di dinding.
“Oh, tidak!” seru Debra beberapa menit kemudian, membuyarkan lamunan Nadia. Ia melirik ke arah temannya itu, dan mendapatkan gelengan tak percaya.
“Ada apa?”
“Barangku ada yang ketinggalan di lantai 3.” Ucap Debra. “Aku harus mengambilnya.”
“Tunggu!” sergah Nadia menghentikan langkah temannya itu. “Kau akan meninggalkanku disini sendirian?”
“Hanya sebentar.”
“Biar aku ikut!”
“Kau harus berjaga disini, Nadia.” Ucap Debra. “Jika sampai petugas tahu kau meninggalkan pos, maka dendanya akan begitu berat.”
Nadia mengangguk ragu. Rasa ngeri dan takut mulai tersusun di dalam dadanya, yang membuatnya seketika sulit untuk bernafas. Nadia harus dapat merelakan kepergian temannya itu, dan duduk sendirian di tengah kesunyian suasana.
Menit-menit berlalu. Namun rasanya jarm jam bergerak begitu lambat dimata Nadia yang sedang diserang dengan rasa takut yang luar biasa. Apa yang harus ia lakukan?
Koridor panjang yang remang dan sepi itu membuat Nadia bergidik ngeri, dengan kamar 34B berada di ujung, dan nampak di matanya dengan begitu jelas. Jika saja suara itu terdengar lagi, mungkin Nadia memutuskan untuk berlari. Tapi…
Nadia membelalakknya matanya, dengan kedua tangan gemetar saat suara nyaring rintihan itu terdengar begitu jelas. Ya. Terdengar lagi. Kali ini lebih jelas dari apa yang Nadia dengar sebelumnya. Teriakan penuh ketakutan, dan erangan penuh siksaan yang rasanya tidak begitu normal. Apa yang akan Nadia lakukan? Apakah ia hanya akan diam di tempat dan menunggu kembalinya Debra?
Tidak. Sebastian membutuhkannya. Dengan perasaan yang tidak karuan Nadia memutuskan untuk beranjak dari kursi yang ia tempati, dan mulai bergerak menyusuri koridor, mengarah pada kamar bermasalah itu. Anehnya, tidak seperti kemarin, kali ini tidak ada orang yang sepertinya terganggu dengan teriakan itu. Tidak ada satupun orang yang keluar ke arah koridor saat Nadia bergerak melewati kamar demi kamar, dan jeritan itu semakin dekat semakin membuat bulu kuduk Nadia berdiri.
Langkah Nadia terhenti seketika tepat ketika ia berada di depan ruang 34B itu. Kedua matanya lagi-lagi harus membelalak tak percaya dengan apa yang ia lihat. Dari jendela kecil yang berada di pintu kamar 34B, Nadia dapat melihat dengan jelas apa yang ada di dalam ruangan itu.
Sebastian duduk diatas tempat tidurnya, dan menjerit seperti biasa. Namun bukan hal itu yang membuat Nadia kehilangan kekuatan tubuhnya. Tapi apa yang ada di hadapan lelaki tua itu.
Terlihat dua sosok hitam, yang hanya terlihat seperti gumpalan asap di depan Sebastian duduk. Sosok-sosok itu seolah melayang di udara, terlihat seperti orang yang mengenakan jubah hitam berkerudung. Mereka terlihat seperti menjangkau ke arah Sebastian, dan dari apa yang dapat Nadia lihat, tangan di balik jubah hitam itu tidaklah normal. Tangan-tangan kering kurus hitam itu terlihat seperti kerangka, yang seolah ingin mencabik-cabik tubuh Sebastian. Jeirtan terus terdengar, dan Sebastian menggelinjang diatas tempat tidurnya, seolah ada aliran listrik yang mengalir di tubuhnya. Pemandangan yang cukup aneh ini membuat Nadia terpaku di tempat, dan tak dapat melakukan apapun.
“Nadia!”
Teriakan itu terdengar di sela-sela jeritan Sebastian. Dan sedetik kemudian, sosok Debra muncul seraya menarik lengan Nadia, membawa Nadia masuk ke dalam kamar yang dihuni oleh dua sosok hitam itu.
“Tidak!”
Pintu kamar 34B terbanting terbuka, dan Sebastian langsung terpuruk ke atas tempat tidurnya. Nadia hanya dapat menatap keadaan itu dengan tidak percaya. Sosok hitam itu menghilang seperti asap, secara seketika.
“Nadia, bantu aku!”
Ketidaknormalan terjadi pada semua alat penopang kehidupan Sebastian. Segalanya seperti sudah di reset, dan tidak bekerja dengan baik. Nadia yang sudah terlepas dari rasa takutnya mulai membantu Debra untuk melakukan pertolongan pada pria tua itu, yang terpuruk, terlihat seperti sayuran kering. Kedua mata Sebastian menatap kosong, dengan bibir bergerak pelan, mengatakan,
“Mereka datang menjemputku.”

**

Nadia masih dapat merasakan tangannya yang bergetar setelah melihat apa yang terjadi. Apakah Debra tidak melihat dua sosok hitam itu? Ia sudah mencoba menanyakan soal hal aneh itu pada Debra, namun Debra tidak mengerti dengan apa yang ia ucapkan.
Dokter-dokter yang bertugas untuk membantu perawatan Sebastian berdatangan beberapa menit setelah kejadian aneh itu. Tidak ada yang dapat Nadia lakukan selain menuruti setiap perintah, yang nyatanya hanya berakhir sia-sia. Sebastian tidak tertolong.
Ya. Setelah dua sosok itu datang, seolah Sebastian tidak kuat lagi untuk bertahan di dunia ini. Satu pertanyaan muncul di dalam kepala Nadia seketika. Siapa dua sosok itu?
Ia hanya dapat menerka-nerka. Mungkinkah sosok yang ia lihat itu adalah malaikat maut yang bertugas untuk merebut nyawa Sebastian? Apakah sosok-sosok itu yang Sebastian sebut dengan kata ‘mereka’? Gambaran mengerikan mengenai dua sosok itu masih melekat di dalam ingatan Nadia. Dan sepertinya, tidak akan hilang dalam waktu yang lama. Kepada siapa Nadia dapat menceritakan mengenai hal itu? Mungkin…, ia hanya dapat menyimpannya seorang diri.

****

No comments:

Post a Comment