Sunday, October 25, 2015

JERITAN TENGAH MALAM



Jane tersentak, terbangun dengan seketika saat ia mendengar suara itu. Sebuah suara yang tidak dapat ia ingat darimana asalnya. Mungkin hanya dari mimpinya. Itu harapannya. Tetapi ia sudah terlanjur ketakutan. Nafasnya memburu, dengan keringat dingin bercucuran. Ia tidak tahu apakah ia bisa kembali tidur malam itu.
Jane meremang seketika saat ia mendengar suara itu lagi. Ya. Suara misterius yang datangnya dari kamar sebelah. Ia menggambarkan suara itu seperti sebuah suara kematian yang begitu mengerikan. Sebuah jeritan tertahan, desah nafas berat, dan erangan. Apakah semua itu nyata? Atau memang hanya dalam kepalanya saja?
“Mary! Mary!” Jane dengan cepat mengguncang lengan temannya yang masih tertidur lelap di sampingnya. Mary sepertinya tidak akan bisa bangun dari mimpinya.
Oh! Kenapa dengan dirinya? Kenapa ia bisa merasa begitu ketakutan sementara hobinya adalah menonton film horor? Atau mungkin memang karena hobinya itu, jadi kini ia berpikiran amcam-macam? Tapi bagaimana jika suara di kamar sebelah itu memang benar terjadi?
Jane begitu kesal dengan dirinya. Ia geram terhadap apa yang terjadi pada dirinya saat itu. Kenapa ia bisa berada di tempat itu?
Sejauh apa yang dapat ia ingat, kemarin ia berkendara bersama Mary dalam perjalanan pulang dari melihat konser di kota sebelah. Saat melewati sebuah kota kecil, tanpa diduga mobil yang ia kendarai mogok di tengah jalan, dan terpaksa harus masuk bengkel kota kecil itu. Mobilnya tidak akan bisa dipakai saat itu juga. Terpaksa, saat hari sudah sore dan hujan mulai turun, tidak ada pilihan lain lagi selain menyewa sebuah kamar di sebuah motel yang namanya tidak ia ingat.
Motel itu bukanlah sebuah motel yang terlalu bagus. Mungkin begitu cara menjelaskannya. Dari apa yang dapat Jane nilai, bangunan itu sudah berumur cukup tua. Mungkin sudah ada puluhan tahun, dan tidak pernah sekalipun di renovasi. Dari cat tembok putihnya yang sudah mulai terkelupas, dan dari lantainya yang begitu kotor, tidak ada cara lain untuk menjelaskan bahwa motel itu adalah motel terburuk yang pernah ia sewa selama hidupnya. Dan kini, ia mendengar suara-suara itu. Apakah motel itu terkutuk?
“Jane! Apa yang kau pikirkan?” Jane memukuli kepalanya sendiri saat ia mulai merasa tidak tenang dan terlalu banyak berspekulasi. Ia kini hanya dapat berharap agar waktu cepat berlalu. Ia kembali masuk ke dalam selimutnya, dan mencoba untuk tidak mendengarkan suara-suara itu lagi. Tanpa ia sadari, ia masuk lagi ke dalam alam mimpi.

