Friday, March 18, 2016

TRAGEDI DI WAYWARD MANSION



Nina menghentakkan kakinya kesal ke arah aspal. Sudah ada satu setengah jam ia berdiri di tepi jalan untuk menunggu mobil lewat, namun tidak juga datang. Sebenarnya ia membawa mobil sendiri. Tapi ketika ia melewati area hutan Bokoye yang cukup luas itu, mobilnya tiba-tiba mati dengan sendirinya. Apakah hanya kebetulan? Hutan Bokoye mulai terlihat menyeramkan saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Meninggalkan celah-celah sinar dari balik pepohonan. Dan dalam beberapa menit, Nina telah berdiri dalam kegelapan malam.
Nina sudah mencoba untuk menghubungi bengkel. Namun sayangnya, berada di tengah hutan membuatnya tidak dapat mendapatkan sinyal ponsel. Terpaksa, Nina harus menunggu sebuah keajaiban. Sebuah mobil yang lewat, mungkin. Sementara itu, ia hanya dapat duduk di kap mobil tuanya itu.
Nina berdecak kesal saat tiba-tiba saja rintik hujan mulai turun. Benar-benar sebuah keadaan yang sial bagi Nina hari itu. Kenapa ia harus pergi belasan mil untuk pekerjaan ringan, dan harus melewati pekatnya hutan Bokoye, dan kenapa juga mobilnya harus mogok disaat yang tidak tepat? Dan kini, hujan turun. Aspal hitam yang membelah hutan tua itu dengan cepat basah. Nina meringkuk di dalam kabin mobilnya, dengan pandangan mata tajam ke arah jalanan, masih menunggu.
Entah sudah berapa lama ponselnya memainkan musik untuk mengusir kebosanan. Nina sadari kemudian bahwa jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Dan kini resmi, ia tidak dapat melakukan pekerjaan yang seharusnya ia lakukan.
Kedua mata wanita itu tiba-tiba saja melebar saat ia melihat satu titik cahaya berwarna kuning di kejauhan. Sebuah mobil? Ya. Dan tengah mengarah ke arahnya. Nina dengan cepat turun dari mobil, mengabaikan tetesan air hujan yang menimpanya, dan berdiri di tengah jalan sambil melambaikan kedua lengannya. Mobil yang datang itu perlahan memelankan lajunya, dan berhenti tepat di samping wanita itu.
“Maaf!” ucap Nina seraya bergerak ke arah sopir yang sudah membuka kaca. Seorang pria yang kira-kira berusia tiga puluhan berada di belakang kemudi. Pria itu menunjukkan rasa simpatinya pada keadaan Nina yang tengah Nina alami.
“Mobilku mogok.” Ucap Nina. “Boleh aku menumpang sampai bengkel terdekat?”
“Sayangnya tidak ada bengkel di sekitar tempat ini.” Jawab pria itu, yang dengan seketika merosotkan hati Nina.
“Tapi kau bisa memanggil mobil derek dari kota sebelah.”
“Tidak ada sinyal di ponselku.” Ucap Nina. Ia sedikit berteriak untuk mengatasi suara riuh air hujan.
“Kalau begitu ikut aku saja.” Ucap pria itu sedetik kemudian. “Rumahku tidak jauh dari tempat ini. Kau bisa menghubungi bengkel lewat telepon rumahku.”
Satu senyum lebar hadir di wajah wanita itu. Nina akhirnya mendapatkan bantuan yang sudah ia nanti-nantikan.
“Benarkah? Tidak apa-apa jika aku…”
“Masuklah!” ucap pria itu. “Ambil barang-barangmu, dan masuk ke mobiku.”
Dalam beberapa detik, Nina sudah duduk di dalam kabin truk pickup berwarna merah yang pria itu kendarai. Tubuhnya yang basah membuatnya sedikit tidak nyaman.
