Nina menghentakkan kakinya kesal ke arah aspal. Sudah ada
satu setengah jam ia berdiri di tepi jalan untuk menunggu mobil lewat, namun
tidak juga datang. Sebenarnya ia membawa mobil sendiri. Tapi ketika ia melewati
area hutan Bokoye yang cukup luas itu, mobilnya tiba-tiba mati dengan
sendirinya. Apakah hanya kebetulan? Hutan Bokoye mulai terlihat menyeramkan
saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Meninggalkan celah-celah sinar
dari balik pepohonan. Dan dalam beberapa menit, Nina telah berdiri dalam kegelapan
malam.
Nina sudah mencoba untuk
menghubungi bengkel. Namun sayangnya, berada di tengah hutan membuatnya tidak
dapat mendapatkan sinyal ponsel. Terpaksa, Nina harus menunggu sebuah
keajaiban. Sebuah mobil yang lewat, mungkin. Sementara itu, ia hanya dapat
duduk di kap mobil tuanya itu.
Nina berdecak kesal saat
tiba-tiba saja rintik hujan mulai turun. Benar-benar sebuah keadaan yang sial
bagi Nina hari itu. Kenapa ia harus pergi belasan mil untuk pekerjaan ringan,
dan harus melewati pekatnya hutan Bokoye, dan kenapa juga mobilnya harus mogok
disaat yang tidak tepat? Dan kini, hujan turun. Aspal hitam yang membelah hutan
tua itu dengan cepat basah. Nina meringkuk di dalam kabin mobilnya, dengan
pandangan mata tajam ke arah jalanan, masih menunggu.
Entah sudah berapa lama
ponselnya memainkan musik untuk mengusir kebosanan. Nina sadari kemudian bahwa
jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Dan kini resmi, ia tidak dapat
melakukan pekerjaan yang seharusnya ia lakukan.
Kedua mata wanita itu
tiba-tiba saja melebar saat ia melihat satu titik cahaya berwarna kuning di
kejauhan. Sebuah mobil? Ya. Dan tengah mengarah ke arahnya. Nina dengan cepat
turun dari mobil, mengabaikan tetesan air hujan yang menimpanya, dan berdiri di
tengah jalan sambil melambaikan kedua lengannya. Mobil yang datang itu perlahan
memelankan lajunya, dan berhenti tepat di samping wanita itu.
“Maaf!” ucap Nina seraya
bergerak ke arah sopir yang sudah membuka kaca. Seorang pria yang kira-kira
berusia tiga puluhan berada di belakang kemudi. Pria itu menunjukkan rasa
simpatinya pada keadaan Nina yang tengah Nina alami.
“Mobilku mogok.” Ucap Nina.
“Boleh aku menumpang sampai bengkel terdekat?”
“Sayangnya tidak ada bengkel
di sekitar tempat ini.” Jawab pria itu, yang dengan seketika merosotkan hati
Nina.
“Tapi kau bisa memanggil
mobil derek dari kota sebelah.”
“Tidak ada sinyal di
ponselku.” Ucap Nina. Ia sedikit berteriak untuk mengatasi suara riuh air
hujan.
“Kalau begitu ikut aku
saja.” Ucap pria itu sedetik kemudian. “Rumahku tidak jauh dari tempat ini. Kau
bisa menghubungi bengkel lewat telepon rumahku.”
Satu senyum lebar hadir di
wajah wanita itu. Nina akhirnya mendapatkan bantuan yang sudah ia
nanti-nantikan.
“Benarkah? Tidak apa-apa
jika aku…”
“Masuklah!” ucap pria itu.
“Ambil barang-barangmu, dan masuk ke mobiku.”
Dalam beberapa detik, Nina
sudah duduk di dalam kabin truk pickup berwarna merah yang pria itu kendarai.
Tubuhnya yang basah membuatnya sedikit tidak nyaman.
“Mobilmu akan baik-baik
saja.” Ucap pria itu sebelum menginjak gas, dan pergi dari tempat itu.