**

“Aku tidak berbohong!” bisik Jane dengan nada kesal saat temannya itu, Mary, tidak mau mempercayai apa yang dikatakannya. Temannya itu malah tersenyum meledek ketakutannya. Saat itu mereka sedang sarapan di rumah makan yang terletak tak jauh dari penginapan yang mereka tempati.
“Kau terlalu banyak menonton film, Jane. Lupakan…”
“Tidak! Apa yang kudengar semalam bukanlah halusinasi.” Tegas Jane. Ia, untuk sesaat, melupakan makanan yang tersaji di hadapannya. Dengan mata tajam ia tatap wajah temannya itu.
“Ada sebuah jeritan, lalu desahan, lalu ada juga…, aku tidak tahu cara menjelaskannya. Aku tidak mau memikirkannya lagi.”
“Kau yakin dengan apa yang kau dengar?”
“Mary!”
“Oke, oke. Kau benar. Mungkin aku harus mendengarnya malam nanti.”
“Tidak!” bantah Jane. “Kita harus pergi hari ini. Aku tidak mau…”
“Jika saja bisa begitu.” Potong Jane. “Sepertinya memang kita ahrus menginap semalam lagi.”
“Kenapa?”
“Aku baru saja mendapat telepon dari bengkel tempat kta memperbaiki mobil, dan katanya mereka harus mencari satu onderdil langka untuk mobil tuamu itu. Dan mereka mungkin baru akan menyelesaikannya besok.”
“Tidak! Tidak! Tidak mungkin!”
“Jane!” Mary meraih tangan gadis itu dan mencoba menenangkannya. Ia tatapan kedua mata Jane, dan ia ucapkan dengan sungguh-sungguh.
“Tidak ada yang perlu ditakutkan.” Ucap Mary. “Aku ada disampingmu.”
Benarkah begitu? Mungkinkah suara itu akan menghilang begitu saja setelah Mary berucap demikian? Jane sendiri merasa tidak yakin. Selama berjam-jam ia menghabiskan waktunya duduk di lobi, membaca majalah, dan belum mau kembali ke dalam kamarnya. Ia takut jika ia mendengar suara-suara itu lagi.
“Jane! Ayolah!”
“Tidak.” Balas Jane cepat sambil terus membaca majalahnya. “Aku tidak mau kembali ke dalam kamar seorang diri.”
“Tidak ada apa-apa disana. Aku bisa membuktikannya.”
“Bagaimana caranya?”
Dalam beberapa menit, Jane dan Mary sudah berada di depan kamarnya. Tidak. Sebenarnya mereka berada di depan sebuah kamar yang berada tepat di samping kamar yang ia tempati. Seorang petugas motel kini tengah sibuk membuka kunci dari kamar itu.
“Tidak ada apa-apa disini. Apa yang sebenarnya kalian cari?”
Pintu kamar itu terbuka, dan nampaklah isi dari kamar yang menurut Jane misterius itu. Bagian dalamnya tentu saja sama dengan kamar-kamar lain. Terdapat satu tempat tidur, sebuah meja kecil, dan ada juga sebuah lemari di samping pintu yang menuju kamar mandi. Tidak ada yang aneh. Hanya saja, memang semua bendanya terlihat begitu tua dan usang.
“Lihat, ‘kan?” ucap Mary. “Tidak ada apa-apa disini. Lihat!”
Mary bergerak memasuki kamar itu, lalu membuka pintu lemari. Lemari itu kosong, tentu saja. Ia lalu bergerak ke kamar mandi, menyalakan kran, lalu menutupnya lagi. Kemudian ia bergerak kembali ke arah Jane.
“Tidak ada yang perlu kau takutkan, Jane.” Ucap Mary. “Percaya padaku. Mungkin kau hanya berhalusinasi.”
Tidak. Jane yakin bahwa apa yang ia dengar semalam memang benar-benar terdengar. Suara-suara menyedihkan itu terdengar dengam begitu jelas. Jaritan itu…, desahan itu…,
