Jane tersentak, terbangun dengan seketika saat ia mendengar suara
itu. Sebuah suara yang tidak dapat ia ingat darimana asalnya. Mungkin hanya
dari mimpinya. Itu harapannya. Tetapi ia sudah terlanjur ketakutan. Nafasnya
memburu, dengan keringat dingin bercucuran. Ia tidak tahu apakah ia bisa
kembali tidur malam itu.
Jane meremang seketika saat
ia mendengar suara itu lagi. Ya. Suara misterius yang datangnya dari kamar
sebelah. Ia menggambarkan suara itu seperti sebuah suara kematian yang begitu
mengerikan. Sebuah jeritan tertahan, desah nafas berat, dan erangan. Apakah
semua itu nyata? Atau memang hanya dalam kepalanya saja?
“Mary! Mary!” Jane dengan
cepat mengguncang lengan temannya yang masih tertidur lelap di sampingnya. Mary
sepertinya tidak akan bisa bangun dari mimpinya.
Oh! Kenapa dengan dirinya?
Kenapa ia bisa merasa begitu ketakutan sementara hobinya adalah menonton film
horor? Atau mungkin memang karena hobinya itu, jadi kini ia berpikiran
amcam-macam? Tapi bagaimana jika suara di kamar sebelah itu memang benar
terjadi?
Jane begitu kesal dengan
dirinya. Ia geram terhadap apa yang terjadi pada dirinya saat itu. Kenapa ia
bisa berada di tempat itu?
Sejauh apa yang dapat ia
ingat, kemarin ia berkendara bersama Mary dalam perjalanan pulang dari melihat
konser di kota sebelah. Saat melewati sebuah kota kecil, tanpa diduga mobil
yang ia kendarai mogok di tengah jalan, dan terpaksa harus masuk bengkel kota
kecil itu. Mobilnya tidak akan bisa dipakai saat itu juga. Terpaksa, saat hari
sudah sore dan hujan mulai turun, tidak ada pilihan lain lagi selain menyewa
sebuah kamar di sebuah motel yang namanya tidak ia ingat.
Motel itu bukanlah sebuah
motel yang terlalu bagus. Mungkin begitu cara menjelaskannya. Dari apa yang
dapat Jane nilai, bangunan itu sudah berumur cukup tua. Mungkin sudah ada
puluhan tahun, dan tidak pernah sekalipun di renovasi. Dari cat tembok putihnya
yang sudah mulai terkelupas, dan dari lantainya yang begitu kotor, tidak ada
cara lain untuk menjelaskan bahwa motel itu adalah motel terburuk yang pernah
ia sewa selama hidupnya. Dan kini, ia mendengar suara-suara itu. Apakah motel
itu terkutuk?
“Jane! Apa yang kau
pikirkan?” Jane memukuli kepalanya sendiri saat ia mulai merasa tidak tenang
dan terlalu banyak berspekulasi. Ia kini hanya dapat berharap agar waktu cepat
berlalu. Ia kembali masuk ke dalam selimutnya, dan mencoba untuk tidak
mendengarkan suara-suara itu lagi. Tanpa ia sadari, ia masuk lagi ke dalam alam
mimpi.
**
“Aku tidak berbohong!” bisik
Jane dengan nada kesal saat temannya itu, Mary, tidak mau mempercayai apa yang
dikatakannya. Temannya itu malah tersenyum meledek ketakutannya. Saat itu
mereka sedang sarapan di rumah makan yang terletak tak jauh dari penginapan
yang mereka tempati.
“Kau terlalu banyak menonton
film, Jane. Lupakan…”
“Tidak! Apa yang kudengar
semalam bukanlah halusinasi.” Tegas Jane. Ia, untuk sesaat, melupakan makanan
yang tersaji di hadapannya. Dengan mata tajam ia tatap wajah temannya itu.
“Ada sebuah jeritan, lalu
desahan, lalu ada juga…, aku tidak tahu cara menjelaskannya. Aku tidak mau
memikirkannya lagi.”
“Kau yakin dengan apa yang
kau dengar?”
“Mary!”
“Oke, oke. Kau benar.
Mungkin aku harus mendengarnya malam nanti.”
“Tidak!” bantah Jane. “Kita
harus pergi hari ini. Aku tidak mau…”
“Jika saja bisa begitu.”
Potong Jane. “Sepertinya memang kita ahrus menginap semalam lagi.”
“Kenapa?”
“Aku baru saja mendapat
telepon dari bengkel tempat kta memperbaiki mobil, dan katanya mereka harus
mencari satu onderdil langka untuk mobil tuamu itu. Dan mereka mungkin baru akan
menyelesaikannya besok.”
“Tidak! Tidak! Tidak
mungkin!”