Selama kurang lebih lima
menit, keduanya saling diam dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
Hingga akhirnya suara pria itu memecah kesunyian.
“Kemana tujuanmu
sebenarnya?” tanya pria itu. “Sayang mobilmu harus mogok di tempat terpencil
seperti ini.”
“Ya.” Balas Nina. “Aku
tengah mengarah ke Cherwood, untuk pekerjaanku. Dan aku memutuskan memotong
jalur melalui hutan ini agar cepat sampai. Siapa kira mobil itu akan mogok?”
“Atau ini memang takdir.”
Ucap pria itu sambil tertawa kecil. “Kita bertemu. Takdir, ‘kan?”
“Terima kasih atas
bantuannya.” Ucap Nina. “Namaku Nina Lawrence. Panggil aku Nina.”
“Dexter.” Pria itu
mengucapkan namanya. “Aku jarang keluar bertemu orang lain, sebenarnya. Aku
lebih sering menghabiskan waktuku di rumah.”
“Apa pekerjaanmu?”
“Pelukis.” Ucap pria itu
sambil tertawa. Nina ikut tertawa.
“Aku serius.” Lanjut Dexter.
“Belum terkenal, tapi sudah ada beberapa lukisanku yang laku.”
“Ada kota di sekitar sini?”
“Redrock. Dua puluh mil.”
“Kau tinggal di sana?”
“Tidak.” Jawab Dexter. “Aku
tinggal di rumah peninggalan kakekku. Di sekitar sini. Kita akan segera
sampai.”
Nina sudah tidak tahu lagi
kemaba mobil itu pergi. Hujan deras diluar membuatnya tidak dapat melihat
dengan jelas keadaan sekitar. Ditambah lagi dengan suasana hutan pekat, di
malam hari. Beberapa menit kemudian Nina rasakan mobil itu memelankan lajunya,
dan berbelok ke arah sebuah jalan kecil yang masuk ke dalam hutan.
“Kemana kita…”
“Rumahku.” Jawab pria itu
cepat. “Kau akan segera melihatnya.”
Benar. Beberapa menit
kemudian mobil itu sampai di halaman sebuah rumah megak, besar, yang terlihat
sudah begitu tua. Di tengah hutan, tentu saja terlihat sedikit menyeramkan.
Namun dengan adanya cahaya-cahaya jingga dari jendelanya, mungkin bagian dalam
rumah akan terasa lebih hangat.
“Selamat datang di Wayward
Mansion.” Ucap Dexter ketika ia membimbing Nina melalui pintu ganda besar di
bagian depan, dan kini ia berdiri di foyer rumah itu yang terlihat megah dan
klasik.
“Wayward Mansion?”
“Aku Dexter Wayward.” Ucap
pria itu. “Dan tempat ini adalah peninggalan kakekku.”
Dexter kemudian membimbing
kembali Nina, sambil menunjukkan benda-benda antik dan ruangan-ruangan yang ada
di dalam rumah besar itu. Anehnya, tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.
Apakah Dexter melakukan pekerjaan rumahnya sendirian? Rumah sebesar ini?
“Aku akan ambilkan pakaian
kering. Kau sebaiknya segera hubungi bengkel terdekat. Nomornya ada di buku
telepon.”
“Ya. Terima kasih.” Ucap
Nina seraya bergerak mengarah ke sebuah telepon gagang tua yang terletak
bersanding dengan sebuah asbak antik.
Nina segera menjelaskan
mengenai segala sesuatu mengenai mobilnya pada bengkel yang berhasil ia
hubungi. Sayangnya, karena ada badai, mereka baru bisa membetulkan mobilnya
besok pagi. Dan Nina sadar, bahwa untuk malam itu ia harus menghabiskan
waktunya di dalam rumah tua itu.
Dexter kembali beberapa saat
kemudian sambil membawa satu setel pakaian usang yang segera ia serahkan pada
Nina.
“Dulu milik adikku. Kini
sudah tidak terpakai lagi. Semoga muat kau pakai.”
