Jonas Mercer belum lama bertugas sebagai anggota kepolisian di
kotanya yang baru, Blackwood. Baru sekitar lima bulan ia tinggal di kota kecil
itu, namun ia sudah dapat dibandingkan dengan polisi-polisi senior yang bekerja
lebih lama darinya. Prestasinya di kepolisian lumayan bagus. Ia banyak mendapat
pujian atas kasus-kasus yang ia tangani, namun hal itu tidak membuatnya lupa
akan dirinya yang sebenarnya.
Jika boleh memilih, Jonah
lebih menginginkan bekerja di kota kelahirannya, New Himpton. Namun nasib
ternyata harus membawanya ke Blackwood, kota kecil yang ia dengar memiliki
banyak sekali kisah ganjil. Apakah karena banyak terjadi tindak kriminal di
kota itu? Mungkin saja. Dalam seminggu Jonah bisa mendapatkan belasan kasus.
Mulai dari kasus pencopetan hingga kasus pembunuhan. Aneh? Bagi masyarakat
biasa, mungkin begitu. Tapi bagi anggota kepolisian seperti dirinya, hal itu
adalah hal yang wajar.
Jonas mulai menyenangi
tempat tinggalnya yang baru. Sebuah kota kecil di tengah kawasan hutan yang
asri, sungguh berbeda dengan kota metropolitan seperti New Himpton yang setiap
harinya selalu dipenuhi dengan gas beracun dari kendaraan. Jones sempat
berpikir, mungkin ia akan mengajak keluarganya tinggal di kota itu suatu saat
nanti.
Seperti hari-hari biasanya,
Jones melakukan patroli mengelilingi Blackwood dengan mobil patrolinya. Hal
yang rutin ia lakukan setiap pagi dan sore ini membuatnya dapat dengan cepat
menghafal lalu lintas Blackwood, dan juga dengan lokasi-lokasi terpencil di
area sekitar kota kecil itu.
Sore itu rupanya cuaca
sedang tidak bersahabat. Hujan turun sejak pukul dua belas siang, dan hingga
pukul lima belum juga berhenti. Jonas tetap melakukan tugas patrolinya seperti
biasa. Berkeliling Blackwood dengan mobil putih bergaris biru miliknya.
Biasanya ia berkeliling bersama dengan salah satu rekannya. Namun karena suatu
alasan, sore itu ia harus bertugas sendirian.
Jonas memacu mobilnya dengan
kecepatan sedang melewati sebuah jalan di perbukitan yang berada di bagian
utara Blackwood. Tidak ada yang aneh, atau pun mencurigakan untuk bisa menarik
perhatiannya. Udara yang dingin, dengan hujan deras membuat Jones harus ekstra
hati-hati dalam mengemudikan mobilnya. Keadaan mulai gelap saat jarum jam
menunjukkan pukul enam sore. Jalanan di kawasan hutan Blackwood bisa sangat
berbahaya saat hujan seperti itu.
Jonas sempat melamun
beberapa saat, ketika tiba-tiba saja tangannya tersentak dengan cepat,
membanting setir ke arah kiri dan menginjak pedal rem dalam waktu yang
bersamaan saat ia merasa ada sesuatu yang tergeletak di tengah jalan, tepat di
depannya. Jonas memicingkan kedua matanya untuk dapat melihat menembus kabut
hujan yang ada di depannya, dan menemukan sesuatu memang tergeletak di tengah
jalan, tepat di depan mobilnya.
Apa itu? Hewan? Memang tidak
aneh jika Jonas berpikir seperti itu mengingat kawasan hutan blackwood memang
masih banyak ditinggali oleh kawanan hewan. Namun saat itu ia tidak berpikiran
bahwa yang ada di depan mobilnya adalah seekor binatang. Ketika Jonas sudah
dapat melihat benda itu dengan jelas, ia tersentak. Onggokan itu adalah tubuh
seorang manusia.
Jonas dengan cepat keluar
dari mobil patrolinya tanpa memikirkan hujan deras yang dengan cepat membasahi
seragam kepolisiannya. Dengan langkah cepat ia mendatangi sosok di tengah jalan
itu, yang tergeletak tak bergerak. Jasad? Bukan. Tanpa mendekat pun Jonas tahu
bahwa sosok yang ada di tengah jalan itu masih hidup.
