Thursday, May 12, 2016

CABIN IN THE WOODS



Jane Miller kembali terbangun dari tidurnya saat ia lagi-lagi merasakan ada benda dingin yang menempel di kakinya. Ia menegakan tubuhnya, menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, dan melihat kakinya. Ada apa disana? Tidak ada apapun. Kakinya masih utuh, dan tidak ada bekas apapun yang menempel di kakinya. Tapi ia tahu dengan apa yang ia rasakan. Rasa dingin seperti es, yang seolah mencengkeram tungkainya. Apa ia hanya bermimpi?
Matt, suaminya, masih tertidur pulas di sisinya. Ia sebenarnya ingin mengatakan apa yang ia rasakan. Tapi ia tidak mau mengganggu tidur suaminya, karena tahu bahwa Matt sangat kelelahan setelah seharian bekerja.
Jane melirik ke arah jam digital yang ada di samping tempat tidur, yang baru menunjukkan pukul satu dini hari. Suasana kabin di tengah hutan yang ia tempati tidak dapat dikatakan nyaman dan damai. Bayang-bayang dari pepohonan tinggi di luar yang bergerak tersapu angin menciptakan sebuah kesan yang tidak menyenangkan baginya. Derak ranting pohon, dan desiran udara yang masuk melalui celah papan dinding membuatnya tidak dapat kembali tidur.
Jane sebenarnya tidak begitu menyetujui usul suaminya untuk tinggal beberapa hari di kabin tengah hutan ini. Ia sudah mengatakan alasan ketakutannya, namun Matt tidak mau peduli dan terus mengatakan,
“Kabin itu aman. Tidak akan ada yang terjadi.”
Ya. Jane awalnya mungkin dapat merasa tenang setelah suaminya berkata seperti itu. Tapi ketika ia sampai di kabin, dan melihat keadaan kabin yang berantakan, penuh dengan dedaunan kering, Jane langsung menyesal karena setuju untuk diajak ke tempat itu. Kabin yang berdiri sendirian di tengah hutan itu memang kokoh. Namun Jane merasa bahwa bahaya dapat menyerangnya kapan saja.
Cahaya perak bulan berhasil menerobos kisi-kisi yang berada diatas jendela. Cahayanya menyiram tepat ke tempat tidur dimana Jane berada. Ia masih tidak dapat melepaskan pikirannya dari apa yang ia rasakan. Rasa dingin seperti es itu, yang membebat kakinya. Apa yang terjadi? Apakah hanya karena ketakutannya?
“Ya. Hanya karena kau terlalu takut.” Ucap Matt keesokan harinya saat Jane memberanikan diri untuk menceritakan apa yang terjadi semalam, dan malam-malam sebelumnya. Matt terlihat seolah tak peduli dan terus memakan sandwich buatannya.
“Matt, aku serius.” Ucap Jane. “Mungkin aku memang ketakutan. Tapi apa yang kurasakan terlalu nyata.”
“Mungkin hanya angin dingin yang masuk…”
“Bukan!” bantah Jane. “Rasanya seperti tangan yang mencengekram pergelangan kakiku. Kurasa dari…, dari…”
“Dari bawah tempat tidur?” Matt tertawa seketika. Hal ini tentu saja membuat Jane kecewa setelah menceritakan segala hal yang ia takuti. Untuk sesaat, ia begitu membenci suaminya yang tidak mau mengerti itu.
“Ok! Maaf karena sudah menertawaimu.” Ucap Matt. Ia kemudian bangkit berdiri, dan mengarah pada tempat tidur yang terletak di sudut ruangandekat jendela. Dengan satu gerakan, Matt menyingkap seprai yang menutupi bagian bawah tempat tidur. Dan terlihatlah….
Kosong.
Tidak ada apapun di bawah tempat tidur itu. Yang terlihat hanyalah setumpuk debu yang bercampur dengan sarang laba-laba. Matt tersenyum, lalu bergerak ke arah istrinya yang masih berdiri menahan rasa takut.