“Terima kasih.” Ucap Nina
seraya menerima kemeja dan celana jeans biru usang itu.
“Di mana kamar mandinya?”
“Di ujung koridor.”
Nina segera melepaskan
pakaiannya yang basah, dan menggantinya dengan baju yang Dexter berikan. Memang
tidak nyaman rasanya memakai pakaian orang lain. Tapi apa boleh buat. Ia juga
tidak mau terus kedinginan dengan pakaian basahnya.
Nina kembali ke foyer,
dimana Dexter masih berdiri di anak tangga terbawah. Ia memandang ke arah Nina
sambil mengangguk-angguk puas. Pakaian yang ia berikan ternyata cocok berada di
tubuh Nina.
“Kau mengingatkanku akan
Trace, adikku.” Ucap Dexter. “Sayangnya, hal itu tinggal kenangan.”
“Kemana dia?”
“Dia meninggal. Akibat sakit
parah yang ia derita.”
“Oh! Maaf!”
“Jangan dipikirkan!”
Dexter membawa Nina masuk ke
dalam ruang tengah yang luas dan banyak dipenuhi dengan barang-barang tua yang
antik. Terdapat sebuah karpet berwarna marun ditengah ruangan, di depan sebuah
perapian besar yang menyala menghangatkan suasana. Dexter meminta Nina untuk
duduk di salah satu sofa antik yang ada di tempat itu.
“Sebentar lagi kita akan
malam malam.” Ucap Dexter. “Sebaiknya kau disini, menunggu, sementara aku
menyiapkannya.”
“Boleh aku bantu?”
“Kau disini saja!” ucap
Dexter. “Baca buku, atau lakukan apa yang mau kau lakukan. Aku akan baik-baik
saja.”
Nina merasakan aura yang
aneh ketika ia berada di ruangan antik itu sendirian. Perasaan yang tidak
menyenangkan entah kenapa hadir ke dalam dirinya. Ia merasa seperti tengah
diawasi oleh seseorang. Padahal tidak ada seorang pun di sekelilingnya.
Pajangan kepala rusa yang ada diatas perapian entah kenapa terlihat hidup.
Sorot kedua matanya seolah memperingatkan Nina, akan adanya bahaya yang
mendekat. Namun apa?
Jarum jam menunjukkan pukul
tujuh malam, dan hujan diluar sana semakin deras. Petir beberapa kali
menyambar, membuat langit terlihat terang selama beberapa detik. Nina tidak
dapat duduk diam. Perasaan cemasnya terasa semakin besar, dan ia tidak berhenti
mondar-mandir di depan perapian.
Nina menggigil kedinginan.
Entah kenapa. Padahal ia sudah tidak memakai pakaian basahnya. Ia merasa bahwa
ada yang tidak beres. Setiap sudut dari ruangan yang ia tempati terlihat seolah
hidup, dan ada sesuatu yang bergerak diantara bayangan-bayangan benda antik di
dalam ruangan itu.
Nina dengan cepat
menghentikan langkahnya saat secara samar ia mendengar sebuah suara jeritan.
Terdengar samar, namun Nina yakin bahwa apa yang ia dengar seperti suara
jeritan seorang wanita. Namun Nina tidak yakin darimana datangnya jeritan itu.
Apakah dari dalam hutan? Bukan. Rasanya lebih dekat.
Nina yang sudah tidak betah
berada di ruang antik itu memutuskan untuk berjalan-jalan. Ia keluar, bergerak
di koridor sambil mengamati lukisan-lukisan yang ada di dinding. Entah kenapa,
semua lukisan yang ada di rumah itu adalah lukisan abstrak yang tidak jelas.
Semuanya nyaris bernuansa merah, seperti api neraka atau cipratan darah. Dan
tidak ada satupun dari lukisan-lukisan di tempat itu yang dapat membuai
perasaan Nina. Wanita itu malah semakin ngeri dengan apa yang ia lihat.
Nina sampai di ujung
koridor, dimana di tempat itu terdapat sebuah jendela besar dengan tirai tebal.
