“Kau yakin ini jalannya?”
tanya Jacob saat ia menyadari bahwa perjalanannya menembus gunung dan hutan itu
tidak juga berakhir. Ia dan kedua temannya, John dan Nadia, tengah berusaha
untuk keluar dari kepekatan hutan di gunung yang mereka jelajahi itu. Tidak
seperti rencana pada awalnya. Mereka kini sadari bahwa mereka benar-benar
tersesat.
“Ya. Lewat sini.” Jawab John
sambil mengamati sebuah kompas yang terbuka di telapak tangannya. Jacob dan
Nadia hanya menurut saja pada semua perkataan John, karena hanya John-lah yang
sudah berpengalaman dalam kegiatan naik dan turun gunung.
Ketiga pemuda itu adalah
teman satu bangku perkuliahan yang memutuskan untuk naik gunung mencari hawa
segar setelah ujian semester. Namun tidak seperti apa yang mereka rencanakan sebelumnya,
rencana untuk berkemah gagal total saat cuaca tiba-tiba saha memburuk. Mereka
baru setengah jalan untuk mencapai puncak gunung, namun harus memutar arah saat
langit tiba-tiba saja menghitam. Rencananya mereka akan kembali ke pos
peristrihatan terakhir dan menunggu cuaca membaik. Sayangnya, kepekatan hutan
membuat ketiganya kehilangan arah.
“Entahlah.” Ucap Jacob.
“Rasanya kita hanya berputar-putar di tempat yang sama. Kau yakin tidak salah
membaca peta dan kompasnya, ‘kan, John?”
“Tentu saja.” Balas John
sambil terus melangkahkan kakinya. Sesekali ia melepaskan pandangannya dari
kompas saat ia harus melompati sebuah akar pohon besar.
“Kenapa jauh sekali?” ucap
Nadia, yang sama seperti yang lain, terlihat begitu kelelahan setelah berjalan
selama berjam-jam.
“Sudah ada satu setengah jam
sejak kita memutar.” Lanjut Nadia. “Seharusnya pos itu sudah terlihat.”
Jacob yang bergerak di
belakang pada akhirnya kehilangan akal sehatnya saat kakinya sudah terasa
begitu pegal dan punggungnya serasa mau patah. Ia mulai menyalahkan John yang
memimpin perjalanan itu.
“Aku tahu apa yang aku
lakukan, oke?” ucap John dengan nada bicara sedikit naik. Ia juga sedikit kesal
dengan sikap Jacob yang terus mengomel tiada henti.
“Jika saja kau biarkan aku
berpikir sebentar, mungkin aku akan segera menemukan jalannya.”
“Oh, sedari tadi hanya itu
yang kau bicarakan.” Balas Jacob sambil mendengus. “Kau tahu, John? Aku kecewa
pergi denganmu hari ini. Seharusnya aku bisa bersantai saja di kamar asrama.”
“Bukankah ini idemu?” balas
John. “Mendaki gunung yang jarang dilewati pendaki ini, dan…”
“Kau menyalahkanku?”
“Sudahlah, kalian berdua!”
potong Nadia, yang sepertinya menjadi satu-satu orang dalam kelompok kecil itu
yang masih memiliki akal sehat. Meski begitu, nafasnya terlihat tersengal-sengal
karena medan yang memang sulit untuk dilalui.
“Maaf, Nadia!” ucap John. Ia
berhenti sesaat di bawah naungan sebuah pohon besar. Ia mengamati langit, yang
masih saja terlihat gelap, tertutup dengan mendung.
“Lihat langitnya!” ucap
Jacob. “Sepertinya akan bear-benar ada badai. Kita harus segera mencari tempat
berlindung.”
Ketiga pemuda itu
melanjutkan perjalanan mereka lagi. namun seperti sebelumnya, mereka seolah
hanya berputar-putar di tempat tanpa ada progres sedikitpun. Emosi Jacob
kembali meluap-luap.
“Aku bersumpah aku sudah
melihat pohon besar ini lagi.” ucapnya. “Sepertinya kita memang berputar-putar,
John. Kau tidak bisa menyangkal hal itu.”
Nadia terlihat begitu
khawatir. Wajahnya terlihat sedikit pucat, dengan tatapan mata memohon pada
John yang berjalan di depannya. Ia berharap John akan membantah ucapan Jacob
barusan. Tapi…
“Sial!” umpat John. Ia
terlihat memukul-mukul kompas yang ada di tangannya itu. Hal itu diketahui
seketika oleh Jacob yang bergerak tak jauh darinya.