Seorang pria tua. Mungkin
berusia 70-an, dengan rambut hitam yang mulai dipenuhi dengan garis putih,
berpakaian kumal dan terlihat tak layak. Siapa sebenarnya pria tua itu? Jonas
tidak akan berpikir lama untuk menyelamatkan seorang nyawa, seperti yang sudah
pernah ia lakukan sebelumnya. Jonas mengangkat tubuh pria itu dari tengah
jalan, lalu membawanya ke dalam mobilnya.
Wajah tua dari pria itu
terlihat menunjukkan begitu banyak penderitaan. Terdapat banyak luka di sekujur
tubuh pria tua itu. Ada bekas sayatan, luka lebam, dan pakaiannya
compang-camping. Dugaan terbaik Jonas, pria ini mungkin baru saja dirampok.
ARRGGG!
Jonah langsung mengarahkan
perhatiannya pada pria tua itu saat pria itu mengeluarkan sebuah erangan.
Wajahnya terlihat memucat, dan terlihat jelas bahwa pria itu tengah menahan
rasa sakit.
“Anda akan baik-baik saja.”
Ucap Jonas mencoba menenangkan pria tua itu.
“Dimana aku?”
“Di mobil. Dan aku akan
membawa Anda ke dok…”
“Tidak!!”
Pria tua itu dengan cepat
membuka kedua matanya. Sebuah sorot mata yang tajam, kemerahan, menatap ke arah
Jonas yang terpaku dan bingung.
“Dokter!” teriak Jonas untuk
menanggulangi suara berisik air hujan di luar mobilnya.
“Aku akan membawa Anda ke
dokter.”
“Tidak perlu!” balas pria
tua itu dengan suara yang tertahan, disela erangan rasa sakitnya.
“Aku tidak butuh dokter.”
Ucap pria itu lagi. “Aku ingin ke tempat lain. Antarkan aku ke tempat lain!”
“Dimana Anda tinggal?
Blackwood?”
“Jauh dari tempat ini.”
Jawab pria itu. “Aku…, aku…”
Jonas tidak betah harus
mendengar erangan kesakitan dari pria tua itu. Ia sepertinya tidak perlu
bernegosiasi untuk menyelamatkan satu nyawa. Tanpa menghiraukan ucapan-ucapan
pria tua itu, Jones menginjak pedal gas dalam-dalam dan mengarah ke suatu
tempat yang memang penting untuk saat itu.
Sebuah klinik di tepian
Blackwood menjadi tempat yang Jonas tuju. Pria tua itu terus menolak untuk
dibawa menemui dokter. Namun kekuatan tubuhnya tidak sebanding dengan kekuatan
tubuh Jonas saat ia berusaha melarikan diri. Jonas terpaksa harus menggunakan
cara yang sedikit keras untuk membawa pria tua itu masuk ke dalam klinik, dan
menemui seorang dokter.
Pria tua itu dibawa pergi
oleh beberapa perawat setelah ia diberikan suntikan penenang. Jonas, yang merasa
khawatir dengan pria tua itu bertanya pada dokter mengenai apa yang mungkin
terjadi pada pria tua itu.
“Tidak akan ada masalah
besar selama kami memantaunya.” Ucap sang dokter. “Dia mungkin sedikit trauma
dengan apa yang baru saja terjadi. Katamu, korban kasus perampokan?”
“Mungkin.” Jawab Jonas. “Aku
menemukannya di tengah jalan dengan keadaan seperti itu. Mungkin dugaanku
benar.”
“Kami akan merawatnya untuk
sementara.” Ucap sang dokter. “Besok pagi mungkin kau bisa menemuinya lagi,
opsir.”
“Terima kasih.”
Tanpa kata-kata lain, Jonas
pun pergi dari klinik itu. Ia sempat mengunjungi kantor polisi sebelum akhirnya
memutuskan untuk pulang dan beristirahat.
**
Hari Minggu datang keesokan
harinya. Satu hari dimana Jonas mungkin bisa sedikit bersantai di rumah tanpa
harus memikirkan pekerjaannya. Sayangnya, tempat tinggal yang ia tempati saat
ini belum memiliki fasilitas yang memadai baginya untuk dapat melepaskan rasa
bosan. Terlalu sepi, sama seperti kota yang ia tempati ini.
Jonas memutuskan untuk keluar
saat jarum jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi. Langit pagi itu sudah
terlihat lebih cerah daripada kemarin yang dipenuhi dengan hujan. Sinar
matahari pagi menyiram wajahnya saat ia berjalan di halaman rumah, hingga
akhirnya ia masuk ke dalam mobilnya sendiri.