Tanpa bermaksud apa-apa, Nina menyingkap tirai merah itu dan yang ia lihat
adalah pemandangan bagian belakang rumah yang terlihat gelap. Namun sesaat
ketika petir menyambar, ia dapat melihat bahwa halaman belakang rumah itu
dipenuhi dengan mobil-mobil. Mobil-mobil bekas yang sudah berkarat dan tidak
terawat lagi. Namun masih ada satu mobil yang kelihatan baru. Anehnya, terdapat
sebuah noda merah di kaca depan mobil itu. Seperti darah. Apa yang sebenarnya
terjadi? Apa mungkin Dexter baru saja mengalami kecelakaan dengan mobil itu?
Tapi Nina tidak melihat adanya luka di tubuh pria itu.
Dengan penuh pertanyaan,
Nina menutup kembali tirai besar itu. Ia kembali berjalan, hingga tanpa sadar
ia telah berada di depan sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Rasa
penasaran Nina tak dapat terbendung saat ia merasakan aura tidak menyenangkan
dari dalam ruangan yang berlampu merah itu. Nina memutuskan untuk mengintip ke
dalam. Dan ia temukan…
Nina menahan nafasnya.
Keduanya matanya membelalak seketika saat ia melihat adanya horor di dalam
ruangan itu. Semua benda nyaris terlihat seperti telah diguyur dengan darah.
Merah, bercampur warna hitam dan terlihat seperti sebuah kamar penyiksaan.
Tapi, bukan. Ruangan itu adalah sebuah galeri, atau ruang lukis. Dan cat merah
berhamburan ke segala tempat. Satu lukisan terlihat masih berada di atas tempat
lukis, belum terselesaikan.
“Nina?”
Nina melonjak ketika suara
itu tiba-tiba saja terdengar di telinganya. Ia lihat, Dexter telah berdiri di
dekatnya.
“Apa yang kau lakukan?”
tanya Dexter sambil menarik pintu galeri itu dan menutupnya rapat-rapat. “Kau
tidak seharusnya…”
“Maafkan aku!” ucap Nina cepat.
“Aku tidak sengaja melihat ke dalam.”
“Makan sudah siap.” Ucap
Dexter. “Sebaiknya kita makan.”
Aura tidak menyenangkan
kembali dapat Nina rasakan saat ia duduk di meja makan besar bersama lelaki
itu. Dexter, kini seolah terus mengawasinya. Semenjak pria itu memergokinya
berada di depan galeri, Dexter tidak pernah lagi melepaskan pandangannya dari
Nina.
“Makanlah! Kau pasti lapar.”
Ucap Dexter.
Nina tidak yakin apakah ia
mau memakan apa yang sudah Dexter siapkan. Makana yang ada di piring terlihat
seperti tumpukan daging mentah yang disiram dengan saus berwarna merah.
Terlihat menjijikkan, dengan aroma yang begitu tajam.
“Aku memasaknya sendiri.”
Ucap Dexter lagi. Pria itu mulai menyendok makanannya, dan makan dengan lahap.
Tatapan kedua matanya masih mengarah pada Nina, menunggu wanita itu untuk juga
memasukkan makanan ke mulutnya.
Nina merasa tidak enak untuk
menolak. Dengan sangat terpaksa, ia menyendok gumpalan merah di piringnya itu,
dan dengan cepat memasukkannya ke dalam mulut. Aroma yang tajam membuat Nina
nyaris muntah. Tekstur dari makanan itu terlalu lembut dan lengket. Nina
mungkin bisa menyemburkannya jika saja Dexter tidak mengawasi.
Makan malam kala itu terasa
seperti sebuah siksaan bagi Nina. Makanan yang menjijikkan itu akhirnya masuk
ke dalam perutnya, dengan usaha yang cukup keras. Nina meraih gelas anggurnya,
dan meminum isinya. Paling tidak, anggur itu masih terasa seperti anggur
normal.