“Mobilmu akan baik-baik saja.” Ucap pria itu sebelum menginjak gas, dan pergi dari tempat itu.
Selama kurang lebih lima menit, keduanya saling diam dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Hingga akhirnya suara pria itu memecah kesunyian.
“Kemana tujuanmu sebenarnya?” tanya pria itu. “Sayang mobilmu harus mogok di tempat terpencil seperti ini.”
“Ya.” Balas Nina. “Aku tengah mengarah ke Cherwood, untuk pekerjaanku. Dan aku memutuskan memotong jalur melalui hutan ini agar cepat sampai. Siapa kira mobil itu akan mogok?”
“Atau ini memang takdir.” Ucap pria itu sambil tertawa kecil. “Kita bertemu. Takdir, ‘kan?”
“Terima kasih atas bantuannya.” Ucap Nina. “Namaku Nina Lawrence. Panggil aku Nina.”
“Dexter.” Pria itu mengucapkan namanya. “Aku jarang keluar bertemu orang lain, sebenarnya. Aku lebih sering menghabiskan waktuku di rumah.”
“Apa pekerjaanmu?”
“Pelukis.” Ucap pria itu sambil tertawa. Nina ikut tertawa.
“Aku serius.” Lanjut Dexter. “Belum terkenal, tapi sudah ada beberapa lukisanku yang laku.”
“Ada kota di sekitar sini?”
“Redrock. Dua puluh mil.”
“Kau tinggal di sana?”
“Tidak.” Jawab Dexter. “Aku tinggal di rumah peninggalan kakekku. Di sekitar sini. Kita akan segera sampai.”
Nina sudah tidak tahu lagi kemaba mobil itu pergi. Hujan deras diluar membuatnya tidak dapat melihat dengan jelas keadaan sekitar. Ditambah lagi dengan suasana hutan pekat, di malam hari. Beberapa menit kemudian Nina rasakan mobil itu memelankan lajunya, dan berbelok ke arah sebuah jalan kecil yang masuk ke dalam hutan.
“Kemana kita…”
“Rumahku.” Jawab pria itu cepat. “Kau akan segera melihatnya.”
Benar. Beberapa menit kemudian mobil itu sampai di halaman sebuah rumah megak, besar, yang terlihat sudah begitu tua. Di tengah hutan, tentu saja terlihat sedikit menyeramkan. Namun dengan adanya cahaya-cahaya jingga dari jendelanya, mungkin bagian dalam rumah akan terasa lebih hangat.
“Selamat datang di Wayward Mansion.” Ucap Dexter ketika ia membimbing Nina melalui pintu ganda besar di bagian depan, dan kini ia berdiri di foyer rumah itu yang terlihat megah dan klasik.
“Wayward Mansion?”
“Aku Dexter Wayward.” Ucap pria itu. “Dan tempat ini adalah peninggalan kakekku.”
Dexter kemudian membimbing kembali Nina, sambil menunjukkan benda-benda antik dan ruangan-ruangan yang ada di dalam rumah besar itu. Anehnya, tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Apakah Dexter melakukan pekerjaan rumahnya sendirian? Rumah sebesar ini?
“Aku akan ambilkan pakaian kering. Kau sebaiknya segera hubungi bengkel terdekat. Nomornya ada di buku telepon.”
“Ya. Terima kasih.” Ucap Nina seraya bergerak mengarah ke sebuah telepon gagang tua yang terletak bersanding dengan sebuah asbak antik.
Nina segera menjelaskan mengenai segala sesuatu mengenai mobilnya pada bengkel yang berhasil ia hubungi. Sayangnya, karena ada badai, mereka baru bisa membetulkan mobilnya besok pagi. Dan Nina sadar, bahwa untuk malam itu ia harus menghabiskan waktunya di dalam rumah tua itu.
Dexter kembali beberapa saat kemudian sambil membawa satu setel pakaian usang yang segera ia serahkan pada Nina.