“Jane, kumohon!” ucap Matt. “Dua hari lagi pekerjaanku akan selesai. Setelah itu kita bisa pergi dari kabin ini.”
“Tapi kita masih harus melewati dua malam.” Ucap Jane. “Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya. Aku mungkin bisa gila.”
“Percaya padaku!” ucap Matt seraya mendaratkan satu kecupan di pipi istrinya. “Itu hanya ketakutanmu saja.”
Untuk sementara, Jane dapat mempercayai suaminya. Mungkin tidak seratus persen percaya dengan apa yang ia dengar. Namun ia percaya bahwa memang ada sesuatu yang tidak beres dengan kabin yang mereka sewa dengan harga murah itu.
Matt bekerja sebagai seorang pekerja bangunan yang saat itu tengah mengerjakan proyek di sebuah goa yang terletak tak jauh dari kabin yang mereka tempati. Ia pergi pukul sembilan pagi, dan kembali sekitar pukul enam sore. Jane harus bertahan di dalam kabin menyeramkan itu selama seharian seorang diri. Untuk membuang kebosanannya, Jane melakukan banyak hal. Membaca buku, atau kadang mendengarkan musik. Namun setelah ia melakukan dua hal tersebut, ia masih tidak mampu mengusir rasa curiganya terhadap apa yang ada di bawah tempat tidur.
Jane mencoba mengabaikan perasaannya. Ia coba tenggelamkan dirinya ke dalam buku fiksi yang ia baca, dan mencoba untuk tidak mendengarkan suara-suara halus di dalam kepalanya. Apakah usahanya itu berhasil? Mungkin untuk sekitar lima belas menit, ia memang dapat melepaskan rasa takut itu. Namun tiba-tiba saja suara derak ranting pepohonan yang tertiup angin kembali membuat Jane merasa cemas.
Jane dengan kesal meletakkan bukunya. Ia pandangi tempat tidurnya yang berada di sudut itu. Sebuah ranjang besi tua yang sudah reot. Entah bagaimana ia bisa tidur semalam diatas tempat tidur itu.
Jane tengah mencoba memutar musik dari ponselnya saat tiba-tiba ia mendengar suara derak lagi. Kepalanya dengan cepat berputar, mengarah ke sumber suara yang asalnya seperti dari dalam kabin. Benarkah? Mungkin hanya derak ranting lagi. Namun…
“BRAK!!”
Jane melompat dari kursinya seketika. Ya. Ia dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa suara berderak itu berasal dari arah tempat tidurnya. Dari bawah tempat tidurnya. Jantung Jane berdegup kencang saat rasa takut mulai merayapi tubuhnya. Jane ragu dengan apa yang akan ia lakukan. Berlari?
Tidak. Rasanya hal itu konyol untuk dilakukan. Jika ia bisa memeprcayai perkataan Matt pagi tadi, memang seharusnya tidak ada yang perlu ia khawatirkan. Namun suara itu nyata terdengar di telinganya.
Jane meraih tongkat besi dari tungku perapian dan segera bergerak perlahan ke arah tempat tidur bermasalah itu. Ia akan mengayunkan tongkat besi itu jika ada sesuatu yang melompat keluar dari bawa tempat tidurnya.
“BRAK!!” suara itu terdengar lagi. Jantung Jane sudah berdegub kencang sejak tadi, dan kini tidak ada bedanya. Ia harus memberanikan dirinya untuk mengak misteri yang menyelimuti kabin tengah hutan itu.
Jane bergerak perlahan, mendekat sedikit demi sedikit ke arah tempat tidurnya. Ia genggam ujung seprai dengan satu tangan, sementara tangan yang lain mulai mengangkat tongkat besinya. Dan dalam hitungan ketika, ia buka seprainya, dan…
Kosong.
Ya. Lagi-lagi yang terlihat hanyalah debu dan sarang laba-laba. Papan kayu di bawah tempat tidur itu pun sepertinya tidak bermasalah. Jane mencoba mengetuk papan kayu itu dengan tongkat besinya. Dan…, suara itu tidak kembali.
