Claire masih duduk di depan layar komputernya di bilik
kantor, yang saat itu sudah dalam keadaan sepi. Jarum jam telah menunjukkan
pukul sebelas malam, dan ia masih sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk.
“Aku harus segera
menyelesaikannya.” Ucap Claire dalam hati mengenai berkas yang memenuhi meja
kerjanya itu. Hal ini bukanlah hal pertama yang terjadi padanya. Ia sering
bekerja lembur, karena data yang harus dimaksukkan begitu banyak dan harus
segera selesai. Claire sebenarnya tidak masalah jika ia harus lembur. Duduk
sendirian di ruangan yang gelap, dan yang menemaninya hanyalah secangkir kopi
panas.
Mendapatkan jatah lembur
berarti ia akan mendapatkan upah yang lebih besar. selain itu, ia ingin
meningkatkan prestasinya di kantor, yang mungkin dapat membuatnya meraih
penghargaan ‘Karyawan Bulan Ini’, meski Claire tidak terlalu mengharapkan hal
itu. Claire sudah terbiasa dengan keadaan sepi. Dan selama ini, tidak pernah
ada hal-hal yang mengganggu selama ia bekerja dalam gelap seperti itu.
Claire mulai tidak
menyenangi pekerjaan lemburnya, tepatnya setelah ia mendapatkan pengalaman yang
sedikit membuatnya merinding beberapa hari yang lalu. Ia saat itu bekerja
lembur, dan baru selesai saat jarum jam telah menunjukkan pukul satu dinihari.
Sudah terlalu larut, dan mungkin ia bisa tidur saja di kantor. Tidak. Claire
bukan tipe orang seperti itu. Malam itu ia keluar dari ruangan seperti biasa.
Dan hal aneh terjadi saat ia melewati koridor di lantai bawah, dimana di ujung
lorong itu terdapat elevator yang akan mengantarnya turun dari lantai sebelas.
Sebuah aura yang tidak menyenangkan datang menyerang Claire, yang membuat
dadanya serasa sesak, dan hawa udara menjadi sedikit hangat, dimana seharusnya
dingin oleh pendingin.
Claire tidak menggubris hal
itu pada awalnya. Ia berpikir, mungkin ada kerusakan di sistem pendingin di
koridor itu. Namun apa yang ia pikirkan itu ternyata tidak benar. Beberapa hari
kemudian ia kembali melewati lorong itu saat malam, dan tiba-tiba saja lampu
berkedip, untuk beberapa detik, membuat koridor panjang itu gelap. Dalam
kegelapan yang hanya terjadi selama beberapa detik itu, Claire merasa seperti
ada seseorang yang bergerak di belakangnya. Ia dapat merasakan kehadiran
seseorang. Entah bagaimana caranya, namun ia yakin. Bahkan ia bisa bersumpah
bahwa ia mendengar langkah kaki berat mendekatinya saat ia terdiam dalam
kegelapan.
Lampu yang berkedip itu
terjadi hampir satu menit, hingga akhirnya kembali normal. Seketika Claire
memutar tubuhnya, untuk mendapatkan seseorang yang diam-diam bergerak ke
arahnya. Namun…, tidak ada seorang pun di koridor itu selain dirinya. Tentu
saja semua karyawan sudah pulang sejak sore tadi. Dan satu-satunya orang yang
mungkin akan tinggal di dalam gedung untuk malam itu hanyalah penjaga yang ada
di lantai lima. Lalu apa yang ia rasakan tadi? Claire hanya mendengus pelan,
kemudian memutuskan untuk segera keluar dari gedung itu.
Claire tidak menyimpan
cerita aneh itu seorang diri. Beberapa hari kemudian ia menceritakan kisah
mengerikan itu pada salah satu teman kerjanya, yang berjarak hanya satu bilik
darinya. Wanita itu terkekeh kecil, seolah menganggap cerita Claire hanyalah
bualan semata.
“Aku serius.” Ucap Claire
dengan nada rendah, dan terdengar begitu serius. Ia tatap wajah temannya itu,
yang sedikit demi sedikit mulai berubah serius.
“Claire, kau…”
“Memang aneh.” Ucap Claire.
“Sebelumnya tidak pernah terjadi. Lampu tiba-tiba saja berkedip, lalu mati, dan
ada seseorang di belakangku.”
