Friday, August 19, 2016

KORIDOR LANTAI 11



Claire masih duduk di depan layar komputernya di bilik kantor, yang saat itu sudah dalam keadaan sepi. Jarum jam telah menunjukkan pukul sebelas malam, dan ia masih sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk.
“Aku harus segera menyelesaikannya.” Ucap Claire dalam hati mengenai berkas yang memenuhi meja kerjanya itu. Hal ini bukanlah hal pertama yang terjadi padanya. Ia sering bekerja lembur, karena data yang harus dimaksukkan begitu banyak dan harus segera selesai. Claire sebenarnya tidak masalah jika ia harus lembur. Duduk sendirian di ruangan yang gelap, dan yang menemaninya hanyalah secangkir kopi panas.
Mendapatkan jatah lembur berarti ia akan mendapatkan upah yang lebih besar. selain itu, ia ingin meningkatkan prestasinya di kantor, yang mungkin dapat membuatnya meraih penghargaan ‘Karyawan Bulan Ini’, meski Claire tidak terlalu mengharapkan hal itu. Claire sudah terbiasa dengan keadaan sepi. Dan selama ini, tidak pernah ada hal-hal yang mengganggu selama ia bekerja dalam gelap seperti itu.
Claire mulai tidak menyenangi pekerjaan lemburnya, tepatnya setelah ia mendapatkan pengalaman yang sedikit membuatnya merinding beberapa hari yang lalu. Ia saat itu bekerja lembur, dan baru selesai saat jarum jam telah menunjukkan pukul satu dinihari. Sudah terlalu larut, dan mungkin ia bisa tidur saja di kantor. Tidak. Claire bukan tipe orang seperti itu. Malam itu ia keluar dari ruangan seperti biasa. Dan hal aneh terjadi saat ia melewati koridor di lantai bawah, dimana di ujung lorong itu terdapat elevator yang akan mengantarnya turun dari lantai sebelas. Sebuah aura yang tidak menyenangkan datang menyerang Claire, yang membuat dadanya serasa sesak, dan hawa udara menjadi sedikit hangat, dimana seharusnya dingin oleh pendingin.
Claire tidak menggubris hal itu pada awalnya. Ia berpikir, mungkin ada kerusakan di sistem pendingin di koridor itu. Namun apa yang ia pikirkan itu ternyata tidak benar. Beberapa hari kemudian ia kembali melewati lorong itu saat malam, dan tiba-tiba saja lampu berkedip, untuk beberapa detik, membuat koridor panjang itu gelap. Dalam kegelapan yang hanya terjadi selama beberapa detik itu, Claire merasa seperti ada seseorang yang bergerak di belakangnya. Ia dapat merasakan kehadiran seseorang. Entah bagaimana caranya, namun ia yakin. Bahkan ia bisa bersumpah bahwa ia mendengar langkah kaki berat mendekatinya saat ia terdiam dalam kegelapan.
Lampu yang berkedip itu terjadi hampir satu menit, hingga akhirnya kembali normal. Seketika Claire memutar tubuhnya, untuk mendapatkan seseorang yang diam-diam bergerak ke arahnya. Namun…, tidak ada seorang pun di koridor itu selain dirinya. Tentu saja semua karyawan sudah pulang sejak sore tadi. Dan satu-satunya orang yang mungkin akan tinggal di dalam gedung untuk malam itu hanyalah penjaga yang ada di lantai lima. Lalu apa yang ia rasakan tadi? Claire hanya mendengus pelan, kemudian memutuskan untuk segera keluar dari gedung itu.
Claire tidak menyimpan cerita aneh itu seorang diri. Beberapa hari kemudian ia menceritakan kisah mengerikan itu pada salah satu teman kerjanya, yang berjarak hanya satu bilik darinya. Wanita itu terkekeh kecil, seolah menganggap cerita Claire hanyalah bualan semata.
“Aku serius.” Ucap Claire dengan nada rendah, dan terdengar begitu serius. Ia tatap wajah temannya itu, yang sedikit demi sedikit mulai berubah serius.
“Claire, kau…”
“Memang aneh.” Ucap Claire. “Sebelumnya tidak pernah terjadi. Lampu tiba-tiba saja berkedip, lalu mati, dan ada seseorang di belakangku.”
