Jane Miller kembali terbangun dari tidurnya saat ia
lagi-lagi merasakan ada benda dingin yang menempel di kakinya. Ia menegakan
tubuhnya, menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, dan melihat kakinya. Ada
apa disana? Tidak ada apapun. Kakinya masih utuh, dan tidak ada bekas apapun
yang menempel di kakinya. Tapi ia tahu dengan apa yang ia rasakan. Rasa dingin
seperti es, yang seolah mencengkeram tungkainya. Apa ia hanya bermimpi?
Matt, suaminya, masih
tertidur pulas di sisinya. Ia sebenarnya ingin mengatakan apa yang ia rasakan.
Tapi ia tidak mau mengganggu tidur suaminya, karena tahu bahwa Matt sangat
kelelahan setelah seharian bekerja.
Jane melirik ke arah jam
digital yang ada di samping tempat tidur, yang baru menunjukkan pukul satu dini
hari. Suasana kabin di tengah hutan yang ia tempati tidak dapat dikatakan
nyaman dan damai. Bayang-bayang dari pepohonan tinggi di luar yang bergerak
tersapu angin menciptakan sebuah kesan yang tidak menyenangkan baginya. Derak
ranting pohon, dan desiran udara yang masuk melalui celah papan dinding
membuatnya tidak dapat kembali tidur.
Jane sebenarnya tidak begitu
menyetujui usul suaminya untuk tinggal beberapa hari di kabin tengah hutan ini.
Ia sudah mengatakan alasan ketakutannya, namun Matt tidak mau peduli dan terus
mengatakan,
“Kabin itu aman. Tidak akan
ada yang terjadi.”
Ya. Jane awalnya mungkin
dapat merasa tenang setelah suaminya berkata seperti itu. Tapi ketika ia sampai
di kabin, dan melihat keadaan kabin yang berantakan, penuh dengan dedaunan
kering, Jane langsung menyesal karena setuju untuk diajak ke tempat itu. Kabin
yang berdiri sendirian di tengah hutan itu memang kokoh. Namun Jane merasa
bahwa bahaya dapat menyerangnya kapan saja.
Cahaya perak bulan berhasil
menerobos kisi-kisi yang berada diatas jendela. Cahayanya menyiram tepat ke
tempat tidur dimana Jane berada. Ia masih tidak dapat melepaskan pikirannya
dari apa yang ia rasakan. Rasa dingin seperti es itu, yang membebat kakinya.
Apa yang terjadi? Apakah hanya karena ketakutannya?
“Ya. Hanya karena kau terlalu
takut.” Ucap Matt keesokan harinya saat Jane memberanikan diri untuk
menceritakan apa yang terjadi semalam, dan malam-malam sebelumnya. Matt
terlihat seolah tak peduli dan terus memakan sandwich buatannya.
“Matt, aku serius.” Ucap
Jane. “Mungkin aku memang ketakutan. Tapi apa yang kurasakan terlalu nyata.”
“Mungkin hanya angin dingin
yang masuk…”
“Bukan!” bantah Jane.
“Rasanya seperti tangan yang mencengekram pergelangan kakiku. Kurasa dari…,
dari…”
“Dari bawah tempat tidur?”
Matt tertawa seketika. Hal ini tentu saja membuat Jane kecewa setelah
menceritakan segala hal yang ia takuti. Untuk sesaat, ia begitu membenci
suaminya yang tidak mau mengerti itu.
“Ok! Maaf karena sudah
menertawaimu.” Ucap Matt. Ia kemudian bangkit berdiri, dan mengarah pada tempat
tidur yang terletak di sudut ruangandekat jendela. Dengan satu gerakan, Matt
menyingkap seprai yang menutupi bagian bawah tempat tidur. Dan terlihatlah….
Kosong.
Tidak ada apapun di bawah
tempat tidur itu. Yang terlihat hanyalah setumpuk debu yang bercampur dengan
sarang laba-laba. Matt tersenyum, lalu bergerak ke arah istrinya yang masih
berdiri menahan rasa takut.
“Jane, kumohon!” ucap Matt.