“Claire, aku tidak tahu
harus berkata apa.” Ucap teman Claire itu. “Tidak ada orang lain yang mengalami
hal sama denganmu. Mungkin kau hanya terlalu takut, dan mendapatkan ide-ide
aneh itu.”
“Aku tidak takut.” Balas
Claire. “Aku hanya…, merasa sedikit aneh saja. Koridor itu bermasalah.”
Koridor yang dimaksudkan
adalah koridor di lantai sebelas, yang menghubungkan beberapa ruangan kantor di
lantai itu. Saat siang, keadaannya cukup normal dengan banyaknya orang berlalu
lalang di koridor dan lobi di dekat elevator. Namun ketika malam menjelang,
hanya ada kesunyian di dalam ruangan yang remang itu. Claire, saat ia bergerak
menyusuri koridor itu, merasa bahwa ada seseorang yang mengawasinya. Ia sering
memutar tubuhnya, mencoba untuk menangkap basah orang yang mengikutinya itu.
Tapi…, lagi-lagi ia tidak menemukan seorangpun. Apa benar, bahwa ia hanya
terlalu banyak berimajinasi?
Beberapa hari setelah malam
itu Claire tidak mendapatkan jatah lembur. Dan untuk sesaat, ia bisa melupakan
mengenai keanehan yang ada di koridor lantai sebelas itu. Hingga akhirnya
ketakutan muncul kembali dalam diri Claire saat ia mendapatkan tugas lembur
lagi.
Claire melirik ke arah jam
tangannya. Jarum jam sudah melewati angka sebelas, dan hari semakin malam.
Claire menyapukan pandanganya ke seisi ruangan yang dipenuhi bilik kerja itu.
Keadaannya sunyi, sepi, dan terlihat keperakan saat cahaya bulan menerangi
ruangan itu. Cahaya dari layar komputer Claire adalah satu-satunya sumber
cahaya.
Claire mengambil map
terakhir, dimana ia harus memasukkan data ke dalam komputer. Ya. Map terakhir,
dan ia harus segera pulang. Kedua matanya terasa berat karena terlalu lama
menatap layar komputer. Dan jarinya sudah pegal karena terus mengetik di atas
keyboard.
Dalam sepuluh menit,
pekerjaan menumpuk itu akhirnya selesai. Dengan rapi Claire menata kembali
map-map itu, dan meninggalkannya di meja. Ia akan mengembalikannya besok pagi.
Rasa takut Claire muncul
lagi saat ia keluar ruang kerjanya yang berada di lantai dua belas. Ia harus
menggunakan tangga untuk turun ke lantai sebelas, karena tidak ada elevator di
lantai tempatnya bekerja.
Langkah kaki Claire
terbilang cepat. Bahkan, seolah tanpa keraguan menembus keremangan cahaya di
lorong lantai dua belas. Namun ketika ia mulai menuruni tangga untuk menuju
lantai di bawahnya, Claire sempat mendapat keraguan.
Tidak ada satu pun suara
yang terdengar selain desah nafas dan langkah kakinya sendiri. Perlahan Claire
menuruni anak tangga, menuju pintu, dan ia akhirnya tiba di lorong remang itu.
Jarak antara lorong dal elevator tidak begitu jauh, dan terbilang tanpa
halangan. Namun entah kenapa Claire merasa berat untuk menggerakkan kakinya.
Di sisi kiri dan kanan
koridor adalah ruangan-ruangan kecil yang hanya berdinding kaca. Claire dapat
melihat segala benda yang ada di ruangan-ruangan itu. Hingga sesuatu membuat
dirinya melonjak kaget.
Ia melihat seperti ada orang
yang berdiri di sudut ruangan kosong itu. Ia kira begitu. Tapi ketika ia
perhatikan, ternyata hanya sebuah mantel hitam yang ada di gantungan. Claire
mendesah, sambil memukul keningnya sendiri karena sudah terlalu takut.
Lampu berkedip? Tidak untuk
malam itu. Claire tiba di depan elevator dan sudah menekan tombol. Selama ia
menunggu lift itu datang, ia menyempatkan diri untuk menyapukan sekali lagi
pandangan matanya ke seisi lantai sebelas itu. Bilik-bilik kerja terlihat kosong.
Sama sekali tidak ada hal yang menyenangkan dari ruangan itu.
