Friday, December 18, 2015

GADIS DI PERPUSTAKAAN



Daniel tidak tahu lagi cara lain untuk melampiaskan kemarahan dan kekesalannya. Jika saja bukan karena lembar tugasnya yang ditolak mentah-mentah oleh profesornya karena kurang bagus, mungkin Daniel tidak perlu menghabiskan waktunya di perpustakaan untuk memulai lagi risetnya mengenai subyek yang tengah ia pelajari. Ia kesal, ia bosan, namun ia tahu bahwa ia harus melakukannya.
Sudah dua tahun Daniel kulaih di universitas yang ia tempati saat ini. Dan setiap kali ia membuat tugas, entah kenapa profesornya selalu menunjukkan poin-poin yang salah dalam setiap lembar tugasnya. Apa dia terlalu bodoh? Tidak. Daniel selalu membuat nilai yang bagus saat sma. Tapi entah kenapa di bangku perkuliahan ini ia selalu tertinggal dengan teman-temannya. Hal itu, membuatnya harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan nilai yang baik.
Daniel tidak pernah menjadi penggemar dari sebuah perpustakaan. Kenapa harus ke perpustakaan jika ia bisa mencarinya lewat internet? Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa kadang ia memang harus membaca beberapa buku sebagai sumber makalahnya. Dan terpaksa, ia harus mengunjungi perpustakaan.
Diantara sekian banyak kesibukannya sebagai seorang mahasiswa, Daniel sulit untuk mengatur waktunya. Akibatnya, ia tidak memiliki cukup waktu untuk pergi ke persutakaan. Ia hanya bisa melakukannya saat malam tiba. Pukul sembilan malam, ia berjalan seorang diri di lorong yang gelap, bergerak menuju perpustakaan tua di kampusnya yang dijaga oleh seorang wanita gemuk dengan sikap yang tidak menyenangkan.
“Jangan berisik!” ucap wanita gemuk berkacamata itu ketika Daniel bergerak memasuki perpustakaan. Daniel hanya mendengus pelan, lalu bergerak ke arah rak buku.
Perpustakaan yang ia tempati saat itu merupakan sebuah perpustakaan yang sudah cukup berumur. Mungkin sudah ada sejak kampus ini dibangin 70 tahun yang lalu. Terdapat begitu banyak rak buku yang tinggi, yang menciptakan koridor-koridor sempit, gelap, berdebu, dan membuat suasananya sedikit tidak menyenangkan. Daniel bahkan sedikit kesulitan untuk menemukan buku yang ia inginkan. Ia kadang harus memanjat tangga, menggeser tangga, dan melakukan hal lain yang tidak ia senangi. Hanya demi makalahnya.
Daniel membawa setumpuk buku ke arah sebuah meja kecil yang terletak di samping sebuah rak. Tidak ia sangka bahwa ia harus membaca buku sebanyak itu. Daniel tengah sibujk membuka-buka buku ketika ia sadar bahwa keadaan begitu sepi dan sedikit membuatnya tidak tenang. Sama sekali tidak ada suara lain, keculai suara halaman buku yang ia buka.
Daniel berpikir, mungkin ia bisa mati karena bosan. Cahaya temaram di ruangan itu membuat kedua matanya berat, mengantuk, dan ia tidak tahu apakah kalimat-kalimat yang ia baca dapat masuk ke dalam otaknya. Daniel menguap. Dan tiba-tiba saja…
“Bosan?”
Daniel hampir saja menjerit saat mendengar suara itu. Sebuah suara seorang gadis dari arah sampingnya, yang tidak ia ketahui kapan gadis itu duduk disana. Daniel tidak percaya bahwa ia tidak sadar saat seroang gadis duduk beberapa meter darinya. Apakah gadis itu sudah ada disana sejak tadi?
Gadis itu terlihat cukup menarik bagi Daniel, yang hingga detik itu memang belum memiliki kekasih. Gadis itu memiliki rambut priang sebahu yang mengombak, senyum manis, dan sepasang mata hijau secerah zamrud. Gadis itu tengah membaca beberapa buku, ketika ia melepaskan satu senyuman pada Daniel.
“Maaf mengagetkanmu.” Ucap gadis itu.
“Kau…, sudah ada disana sejak tadi?” tanya Daniel. “Err…, maaf! Aku tidak menyadari kehadiranmu.”