“Claire, aku tidak tahu harus berkata apa.” Ucap teman Claire itu. “Tidak ada orang lain yang mengalami hal sama denganmu. Mungkin kau hanya terlalu takut, dan mendapatkan ide-ide aneh itu.”
“Aku tidak takut.” Balas Claire. “Aku hanya…, merasa sedikit aneh saja. Koridor itu bermasalah.”
Koridor yang dimaksudkan adalah koridor di lantai sebelas, yang menghubungkan beberapa ruangan kantor di lantai itu. Saat siang, keadaannya cukup normal dengan banyaknya orang berlalu lalang di koridor dan lobi di dekat elevator. Namun ketika malam menjelang, hanya ada kesunyian di dalam ruangan yang remang itu. Claire, saat ia bergerak menyusuri koridor itu, merasa bahwa ada seseorang yang mengawasinya. Ia sering memutar tubuhnya, mencoba untuk menangkap basah orang yang mengikutinya itu. Tapi…, lagi-lagi ia tidak menemukan seorangpun. Apa benar, bahwa ia hanya terlalu banyak berimajinasi?
Beberapa hari setelah malam itu Claire tidak mendapatkan jatah lembur. Dan untuk sesaat, ia bisa melupakan mengenai keanehan yang ada di koridor lantai sebelas itu. Hingga akhirnya ketakutan muncul kembali dalam diri Claire saat ia mendapatkan tugas lembur lagi.
Claire melirik ke arah jam tangannya. Jarum jam sudah melewati angka sebelas, dan hari semakin malam. Claire menyapukan pandanganya ke seisi ruangan yang dipenuhi bilik kerja itu. Keadaannya sunyi, sepi, dan terlihat keperakan saat cahaya bulan menerangi ruangan itu. Cahaya dari layar komputer Claire adalah satu-satunya sumber cahaya.
Claire mengambil map terakhir, dimana ia harus memasukkan data ke dalam komputer. Ya. Map terakhir, dan ia harus segera pulang. Kedua matanya terasa berat karena terlalu lama menatap layar komputer. Dan jarinya sudah pegal karena terus mengetik di atas keyboard.
Dalam sepuluh menit, pekerjaan menumpuk itu akhirnya selesai. Dengan rapi Claire menata kembali map-map itu, dan meninggalkannya di meja. Ia akan mengembalikannya besok pagi.
Rasa takut Claire muncul lagi saat ia keluar ruang kerjanya yang berada di lantai dua belas. Ia harus menggunakan tangga untuk turun ke lantai sebelas, karena tidak ada elevator di lantai tempatnya bekerja.
Langkah kaki Claire terbilang cepat. Bahkan, seolah tanpa keraguan menembus keremangan cahaya di lorong lantai dua belas. Namun ketika ia mulai menuruni tangga untuk menuju lantai di bawahnya, Claire sempat mendapat keraguan.
Tidak ada satu pun suara yang terdengar selain desah nafas dan langkah kakinya sendiri. Perlahan Claire menuruni anak tangga, menuju pintu, dan ia akhirnya tiba di lorong remang itu. Jarak antara lorong dal elevator tidak begitu jauh, dan terbilang tanpa halangan. Namun entah kenapa Claire merasa berat untuk menggerakkan kakinya.
Di sisi kiri dan kanan koridor adalah ruangan-ruangan kecil yang hanya berdinding kaca. Claire dapat melihat segala benda yang ada di ruangan-ruangan itu. Hingga sesuatu membuat dirinya melonjak kaget.
Ia melihat seperti ada orang yang berdiri di sudut ruangan kosong itu. Ia kira begitu. Tapi ketika ia perhatikan, ternyata hanya sebuah mantel hitam yang ada di gantungan. Claire mendesah, sambil memukul keningnya sendiri karena sudah terlalu takut.
Lampu berkedip? Tidak untuk malam itu. Claire tiba di depan elevator dan sudah menekan tombol. Selama ia menunggu lift itu datang, ia menyempatkan diri untuk menyapukan sekali lagi pandangan matanya ke seisi lantai sebelas itu. Bilik-bilik kerja terlihat kosong. Sama sekali tidak ada hal yang menyenangkan dari ruangan itu.