“Oh, jangan katakan!”
ucapnya. “Jangan katakan sekarang kompasnya rusak!”
John hanya mengerling cepat
ke arah Jacob dan Nadia. Ia masih berusaha mengetuk-ngetukkan kompas itu. Namun
hal yang aneh terjadi. Jarum kompasnya berputar tak karuan. Seolah jarum kompas
itu kebingungan, dan tidak dapat membedakan mana utara dan selatan.
“Ayolah!” geram John kesal
terhadap kompasnya. Usahanya sia-sia saja, sebab kompas itu memang sudah tidak
beekrja lagi.
John berhenti sebentar, lalu
meraih peta yang ada di kantong jaketnya. Ia buka peta itu, dan untuk sesaat
mencoba untuk memperkirakan dimana keberadaannya.
“Kita berjalan cukup lama.”
Ucap Jacob. “Kurasa kita sudah keluar dari jalur pendakian.”
“Di timur, atau di barat?
Ah, sial! Semuanya terlihat sama saja.” John mendengus kesal.
“HALO!!!” teriak Jacob
tiba-tiba. Yang tentu saja meanrik perhatian keuda temannya itu. Jacon terlihat
menengadahkan wajahnya dan berteriak keras-keras.
“KAMI TERSESAT! TOLONG
KAMI!”
“Oh, ya. Sangat membantu.”
Ucap John. “Berteriaklah, Jacoc! Mungkin memang akan ada yang mendnegar kita di
tengah hutan belantara ini.”
“Tidak ada salahnya mencoba,
‘kan?” balas Jacob. Raut wajah kekesalan terlihat di wajahnya. John tidak dapat
melakukan apapun soal hal itu. Sepertinya hal yang wajar bagi Jacob untuk
marah. Sebab keadaan mereka saat ini benar-benar tidak terkira. Dan mereka
ragu, apakah mereka bisa keluar dari hutan itu atau tidak.
“Hujan mulai turun.” Ucap
Nadia. John dan Jacob merasakan titik-titik hujan sudah mulai turun dari
langit. Langit terlihat benar-benar hitam, dan keadaan di dalam hutan itu
semakin mencekam.
“Kita harus tetap bergerak.”
Ucap John seraya mengembalikan peta ke saku jaketnya. “Mungkin kita perlu
mencari perlindungan sesegera mungkin.”
Keadaan cuaca menjadi buruk
secara seketika. Baru sepuluh menit ketiganya berjalan, dan kini hujan turun
dengan deras disertai dengan angin. Ketiganya mencoba untuk berjalan berdekatan
agar tidak hilang dalam sapuan badai. Karena penglihatan mereka pun juga buruk
dalam cuaca seperti itu.
“Oh, Tuhan! Hujan ini…”
“Tetap bergerak!” teriak
John untuk mengimbangi suara ribut dari angin dan air. “Nadia, berpegangan
padaku!”
Ketiganya terlihat begitu
kesulitan untuk berjalan saat hujan turun semakin deras. Tanah di bawah kaki
mereka menjadi lumpur, dan mereka beberapa kali terpeleset nyaris masuk ke
dalam sebuah jurang kecil.
“Hati-hati, hati-hati!” ucap
John. Namun sesaat setelah ia mengucapkan kata itu, tiba-tiba saja Nadia
berteriak.
“AAAHHHHH!!!”
“NADIA!!”
Nadia kehilangan
keseimbangan kakinya dan jatuh terperosok ke dalam sebuah jurang kecil di balik
semak-semak. John dan Jacob dengan segera bergerak ke arah tempat jatuhnya
Nadia, dan mereka menemukan suatu hal yang tidak mereka duga.
Sebuah lubang menganga besar
terlihat di balik semak-semak. Sebuah mulut gua alami, dimana Nadia terjatuh.
John dan Jacob melongok ke dalam gua yang terlihat begitu gelap itu.
“NADIA!!” teriak John.
Selama beberapa detik mereka tidak mendengar adanya balasan dari dalam gua itu.
Apakah Nadia terluka dan tidak sadarkan diri?