“Jane!” Mary meraih tangan
gadis itu dan mencoba menenangkannya. Ia tatapan kedua mata Jane, dan ia
ucapkan dengan sungguh-sungguh.
“Tidak ada yang perlu
ditakutkan.” Ucap Mary. “Aku ada disampingmu.”
Benarkah begitu? Mungkinkah
suara itu akan menghilang begitu saja setelah Mary berucap demikian? Jane
sendiri merasa tidak yakin. Selama berjam-jam ia menghabiskan waktunya duduk di
lobi, membaca majalah, dan belum mau kembali ke dalam kamarnya. Ia takut jika
ia mendengar suara-suara itu lagi.
“Jane! Ayolah!”
“Tidak.” Balas Jane cepat
sambil terus membaca majalahnya. “Aku tidak mau kembali ke dalam kamar seorang
diri.”
“Tidak ada apa-apa disana.
Aku bisa membuktikannya.”
“Bagaimana caranya?”
Dalam beberapa menit, Jane
dan Mary sudah berada di depan kamarnya. Tidak. Sebenarnya mereka berada di
depan sebuah kamar yang berada tepat di samping kamar yang ia tempati. Seorang
petugas motel kini tengah sibuk membuka kunci dari kamar itu.
“Tidak ada apa-apa disini.
Apa yang sebenarnya kalian cari?”
Pintu kamar itu terbuka, dan
nampaklah isi dari kamar yang menurut Jane misterius itu. Bagian dalamnya tentu
saja sama dengan kamar-kamar lain. Terdapat satu tempat tidur, sebuah meja
kecil, dan ada juga sebuah lemari di samping pintu yang menuju kamar mandi.
Tidak ada yang aneh. Hanya saja, memang semua bendanya terlihat begitu tua dan
usang.
“Lihat, ‘kan?” ucap Mary.
“Tidak ada apa-apa disini. Lihat!”
Mary bergerak memasuki kamar
itu, lalu membuka pintu lemari. Lemari itu kosong, tentu saja. Ia lalu bergerak
ke kamar mandi, menyalakan kran, lalu menutupnya lagi. Kemudian ia bergerak
kembali ke arah Jane.
“Tidak ada yang perlu kau
takutkan, Jane.” Ucap Mary. “Percaya padaku. Mungkin kau hanya berhalusinasi.”
Tidak. Jane yakin bahwa apa
yang ia dengar semalam memang benar-benar terdengar. Suara-suara menyedihkan
itu terdengar dengam begitu jelas. Jaritan itu…, desahan itu…,
Jane yakin bahwa apa yang ia
dengar semalam tentu memiliki arti tersendiri. Ia belum begitu yakin. Apakah
kini ia ingin mencari tahu kebenarannya? Ia ingin mendengar cerita tentang
kamar yang berada di sebelah kamarnya itu.
“Kamar itu sudah lama tidak
ditempati.” Ucap Mary saat ia tengah menikmati santap malam bersama Jane di
restoran yang sama dengan yang mereka tempati pagi tadi.
“Jane?”
Jane terdiam. Perhatiannya
kini terpaku ke arah gedung motel yang ada di seberang jalan. Ia melihat
sesuatu bergerak di bagian depan motel. Ada serombongan orang…, tidak. Ia hanya
melihat empat orang. Dua orang dewasa dan dua anak-anak. Mereka bergerak
memasuki motel.
“Jane!”
Jane tersentak. Seketika ia
kembalikan perhatiannya pada Mary, yang terlihat kebingungan dengan sikapnya
barusan.
“Kau tidak apa-apa?” tanya
Mary.
“Ya.” Jawab Jane singkat.
Jane mengembalikan pandangan matanya ke arah motel, dan ia sadari bahwa
orang-orang tadi telah menghilang dari pandangan.
“Jane, kau dengar ceritaku?”
“Ya.” Sahut Jane. “Jadi
kamar itu memang tidak pernah dipakai? Kenapa?”
“Entahlah.” Jawab Mary
sambil memainkan sedotan di gelas minumannya. “Kudengar karena suatu kejadian,
dan orang-orang mulai takut untuk menggunakan kamar itu lagi.”
“Mungkin malam ini kita akan
mendengarnya.” Ucap Jane. Kini, ia yang sudah merasa terlalu takut dan sadar
bahwa ia tidak punya pilihan lain lagi selain mengharapkan hal mengerikan itu
untuk terjadi. Ia memang harus menghadapinya.
Jane menarik nafasnya
dalam-dalam sebelum ia bergerak masuk ke dalam kamarnya sendiri. Mary yang ada
di depannya menarik tangannya.
“Lihat? Tidak ada apa-apa.”