Jane benar-benar merasa gila. Apa yang terjadi dengannya? Apakah rasa takut di dalam dirinya itu mulai membuatnya tidak waras?
Angin tiba-tiba saja berhembus diluar, dan lagi-lagi menyebabkan derak ranting pohon. Sedikit angin bergerak masuk dari arah jendela, dan Jane langsung mengernyitkan wajahnya saat aroma busuk meneyrang hidungnya.
“Astaga! Apa ini?”
Jane mencium aroma busuk itu dengan nyata. Seperti bau bangkai yang sudah berhari-hari terpapar udara luar. Darimana asal bau bangkai itu? Mungkin ada hewan yang mati di sekitar kabin itu? Tapi kenapa ia tidak mencium aroma itu beberapa menit yang lalu?
Jane berlari keluar dari kabinya untuk mencari udara segar. Kepekatan hutan di sekeliling kabin itu membuat perasaannya semakin tidak karuan. Kini ia ragu, apakah aman berada diluar, atau di dalam kabin. Bagaimanapun, ia masih merasa tidak nyaman dengan tempat itu.
Entah bagaimana caranya Jane dapat bertahan di dalam kabin hingga pukuk enam sore. Matt pulang, dan Jane langsung membeberkan segala hal yang sudah ia alami hari itu. Tapi sama seperti sikapnya pagi tadi, Matt meganggap bahwa istrinya itu hanya berkhayal dan ketakutan tanpa alasan. Jane bersikukuh dengan pendiriannya. Ia menceritakan mengenai bau bangkai yang ia cium siang tadi.
“Kau masih menciumnya sekarang?” tanya Matt. Pandangan matanya seolah menghukum ke arah wajah istrinya.
“Tidak.” Jawab Jane lirih. “Tapi siang tadi bau itu benar-benar busuk. Seolah ada bangkai di dalam kabin ini.”
“Tidak mungkin.” Balas Matt seraya melepas jaketnya. “Jika memang ada bangkai, maka baunya tidak akan menghilang begitu saja, kan?”
Jane kini tidak tahu apakah ia harus mempercayai kata-kata suaminya, atau bersikukuh dengan pendapatnya. Bahkan ia sempat berpikir bahwa ia mungkin sudah gila karena suasana kabin di tengah hutan yang tidak menyenangkan itu.
Malam turun dengan begitu cepat. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas saat Jane naik ke atas tempat tidurnya. Ia merasa sedikit ngeri untuk naik ke atas tempat tidur reot itu. Ia takut akan adanya bahaya yang datang, seperti apa yang ia rasakan kemarin. Rasa cengkeraman seperti es itu benar-benar nyata. Dan ia merasa kesal dengan suaminya karena tidak mau mempercayai kata-katanya.
Cahaya keperakan bulan kembali menerobos kisi-kisi diatas jendela, dan menyiram tempat tidur Jane. Jane masih belum dapat menutup kedua matanya, meski rasa kantuk sudah menyerangnya sejak beberapa jam yang lalu. Suasana hening, yang bercampur dengan desir angin dan derak ranting pepohonan membuatnya merinding dan tidak dapat tidur. Ia merasa bahwa ada sesuatu di bawah tempat tidurnya.
Jane melirik kembali jam digital yang ada di samping tempat tidur. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih. Apakah ia akan terjaga sepanjang malam, memikirkan hal yang mungkin hanya ada di dalam kepalanya itu?
Menit demi menit berlalu. Jane yang sudah tidak tahan dengan rasa kantuk berat yang ia rasakan mulai menyerah untuk bertahan. Pada akhirnya, ia jatuh ke dalam alam bawah sadar. Namun sepertinya tidak lama, hingga pada akhirnya ia harus terbangun lagi dengan jantung berdebar, saat suara berderak di lantai itu kembali.
“BRAK!!”
