Friday, March 25, 2016

BAYANGAN MISTERIUS DI ATAS BUKIT



Cahaya bulan masih menerangi sebagian besar dari padang rumput dan perbukitan di Northshire. Cahaya keperakannya menyelimuti setiap sudut, setiap tempat, dan menciptakan bayang-bayang yang sedikit meresahkan hati di kelam dan sunyinya suasana.
Keadaan desa di Northshire itu terlihat begitu tenang. Malam sudah begitu larut, dan kebanyakan dari para penduduk sudah bergulat dengan mimpi di tidur mereka. Namun di salah satu rumah, dua anak remaja belum dapat memejamkan kedua matanya mereka. Sarah dan Tom adalah kakak beradik yang kebetulan memutuskan untuk tinggal di Northshire selama libur musim panas mereka.
Keduanya masih tergolek diatas tempat tidur namun dengan kedua mata terbuka lebar. Telinga mereka menangkan tajam suara-suara khas malam hari di desa. Suara jangkrik dan serangga lainnya membuat keadaan sedikit tentram dan damai. Namun keduanya tetap tidak dapat menghilangkan perasaan cemas di dalam hati mereka.
“Apa akan muncul?” tanya Sarah pada adiknya yang satu tahun lebih muda darinya. “Kau yakin makhluk itu akan muncul?”
Tom menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu. Namun di dalam hati ia percaya bahwa apa yang mereka takutkan itu akan datang. Sebenarnya, apa yang mereka bicarakan?
Ada sebuah cerita mistis yang cukup terkenal di kawasan Northshire. Terutama di desa dimana mereka tinggal saat itu. Dikatakan bahwa setiap malam purnama, akan ada sosok makhuk misteris dengan badan bungku yang akan muncul di puncak bukit, yang disertai dengan suara lolongan anjing. Banyak yang mengatakan bahwa makhluk itu adalam makhluk penjaga perbukitan, yang keluar setiap malam purnama untuk mencari mangsa. Malam itu belum malam purnama. Namun tidak ada yang benar-benar menjamin bahwa makhluk itu tidak akan terlihat.
Sarah dan Tom sudah mencoba bertanya pada paman dan bibi mereka yang sudah lama tinggal di Northshire. Dan menurut mereka, penampakan itu memang benar-benar ada. Paman John sudah mengatakannya sendiri. Ia melihat dengan mata kepalaya sendiri.
“Makhluk itu cukup tinggi, namun bungkuk.” Ucap paman John sore tadi saat mereka makan malam.”
“Mungkin lebih dari 180 cm, dan ada sesuatu di bagian depan tubuhnya, seperti cakar besar atau semacamnya.”
“Dia selalu muncul setiap malam purnama?” tanya Tom.
“Ya.” Jawab pamansnya dengan nada serius. “Setiap malam purnama, sosok itu akan muncul dan mengeluarkan sebuah lolongan yang mirip anjing. Tapi kalian tidak perlu takut. Makhluk itu kurasa tidak suka dengan manusia.”
“Apa belum pernah ada yang menyelidiki kasus misterius ini?” tanya Sarah penuh dengan keingintahuan. “Ini hanya cerita, ‘kan?”
“Tidak ada yang pernah benar-benar bisa membuktikannya.” Jawab paman John. “Namun sosok itu benar-benar ada.”
“Sudah banyak yang melihat, kalau begitu?”
“Ya.” Jawab John. “Anehnya si tua Willard yang tinggal dekat dengan bukit itu tidak tahu apa-apa mengenai sosok itu. Ia berkata bahwa ia tidak pernah melihat sosok itu.”
“Si tua Willard?”
“Hanya seorang petani tua yang hidup sendiri setelah istrinya pergi dan putrinya menghilang. Kasihan pria itu. Seharusnya ia tidak hidup terlalu menyendiri.”
Detak jarum jam terdengar jelas di kelamnya suasana yang hening. Kedua remaja itu masih belum dapat menutup kedua mata mereka. Bahkan hingga jarum jam sudah menunjukkan pukul satu, mereka masih belum mengantuk. Mereka masih penasaran dengan sosok diatas bukit itu.
Sarah mulai memejamkan matanya ketika ia sudah mulai lelah menunggu. Namun beberapa detik kemudian ia dikejutkan oleh sebuah suara nyaring yang datangnya dari tempat yang jauh. Sebuah suara lolongan, seperti lolongan serigala yang membuat bulu kuduknya berdiri. Sarah dengan cepat bangkit dan membangunkan adiknya. Keduanya lalu sama-sama melihat keluar dari jendela, ke arah punggung perbukitan yang disirami oleh sinar keperakan bulan. Dan saat itu juga, Sarah dan Tom hampir tidak mempercayai apa yang mereka lihat.
Sesosok makhluk yang tinggi kurus dengan punggung membungkuk terlihat tepat berada di puncak bukit. Hanya terlihat seperti bayangan, dengan latar belakang langit berbintang. Dan lolongan itu terdengar dengan begitu jelas.
“Sarah!” Tom menggenggam erat tangan kakaknya. Mereka takut. Anehnya, mereka tidak bisa bergerak dari tempat mereka berdiri. Hingga akhirnya sosok itu menghilang seketika, seperti tertelan oleh gelapnya malam.
Malam itu cuaca sedang cerah namun tidak cukup panas. Tapi keringat terlihat membasahi wajah kedua remaja itu. Hal itu terjadi karena rasa takut mereka yang berlebihan.
“Apa kita harus membangunkan paman John?” tanya Tom.
“Tapi sudah terlalu malam.” Balas Sarah. “Aku tidak mau mengganggu tidurnya.”
Maka keduanya sepakat untuk pergi tidur dan melupakan apa yang baru saja mereka lihat dan dengar. Meski sedikit susah untuk melepaskan pemikiran mengenai hal itu, namun pada akhirnya kedua kakak beradik itu jatuh ke dalam mimpi mereka.