Claire nyaris mengembalikan pandangannya pada lift yang mulai terbuka saat ia secara tidak sengaja melihat satu sosok hitam yang berdiri di ujung koridor dekat tangga. Jantung Claire seketika terpacu, dan otot-ototnya menjadi kaku. Apa benar yang ia lihat itu adalah sosok manusia? Untuk sesaat, Claire dapat melihat sorot mata orang itu, yang terlihat tidak normal.
Ketika Claire sudah mendapatkan kembali kekuatannya yang sempat membeku selama dua detik, ia langsung masuk ke dalam elevator dan segera menekan tombol untuk menutup pintu. Lalu tombol lantai satu.
Claire mendesah berat. Apa yang ia lihat? Sesosok pria dalam mantel hitam? Atau mungkin hanya mantel lain yang digantung di dinding? Tidak. Claire dapat melihat sedikit sosok itu. Dan wajah yang terlihat pucat, dengan sorot mata tajam. Claire menarik nafasnya dalam-dalam. Siapa sebenarnya pria itu? Dan apa yang ia lakukan malam-malam di kantor, dan seolah tengah membuntutinya?
Claire tidak bisa tidur malam itu karena terlalu memikirkan apa yang sudah terjadi padanya beberapa jam yang lalu. Hingga pukul dua malam, ia tidak dapat memejamkan kedua matanya. Karena saat ia mulai terpejam, wajah pucat berpakaian mantel itu selalu hadir di dalam kepalanya.
Claire akhirnya dapat tertidur setelah meminum beberapa obat tidur. Tidurnya tidak dapat dikatakan begitu nyenyak. Ia mengalami beberapa mimpi yang tidak terlalu buruk, namun cukup aneh baginya. Ia merasa sedang berjalan di koridor lantai sebelas itu di tengah malam. Entah apa yang ia lakukan. Ia hanya berdiri diam, mengawasi setiap ruangan, hingga akhirnya lampu padam seketika. Claire tidka bergeming, hingga sesuatu yang dingin dan terasa kaku menyentuh belakang telinganya. Ketika ia menoleh, satu wajah pucat dengan lubang hitam di mata berada di depan hidungnya.
Claire menjerit. Bukan hanya dalam mimpi, tetapi juga di dunia nyata. Ia seketika bangkit ke posisi duduk, dengan rambut berantakan dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia lirik jam, dan jarum pendek menyentuh angka lima. Pukul lima pagi. Sudah terlalu pagi untuk kembali tidur. Dan ia masih memikirkan mengenai mimpinya itu.
“Aku benar-benar tidak mengerti.” Ucap Claire pada salah satu temannya saat ia sudah kembali berada di kantor. Ia saat itu tengah menikmati makan siang di kantin lantai satu.
“Mengenai ceritamu soal koridor itu, dan ada mantel hitam itu, aku tidak tahu harus berkata apa.”
“Mungkin ada cerita dibalik koridor itu.” Ucap Claire mencoba beberapa teori. “Mungkin…, ada sesuatu yang tidak beres.”
“Claire, ini kantor telekomunikasi. Bukan bunker perang. Menurutmu ada seseorang yang terbunuh di kantor ini? Itu yang kau pikirkan?”
“Lalu bagaimana menjelaskan soal pria bermantel itu?” balas Claire sedikit kesal. “Lalu lampu yang tiba-tiba berkedip…, mungkin hanya masalah listrik, tapi…, entahlah. Apa aku masih bisa bekerja dalam keadaan seperti ini?”
“Tenang, Claire.” Ucap wanita itu. “Lain kali, kau harus membawa teman saat lembur.”
“Atau aku bisa mengerjakannya di rumah saja.”
Mengenai hari lembur, Claire kini benar-benar membencinya. Ia tidak peduli lagi dengan uang tambahan yang akan masuk dalam rekening bank-nya karena melakukan tugas lembur. Ia merasa tidak nyaman untuk bekerja di bawah tekanan penuh ketakutannya. Dan ia sendiri tidak tahu apakah ia masih mau terus bekerja di kantor yang mungkin berhantu itu.
Tidak semudah kelihatannya. Claire ingin membawa pulang semua berkas yang ada padanya, namun beberapa file tidak boleh dibawa pulang. Claire mengalami satu dilema yang ia rasa cukup membungungkan. Ini berarti ia harus bekerja di dalam kantor gelap itu lagi?