Claire nyaris mengembalikan
pandangannya pada lift yang mulai terbuka saat ia secara tidak sengaja melihat
satu sosok hitam yang berdiri di ujung koridor dekat tangga. Jantung Claire
seketika terpacu, dan otot-ototnya menjadi kaku. Apa benar yang ia lihat itu
adalah sosok manusia? Untuk sesaat, Claire dapat melihat sorot mata orang itu,
yang terlihat tidak normal.
Ketika Claire sudah
mendapatkan kembali kekuatannya yang sempat membeku selama dua detik, ia
langsung masuk ke dalam elevator dan segera menekan tombol untuk menutup pintu.
Lalu tombol lantai satu.
Claire mendesah berat. Apa
yang ia lihat? Sesosok pria dalam mantel hitam? Atau mungkin hanya mantel lain
yang digantung di dinding? Tidak. Claire dapat melihat sedikit sosok itu. Dan
wajah yang terlihat pucat, dengan sorot mata tajam. Claire menarik nafasnya
dalam-dalam. Siapa sebenarnya pria itu? Dan apa yang ia lakukan malam-malam di
kantor, dan seolah tengah membuntutinya?
Claire tidak bisa tidur
malam itu karena terlalu memikirkan apa yang sudah terjadi padanya beberapa jam
yang lalu. Hingga pukul dua malam, ia tidak dapat memejamkan kedua matanya.
Karena saat ia mulai terpejam, wajah pucat berpakaian mantel itu selalu hadir
di dalam kepalanya.
Claire akhirnya dapat
tertidur setelah meminum beberapa obat tidur. Tidurnya tidak dapat dikatakan
begitu nyenyak. Ia mengalami beberapa mimpi yang tidak terlalu buruk, namun
cukup aneh baginya. Ia merasa sedang berjalan di koridor lantai sebelas itu di
tengah malam. Entah apa yang ia lakukan. Ia hanya berdiri diam, mengawasi
setiap ruangan, hingga akhirnya lampu padam seketika. Claire tidka bergeming,
hingga sesuatu yang dingin dan terasa kaku menyentuh belakang telinganya.
Ketika ia menoleh, satu wajah pucat dengan lubang hitam di mata berada di depan
hidungnya.
Claire menjerit. Bukan hanya
dalam mimpi, tetapi juga di dunia nyata. Ia seketika bangkit ke posisi duduk,
dengan rambut berantakan dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia lirik jam,
dan jarum pendek menyentuh angka lima. Pukul lima pagi. Sudah terlalu pagi
untuk kembali tidur. Dan ia masih memikirkan mengenai mimpinya itu.
“Aku benar-benar tidak
mengerti.” Ucap Claire pada salah satu temannya saat ia sudah kembali berada di
kantor. Ia saat itu tengah menikmati makan siang di kantin lantai satu.
“Mengenai ceritamu soal
koridor itu, dan ada mantel hitam itu, aku tidak tahu harus berkata apa.”
“Mungkin ada cerita dibalik
koridor itu.” Ucap Claire mencoba beberapa teori. “Mungkin…, ada sesuatu yang
tidak beres.”
“Claire, ini kantor
telekomunikasi. Bukan bunker perang. Menurutmu ada seseorang yang terbunuh di
kantor ini? Itu yang kau pikirkan?”
“Lalu bagaimana menjelaskan
soal pria bermantel itu?” balas Claire sedikit kesal. “Lalu lampu yang tiba-tiba
berkedip…, mungkin hanya masalah listrik, tapi…, entahlah. Apa aku masih bisa
bekerja dalam keadaan seperti ini?”
“Tenang, Claire.” Ucap
wanita itu. “Lain kali, kau harus membawa teman saat lembur.”
“Atau aku bisa
mengerjakannya di rumah saja.”
Mengenai hari lembur, Claire
kini benar-benar membencinya. Ia tidak peduli lagi dengan uang tambahan yang
akan masuk dalam rekening bank-nya karena melakukan tugas lembur. Ia merasa
tidak nyaman untuk bekerja di bawah tekanan penuh ketakutannya. Dan ia sendiri
tidak tahu apakah ia masih mau terus bekerja di kantor yang mungkin berhantu
itu.
Tidak semudah kelihatannya.
Claire ingin membawa pulang semua berkas yang ada padanya, namun beberapa file
tidak boleh dibawa pulang. Claire mengalami satu dilema yang ia rasa cukup
membungungkan. Ini berarti ia harus bekerja di dalam kantor gelap itu lagi?