Jane berjingkat diatas tempat tidurnya. Dengan segera ia mengguncang tubuh suaminya untuk membangunkan suaminya itu.
“Bangun! Suara itu datang lagi.” Bisik Jane. Matt dengan terpaksa harus menuruti permintaan istrinya itu. Ia membuka kedua matanya, namun suara itu kebetulan sedang berhenti. Hal ini membuat Jane berada di posisi yang tidak menyenangkan. Ia tidak berbohong. Tapi bagaimana caranya untuk membuat Matt percaya dengan apa yang ia katakan?
“Sayang, yang benar saja! Aku lelah…”
“Maaf! Tapi suara itu benar-benar terdengar. Aku tidak berbohong, Matt!”
Keringat dingin membasahi kening Jane. Rasa takut itu kini mulai membuatnya merasa gila. Apa yang harus ia lakukan untuk mengusir rasa takutnya? Satu-satunya harapan baginya adalah suaminya. Namun suaminya tidak memeprcayai kata-katanya.
Jane kembali membaringkan tubuhnya, dan mencoba untuk kembali tidur. Ia benar-benar tidak suka dengan keadaan saat itu. Namun baru beberapa menit ia memejamkan matanya, tiba-tiba…
“BRAK!! BRAK!!”
Jane kembali berjingkat. Anehnya, bukan hanya ia yang berjingkat. Ia menoleh ke arah suaminya, dan suaminya itu terlihat tengah menegakkan kepalanya sambil memandang ke arahnya.
“Benar, ‘kan?” ucap Jane. “Aku tidak berbohong.”
“BRAK!!” suara itu kembali terdengar dengan begitu keras. Kedua orang itu yakin bahwa suaranya memang berasal dari dalam kabin. Dari lantai kabin?
“Turun dari tempat tidur!” perintah Matt.
Jane langsung melompat turun. Ia dengan cepat mengarah pada saklar lampu dan menghidupkan lampunya. Cahaya terang kini memenuhi kabin. Matt berdiri terpaku di depan tempat tidur yang hingga beberapa saat yang lalu masih ia tempati. Ia menggeleng pelan, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
“Aneh.” Gumamnya pelan.
Jantung Jane berdegub semakin kencang saat Matt bergerak ke arah tempat tidur itu, lalu berjongkok di depannya. Ia sempat menoleh ke arah Jane sesaat sebelum ia mulai mencengkeram tepian seprai tempat tidur itu.
“Matt! Hati-hati!”
Matt menarik nafasnya dalam-dalam. Lalu dalam hitungan ketiga, ia menyingkap seprai itu dengan segera. Dan yang terlihat…
“Astaga!” Matt melompat ke belakang. Apa yang ada di bawah tempat tidur benar-benar tidak dapat ia percaya. Terdapat satu genangan seperti genangan lumpur di atas permukaan papan kayunya. Dan yang lebih parah, lumpur hitam pekat itu mengeluarkan bau yang teramat busuk. Matt menutup hidungnya seraya bergerak mundur dan merangkul tubuh istrinya. Ia memandang ke arah istrinya dengan tatapan tidak percaya.
“Apa itu, Matt?” tanya Jane. “Genangan lumpur?”
“Kurasa, ya.” Jawab Matt. “Bagaimana mungkin? Tidak ada lumpur di sekitar tempat ini. Bagaimana mungkin…”
“Semuanya terjadi dengan aneh, Matt. Kini kau mempercayaiku? Suara berderak itu, kau mendengarnya sendiri, ‘kan? Dan siang tadi ketika kukatakan bahwa aku mencium aroma busuk, mungkin ini.”
“Ini tidak masuk akal.”
“Tapi ini terjadi.”
Jane dan Matt tidak tahan dengan aroma busuk yang dikeluarkan oleh cairan kental hitam yang merembes dari bawah tempat tidurnya itu. Matt dan Jane sempat bergerak ke teras untuk mencari udara segar, namun pikiran mereka tidak dapat terbebas dari apa yang baru saja terjadi.