Jane yakin bahwa apa yang ia dengar semalam tentu memiliki arti tersendiri. Ia belum begitu yakin. Apakah kini ia ingin mencari tahu kebenarannya? Ia ingin mendengar cerita tentang kamar yang berada di sebelah kamarnya itu.
“Kamar itu sudah lama tidak ditempati.” Ucap Mary saat ia tengah menikmati santap malam bersama Jane di restoran yang sama dengan yang mereka tempati pagi tadi.
“Jane?”
Jane terdiam. Perhatiannya kini terpaku ke arah gedung motel yang ada di seberang jalan. Ia melihat sesuatu bergerak di bagian depan motel. Ada serombongan orang…, tidak. Ia hanya melihat empat orang. Dua orang dewasa dan dua anak-anak. Mereka bergerak memasuki motel.
“Jane!”
Jane tersentak. Seketika ia kembalikan perhatiannya pada Mary, yang terlihat kebingungan dengan sikapnya barusan.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Mary.
“Ya.” Jawab Jane singkat. Jane mengembalikan pandangan matanya ke arah motel, dan ia sadari bahwa orang-orang tadi telah menghilang dari pandangan.
“Jane, kau dengar ceritaku?”
“Ya.” Sahut Jane. “Jadi kamar itu memang tidak pernah dipakai? Kenapa?”
“Entahlah.” Jawab Mary sambil memainkan sedotan di gelas minumannya. “Kudengar karena suatu kejadian, dan orang-orang mulai takut untuk menggunakan kamar itu lagi.”
“Mungkin malam ini kita akan mendengarnya.” Ucap Jane. Kini, ia yang sudah merasa terlalu takut dan sadar bahwa ia tidak punya pilihan lain lagi selain mengharapkan hal mengerikan itu untuk terjadi. Ia memang harus menghadapinya.
Jane menarik nafasnya dalam-dalam sebelum ia bergerak masuk ke dalam kamarnya sendiri. Mary yang ada di depannya menarik tangannya.
“Lihat? Tidak ada apa-apa.”
Kamar yang kecil itu terlihat sedikit suram meski sudah ada lampu penerangan. Mungkin dikarenakan dindingnya yang sudah penuh dengan noda dan catnya yang sudah mengelupas. Jane merasakan suatu hal yang tidak biasa ketika ia mulai mencoba untuk tidur. Keadaan terlalu sunyi.
“Mary?” ucap Jane dari balik selimutnya. Ia lirik temannya itu, yang memunggunginya. Ia mengguncang pelan bahu Mary.
“Aku belum tidur.” Ucap Mary pelan. “Tenang saja.”
“Kau mendengarnya?” tanya Jane cepat.
“Mendengar apa?”
“Suara itu.”
Jane dan Mary terdiam, mencoba untuk mendengarkan suasana dari ruangan yang mereka tempati. Terlalu hening. Namun beberapa detik kemudian mereka mendengar suara percakapan darir uang sebelah. Tepat berada di ruangan dimana Jane mendengar jeritan kemarin malam.
“Sepertinya kamar itu kini ditempati.” Ucap Mary. “Tidak ada yang perlu kau takutkan, Jane. Kamar itu kini sudah ada penunggunya. Tidak akan ada suara aneh lagi.”
“Kau yakin?”
“Percaya padaku.”
Untuk sesaat, Jane mempercayai kata-kata temannya itu. Apakah mungkin ia akan mendengar jeritan memilukan dari kamar yang kini sudah ditempati itu? Ia merasa sedikit lega bahwasanya kini yang dapat ia dengar adalah tawa anak kecil dan gumaman orang dewasa dari kamar sebelah. Ia berpikir, mungkin penghuni kmar itu kini adalah serombongan keluarga yang ialihat tadi sore. Dengan pikiran yang cukup tenang, Jane kembali menarik selimutnya.
“Jangan takut, Jane.” Ucapnya dalam hati. “Besok kau akan pergi dari tempat ini.”