**

“Kalian melihatnya?” ucap paman John keesokan harinya dengan raut wajah kaku, dan sedikit tidak percaya.
“Kau yakin?” tanyanya lagi.
“Ya.” Jawab Sarah dan Tom serempak. Keduanya saling pandang, lalu menjelaskan apa yang mereka lihat. Paman John mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Sesekali ia mengangguk.
“Aneh.” Ucapnya kemudian. “Tidak ada warga yang pernah mengatakan bahwa makhluk itu akan muncul selain saat purnama. Ini benar-benar aneh.”
“Memang aneh.” Ucap Sarah dengan nada penuh keoptimisan. “Makhluk itu kurasa bukan makhluk astral.”
“Maksudmu?”
“Makhluk itu terlihat dengan jelas di bawah sinar bulan. Berarti tidak terlalu superstisi, ‘kan?”
Paman John tertawa lantang mendengar penjelasan dari keponakannya itu. Ia merasa sedikit bangga, namun khawatir dalam waktu bersamaan.
“Kami akan menyelidikinya.” Ucap Sarah dengan nada pasti. “Kami akan ke bukit hari ini.”
“Tunggu dulu! Kalian…”
“Tidak apa-apa, paman John.” Ucap Sarah. “Jika ada sesuatu terjadi, kami akan berteriak. Lagipula, tidak ada yang perlu ditakutkan saat siang hari, ‘kan?”
Paman John hanya dapat mendesah pasrah. Ia tahu bahwa ia tidak akan bisa mencegah keinginan gadis itu.
“Tapi kuperingatkan satu hal pada kalian.” Ucapnya. “Berhati-hatilah jika bertemu si tua Willard!”
“Kenapa dengannya?” tanya Sarah. “Dia berbahaya?”
“Dia hanya tidak begitu ramah. Itu saja.”
“Kami akan berhati-hati.” Ucap Sarah dengan penuh kepercayaan. Wajahnya terlihat cerah, penuh dengan semangat.
Kedua remaja itu seegra beranjak dari rumah begitu mereka menyelesaikan sarapan mereka. Sinar matahari pagi yang cerah menyiram tubuh keduanya, saat mereka bergerak perlahan menyusuri jalan desa diantara barisan bukit-bukit.
Bukit bermasalah itu dapat dengan jelas terlihat. Untuk sesaat, keduanya ragu untuk naik ke atas bukit itu. Bagaimana jika ada yang melihat mereka dan melarang mereka? Semua penduduk desa itu sudah termakan oleh ketakutan akibat dari sosok misterius yang menghuni bukit itu.
“Tidak apa-apa. Ayo!”
Sarah bergerak mendahului adiknya. Ia melompati sebuah pagar rendah, dan mulai bergerak menaiki bukit berumput yang sebenarnya tidak begitu terjal itu. Lima menit kemudian, keduanya sudah berdiri di punggung bukit. Dan dari sana mereka dapat melihat hamparan ladang dan perumahan penduduk. Rumah yang mereka tempati pun terlihat dari sana.
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Tom. Ia bergerak bersama dengan kakaknya menyusuri punggung bukit itu namun tidak menemukan satu hal aneh sekalipun.
“Aku juga tidak tahu.” Balasa Sarah. Ia sapukan pandangannya ke setiap sudut, mencari, dan ia temukan rupa sebuah rumah di kejauhan yang letaknya terpisah dari deretan rumah warga. Rumah siapa itu?
Sarah kemudian teringat dengan ucapan paman John mengenai sosok si tua Willard, yang katanya tinggal menyendiri. Mungkin ia rumah pria tua itu.
Perhatian Sarah terebut saat ia mendengar teriakan adiknya. Sarah bergerak cepat menghapiri Tom yang berdiri beberapa meter darinya.
“Ada apa?” tanyanya. Tom hanya menggunakan jari telunjuknya untuk mengatakan maksud dari teriakannya tadi.
Sarah melihat ada dua batu besar berada di punggung bukit itu, yang ditata rapi, dikelilingi dengan batu-batu kecil seukuran bola tenis. Terdapat beberapa tangkai bunga di tempat itu, dan tanahnya sedikit basah.
“Seperti sebuah tanda.” Ucap Sarah. Ia bergerak mendekat ke arah batu-batuan itu, dan mengulurkan tangannya. Namun tiba-tiba saja…
“Apa yang kalian lakukan?”
Sarah dan Tom secara reflek memutar tubuh mereka ke arah datangnya suara serak itu. Dan di depan kedua mata mereka, sesosok pria tua dengan rambut putih menatap mereka melalui mata tajam seperti elang itu. Ia kelihatannya marah.
“Maaf!” ucap Sarah secara spontan.
“Kalian tidak boleh berada di bukit ini!” teriak pria tua itu. “Kalian, dan para penduduk. Apa kalian belum mendengar cerita itu?”
“Ya. Kami…”
“Tidak usah berkata apa-apa lagi!” ucap pria tua itu. “Aku ingin kalian turun sekarang juga, dan jangan pernah kembali!”
Sarah dan Tom tidak punya pilihan lain. Keduanya segera bergerak menuruni bukit, dan baru sadar sesaat ketika mereka melompati pagar. Pria yang mereka lihat barusan adalah si tua Willard. Seperti kata paman John, pria itu memang tidak ramah.
“Kita tidak menemukan apapun.” Ucap Tom sedikit kecewa. “Dan karena tanahnya kering, tidak ada jejak sedikitpun.”
“Tapi susunan batu itu terlihat sedikit aneh, ‘kan?”  ucap Sarah. “Ada sebuah maksud dari tumpukan batu itu.”
“Oh, ya?”
“Aku tidak yakin.” Ucap Sarah. “Mungkin.”
Ketika keduanya pulang, mereka menanyakan mengenai susunan batu itu pada paman John. Namun paman mereka itu tidak tahu mengenai adanya tumpukan batu. Dan ia menjadi sedikit tertarik dengan cerita keduanya.
“Tepat saat kami melihatnya, pria itu datang.”
“Maksudmu Willard?”
“Ya.” Jawab Sarah. “Dan dia memang tidak ramah. Ia membentak kami dan menyuruh kami turun.”
“Dan ia memepringatkan kami.” Tambah Tom.
Tidak ada lagi yang dapat dilakukan oleh kedua remaja itu. Mereka menghabiskan hari mereka di kamar, memikirkan segala kemungkinan dari kemisteriusan sosok di atas bukit itu. Namun pada akhirnya, mereka sama sekali tidak mendapatkan jawaban.
Malam kembali tiba. Jarum jam bergerak cepat, dan tanpa keduanya sadari, hari sudah mencapai tengah malam. Keadaan menjadi sepi lagi. Paman John dan istrinya mungkin sudah tidur. Tapi tidak dengan mereka.
Sarah dan Tom melirik ke arah jam yang ada di atas meja. Jarumnya menunjukkan pukul dua belas malam. Akankah sosok itu muncul lagi?
Sarah dan Tom belum terlepas dari dugaan mereka saat tiba-tiba saja terdengar suara lolongan anjing yang meresahkan hati. Keduanya melompat seketika dari tempat tidur mereka dan bergerak ke arah jendela. Dari sana dapat mereka lihat dengan jelas, sosok tinggi dan bungkuk itu bergerak menyusuri punggung bukit. Sosok itu terlihat seperti tengah menengadahkan wajahnya ke langit, dan lolongan anjing itu terdengar dengan nyaring.
“Muncul lagi!” ucap Tom. Rasa takut mulai merayapi tubuhnya.
“Sosok diatas bukit.”