“NADIA, KAU BAIK-BAIK SAJA?”
terika Jacon. Detik berikutnya terdengar satu balasan dari dalam gua. Suara
Nadia menggema di dalam gua itu.
“Aku baik-baik saja!”
teriaknya dari dasar gua. “Aku tidak bisa baik kesana!”
“BERTAHANLAH! KAMI AKAN
TURUN!”
John dan Jacob dengan segera
menggunakan tali yang mereka punya, danmengikatkannya pada sebatang pohon di
tepi gua. Mereka memang tidak mempunyai peralatan untuk mendaki tebing. Namun
hanya dengan tali itu, mereka berusaha untuk turun dan membantu nadia naik.
“Aku akan turun.” Ucap John
pada Jacob sesaat sebelum ia menggenggam erat tali yang terikat pada pohon itu,
lalu meluncur ke bawah.
Jacob menunggu di lubang
gua. Ia akan memberikan bantuan untuk menarik tali itu. Namun…
“Jacob!”
“ADA APA?” tanya Jacob yang
masih melongok ke dalam gua. Namun ia tidak dapat melihat apapun.
“Kau harus turun!”
“APA?”
“Kau harus turun!” ucap
John. “Nadia terluka. Aku butuh bantuanmu!”
Tidak ada pilihan lain bagi
Jacob selain menuruti perintah temannya itu. Ia mulai meluncur pada tali, namun
sesaat sebelum ia mencapai dasar, tali yang ia pegang putus.
“AAHH!!” Jacob terjatuh
dengan bergedebuk di lantai gua yang basah. Tali yang putus itu masih ada di
tangannya.
“JOHN?”
“Aku disini!” teriak John.
Sebuah cahaya senter tiba-tiba saja muncul, dan Jacob segera bergerak ke arah
kedua temannya itu.
“Nadia!”
Nadia terlihat meringkuk
diatas tanah sambil memegangi kakinya yang berdarah. Apakah ada yang patah?
Nadia menggelengkan kepalanya. Namun kini ia jadi sedikit kesulitan untuk
berjalan.
“Kita tidak bisa kembali
naik.” Ucap Jacob sambil menunjukkan tali yang putus itu. John hanya dapat
mengumpat dengan pelan.
Ia menyorotkan cahaya
senternya ke arah beberapa sudut di dalam gua itu. Hingga pada akhirnya ia
menemukan sebuah terowongan yang letaknya tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Mungkin akan ada pintu
masuk lain dari gua ini.” Ucap John. “Kau lihat terowongan disana?”
“Kita akan menjelajah gua
ini?”
“Tidak ada pilihan lain,
‘kan?” ucap John. “Kita tidak bisa memanjat keluar tanpa tali.”
Jacob hanya dapat menghela
nafasnya. Kini ia benar-benar yakin bahwa perjalanannya ke gunung itu sudah
terkutuk sejak awal.
“Bukan ide yang kusenangi.”
Ucap Jacob. “Tapi seperti katamu, kita tidak punya pilihan lain.”
Ketiganya kemudian bergerak
perlahan menyusuri tepian gua dan masuk ke dalam terowongan alami itu. Keadaan
lantai gua yang basah membuat lankah mereka tidak bisa cepat. Kadang mereka
nyaris terperosok karena kaki mereka tanpa sengaja terpeleset lantai gua yang
licin.
Dengan keadaan kaki Nadia
yang terluka, pergerakan mereka semakin tidak bisa cepat lagi. mereka
berkali-kali harus berhenti untuk mengistirahatkan kaki Nadia, yang kini hanya
bertumpu pada satu kaki.
“Maafkan aku!” ucap Nadia
dengan nafas terengah-engah. “Seharusnya aku tidak menjadi beban seperti ini.”
“Apa yang kau ucapkan,
Nadia? Kau mengigau.”
“Ya.” sahut John. “Apapun
yang terjadi, kita tetap bersama. Dan percayalah, bahwa kita akan segera keluar
dari perut gunung ini.”
Ucapan itu sepertinya hanya
ucapan yang terdengar kosong. Tiga puluh menit mereka menyusuri terowongan itu,
namun mereka belum juga menemukan ujungnya. Malahan, sepertinya mereka semakin
masuk ke dalam perut bumi. Keadaan pun semakin gelap gulita. Cahaya sentar yang
mereka gunakan hanya sedikit sekali memberikan penerangan.
