Kendra tidak dapat menghitung lagi waktu yang ia gunakan
hari itu untuk menata rumahnya. Ia baru saja pindah dari Hauldnpring, dan
barang-barangnya yang ia bawa dari kota itu pun belum sepenuhnya tertata dengan
rapi. Sejak pukul sembilan pagi, ia sudah berkutat dengan tumpukan buku-buku
tuanya, yang ia tata rapi dalam sebuah rak buku yang terletak di ruang tengah
dekat perapian. Selain itu, ia juga harus menata dapurnya, yang hingga detik
ini masih terlihat cukup berantakan.
Kendra hidup sendiri. Ya.
Rasanya kurang normal bagi wanita seusianya yang seharusnya sudah memiliki
pasangan. Bulan depan, ia akan genap berusia tiga puluh tahun. Dan satu-satunya
orang yang ia cintai tinggal puluhan kilometer dari tempat tingganya sekarang.
Kendra tidak bisa memaksa kekasihnya itu untuk pindah, mengingat kekasihnya
terikat pada kontrak sebuah perusahaan di kotanya. Lalu, kenapa Kendra tidak pindah
ke rumah kekasihnya itu dan malah memilih tinggal di kota kecil seperti
Blackwood?
Kendra terpaksa. Ya, itu
benar. Bukan pilihannya sendiri untuk tinggal di kota kecil yang terpencil itu.
Jika bukan karena pekerjaannya, ia tidak mau tinggal di Blackwood, yang
terkenal dengan kisah-kisah angkernya. Tapi Kendra bukanlah penakut. Ia malah
ingin merasakan keanehan Blackwood.
Kendra adalah seorang
penulis novel yang belum cukup memiliki nama di dunia literatur Sherland. Namun
di kotanya yang lama, ua sudah terkenal sebagai seorang penulis buku misteri.
Alasan Kendra memilih tinggal di Blackwood, karena ia ingin merasakan
keangkeran yang sesungguhnya, yang tidak bisa ia rasakan di kotanya yang lama.
Mungkin jika ia bisa merasakan hawa mistis kota Blackwood, ia akan bisa menulis
novelnya dengan lancar.
Tapi lupakan pekerjaan untuk
sementara waktu. Kendra benar-benar kerepotan dengan barang-barang yang baru
saja datang diantar oleh sebuah jasa angkut barang. Sebagi besar barangnya
masih berada di teras rumah dan belum ia bawa masuk.
Pukul dua siang, Kendra
akhirnya selesai menata sebagian besar perabot di dalam rumahnya yang baru itu.
Ia mendesah, kelelahan, lalu membanting tubuhnya ke atas sofa. Perlahan, ia
sapukan pandangan kedua matanya ke stiap sudut rumah yang saat itu sudah
terlihat lebih hidup dengan barang-barangnya. Memang masih ada satu kardus
barang di teras depan yang belum ia masukkan. Mungkin ia akan menyelesaikannya
setelah beristirahat sejenak.
Kendra terhuyung-huyung saat
ia bersusah payah membawa sebuah kardus yang berisi buku ke dalam ruang tengah.
Ia jatuhkan karuds berat itu, dan isinya berhamburan keluaran. Kebanyakan dari
buku yang ia miliki adalah novel misteri. Dan sebagian besar dari buku yang ia
miliki sudah menjadi sedikit kumal dan berantakan karena terlalu sering ia buka
dan baca.
Kendra hampir selesai
memasukkan buku-bukunya ke dalam rak saat kedua matanya itu menangkap sebuah
benda asing yang berada di tumpukan terbawah di dalam kardus itu. Ia melihat
sebuah buku bersampul coklat tebal, yang terlihat sudah kumal. Ia ambil buku
iatu, dan membukanya. Namun ia tidak menemukan satupun tulisan di dalamnya.
Buku itu hanyalah sebuah buku tua kosong. Kenapa Kendra merasa aneh dengan buku
itu? Apakah karena ia belum pernah melihat buku itu sebelumnya? Ia yakin belum
pernah melihat buku itu.
Duggan Kendra hanya ada
satu. Mungkin buku itu adalah buku kepunyaan kekasihnya, Jason. Kendra tanpa
sadar telah men-dial nomor kekasihnya itu, dan suara yang khas menggema di
telinganya.
“Mengenai buku.” Ucap
Kendra. “Apa kau pernah meninggalkan sebuah buku di rak bukuku yang lama? Aku
menemukan sebuah buku kosong. Buku tua.”
“Ada buku seperti itu?”
“Kukira buku ini punyamu.”
Ucap Kendra. “Jadi kau tidak ingat pernah memiliki buku seperti itu?”