Jonas tentu saja tidak lupa
dengan apa yang ia temukan kemarin. Pria tua itu. Pria tua yang menurutnya
sedikit aneh, karena terus menolak untuk menemui dokter. Mungkin pria itu
memiliki ketakutan terhadap petugas medis?
Tidak ada yang tidak mungkin.
Jonas berpikir, pria itu tidak mau menemui dokter karena sebuah alasan. Tapi
tanpa dokter, pria tua itu mungkin akan terus kesakitan dengan luka yang ada di
sekujur tubuhnya.
Jonas terus memikirkan
kemungkinan-kemungkinan apa saja yang mungkin telah terjadi pada pria itu.
Perampokan? Penculikan? Atau karena tindak kriminal lain? Dan Jonas juga
penasaran dengan nama dan dimana pria itu tinggal.
Jonas akhirnya sampai di
klinik dimana kemarin ia mengantarkan pria tua itu. Ia ingin segera menemui
pria tua itu. Namun sebelum ia sempat melangkahkan kakinya amsuk ke dalam
klinik, dokter yang kemarin menemuinya datang kearahnya dengan tergesa.
Wajahnya terlihat menunjukkan kegelisahan yang cukup serius.
“Opsir! Opsir! Gawat!”
“Ada apa?” tanya Jones
cepat. “Ada yang…”
“Pria yang kemarin.” Ucap
dokter itu. “Dia menghilang.”
“Apa?!”
Jonas mengernyit cepat. Ia
ragu dengan apa yang ia dengar. Tapi tidak salah lagi. Memang seperti itulah
kebenarannya.
“Apa maksud Anda
menghilang?” tanya Jones. “Pria tua itu…, bukankah Anda yang…”
“Ya. Tanggung jawabku.”
Jawab dokter itu. “Aku memberikannya suntikan penenang lagi pukul dua dinihari
tadi saat pria itu tiba-tiba saja terbangun. Seperti saat kau antarkan kemarin,
pria tua itu terus menjerit-jerit dan sepertinya tidak begitu suka dengan
keadaan dalam klinik.”
“Lalu?”
“Ketika aku akan
memeriksanya pagi ini, kamarnya telah kosong. Jendela terbuka. Mungkin ia kabur
lewat jendela itu.”
“Bisa kau tunjukkan
kamarnya?”
Dokter itu membawa Jonas ke
arah sebuah ruangan kecil yang terletak di bagian belakang klinik. Kamarnya
memang kosong. Tempat tidurnya sedikit acak-acakan, mungkin karena pria tua itu
tidak bisa tenang di tempat. Dan jendela yang ada di samping tempat tidur
memang terbuka. Jonas melongok melalui jendela dan memeriksa tanah yang ada di
bawahnya, yang basah oleh hujan kemarin, dan menunjukkan bekas jejak kaki.
“Dia memang kabur.” Ucap
Jonas. “Apakah Anda sempat bertanya namanya, dokter?”
“Tidak.” Jawab sang dokter.
“Seperti yang dapat kau lihat kemarin, dia tidak bisa tenang tanpa campur
tangan obat penenang. Dan mustahil bagiku dan perawatku untuk dapat bertanya
padanya.”
Rasa penasaran Jonas akan
sosok pria tua itu semakin besar setelah melihat apa yang terjadi. Pria itu
kabur. Kenapa? Karena alasan apakah pria tua itu sampai begitu ketakutan dengan
dokter?
“Seharusnya ini tidak
terjadi. Tepat di bawah pengawasanku.”
“Sudahlah.” Ucap Jonas. “Bukan
salah Anda, dokter. Aku akan menyelidiki hal ini.”
“Dia sepertinya begitu
ketakutan.”
“Memang.” Jawab Jonas.
Dalam beberapa menit, Jonas
sudah kembali berada di dalam kabin mobilnya dan bergerak pelan di sepanjang
jalanan kota Blackwood. Pikirannya tidak bisa tenang, dan terus memikirkan
tentang orang tua itu. Dimana ia bisa mencari informasi mengenai pria tua itu?
Kantor polisi tempatnya bekerja, mungkin?
Jonas ternyata memang dapat
menemukan sedikit informasi saat ia datang ke kantor kepolisian pagi itu. Di
papan pengumuman, terdapat selebaran dengan foto pria tua itu. Selebaran itu
mengatakan bahwa pria tua itu sudah hilang selama berminggu-minggu.
“Ini pria yang kutemukan
kemarin di batas kota.” Ucap Jonas pada salah satu rekannya.
“Kapan pengumuman ini
datang? Kenapa aku tidak melihatnya kemarin?”