“Bagaimana dengan mobilmu?”
tanya Dexter beberapa saat kemudian. Suaranya yang berat terdengar mencurigakan
diantara suara gemuruh di langit. Nina memandang ke arahnya. Dan perlahan,
mulut Nina terbuka.
“Besok baru bisa
diperbaiki.” Ucapnya. “Maaf! Tapi bisa aku tinggal disini sampai…”
“Apa yang kau bicarakan?
Tentu saja.” Potong Dexter cepat. “Aku senang bisa punya teman malam ini. Aku
biasanya sendiri.”
Tidak ada yang dapat Nina
lakukan selain berdiam di dalam rumah besar itu untuk semalam. Ia tidak bisa pergi
kemanapun, karena ia tengah berada di tengah hutan Bokoye. Namun satu sisi di
dalam dirinya mengatakan bahwa ia tidak seharusnya tinggal seatap dengan pria
yang ada dihadapannya itu. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak
beres, dan diluar keadaan normal.
Nina mempermainkan gelas
anggurnya. Ketika tiba-tiba saja ia dikejutkan kembali dengan adanya sebuah
teriakan yang asalnya dari bagian lain rumah itu. Seketika itu juga ia arahkan
matanya pada Dexter.
“Apa itu?”
“Bukan apa-apa!” ucap Dexter
berusaha bersikap normal. Namun Nina sadari bahwa ada yang tidak beres dengan
ekspresinya barusan. Saat itu juga Dexter bangkit dari kursi yang ia duduki.
“Hanya peliharaanku. Biar
aku tangani.”
Nina tidak percaya dengan
ucapan itu. Jeritan yang baru saja ia dengar bukanlah jeritan hewan. Terdengar
lebih mirip seperti teriakan manusia. Seorang wanita.
Nina bergerak meninggalkan
meja ketika Dexter sudah menghilang dari pandangan. Dengan aksi penuh rasa
penasaran, Nina mulai menjelajah rumah itu. Ia kembali mengarah ke ruang galeri
tadi, dan berhasil masuk. Didapatinya lagi lukisan-lukisan bernuansa merah yang
menggambarkan kematian. Dan rasanya tidak normal. Lukisan-lukisan itu
memberikannya perasaan yang begitu buruk.
Nina kembali berjingkat saat
ia dengar lagi teriakan wanita itu. Nina bergegas keluar dari galeri, dan
bergerak cepat dikoridor. Dan ia menghentikan langkahnya saat ia melintasi
sebuah ruangan yang pintu sedikit terbuka. Rasa penasaran Nina meluap-luap. Ia
memasuki ruangan itu, dan ia temukan…
Nina menutup mulutnya untuk
mencegahnya berteriak. Di dalam ruangan kecil itu terdapat begitu banyak
barang. Kopor-kopor pakaian, lalu barang-barang elektronik kecil seperti ponsel
dan kamera, dan juga ada beberapa tas perempuan. Satu hal ang membuat Nina
bergidik adalah kenyataan bahwa di setiap barang itu terdapat noda merah
kehitaman. Darah.
Nina menggelengkan kepalanya
tidak percaya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dengan semua barang ini?
Milik orang-orang? Nina seketika teriangat dengan tumpukan mobil di bagian
belakang rumah. Dan satu teori mengerikan muncul di permukaan otaknya.
Dexter!
Dexter adalah seorang yang
tidak waras. Kini Nina yakin dengan hal itu. Mobil-mobil yang ada di belakang
rumah, dan juga barang-barang pribadi itu adalah milik orang-orang yang mampir
ke rumah ini. Dan sepertinya mereka tidak bisa keluar hidup-hidup. Lalu jeritan
wanita yang Nina dengar…
Nina seketika memutar
tubuhnya dan berniat untuk berlari, pergi dari rumah itu. Namun ketika ia
keluar dari pintu, sebuah cengkeraman mendarat di lehernya. Dan ia dapat
melihat, wajah Dexter memicing ke arahnya.
“Ups! Sepertinya kau melihat
apa yang seharusnya tidak kau lihat.”