Kamar yang kecil itu
terlihat sedikit suram meski sudah ada lampu penerangan. Mungkin dikarenakan
dindingnya yang sudah penuh dengan noda dan catnya yang sudah mengelupas. Jane
merasakan suatu hal yang tidak biasa ketika ia mulai mencoba untuk tidur. Keadaan
terlalu sunyi.
“Mary?” ucap Jane dari balik
selimutnya. Ia lirik temannya itu, yang memunggunginya. Ia mengguncang pelan
bahu Mary.
“Aku belum tidur.” Ucap Mary
pelan. “Tenang saja.”
“Kau mendengarnya?” tanya
Jane cepat.
“Mendengar apa?”
“Suara itu.”
Jane dan Mary terdiam,
mencoba untuk mendengarkan suasana dari ruangan yang mereka tempati. Terlalu
hening. Namun beberapa detik kemudian mereka mendengar suara percakapan darir
uang sebelah. Tepat berada di ruangan dimana Jane mendengar jeritan kemarin malam.
“Sepertinya kamar itu kini
ditempati.” Ucap Mary. “Tidak ada yang perlu kau takutkan, Jane. Kamar itu kini
sudah ada penunggunya. Tidak akan ada suara aneh lagi.”
“Kau yakin?”
“Percaya padaku.”
Untuk sesaat, Jane mempercayai
kata-kata temannya itu. Apakah mungkin ia akan mendengar jeritan memilukan dari
kamar yang kini sudah ditempati itu? Ia merasa sedikit lega bahwasanya kini
yang dapat ia dengar adalah tawa anak kecil dan gumaman orang dewasa dari kamar
sebelah. Ia berpikir, mungkin penghuni kmar itu kini adalah serombongan
keluarga yang ialihat tadi sore. Dengan pikiran yang cukup tenang, Jane kembali
menarik selimutnya.
“Jangan takut, Jane.”
Ucapnya dalam hati. “Besok kau akan pergi dari tempat ini.”
**
Rasanya Jane belum tidur
terlalu lama ketika ia harus dibangunkan lagi oleh sebuah suara yang ia dengar
kemarin malam. Sebuah jeritan memilukan, disertai desahan-desahan berat dan
erangan. Jane yakin betul dengan apa yang ia dengar. Tidak mungkin ia salah
mendengar. Suara-suara itu berasal dari kamar sebelah. Tapi…, bukankah kamar
sebelah sedang ditempati?
“Mary! Bangun, Mary!” Jane
mengguncang tubuh temannya.
Mary terbangun dengan mata
yang belum sepenuhnya terbuka. Wajah penuh ketakutan Jane langsung menjadi
perhatiannya.
“Jane?”
“Suara itu lagi!” ucap Jane
cepat. “Dengar!”
Jane dan Mary terdiam ketika
suara jeritan itu kembali terdengar. Melengking-lengking, lalu ada sebuah
desahan disertai sebuah suara bergedebuk ke lantai.
“Kau dengar itu?”
Mary tidak punya pilihan
lain selain mempercayai kata-kata temannya. Ya. Kini ia pun dapat mendengarnya
sendiri.
“Tapi bukankah kamar sebelah
ditempati?”
“Itu masalahnya, ‘kan?” ucap
Jane. “Kenapa…”
Mary tiba-tiba saja bangkit
dari tempat tidurnya. Ia kemudian menarik tubuh Jane berdiri.
“Kita harus menghadapinya,
Jane. Kita harus…”
“Tidak!”
Mary menarik Jane keluar
dari kamar lalu bergerak ke arah kamar sebelah. Jane, dengan penuh kekuatan,
menggedor pintu kamar itu, berharap akan ada seseorang yang keluar dan
berteriak marah karena telah mengganggu tidur malam mereka. Tapi…, tidak. Tidak
ada balasan sama sekali dari dalam kamar.
“Katamu kamar ini
ditempati.” Ucap Jane.
“Memang kurasa begitu.”
Mary kembali menggedor pintu
kamar itu. Dan lagi-lagi, ia tidak mendapatkan jawaban dari dalam. Ia melirik
ke arah Jane, dengan tatapan yang tidak Jane mengerti.
“Apa?”
Terlambat bagi Jane untuk
dapat mencegah apa yang Mary lakukan. Temannya itu mengulurkan tangannya ke
kenop pintu, lalu dengan cepat membuka pintunya. Tapi ketika pintu itu
terbuka….,
“TIDAK!!!!!”