Claire mendapatkan, mungkin, mendapatkan satu jawaban atas persoalan yang ia hadapi. Ia yang mulai tidak berani duduk sendirian, pada akhirnya meminta temannya, Fiona, untuk menemaninya di kantor. Keduanya sibuk mengerjakan tugas mereka saat jarum jam menyentuh angka dua belas malam.
Untuk malam itu, Claire dan Fiona memutuskan untuk menghidupkan lampu ruangan. Mereka tidak mau bekerja dalam keadaan gelap yang mengerikan. Dan ide ini sungguh efektif. Claire tidak begitu merasa takut lagi. Namun apakah teror akan berhenti sampai di situ?
Claire kini bahkan sudah dapat sedikitnya melupakan mengenai koridor bermasalah itu saat ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Ia juga banyak bercanda dengan Fiona, yang membuatnya semakin melupakan kenyataan bahwa nanti ia harus melewati koridor lantai sebelas.
Jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari saat Claire menyelesaikan pekerjaannya. Tubuhnya yang terasa kaku membuatnya ingin segera untuk pulang dan tidur.
“Aku ke toilet sebentar.” Ucap Claire seraya bergerak meninggalkan komputernya yang usdah ia matikan.
Claire hanya pergi sekitar sepuluh menit, sebelum ia akhirnya bergerak kembali ke dalam ruangan dimana Fiona sudah menunggunya di pintu keluar.
“Kita pulang?” ucap Fiona. “Sebaiknya kumatikan lampunya terlebih dahulu.”
Keadaan lantai dua belas itu gelap seketika. Namun ada satu hal kecil yang menarik perhatian Claire sesaat sebelum ia bergerak bersama Fiona. Kedua matanya memicing seketika, saat ia melihat adanya cahaya berpendar dari tengah-tengah ruang kantor yang gelap itu.
“Apa itu?” tanya Claire dengan penasaran. Fiona ikut melirik ke arah pandangan Claire.
“Itu komputer.” Ucap Fiona. “Kau belum…”
“Kau belum mematikan komputermu, Fiona?”
“Tentu saja sudah.” Jawab Fiona. “Itu komputermu.”
Claire mengernyit seketika. Tentu saja aneh. Ia begitu yakin bahwa ia sudah mematikan komputernya sebelum ia pergi ke toilet. Dan ia tidak mungkin salah.
“Biar kuperiksa.” Ucap Claire seraya bergerak kembali ke ruangan gelap itu, menyusuri gang kecil, hingga ia tiba di meja kerjanya. Dan benar saja. Komputernya dalam keadaan menyala. Dan yang membuat Claire memekik ketakutan adalah apa yang tertera di layar komputer itu.
Program pengolahan kata terbuka, dan di lembaran putih itu terdapat satu kata dalam huruf besar dan berwarna merah, yang berbunyi
“HATI-HATI!!”
Claire seketika memutar tubuhnya dan berlari ke arah Fiona dengan nafas memburu. Fiona tidak tahu apa yang terjadi. Claire menarik lengan Fiona begitu saja tanpa berkata apa-apa lagi. Barulah saat mereka menuruni tangga, Claire mengatakan apa yang ia lihat.
“Tidak mungkin!”
Claire tidak tahu apakah Fiona mau mempercayai kata-katanya atau tidak. Yang terpenting saat itu adalah, segera keluar keluar dari gedung itu. Namun mereka masih menghadapi satu halangan. Yaitu koridor lantai sebelas yang kini ada di depan kedua mata mereka.
Koridor itu terlihat normal, seperti keadaan di siang hari. Namun keremangan suasana membuat koridor itu terlihat lebih panjang dari biasanya. Dan setiap langkah yang keduanya ambil semakin menambah rasa was-was di dalam hati mereka.
“Sepertinya aman.” Ucap Fiona, yang bergerak di depan. Namun sedetik setelah ia menutup mulut, lampu di koridor itu mulai berkedip. Sama seperti yang Claire alami beberapa hari yang lalu. Keduanya menghentikan langkah mereka seketika.
“Sial!” umpa Claire.
Lampu tiba-tiba saja padam. Dan keduanya berdiri dalam kegelapan total yang membutakan keduanya. Mereka hanya dapat saling berpegangan, dan tidak tahu harus bagaimana.