**

Sarah dan Tom tidak mengatakan apapun mengenai kejadian semalam pada paman John keesokan harinya. Keduanya bungkam, dan seolah tidak mendengarkan apa-apa semalam. Tapi, apakah paman John tidak mendengarkannya?
Paman John terlihat tenang pagi itu. Duduk di meja makan sambil membaca koran, sementara bibi ada di dapur. Sarah dan Tom saling lirik. Apa yang harus mereka lakukan?
Seharian itu keduanya menghabiskan waktu di kamar sambil menerka-nerka sosok apa yang sebenarnya ada diatas bukit itu. Jawabannya tidak mereka ketahui. Dan tiba-tiba saja, Sarah mendapatkan ide yang cukup gila.
“Apa?!” Tom hampir tidak mempercayai apa yang Sarah katakan.
“Kau…” lanjutnya. “Kau mau pergi ke atas bukit malam nanti? Kau gila? Bagaimana jika…, malam nanti adalah malam purnama!”
“Itu dia!” seru Sarah. “Kita akan membongkar misteri ini. Kurasa tidak ada yang namanya hantu atau monster. Segala hal memiliki penjelasan yang rasional.”
Tom tidak dapat lagi membantah ucapan kakaknya. Sarah memang terkenal sebagai gadis pemberani dan berjiwa petualang. Tidak sama seperti Tom. Tapi, dia juga tidak mau ditinggal sendiri di kamar. Ia menyetujui ajakan kakaknya untuk menghampiri bukit itu.
Malam pun tiba. Paman John dan bibi sudah pergi tidur, saat jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam. Sarah dan Tom berpura-pura tidur awal. Mereka segera memakai jaket mereka saat malam sudah begitu larut.
“Kau siap?” tanya Sarah pada Tom. Tom terlihat mengigil. Mungkin dia merasa sedikit takut.
“Aku gugup.” Ucap Tom. “Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada kita?”
“Kita masih memiliki mulut, ‘kan?” Balas Sarah. “Kita berteriak sekencang mungkin.”
Ide yang lumayan. Namun keduanya tidak tahu apakah hal itu akan berhasil atau tidak. Mereka tidak memikirkan hal lain selain sosok misterius itu.
Dalam sepuluh menit, keduanya sudah berada di luar rumah, berada di hamparan rumput yang luas, yang berwarna keperakan karena tersiram cahaya bulan yang bersinar terang seperti matahari. Keduanya bergerak menyusuri jalanan desa, lalu mengarah pada tempat dimana mereka naik ke atas bukit kemarin.
Sarah dan Tom nyaris tidak memerlukan senter mereka sebab segalanya bersinar malam itu. Mereka dapat melihat dengan jelas wajah masing-masing.
“Kita…” ucap Tom. “Apa yang akan kita lakukan?”
“Kita akan menunggu.” Ucap Sarah. “Kita tunggu sosok itu muncul, dan kita akan menyergapnya.”
“Bagaimana caranya?”
Sarah terdiam. Ia tidak mau mengatakan rencananya pada Tom sebab mungkin Tom akan tidak setuju. Ia memimpin petualangan malam hari itu. Mereka bergerak menaiki bukit bermasalah itu, lalu mengarah ke tumpukan batu yang mereka lihat sebelumnya.
“Sosok itu akan muncul di sekitar tempat ini.”
“Bagaimana kau tahu?” tanya Tom.
“Aku tahu.”
Sarah kemudian menarik lengan adiknya dan bergerak beberapa meter menuruni bukit, lalu bersembunyi dibalik gundukan tanah yang dapat menyembunyikan tubuh mereka dari puncak bukit. Puncak bukti itu dapat terlihat dengan jelas oleh kedua mata mereka.
Menit-menit berlalu. Di tengah udara dingin, keduanya mencoba bertahan dan melihat apakah sosok itu akan muncul lagi atau tidak. Dan tepat ketika mereka merasa ragu, terdengarlah suara lolongan anjing itu.
“Dia datang!”
Sosok tinggi dan sedikit bungkuk itu akhirnya nampak di puncak bukit. Bayangan itu bergerak perlahan di sepanjang punggung bukit, mengarah pada dua batu yang ada di ujung. Sosok itu berhenti beberapa kali, namun tetap bergerak beberapa detik kemudian. Namun ketika sosok itu berhenti tepat di depan tumpukan batu, sosok itu berdiri diam. Sarah dan Tom dapat melihat dengan jelas, saat wajah dari sosok itu menatap mereka. Dengan tatapan murka, dan geraman anjing pun terdengar seketika.