Nina tidak tahu apa yang
terjadi selanjutnya. Seketika, ada hantaman mendarat di tengkuknya, dan ia pun
kehilangan kesadaran.
**
Nina perlahan membuka kedua
matanya tanpa tahu sudah berapa lama ia pingsan. Kini ia sadari bahwa ia berada
di sebuah ruangan yang remang, yang hanya diterangi oleh sebuah lampu pijar
yang menggentung di langit-langit. Nina mencoba menggerakkan tubuhnya. Namun ia
sadari beberapa detik kemudian bahwa kedua tangan dan kakinya terikat.
Jantung Nina melonjak
seketika saat ia mendengar suara rintihan dari samping tempatnya terbaring. Dan
ia lihat, sesosok wanita dalam pakaian dalam terikat pada sebuah kursi, dengan
luka cambuk di sekujur tubuhnya. Rambut pirang wanita itu terlihat kusut, dan
wajahnya kotor penuh dengan air mata yang mengering.
“Kumohon…” rintih wanita
itu. “Keluarkan aku dari sini!”
Nina tidak dapat melakukan
apapun. Dan kini ia sadar bahwa ia tengah berada dalam sebuah kondisi yang
tidak begitu mengenakkan. Maniak itu, Dexter, mungkin tengah merencanakan
sesuatu.
“Dia akan membunuh kita.”
Ucap wanita itu. “Dexter akan membunuh kita!”
“Tenangkah dirimu!” ucap
Nina dengan suara serak. “Aku akan mencoba mencari jalan keluar dari rumah ini.”
Nina belum pernah mengalami
hal seekstrim ini sebelumnya. Dan ia tidak tahu cara untuk melepaskan tangannya
dari ikatan yang ada pada pergelangan tangannya. Ia hanya bisa menggigit tali
coklat yang erat itu, berharaop kekuatan giginya akan membantu.
“Ayolah!”
Nina berusaha terlalu keras.
Pergelangan tangannya mulai lecet dan berdarah karena terlalu sering bergesekan
dengan tali yang mengikat erat itu. Tapi Nina sudah tidak peduli lagi. Ia akan
berusaha semaksimal mungkin untuk keluar dari rumah mengerikan itu.
Nina menghentikan usahanya
saat ia dengar sebuah langkah kaki berat mendekat. Dexter, muncul dengan wajah
dingin, dan di tangannya terdapat sebuah cambuk.
“Ah! Kau sudah sadar.”
“Apa yang kau lakukan?”
tanya Nina ketus. “Kau keparat!”
Dexter hanya mendengus.
Kemudian ia bergerak perlahan ke arah wanita yang terikat di kursi itu. Wanita
itu pun mulai menjerit-jerit saat ia tahu bahwa hal buruk akan terjadi padanya.
“TIDAK! KUMOHON! JANGAN
SAKITI AKU! KUMOHON!”
“Bukankah sudah terlambat
untuk hal itu?” balas Dexter. Ia menyeringai, lalu mengangkat cambuknya
tinggi-tinggi. Kemudian…
Terdengar sebuah erangan
yang memilukan disertai dengan suara cambuk yang menghantam kulit wanita itu.
Dexter menggila. Ia melakukan penyiksaan itu dengan dingin dan begitu kejam.
Teriakan wanita itu semakin lama semakin keras. Dan Nina tidak mau melihat lagi
hal mengerikan itu.
“RASAKAN PENDERITAAN INI,
DASAR JALANG!”
Nina mencoba untuk mengabaikan
apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar. Dengan usaha yang terlalu berlebihan,
ia mencoba melonggarkan ikatan pada tangannya, yang membuat pergelangan
tangannya itu berdarah.
Dexter sepertinya terlalu
sibuk dengan wanita pirang itu, dan tidak memperhatikan apa yang tengah Nina
lakukan. Dan dengan satu keberuntungan, Nina berhasil melepaskan ikatan pada
tangannya. Ia lepas pula ikatan kakinya, lalu berdiri.
Tepat ketika ia berpuar
untuk berlari, Dexter menolehkan kepalanya. Pria itu geram, karena salah satu
tawanannya berhasil kabur.
