Thursday, August 10, 2017

THE CAVE



“Kau yakin ini jalannya?” tanya Jacob saat ia menyadari bahwa perjalanannya menembus gunung dan hutan itu tidak juga berakhir. Ia dan kedua temannya, John dan Nadia, tengah berusaha untuk keluar dari kepekatan hutan di gunung yang mereka jelajahi itu. Tidak seperti rencana pada awalnya. Mereka kini sadari bahwa mereka benar-benar tersesat.
“Ya. Lewat sini.” Jawab John sambil mengamati sebuah kompas yang terbuka di telapak tangannya. Jacob dan Nadia hanya menurut saja pada semua perkataan John, karena hanya John-lah yang sudah berpengalaman dalam kegiatan naik dan turun gunung.
Ketiga pemuda itu adalah teman satu bangku perkuliahan yang memutuskan untuk naik gunung mencari hawa segar setelah ujian semester. Namun tidak seperti apa yang mereka rencanakan sebelumnya, rencana untuk berkemah gagal total saat cuaca tiba-tiba saha memburuk. Mereka baru setengah jalan untuk mencapai puncak gunung, namun harus memutar arah saat langit tiba-tiba saja menghitam. Rencananya mereka akan kembali ke pos peristrihatan terakhir dan menunggu cuaca membaik. Sayangnya, kepekatan hutan membuat ketiganya kehilangan arah.
“Entahlah.” Ucap Jacob. “Rasanya kita hanya berputar-putar di tempat yang sama. Kau yakin tidak salah membaca peta dan kompasnya, ‘kan, John?”
“Tentu saja.” Balas John sambil terus melangkahkan kakinya. Sesekali ia melepaskan pandangannya dari kompas saat ia harus melompati sebuah akar pohon besar.
“Kenapa jauh sekali?” ucap Nadia, yang sama seperti yang lain, terlihat begitu kelelahan setelah berjalan selama berjam-jam.
“Sudah ada satu setengah jam sejak kita memutar.” Lanjut Nadia. “Seharusnya pos itu sudah terlihat.”
Jacob yang bergerak di belakang pada akhirnya kehilangan akal sehatnya saat kakinya sudah terasa begitu pegal dan punggungnya serasa mau patah. Ia mulai menyalahkan John yang memimpin perjalanan itu.
“Aku tahu apa yang aku lakukan, oke?” ucap John dengan nada bicara sedikit naik. Ia juga sedikit kesal dengan sikap Jacob yang terus mengomel tiada henti.
“Jika saja kau biarkan aku berpikir sebentar, mungkin aku akan segera menemukan jalannya.”
“Oh, sedari tadi hanya itu yang kau bicarakan.” Balas Jacob sambil mendengus. “Kau tahu, John? Aku kecewa pergi denganmu hari ini. Seharusnya aku bisa bersantai saja di kamar asrama.”
“Bukankah ini idemu?” balas John. “Mendaki gunung yang jarang dilewati pendaki ini, dan…”
“Kau menyalahkanku?”
“Sudahlah, kalian berdua!” potong Nadia, yang sepertinya menjadi satu-satu orang dalam kelompok kecil itu yang masih memiliki akal sehat. Meski begitu, nafasnya terlihat tersengal-sengal karena medan yang memang sulit untuk dilalui.
“Maaf, Nadia!” ucap John. Ia berhenti sesaat di bawah naungan sebuah pohon besar. Ia mengamati langit, yang masih saja terlihat gelap, tertutup dengan mendung.
“Lihat langitnya!” ucap Jacob. “Sepertinya akan bear-benar ada badai. Kita harus segera mencari tempat berlindung.”
Ketiga pemuda itu melanjutkan perjalanan mereka lagi. namun seperti sebelumnya, mereka seolah hanya berputar-putar di tempat tanpa ada progres sedikitpun. Emosi Jacob kembali meluap-luap.
“Aku bersumpah aku sudah melihat pohon besar ini lagi.” ucapnya. “Sepertinya kita memang berputar-putar, John. Kau tidak bisa menyangkal hal itu.”