**

Tom berteriak seketika. Ia kira bahwa nyawanya akan berakhir begitu sosok itu melihatnya. Spontan ia ingin lari. Namun tangan sarah memegang lengannya.
“Tidak ada yang perlu ditakutkan.” Ucap Sarah dengan suara lantang. Ia kemudian berdiri dari tempat persembunyiannya, dan memandang lurus ke arah bayangan tinggi di atas bukit, yang masih berdiri tegak itu.
“Sudah kuduga.” Lanjutnya. “Sosok itu memang hanyalah ketakutan yang berlebihan.”
“Apa yang kau bicarakan? Siapa sosok itu?” tanya Tom cepat.
Seketika, cahaya senter menyala dari tangan Sarah, mengarah pada sosok yang berdiri diatas bukit itu. Dan terlihat jelas, raut wajah pucat, penuh dengan kerutan dan sepasang mata seperti elang. Pria tua itu terlihat sedikit murka dengan apa yang terjadi.
“Si tua Willard.”
Tom memandang dengan tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Sosok itu memang benar-benar Willard, yang bertemu dengannya kemarin di bukit itu. Tapi Tom masih tidak mengerti dengan kenyataan sebenarnya.
“Sosok yang dilihat oleh warga setiap malam itu adalah Anda, benar ‘kan, Tn. Willard?” ucap Sarah.
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu kenapa.” Jawab Sarah atas pertanyaan adiknya. “Tapi kurasa ada hubungannya dengan dua batu itu. Yang dapat kukatakan, mungkin, sebuah simbol. Atau memang ada sesuatu disana. Sebuah makam, ‘mungkin?”
“Apa?!”
Willard masih berdiri tegak. Di tangannya terlihat ada sebuah tali, yang mengarah pada satu sosok besar yang duduk di sampingnya. Seekor anjing besar berwarna coklat, yang tidak mau berhenti melolong.
“Lolongan itu bukan berasal dari Willard, namun dari anjingnya itu.” Ucap Sarah. “Aku tidak tahu alasannya kenapa Anda berjalan malam-malam di bawah cahaya bulan di bukit ini, Tn. Willard. Anda mau menjelaskannya?”
Si tua Willard kemudian tertawa kecil. Ia tersenyum ke arah dua remaja itu, dan menatap mereka, bukan dengan tatapan menakutkan lagi. Namun ada perasaan senang di dalam sorot matanya.
“Aku akan menceritakannya.” Ucap Willard. “Jika itu yang kalian mau.”

**

Tom duduk di ujung tempat tidur Sarah, dan masih belum bisa mempercayai kejadian yang baru saja ia rasakan. Dua jam telah berlalu, namun ia masih dapat merasakan kengerian saat sosok itu muncul.
“Dua batu itu…” ucap Sarah. “Adalah makan putrinya yang tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. Alasan kenapa Willard menguburkannya disana, karena putrinya itu memang suka dengan bukit itu.”
“Dan alasan kenapa Willard selalu pergi ke makan itu? Lalu kenapa saat malam purnama?”
“Karena putrinya menyukuai langit di malam purnama.” Ucap Sarah. “Si tua Willard selalu pergi ke bukit itu setiap malam purnama untuk menemani putrinya. Sekaligus melakukan perawatan terhadap makam itu. Kenapa ia menyembunyikannya dari warga, kurasa ia hanya tidak mau makam putrinya diketahui.”
“Karena jika sampai ketahuan, dia akan dipaksa untuk memindahkan makamnya, ‘kan?”
“Ya.” Jawab Sarah. “Kurasa yang memulai rumor mengenai sosok misterius itu juga si tua Willard. Ia berusaha menakuti warga agar tidak naik ke bukit itu dan mengganggu makam putrinya. Satu hal bagus, yang tidak dijalankan dengan bagus.”
“Sosok itu menjadi nyata karena ketakutan warga.” Ucap Tom. Ia akhirnya dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi di desa itu.
“Apa kau akan menceritakannya pada paman John mengenai hal ini?” tanya Tom beberapa detik kemudian.
Sarah berpikir mengenai hal itu. Ia baru saja memecahkan sebuah misteri. Haruskah ia berbangga akan hal itu? Bagaimana dengan pria tua itu?
“Kurasa tidak.” Jawab Sarah sambil tersenyum. “Biar segalanya berjalan sebagaimana mestinya. Willard sangat menyayangi putrinya. Bahkan hingga putrinya meninggal. Kurasa, aku akan membiarkannya saja.”
“Aku tidak tahu apakah ini keputusan yang baik atau buruk.”
“Paling tidak…” ucap Sarah. “…kita berhasil belajar satu hal.”
“Apa itu?”
“Bahwa segala sesuatunya memiliki penalaran yang cukup rasional.”