“Dulu milik adikku. Kini sudah tidak terpakai lagi. Semoga muat kau pakai.”
“Terima kasih.” Ucap Nina seraya menerima kemeja dan celana jeans biru usang itu.
“Di mana kamar mandinya?”
“Di ujung koridor.”
Nina segera melepaskan pakaiannya yang basah, dan menggantinya dengan baju yang Dexter berikan. Memang tidak nyaman rasanya memakai pakaian orang lain. Tapi apa boleh buat. Ia juga tidak mau terus kedinginan dengan pakaian basahnya.
Nina kembali ke foyer, dimana Dexter masih berdiri di anak tangga terbawah. Ia memandang ke arah Nina sambil mengangguk-angguk puas. Pakaian yang ia berikan ternyata cocok berada di tubuh Nina.
“Kau mengingatkanku akan Trace, adikku.” Ucap Dexter. “Sayangnya, hal itu tinggal kenangan.”
“Kemana dia?”
“Dia meninggal. Akibat sakit parah yang ia derita.”
“Oh! Maaf!”
“Jangan dipikirkan!”
Dexter membawa Nina masuk ke dalam ruang tengah yang luas dan banyak dipenuhi dengan barang-barang tua yang antik. Terdapat sebuah karpet berwarna marun ditengah ruangan, di depan sebuah perapian besar yang menyala menghangatkan suasana. Dexter meminta Nina untuk duduk di salah satu sofa antik yang ada di tempat itu.
“Sebentar lagi kita akan malam malam.” Ucap Dexter. “Sebaiknya kau disini, menunggu, sementara aku menyiapkannya.”
“Boleh aku bantu?”
“Kau disini saja!” ucap Dexter. “Baca buku, atau lakukan apa yang mau kau lakukan. Aku akan baik-baik saja.”
Nina merasakan aura yang aneh ketika ia berada di ruangan antik itu sendirian. Perasaan yang tidak menyenangkan entah kenapa hadir ke dalam dirinya. Ia merasa seperti tengah diawasi oleh seseorang. Padahal tidak ada seorang pun di sekelilingnya. Pajangan kepala rusa yang ada diatas perapian entah kenapa terlihat hidup. Sorot kedua matanya seolah memperingatkan Nina, akan adanya bahaya yang mendekat. Namun apa?
Jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, dan hujan diluar sana semakin deras. Petir beberapa kali menyambar, membuat langit terlihat terang selama beberapa detik. Nina tidak dapat duduk diam. Perasaan cemasnya terasa semakin besar, dan ia tidak berhenti mondar-mandir di depan perapian.
Nina menggigil kedinginan. Entah kenapa. Padahal ia sudah tidak memakai pakaian basahnya. Ia merasa bahwa ada yang tidak beres. Setiap sudut dari ruangan yang ia tempati terlihat seolah hidup, dan ada sesuatu yang bergerak diantara bayangan-bayangan benda antik di dalam ruangan itu.
Nina dengan cepat menghentikan langkahnya saat secara samar ia mendengar sebuah suara jeritan. Terdengar samar, namun Nina yakin bahwa apa yang ia dengar seperti suara jeritan seorang wanita. Namun Nina tidak yakin darimana datangnya jeritan itu. Apakah dari dalam hutan? Bukan. Rasanya lebih dekat.
Nina yang sudah tidak betah berada di ruang antik itu memutuskan untuk berjalan-jalan. Ia keluar, bergerak di koridor sambil mengamati lukisan-lukisan yang ada di dinding. Entah kenapa, semua lukisan yang ada di rumah itu adalah lukisan abstrak yang tidak jelas. Semuanya nyaris bernuansa merah, seperti api neraka atau cipratan darah. Dan tidak ada satupun dari lukisan-lukisan di tempat itu yang dapat membuai perasaan Nina. Wanita itu malah semakin ngeri dengan apa yang ia lihat.