Nadia terlihat begitu khawatir. Wajahnya terlihat sedikit pucat, dengan tatapan mata memohon pada John yang berjalan di depannya. Ia berharap John akan membantah ucapan Jacob barusan. Tapi…
“Sial!” umpat John. Ia terlihat memukul-mukul kompas yang ada di tangannya itu. Hal itu diketahui seketika oleh Jacob yang bergerak tak jauh darinya.
“Oh, jangan katakan!” ucapnya. “Jangan katakan sekarang kompasnya rusak!”
John hanya mengerling cepat ke arah Jacob dan Nadia. Ia masih berusaha mengetuk-ngetukkan kompas itu. Namun hal yang aneh terjadi. Jarum kompasnya berputar tak karuan. Seolah jarum kompas itu kebingungan, dan tidak dapat membedakan mana utara dan selatan.
“Ayolah!” geram John kesal terhadap kompasnya. Usahanya sia-sia saja, sebab kompas itu memang sudah tidak beekrja lagi.
John berhenti sebentar, lalu meraih peta yang ada di kantong jaketnya. Ia buka peta itu, dan untuk sesaat mencoba untuk memperkirakan dimana keberadaannya.
“Kita berjalan cukup lama.” Ucap Jacob. “Kurasa kita sudah keluar dari jalur pendakian.”
“Di timur, atau di barat? Ah, sial! Semuanya terlihat sama saja.” John mendengus kesal.
“HALO!!!” teriak Jacob tiba-tiba. Yang tentu saja meanrik perhatian keuda temannya itu. Jacon terlihat menengadahkan wajahnya dan berteriak keras-keras.
“KAMI TERSESAT! TOLONG KAMI!”
“Oh, ya. Sangat membantu.” Ucap John. “Berteriaklah, Jacoc! Mungkin memang akan ada yang mendnegar kita di tengah hutan belantara ini.”
“Tidak ada salahnya mencoba, ‘kan?” balas Jacob. Raut wajah kekesalan terlihat di wajahnya. John tidak dapat melakukan apapun soal hal itu. Sepertinya hal yang wajar bagi Jacob untuk marah. Sebab keadaan mereka saat ini benar-benar tidak terkira. Dan mereka ragu, apakah mereka bisa keluar dari hutan itu atau tidak.
“Hujan mulai turun.” Ucap Nadia. John dan Jacob merasakan titik-titik hujan sudah mulai turun dari langit. Langit terlihat benar-benar hitam, dan keadaan di dalam hutan itu semakin mencekam.
“Kita harus tetap bergerak.” Ucap John seraya mengembalikan peta ke saku jaketnya. “Mungkin kita perlu mencari perlindungan sesegera mungkin.”
Keadaan cuaca menjadi buruk secara seketika. Baru sepuluh menit ketiganya berjalan, dan kini hujan turun dengan deras disertai dengan angin. Ketiganya mencoba untuk berjalan berdekatan agar tidak hilang dalam sapuan badai. Karena penglihatan mereka pun juga buruk dalam cuaca seperti itu.
“Oh, Tuhan! Hujan ini…”
“Tetap bergerak!” teriak John untuk mengimbangi suara ribut dari angin dan air. “Nadia, berpegangan padaku!”
Ketiganya terlihat begitu kesulitan untuk berjalan saat hujan turun semakin deras. Tanah di bawah kaki mereka menjadi lumpur, dan mereka beberapa kali terpeleset nyaris masuk ke dalam sebuah jurang kecil.
“Hati-hati, hati-hati!” ucap John. Namun sesaat setelah ia mengucapkan kata itu, tiba-tiba saja Nadia berteriak.
“AAAHHHHH!!!”
“NADIA!!”
Nadia kehilangan keseimbangan kakinya dan jatuh terperosok ke dalam sebuah jurang kecil di balik semak-semak. John dan Jacob dengan segera bergerak ke arah tempat jatuhnya Nadia, dan mereka menemukan suatu hal yang tidak mereka duga.
Sebuah lubang menganga besar terlihat di balik semak-semak. Sebuah mulut gua alami, dimana Nadia terjatuh. John dan Jacob melongok ke dalam gua yang terlihat begitu gelap itu.
“NADIA!!” teriak John. Selama beberapa detik mereka tidak mendengar adanya balasan dari dalam gua itu. Apakah Nadia terluka dan tidak sadarkan diri?