****

Friday, March 18, 2016

TRAGEDI DI WAYWARD MANSION



Nina menghentakkan kakinya kesal ke arah aspal. Sudah ada satu setengah jam ia berdiri di tepi jalan untuk menunggu mobil lewat, namun tidak juga datang. Sebenarnya ia membawa mobil sendiri. Tapi ketika ia melewati area hutan Bokoye yang cukup luas itu, mobilnya tiba-tiba mati dengan sendirinya. Apakah hanya kebetulan? Hutan Bokoye mulai terlihat menyeramkan saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Meninggalkan celah-celah sinar dari balik pepohonan. Dan dalam beberapa menit, Nina telah berdiri dalam kegelapan malam.
Nina sudah mencoba untuk menghubungi bengkel. Namun sayangnya, berada di tengah hutan membuatnya tidak dapat mendapatkan sinyal ponsel. Terpaksa, Nina harus menunggu sebuah keajaiban. Sebuah mobil yang lewat, mungkin. Sementara itu, ia hanya dapat duduk di kap mobil tuanya itu.
Nina berdecak kesal saat tiba-tiba saja rintik hujan mulai turun. Benar-benar sebuah keadaan yang sial bagi Nina hari itu. Kenapa ia harus pergi belasan mil untuk pekerjaan ringan, dan harus melewati pekatnya hutan Bokoye, dan kenapa juga mobilnya harus mogok disaat yang tidak tepat? Dan kini, hujan turun. Aspal hitam yang membelah hutan tua itu dengan cepat basah. Nina meringkuk di dalam kabin mobilnya, dengan pandangan mata tajam ke arah jalanan, masih menunggu.
Entah sudah berapa lama ponselnya memainkan musik untuk mengusir kebosanan. Nina sadari kemudian bahwa jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Dan kini resmi, ia tidak dapat melakukan pekerjaan yang seharusnya ia lakukan.
Kedua mata wanita itu tiba-tiba saja melebar saat ia melihat satu titik cahaya berwarna kuning di kejauhan. Sebuah mobil? Ya. Dan tengah mengarah ke arahnya. Nina dengan cepat turun dari mobil, mengabaikan tetesan air hujan yang menimpanya, dan berdiri di tengah jalan sambil melambaikan kedua lengannya. Mobil yang datang itu perlahan memelankan lajunya, dan berhenti tepat di samping wanita itu.
“Maaf!” ucap Nina seraya bergerak ke arah sopir yang sudah membuka kaca. Seorang pria yang kira-kira berusia tiga puluhan berada di belakang kemudi. Pria itu menunjukkan rasa simpatinya pada keadaan Nina yang tengah Nina alami.
“Mobilku mogok.” Ucap Nina. “Boleh aku menumpang sampai bengkel terdekat?”
“Sayangnya tidak ada bengkel di sekitar tempat ini.” Jawab pria itu, yang dengan seketika merosotkan hati Nina.
“Tapi kau bisa memanggil mobil derek dari kota sebelah.”
“Tidak ada sinyal di ponselku.” Ucap Nina. Ia sedikit berteriak untuk mengatasi suara riuh air hujan.
“Kalau begitu ikut aku saja.” Ucap pria itu sedetik kemudian. “Rumahku tidak jauh dari tempat ini. Kau bisa menghubungi bengkel lewat telepon rumahku.”
Satu senyum lebar hadir di wajah wanita itu. Nina akhirnya mendapatkan bantuan yang sudah ia nanti-nantikan.
“Benarkah? Tidak apa-apa jika aku…”
“Masuklah!” ucap pria itu. “Ambil barang-barangmu, dan masuk ke mobiku.”
Dalam beberapa detik, Nina sudah duduk di dalam kabin truk pickup berwarna merah yang pria itu kendarai. Tubuhnya yang basah membuatnya sedikit tidak nyaman.
“Mobilmu akan baik-baik saja.” Ucap pria itu sebelum menginjak gas, dan pergi dari tempat itu.
Selama kurang lebih lima menit, keduanya saling diam dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Hingga akhirnya suara pria itu memecah kesunyian.
“Kemana tujuanmu sebenarnya?” tanya pria itu. “Sayang mobilmu harus mogok di tempat terpencil seperti ini.”
“Ya.” Balas Nina. “Aku tengah mengarah ke Cherwood, untuk pekerjaanku. Dan aku memutuskan memotong jalur melalui hutan ini agar cepat sampai. Siapa kira mobil itu akan mogok?”
“Atau ini memang takdir.” Ucap pria itu sambil tertawa kecil. “Kita bertemu. Takdir, ‘kan?”
“Terima kasih atas bantuannya.” Ucap Nina. “Namaku Nina Lawrence. Panggil aku Nina.”
“Dexter.” Pria itu mengucapkan namanya. “Aku jarang keluar bertemu orang lain, sebenarnya. Aku lebih sering menghabiskan waktuku di rumah.”
“Apa pekerjaanmu?”
“Pelukis.” Ucap pria itu sambil tertawa. Nina ikut tertawa.
“Aku serius.” Lanjut Dexter. “Belum terkenal, tapi sudah ada beberapa lukisanku yang laku.”
“Ada kota di sekitar sini?”
“Redrock. Dua puluh mil.”
“Kau tinggal di sana?”
“Tidak.” Jawab Dexter. “Aku tinggal di rumah peninggalan kakekku. Di sekitar sini. Kita akan segera sampai.”
Nina sudah tidak tahu lagi kemaba mobil itu pergi. Hujan deras diluar membuatnya tidak dapat melihat dengan jelas keadaan sekitar. Ditambah lagi dengan suasana hutan pekat, di malam hari. Beberapa menit kemudian Nina rasakan mobil itu memelankan lajunya, dan berbelok ke arah sebuah jalan kecil yang masuk ke dalam hutan.
“Kemana kita…”
“Rumahku.” Jawab pria itu cepat. “Kau akan segera melihatnya.”
Benar. Beberapa menit kemudian mobil itu sampai di halaman sebuah rumah megak, besar, yang terlihat sudah begitu tua. Di tengah hutan, tentu saja terlihat sedikit menyeramkan. Namun dengan adanya cahaya-cahaya jingga dari jendelanya, mungkin bagian dalam rumah akan terasa lebih hangat.
“Selamat datang di Wayward Mansion.” Ucap Dexter ketika ia membimbing Nina melalui pintu ganda besar di bagian depan, dan kini ia berdiri di foyer rumah itu yang terlihat megah dan klasik.
“Wayward Mansion?”
“Aku Dexter Wayward.” Ucap pria itu. “Dan tempat ini adalah peninggalan kakekku.”