Nina sampai di ujung koridor, dimana di tempat itu terdapat sebuah jendela besar dengan tirai tebal. Tanpa bermaksud apa-apa, Nina menyingkap tirai merah itu dan yang ia lihat adalah pemandangan bagian belakang rumah yang terlihat gelap. Namun sesaat ketika petir menyambar, ia dapat melihat bahwa halaman belakang rumah itu dipenuhi dengan mobil-mobil. Mobil-mobil bekas yang sudah berkarat dan tidak terawat lagi. Namun masih ada satu mobil yang kelihatan baru. Anehnya, terdapat sebuah noda merah di kaca depan mobil itu. Seperti darah. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa mungkin Dexter baru saja mengalami kecelakaan dengan mobil itu? Tapi Nina tidak melihat adanya luka di tubuh pria itu.
Dengan penuh pertanyaan, Nina menutup kembali tirai besar itu. Ia kembali berjalan, hingga tanpa sadar ia telah berada di depan sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Rasa penasaran Nina tak dapat terbendung saat ia merasakan aura tidak menyenangkan dari dalam ruangan yang berlampu merah itu. Nina memutuskan untuk mengintip ke dalam. Dan ia temukan…
Nina menahan nafasnya. Keduanya matanya membelalak seketika saat ia melihat adanya horor di dalam ruangan itu. Semua benda nyaris terlihat seperti telah diguyur dengan darah. Merah, bercampur warna hitam dan terlihat seperti sebuah kamar penyiksaan. Tapi, bukan. Ruangan itu adalah sebuah galeri, atau ruang lukis. Dan cat merah berhamburan ke segala tempat. Satu lukisan terlihat masih berada di atas tempat lukis, belum terselesaikan.
“Nina?”
Nina melonjak ketika suara itu tiba-tiba saja terdengar di telinganya. Ia lihat, Dexter telah berdiri di dekatnya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Dexter sambil menarik pintu galeri itu dan menutupnya rapat-rapat. “Kau tidak seharusnya…”
“Maafkan aku!” ucap Nina cepat. “Aku tidak sengaja melihat ke dalam.”
“Makan sudah siap.” Ucap Dexter. “Sebaiknya kita makan.”
Aura tidak menyenangkan kembali dapat Nina rasakan saat ia duduk di meja makan besar bersama lelaki itu. Dexter, kini seolah terus mengawasinya. Semenjak pria itu memergokinya berada di depan galeri, Dexter tidak pernah lagi melepaskan pandangannya dari Nina.
“Makanlah! Kau pasti lapar.” Ucap Dexter.
Nina tidak yakin apakah ia mau memakan apa yang sudah Dexter siapkan. Makana yang ada di piring terlihat seperti tumpukan daging mentah yang disiram dengan saus berwarna merah. Terlihat menjijikkan, dengan aroma yang begitu tajam.
“Aku memasaknya sendiri.” Ucap Dexter lagi. Pria itu mulai menyendok makanannya, dan makan dengan lahap. Tatapan kedua matanya masih mengarah pada Nina, menunggu wanita itu untuk juga memasukkan makanan ke mulutnya.
Nina merasa tidak enak untuk menolak. Dengan sangat terpaksa, ia menyendok gumpalan merah di piringnya itu, dan dengan cepat memasukkannya ke dalam mulut. Aroma yang tajam membuat Nina nyaris muntah. Tekstur dari makanan itu terlalu lembut dan lengket. Nina mungkin bisa menyemburkannya jika saja Dexter tidak mengawasi.
Makan malam kala itu terasa seperti sebuah siksaan bagi Nina. Makanan yang menjijikkan itu akhirnya masuk ke dalam perutnya, dengan usaha yang cukup keras. Nina meraih gelas anggurnya, dan meminum isinya. Paling tidak, anggur itu masih terasa seperti anggur normal.