“NADIA, KAU BAIK-BAIK SAJA?” terika Jacon. Detik berikutnya terdengar satu balasan dari dalam gua. Suara Nadia menggema di dalam gua itu.
“Aku baik-baik saja!” teriaknya dari dasar gua. “Aku tidak bisa baik kesana!”
“BERTAHANLAH! KAMI AKAN TURUN!”
John dan Jacob dengan segera menggunakan tali yang mereka punya, danmengikatkannya pada sebatang pohon di tepi gua. Mereka memang tidak mempunyai peralatan untuk mendaki tebing. Namun hanya dengan tali itu, mereka berusaha untuk turun dan membantu nadia naik.
“Aku akan turun.” Ucap John pada Jacob sesaat sebelum ia menggenggam erat tali yang terikat pada pohon itu, lalu meluncur ke bawah.
Jacob menunggu di lubang gua. Ia akan memberikan bantuan untuk menarik tali itu. Namun…
“Jacob!”
“ADA APA?” tanya Jacob yang masih melongok ke dalam gua. Namun ia tidak dapat melihat apapun.
“Kau harus turun!”
“APA?”
“Kau harus turun!” ucap John. “Nadia terluka. Aku butuh bantuanmu!”
Tidak ada pilihan lain bagi Jacob selain menuruti perintah temannya itu. Ia mulai meluncur pada tali, namun sesaat sebelum ia mencapai dasar, tali yang ia pegang putus.
“AAHH!!” Jacob terjatuh dengan bergedebuk di lantai gua yang basah. Tali yang putus itu masih ada di tangannya.
“JOHN?”
“Aku disini!” teriak John. Sebuah cahaya senter tiba-tiba saja muncul, dan Jacob segera bergerak ke arah kedua temannya itu.
“Nadia!”
Nadia terlihat meringkuk diatas tanah sambil memegangi kakinya yang berdarah. Apakah ada yang patah? Nadia menggelengkan kepalanya. Namun kini ia jadi sedikit kesulitan untuk berjalan.
“Kita tidak bisa kembali naik.” Ucap Jacob sambil menunjukkan tali yang putus itu. John hanya dapat mengumpat dengan pelan.
Ia menyorotkan cahaya senternya ke arah beberapa sudut di dalam gua itu. Hingga pada akhirnya ia menemukan sebuah terowongan yang letaknya tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Mungkin akan ada pintu masuk lain dari gua ini.” Ucap John. “Kau lihat terowongan disana?”
“Kita akan menjelajah gua ini?”
“Tidak ada pilihan lain, ‘kan?” ucap John. “Kita tidak bisa memanjat keluar tanpa tali.”
Jacob hanya dapat menghela nafasnya. Kini ia benar-benar yakin bahwa perjalanannya ke gunung itu sudah terkutuk sejak awal.
“Bukan ide yang kusenangi.” Ucap Jacob. “Tapi seperti katamu, kita tidak punya pilihan lain.”
Ketiganya kemudian bergerak perlahan menyusuri tepian gua dan masuk ke dalam terowongan alami itu. Keadaan lantai gua yang basah membuat lankah mereka tidak bisa cepat. Kadang mereka nyaris terperosok karena kaki mereka tanpa sengaja terpeleset lantai gua yang licin.
Dengan keadaan kaki Nadia yang terluka, pergerakan mereka semakin tidak bisa cepat lagi. mereka berkali-kali harus berhenti untuk mengistirahatkan kaki Nadia, yang kini hanya bertumpu pada satu kaki.
“Maafkan aku!” ucap Nadia dengan nafas terengah-engah. “Seharusnya aku tidak menjadi beban seperti ini.”
“Apa yang kau ucapkan, Nadia? Kau mengigau.”
“Ya.” sahut John. “Apapun yang terjadi, kita tetap bersama. Dan percayalah, bahwa kita akan segera keluar dari perut gunung ini.”
Ucapan itu sepertinya hanya ucapan yang terdengar kosong. Tiga puluh menit mereka menyusuri terowongan itu, namun mereka belum juga menemukan ujungnya. Malahan, sepertinya mereka semakin masuk ke dalam perut bumi. Keadaan pun semakin gelap gulita. Cahaya sentar yang mereka gunakan hanya sedikit sekali memberikan penerangan.