“Apakah masih jauh?” ucap
Jacob. Ia berkali-kali menolehkan kepalanya ke arah belakang. Ia merasa seperti
ada yang mengikutinya.
“Mungkin sebentar lagi.”
jawab John. “Sepertinya jalan semakin menanjak.”
Memang benar. Lorong gua
terlihat semakin menanjak dari sebelumnya. Hal itu membuat ketiganya berpikir
bahwa sebentar lagi mereka akan keluar dari gua. Namun ternyata dugaan mereka
salah.
Mereka kini memasuki sebuah
ruangan gua yang cukup luas dengan atap tinggi. Tempat itu terlihat begitu
luas, namun mencekam dalam waktu bersamaan. Tonjolan-tonjolan bebatuan di
sekitar tempat itu menciptakan bayang-bayang yang seolah bergerak terkena
cahaya senter mereka. Mereka bahkan merasa ada yang bersembunyi di dalam
kegelapan.
“Kau juga merasakannya,
‘kan?” ucap Jacob lirih. “Sesuatu, mengikuti kita sejak kita memasuki
terowongan tadi.”
“Jangan bercanda, Jacob!
Tidak lucu.”
“Aku serius.” Ucap Jacob. Ia
menyorotkan cahaya senternya lagi ke arah bagian belakang gua yang telah ia
lewati. Untuk sedetik, ia seperti melihat ada sepasang mata yang menyala di
kegelapan. Namun tidak apa-apa disana. ia menghembuskan nafasnya lagi.
“Mungkin kau benar.” Ucap
Jacob. “Aku kelelahan, dan mungkin sedang berhalusinasi. Tidak ada apa-apa di
dalam sini, ‘kan?”
John tidak memberikan
jawaban. Meski ia ingin mengatakan bahwa memang tidak ada apa-apa di dalam gua
itu, namun sebelah hatinya merasakan hal yang sebaliknya. Ia memang merasa
seperti ada yang mengikuti sejak lima belas menit terakhir. Ia bahkan seolah
dapat mendengar langkah-langkah kecil di sekelilingnya. Namun ia tidak mau
mengatakan perasaannya itu. Ia tidak ingin Nadia ketakutan.
“Kita harus tetap bergerak.”
Ucap John pada akhirnya.
Perjalanan menyusuri
terowongan lain terasa juga amat panjang. Mereka tidak tahu lagi sudah berapa
lama mereka berada di dalam gua itu. Dan mereka juga belum menemukan jalan
keluar. Mungkinkah, memang tidak ada jalan keluar selain lubang masuk tadi?
Nadia terpekik saat
tiba-tiba saja ada yang menyambar ujung kepalanya. Ia meremas lengan John yang
berjalan di sampingnya.
“Sesuatu…” ucap Nadia.
“Sesuatu menyentuhku.”
John dan Jacob sama-sama
berkutat dengan pikiran mereka. Apa yang mereka takutkan sepertinya menjadi
kenyataan. Ada sesuatu di dalam gua itu yang mengikuti mereka. Keduanya
sama-sama menyorotkan cahaya senter mereka ke berbagai tempat, namun mereka
tidak dapat menemukan apapun.
“Akui sekarang, John! Bahwa
kau juga merasakannya, ‘kan?” ucap Jacob, seolah ia dapat membaca apa yang ada
di dalam kepala temannya itu. John hanya mengangguk pelan.
“Tidak ada baiknya kita
berhenti disini.” Ucap John. “Kita harus segera menemukan jalan keluar.”
Langkah mereka semakin cepat
saat mereka sama-sama menyadari bahwa mungkin mereka ada dalam bahaya. Sesuatu
mengejar mereka, dan mereka tahu akan hal itu. Nadia bahkan sudah mengabaikan
luka di kakinya dan kini bergerak dengan begitu cepat.
“Sialan!” umpat Jacob saat
cahaya senternya berkedip.
“Terus melangkah, Jacob!”
teriak John. Suaranya menggema di dalam gua yang mereka lewati itu. Namun
tiba-tiba saja…
KAAAAKKKKK!!!!
Ketiganya merasakan jantung
mereka melonjak seketika sesaat setelah mendengar suara pekikan itu. Suara itu
terdengar menggema di dalam gua, dan bukan sebuah suara alami.
“John?”
“Kita harus cepat.” Ucap
John. Ia menarik lengan Nadia, dengan Jacob mengekor di belakan. Namun sedetik
berikutnya…
KAAAAKKKKKK!!! KAKKKKKK!!