“Bagaimana dengan mobilmu?” tanya Dexter beberapa saat kemudian. Suaranya yang berat terdengar mencurigakan diantara suara gemuruh di langit. Nina memandang ke arahnya. Dan perlahan, mulut Nina terbuka.
“Besok baru bisa diperbaiki.” Ucapnya. “Maaf! Tapi bisa aku tinggal disini sampai…”
“Apa yang kau bicarakan? Tentu saja.” Potong Dexter cepat. “Aku senang bisa punya teman malam ini. Aku biasanya sendiri.”
Tidak ada yang dapat Nina lakukan selain berdiam di dalam rumah besar itu untuk semalam. Ia tidak bisa pergi kemanapun, karena ia tengah berada di tengah hutan Bokoye. Namun satu sisi di dalam dirinya mengatakan bahwa ia tidak seharusnya tinggal seatap dengan pria yang ada dihadapannya itu. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, dan diluar keadaan normal.
Nina mempermainkan gelas anggurnya. Ketika tiba-tiba saja ia dikejutkan kembali dengan adanya sebuah teriakan yang asalnya dari bagian lain rumah itu. Seketika itu juga ia arahkan matanya pada Dexter.
“Apa itu?”
“Bukan apa-apa!” ucap Dexter berusaha bersikap normal. Namun Nina sadari bahwa ada yang tidak beres dengan ekspresinya barusan. Saat itu juga Dexter bangkit dari kursi yang ia duduki.
“Hanya peliharaanku. Biar aku tangani.”
Nina tidak percaya dengan ucapan itu. Jeritan yang baru saja ia dengar bukanlah jeritan hewan. Terdengar lebih mirip seperti teriakan manusia. Seorang wanita.
Nina bergerak meninggalkan meja ketika Dexter sudah menghilang dari pandangan. Dengan aksi penuh rasa penasaran, Nina mulai menjelajah rumah itu. Ia kembali mengarah ke ruang galeri tadi, dan berhasil masuk. Didapatinya lagi lukisan-lukisan bernuansa merah yang menggambarkan kematian. Dan rasanya tidak normal. Lukisan-lukisan itu memberikannya perasaan yang begitu buruk.
Nina kembali berjingkat saat ia dengar lagi teriakan wanita itu. Nina bergegas keluar dari galeri, dan bergerak cepat dikoridor. Dan ia menghentikan langkahnya saat ia melintasi sebuah ruangan yang pintu sedikit terbuka. Rasa penasaran Nina meluap-luap. Ia memasuki ruangan itu, dan ia temukan…
Nina menutup mulutnya untuk mencegahnya berteriak. Di dalam ruangan kecil itu terdapat begitu banyak barang. Kopor-kopor pakaian, lalu barang-barang elektronik kecil seperti ponsel dan kamera, dan juga ada beberapa tas perempuan. Satu hal ang membuat Nina bergidik adalah kenyataan bahwa di setiap barang itu terdapat noda merah kehitaman. Darah.
Nina menggelengkan kepalanya tidak percaya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dengan semua barang ini? Milik orang-orang? Nina seketika teriangat dengan tumpukan mobil di bagian belakang rumah. Dan satu teori mengerikan muncul di permukaan otaknya.
Dexter!
Dexter adalah seorang yang tidak waras. Kini Nina yakin dengan hal itu. Mobil-mobil yang ada di belakang rumah, dan juga barang-barang pribadi itu adalah milik orang-orang yang mampir ke rumah ini. Dan sepertinya mereka tidak bisa keluar hidup-hidup. Lalu jeritan wanita yang Nina dengar…
Nina seketika memutar tubuhnya dan berniat untuk berlari, pergi dari rumah itu. Namun ketika ia keluar dari pintu, sebuah cengkeraman mendarat di lehernya. Dan ia dapat melihat, wajah Dexter memicing ke arahnya.
“Ups! Sepertinya kau melihat apa yang seharusnya tidak kau lihat.”