“Apakah masih jauh?” ucap Jacob. Ia berkali-kali menolehkan kepalanya ke arah belakang. Ia merasa seperti ada yang mengikutinya.
“Mungkin sebentar lagi.” jawab John. “Sepertinya jalan semakin menanjak.”
Memang benar. Lorong gua terlihat semakin menanjak dari sebelumnya. Hal itu membuat ketiganya berpikir bahwa sebentar lagi mereka akan keluar dari gua. Namun ternyata dugaan mereka salah.
Mereka kini memasuki sebuah ruangan gua yang cukup luas dengan atap tinggi. Tempat itu terlihat begitu luas, namun mencekam dalam waktu bersamaan. Tonjolan-tonjolan bebatuan di sekitar tempat itu menciptakan bayang-bayang yang seolah bergerak terkena cahaya senter mereka. Mereka bahkan merasa ada yang bersembunyi di dalam kegelapan.
“Kau juga merasakannya, ‘kan?” ucap Jacob lirih. “Sesuatu, mengikuti kita sejak kita memasuki terowongan tadi.”
“Jangan bercanda, Jacob! Tidak lucu.”
“Aku serius.” Ucap Jacob. Ia menyorotkan cahaya senternya lagi ke arah bagian belakang gua yang telah ia lewati. Untuk sedetik, ia seperti melihat ada sepasang mata yang menyala di kegelapan. Namun tidak apa-apa disana. ia menghembuskan nafasnya lagi.
“Mungkin kau benar.” Ucap Jacob. “Aku kelelahan, dan mungkin sedang berhalusinasi. Tidak ada apa-apa di dalam sini, ‘kan?”
John tidak memberikan jawaban. Meski ia ingin mengatakan bahwa memang tidak ada apa-apa di dalam gua itu, namun sebelah hatinya merasakan hal yang sebaliknya. Ia memang merasa seperti ada yang mengikuti sejak lima belas menit terakhir. Ia bahkan seolah dapat mendengar langkah-langkah kecil di sekelilingnya. Namun ia tidak mau mengatakan perasaannya itu. Ia tidak ingin Nadia ketakutan.
“Kita harus tetap bergerak.” Ucap John pada akhirnya.
Perjalanan menyusuri terowongan lain terasa juga amat panjang. Mereka tidak tahu lagi sudah berapa lama mereka berada di dalam gua itu. Dan mereka juga belum menemukan jalan keluar. Mungkinkah, memang tidak ada jalan keluar selain lubang masuk tadi?
Nadia terpekik saat tiba-tiba saja ada yang menyambar ujung kepalanya. Ia meremas lengan John yang berjalan di sampingnya.
“Sesuatu…” ucap Nadia. “Sesuatu menyentuhku.”
John dan Jacob sama-sama berkutat dengan pikiran mereka. Apa yang mereka takutkan sepertinya menjadi kenyataan. Ada sesuatu di dalam gua itu yang mengikuti mereka. Keduanya sama-sama menyorotkan cahaya senter mereka ke berbagai tempat, namun mereka tidak dapat menemukan apapun.
“Akui sekarang, John! Bahwa kau juga merasakannya, ‘kan?” ucap Jacob, seolah ia dapat membaca apa yang ada di dalam kepala temannya itu. John hanya mengangguk pelan.
“Tidak ada baiknya kita berhenti disini.” Ucap John. “Kita harus segera menemukan jalan keluar.”
Langkah mereka semakin cepat saat mereka sama-sama menyadari bahwa mungkin mereka ada dalam bahaya. Sesuatu mengejar mereka, dan mereka tahu akan hal itu. Nadia bahkan sudah mengabaikan luka di kakinya dan kini bergerak dengan begitu cepat.
“Sialan!” umpat Jacob saat cahaya senternya berkedip.
“Terus melangkah, Jacob!” teriak John. Suaranya menggema di dalam gua yang mereka lewati itu. Namun tiba-tiba saja…
KAAAAKKKKK!!!!
Ketiganya merasakan jantung mereka melonjak seketika sesaat setelah mendengar suara pekikan itu. Suara itu terdengar menggema di dalam gua, dan bukan sebuah suara alami.
“John?”