Dexter kemudian membimbing kembali Nina, sambil menunjukkan benda-benda antik dan ruangan-ruangan yang ada di dalam rumah besar itu. Anehnya, tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Apakah Dexter melakukan pekerjaan rumahnya sendirian? Rumah sebesar ini?
“Aku akan ambilkan pakaian kering. Kau sebaiknya segera hubungi bengkel terdekat. Nomornya ada di buku telepon.”
“Ya. Terima kasih.” Ucap Nina seraya bergerak mengarah ke sebuah telepon gagang tua yang terletak bersanding dengan sebuah asbak antik.
Nina segera menjelaskan mengenai segala sesuatu mengenai mobilnya pada bengkel yang berhasil ia hubungi. Sayangnya, karena ada badai, mereka baru bisa membetulkan mobilnya besok pagi. Dan Nina sadar, bahwa untuk malam itu ia harus menghabiskan waktunya di dalam rumah tua itu.
Dexter kembali beberapa saat kemudian sambil membawa satu setel pakaian usang yang segera ia serahkan pada Nina.
“Dulu milik adikku. Kini sudah tidak terpakai lagi. Semoga muat kau pakai.”
“Terima kasih.” Ucap Nina seraya menerima kemeja dan celana jeans biru usang itu.
“Di mana kamar mandinya?”
“Di ujung koridor.”
Nina segera melepaskan pakaiannya yang basah, dan menggantinya dengan baju yang Dexter berikan. Memang tidak nyaman rasanya memakai pakaian orang lain. Tapi apa boleh buat. Ia juga tidak mau terus kedinginan dengan pakaian basahnya.
Nina kembali ke foyer, dimana Dexter masih berdiri di anak tangga terbawah. Ia memandang ke arah Nina sambil mengangguk-angguk puas. Pakaian yang ia berikan ternyata cocok berada di tubuh Nina.
“Kau mengingatkanku akan Trace, adikku.” Ucap Dexter. “Sayangnya, hal itu tinggal kenangan.”
“Kemana dia?”
“Dia meninggal. Akibat sakit parah yang ia derita.”
“Oh! Maaf!”
“Jangan dipikirkan!”
Dexter membawa Nina masuk ke dalam ruang tengah yang luas dan banyak dipenuhi dengan barang-barang tua yang antik. Terdapat sebuah karpet berwarna marun ditengah ruangan, di depan sebuah perapian besar yang menyala menghangatkan suasana. Dexter meminta Nina untuk duduk di salah satu sofa antik yang ada di tempat itu.
“Sebentar lagi kita akan malam malam.” Ucap Dexter. “Sebaiknya kau disini, menunggu, sementara aku menyiapkannya.”
“Boleh aku bantu?”
“Kau disini saja!” ucap Dexter. “Baca buku, atau lakukan apa yang mau kau lakukan. Aku akan baik-baik saja.”
Nina merasakan aura yang aneh ketika ia berada di ruangan antik itu sendirian. Perasaan yang tidak menyenangkan entah kenapa hadir ke dalam dirinya. Ia merasa seperti tengah diawasi oleh seseorang. Padahal tidak ada seorang pun di sekelilingnya. Pajangan kepala rusa yang ada diatas perapian entah kenapa terlihat hidup. Sorot kedua matanya seolah memperingatkan Nina, akan adanya bahaya yang mendekat. Namun apa?
Jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, dan hujan diluar sana semakin deras. Petir beberapa kali menyambar, membuat langit terlihat terang selama beberapa detik. Nina tidak dapat duduk diam. Perasaan cemasnya terasa semakin besar, dan ia tidak berhenti mondar-mandir di depan perapian.
Nina menggigil kedinginan. Entah kenapa. Padahal ia sudah tidak memakai pakaian basahnya. Ia merasa bahwa ada yang tidak beres. Setiap sudut dari ruangan yang ia tempati terlihat seolah hidup, dan ada sesuatu yang bergerak diantara bayangan-bayangan benda antik di dalam ruangan itu.
Nina dengan cepat menghentikan langkahnya saat secara samar ia mendengar sebuah suara jeritan. Terdengar samar, namun Nina yakin bahwa apa yang ia dengar seperti suara jeritan seorang wanita. Namun Nina tidak yakin darimana datangnya jeritan itu. Apakah dari dalam hutan? Bukan. Rasanya lebih dekat.
Nina yang sudah tidak betah berada di ruang antik itu memutuskan untuk berjalan-jalan. Ia keluar, bergerak di koridor sambil mengamati lukisan-lukisan yang ada di dinding. Entah kenapa, semua lukisan yang ada di rumah itu adalah lukisan abstrak yang tidak jelas. Semuanya nyaris bernuansa merah, seperti api neraka atau cipratan darah. Dan tidak ada satupun dari lukisan-lukisan di tempat itu yang dapat membuai perasaan Nina. Wanita itu malah semakin ngeri dengan apa yang ia lihat.
Nina sampai di ujung koridor, dimana di tempat itu terdapat sebuah jendela besar dengan tirai tebal. Tanpa bermaksud apa-apa, Nina menyingkap tirai merah itu dan yang ia lihat adalah pemandangan bagian belakang rumah yang terlihat gelap. Namun sesaat ketika petir menyambar, ia dapat melihat bahwa halaman belakang rumah itu dipenuhi dengan mobil-mobil. Mobil-mobil bekas yang sudah berkarat dan tidak terawat lagi. Namun masih ada satu mobil yang kelihatan baru. Anehnya, terdapat sebuah noda merah di kaca depan mobil itu. Seperti darah. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa mungkin Dexter baru saja mengalami kecelakaan dengan mobil itu? Tapi Nina tidak melihat adanya luka di tubuh pria itu.
Dengan penuh pertanyaan, Nina menutup kembali tirai besar itu. Ia kembali berjalan, hingga tanpa sadar ia telah berada di depan sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Rasa penasaran Nina tak dapat terbendung saat ia merasakan aura tidak menyenangkan dari dalam ruangan yang berlampu merah itu. Nina memutuskan untuk mengintip ke dalam. Dan ia temukan…