“Baru pagi ini.” Jawab kawan
Jones yang bekerja di bagian reception.
Dari selebaran yang Jonas
pegang, ia kini dapat mengetahui nama pria tua itu. Eugene Milverton, 69 tahun,
berasal dari Caden. Caden adalah sebuah kota yang letaknya tidak begitu jauh
dari Blackwood.
“Siapa yang mengirim
selebaran ini?” tanya Jonas cepat setelah memeriksa dengan teliti selebaran
yang ia pegang.
“Salah satu orang yang ia
kenal.” Jawab rekan Jonas. “Mereka mengatakan, seperti yang tertulis, bahwa Tn.
Milverton telah hilang selama berminggu-minggu. Awal kejadiannya saat pria tua
itu pergi meninggalkan rumah di suatu sore beberapa minggu yang lalu, dan tidak
kembali. Pihak keluarga sudah menghubungi beberapa kantor kepolisian mengenai
menghilangnya Milverton. Namun hingga detik ini belum ada kabar. Tapi kini kau
telah menemukannya, ‘kan?”
“Dia menghilang dari
klinik.”
“Dia kabur?”
“Mungkin begitu.” Jawab
Jonas. “Apa kita tidak punya info lain mengenai pria tua ini? Mungkin ia pernah
menjadi tersangka dalam suatu kasus atau semacamnya?”
“Kurasa tidak.” Jawab rekan
Jonas itu.
“Aku akan berusaha
menemukannya.”
Meskipun telah berkata
begitu, Jonas tidak tahu kemana ia harus mencari. Ia tidak punya informasi lain
yang mungkin dapat membantunya dalam pencarian si tua Milverton. Berkeliling
Blackwood dengan mobil untuk mencari pria tua itu sepertinya hanya akan
membuang waktunya. Lalu, dimana ia harus mulai mencari?
Jonas mencoba membawa
mobilnya berputar-putar mengelilingi Blackwood. Meski ia berpikir bahwa
usahanya ini akan sia-sia, tapi paling tidak ia telah berusaha. Dan jujur,
Jonas mengkhawatirkan pria tua itu.
Seperti dugaannya, ia tidak
menemukan apapun. Ia sudah mencoba bertanya pada orang-orang di pinggir jalan,
kerumunan di depan gereja, dan beberapa tempat lain yang mungkin didatangi oleh
pria tua itu. Namun Jonas tetap tidak mendapatkan jawaban mengenai keberadaan
pria tua yang malang itu.
Jones mulai berpikir, bahwa
ia tidak akan bisa menemukan orang tua itu lagi. Mungkin orang tua itu sudah
pergi jauh sejak ia kabur dari klinik semalam. Dan Jonas mencoba melupakan pria
tua itu. Akan tetapi, sebuah hal yang tak terduga ia dapati ketika ia pulang ke
rumahnya.
Di halaman rumahnya,
tepatnya di tangga terbawah dari tangga yang mengarah ke teras, duduklah
seorang pria tua yang betul-betul Jonas kenal. Pria yang terlihat kumal, pucat,
dan terlihat seperti orang gila. Siapa lagi jika bukan pria tua yang Jonas
cari? Tapi kenapa pria tua itu bisa berada di depan rumahnya?
“Tn. Milverton!” seru Jonas
seraya melompat turun dari mobilnya. Ia segera mendatangi pria tua itu, yang
memandangnya dengan tatapan serius.
“Aku tidak bisa bersama
dengan mereka.” Pria tua itu menggeram.
“Bagaimana Anda bisa
menemukan rumahku?”
“Tolong aku!” pria tua itu
mulai mengerang lagi. Dibawah siraman sinar matahari, Jonas dapat melihat
dengan jelas luka-luka yang berada di sekujur tubuh pria tua itu.
“Tolong aku! Aku ingin…”
“Ayo masuk!” ajak Jonas
seraya meraih lengan pria tua itu.
Tubuh yang kurus dan
terlihat rapuh itu akhirnya duduk di sebuah kursi di dapur. Jonas dengan cepat
menyiapkan makanan dan minuman seadanya. Pria itu langsung memakan makanan yang
Jonas siapkan, seperti orang yang benar-benar kelaparan.
Jonas duduk di depan pria
tua itu. Semakin ia perhatikan keadaan pria tua itu, Jonas semakin penasaran
dengan kisah dibalik kaburnya pria tua itu dari rumah keluarganya.
“Anda bisa bercerita?” tanya
Jonas. “Anda dari Caden, ‘kan?”