“Dua hari lagi pekerjaanku akan selesai. Setelah itu kita bisa pergi dari kabin
ini.”
“Tapi kita masih harus melewati
dua malam.” Ucap Jane. “Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya. Aku
mungkin bisa gila.”
“Percaya padaku!” ucap Matt
seraya mendaratkan satu kecupan di pipi istrinya. “Itu hanya ketakutanmu saja.”
Untuk sementara, Jane dapat
mempercayai suaminya. Mungkin tidak seratus persen percaya dengan apa yang ia
dengar. Namun ia percaya bahwa memang ada sesuatu yang tidak beres dengan kabin
yang mereka sewa dengan harga murah itu.
Matt bekerja sebagai seorang
pekerja bangunan yang saat itu tengah mengerjakan proyek di sebuah goa yang
terletak tak jauh dari kabin yang mereka tempati. Ia pergi pukul sembilan pagi,
dan kembali sekitar pukul enam sore. Jane harus bertahan di dalam kabin
menyeramkan itu selama seharian seorang diri. Untuk membuang kebosanannya, Jane
melakukan banyak hal. Membaca buku, atau kadang mendengarkan musik. Namun
setelah ia melakukan dua hal tersebut, ia masih tidak mampu mengusir rasa
curiganya terhadap apa yang ada di bawah tempat tidur.
Jane mencoba mengabaikan
perasaannya. Ia coba tenggelamkan dirinya ke dalam buku fiksi yang ia baca, dan
mencoba untuk tidak mendengarkan suara-suara halus di dalam kepalanya. Apakah
usahanya itu berhasil? Mungkin untuk sekitar lima belas menit, ia memang dapat
melepaskan rasa takut itu. Namun tiba-tiba saja suara derak ranting pepohonan
yang tertiup angin kembali membuat Jane merasa cemas.
Jane dengan kesal meletakkan
bukunya. Ia pandangi tempat tidurnya yang berada di sudut itu. Sebuah ranjang
besi tua yang sudah reot. Entah bagaimana ia bisa tidur semalam diatas tempat
tidur itu.
Jane tengah mencoba memutar
musik dari ponselnya saat tiba-tiba ia mendengar suara derak lagi. Kepalanya
dengan cepat berputar, mengarah ke sumber suara yang asalnya seperti dari dalam
kabin. Benarkah? Mungkin hanya derak ranting lagi. Namun…
“BRAK!!”
Jane melompat dari kursinya
seketika. Ya. Ia dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa suara berderak itu
berasal dari arah tempat tidurnya. Dari bawah tempat tidurnya. Jantung Jane
berdegup kencang saat rasa takut mulai merayapi tubuhnya. Jane ragu dengan apa
yang akan ia lakukan. Berlari?
Tidak. Rasanya hal itu
konyol untuk dilakukan. Jika ia bisa memeprcayai perkataan Matt pagi tadi,
memang seharusnya tidak ada yang perlu ia khawatirkan. Namun suara itu nyata
terdengar di telinganya.
Jane meraih tongkat besi
dari tungku perapian dan segera bergerak perlahan ke arah tempat tidur
bermasalah itu. Ia akan mengayunkan tongkat besi itu jika ada sesuatu yang
melompat keluar dari bawa tempat tidurnya.
“BRAK!!” suara itu terdengar
lagi. Jantung Jane sudah berdegub kencang sejak tadi, dan kini tidak ada
bedanya. Ia harus memberanikan dirinya untuk mengak misteri yang menyelimuti
kabin tengah hutan itu.
Jane bergerak perlahan,
mendekat sedikit demi sedikit ke arah tempat tidurnya. Ia genggam ujung seprai
dengan satu tangan, sementara tangan yang lain mulai mengangkat tongkat
besinya. Dan dalam hitungan ketika, ia buka seprainya, dan…
Kosong.
Ya. Lagi-lagi yang terlihat
hanyalah debu dan sarang laba-laba. Papan kayu di bawah tempat tidur itu pun
sepertinya tidak bermasalah. Jane mencoba mengetuk papan kayu itu dengan
tongkat besinya. Dan…, suara itu tidak kembali.
Jane benar-benar merasa
gila. Apa yang terjadi dengannya? Apakah rasa takut di dalam dirinya itu mulai
membuatnya tidak waras?
Angin tiba-tiba saja
berhembus diluar, dan lagi-lagi menyebabkan derak ranting pohon. Sedikit angin
bergerak masuk dari arah jendela, dan Jane langsung mengernyitkan wajahnya saat
aroma busuk meneyrang hidungnya.
“Astaga! Apa ini?”
Jane mencium aroma busuk itu
dengan nyata. Seperti bau bangkai yang sudah berhari-hari terpapar udara luar.
Darimana asal bau bangkai itu? Mungkin ada hewan yang mati di sekitar kabin
itu? Tapi kenapa ia tidak mencium aroma itu beberapa menit yang lalu?
Jane berlari keluar dari
kabinya untuk mencari udara segar. Kepekatan hutan di sekeliling kabin itu
membuat perasaannya semakin tidak karuan. Kini ia ragu, apakah aman berada
diluar, atau di dalam kabin. Bagaimanapun, ia masih merasa tidak nyaman dengan
tempat itu.
Entah bagaimana caranya Jane
dapat bertahan di dalam kabin hingga pukuk enam sore. Matt pulang, dan Jane
langsung membeberkan segala hal yang sudah ia alami hari itu. Tapi sama seperti
sikapnya pagi tadi, Matt meganggap bahwa istrinya itu hanya berkhayal dan
ketakutan tanpa alasan. Jane bersikukuh dengan pendiriannya. Ia menceritakan
mengenai bau bangkai yang ia cium siang tadi.
“Kau masih menciumnya
sekarang?” tanya Matt. Pandangan matanya seolah menghukum ke arah wajah
istrinya.
“Tidak.” Jawab Jane lirih.
“Tapi siang tadi bau itu benar-benar busuk. Seolah ada bangkai di dalam kabin
ini.”
“Tidak mungkin.” Balas Matt
seraya melepas jaketnya. “Jika memang ada bangkai, maka baunya tidak akan menghilang
begitu saja, kan?”
Jane kini tidak tahu apakah
ia harus mempercayai kata-kata suaminya, atau bersikukuh dengan pendapatnya.
Bahkan ia sempat berpikir bahwa ia mungkin sudah gila karena suasana kabin di
tengah hutan yang tidak menyenangkan itu.
Malam turun dengan begitu
cepat. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas saat Jane naik ke atas tempat
tidurnya. Ia merasa sedikit ngeri untuk naik ke atas tempat tidur reot itu. Ia
takut akan adanya bahaya yang datang, seperti apa yang ia rasakan kemarin. Rasa
cengkeraman seperti es itu benar-benar nyata. Dan ia merasa kesal dengan
suaminya karena tidak mau mempercayai kata-katanya.
Cahaya keperakan bulan
kembali menerobos kisi-kisi diatas jendela, dan menyiram tempat tidur Jane.
Jane masih belum dapat menutup kedua matanya, meski rasa kantuk sudah
menyerangnya sejak beberapa jam yang lalu. Suasana hening, yang bercampur
dengan desir angin dan derak ranting pepohonan membuatnya merinding dan tidak
dapat tidur. Ia merasa bahwa ada sesuatu di bawah tempat tidurnya.
Jane melirik kembali jam
digital yang ada di samping tempat tidur. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas
lebih. Apakah ia akan terjaga sepanjang malam, memikirkan hal yang mungkin
hanya ada di dalam kepalanya itu?
Menit demi menit berlalu.
Jane yang sudah tidak tahan dengan rasa kantuk berat yang ia rasakan mulai
menyerah untuk bertahan. Pada akhirnya, ia jatuh ke dalam alam bawah sadar.
Namun sepertinya tidak lama, hingga pada akhirnya ia harus terbangun lagi
dengan jantung berdebar, saat suara berderak di lantai itu kembali.
“BRAK!!”
Jane berjingkat diatas
tempat tidurnya. Dengan segera ia mengguncang tubuh suaminya untuk membangunkan
suaminya itu.
“Bangun! Suara itu datang
lagi.” Bisik Jane. Matt dengan terpaksa harus menuruti permintaan istrinya itu.
Ia membuka kedua matanya, namun suara itu kebetulan sedang berhenti. Hal ini
membuat Jane berada di posisi yang tidak menyenangkan. Ia tidak berbohong. Tapi
bagaimana caranya untuk membuat Matt percaya dengan apa yang ia katakan?
“Sayang, yang benar saja! Aku
lelah…”
“Maaf! Tapi suara itu
benar-benar terdengar. Aku tidak berbohong, Matt!”
Keringat dingin membasahi
kening Jane. Rasa takut itu kini mulai membuatnya merasa gila. Apa yang harus
ia lakukan untuk mengusir rasa takutnya? Satu-satunya harapan baginya adalah
suaminya. Namun suaminya tidak memeprcayai kata-katanya.
Jane kembali membaringkan
tubuhnya, dan mencoba untuk kembali tidur. Ia benar-benar tidak suka dengan
keadaan saat itu. Namun baru beberapa menit ia memejamkan matanya, tiba-tiba…
“BRAK!! BRAK!!”
Jane kembali berjingkat.
Anehnya, bukan hanya ia yang berjingkat. Ia menoleh ke arah suaminya, dan
suaminya itu terlihat tengah menegakkan kepalanya sambil memandang ke arahnya.
“Benar, ‘kan?” ucap Jane.
“Aku tidak berbohong.”
“BRAK!!” suara itu kembali
terdengar dengan begitu keras. Kedua orang itu yakin bahwa suaranya memang
berasal dari dalam kabin. Dari lantai kabin?
“Turun dari tempat tidur!”
perintah Matt.
Jane langsung melompat
turun. Ia dengan cepat mengarah pada saklar lampu dan menghidupkan lampunya.
Cahaya terang kini memenuhi kabin. Matt berdiri terpaku di depan tempat tidur
yang hingga beberapa saat yang lalu masih ia tempati. Ia menggeleng pelan,
tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
“Aneh.” Gumamnya pelan.
Jantung Jane berdegub
semakin kencang saat Matt bergerak ke arah tempat tidur itu, lalu berjongkok di
depannya. Ia sempat menoleh ke arah Jane sesaat sebelum ia mulai mencengkeram
tepian seprai tempat tidur itu.
“Matt! Hati-hati!”
Matt menarik nafasnya
dalam-dalam. Lalu dalam hitungan ketiga, ia menyingkap seprai itu dengan
segera. Dan yang terlihat…
“Astaga!” Matt melompat ke
belakang. Apa yang ada di bawah tempat tidur benar-benar tidak dapat ia
percaya. Terdapat satu genangan seperti genangan lumpur di atas permukaan papan
kayunya. Dan yang lebih parah, lumpur hitam pekat itu mengeluarkan bau yang
teramat busuk. Matt menutup hidungnya seraya bergerak mundur dan merangkul
tubuh istrinya. Ia memandang ke arah istrinya dengan tatapan tidak percaya.
“Apa itu, Matt?” tanya Jane.
“Genangan lumpur?”
“Kurasa, ya.” Jawab Matt.
“Bagaimana mungkin? Tidak ada lumpur di sekitar tempat ini. Bagaimana mungkin…”
“Semuanya terjadi dengan
aneh, Matt. Kini kau mempercayaiku? Suara berderak itu, kau mendengarnya
sendiri, ‘kan? Dan siang tadi ketika kukatakan bahwa aku mencium aroma busuk,
mungkin ini.”
“Ini tidak masuk akal.”
“Tapi ini terjadi.”
Jane dan Matt tidak tahan
dengan aroma busuk yang dikeluarkan oleh cairan kental hitam yang merembes dari
bawah tempat tidurnya itu. Matt dan Jane sempat bergerak ke teras untuk mencari
udara segar, namun pikiran mereka tidak dapat terbebas dari apa yang baru saja
terjadi.