Nina tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Seketika, ada hantaman mendarat di tengkuknya, dan ia pun kehilangan kesadaran.

**

Nina perlahan membuka kedua matanya tanpa tahu sudah berapa lama ia pingsan. Kini ia sadari bahwa ia berada di sebuah ruangan yang remang, yang hanya diterangi oleh sebuah lampu pijar yang menggentung di langit-langit. Nina mencoba menggerakkan tubuhnya. Namun ia sadari beberapa detik kemudian bahwa kedua tangan dan kakinya terikat.
Jantung Nina melonjak seketika saat ia mendengar suara rintihan dari samping tempatnya terbaring. Dan ia lihat, sesosok wanita dalam pakaian dalam terikat pada sebuah kursi, dengan luka cambuk di sekujur tubuhnya. Rambut pirang wanita itu terlihat kusut, dan wajahnya kotor penuh dengan air mata yang mengering.
“Kumohon…” rintih wanita itu. “Keluarkan aku dari sini!”
Nina tidak dapat melakukan apapun. Dan kini ia sadar bahwa ia tengah berada dalam sebuah kondisi yang tidak begitu mengenakkan. Maniak itu, Dexter, mungkin tengah merencanakan sesuatu.
“Dia akan membunuh kita.” Ucap wanita itu. “Dexter akan membunuh kita!”
“Tenangkah dirimu!” ucap Nina dengan suara serak. “Aku akan mencoba mencari jalan keluar dari rumah ini.”
Nina belum pernah mengalami hal seekstrim ini sebelumnya. Dan ia tidak tahu cara untuk melepaskan tangannya dari ikatan yang ada pada pergelangan tangannya. Ia hanya bisa menggigit tali coklat yang erat itu, berharaop kekuatan giginya akan membantu.
“Ayolah!”
Nina berusaha terlalu keras. Pergelangan tangannya mulai lecet dan berdarah karena terlalu sering bergesekan dengan tali yang mengikat erat itu. Tapi Nina sudah tidak peduli lagi. Ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk keluar dari rumah mengerikan itu.
Nina menghentikan usahanya saat ia dengar sebuah langkah kaki berat mendekat. Dexter, muncul dengan wajah dingin, dan di tangannya terdapat sebuah cambuk.
“Ah! Kau sudah sadar.”
“Apa yang kau lakukan?” tanya Nina ketus. “Kau keparat!”
Dexter hanya mendengus. Kemudian ia bergerak perlahan ke arah wanita yang terikat di kursi itu. Wanita itu pun mulai menjerit-jerit saat ia tahu bahwa hal buruk akan terjadi padanya.
“TIDAK! KUMOHON! JANGAN SAKITI AKU! KUMOHON!”
“Bukankah sudah terlambat untuk hal itu?” balas Dexter. Ia menyeringai, lalu mengangkat cambuknya tinggi-tinggi. Kemudian…
Terdengar sebuah erangan yang memilukan disertai dengan suara cambuk yang menghantam kulit wanita itu. Dexter menggila. Ia melakukan penyiksaan itu dengan dingin dan begitu kejam. Teriakan wanita itu semakin lama semakin keras. Dan Nina tidak mau melihat lagi hal mengerikan itu.
“RASAKAN PENDERITAAN INI, DASAR JALANG!”
Nina mencoba untuk mengabaikan apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar. Dengan usaha yang terlalu berlebihan, ia mencoba melonggarkan ikatan pada tangannya, yang membuat pergelangan tangannya itu berdarah.
Dexter sepertinya terlalu sibuk dengan wanita pirang itu, dan tidak memperhatikan apa yang tengah Nina lakukan. Dan dengan satu keberuntungan, Nina berhasil melepaskan ikatan pada tangannya. Ia lepas pula ikatan kakinya, lalu berdiri.
Tepat ketika ia berpuar untuk berlari, Dexter menolehkan kepalanya. Pria itu geram, karena salah satu tawanannya berhasil kabur.