“Putriku.”
“Maaf?”
“Aku ingin menemui putriku.”
“Putri Anda tinggal di
Caden?” tanya Jonas. Bukan sebuah anggukan, namun sebuah gelengan kepala ia
dapatkan. Detik berikutnya, kedua mata memerah pria tua itu menatap wajahnya.
“Kumohon! Antar aku ke
tempat putriku. Aku sudah rindu dengannya. Aku…”
“Aku akan mengantar Anda
pulang, Tn. Milverton. Setelah Anda habiskan makanan itu.”
Tidak perlu waktu lama bagi
Jonas untuk kembali ke dalam mobilnya bersama dengan pria tua itu. Detik
berikutnya, ia telah memacu kendaraannya di sebuah jalan yang mengarah ke
timur, keluar dari Blackwood.
“Kenapa Anda kabur dari
rumah?” tanya Jonas. “Keluarga Anda mencemaskan Anda, Tn. Milverton. Itu benar
nama Anda, ‘kan?”
“Putriku.” Jawab pria tua
itu. “Aku hanya ingin menemui putriku. Ia dalam bahaya. Dia bersama orang-orang
itu!”
“Siapa?”
“Berandal-berandal dari
kota. Mereka…, mereka ingin meulai putriku. Elizabeth!”
Jonas menggunakan sebelah
tangannya untuk menenangkan tubuh Milverton yang tidak bisa diam di bangku yang
ia duduki. Jones mencoba untuk mengorek informasi dari pria tua itu. Namun
speertinya usahanya itu akan berakhir dengan sia-sia, saat pria tua itu tidak
mau berhenti menggumamkan kata-kata yang tak jelas.
“Belok di depan! Kiri!”
Jonas sediki ragu untuk
mengikuti perintah orang tua itu. Namun ketika ia tidak segera memutar roda
kemudianya, pria tua itu meraih kemudi yang ia pegang dan memaksa Jonas untuk
memutar kemudi itu. Mobil sempat kehilangan kendali karena usaha nekat pria tua
itu.
“Oke!” ucap Joneas. “Jadi,
kemana Anda ingi pergi? Bukan Caden, tempat tinggal Anda?”
“Ada sebuah rumah beberapa
kilo dari sini.” Jawab pria tua itu. “Disana. Putriku menungguku disana.”
Jonas tidak tahu apakah pria
itu masih waras atau tidak. Sejak ia meninggalkan Blackwood, pria tua itu terus
menggumkan nama putrinya itu. Elizabeth. Kadang pria tua itu tersenyum,
tertawa, lalu merintih lagi. Benar-benar sebuah pemandangan aneh bagi Jonas.
“Itu!” teriak pria itu
iba-tiba sambil menunjuk ke arah hutan. “Disana! Itu rumahku! Disana! Putriku!”
Jones menghentikan mobilnya.
Dengan mengikuti arah telunjuk pria tua itu, ia memang melihat adanya sebuah
rumah di tepi hutan. Lebih tepatnya, sebuah pondok kayu yang terlihat sepi.
“Tunggu!”
Terlambat bagi Jonas untuk
menghentikan pria tua itu. Pria itu melompat turun, lalu berlari cepat ke arah
pondok tua itu. Jones, tanpa sadar telah berjalan beberapa meter dibelakang
pria tua itu.
“Liz! Liz, aku pulang!
Sayang!”
Jonas melihat pintu pondok
itu terbuka, dan melihat adanya sosok wanita muda, yang kira-kir berusia akhir
20-an, muncul lalu menyambut kedatangan pria tua itu. Mereka berpelukan, seolah
sudah lama mereka tidak bertemu.
“Selamat siang, Nona!” sapa
Jonas. Wanita itu tersenyum ke arah Jonas, dengan senyum menawannya yang
memikat. Jika saja Jonas tidak teringat bahwa ia sudah memiliki istri, mungkin
ia akan mengencani putri dari pria tua itu.
“Opsir Jonas Mercer.” Ucap
pria tua itu. “Dia yang menyelamatkanku. Dia yang mengantarku pulang.”
“Terima kasih, Opsir.” Ucap
wanita itu.
“Aku melihat adanya selebaran
mengenai Tn. Milverton yang menghilang. Dan kini kurasa…”
“Ya. Kami akan baik-baik
saja.” Potong wanita muda itu. “Sekali lagi, teirma kasih, Tn. Mercer. Anda mau
masuk, minum teh?”