Nina menahan nafasnya. Keduanya matanya membelalak seketika saat ia melihat adanya horor di dalam ruangan itu. Semua benda nyaris terlihat seperti telah diguyur dengan darah. Merah, bercampur warna hitam dan terlihat seperti sebuah kamar penyiksaan. Tapi, bukan. Ruangan itu adalah sebuah galeri, atau ruang lukis. Dan cat merah berhamburan ke segala tempat. Satu lukisan terlihat masih berada di atas tempat lukis, belum terselesaikan.
“Nina?”
Nina melonjak ketika suara itu tiba-tiba saja terdengar di telinganya. Ia lihat, Dexter telah berdiri di dekatnya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Dexter sambil menarik pintu galeri itu dan menutupnya rapat-rapat. “Kau tidak seharusnya…”
“Maafkan aku!” ucap Nina cepat. “Aku tidak sengaja melihat ke dalam.”
“Makan sudah siap.” Ucap Dexter. “Sebaiknya kita makan.”
Aura tidak menyenangkan kembali dapat Nina rasakan saat ia duduk di meja makan besar bersama lelaki itu. Dexter, kini seolah terus mengawasinya. Semenjak pria itu memergokinya berada di depan galeri, Dexter tidak pernah lagi melepaskan pandangannya dari Nina.
“Makanlah! Kau pasti lapar.” Ucap Dexter.
Nina tidak yakin apakah ia mau memakan apa yang sudah Dexter siapkan. Makana yang ada di piring terlihat seperti tumpukan daging mentah yang disiram dengan saus berwarna merah. Terlihat menjijikkan, dengan aroma yang begitu tajam.
“Aku memasaknya sendiri.” Ucap Dexter lagi. Pria itu mulai menyendok makanannya, dan makan dengan lahap. Tatapan kedua matanya masih mengarah pada Nina, menunggu wanita itu untuk juga memasukkan makanan ke mulutnya.
Nina merasa tidak enak untuk menolak. Dengan sangat terpaksa, ia menyendok gumpalan merah di piringnya itu, dan dengan cepat memasukkannya ke dalam mulut. Aroma yang tajam membuat Nina nyaris muntah. Tekstur dari makanan itu terlalu lembut dan lengket. Nina mungkin bisa menyemburkannya jika saja Dexter tidak mengawasi.
Makan malam kala itu terasa seperti sebuah siksaan bagi Nina. Makanan yang menjijikkan itu akhirnya masuk ke dalam perutnya, dengan usaha yang cukup keras. Nina meraih gelas anggurnya, dan meminum isinya. Paling tidak, anggur itu masih terasa seperti anggur normal.
“Bagaimana dengan mobilmu?” tanya Dexter beberapa saat kemudian. Suaranya yang berat terdengar mencurigakan diantara suara gemuruh di langit. Nina memandang ke arahnya. Dan perlahan, mulut Nina terbuka.
“Besok baru bisa diperbaiki.” Ucapnya. “Maaf! Tapi bisa aku tinggal disini sampai…”
“Apa yang kau bicarakan? Tentu saja.” Potong Dexter cepat. “Aku senang bisa punya teman malam ini. Aku biasanya sendiri.”
Tidak ada yang dapat Nina lakukan selain berdiam di dalam rumah besar itu untuk semalam. Ia tidak bisa pergi kemanapun, karena ia tengah berada di tengah hutan Bokoye. Namun satu sisi di dalam dirinya mengatakan bahwa ia tidak seharusnya tinggal seatap dengan pria yang ada dihadapannya itu. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, dan diluar keadaan normal.
Nina mempermainkan gelas anggurnya. Ketika tiba-tiba saja ia dikejutkan kembali dengan adanya sebuah teriakan yang asalnya dari bagian lain rumah itu. Seketika itu juga ia arahkan matanya pada Dexter.
“Apa itu?”
“Bukan apa-apa!” ucap Dexter berusaha bersikap normal. Namun Nina sadari bahwa ada yang tidak beres dengan ekspresinya barusan. Saat itu juga Dexter bangkit dari kursi yang ia duduki.
“Hanya peliharaanku. Biar aku tangani.”
Nina tidak percaya dengan ucapan itu. Jeritan yang baru saja ia dengar bukanlah jeritan hewan. Terdengar lebih mirip seperti teriakan manusia. Seorang wanita.
Nina bergerak meninggalkan meja ketika Dexter sudah menghilang dari pandangan. Dengan aksi penuh rasa penasaran, Nina mulai menjelajah rumah itu. Ia kembali mengarah ke ruang galeri tadi, dan berhasil masuk. Didapatinya lagi lukisan-lukisan bernuansa merah yang menggambarkan kematian. Dan rasanya tidak normal. Lukisan-lukisan itu memberikannya perasaan yang begitu buruk.
Nina kembali berjingkat saat ia dengar lagi teriakan wanita itu. Nina bergegas keluar dari galeri, dan bergerak cepat dikoridor. Dan ia menghentikan langkahnya saat ia melintasi sebuah ruangan yang pintu sedikit terbuka. Rasa penasaran Nina meluap-luap. Ia memasuki ruangan itu, dan ia temukan…
Nina menutup mulutnya untuk mencegahnya berteriak. Di dalam ruangan kecil itu terdapat begitu banyak barang. Kopor-kopor pakaian, lalu barang-barang elektronik kecil seperti ponsel dan kamera, dan juga ada beberapa tas perempuan. Satu hal ang membuat Nina bergidik adalah kenyataan bahwa di setiap barang itu terdapat noda merah kehitaman. Darah.
Nina menggelengkan kepalanya tidak percaya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dengan semua barang ini? Milik orang-orang? Nina seketika teriangat dengan tumpukan mobil di bagian belakang rumah. Dan satu teori mengerikan muncul di permukaan otaknya.
Dexter!
Dexter adalah seorang yang tidak waras. Kini Nina yakin dengan hal itu. Mobil-mobil yang ada di belakang rumah, dan juga barang-barang pribadi itu adalah milik orang-orang yang mampir ke rumah ini. Dan sepertinya mereka tidak bisa keluar hidup-hidup. Lalu jeritan wanita yang Nina dengar…
Nina seketika memutar tubuhnya dan berniat untuk berlari, pergi dari rumah itu. Namun ketika ia keluar dari pintu, sebuah cengkeraman mendarat di lehernya. Dan ia dapat melihat, wajah Dexter memicing ke arahnya.
“Ups! Sepertinya kau melihat apa yang seharusnya tidak kau lihat.”
Nina tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Seketika, ada hantaman mendarat di tengkuknya, dan ia pun kehilangan kesadaran.