“Kabin ini ternyata memang aneh.” Gumam Matt.
Matt memutuskan untuk melakukan tindakan atas apa yang terjadi. Jika apa yang ia pikirkan benar, mungkin ada sesuatu dibalik papan lantai itu. Hal-hal aneh yang terjadi mungkin sebagai pertanda atau peringatan. Atau mungkin…, sebuah permintaan tolong.
Matt sebenarnya bukanlah tipe orang yang mudah percaya dengan cerita supranatural. Namun hal aneh yang terjadi sempat membuatnya ragu dengan pikirannya sendiri. Dan tanpa ia sadari, ia telah mengambil kapak. Ia menggeser tempat tidur itu, saat genangan hitam itu mulai merembes secara tak terduga.
Matt menarik nafasnya saat ia mengangkat kapaknya. Detik beriktnya, kapak itu menghujam tajam ke arah papan lantai yang kotor oleh genangan aneh itu. Genangan itu memercik, mengotori dinding saat Matt menarik kapaknya. Kini terdapat lubang di papan kayu itu. Dan Matt tidak berhenti mengayunkan kapaknya hingga ia membuat sebuah lubang besar, dimana di dalamnya terdapat satu genangan lumpur yang begitu tebal.
“Sesuatu ada di dalam lumpur ini.” Gumam Matt. “Ya. Mungkin ini adalah semacam permintaan tolong.”
Matt meletakkan kapaknya, lalu meraih sekop yang sudah ia sediakan. Perlahan ia angkat lumpur-lumpur yang ada di dalam lubang itu. Aroma yang busuk nyaris membuatnya muntah, namun ia dapat menahannya. Tumpukan lumpur mulai memenuhi lantai kabin itu. Dan ketika ia sudah cukup mengeruk lumpur itu, ia menemukan satu hal yang sama sekali tidak ia duga. Ia melihat adanya sebuah tengkorak manusia.

**

Matt dan Jane tidak dapat mengatakan bahwa mereka senang dengan apa yang telah mereka temukan. Jenasah yang terkubur di bawah kabin itu sudah benar-benar menjadi kerangka. Mungkin sudah terkubur selama bertahun-tahun.
Polisi datang ke kabin itu keesokan harinya untuk menyelidiki penemuan jenasah itu. Matt menjelaskan segala hal pada petugas polisi, bahkan hal-hal aneh yang ia dan istrinya rasakan. Tapi ia tidak tahu apakah polisi akan mempercayai cerita mistis mereka. Yang pasti, Jane dan Matt sudah dapat bernafas lega. Hal-hal misterius itu mungkin memang terjadi karena arwah dari jasad itu ingin ditemukan, dan dikuburkan dengan layak.
Matt dan Jane memutuskan untuk pergi hari itu juga. Mereka tidak mau lagi menghabiskan malam di sebuah kabin aneh yang ada di tengah hutan. Lalu bagaimana dengan pekerjaan Matt?
“Aku bisa mencari yang baru.” Ucapnya pada Jane.
Matt pada akhirnya mendapatkan cerita sebenarnya mengenai jenasah itu. Jenasah itu adalah seorang korban penculikan yang terjadi hampir lima tahun yang lalu. Menghilangnya korban membuat repot kepolisian, dan kasus penculikan itu tidak pernah terselesaikan. Mungkin kini setelah jenasah ditemukan, mereka akan membuka kembali kasus lama itu?
Satu hal yang pasti, Jane meminta Matt untuk berjanji bahwa ia tidak akan mengajaknya ke tempat yang aneh lagi. Jangan kabin, dan jangan di tengah hutan. Jane sudah muak dengan apa yang ia alami.
“Berjanjilah!” pinta Jane saat ia berada di dalam sebuah taksi yang membawanya keluar dari kota itu. Matt tersenyum ke arahnya, lalu membuka mulutnya disertai dengan satu senyum.
“Aku berjanji.”

****

No comments:

Post a Comment