“Kita harus cepat.” Ucap John. Ia menarik lengan Nadia, dengan Jacob mengekor di belakan. Namun sedetik berikutnya…
KAAAAKKKKKK!!! KAKKKKKK!!
Sesuatu bergerak cepat diantara cahaya senter mereka. John, Nadia, dan Jacob sama-sama melihat sesuatu bergerak dengan cepat di dalam gua itu. Dan mereka sadar bahwa mereka ada dalam bahaya.
“LARI!!!”
Ketiganya berlari begitu saja tanpa berpikir. Hanya ada satu terowongan di gua itu. Nadia bahkan sudah bisa mengalahkan rasa sakit di kakinya saat ketakutan mulai memenuhi dirinya. Ia berlari mengikuti John yang bergerak di depan. Namun entah kenapa John tiba-tiba saja berhenti.
“Kenapa berhenti?” teriak Jacob.
John hanya memutar kepalanya. Ternyata jalan yang mereka lalui itu jalan buntu. Tepat di depannya, terdapat dinding kayu yang menghadang langkah mereka.
“Mungkin ada sesuatu dibaliknya?” ucap Jacob seraya bergerak ke arah dinding kayu itu. Ia menggedorkan tangannya pada dinding kayu itu, dan sebuah papan kayu usang terjatuh ke tanah.
“Ada lubang.” Ucap Jacob. “Bantu aku membongkar dinding ini!”
Nadia berdiri dalam diam sementara kedua temannya berusaha untuk menjebol dinding kayu usang itu. Mereka memukul, menendang, bahkan menggunakan bahu mereka. Nadia terus mengawasi bagian belakang. Bersiap-saip, seandainya ‘sesuatu’ itu datang menghampiri mereka.
Terdengar satu derakan keras saat John dan Jacob berhasil menjebol dinding kayu itu. Hanya ada lubang kecil, yang hanya bisa mereka gunakan jika mereka merangkak.
“Cepat masuk!” ucap John. Ia dan kedua temannya merangkak melalui lubang yang telah mereka perbuat, dan mereka kini berada di dalam sebuah jaringan bawah tanah. Mereka melihat besi rel di tanah, dan juga sebuah lori yang berkarat tak jauh dari mereka. Mereka kini sadar bahwa mereka berada di dalam sebuah tambang.
“Bagus.” Ucap John sambil mendesah. “Kita ikuti saja rel ini, dan kita akan bisa keluar.”
“Kita berada di jaringan tambang bawah tanah.” Ucap Jacob. “Mungkin akan ada banyak lorong…, entahlah.”
“Bisakah kita keluar?” Tanya Nadia dengan keputusasaan dalam nada bicaranya. John merasa tidak yakin. Namun ia masih bisa tersenyum pada teman wanitanya itu.
“Kita akan keluar.”
Mereka bergerak lagi. kini menyusuri terowongan tambang yang dipenuhi dengan bebatuan kecil dan juga lori-lori berkarat. Dari keadaannya, tambang itu sepertinya sudah lama tidak digunakan.
Ketiganya tidak begitu yakin kemana mereka akan melangkahkan kaki mereka. Terdapat begitu banyak persimpangan lorong, dan keadaan yanggelap semakin membuat ketiganya kehilangan  orientasi. John mencoba untuk memakai kompasnya lagi. namun seperti sebelumnya, jarum kompas itu bergerak secara radikal ke segala arah.
“Asalkan kita mengikuti jalan yang naik,” ucap John. “Kita akan mencapai mulut tambang.”
“Kau yakin?” tanya Jacob dengan nada sedikit ketus. Setengahnya, ia menyalahkan John dalam perjalanan pendakian ini.
“Percaya padaku sekali ini saja, Jacob.” Balas John. “Akupun tidak begitu yakin, tapi pilihan apa lagi yang masih kita punya?”
“Lalu ‘sesuatu’ yang mengejar kita itu?” tanya Nadia. John dan Jacob sadar kembali bahwa mereka juga memiliki masalah dengan ‘sesuatu’ itu. Mereka tidak tahu apa yang mengejar mereka.
Langkah mereka pelan, namun pasti. Mereka mengikuti terowongan tambang yang menanjak, mengikuti jalur rel yang ada di tanah. Hingga tiba-tiba, suara misterius itu muncul kembali.