Kebosanan yang Daniel rasakan tiba-tiba saja menghilang dengan kedatangan gadis manis itu. Kini, perasaannya digantikan dengan perasaan tak karuan karena telah melihat seorang gadis yang mungkin…, dapat menjadi teman baginya.
Daniel mencoba melanjutkan apa yang sedang ia lakukan. Membaca, sayangnya, kenyataan bahwa ada gadis cantik duduk disampingnya membuat Daniel tidak dapat berkonsentrasi. Detik berikutnya, ia membawa semua bukunya dan memindah posisi duduknya. Ia kini berada di samping gadis itu.
“Aku merasa beruntung.” Ucap Daniel ketika ia duduk di samping gadis pirang itu.
“Karena apa?”
“Karena aku tidak harus membaca sendiri malam ini.” Jawab Daniel. “Aku, dan tugas-tugas menyebalkan ini. Kau juga?”
“Ya.” Jawab gadis itu. “Tugas.”
“Oh! Namaku Daniel.” Ucap Daniel sambil mengulurkan tangannya. Gadis itu menjabat tangannya, terasa dingin, namun Daniel mengabaikannya. Mulut manis gadis itu mengucapkan satu nama yang akan selalu Daniel ingat.
“Rachel.”
Keadaan menjadi sedikit canggung saat keduanya saling diam dan mulai membaca buku yang ada di hadapan mereka. Jujur, Daniel merasa semakin tidak berkonsentrasi dengan bukunya. Ia ingin berbicara dengan gadis itu, tapi ia tidak tahu apa yang harus ia ucapkan.
Sesekali Daniel melirik ke arah gadis itu. Dan disaat yang bersamaan, gadis itu melirik ke arahnya. Perasaan canggung semakin menjadi-jadi. Daniel sadar bahwa ia harus segera mengucapkan sesuatu.
“Kenapa?” tanya Daniel beberapa detik kemudian. Rachel mengenyit, bingung dengan apa yang Daniel maksudkan.
“Maaf?”
“Maksudku…, kenapa kau berada disini malam-malam? Gadis sepertimu…, err….”
“Suasananya cukup tenang saat malam hari.” Jawab gadis itu. “Dan kau? Kau sepertinya bukan tipe orang yang suka dengan perpustakaan.”
“Ya.” Jawab Daniel. “Tapi kurasa…, ada baiknya membaca buku.”
Ketika Daniel merasa bahwa ia telah membuka sebuah celah untuk sebuah percakapan, maka tidak ada lagi yang dapat menghentikannya. Ia banyak bercerita mengenai kehidupan kampusnya, bertanya pada Rachel mengenai jalur perkuliahan yang ia ambil, dan hal-hal lain hingga mereka tak sadar bahwa kini keduanya telah melupakan buku yang seharunya mereka pelajari.
“Dingin.” Ucap gadis itu.
“Ya.” Timpal Daniel. “Cuaca memang sedang tidak bagus.”
Daniel merasa bahwa Rachel mungkin dapat menjadi teman baiknya. Detik berikutnya, ia bertanya kapan ia dapat menemui Rachel lagi.
“Aku selalu berada di tempat ini setiap malam.” Jawab gadis itu. “Kau bisa menemukanku disini.”
“Bagaimana dengan tempat lain?”
Gadis itu tidak menjawab. Tatapan kedua matanya lurus ke arah buku yang terbuka di hadapannya. Mungkin gadis itu tengah berkonsentrasi dengan buku yang ia baca. Daniel mencoba untuk tidak mengganggunya lagi.
Daniel sempat pergi meninggalkan gadis itu untuk mengambil buku lain yang berada di seberang ruangan. Wanita gemuk yang menjadi penjaga perpustakaan itu mengucapkan beberapa kata padanya.
“Hampir tutup. Sebaiknya kau segera pergi.”
“Baik.” Jawab Daniel.
Daniel kembali ke arah meja yang ia tinggalkan tadi. Dan anehnya, gadis itu telah menghilang dari pandangan. Gadis itu sudah pergi? Tapi Daniel tidak menyadari kepergian gadis itu.
Daniel mengabaikan keanehan yang ia rasakan. Mungkin Daniel hanya tidak sadar saat gadis itu keluar dari perpustakaan. Daniel mencoba untuk membaca kurang lebih dua puluh menit, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari perpustakaan. Dan ia berjanji dalam hatinya bahwa ia akan kembali besok malam. Mungkin ia akan bertemu dengan gadis itu lagi?