Kendra hanya dapat
mengernyit heran saat ia ketahui bahwa buku tua itu bukanlah milik Jason. Lalu
bagaimana buku itu bisa sampai masuk ke dalam kardus buku-bukunya? Kardusnya
tersegel sebelum ia menyerahkannya ke jasa pengangkutan. Jadi sepertinya tidak
mungkin buku itu adalah buku milik orang lain. Lalu? Mungkin Kendra hanya lupa
bahwa ia pernah memiliki buku itu.
Kendra tidak memikirkan lagi
buku itu hingga malam menjelang. Di malam yang dingin itu, Kendra sibuk di
depan layar laptopnya, mengedit naskah novel yang akan ia kirimkan ke penerbit.
Pikirannya fokus ke arah
cerita yang ia tulis. Namun beberapa detik kemudian, ia melonjak kaget saat ia
dengar sebuah suara berdebum dari lantai bawah. Dari arah ruang tengah, dimana
perapian berada. Kendra mencoba mengabaikan suara itu. Namun beberapa menit
kemudian, suara berdebum itu kembali terdengar. Seperti suara benda terjatuh,
yang terdengar begitu keras.
Kendra akhirnya melepaskan
perhatiannya dari naskah novelnya. Ia bergerak turun ke lantai bawah, memeriksa
ruang tengah. Semuanya terlihat sama seperti saat ia tinggalkan, dan tidak ada
yang berubah. Vas bunga yang ada di atas meja masih berada di tempatnya dan
terlihat tidak bergeser, begitu juga dengan benda yang lain. Lalu suara apa itu
tadi?
Kendra baru saja akan
melangkah kembali ke lantai dua saat suara berdebuk itu kembali terdengar.
Kendra pusatkan pandangan matanya ke arah sumber suara, yang ia yakin berasal
dari arah rak bukunya. Ia bergerak cepat ke arah rak bukunya, memeriksa, namun
tidak ada yang berubah.
Kendra mengenyit saat
kakinya tersandung sebuah benda di lantai. Sebuah buku. Buku tua bersampul
coklat yang ia temukan beberapa jam yang lalu, tergeletak diatas lantai.
Mungkin buku itu yang membuat suara? Terjatuh dari rak?
Kendra ambil buku tua itu. Perasaan
aneh dan tidak mengenakkan tiba-tiba saja Kendra rasakan saat ia memegang buku
tua itu di tangannya. Kendra semakin heran, dan ingin rasanya membuang buku itu
jauh-jauh. Namun ia tidak melakukannya. Ia letakkan kembali buku tua itu ke
dalam rak, lalu melangkah pergi.
Kendra akhirnya bisa
benar-benar lupa dengan buku tua itu hingga pagi menjelang keesokan harinya.
Setelah sarapan, Kendra biasanya akan melakukan senam ringan di depan televisi.
Namun sebuah suara yang sama dengan apa yang ia dengar kemarin kembali
terdengar. Lagi-lagi berasal dari ruang tengah, dimana rak buknya berada. Apa
mungkin buku tua itu lagi?
Kendra benar-benar bingung
dengan apa yang sebenarnya terjadi. Buku tua bersampul coklat itu kembali ia
temukan tergeletak di depan rak, seolah baru saja terjatuh. Benarkah hanya
terjatuh? Buku tua itu sudah terjatuh dua kali, tanpa membawa buku lain. Apa
mungkin buku tua itu hidup?
Kendra mendengus sambil
menggeleng. Ia tertawa akan pikiran konyolnya itu. Ya, ia memang penulis cerita
misteri dan kadang horor. Ia kadang memang sering berimajinasi. Namun untuk
kasus buku tua yang terus melompat dari rak itu, Kendra benar-benar tidak tahu.
Mungkin ia hanya salah menempatkannya. Kali ini, Kendra tidak memasukkan
kembali buku itu ke dalam rak melainkan hanya meletakkannya begitu saja diatas
meja.
Meski Kendra berusaha
melupakan mengenai buku itu, sebeanrnya ia begitu penasaran. Kenapa buku itu
bisa sampai berada di tangannya? Buku apa itu? Kenapa ia tidak pernah ingat
memiliki buku itu? Mungkinkah buku itu adalah kepunyaan ayahnya yang tak
sengaja ia bawa?
Sore menjelang. Kendra
bersantai di ruang tengah seperti biasanya, sambil membaca sebuah novel.
Perhatiannya terebut, saat secara tidak sengaja ia melihat buku tua itu masih
tergeletak diatas meja. Rasa penasaran Kendra muncul begitu saja. Ia letakkan
novelnya, dan ia raih buku tua itu.
Buku tua itu memang terlihat
sudah begitu usang. Sampul kulitnya sudah kumal, dan halaman-halamannya sudah
menguning termakan usia. Aroma debu yang khas tercium. Selain itu, tidak ada
yang aneh.
Kendra baru saja akan
meletakan buku itu kembali ke atas meja saat kedua matanya itu secara tak
sengaja menangkap sebuah tulisan di sampul belakang buku tua itu. Di bagian
bawa, tertulis dengan spidol yang mulai pudar termakan waktu, namun masih dapat
dibawa.
“Buku ini milik Lance
Camelot.”
Kendra kembali mengernyit.
Lance Camelot bukanlah nama ayahnya. Itu berarti buku itu emmang bukan milik
salah satu anggota keluarga Kendra. Dan mengenai nama itu, Kendra sepertinya
pernah mendengarnya. Hanya saja, ketika ia coba untuk mengingat akan nama itu,
ia semakin merasa tidak nyaman. Ada sebuah perasaan kosong di dalam dirinya,
saat mencoba melafalkan nama itu. Kenapa?
Serbuan angin tiba-tiba saja
masuk dari arah jendela. Meniup tirai dan mengobrak-abrik tumpukan majalah yang
ada di bawah meja. Dan karena angin itu, halaman di buku tua tua itu terbalik
dengan cepat. Hingga akhirnya berhenti di sebuah halaman, dimana di halaman itu
terdapat sebuah tulisan tangan berwarna merah kehitaman, yang seolah ditulis
dengan darah. Tulisan itu berbunyi,
“Lagu kematian telah
dituliskan, dan akan dinyanyikan.”
Kendra tiba-tiba saja
merasakan hawa dingin yang tidak biasa. Apakah karena jendelanya yang terbuka?
Tidak. Perasaan yang aneh, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Keadaan di
sekitarnya seolah menjadi ancaman, mencekam, dan tidak mengenakkan, terutama
setelah Kendra membaca tulisan itu.
Kendra secara spontan
melempar buku itu ketika secara tiba-tiba sebuah pemandangan yang mengerikan muncul
di dalam kepalanya. Terlihat begitu nyata, seperti sebuah slide film yang
diputar tepat di depan kedua matanya. Ia melihat genangan darah, dan rasanya ia
seperti mendenga jeritan di telianganya. Sebuah pemandangan yang mencekam yang
tidak tahu datangnya darimana itu tiba-tiba saja menghilang setelah buku itu
terlepas dari tangannya. Apa yang terjadi?
Kendra kini yakin bahwa buku
tua itu bukanlah buku biasa. Atau…, hanya imajinasinya saja? Kendra menatap
nanar pada buku tua yang terlempar ke seberang ruangan itu. Tertutup, namun
terlihat begitu mengacam. Lalu apa yang akan ia lakukan?
Kendra mencoba untuk tidur.
Ia abaikan suara-suara jeritan tadi yang terus berputar di kepalanya.
Pemandangan mengerikan yang dipenuhi dengan darah itu terus saja terputar di
dalam ingatannya, dan seolah tidak bisa hilang.
Jam di atas meja menunjukkan
pukul satu dinihari. Namun kedua mata wanita itu belum juga terpejam. Ia merasa
ngeri, dan takut untuk memejamkan kedua matanya. Karena saat kedua matanya
terpejam, gambaran-gambaran aneh itu selalu muncul menghantuinya. Kini bukan
hanya darah. Tapi ia juga melihat sosok wajah yang pucat pasi dengan mata gelap
menatap ke arahnya.
Obat tidur ternyata tidak
dapat membantu. Tetap saja, ia tidak bisa tidur. Memang kedua matanya merasakan
kantuk yang cukup berat. Namun otaknya rasanya tidak mau diajak untuk
beristirahat, dan terus memutar pemandangan dan suara-suara aneh itu. Kendra
bisa saja berteriak. Kesal, terhadap apa yang tengah terjadi pada dirinya.
Kenapa dengannya? Kenapa ia bisa setakut itu?
Perjuangan Kendra dalam
melawan rasa kantuknya akhirnya berakhir dengan sebuah kekalahan. Sekitar pukul
tiga, ia akhirnya bisa tidur. Namun rupanya bukanlah sebuah tidur yang normal
seperti yang ia lakukan selama ini. Mimpi yang begitu mencekam menghantuinya.