Sesuatu bergerak cepat
diantara cahaya senter mereka. John, Nadia, dan Jacob sama-sama melihat sesuatu
bergerak dengan cepat di dalam gua itu. Dan mereka sadar bahwa mereka ada dalam
bahaya.
“LARI!!!”
Ketiganya berlari begitu
saja tanpa berpikir. Hanya ada satu terowongan di gua itu. Nadia bahkan sudah
bisa mengalahkan rasa sakit di kakinya saat ketakutan mulai memenuhi dirinya.
Ia berlari mengikuti John yang bergerak di depan. Namun entah kenapa John
tiba-tiba saja berhenti.
“Kenapa berhenti?” teriak
Jacob.
John hanya memutar
kepalanya. Ternyata jalan yang mereka lalui itu jalan buntu. Tepat di depannya,
terdapat dinding kayu yang menghadang langkah mereka.
“Mungkin ada sesuatu
dibaliknya?” ucap Jacob seraya bergerak ke arah dinding kayu itu. Ia
menggedorkan tangannya pada dinding kayu itu, dan sebuah papan kayu usang
terjatuh ke tanah.
“Ada lubang.” Ucap Jacob.
“Bantu aku membongkar dinding ini!”
Nadia berdiri dalam diam
sementara kedua temannya berusaha untuk menjebol dinding kayu usang itu. Mereka
memukul, menendang, bahkan menggunakan bahu mereka. Nadia terus mengawasi
bagian belakang. Bersiap-saip, seandainya ‘sesuatu’ itu datang menghampiri
mereka.
Terdengar satu derakan keras
saat John dan Jacob berhasil menjebol dinding kayu itu. Hanya ada lubang kecil,
yang hanya bisa mereka gunakan jika mereka merangkak.
“Cepat masuk!” ucap John. Ia
dan kedua temannya merangkak melalui lubang yang telah mereka perbuat, dan
mereka kini berada di dalam sebuah jaringan bawah tanah. Mereka melihat besi
rel di tanah, dan juga sebuah lori yang berkarat tak jauh dari mereka. Mereka
kini sadar bahwa mereka berada di dalam sebuah tambang.
“Bagus.” Ucap John sambil
mendesah. “Kita ikuti saja rel ini, dan kita akan bisa keluar.”
“Kita berada di jaringan
tambang bawah tanah.” Ucap Jacob. “Mungkin akan ada banyak lorong…, entahlah.”
“Bisakah kita keluar?” Tanya
Nadia dengan keputusasaan dalam nada bicaranya. John merasa tidak yakin. Namun
ia masih bisa tersenyum pada teman wanitanya itu.
“Kita akan keluar.”
Mereka bergerak lagi. kini
menyusuri terowongan tambang yang dipenuhi dengan bebatuan kecil dan juga
lori-lori berkarat. Dari keadaannya, tambang itu sepertinya sudah lama tidak
digunakan.
Ketiganya tidak begitu yakin
kemana mereka akan melangkahkan kaki mereka. Terdapat begitu banyak
persimpangan lorong, dan keadaan yanggelap semakin membuat ketiganya
kehilangan orientasi. John mencoba untuk
memakai kompasnya lagi. namun seperti sebelumnya, jarum kompas itu bergerak
secara radikal ke segala arah.
“Asalkan kita mengikuti
jalan yang naik,” ucap John. “Kita akan mencapai mulut tambang.”
“Kau yakin?” tanya Jacob
dengan nada sedikit ketus. Setengahnya, ia menyalahkan John dalam perjalanan
pendakian ini.
“Percaya padaku sekali ini
saja, Jacob.” Balas John. “Akupun tidak begitu yakin, tapi pilihan apa lagi
yang masih kita punya?”
“Lalu ‘sesuatu’ yang
mengejar kita itu?” tanya Nadia. John dan Jacob sadar kembali bahwa mereka juga
memiliki masalah dengan ‘sesuatu’ itu. Mereka tidak tahu apa yang mengejar
mereka.
Langkah mereka pelan, namun
pasti. Mereka mengikuti terowongan tambang yang menanjak, mengikuti jalur rel
yang ada di tanah. Hingga tiba-tiba, suara misterius itu muncul kembali.
KKAAAAAAKKKK!!!