“Tidak, terima kasih.” Balas
Jonas. “Aku harus segera kembali. Senang bisa membantu Anda, Nona Milverton.”
Wanita muda itu masih
memamerkan senyum manisnya, bahkan hingga Jonas kembali ke dalam mobilnya. Dari
kejauhan, Jonas dapat melihat kedua orang itu berpelukan erat, saling melepas
rindu. Eugene Milverton hilang selama beberapa minggu. Namun akhirnya pria tua
itu sudah kembali ke rumahnya, bersama dengan keluarganya. Dan Jones merasa
puas dengan hal itu.
**
“Apa maksudmu?” tanya Jonas
cepat ketika ia tidak dapat mengerti ucapan yang baru saja diucapkan oleh
Pedro, kawannya di kantor polisi. Pedro tengah melepas selebaran mengenai
Milverton pagi itu.
“Ya. Dia. Orang ini.
Miverton tua.”
“Tidak! Kau salah, Pedro.
Aku kemarin…”
“Aku dengar akan hal itu,
Mercer.” Potong Pedro sambil menggeleng pelan. Detik berikutnya, ia memberikan
tepukan ringan ke arah pundak Jonas. Jonas semakin tak mengerti dengan apa yang
Pedro bicarakan. Ia menahan kawannya itu untuk pergi.
“Apa maksudmu? Dia mati, itu
tidak mungkin. Dia sudah kembali pada keluarganya. Aku mengantarkannya. Ke
tempat itu.”
“Dimana?”
“Pondok tua diluar batas
kota.”
“Disana.”
“Apanya?” tanya Jonas.
“Milverton dan putrinya.”
Jonas dengan cepat memutar
tubuhnya ke arah datangnya suara berat berwibawa itu, dan melihat bahwa
atasannya, kapten Jackson telah berdiri tak jauh darinya.
“Kapten!”
“Sudah saatnya kau tahu,
Jonas.” Ucap Kapten Jackson sambil bergerak pelan.
“Mengenai apa?”
“Mengenai misteri yang
menyelubungi kota ini. Blackwood. Yang selalu menyimpan cerita-cerita aneh. Dan
pertemuanmu dengan si tua Milverton kemarin merupakan salah satunya.”
Jonas mendengus, tak percaya
dengan apa yang ia dengar. Kini kapten Jackson juga mengucapkan kata-kata yang
tidak ia mengerti.
“Jasad Milverton dan
putrinya ditemukan di pondok tua yang kau sebutkan itu, sudah dalam keadaan
membusuk. Mungkin sudah lewat lima hari mereka tewas. Korban perampokan grup
berandalan, kurasa.”
“Tidak mungkin! Aku…”
“Kau tinggal di Blackwood
sekarang, Mercer.” Ucap Pedro sambil menatap serius ke arah temannya yang
terguncang itu.
“Kau harus terbiasa dengan
hal aneh seperti ini.”
Jonas melempar pandangannya
bergantian ke arah kapten Jackson dan Pedro. Dan kedua lelaki itu sama-sama
memberikan tatapan serius ke arahnya. Itu berarti, mereka tidak sedang
bercanda.
Jonas merasa kehilangan
kekuatan untuk menahan tubuhnya untuk tetap berdiri. Ia akhirnya jatuh ke
sebuah kursi, lalu menunduk. Pikirannya berputar, mencoba mengingat, merasakan,
apa yang ia alami kemarin sore. Pria tua itu…, Milverton…
“Ini Blackwood, Mercer.”
Jonas mendengar ucapan Pedro itu lagi. Kalimat itu terus berputar di dalam
kepalanya.
“Sudah saatnya kau menerima
hal-hal aneh seperti ini.”
Butuh waktu bagi Jonas untuk
dapat menerima kenyataan bahwa yang ia temui kemarin bukanlah si tua Milverton
yang asli, melainkan arwahnya. Kenapa arwah Milverton menemuinya?
Jonas hanya bisa
menyimpulkan satu hal dari pengalaman mistisnya itu. Eugene Milverton, hanya
ingin ditemukan. Melalui dirinyalah, si tua Milverton meminta bantuan. Jonas
tersenyum singkat, penuh dengan rasa kesal pada dirinya sendiri.
“Dasar pria tua sialan!”
umpatnya sambil masih tersenyum. Ia kini hanya bisa membayangkan, bahwa si tua Milverton
kini bisa beristirahat dengan tenang bersama putri tercintanya. Dan Jonas
sadari, bahwa ia telah berperan besar dalam hal itu.
****
No comments:
Post a Comment