Kendra merasa bahwa apa yang ia lihat dan rasakan begitu nyata. Suara-suara
desahan, jeritan, tangis dan ratapan terdengar berulang-ulang. Kendra
berkeringat, meski udara sedang dingin-dinginnya. Tubuhnya menegang, mencoba
melawan segala impian yang hadir di dalam kepalanya. Detik berikutnya, sosok
wajah pucat pasi dengan mata kosong itu muncul secara tiba-tiba. Menjerit
kearahnya.
Kendra membuka kedua matanya
dengan sebuah desahan panjang. Tubuhnya basah oleh keringat, bergetar, dan
rasanya ia seperti telah ebrlari sejauh puluhan kilometer. Nafasnya memburu,
dan tenggorokannya terasa begitu kering.
Kendra tidak dapat
mengatakan bahwa tidurnya begitu nyenyak. Dengan mimpi buruk semacam itu, tidak
heran bila ia masih merasa lelah meski telah tidur selama kurang lebih lima
jam. Ketika ia bangun, sinar matahri telah menyiram dari arah jendelanya.
Hangat. Namun Kendra masih tidak bisa melepaskan kengerian yang ia rasakan
semalam.
Semua karena buku tua itu.
Ya. Kendra yakin dengan dugaannya itu. Ketika ia masuk ke dalam ruang tengah
pagi itu, buku tua yang ia lempar kemarin mash tergeletak di ujung ruangan.
Dengan peuh kehatian-hatian, Kendra mengangkat buku itu lagi. Ia sudah bersiap
seandainya pemandangan dan suara ngeri itu datang lagi. Tapi…, tidak ada. Tidak
ada yang terjadi. Segalanya masih berada dalam keadaan normal.
Kendra dengan cepat
membolak-balik halaman buku tua itu, mencoba untuk menemukan lagi kalimat
dengan tulisan darah itu. Anehnya, tulisan itu telah menghilang. Seolah telah
dihapus, dan tidak meninggalkan jejak. Hal tersebut semakin membuat Kendra
yakin bahwa buku yang berada di tangannya itu memang bukanlah buku biasa.
Lance Camelot. Nama itu
menjadi satu-satunya petunjuk bagi Kendra untuk dapat mengetahui kebenaran dari
buku tua itu. Kendra yang merasa pernah mendengar nama itu mencoba untuk
membuka-buka lagi arsip tulisannya yang lama. Ia selalu melakukan sedikit riset
untuk setiap novel misteri yang ia tulis. Dan informasi yang ia dapatkan ia
kumpuklan dalam sebuah buku jurnal tebal yang berisi dengan guntingan-guntingan
koran dan segala tulisan. Namun, tidak ada satupun halaman dalam jurnalnya yang
membahas mengenai Lance Camelot. Lalu dimana Kendra pernah mendengar nama itu?
Kendra mencoba melakukan
penelusuran di internet mengenai nama itu. Hasilnya? Tidak ada. Nama itu seolah
adalah nama yang begitu rahasia. Tidak ada staupun situs misteri di internet
yang memuat berita mengenai nama itu.
Kendra mendesah seraya
melempar tubuhnya ke arah sofa. Waktu telah berlalu begitu cepat. Ketika ia
sadari, jam telah menunjukkan pukul sebelas siang. Dan ia masih belum menemukan
informasi apapun mengenai nama Lance Camelot.
Kendra tidak sadar bahwa
rasa kantuk karena kelelahan telah merayapi kedua matanya. Detik berikutnya, ia
telah terjatuh ke dalam alam mimpi. Disana, terdengar sebuah suara seorang pria
yang terdengar begitu familiar bagi Kendra. Suara itu…, suara ayahnya.
“Jadi kau mau menulis cerita
misteri, Kendra?” tanya suara pria itu. Dan Kendra dapat mendengar jawaban dari
mulut seorang anak kecil. Seorang gadis muda, yang kira-kira baru berusia dua
belas tahun.
“Siapa Lance Camelot?” tanya
Kendra kecil pada ayahnya.
“Dia orang yang sangat
berbahaya. Tapi dia sudah tidak ada. Dia hidup pada zaman kuno di Inggris.”
“Apa dia ada hubungannya
dengan raja Arthur?”
“Kau tahu cerita tentang
raja Arthur?”
“Bukankah dia yang merajai
kerajaan Camelot?”
“Ya, Kendra.” Jawab pria
itu. “Tapi kurasa Lance Camelot tidak ada hubungannya dengan rasa Arthur. Lance
Camelot, adalah seorang penyihir jahat yang telah melukai ratusan jiwa karena
praktek sihirnya. Di jaman itu, sihir adalah sesuatu yang umum. Sesuatu yang
ditakuti, yang dapat membuat seseorang berjaya atas nyawa orang lain.”
“Apa yang Camelot lakukan?”
“Dia menyembah setan. Dia
adalah maut. Siapapun yang mendengar puisi kematiannya, orang itu akan tewas.”
“Puisi kematian?”
“Lagu kematian telah
dituliskan, dan akan dinyanyikan.”
Kedua mata Kendra terbuka
dengan seketika. Dan ia ingat betul mengenai mimpi singkat yang baru saja ia
alami. Ya. Mimpi, atau kenangan dari masa kecilnya saat ia tengah berbincang
dengan ayahnya. Kini ia ingat dimana ia pernah mendengar nama Lance Camelot.
Ternyata dari ayahnya sendiri.
Segala kenangan Kendra
mengenai nama Lance Camelot dan buku tua itu hadir seperti banjir, memenuhi
otaknya. Ayahnya pernah mengatakan bahwa pria itu, Camelot, adalah seorang
penyihir yang berbahaya. Dan siapapun yang mendengar puisi kematiannya, orang
itu akan mati.
Kendra merasakan otot-otot
di tubuhnya menegang. Pusi itu…, ya. Ia telah membacanya. Kalimat yang tertulis
dengan darah itu memang ditujukan kepadanya. Pusi kematian…, dan kematian yang
akan menghampirinya.
Kendra dengan cepat
menyambar buku tua itu lalu kembali membuka-buku halamannya. Ia mencoba mencari
dimana tulisan awal dari pusi kematian itu berada, namun usahanya itu berakhir
sia-sia. Ia tidak menemukannya.
Kendra berteriak kesal
seraya melempar buku itu ke seberang ruangan. Buku terkutuk. Apa yang akan
terjadi padanya jika ia tidak segera membuang buku itu jauh-jauh?
Tidur Kendra malam harinya
sedikit terganggu. Mimpi-mipi buruk mengenai hal-hal mengerikan yang pernah ia
lihat saat memegang buku tua itu kembali. Ia lihat sebuah tanah tandus,
terlupakan, lalu adanya darah, dan wajah pucat pasi itu kembali menghampirinya.
Apakah wajah itu adalah wajah dari kematian yang akan menghampirinya?
Kendra ketakutan. Tidak
pernah ia merasakan rasa takut yang menjadi-jadi hingga berakar ke
tulang-tulangnya seperti ini. Hari demi hari ia lewati dengan perasaan gundah.
Buku tua itu masih tergeltak di sudut ruangan. Kendra tidak berani lagi
menyentuhnya.
“Kau harus menghancurkannya,
Kendra!” ucap salah seorang teman Kendra sesaat setelah ia menjelaskan mengenai
buku terkutuk itu. Teman Kendra yang satu ini memang memiliki kepercayaan
dengan hal-hal gaib. Dan pengetahuannya tentang hal-hal seperti itu memang
tidak diragukan lagi.
“Tapi aku takut untuk
menyentuhnya.” Ucap Kendra. “Setiap kali mendekat, aku merasakan rasa dingin
itu. Lalu gambaran-gambaran aneh mulai datang memenuhi kepalaku.”
“Kau harus melawannya!”
“Bagaimana caranya?”
“Buat dirimu berani.” Ucap
teman Kendra itu memberikan solusi. “Kau tidak akan mampu menghancurkannya jika
kau tidak berani menghadapinya. Temukan kelemahan buku itu, Kendra!”
Hari-hari berkutnya,
ketakutan Kendra mulai memudar, namun tidak sepenuhnya hilang. Ia mulai berani
menyentuh buku itu lagi. Ia buka-buka halamannya, dan masih saja kosong. Tidak
ada lanjutan dari puisi itu.
Hal yang mengejutkan terjadi
di suatu Minggu pagi. Saat Kendra tengah membersihkan ruangan, tiba-tiba saja
ada angin besar masuk ke dalam ruang tengahnnya seperti saat itu. Halaman dari
buku tua itu kembali terbuka, dan berakhir pada sebuah halaman, dimana
kelanjutan dari puisi itu tertulis.
“Tarian kedamaian, tarian
kematian. Api akan menyebar ketakutan, dan darah menjadi lautan. Apakah kau
siap untuk dunia berikutnya?”
Kendra dengan kasar merobek
halaman buku tua yang berisikan tulisan itu dan membakarnya. Ia berpikir dengan
cara itu ia telah berhasil menghentikan kutukan dari buku tua itu. Ternyata,
perkiraannya itu salah.
Ia kembali mendapatkan
mimpi-mimpi buruk di malam-malam berikutnya, dan tidurnya benar-benar terganggu.
Bahkan Kendra pernah tidak tidur semalaman, dan hanya menatap buku tua itu.
Segala rasa cemas dan
ketakutan kembali meracuni tubuh Kendra. Hal tersebut kini telah benar-benar
membuatnya lumpuh, tidak dapat bekerja lagi. Ia tidak akan kembali ke kehidupannya
yang normal jika ia tidak segera menghancurkan kutukan buku tua itu.
Kendra mencari solusi dari
luar rumahnya. Siapa yang kiranya tahu hal-hal mengenai sihir? Jika
pertanyaannya semacam itu, mungkin ia akan mendapat banyak jawaban, mengingat ia
tinggal di Blackwood.
Seorang nenek tua yang
tinggal di kawasan Whisper Street menjadi satu-satunya orang yang mungkin dapat
membantu Kendra. Kendra menemui wanita tua itu, dan menjelaskan segalanya.
Kendra senang wanita itu tidak menertawakannya.
“Buku milik Lance Camelot.”
Gumam wanita tua itu sambil mengelus sampul kulit dari buku tua itu. Kedua mata
senjanya terpaku pada buku itu.
“Buku ini sudah hilang
selama berabad-abad. Dan aku tidak tahu bagaimana kau bisa mendapatkannya.”
“Aku juga tidak tahu.” Ucap
Kendra. “Yang jelas, puisi itu sudah tertulis untukku. Kematianku…”
“Jangan khawatir!” ucap
wanita tua itu. “Selalu ada jalan untuk mengakhiri sebuah kutukan.”
Kendra tidak langsung
mendapatkan solusi dari wanita itu. Wanita itu memintanya untuk menunggu.
Menunggu apa? Kendra pun tidak mengetahuinya.
Hari-hari Kendra kini selalu
dipenuhi dengan ketegangan. Ia terus memantau buku tua itu. Dan ia dapati, saat
angin besar datang menyerbu ke dalam rumahnya, selalu ada kalimat baru di dalam
buku tua itu. Di suatu akhir pekan, Kendra mendapat pesan yang berbunyi,
“Sangkakala terakhir,
kehidupan terakhir.”
Mungkin kalimat itu adalah
akhir dari puusi kematian itu, mengingat Kendra tidak lagi mendapatkan
kalimat-kalimat baru dalam beberapa hari setelahnya. Namun, keanehan mulai
terjadi. Maut mulai datang pada kehidupan Kendra.
Kendra ingat bahwa
satu-satunya kecelakaan yang ia alami adalah saat ia berusia 16 tahun. Selain
itu, tidak ada lagi. Tapi setelah kalimat terakir dari puisi keamtian itu,
Kendra sudah tak dapat menghitung lagi berapa banyak kesialan yang bisa ia
dapatkan dalam satu hari.
Ia pernah nyaris terserempet
bus di persimpangan jalan, yang membuatnya jatuh dan mengalami luka di kakinya.
Lalu saat di rumah, ia hampir saja terjatuh di tangga saat kakinya secara tak
sengaja terantuk pada sebuah benda yang tak terlihat.
Kendra begitu yakin bahwa
kutukan itu telah bekerja, dan kematian tengah mengejarnya. Ia harus segera
mengakhiri semua ini jika ia ingin kembali ke kehidupannya yang normal. Ia
harus menghancurkan buku itu.
Kendra tidak dapat menunggu
lebih lama lagi. Dalam cuaca yang tak mendukung, Kendra pergi dari rumahnya
membawa buku tua itu. Hujan deras menerpa, membasahi seluruh pakaian yang ia
kenakan. Ia berlari menyusuri jalanan Blackwood. Ia memutuskan untuk tidak
menggunakan mobil karena ia tahu hal buruk akan terjadi padanya.
Whisper Street. Jalanan
perumahan di kawasan itu memang terkenal sebagai yang paling sepi bila
dibandingkan dengan bagian lain dari Blackwood. Kendra dengan cepat berlari ke
arah sebuah rumah yang pernah didatanginya. Rumah nenek itu. Rumah Matilda.
“Matilda!” teriak Kendra
sambil menggedor pintu rumah wanita tua itu. Hujan semakin deras menerpanya. Ia
dengar gemuruh di kejauhan, yang seolah menjawab segala rasa takut yang Kendra
alami.
“Matilda, kumohon!”
Pintu kayu rumah tua itu
akhirnya terbuka. Nampaklah sesosok wanita tua, memandang serius ke arah Kendra
yang basah kuyup. Kendra memohon pada wanita itu untuk membantunya.
“Kumohon, Matilda! Aku sudah
tidak kuat lagi.”
“Masuklah, nak. Kurasa sudah
saatnya.”
Kendra dibawa masuk ke dalam
urmah yang terlihat sedikit mengerikan daripada saat terakhir kali Kendra
datang. Keadaan di dalam rumah itu terlihat cukup terang dengan ada puluhan
lilin berdiri di lantai, di rak buku, dan di segala tempat. Kendra tidak tahu
apa yang tengah wanita itu lakukan.
“Jangan heran!” ucap wanita
itu. “Semua ini kupersiapkan untuk hari ini. Untuk apa yang akan kita lakukan.”
“Kau yakin bisa mencabut
kutukannya?” tanya Kendra. “Kematian mengejarku. Aku…, bisa saja mati.”
“Bukan perkara yang mudah
untuk mematahkan kutukan yang sudah berusia ratusan tahun seperti ini. Aku
memerlukan banyak persiapan. Sejak kau pulang hari itu, aku tidak pernah
berhenti menghafalkan lagi mantra-mantra kuno yang dulu pernah diajarkan oleh
kakekku. Dan kini…, kurasa kita akan melihat apakah kekuatanku dapat
mengalahkan kekuatan Lord Lance Camelot.”
Tubuh Kendra bergetar. Bukan
karena rasa dingin karena ia baru saja kehujanan. Namun karena atmosfir di
ruangan itu yang berubah dengan drastis. Ia merasakan datangnya hembusan angin,
entah darimana datangnya. Api-api yang ada di lilin bergoyang, kadang meniupnya
hingga mati.
Wanita tua itu bergerak ke
tengah ruangan dimana telah ia siapkan sebuah meja yang telah ia lumuri dengan
suatu cairan berwarna merah. Darah? Kendra tidak tahu pasti. Keadaan sudah
cukup mengerikan tanpa memikirkan adanya hal-hal lain yang bisa membuatnya
mual.
Wanita itu berdiri tegak di
depan meja. Ia kemudian merentangkan kedua lengannya, mendongak sambil
memejamkan kedua matanya. Sedetik kemudian, keluarlah sederet mantra-mantra
aneh dari mulutnya. Sebuah bahasa yang tidak akan mungkin Kendra pelajari.
Kendra merasa semakin takut
saat hembusan angin terasa semakin kencang. Pigura-pigura di dinding dan segala
benda kecil bergetar, kadang jatuh dari rak. Sebuah kekuatan yang tak terlihat
seolah datang pada saat itu juga. Sebuah kekuatan yang tak nampak, yang rasanya
begitu berbahaya.
“Kendra! Bukunya!”
Kendra segera menyerahkan
buku itu pada Matilda. Matilda mengangkat buku itu pada kedua tangannya,
mengucapkan mantra lagi, dan hembusan angin terasa semakin kencang. Disaat yang
bersamaan, suara Matilda juga semakin kencang dalam mengucapkan mantra-mantra
itu.
Matilda tiba-tiba saja mengerang,
seolah tengah terserang oleh sesuatu. Kendra dengan jelas dapat menyaksikan
wajah penuh derita wanita itu. Sesuatu sedang melawan Matilda. Apakah kekuatan
dari buku tua itu? Kekuatan Lance Camelot?
Matilda berteriak. Buku yang
ia pegang terlempar ke udara dan jatuh berdebuk ke atas lantai. Matilda seolah
didorong oleh sebuah kekuatan, jatuh ke atas lantai. Disaat yang bersamaan,
deruan angin keras itu berhenti.
Matilda terengah-engah,
kelelahan. Kendra tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia yakin bahwa apa yang
tengah Matilda lakukan menemui kegagalan.
“Buku itu sangat kuat.”
Ucapnya. “Mustahil untuk bisa mematahkan kutukan Lance Camelot.”
“Tapi katamu…”
“Aku tidak mengatakan bahwa
aku menyerah, nak.” Potong Matilda. “Aku yakin bahwa kutukan ini dapat
dipatahkan. Meski harus merebut nyawaku.”
“Jangan mati!”
“Ini adalah sebuah perebutan
kekuatan yang dahsyat. Aku harus mencobanya lagi.”
Matilda bangun dengan
bersusah payah. Ia ambil lagi buku tua itu, lalu melakukan hal yang sama.
Mengangkatnya tinggi-tinggi di udara, sambil mengucapkan mantra. Dan lagi-lagi,
deruan angin yang kencang itu datang menerpa. Kali ini seluruh api yang ada di
lilin padam. Sebagai gantinya, api yang ada di dalam perapian membesar,
menjadi-jadi. Lidah-lidah api bergerak tak normal, seolah api jahat yang keluar
dari dalam neraka mencoba untuk membakar wanita tua itu.
Kekuatan dari dalam perapian
itu snagat besar. Kendra merasakan tubuhnya goyah, dan bisa saja terlempar jika
saja ia tak berpegangan pada sebuah kursi. Sebaliknya, Matilda sepertinya tidka
merasakan kekuatan jahat itu, meski terliht jelas bahwa ia tengah berusaha
keras menjaga buku itu tetap di udara. Tangannya bergetar hebat, seolah buku
itu memaksa untuk lepas dari genggamannya.
Deruan angin itu semakin
besar. Kendra kini bahkan tidak dapat mendengar ucapan Matilda. Suara gemuruh
angin itu membuatnya tuli untuk sesaat. Kendra mengamati dengan nanar, saat
lidah api dari perapian itu akhirnya menjilat tubuh Matilda.
Matilda berteriak keras saat
sebelah tangannya terbakar. Namun anehnya, ia masih tetap menjaga buku itu
tetap berada di udara. Mantra yang ia ucapkan semakin cepat dan keras, hingga
akhirnya buku yang ada di tangannya melompat, masuk ke dalam perapian.
Lidah-lidah api itu semkain membesar, lalu berubah warna menjadi kebiruan,
hingga akhirnya padam seketika. Hanya meninggalkan asap tebal, yang hilang
dalam beberapa detik.
Kendra terpuruk pada kedua
kakinya saat semua hal yang mengejutkan itu berakhir. Ia lihat, Matilda
terengah-engah di depannya. Api yang tadi membakar lengannya telah hilang,
meninggalkan bekas bakaran di lengan bawah wanita itu. Kendra tidak yakin
apakah ritual yang dilakukan Matilda berakhir atau tidak. Namun, ketika ia
melihat Matilda tersenyum, ia tahu jawabannya.
*
Kendra membantu Matilda
membebat lengannya yang terluka. Tiga puluh menit telah berlalu sejak buku tua
itu melompat ke dalam perapian. Dan Matilda mengatakan bahwa semuanya telah
berakhir.
Kendra melongok ke dalam
perapian, dan melihat buku tua itu sudah hangus terbakar. Yang tersisa hanyalah
segumpal kertas dengan bekas bakaran, yang sudah tidak bisa dikatakan sebagai
sebuah buku lagi.
“Ritual yang kau lakukan
itu…” ucap Kendra. “Darimana Anda mengetahuinya?”
“Itu adalah ritual lama.”
Jawab Matilda pelan. “Kakekku selalu mengajarkan mantra-mantra itu, meski saat
itu aku begitu yakin bahwa aku tidak akan perlu memakainya. Ritual ini berat,
karena kita berhadapan dengan sebuah kekuatan jahat yang begitu besar. Harus
ada banyak persiapan untuk melakukannya, dan saat melakukannya pun aku tidak
bisa terlepas dari pengaruh-pengaruh jahat yang menyelubunyiku.”
“Jadi kau merasakannya? Saat
api itu…”
“Ya.” Jawab Matilda.
“Kekuatan yang tertanam pada buku tua itu sangat besar. Sesuai dugaan. Lance
Camelot memang bukan orang sembarangan. Dia penyihir jahat terbesar di
zamannya. Tapi jangan khawatir mengenai buku itu lagi. Semuanya sudah
berakhir.”
“Apa ini berarti kutukan
yang ada padaku juga sudah hilang?”
“Ya.”
Kendra tersenyum lebar. Ya,
ia merasa begitu puas setelah apa yang terjadi. Kini ia bisa kembali lagi ke
dalam kehidupan normalnya. Terbukti, beberapa hari setelah ritual itu, ia tidak
lagi mendapatkan mimpi buruk mengenai pemandangan mengerikan dan wajah pucat
itu, dan ia juga tidak mendapatkan kesialan lagi.
“Aku sudah mengakhrinya.”
Ucap Kendra pada temannya. Ia menceritakan segalanya, mengenai ritual dalam
menghancurkan kutukan itu.
“Kau bisa kembali ke dalam
pekerjaanmu sekarang? Kau tidak takut lagi, ‘kan?”
“Kurasa begitu.” Jawab
Kendra.
Pagi yang cerah menyambut
Kendra. Sinar matahari yang hangat menyelimutinya saat ia duduk di kamarnya,
menghadap layar laptop, dan ia bersiap untuk menuliskan bab pertama dari cerita
barunya. Lalu, cerita misteri apa yang akan ia tuliskan?
“Kurasa…” ucap Kendra. “Aku
bisa menceritakan pengalaman yang baru saja aku dapatkan.”
****
No comments:
Post a Comment