“Sialan!” umpat John. “Sepertinya
makhluk itu tahu dimana kita.”
“Apa yang harus kita
lakukan?”
“Kita harus bergerak cepat. Lari!”
Ketiganya terseok-seok saat
berlari di jalanan tambang yang tidak rata. Mereka bahkan berkali-kali nyaris
menabrak lori di rel yang tidak terlihat karena keadaan begitu gelap.
Jantung ketiganya semakin
berdetak cepat saat suara misterius itu terdengar begitu dekat. Mereka juga
mendengar langkah-langkah kaki selain kaki mereka.
“Kita harus lari!” ucap John
sesaat sebelum ia menarik lengan Nadia. Ketiganya berlari cepat, dengan sinar
senter terarah ke segala tempat, membuat mereka nyaris tidak mungkin untuk bisa
terus memilih terowongan di tambang itu.
John dan Nadia terperosok
sebuah jurang kecil, dan mendarat diatas permukaan tanah yang tidak rata. Mereka
kini berada di dalam sebuah ruangan luas dimana terdapat beberapa lori bekas
dan juga sebuah elevator kayu yang sudah tidak berfungsi.
“Sepertinya kita hampir
keluar.” Ucap John seraya mengarahkan senternya pada sebuah tangga kayu naik ke
sebuah terowongan. Namun perhatiannya teralih seketika saat Nadia menarik
lengan jaketnya.
“Jacob.” Ucap Nadia. “Dia
menghilang.”
“Apa?!”
John menyorotkan senternya
ke segala arah. Namun mereka tidak menemukan sosok temannya itu.
“Kita berpencar tanpa kita
sadari.” Ucap John. “Tapi kita harus terus bergerak, Nadia, karena…”
KAAAKKKKK!! KAAAKKKKK!!”
John seketika menarik lengan
Nadia ke arah tangga naik itu. Ia meminta Nadia untuk menaiki tangga duluan,
sementara ia mulai mengarahkan cahaya senternya ke segala arah.
John dapat mendengar
dengusan nafas keras, yang bukan miliknya ataupun milik Nadia. Dan suara
langkah-langkah kaki cepat di tanah, hingga sedetik kemudian…
“AAHHH!!!”
John berteriak saat cahaya
senternya tepat mengenai sebuah wajah bobrok yang meringis ke arahnya. Makhluk itu
terlihat seperti manuia, dengan lengan dan kaki panjang. Kedua mata makhluk itu
memerah, memandang tajam ke arah John.
Namun ada satu hal yang
dapat John pelajari dari sosok makhluk itu. Makhluk itu tidak suka dengan
cahaya. Saat senternya mengenai sosok itu, sosok itu dengan cepat melompat ke
sisi lain ruangan.
“LARI NADIA!!” teriaknya
dari bawah. Ia kemudian bergerak menaiki tangga, dan ia dapat mendengar sosok
itu mulai bergerak lagi.
“LARI! JANGAN MENOLEH!”
John dan Nadia berlari
sekuat tenaga mereka menyusuri sebuah terowongan tambang. Makhluk itu masih
mengejar di belakang mereka dengan cepat. Suara jeritan itu kembali terdengar
menggema di dalam lorong tambang.
KAAAKKKK!!!
Nadia tiba-tiba saja memekik
saat kakinya tersandung rel lori yang ada di lorong itu. John merunduk, mencoba
untuk membangungkan Nadia. Namun makhluk itu datang, dan…
“AAAHHH!!”
John seketika menyorotkan
senternya pada wajah bobrok itu. Makhluk itu menghindar, dan terdengar bergerak
menjauh.
“Sialan! Ayolah!” John
mengumpat pelan saat senternya mulai berkedip, dan seketika mati. Ia kini
berada di dalam kegelapan bersama dengan Nadia, tanpa ada bantuan cahaya
sedikitpun. Dan John dapat mendengar langkah mendekat, dan tiba-tiba…
Satu cahaya terang menyorot
wajahnya. Yang membutakannya seketika. Ia kira makhluk itu lagi yang datang. Tapi
ternyata kawannya sendiri.
“Sial!” umpat Jacob seraya
membantu John dan Nadia berdiri. “Makhluk itu beanr-benar…, kita harus…”
“Kita harus berlari lagi!”
ucap John dengan nafas memburu. Ia mengetukkan senternya, dan cahaya muncul
lagi.