Mereka mencoba untuk menjamah dinding di sisi koridor itu. Mungkin dengan begitu, mereka bisa menemukan jalan sampai di depan elevator. Namun keadaannya sedikit sulit. Dalam keadaan yang tidak menyenangkan itu mereka harus mendengar suara aneh lain, yang terdengar begitu jelas.
Terdengar suara langkah kaki bergerak mendekati keduanya. Suara derap langkah sepatu yang terdengar berat, dan terdengar semakin dekat.
“Siapa disana?” teriak Claire. Namun tidak ada jawaban. Ia dan Fiona masih berusaha untuk menyusuri dinding koridor itu.
“Cepat, Fiona!” bisik Claire. “Kita harus…”
“AH!!”
Teriakan Fiona membuat Claire berjingkat untuk sesaat. Dalam kegelapan, ia tidak tahu apa yang terjadi.
“Ini buruk!” ucap Fiona dengan nada bergetar. “Ada yang menyentuh kakiku. Sesuatu…”
“FIONA!!”
Claire berteriak saat ia juga merasakan sebuah cengkeraman dingin di leher belakangnya. Claire seketika menarik lengan temannya itu, dan berlari tanpa tahu apa yang ada di hadapannya. Mungkin saja ia akan menabrak tembok, atau dinding kaca, atau sebuah meja. Yang terpenting, Claire harus bergerak menjauhi sosok yang mengikutinya itu.
Lampu kembali berkedip. Memberikan kesempatan pada kedua wanita itu untuk menemukan jalan menuju elevator. Tidak jauh lagi. Claire dan Fiona akhirnya sampai pada pintu elevator, menekan tombol, dan menunggu dalam ketegangan.
Claire sebenarnya tidak mau menoleh ke arah koridor itu lagi. Namun otot lehernya seolah bekerja tidak sesuai dengan otaknya. Ia melirik ke arah koridor, dan menemukan sosok tinggi berwarna hitam, dengan dua mata merah memandang ke arahnya. Gigi kuning itu menyeringai, seolah ingin memberikan teror yang lebih daripada itu.
“CEPAT!!!” Teriak Claire seketika. Pintu elevator terbuka, dan keduanya bergerak masuk. Claire dengan cepat menekan tombol untuk menutup pintu. Dan dalam sedetik, keduanya sudah dalam perjalanan turun dari lantai sebelas itu.
Claire dan Fiona terengah-engah, seolah baru saja lari marathon. Keduanya saling memandang, tanpa ada kata-kata yang dapat mereka ucapkan. Keduanya merasa lega untuk sesaat. Berada di dalam elevator, mereka pikir mereka aman. Hingga akhirnya mereka tiba di lantai dasar. Pintu lift perlahan terbuka, dan kedua mata Claire dan Fiona membelalak seketika, saat sosok itu telah berdiri tepat di depan mereka, dengan seringai lebar, dan sepasang mata merah darah menatap keduanya.

**

Perusahaan tempat Claire dan Fiona bekerja tidak pernah sekalipun mendapatkan masalah besar atau perhatian yang berlebihan. Namun apa yang terjadi malam itu membuat nama perusahaan itu muncul sebagai headline surat kabar keesokan harinya. Tubuh Claire dan Fiona ditemukan kaku di dalam elevator yang setengah terbuka. Tubuh mereka sudah pucat, seolah darah telah dihisap dari dalam tubuh keduanya. Kedua bola mata mereka melotot, seolah membeku, dengan apa yang mereka lihat sesaat sebelum kematian mereka.
Tidak ada yang akan pernah tahu apa yang terjadi. Polisi hanya mengatakan bahwa kematian dari dua wanita itu tidak wajar. Tidak ditemukan luka kekerasan dari tubuh mereka. Mungkin, polisi hanya akan menutup kasus sebagai kecelakaan biasa. Namun bagaimana dengan kebenarannya?
Kisah misterius yang masih menyelimuti koridor lantai sebelas itu tidak akan pernah bisa terungkap. Tidak ada yang hidup untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di lorong itu. Dan mengenai sosok tinggi yang kerap muncul di koridor itu? Hal itu masih menjadi misteri.

****

No comments:

Post a Comment