**

Rasanya Jane belum tidur terlalu lama ketika ia harus dibangunkan lagi oleh sebuah suara yang ia dengar kemarin malam. Sebuah jeritan memilukan, disertai desahan-desahan berat dan erangan. Jane yakin betul dengan apa yang ia dengar. Tidak mungkin ia salah mendengar. Suara-suara itu berasal dari kamar sebelah. Tapi…, bukankah kamar sebelah sedang ditempati?
“Mary! Bangun, Mary!” Jane mengguncang tubuh temannya.
Mary terbangun dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka. Wajah penuh ketakutan Jane langsung menjadi perhatiannya.
“Jane?”
“Suara itu lagi!” ucap Jane cepat. “Dengar!”
Jane dan Mary terdiam ketika suara jeritan itu kembali terdengar. Melengking-lengking, lalu ada sebuah desahan disertai sebuah suara bergedebuk ke lantai.
“Kau dengar itu?”
Mary tidak punya pilihan lain selain mempercayai kata-kata temannya. Ya. Kini ia pun dapat mendengarnya sendiri.
“Tapi bukankah kamar sebelah ditempati?”
“Itu masalahnya, ‘kan?” ucap Jane. “Kenapa…”
Mary tiba-tiba saja bangkit dari tempat tidurnya. Ia kemudian menarik tubuh Jane berdiri.
“Kita harus menghadapinya, Jane. Kita harus…”
“Tidak!”
Mary menarik Jane keluar dari kamar lalu bergerak ke arah kamar sebelah. Jane, dengan penuh kekuatan, menggedor pintu kamar itu, berharap akan ada seseorang yang keluar dan berteriak marah karena telah mengganggu tidur malam mereka. Tapi…, tidak. Tidak ada balasan sama sekali dari dalam kamar.
“Katamu kamar ini ditempati.” Ucap Jane.
“Memang kurasa begitu.”
Mary kembali menggedor pintu kamar itu. Dan lagi-lagi, ia tidak mendapatkan jawaban dari dalam. Ia melirik ke arah Jane, dengan tatapan yang tidak Jane mengerti.
“Apa?”
Terlambat bagi Jane untuk dapat mencegah apa yang Mary lakukan. Temannya itu mengulurkan tangannya ke kenop pintu, lalu dengan cepat membuka pintunya. Tapi ketika pintu itu terbuka….,
“TIDAK!!!!!”
Jane dan Mary terhempas ke belakang dan terjatuh ke lantai oleh sebuah kekuatan yang tidak terlihat. Namun bukan itu yang membuat mereka berteriak. Kedua mata mereka melihat dengan jelas sesosok wanita tergantung di langit-langit kamar yang berwarna merah, penuh dengan darah. Dan yang membuat mereka semakin menjerit, adalah saat wanita itu memandang ke arah mereka dengan sorot mata semerah darah, dan dengan satu seringai lebar.
Jane dan Mary tidak sadar bahwa selama mereka berteriak, mereka juga telah lari dari tempat mereka, bergerak menurni tangga hingga sampai di lobi. Jeritan mereka tak ayal membuat penghuni-penghuni kamar lain bangun. Beberapa petugas motel menghampiri kedua dan bertanya apa yang terjadi.
“Di sana!” ucap Jane dengan nafas memburu. “Ada wanita gantung diri. Di sebelah kamar kami.”
Jane dan Mary dapat bersumpah mengenai apa yang baru saja mereka lihat. Selama beberapa menit, keduanya masih terguncang dengan adanya penampakan sosok wanita gantung diri di dalam kamar penuh darah itu. Tapi apakah itu nyata? Ketika petugas memeriksa kamar bermasalah itu, mereka tidak menemukan apapun.
“Bukankah kamar itu ditempati?” tanya Jane. “Sore tadi aku melihat serombongan keluarga masuk ke gedung ini. Sore tadi kami mendengar mereka menempati kamar sebelah kami.”
“Tidak ada pengunjung yang menempati kamar itu.” Ucap sang petugas. Ia pun terlihat bingung dengan cerita Jane.
Tidak mudah untuk meyakinkan kedua gadis itu bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa di kamar sebelah kamar mereka. Kedua gadis itu terlalu takut untuk kembali ke kamar mereka.
“Aku tidak mau kesana lagi. Kita harus pergi, Mary.”
“Tapi barang-barang kita masih ada di kamar.” Ucap Mary. “Kita harus mengambilnya.”
Ya. Kedua gadis itu mencoba untuk keluar dari motel itu secepatnya. Mereka diantarkan oleh seorang petugas motel kembali ke kamar mereka, dan mengambil barang-barang mereka. Mereka sempat melirik ke kamar bermasalah itu, yang terbuka, dan tidak menampakkan sesuatu yang aneh. Sosok wanita yang tergantung itu sudah hilang. Begitu juga dengan darah yang memenuhi ruangan itu. Mereka kini yakin bahwa motel yang mereka tempati itu berhantu.
Jane dan Mary pada pada akhirnya harus pergi dari motel itu meski keadaan masih terlalu gelap. Pukul tiga pagi, mereka berjalan di sebuah jalan yang sepi, mengarah ke bengkel mobil tempat dimana mereka memeprbaiki mobil mereka. Mereka tahu bahwa mungkin mereka harus menunggu sampai pagi di bengkel, hingga bengkel itu buka. Paling tidak, mereka tidka harus menghabiskan hari di dalam motel yang penuh dengan hal-hal aneh itu.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi.” Ucap Jane dengan suara bergetar. Dinginnya hawa malam membuat tubuh keduanya menggigil. Namun hawa yang mereka rasakan serasa tidak biasa.
“Mengenai cerita dari kamar itu...” lanjut Jane. “Kau sempat bertanya pada orang-orang mengenai tempat itu, ‘kan?”
“Ya. Motel itu.” Jawab Jane. “Kudengar dulu gedungnya pernah digunakan sebagai rumah sakit darurat saat perang beberapa puluh tahun yang lalu. Terlalu banyak nyawa melayang di dalam gedung itu. Mungkin, suara-suara yang kita dengar ada suara mereka.”
“Lalu wanita itu?”
“Mungkin salah satunya.” Ucap Mary.
Motel itu kini sudah menghilang dari pandangan. Jane dan Mary sampai di sebuah perempatan jalan yang remang, ketika tiba-tiba saja lampu jalan mati, dan membuat mereka berdiri dalam kegelapan malam. Hembusan angin dingin menyapu rambut mereka. Dan mereka merasa bahwa ada sesuatu yang bergerak mendekati mereka.
“Mary!” Jane memegang lengan temannya itu. Keadaan di tempat itu cukup gelap, dan mereka tidak dapat melihat apapun. Namun beberapa detik kemudian lampu jalan menyala, dan apa yang menjadi sumber dari ketakutan mereka datang tepat dihadapan mereka. Wanita berlumuran darah itu berdiri tepat di depan keduanya, dengan seringai jahat. Jane dan Mary tidak dapat berteriak lagi, saat wanita itu dengan cepat mencengkeram leher keduanya.

****

No comments:

Post a Comment