Claire mendapatkan, mungkin,
mendapatkan satu jawaban atas persoalan yang ia hadapi. Ia yang mulai tidak
berani duduk sendirian, pada akhirnya meminta temannya, Fiona, untuk
menemaninya di kantor. Keduanya sibuk mengerjakan tugas mereka saat jarum jam
menyentuh angka dua belas malam.
Untuk malam itu, Claire dan
Fiona memutuskan untuk menghidupkan lampu ruangan. Mereka tidak mau bekerja
dalam keadaan gelap yang mengerikan. Dan ide ini sungguh efektif. Claire tidak
begitu merasa takut lagi. Namun apakah teror akan berhenti sampai di situ?
Claire kini bahkan sudah
dapat sedikitnya melupakan mengenai koridor bermasalah itu saat ia terlalu
sibuk dengan pekerjaannya. Ia juga banyak bercanda dengan Fiona, yang
membuatnya semakin melupakan kenyataan bahwa nanti ia harus melewati koridor
lantai sebelas.
Jarum jam menunjukkan pukul
satu dini hari saat Claire menyelesaikan pekerjaannya. Tubuhnya yang terasa
kaku membuatnya ingin segera untuk pulang dan tidur.
“Aku ke toilet sebentar.”
Ucap Claire seraya bergerak meninggalkan komputernya yang usdah ia matikan.
Claire hanya pergi sekitar
sepuluh menit, sebelum ia akhirnya bergerak kembali ke dalam ruangan dimana
Fiona sudah menunggunya di pintu keluar.
“Kita pulang?” ucap Fiona.
“Sebaiknya kumatikan lampunya terlebih dahulu.”
Keadaan lantai dua belas itu
gelap seketika. Namun ada satu hal kecil yang menarik perhatian Claire sesaat
sebelum ia bergerak bersama Fiona. Kedua matanya memicing seketika, saat ia
melihat adanya cahaya berpendar dari tengah-tengah ruang kantor yang gelap itu.
“Apa itu?” tanya Claire
dengan penasaran. Fiona ikut melirik ke arah pandangan Claire.
“Itu komputer.” Ucap Fiona.
“Kau belum…”
“Kau belum mematikan
komputermu, Fiona?”
“Tentu saja sudah.” Jawab
Fiona. “Itu komputermu.”
Claire mengernyit seketika.
Tentu saja aneh. Ia begitu yakin bahwa ia sudah mematikan komputernya sebelum
ia pergi ke toilet. Dan ia tidak mungkin salah.
“Biar kuperiksa.” Ucap
Claire seraya bergerak kembali ke ruangan gelap itu, menyusuri gang kecil,
hingga ia tiba di meja kerjanya. Dan benar saja. Komputernya dalam keadaan
menyala. Dan yang membuat Claire memekik ketakutan adalah apa yang tertera di
layar komputer itu.
Program pengolahan kata terbuka,
dan di lembaran putih itu terdapat satu kata dalam huruf besar dan berwarna
merah, yang berbunyi
“HATI-HATI!!”
Claire seketika memutar
tubuhnya dan berlari ke arah Fiona dengan nafas memburu. Fiona tidak tahu apa
yang terjadi. Claire menarik lengan Fiona begitu saja tanpa berkata apa-apa
lagi. Barulah saat mereka menuruni tangga, Claire mengatakan apa yang ia lihat.
“Tidak mungkin!”
Claire tidak tahu apakah
Fiona mau mempercayai kata-katanya atau tidak. Yang terpenting saat itu adalah,
segera keluar keluar dari gedung itu. Namun mereka masih menghadapi satu
halangan. Yaitu koridor lantai sebelas yang kini ada di depan kedua mata mereka.
Koridor itu terlihat normal,
seperti keadaan di siang hari. Namun keremangan suasana membuat koridor itu
terlihat lebih panjang dari biasanya. Dan setiap langkah yang keduanya ambil
semakin menambah rasa was-was di dalam hati mereka.
“Sepertinya aman.” Ucap
Fiona, yang bergerak di depan. Namun sedetik setelah ia menutup mulut, lampu di
koridor itu mulai berkedip. Sama seperti yang Claire alami beberapa hari yang
lalu. Keduanya menghentikan langkah mereka seketika.
“Sial!” umpa Claire.
Lampu tiba-tiba saja padam.
Dan keduanya berdiri dalam kegelapan total yang membutakan keduanya. Mereka
hanya dapat saling berpegangan, dan tidak tahu harus bagaimana.