Ketiganya berlari lagi
menyusuri lorong tambang yang seolah tak berujung itu. Lama-kelamaan, kaki dan
dada mereka terasa sakit saat stamina terkuras habis. Namun makhluk yang
mengejar mereka tidak juga menyerah. John dan Jacob bersiap dengan senter
mereka. Langkah-langkah makhluk itu terdengar jelas, mendekat, dan kemudian…
Wajah bobrok dengan mata
merah itu mendelik ke arah John dan Jacob, yang dengan segera menyorotkan
cahaya senternya pada sosok itu. Sosok itu mencoba melompat, menghindar, namun
Jacob dan John terus menyorot makhluk keparat itu.
KAAAKKKK!! KAKKKKKK!!
“RASAKAN INI MAKHLUK JELEK!!”
teriak Jacob. Ia seketika meraih sebuah batu dari tanah, dan melemparkannya
tepat ke tubuh sosok itu. Namun sepertinya tingkahnya itu bukanlah sesuatu yang
dpat dipuji. Makhluk itu membuka mulutnya, yang memperlihatkan deretan
gigi-gigi runcing seperti gigi hiu, dan seketika melompat ke arah Jacob. John
mencoba menyorot sosok itu itu, tapi…
“AHHKKKKKK!!!”
Jacon mengerang saat tangan
dengan kuku panjang dari sosok itu menembus tubuh Jacob. John dan Nadia dapat
melihat jelas saat darah memuncrat dari lubang di tengah tubuh Jacob. Tubuh Jacob
terkulai seketika ke tanah.
“LARI NADIA! LARI!!”
Nadia dengan sepenuh tenaga
mulai merangkak, kemudian berlari. Ia menunggu John, tapi John terdengar
mengerang sedetik kemudian. Nadia sadar bahwa temannya itu mungkin juga sudah
tewas.
Cahaya senter yang ia pegang
berlompatan ke sana kemari saat ia berlari tanpa arah. Dan sialnya, lagi-lagi
ia tersandung rel, dan jatuh ke tanah. Cahaya senternya mati seketika.
Nadia duduk dalam diam,
sambil mendengarkan langkah kaki yang mulai bergerak mendekat itu. Lalu suara
desahan nafas berat, dan satu jeritan makhluk anah itu.
KAAAKKKK!!!
Nadia sadar bahwa ia sudah
berada pada ujung maut. Ia tidak bisa bergerak lagi saat kakinya yang terluka
kini terasa begitu menyakitkan. Dua temannya sudah tewas. Apa lagi yang dapat
ia lakukan?
Ia menggenggam senter itu di
tangannya dengan begitu erat. Jantungnya serasa mau pecah, dan ketakutannya
meningkat. Tubuhnya bergetar, dan ia rasakan desahan nafas panas di depan
wajahnya. Dan secara tak terdua, cahaya senternya kembali menyala. Nadia
melihat dengan jelas makhluk itu menyeringai ke arahnya. Lalu…
**
Tiga hari telah berlalu
semenjak ketiga pemuda itu terlihat melewati pos jaga pendakian. Brosur-brosur
berisi keterangan dari ketiga pemuda itu sudah terpasang di beberapa tempat,
dan tim SAR sudah melakukan penyapuan di sekitar jalur pendakian. Namun mereka
tidak menemukan adanya ketiga pemuda itu.
“Mereka mungkin tidak akan
pernah ditemukan.” Ucap seorang pria bungkuk tua ke arah seorang opsir polisi
yang bertugas mencari ketiga pemuda itu.
“Apa maksudmu?” tanya polisi
itu. Orang tua bungkuk itu hanya menggeram kecil, dengan tatapan terarah pada
puncak gunung itu.
“Makhluk itu mungkin sudah
memakan mereka.” Ucap pria bungkuk itu. “Di tambang. Jika kalian ingin hidup,
sebaiknya hindari tambang dan gua yang ada di gunung ini.”
“Apa yang ada disana?” tanya
opsir polisi itu penasaran. Pria tua itu menggeram kecil lagi. Lalu dengan
tatapan tajam, mulutnya terbuka.
“Sesuatu dari masa lampau,
yang tidak bisa dibunuh.”
****
64
ReplyDeleteMy Wattpad : Gusti_Deandra
Sipp sipp sipp... Keren dah ceritanya
ReplyDelete