“Kabin ini ternyata memang
aneh.” Gumam Matt.
Matt memutuskan untuk
melakukan tindakan atas apa yang terjadi. Jika apa yang ia pikirkan benar,
mungkin ada sesuatu dibalik papan lantai itu. Hal-hal aneh yang terjadi mungkin
sebagai pertanda atau peringatan. Atau mungkin…, sebuah permintaan tolong.
Matt sebenarnya bukanlah
tipe orang yang mudah percaya dengan cerita supranatural. Namun hal aneh yang
terjadi sempat membuatnya ragu dengan pikirannya sendiri. Dan tanpa ia sadari,
ia telah mengambil kapak. Ia menggeser tempat tidur itu, saat genangan hitam
itu mulai merembes secara tak terduga.
Matt menarik nafasnya saat
ia mengangkat kapaknya. Detik beriktnya, kapak itu menghujam tajam ke arah
papan lantai yang kotor oleh genangan aneh itu. Genangan itu memercik,
mengotori dinding saat Matt menarik kapaknya. Kini terdapat lubang di papan
kayu itu. Dan Matt tidak berhenti mengayunkan kapaknya hingga ia membuat sebuah
lubang besar, dimana di dalamnya terdapat satu genangan lumpur yang begitu
tebal.
“Sesuatu ada di dalam lumpur
ini.” Gumam Matt. “Ya. Mungkin ini adalah semacam permintaan tolong.”
Matt meletakkan kapaknya,
lalu meraih sekop yang sudah ia sediakan. Perlahan ia angkat lumpur-lumpur yang
ada di dalam lubang itu. Aroma yang busuk nyaris membuatnya muntah, namun ia
dapat menahannya. Tumpukan lumpur mulai memenuhi lantai kabin itu. Dan ketika
ia sudah cukup mengeruk lumpur itu, ia menemukan satu hal yang sama sekali
tidak ia duga. Ia melihat adanya sebuah tengkorak manusia.
**
Matt dan Jane tidak dapat
mengatakan bahwa mereka senang dengan apa yang telah mereka temukan. Jenasah
yang terkubur di bawah kabin itu sudah benar-benar menjadi kerangka. Mungkin
sudah terkubur selama bertahun-tahun.
Polisi datang ke kabin itu
keesokan harinya untuk menyelidiki penemuan jenasah itu. Matt menjelaskan
segala hal pada petugas polisi, bahkan hal-hal aneh yang ia dan istrinya
rasakan. Tapi ia tidak tahu apakah polisi akan mempercayai cerita mistis
mereka. Yang pasti, Jane dan Matt sudah dapat bernafas lega. Hal-hal misterius
itu mungkin memang terjadi karena arwah dari jasad itu ingin ditemukan, dan
dikuburkan dengan layak.
Matt dan Jane memutuskan
untuk pergi hari itu juga. Mereka tidak mau lagi menghabiskan malam di sebuah
kabin aneh yang ada di tengah hutan. Lalu bagaimana dengan pekerjaan Matt?
“Aku bisa mencari yang
baru.” Ucapnya pada Jane.
Matt pada akhirnya mendapatkan
cerita sebenarnya mengenai jenasah itu. Jenasah itu adalah seorang korban
penculikan yang terjadi hampir lima tahun yang lalu. Menghilangnya korban
membuat repot kepolisian, dan kasus penculikan itu tidak pernah terselesaikan.
Mungkin kini setelah jenasah ditemukan, mereka akan membuka kembali kasus lama
itu?
Satu hal yang pasti, Jane
meminta Matt untuk berjanji bahwa ia tidak akan mengajaknya ke tempat yang aneh
lagi. Jangan kabin, dan jangan di tengah hutan. Jane sudah muak dengan apa yang
ia alami.
“Berjanjilah!” pinta Jane
saat ia berada di dalam sebuah taksi yang membawanya keluar dari kota itu. Matt
tersenyum ke arahnya, lalu membuka mulutnya disertai dengan satu senyum.
“Aku berjanji.”
****
No comments:
Post a Comment