**

Nina perlahan membuka kedua matanya tanpa tahu sudah berapa lama ia pingsan. Kini ia sadari bahwa ia berada di sebuah ruangan yang remang, yang hanya diterangi oleh sebuah lampu pijar yang menggentung di langit-langit. Nina mencoba menggerakkan tubuhnya. Namun ia sadari beberapa detik kemudian bahwa kedua tangan dan kakinya terikat.
Jantung Nina melonjak seketika saat ia mendengar suara rintihan dari samping tempatnya terbaring. Dan ia lihat, sesosok wanita dalam pakaian dalam terikat pada sebuah kursi, dengan luka cambuk di sekujur tubuhnya. Rambut pirang wanita itu terlihat kusut, dan wajahnya kotor penuh dengan air mata yang mengering.
“Kumohon…” rintih wanita itu. “Keluarkan aku dari sini!”
Nina tidak dapat melakukan apapun. Dan kini ia sadar bahwa ia tengah berada dalam sebuah kondisi yang tidak begitu mengenakkan. Maniak itu, Dexter, mungkin tengah merencanakan sesuatu.
“Dia akan membunuh kita.” Ucap wanita itu. “Dexter akan membunuh kita!”
“Tenangkah dirimu!” ucap Nina dengan suara serak. “Aku akan mencoba mencari jalan keluar dari rumah ini.”
Nina belum pernah mengalami hal seekstrim ini sebelumnya. Dan ia tidak tahu cara untuk melepaskan tangannya dari ikatan yang ada pada pergelangan tangannya. Ia hanya bisa menggigit tali coklat yang erat itu, berharaop kekuatan giginya akan membantu.
“Ayolah!”
Nina berusaha terlalu keras. Pergelangan tangannya mulai lecet dan berdarah karena terlalu sering bergesekan dengan tali yang mengikat erat itu. Tapi Nina sudah tidak peduli lagi. Ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk keluar dari rumah mengerikan itu.
Nina menghentikan usahanya saat ia dengar sebuah langkah kaki berat mendekat. Dexter, muncul dengan wajah dingin, dan di tangannya terdapat sebuah cambuk.
“Ah! Kau sudah sadar.”
“Apa yang kau lakukan?” tanya Nina ketus. “Kau keparat!”
Dexter hanya mendengus. Kemudian ia bergerak perlahan ke arah wanita yang terikat di kursi itu. Wanita itu pun mulai menjerit-jerit saat ia tahu bahwa hal buruk akan terjadi padanya.
“TIDAK! KUMOHON! JANGAN SAKITI AKU! KUMOHON!”
“Bukankah sudah terlambat untuk hal itu?” balas Dexter. Ia menyeringai, lalu mengangkat cambuknya tinggi-tinggi. Kemudian…
Terdengar sebuah erangan yang memilukan disertai dengan suara cambuk yang menghantam kulit wanita itu. Dexter menggila. Ia melakukan penyiksaan itu dengan dingin dan begitu kejam. Teriakan wanita itu semakin lama semakin keras. Dan Nina tidak mau melihat lagi hal mengerikan itu.
“RASAKAN PENDERITAAN INI, DASAR JALANG!”
Nina mencoba untuk mengabaikan apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar. Dengan usaha yang terlalu berlebihan, ia mencoba melonggarkan ikatan pada tangannya, yang membuat pergelangan tangannya itu berdarah.
Dexter sepertinya terlalu sibuk dengan wanita pirang itu, dan tidak memperhatikan apa yang tengah Nina lakukan. Dan dengan satu keberuntungan, Nina berhasil melepaskan ikatan pada tangannya. Ia lepas pula ikatan kakinya, lalu berdiri.
Tepat ketika ia berpuar untuk berlari, Dexter menolehkan kepalanya. Pria itu geram, karena salah satu tawanannya berhasil kabur.
“KEMANA KAU MAU PERGI?” teriakknya.
Nina berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari pria itu. Satu hal yang ada di dalam kelapanya hanyalah mencoba untuk keluar dari rumah terkutuk itu. Kini ia tahu bahwa ia tengah berhadapan dengan seorang pembunuh kejam yang kemungkinan telah membunuh orang-orang yang tersesat di kawasan itu. Barang-barang pribadi di kamar dan juga tumpukan mobil di belakang rumah adalah bukti dari hal itu. Dan Nina mungkin akan jadi korban berikutnya.
Nina berlari menyusuri koridor, lalu mengarah ke pintu depan. Dengan cepat ia putar kenop pintunya, tapi…
Tidak!
Pintunya terkunci. Dan Nina sudah kehilangan akal. Nafasnya memburu, penuh dengan ketakutan. Ia berlari lagi, lalu masuk ke dalam satu satu ruangan tepat ketika ia melihat Dexter muncul di ujung koridor.
Pria itu bergerak lambat. Mencoba menemukan keberadaan ‘tikus’nya yang berhasil lari. Di tangannya terdapat sebilah pisau, yang penuh dengan darah hasil dari penyiksaannya terhadap wanita pirang itu. Tidak ada yang dapat Nina lakukan untuk menolong wanita itu. Kini ia harus fokus untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
“Dimana kau?” geram Dexter. Suaranya terdengar membahana di koridor.
“Keluar, sayang! Kau tidak bisa lari!”
Nina menahan nafasnya ketika Dexter bergerak melewati ruangan dimana ia bersembunyi. Keadaan yang sedikit gelap membantu Nina menyembunyikan keberadaannya.
Ketika Dexter sudah berada di foyer rumah, inilah kesempatan bagi Nina untuk lari. Dengan cepat ia keluar dari ruangan dimana ia bersembunyi lalu berlari ke arah sebuah jendela.
Nina merasakan sebuah keberuntungan ketika ia dapat dengan mudah membuka kunci jendela, dan melompat keluar dari rumah itu. Hujan masih mengguyur begitu deras namun ia tak peduli lagi. Dengan meraba dalam kegelapan, ia berlari menembus semak-semak, mencoba menjauh dari rumah itu.
Nina menghentikan langkahnya ketika ia kira ia sudah begitu jauh dari urmah besar itu. Rumah besar tua, dengan cahaya jingga berada di tengah kepekatan hutan Bokoye itu memang terlihat begitu menyeramkan. Namun ia behasil kabur. Dan Nina tertawa lirih.
“Ada yang lucu?”
Jantung Nina melompat seketika. Satu gerakan reflek membuatnya berputar. Dan apa yang ia temukan menjadi mimpi buruk baginya. Wajah Dexter hadis di depan kedua matanya dengan seringai lebar. Dan detik berikutnya, bilah pisau itu menusuk tubuhnya.

***
Wajah menyeringai yang penuh dengan kelicikan dan daya pikat itu masih menghantui Wayward Mansion. Dan dengan akal busuknya, ia terus menjebloskan orang-orang tersesat untuk masuk ke dalam istana iblisnya. Untuk menjadi korban, dari kelicikan dan akal busuknya.
Dengan mobilnya, ia terus bergerak mengitari jalanan di sekitar Wayward mansion, dan menunggu mangsa selanjutnya. Dan beberapa hari setelah ia mendapatkan Nina Lawrance, ia mendapatkan penumpang lain. Seorang wanita muda yang tersesat.
“Ada yang bisa kubantu Nona?” tanyanya dengan penuh kelicikan namun tidak ia tunjukkan itu.
“Mobilku mogok. Aku perlu bantuan.”
“Tenang saja!” ucap Dexter Wayward. “Aku bisa membantu.”

****