Jane dan Mary terhempas ke
belakang dan terjatuh ke lantai oleh sebuah kekuatan yang tidak terlihat. Namun
bukan itu yang membuat mereka berteriak. Kedua mata mereka melihat dengan jelas
sesosok wanita tergantung di langit-langit kamar yang berwarna merah, penuh
dengan darah. Dan yang membuat mereka semakin menjerit, adalah saat wanita itu
memandang ke arah mereka dengan sorot mata semerah darah, dan dengan satu
seringai lebar.
Jane dan Mary tidak sadar
bahwa selama mereka berteriak, mereka juga telah lari dari tempat mereka,
bergerak menurni tangga hingga sampai di lobi. Jeritan mereka tak ayal membuat
penghuni-penghuni kamar lain bangun. Beberapa petugas motel menghampiri kedua
dan bertanya apa yang terjadi.
“Di sana!” ucap Jane dengan
nafas memburu. “Ada wanita gantung diri. Di sebelah kamar kami.”
Jane dan Mary dapat
bersumpah mengenai apa yang baru saja mereka lihat. Selama beberapa menit,
keduanya masih terguncang dengan adanya penampakan sosok wanita gantung diri di
dalam kamar penuh darah itu. Tapi apakah itu nyata? Ketika petugas memeriksa
kamar bermasalah itu, mereka tidak menemukan apapun.
“Bukankah kamar itu
ditempati?” tanya Jane. “Sore tadi aku melihat serombongan keluarga masuk ke
gedung ini. Sore tadi kami mendengar mereka menempati kamar sebelah kami.”
“Tidak ada pengunjung yang
menempati kamar itu.” Ucap sang petugas. Ia pun terlihat bingung dengan cerita
Jane.
Tidak mudah untuk meyakinkan
kedua gadis itu bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa di kamar sebelah kamar
mereka. Kedua gadis itu terlalu takut untuk kembali ke kamar mereka.
“Aku tidak mau kesana lagi.
Kita harus pergi, Mary.”
“Tapi barang-barang kita
masih ada di kamar.” Ucap Mary. “Kita harus mengambilnya.”
Ya. Kedua gadis itu mencoba
untuk keluar dari motel itu secepatnya. Mereka diantarkan oleh seorang petugas
motel kembali ke kamar mereka, dan mengambil barang-barang mereka. Mereka
sempat melirik ke kamar bermasalah itu, yang terbuka, dan tidak menampakkan
sesuatu yang aneh. Sosok wanita yang tergantung itu sudah hilang. Begitu juga dengan
darah yang memenuhi ruangan itu. Mereka kini yakin bahwa motel yang mereka
tempati itu berhantu.
Jane dan Mary pada pada
akhirnya harus pergi dari motel itu meski keadaan masih terlalu gelap. Pukul
tiga pagi, mereka berjalan di sebuah jalan yang sepi, mengarah ke bengkel mobil
tempat dimana mereka memeprbaiki mobil mereka. Mereka tahu bahwa mungkin mereka
harus menunggu sampai pagi di bengkel, hingga bengkel itu buka. Paling tidak,
mereka tidka harus menghabiskan hari di dalam motel yang penuh dengan hal-hal
aneh itu.
“Aku tidak tahu apa yang
terjadi.” Ucap Jane dengan suara bergetar. Dinginnya hawa malam membuat tubuh
keduanya menggigil. Namun hawa yang mereka rasakan serasa tidak biasa.
“Mengenai cerita dari kamar
itu...” lanjut Jane. “Kau sempat bertanya pada orang-orang mengenai tempat itu,
‘kan?”
“Ya. Motel itu.” Jawab Jane.
“Kudengar dulu gedungnya pernah digunakan sebagai rumah sakit darurat saat
perang beberapa puluh tahun yang lalu. Terlalu banyak nyawa melayang di dalam
gedung itu. Mungkin, suara-suara yang kita dengar ada suara mereka.”
“Lalu wanita itu?”
“Mungkin salah satunya.”
Ucap Mary.
Motel itu kini sudah
menghilang dari pandangan. Jane dan Mary sampai di sebuah perempatan jalan yang
remang, ketika tiba-tiba saja lampu jalan mati, dan membuat mereka berdiri
dalam kegelapan malam. Hembusan angin dingin menyapu rambut mereka. Dan mereka
merasa bahwa ada sesuatu yang bergerak mendekati mereka.
“Mary!” Jane memegang lengan
temannya itu. Keadaan di tempat itu cukup gelap, dan mereka tidak dapat melihat
apapun. Namun beberapa detik kemudian lampu jalan menyala, dan apa yang menjadi
sumber dari ketakutan mereka datang tepat dihadapan mereka. Wanita berlumuran
darah itu berdiri tepat di depan keduanya, dengan seringai jahat. Jane dan Mary
tidak dapat berteriak lagi, saat wanita itu dengan cepat mencengkeram leher
keduanya.
****
No comments:
Post a Comment