“KEMANA KAU MAU PERGI?” teriakknya.
Nina berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari pria itu. Satu hal yang ada di dalam kelapanya hanyalah mencoba untuk keluar dari rumah terkutuk itu. Kini ia tahu bahwa ia tengah berhadapan dengan seorang pembunuh kejam yang kemungkinan telah membunuh orang-orang yang tersesat di kawasan itu. Barang-barang pribadi di kamar dan juga tumpukan mobil di belakang rumah adalah bukti dari hal itu. Dan Nina mungkin akan jadi korban berikutnya.
Nina berlari menyusuri koridor, lalu mengarah ke pintu depan. Dengan cepat ia putar kenop pintunya, tapi…
Tidak!
Pintunya terkunci. Dan Nina sudah kehilangan akal. Nafasnya memburu, penuh dengan ketakutan. Ia berlari lagi, lalu masuk ke dalam satu satu ruangan tepat ketika ia melihat Dexter muncul di ujung koridor.
Pria itu bergerak lambat. Mencoba menemukan keberadaan ‘tikus’nya yang berhasil lari. Di tangannya terdapat sebilah pisau, yang penuh dengan darah hasil dari penyiksaannya terhadap wanita pirang itu. Tidak ada yang dapat Nina lakukan untuk menolong wanita itu. Kini ia harus fokus untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
“Dimana kau?” geram Dexter. Suaranya terdengar membahana di koridor.
“Keluar, sayang! Kau tidak bisa lari!”
Nina menahan nafasnya ketika Dexter bergerak melewati ruangan dimana ia bersembunyi. Keadaan yang sedikit gelap membantu Nina menyembunyikan keberadaannya.
Ketika Dexter sudah berada di foyer rumah, inilah kesempatan bagi Nina untuk lari. Dengan cepat ia keluar dari ruangan dimana ia bersembunyi lalu berlari ke arah sebuah jendela.
Nina merasakan sebuah keberuntungan ketika ia dapat dengan mudah membuka kunci jendela, dan melompat keluar dari rumah itu. Hujan masih mengguyur begitu deras namun ia tak peduli lagi. Dengan meraba dalam kegelapan, ia berlari menembus semak-semak, mencoba menjauh dari rumah itu.
Nina menghentikan langkahnya ketika ia kira ia sudah begitu jauh dari urmah besar itu. Rumah besar tua, dengan cahaya jingga berada di tengah kepekatan hutan Bokoye itu memang terlihat begitu menyeramkan. Namun ia behasil kabur. Dan Nina tertawa lirih.
“Ada yang lucu?”
Jantung Nina melompat seketika. Satu gerakan reflek membuatnya berputar. Dan apa yang ia temukan menjadi mimpi buruk baginya. Wajah Dexter hadis di depan kedua matanya dengan seringai lebar. Dan detik berikutnya, bilah pisau itu menusuk tubuhnya.

***
Wajah menyeringai yang penuh dengan kelicikan dan daya pikat itu masih menghantui Wayward Mansion. Dan dengan akal busuknya, ia terus menjebloskan orang-orang tersesat untuk masuk ke dalam istana iblisnya. Untuk menjadi korban, dari kelicikan dan akal busuknya.
Dengan mobilnya, ia terus bergerak mengitari jalanan di sekitar Wayward mansion, dan menunggu mangsa selanjutnya. Dan beberapa hari setelah ia mendapatkan Nina Lawrance, ia mendapatkan penumpang lain. Seorang wanita muda yang tersesat.
“Ada yang bisa kubantu Nona?” tanyanya dengan penuh kelicikan namun tidak ia tunjukkan itu.
“Mobilku mogok. Aku perlu bantuan.”
“Tenang saja!” ucap Dexter Wayward. “Aku bisa membantu.”

****

No comments:

Post a Comment