“KEMANA KAU MAU PERGI?”
teriakknya.
Nina berlari sekuat tenaga,
mencoba menghindari pria itu. Satu hal yang ada di dalam kelapanya hanyalah
mencoba untuk keluar dari rumah terkutuk itu. Kini ia tahu bahwa ia tengah
berhadapan dengan seorang pembunuh kejam yang kemungkinan telah membunuh
orang-orang yang tersesat di kawasan itu. Barang-barang pribadi di kamar dan
juga tumpukan mobil di belakang rumah adalah bukti dari hal itu. Dan Nina
mungkin akan jadi korban berikutnya.
Nina berlari menyusuri
koridor, lalu mengarah ke pintu depan. Dengan cepat ia putar kenop pintunya,
tapi…
Tidak!
Pintunya terkunci. Dan Nina
sudah kehilangan akal. Nafasnya memburu, penuh dengan ketakutan. Ia berlari
lagi, lalu masuk ke dalam satu satu ruangan tepat ketika ia melihat Dexter
muncul di ujung koridor.
Pria itu bergerak lambat.
Mencoba menemukan keberadaan ‘tikus’nya yang berhasil lari. Di tangannya
terdapat sebilah pisau, yang penuh dengan darah hasil dari penyiksaannya
terhadap wanita pirang itu. Tidak ada yang dapat Nina lakukan untuk menolong
wanita itu. Kini ia harus fokus untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
“Dimana kau?” geram Dexter.
Suaranya terdengar membahana di koridor.
“Keluar, sayang! Kau tidak
bisa lari!”
Nina menahan nafasnya ketika
Dexter bergerak melewati ruangan dimana ia bersembunyi. Keadaan yang sedikit
gelap membantu Nina menyembunyikan keberadaannya.
Ketika Dexter sudah berada
di foyer rumah, inilah kesempatan bagi Nina untuk lari. Dengan cepat ia keluar
dari ruangan dimana ia bersembunyi lalu berlari ke arah sebuah jendela.
Nina merasakan sebuah
keberuntungan ketika ia dapat dengan mudah membuka kunci jendela, dan melompat
keluar dari rumah itu. Hujan masih mengguyur begitu deras namun ia tak peduli
lagi. Dengan meraba dalam kegelapan, ia berlari menembus semak-semak, mencoba
menjauh dari rumah itu.
Nina menghentikan langkahnya
ketika ia kira ia sudah begitu jauh dari urmah besar itu. Rumah besar tua,
dengan cahaya jingga berada di tengah kepekatan hutan Bokoye itu memang terlihat
begitu menyeramkan. Namun ia behasil kabur. Dan Nina tertawa lirih.
“Ada yang lucu?”
Jantung Nina melompat
seketika. Satu gerakan reflek membuatnya berputar. Dan apa yang ia temukan
menjadi mimpi buruk baginya. Wajah Dexter hadis di depan kedua matanya dengan
seringai lebar. Dan detik berikutnya, bilah pisau itu menusuk tubuhnya.
***
Wajah menyeringai yang penuh
dengan kelicikan dan daya pikat itu masih menghantui Wayward Mansion. Dan
dengan akal busuknya, ia terus menjebloskan orang-orang tersesat untuk masuk ke
dalam istana iblisnya. Untuk menjadi korban, dari kelicikan dan akal busuknya.
Dengan mobilnya, ia terus
bergerak mengitari jalanan di sekitar Wayward mansion, dan menunggu mangsa
selanjutnya. Dan beberapa hari setelah ia mendapatkan Nina Lawrance, ia
mendapatkan penumpang lain. Seorang wanita muda yang tersesat.
“Ada yang bisa kubantu
Nona?” tanyanya dengan penuh kelicikan namun tidak ia tunjukkan itu.
“Mobilku mogok. Aku perlu
bantuan.”
“Tenang saja!” ucap Dexter
Wayward. “Aku bisa membantu.”
****
No comments:
Post a Comment