*

Mungkin terdengar sedikit gila. Namun Daniel kini lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan tua kampusnya itu. Sudah beberapa malam terakhir, Daniel selalu mengunjungi perpustakaan ini. Alasan utamanya adalah mengenai makalah yang sedang ia kerjakan. Yah…, paling tidak itu yang ia katakan pada teman-temannya. Alasan lain, tentu saja karena Rachel.
Daniel tidak pernah merasakan kedekatan seperti yang ia rasakan ketika ia sedang bersama dengan Rachel. Entah kenapa, hanya dalam hitungan hari Daniel dapat menjadi orang yang berbeda sepenuhnya. Ia yang biasanya selalu terlambat menyelesaikan tugas-tugasnya, kini selalu rajin mengerjakannya dan mendapatkan nilai bagus. Semua itu dikarenakan Rachel. Gadis itu mampu merubahnya dengan setiap kata-katanya.
“Ini impianku.” Ucap Rachel di suatu malam di perpustakaan, di tempat yang sama seperti malam-malam sebelumnya.
“Bisa bersekolah di tempat ini dan lulus, merupakan cita-citaku. Aku tidak akan membuang waktuku.”
Ucapan itu menyadarkan Daniel bahwa ia tidak bisa selamanya bersekolah di tempat itu. Ia harus berhasil dalam setiap pelajaran yang ia ikuti. Dan yang paling penting, ia harus lulus dari tempat itu.
Daniel kembali mengunjungi Rachel di malam-malam berikutnya. Daniel sebenarnya tidak suka jika ia harus terus berbincang dengan Rachel di perpustakaan, dan telah mengusulkan tempat lain. Tapi Rachel menolak dengan alasan yang tidak Daniel mengerti.
Malam itu, Rachel terlihat berbeda dari biasanya. Wajahnya yang biasanya merona merah dan cantik itu kini terlihat pucat dan tak bergairah. Dari sorot kedua mata zamrudnya, Daniel tahu bahwa gadis itu tengah menghadapi masalah.
“Aku ingin pulang.” Ucap Rachel.
“Kenapa?”
“Aku rindu dengan keluargaku.”
Daniel tidak begitu mengerti dengan apa yang Rachel bicarakan. Apakah Rachel tidak pernah pulang saat libur natal? Daniel sudah mencoba bertanya tentang hal itu, tapi Rachel tidak memberikan satupun penjelasan.
Daniel pergi tidur malam itu masih dengan sejuta pertanyaan mengenai Rachel. Gadis itu berubah. Awalnya gadis itu terlihat riang dan banyak berbicara, kini gadis itu hanya terdiam, dan kadang terlihat seperti ingin menangis. Daniel masih teringat ucapan terakhir Rachel malam itu. Dia berkata,
“Dingin.”
Daniel terabngun di tengah malam saat ponselnya berdering. Nama yang tertera di layar ponselnya adalah nama Rachel. Ya. Ia memang sudah memberikan nomornya apda gadis itu beberapa hari yang lalu. Daniel tidak mengerti kenapa gadis itu meneleponnya malam-malam. Dan gadis itu pun hanya mengucapkan satu kalimat sebelum menutup kembali sambungan telepon.
“Temui aku besok di belakang lapangan sepak bola.”
Daniel tidak mengerti. Dan ia tak habis pikir. Ia terus bertanya-tanya dalam hati, mengenai segala keanehan yang ditunjukkan oleh gadis itu. Keesokan harinya ia pun mengunungi tempat yang telah ditunjukkan oleh Rachel.
Bagian belakang lapangan sepak bola di kampus itu merupakan sebuah kawasan hutan kecil yang asri. Terdapat banyak pohon-pohon tua yang masih berdiri di tempat itu, tanpa ada tanda-tanda bahwa akan di tebang. Daniel menunggu di bawah naungan sebuah pohon besar. Tapi…, gadis yang ia tunggu tidak juga muncul.
Daniel sadar bahwa Rachel tidak pernah mengatakan jam berapa ia harus menemuinya. Daniel mencoba menunggu lebih lama, tapi gadis itu tak muncul juga.
Daniel kembali ke hutan kecil itu sore harinya. Di bawah siraman cahaya senja, Daniel mencoba untuk bersabar, dan menunggu kedatangan gadis bermata hijau itu. Ia ingin menemui Rachel. Karena Rachel kini menjadi seseorang yang cukup berarti baginya.
Pukul enam sore, saat matahari sudah mulai terbenam, Daniel masih berdiri di bawah naungan pohon. Tanpa ada tanda-tanda kedatangan gadis itu. Daniel berjalan berputar-putar, sedikit merasa kesal, namun tidak benar-benar marah. Kenapa gadis itu tidak juga datang?
Daniel mencoba menyepak beberapa tumpukan dedaunan kering dengan sepatunya. Hingga akhirnya ia merasa telah menedang sesuatu. Suatu benda yang rasanya cukup berat, dan terasa menyakitkan ketika ia menendangnya. Benda itu terletak di bawah tumpukan dedaunan kering. Daniel membungkukkan badannya, dan mencoba untuk menyingkirkan daun-daun kering. Hingga akhirnya ia melihat…
Daniel menjerit seketika saat melihat benda yang ada di depan kedua matanya. Benda putih kusam, berbentuk bulat, dengan rambut-rambut kering berada di permukaannya. Warna rambut itu terlihat sama persis dengan rambut yang selalu ia ingat dari Rachel. Benda itu adalah sebuah tengkorak.
Terdengar derap langkah kaki mendekat sesaat setelah Daniel menjerit. Seorang pria, yang Daniel kenal adalah salah satu pegawai di kampus itu, datang dan berhenti seketika ketika melihat benda yang berada di hadapan Daniel. Dengan satu helaan nafas pria itu itu berucap,
“Astaga!”

*

Daniel masih merasakan tubuhnya yang bergetar. Melihat ada tengkorak yang terkubur di bagian belakang sekolahnya memang benar-benar bukan hal yang ia harapkan. Yang lebih tidak ia harapkan lagi adalah cerita mengerikan dibalik hal itu.
“Rachel Summers.” Ucap seorang penjaga sekolah yang sudah bekerja cukup lama di kampus itu.
“Dia adalah seorang gadis yang dilaporkan menghilang sepuluh tahun yang lalu. Dan siapa sangka bahwa ia dikuburkan di belakang sekolah ini?”
Daniel tidak dapat menerima kenyataan itu. Rachel, sudah meninggal? Lalu, bagaimana dengan malam-malam yang sudah ia lewati bersama dengan gadis itu? Bahkan gadis itu sudah dapat merubah dirinya.
Daniel tahu, setelah mendengar cerita lengkap dari sang penjaga sekolah, bahwa Rachel adalah seorang gadis yang sering mendapatkan bullying dari para seniornya. Dia gadis yang pintar. Namun karena hal itulah ia sering menjadi bulan-bulanan para senior. Dan seperti ulah para senior itu sudah keterlaluan, dan sebagai akibatnya, Rachel harus kehilangan nyawanya. Jenazahnya dikuburkan dibagian belakang sekolah. Tidak ada yang pernah tahu, hingga Daniel menemukannya.
Polisi dan keluarga Rachel datang beberapa jam setelah penemuan kerangkanya. Daniel mendapatkan berbagai macam pertanyaan, yang sama sekali tidak mengenakkan bagi Daniel. Barulah beberapa jam kemudian, Daniel dapat kembali ke kamarnya.
Daniel duduk di dalam kamarnya yang gelap, termenung, dan masih tidak memeprcayai apa yang baru saja terjadi. Ia yang melamun terkagetkan oleh dering ponselnya. Ada satu pesan masuk ke dalam ponselnya. Daniel meraih ponselnya itu, dan lagi-lagi harus melonjak.
Rachel. Gadis itu mengirimkan satu pesan kepada Daniel yang berbunyi,
“Terima kasih, Daniel.”

***

No comments:

Post a Comment