Mereka mencoba untuk
menjamah dinding di sisi koridor itu. Mungkin dengan begitu, mereka bisa
menemukan jalan sampai di depan elevator. Namun keadaannya sedikit sulit. Dalam
keadaan yang tidak menyenangkan itu mereka harus mendengar suara aneh lain,
yang terdengar begitu jelas.
Terdengar suara langkah kaki
bergerak mendekati keduanya. Suara derap langkah sepatu yang terdengar berat,
dan terdengar semakin dekat.
“Siapa disana?” teriak
Claire. Namun tidak ada jawaban. Ia dan Fiona masih berusaha untuk menyusuri
dinding koridor itu.
“Cepat, Fiona!” bisik
Claire. “Kita harus…”
“AH!!”
Teriakan Fiona membuat
Claire berjingkat untuk sesaat. Dalam kegelapan, ia tidak tahu apa yang
terjadi.
“Ini buruk!” ucap Fiona
dengan nada bergetar. “Ada yang menyentuh kakiku. Sesuatu…”
“FIONA!!”
Claire berteriak saat ia
juga merasakan sebuah cengkeraman dingin di leher belakangnya. Claire seketika
menarik lengan temannya itu, dan berlari tanpa tahu apa yang ada di hadapannya.
Mungkin saja ia akan menabrak tembok, atau dinding kaca, atau sebuah meja. Yang
terpenting, Claire harus bergerak menjauhi sosok yang mengikutinya itu.
Lampu kembali berkedip.
Memberikan kesempatan pada kedua wanita itu untuk menemukan jalan menuju
elevator. Tidak jauh lagi. Claire dan Fiona akhirnya sampai pada pintu
elevator, menekan tombol, dan menunggu dalam ketegangan.
Claire sebenarnya tidak mau
menoleh ke arah koridor itu lagi. Namun otot lehernya seolah bekerja tidak
sesuai dengan otaknya. Ia melirik ke arah koridor, dan menemukan sosok tinggi
berwarna hitam, dengan dua mata merah memandang ke arahnya. Gigi kuning itu
menyeringai, seolah ingin memberikan teror yang lebih daripada itu.
“CEPAT!!!” Teriak Claire
seketika. Pintu elevator terbuka, dan keduanya bergerak masuk. Claire dengan
cepat menekan tombol untuk menutup pintu. Dan dalam sedetik, keduanya sudah
dalam perjalanan turun dari lantai sebelas itu.
Claire dan Fiona
terengah-engah, seolah baru saja lari marathon. Keduanya saling memandang,
tanpa ada kata-kata yang dapat mereka ucapkan. Keduanya merasa lega untuk
sesaat. Berada di dalam elevator, mereka pikir mereka aman. Hingga akhirnya
mereka tiba di lantai dasar. Pintu lift perlahan terbuka, dan kedua mata Claire
dan Fiona membelalak seketika, saat sosok itu telah berdiri tepat di depan
mereka, dengan seringai lebar, dan sepasang mata merah darah menatap keduanya.
**
Perusahaan tempat Claire dan
Fiona bekerja tidak pernah sekalipun mendapatkan masalah besar atau perhatian
yang berlebihan. Namun apa yang terjadi malam itu membuat nama perusahaan itu
muncul sebagai headline surat kabar keesokan harinya. Tubuh Claire dan Fiona
ditemukan kaku di dalam elevator yang setengah terbuka. Tubuh mereka sudah
pucat, seolah darah telah dihisap dari dalam tubuh keduanya. Kedua bola mata
mereka melotot, seolah membeku, dengan apa yang mereka lihat sesaat sebelum
kematian mereka.
Tidak ada yang akan pernah
tahu apa yang terjadi. Polisi hanya mengatakan bahwa kematian dari dua wanita
itu tidak wajar. Tidak ditemukan luka kekerasan dari tubuh mereka. Mungkin,
polisi hanya akan menutup kasus sebagai kecelakaan biasa. Namun bagaimana
dengan kebenarannya?
Kisah misterius yang masih
menyelimuti koridor lantai sebelas itu tidak akan pernah bisa terungkap. Tidak
ada yang hidup untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di lorong itu. Dan
mengenai sosok tinggi yang kerap muncul di koridor itu? Hal itu masih menjadi
misteri.
****
No comments:
Post a Comment