Sudah dua malam terakhir ini Jenny tidak dapat tidur tenang
di kamar asrama kampus barunya itu. Bukan karena teman sekamarnya yang sering
mengigau atau suasana baru kampus. Tapi karena sebuah suara yang selalu
mengganggunya ketika malam tiba.
Sebuah suara piano terdengar
selalu mengalun setiap malam, memainkan musik-musik klasik, kadang juga musik
yang begitu emosional dan terdengar menyedihkan. Jenny sudah dua kali
mendengarnya. Dan kejadiannya selalu setiap malam, ketika ia tidak bisa tidur
saat jarum jam sudah melewati tengah malam. Siapa yang mau main piano di tengah
malam buta seperti itu?
Jenny telah menceritakan
perihal ini pada teman sekamarnya, Dee, disaat mereka makan siang di kantin.
Tapi Dee sepertinya tidak begitu menggurbis ceritanya itu. Dee malah mengatakan
bahwa mungkin Jenny hanya sedang bermimpi.
“Tidak. Aku mendengarnya.”
Ucap Jenny kukuh pada ceritanya. Ia tatap dalam-dalam kedua mata Dee.
“Satu-satunya piano yang ada
di kampus ini terletak di ruang seni.” Ucap Dee. “Mustahil kau bisa mendengarnya
dari kamar asrama, Jenn. Lagipula, siapa yang mau main piano malam-malam?”
Ya. Jika dipikir-pikir,
lokasi asrama dengan ruang seni jaraknya nyaris seratus meter. Tidak mungkin,
meskipun memang ada yang main piano malam-malam, akan terdengar sampai kamar
asrama. Mendengar kenyataan ini, Jenny semakin penasaran dengan suara yang
didengarnya itu.
Ketika malam tiba, Jenny
mencoba untuk tidak memikirkan lagi suara piano itu. Jarum jam bergerak pada
angka dua belas ketika ia mulai masuk ke tempat tidurnya. Untuk sesaat, keadaan
hening. Namun beberapa menit kemudian, dentingan suara piano klasik itu kembali
terdengar. Lagu-lagu yang dimainkan pun selalu sama setiap harinya. Siapa yang
memainkan piano itu? Dan darimana asalnya?
Jenn melompat keluar dari tempat
tidurnya dan bergerak ke arah jendela. Ia coba perhatikan, dan coba ia terka
darimana asal suara piano itu. Tapi…, tidak. Ia tidak dapat menebakanya. Suara
piano itu seolah berasal dari banyak tempat. Memantul pada dinding, dan tidak
mungkin bagi Jenn untuk dapat memastikan darimana asal suara itu.
Ruang kesenian yang dimaksud
oleh Dee siang tadi terlihat dari kamar yang Jenn tempati. Gedung beratap
rendah yang terletak di seberang halaman kampus itu masih dalam keadaan gelap,
dan tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang di dalamnya. Tapi…, suara piano itu
masih terus mengalun.
Jenn kembali ke tempat
tidurnya dan berlindung di bawah selimut hangatnya. Entah kenapa, tubuhnya
terasa begitu dingin setelah mendengar suara piano menyedihkan itu. Satu hal
dari suara piano itu yang menganggu pikiran Jenny, adalah karena adanya satu
not di nada-nada piano itu yang terdengar sedikit sumbang. Jenn memang memiliki
bakat dalam musik. Dan ia tahu bahwa permainan piano yang indah itu sedikit
terkotori oleh adanya nada sumbang.
“Kau semakin gila, Jenn.”
Ucap Dee keesokan harinya sambil tertawa mengejek. “Ya. Kau emmang pintar dalam
musik, dan kau menyadari ada not yang salah dalam suara piano yang kau dengar
itu. Oh! Mungkin memang suara piano itu berasal dari dalam kepalamu sendiri.”
“Tidak lucu, Dee!” balas
Jenn sambil bersungut-sungut. Kenapa teman terbaiknya itu kini tidak mau
mendengarkannya?
“Aku masih terus penasaran.”
Ucap Jenny bersikukuh dengan ceritanya itu. “Aku akan mencari kebenarannya.”
“Kau mau jadi detektif,
Nona?” balas Dee sambil tersenyum. Ia kemudian mendecakkan lidah dan berkata,
“Oke.” Ucapnya. “Aku akan
memeprcayaimu kali ini. Bagaimana jika kita kunjungi ruang seni itu?”
Kedua gadis belia itu mampir
ke dalam ruang seni sebelum memulai pelajaran mereka. Ruang seni itu sebenarnya
sedang dalam renovasi. Sebagian besar alat musik sudah dipindahkan ke tempat
lain, kecuali sebuah piano besar yang ada di tengah ruangan. Jenn yang merasa
penasaran langsung menghampiri piano itu. Ia mainkan tuts-nya satu persatu dari
arah kiri, hingga akhirnya…
“Ini!” teriak Jenn dengan
wajah tegang dan penuh keterkejutan. “Kau dengar ini?”
Jenn menekan satu tuts
hingga berkali-kali, mencoba menunjukkan pada Dee sebuah suara yang ia dengar
setiap malam.
“Kenapa dengan…”
“Nada ini.” Ucap Jenn. “Nada
ini terdengar sumbang.”
“Lalu?”
“Itu berarti…” ucap Jenn.
“Suara piano yang setiap malam kudengar memang berasal dari tempat ini, Dee.
Kau tidak…”
“Tidak mungkin!” bantah Dee.
“Kau tidak lihat jaraknya? Tempat ini terletak cukup jauh dari asrama kita.
Bagaimana mungkin…”
“Lalu kau bisa menjelaskan
suara piano yang kudengar setiap malam itu?”
Dee bungam. Memang terdengar
aneh, namun ia tidak dapat menjelaskan kenapa Jenny dapat mendengar suara piano
yang jaraknya cukup jauh dari kamar.
Perbincangan kedua gadis
remaja itu harus terhenti saat seorang pria tua dalam balutan overall berwarna
hijau memasuki ruangan. Jenn dan Dee tahu bahwa pria itu adalah salah satu
penjaga sekolah.
“Nona-nona, tempat ini
berbahaya. Kalian tidak seharusnya ada disini.”
“Kami tahu.” Balas Dee.
“Maaf! Kami akan segera pergi dari tempat ini.”
Dee menarik lengan Jenn
dengan paksa, meskipun sebenarnya Jenn masih ingin menyelidiki piano tua itu.
Mereka kemudian bergerak cepat menuju kelas mereka ketika bel terdengar.
“Kau masih memikirkannya?”
tanya Dee lirih di tengah-tengah pelajaran yang sedang berlangsung.
“Ya.” Jawab Jenny. “Suara
itu memberikanku mimpi buruk.”
“Aku punya rencana.” Ucap
Dee. “Bagaimana jika malam nanti, saat kau mendengar suaranya lagi, kau bangunkan
aku dan kita akan menyelidikinya bersama, oke?”
Jenn tidak punya ide yang
lebih bagus. Rencana Dee itu, akhirnya ia setujui dengan satu anggukan kepala.
Malam yang ditunggu pun
tiba. Setelah Jenny dan Daee menyelesaikan pekerjaan dan tugas-tugas mereka,
mereka memutuskan untuk pergi tidur. Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua
belas malam. Apakah suara misterius dari piano itu akan terdengar kembali?
Jenny bergelung di bawah
selimutnya dengan perasaan was-was. Ia belum bisa tidur, karena ia masih
menantikan kedatangan suara misterius itu. Meskipun ia mencoba untuk memejamkan
mata, tetapi tubuhnya menolak untuk tidur. Jam telah lewat tengah malam, tapi suara
piano itu sama sekali tak terdengar.
Jenny mengangkat tubuhnya ke
posisi duduk. Ia bersandar pada dinding kamar sambil memejamkan kedua matanya.
Ia ingin mendengarnya. Suara piano itu, ya. Dan kemudian…
Jenny serentak membuka kedua
matanya saat dengan perlahan ia mendengar suara mengalun pelan itu. Ya. Suara
piano, yang kali ini memainkan sebuah karya dari Bach, berjudul Air.
Permainannya terdengar sempurna, meski masih ada satu nada sumbang itu.
“Dee!” panggil Jenny sambil
berbisik. Tiba-tiba saja temannya itu bangkit ke posisi duduk, lalu
mengangguk-angguk.
“Ya. Aku mendengarnya.” Ucap
Jenny. “Ternyata kau tidak bohong.”
“Untuk apa aku berbohong?”
“Bagaimana sekarang?” tanya
Dee. “Asal suara itu…, tidak jelas. Kita tidak tahu kemana harus mencari.”
Jenny bangkit dari tempat
tidurnya, menyalakan lampu seraya meraih jaketnya yang tergantung di balik
pintu. Ia berencana untuk keluar malam itu bersama dengan Dee. Meskipun sedikit
takut, tapi Jenny ingin mengetahui kebenaran dari suara piano misterius itu. Akan
tetapi…
Jenny dan Dee berdiri
terdiam di luar kamar mereka, di tengah lorong yang gelap. Keduanya tidak
membuat suara, dan keheningan melingkupi keduanya. Mereka baru sadar bahwa
suara piano itu telah berhenti.
“Yang benar saja!” ucap Dee.
“Sebaiknya kita kembali tidur.”
Jenny dan Dee memutuskan
bahwa suara itu telah menghilang untuk malam itu. Tapi ternyata, dugaan mereka
salah. Tepat pukul satu, Jenny kembali terbangun saat mendengar suara piano itu
lagi. Bach, Air. Musik yang sama dengan nada sumbang. Jenny dan Dee mengintip
dari jendela mereka ke arah ruang seni yang ada di seberang halaman. Tempat itu
masih dalam keadaan gelap.
“Sepertinya suara itu
berasal dari asrama ini.” Ucap Dee. “Anehnya, tidak ada satupun piano di tempat
ini.”
Keduanya kembali keluar dari
kamar mereka untuk menyelidiki. Namun lagi-lagi, ketika mereka sampai di
koridor, suara itu menghilang. Hal yang aneh ini membuat Dee dan Jenny
mengerutkan dahi mereka.
“Apa yang terjadi?”
Jenny dan Dee belum bisa
tidur, bahkan hingga pukul dua dini hari. Keduanya duduk dalam keheningan,
berpikir, dan tidak tahu bagaimana cara menjelaskan suara aneh itu. Suara piano
telah menghilang sepenuhnya untuk malam itu. Hingga pagi menjelang, Jenny dan
Dee tidak mendapat gangguan sedikitpun.
“Ini aneh.” Ucap Dee.
“Seolah siapapun yang memainkan piano itu tahu bahwa kita akan pergi
menyelidiki. Aneh, ‘kan? Bagaimana mungkin?”
“Sudah kukatakan bahwa ada
yang tidak beres dengan suara piano itu, Dee.” Ucap Jenny. “Malam ini, aku
punya satu rencana kecil.”
Seperti yang mereka lakukan
di malam sebelumnya, mereka pergi tidur setelah menyelesaikan tugas-tugas
kuliah mereka. Lampu kamar mereka padamkan, tetapi mereka tidak tidur,
melainkan menunggu dalam keheningan. Ketika jam melewati pukul dua belas malam,
keadaan asrama itu sudah benar-benar sepi. Kamar-kamar lainnya pun sudah
memadamkan lampu mereka dan tidur. Sepertinya hanya Jenny dan Dee yang masih
terjaga hingga jarum jam kini menunjukkan pukul setengah satu. Anehnya, mereka
tidak mendengar suara piano itu lagi.
Jenn bangkit ke posisi duduk
lalu membangunkan Dee, yang ternyata juga belum tidur. Keduanya saling
menggelengkan kepala tanda tidak mengerti.
“Kenapa tidak ada suara itu
lagi?” bisik Dee keheranan. Jenn pun merasakan hal yang sama, dan juga tidak
dapat menjelaskannya.
Keduanya terdiam dalam
kebingungan, hingga akhirnya Jenn tersentak bangkit dari posisi duduknya.
Dengan sabar ia coba perhatikan, dan ya. Ia kini mendengar suara itu.
“Kau mendengarnya?” tanya
Dee.
“Ya.” Jawab Jenny sambil berbisik.
“Tapi tidak sekeras kemarin malam. Suaranya terdengar begitu jauh, dan…”
Jenn bergerak ke arah
jendela dengan tujuan agar ia dapat mendnegar dengan jelas suara itu. Ketika ia
buka jendelanya, memang suaranya sedikit terdengar jelas, meski masih tampak
jauh. Namun detik berikutnya, ada satu hal yang berhasil membuat Jenn
terperanjat. Dee sadar akan reaksi temannya itu.
“Ada apa?” tanya Dee. Jenn
mengangkat sebelah tangannya, dan menunjuk ke arah ruang seni. Ya. Ruangan yang
seharusnya kosong itu kini terlihat berpendar. Menandakan bahwa ada seseorang
disana.
“Mustahil! Piano itu
berbunyi.”
“Ini mengerikan.”
“Ini kesempatan kita.” Ucap
Dee. Jenny yang merasa ketakutan memebrikan tatapan aneh pada temannya itu.
“Tidak mungkin hantu, ‘kan?”
ucap Dee. “Ayolah, Jenn! Kau akan selamanya merasa takut jika belum mendapat
jawabannya.”
Apa yang membuat Jenny
menyetujui ajakan Dee? Mungkin karena Jenny sebenarnya memang ingin mengetahui
kebenaran dibalik suara misterius piano itu. Dalam beberapa menit, kedua remaja
itu telah bergerak cepat menyeberangi halaman kampus, dengan cahaya kecil dari
senter yang mereka bawa. Hingga pada akhirnya, mereka sudah cukup dekat dengan
ruang seni, dan dapat mendengar dengan jelas suara piano dengan nada sumbang
itu.
Jenn mencengkeram lengan Dee
kuat-kuat begitu mereka bergerak mendekati jendela. Dan dari sana, mereka dapat
melihat ruangan seni berantakan itu, dan juga piano itu. Sayanganya…, mereka
tidak melihat siapapun. Tapi suara piano itu masih terus terdengar.
“Mustahil! Piano itu tidak
mungkin bermain sendiri.”
Dee menarik lengan Jenn. Ia
memutuskan untuk masuk ke dalam ruang seni melalui pintu samping yang memang
tidak terkunci. Jenn sebenarnya tidak menyetujui rencana itu. Tapi ia juga
tidak mau ditinggal sendirian di luar.
Dee dan Jenny bergerak pelan
melalui koridor gelap, hingga akhirnya mereka sampai di pintu ruang seni. Suara
piano semakin terdengar jelas, dan Dee memutuskan untuk membuka pintu ruangan
itu. Keduanya melihat…
Tidak ada siapapun. Sama
seperti ketika mereka mengintip dari luar jendela, tidak ada seorangpun yang
memainkan piano tua itu. Lalu, bagaimana mungkin piano itu…
Dee dan Jenn terpaku dalam
kebingungan, sampai-sampai mereka tidak menyadari bahwa ada seseorang yang
bergerak di belakang mereka. Orang itu bergerak semakin dekat, dekat, dan
dekat, hingga akhirnya Dee memutar kepalanya, dan…
**
“Jangan berteriak! Ini aku!”
Dee dan Jenn membuka kedua
mata mereka, dan menemukan sesosok remaja telah berdiri di depan mereka. Dee
dan Jenn kenal dengan remaja itu.
“Nicholas?”
Nicholas tersenyum. Namun ia
masih tidak tahu kenapa kedua gadis itu berkeliaran malam-malam.
“Kenpa kalian disini?” tanya
Nick dengan wajah keingungan. Dan membalikkan pertanyaan itu pada Nick.
“Aku…”
“Kami kesini karena suara
piano itu.” Ucap Jenn sambil menunjuk ke arah piano yang masih memainkan alunan
musiknya. “Bagaimana…”
“Oh! Piano itu?”
Nick bergerak ke arah piano,
lalu merogoh ke bagian belakangnya. Sedetik kemudian, suara piano itu berhenti.
“Kenapa bisa begitu?” tanya
Dee.
“Karena ini.” Nick menarik
keluar sebuah benda kotak besar dari bagian belakang piano. Benda itu adalahs
ebuah pemutar tape, yang ternyata Nick gunakan untuk memainkan rekaman piano.
“Kenapa?” tanya Jenny.
“Bagaimana…, suara-suara yang kudengar setiap malam itu, lalu sekarang…”
“Kurasa, memang aku
pelakunya.” Ucap Nick sambil tersenyum, lalu memintaa maaf.
“Kenapa kau lakukan itu? Kau
hanya mau menakut-nakuti Jenn?” bentak Dee.
“Tidak, aku…” Nick mendesah,
kemudian mengakui semuanya. Memang ialah pelaku dari misteri suara-suara piano
itu setiap malamnya.
“Kamarku berada tepat
dibawah kamar kalian. Dan aku mendnegarkan musik piano hanya ketika mau tidur.
Itu sebabnya kau hanya mendengarnya saat tengah malam.”
“Tapi itu tidak
menjelaskan…” ucap Dee. “Kenapa setiap kali kami keluar dari kamar suara itu
berhenti. Kau tidak mungkin tahu apa yang kami lakukan, ‘kan?”
“Aku melihat pantulan cahaya
dari kamarmu di dinding depan kamarku.” Jawab Nick. “Ketika aku memainkan
rekaman piano itu, dan kulihat kamar kalian tiba-tiba saja menyala, aku kira
suara rekaman itu mengganggu kalian. Itu sebabnya aku segera mematikannya. Lalu
saat lampu kamar kalian padam, kukira kalian sudah tidur lagi. Lalu kuputar
lagi rekaman itu. Dan seterusnya.”
Jenn menghembuskan nafas
lega. Jika sejak awal dia tahu bahwa suara itu hanyalah suara rekaman piano,
mungkin ia tidak akan begitu ketakutan.
“Suara piano di rekamanmu
itu berasal dari piano ini, ‘kan?” ucap Jenn. “Aku selalu mendengar nada
sumbang dari piano ini.”
“Ya.” Jawab Nick. “Kau tahu
penjaga kampus ini, si pria tua itu? Dia ternyata adalah seorang pemain piano
yang hebat. Ketika ia diam-diam memainkan piano ini, aku merekamnya. Dan aku
mendengarkannya, karena aku ingin belajar musik yang ia mainkan. Dan malam ini,
aku berencana untuk berlatih. Hingga akhirnya kutemukan kalian…”
“Kau gila!” bentak Dee.
“Kenapa kau lakukan malam-malam? Kau membuat kami ketakutan.”
“Maaf!” balas Nick. “Aku
sedikit pemalu. Aku tidak mau memainkannya siang-siang. Lagipula, ruangan ini
diperbaiki saat siang. Jadi aku hanya bisa memainkannya saat malam.”
Jenny dan Dee merasa kesal
dengan apa yang sudah terjadi. Mereka berhasil tertipu oleh suara piano itu.
Yang mereka kira suara piano hantu. Tapi jika dipikir-pikir, pemikiran mereka
memang terdengar aneh dan tidak masuk akal. Hantu bermain piano? Bahkan mungkin
Dracula akan menertawakan keduanya.
“Tidak ada yang perlu
ditakuti.” Ucap Dee beberapa detik kemudian. “Seandainya kami tahu
kebenaranya…, tapi kini kami tahu kebenarannya.”
“Nick, kau keterlaluan.”
Ucap Jenny. Nick hanya tersenyum, lalu berkacak pinggang. Dengan satu aksi, ia
berkata,
“Hantu hanya akan ada jika
rasa ketakutan telah mempengaruhi cara kita berpikir. Hantu itu…, tidak ada.”
Ya. Mungkin begitu. Mungkin
mereka dapat berpikir demikian untuk dapat mengusir ketakutan di dalam diri
mereka. Tapi apakah benar hantu itu tidak ada?
****
Iih seyeeem,
ReplyDeletePianoku jg prnh ada yg mainin,
Ketika pagi hari kakak angkatku memuji permainan pianoku, pdhl waktu itu aku blm lancar main "someone like you' nya Adele, lg pula ga mungkin sy main piano pkl 2 dini hari ��