KKAAAAAAKKKK!!!
“Sialan!” umpat John. “Sepertinya makhluk itu tahu dimana kita.”
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Kita harus bergerak cepat. Lari!”
Ketiganya terseok-seok saat berlari di jalanan tambang yang tidak rata. Mereka bahkan berkali-kali nyaris menabrak lori di rel yang tidak terlihat karena keadaan begitu gelap.
Jantung ketiganya semakin berdetak cepat saat suara misterius itu terdengar begitu dekat. Mereka juga mendengar langkah-langkah kaki selain kaki mereka.
“Kita harus lari!” ucap John sesaat sebelum ia menarik lengan Nadia. Ketiganya berlari cepat, dengan sinar senter terarah ke segala tempat, membuat mereka nyaris tidak mungkin untuk bisa terus memilih terowongan di tambang itu.
John dan Nadia terperosok sebuah jurang kecil, dan mendarat diatas permukaan tanah yang tidak rata. Mereka kini berada di dalam sebuah ruangan luas dimana terdapat beberapa lori bekas dan juga sebuah elevator kayu yang sudah tidak berfungsi.
“Sepertinya kita hampir keluar.” Ucap John seraya mengarahkan senternya pada sebuah tangga kayu naik ke sebuah terowongan. Namun perhatiannya teralih seketika saat Nadia menarik lengan jaketnya.
“Jacob.” Ucap Nadia. “Dia menghilang.”
“Apa?!”
John menyorotkan senternya ke segala arah. Namun mereka tidak menemukan sosok temannya itu.
“Kita berpencar tanpa kita sadari.” Ucap John. “Tapi kita harus terus bergerak, Nadia, karena…”
KAAAKKKKK!! KAAAKKKKK!!”
John seketika menarik lengan Nadia ke arah tangga naik itu. Ia meminta Nadia untuk menaiki tangga duluan, sementara ia mulai mengarahkan cahaya senternya ke segala arah.
John dapat mendengar dengusan nafas keras, yang bukan miliknya ataupun milik Nadia. Dan suara langkah-langkah kaki cepat di tanah, hingga sedetik kemudian…
“AAHHH!!!”
John berteriak saat cahaya senternya tepat mengenai sebuah wajah bobrok yang meringis ke arahnya. Makhluk itu terlihat seperti manuia, dengan lengan dan kaki panjang. Kedua mata makhluk itu memerah, memandang tajam ke arah John.
Namun ada satu hal yang dapat John pelajari dari sosok makhluk itu. Makhluk itu tidak suka dengan cahaya. Saat senternya mengenai sosok itu, sosok itu dengan cepat melompat ke sisi lain ruangan.
“LARI NADIA!!” teriaknya dari bawah. Ia kemudian bergerak menaiki tangga, dan ia dapat mendengar sosok itu mulai bergerak lagi.
“LARI! JANGAN MENOLEH!”
John dan Nadia berlari sekuat tenaga mereka menyusuri sebuah terowongan tambang. Makhluk itu masih mengejar di belakang mereka dengan cepat. Suara jeritan itu kembali terdengar menggema di dalam lorong tambang.
KAAAKKKK!!!
Nadia tiba-tiba saja memekik saat kakinya tersandung rel lori yang ada di lorong itu. John merunduk, mencoba untuk membangungkan Nadia. Namun makhluk itu datang, dan…
“AAAHHH!!”
John seketika menyorotkan senternya pada wajah bobrok itu. Makhluk itu menghindar, dan terdengar bergerak menjauh.
“Sialan! Ayolah!” John mengumpat pelan saat senternya mulai berkedip, dan seketika mati. Ia kini berada di dalam kegelapan bersama dengan Nadia, tanpa ada bantuan cahaya sedikitpun. Dan John dapat mendengar langkah mendekat, dan tiba-tiba…
Satu cahaya terang menyorot wajahnya. Yang membutakannya seketika. Ia kira makhluk itu lagi yang datang. Tapi ternyata kawannya sendiri.
“Sial!” umpat Jacob seraya membantu John dan Nadia berdiri. “Makhluk itu beanr-benar…, kita harus…”
“Kita harus berlari lagi!” ucap John dengan nafas memburu. Ia mengetukkan senternya, dan cahaya muncul lagi.
Ketiganya berlari lagi menyusuri lorong tambang yang seolah tak berujung itu. Lama-kelamaan, kaki dan dada mereka terasa sakit saat stamina terkuras habis. Namun makhluk yang mengejar mereka tidak juga menyerah. John dan Jacob bersiap dengan senter mereka. Langkah-langkah makhluk itu terdengar jelas, mendekat, dan kemudian…
Wajah bobrok dengan mata merah itu mendelik ke arah John dan Jacob, yang dengan segera menyorotkan cahaya senternya pada sosok itu. Sosok itu mencoba melompat, menghindar, namun Jacob dan John terus menyorot makhluk keparat itu.
KAAAKKKK!! KAKKKKKK!!
“RASAKAN INI MAKHLUK JELEK!!” teriak Jacob. Ia seketika meraih sebuah batu dari tanah, dan melemparkannya tepat ke tubuh sosok itu. Namun sepertinya tingkahnya itu bukanlah sesuatu yang dpat dipuji. Makhluk itu membuka mulutnya, yang memperlihatkan deretan gigi-gigi runcing seperti gigi hiu, dan seketika melompat ke arah Jacob. John mencoba menyorot sosok itu itu, tapi…
“AHHKKKKKK!!!”
Jacon mengerang saat tangan dengan kuku panjang dari sosok itu menembus tubuh Jacob. John dan Nadia dapat melihat jelas saat darah memuncrat dari lubang di tengah tubuh Jacob. Tubuh Jacob terkulai seketika ke tanah.
“LARI NADIA! LARI!!”
Nadia dengan sepenuh tenaga mulai merangkak, kemudian berlari. Ia menunggu John, tapi John terdengar mengerang sedetik kemudian. Nadia sadar bahwa temannya itu mungkin juga sudah tewas.
Cahaya senter yang ia pegang berlompatan ke sana kemari saat ia berlari tanpa arah. Dan sialnya, lagi-lagi ia tersandung rel, dan jatuh ke tanah. Cahaya senternya mati seketika.
Nadia duduk dalam diam, sambil mendengarkan langkah kaki yang mulai bergerak mendekat itu. Lalu suara desahan nafas berat, dan satu jeritan makhluk anah itu.
KAAAKKKK!!!
Nadia sadar bahwa ia sudah berada pada ujung maut. Ia tidak bisa bergerak lagi saat kakinya yang terluka kini terasa begitu menyakitkan. Dua temannya sudah tewas. Apa lagi yang dapat ia lakukan?
Ia menggenggam senter itu di tangannya dengan begitu erat. Jantungnya serasa mau pecah, dan ketakutannya meningkat. Tubuhnya bergetar, dan ia rasakan desahan nafas panas di depan wajahnya. Dan secara tak terdua, cahaya senternya kembali menyala. Nadia melihat dengan jelas makhluk itu menyeringai ke arahnya. Lalu…

**

Tiga hari telah berlalu semenjak ketiga pemuda itu terlihat melewati pos jaga pendakian. Brosur-brosur berisi keterangan dari ketiga pemuda itu sudah terpasang di beberapa tempat, dan tim SAR sudah melakukan penyapuan di sekitar jalur pendakian. Namun mereka tidak menemukan adanya ketiga pemuda itu.
“Mereka mungkin tidak akan pernah ditemukan.” Ucap seorang pria bungkuk tua ke arah seorang opsir polisi yang bertugas mencari ketiga pemuda itu.
“Apa maksudmu?” tanya polisi itu. Orang tua bungkuk itu hanya menggeram kecil, dengan tatapan terarah pada puncak gunung itu.
“Makhluk itu mungkin sudah memakan mereka.” Ucap pria bungkuk itu. “Di tambang. Jika kalian ingin hidup, sebaiknya hindari tambang dan gua yang ada di gunung ini.”
“Apa yang ada disana?” tanya opsir polisi itu penasaran. Pria tua itu menggeram kecil lagi. Lalu dengan tatapan tajam, mulutnya terbuka.
“Sesuatu dari masa lampau, yang tidak bisa dibunuh.”

****

2 comments: